• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Mina Laut Indonesia Vol. 04 No. 14 Jan 2014 ( ) ISSN :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jurnal Mina Laut Indonesia Vol. 04 No. 14 Jan 2014 ( ) ISSN :"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Karakteristik Sedimen dan Hubungannya dengan Struktur Komunitas

Makrozoobenthos di Sungai Tahi Ite Kecamatan Rarowatu Kabupaten Bombana

Sulawesi Tenggara

Characteristics of Sediment and its Relationship with Macrozoobenthos Community Structure in Tahi Ite River of Rarowatu District of Bombana

Magfirah*), Emiyarti**), dan La Ode Muh. Yasir Haya***)

Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan FPIK Universitas Halu Oleo Kampus Bumi Tridharma Anduonohu Kendari 93232

e-mail*magfirah.ramli@gmail.com**emiyarti@ymail.com***lmyasir_haya@yahoo.co.id Abstrak

Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan November 2012 sampai Bulan Februari 2013 di Perairan Sungai Tahi Ite Kecamatan Rarowatu Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas perairan ditinjau dari karateristik fisika kimia sedimen serta hubungannya dengan struktur komunitas makrozoobenthos di Perairan Sungai Tahi Ite. Pengambilan sampel sedimen dilakukan dengan menggunakan pipa paralon dan sampel makrozoobenthos menggunakan transek kuadran yang dilakukan secara acak. Hasil analisis parameter yang diperoleh yaitu suhu (28–300C), pH air (6,5–8), kecepatan arus (0,046– 0,132 m/det), pH sedimen (6,8-6,9), bahan organik (3,5851–5,21%), c-organik (2,08–3,02%), potensi redoks (Eh (-38,257)-(-96,363), tipe substrat Pasir, pasir berlempung dan lempung berdebu. Hasil analisis makrozoobenthos, spesies yang ditemukan selama penelitian yaitu 3 spesies dengan kelimpahan (4-67 ind/m2); nilai indeks keanekaragaman (H’) (0–0,1515); indeks keanekaragaman (E) (0–0,3175; indeks dominansi (C) (1–0,8025); dan pola distribusi (2,3–3); yang terdistribusi secara mengelompok.

Kata Kunci : Makrozoobenthos, Sedimen, Sungai Tahi Ite Abstract

The research have been conducted from November to February 2013 in Tahi Ite River Rarowatu District, Bombana-Southeast Sulawesi Province. It was to observe water quality based on physical-chemical characteristics of sediment and its relationship with macrozoobenthos community structure in Tahi Ite River. Sediment sampling was conducted using PVC pipe and macrozoobenthos samples using quadrant transects randomly. The results showed that temperature ranged 28–30 0C, pH of water 6,5–8, flow velocity ranged 0,046–0,132 m/s, pH of sediment 6,8–6,9, organic matter 3,5851–5,21%, c-organic 2,08-3,02%, redox potential (Eh) -38,257 - (-96,363), and types of substrate ware sand, clay and mixture of sand silt clay. Macrozoobenthos analysis results showed that species found during the study ware 3 species with abundance 4-67 ind/m2, diversity index values (H') ranged 0–0,1515; diversity index (E) 0–0,3175; dominance index (C) 1–0,8025; and the pattern of distribution ranged 2,3 – 3; which were distributed clustered.

Keywords: Macrozoobenthos, Sediment, Tahi Ite River Pendahuluan

Saat ini kondisi lingkungan menjadi perhatian utama bagi pemerintah dan masyarakat di berbagai belahan bumi ini, karena kondisi lingkungan hidup semakin lama cenderung menurun baik dari segi kualitas maupun kuantitas dalam menunjang kehidupan. Hal tersebut diperburuk karena pesatnya pembangunan di segala bidang. Salah satu sektor yang berkembang secara pesat saat ini yaitu sektor pertambangan. Pembangunan di bidang ini meningkatkan sektor rill dan untuk mencapai perkembangan ekonomi bangsa yang mapan

namun disisi lain menyebabkan kondisi lingkungan menjadi menurun akibat dampak negatif dari pengembangan sektor tersebut.

Sulawesi Tenggara, khususnya kabupaten bombana selama ± 4 tahun terakhir ini, menjadi penghasil tambang emas sejak ditemukannya bongkahan emas di sungai Tahi Ite Kecamatan Rarowatu kabupaten Bombana pada awal september 2008. Kondisi morfologi pada DAS ini umumnya merupakan daerah dataran bergelombang dengan anak-anak sungai terjal berbentuk V dan mengalir sepanjang tahun. Sungai Tahi Ite sendiri mengalir ke arah selatan. Pada sungai ini terletak lokasi penambangan

(2)

Padang Bila yang terletak di bagian hulu sungai dan lokasi penambangan Tahi Ite yang terletak di hilir Tahi Ite (Hadi, 2009).

Sungai merupakan bentuk perairan tawar yang mudah dijumpai, sungai memiliki potensi sumber daya hayati dan non hayati yang dapat dimanfaatkan oleh organisme. Sungai Tahi Ite sebelum adanya kegiatan pendulangan emas, merupakan sungai yang produktif, dimana masih adanya organisme dasar seperti benthos yang menjadikan sungai Tahi Ite sebagai tempat hidupnya yaitu pada sedimen, akan tetapi setelah pendulangan emas yang dilakukan masyarakat yang memanfaatkan logam Hg untuk memisahkan antara emas dan pasir serta aktivitas-aktivitas manusia di sekitar sungai sehingga secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi perubahan lingkungan hidup di perairan sungai termasuk perubahan kondisi sedimen yang diduga membuat organisme dasar yang hidup di sungai Tahi Ite menjadi terancam keberadaannya.

Sedimen, merupakan salah satu unsur penyusun kawasan sungai dan pesisir, yang menjadi habitat bagi organisme benthos dan merupakan penyimpan utama dari banyak senyawa kimia yang secara terus menerus berada pada permukaan perairan. Untuk keberlangsungan hidup organisme benthos ada parameter-parameter yang menunjang kehidupannya seperti parameter fisika perairan, kimia perairan maupun parameter kimia sedimen yang menjadi tempat hidupnya. Namun saat ini organisme dasar itu diduga menjadi terancam keberadaanya dengan adanya perubahan sifat fisika, kimia perairan maupun kimia sedimen yang dikarenakan aktivitas pertambangan yang dilakukan di daerah hulu sungai.

Perubahan komponen fisik dan kimia tersebut selain menyebabkan menurunnya kualitas perairan juga menyebabkan bagian dasar perairan (sedimen) menurun, yang dapat mempengaruhi kehidupan biota perairan terutama pada struktur komunitas biotiknya. Penurunan kualitas lingkungan ini dapat diidentifikasi dari perubahan komponen fisik, kimia dan biologi perairan.

Makrozoobenthos adalah organisme yang hidup di dasar baik yang hidup di permukaan maupun di bawah permukaan, menempel maupun bergerak di dasar perairan. Benthos merupakan salah satu parameter biologi yang dapat digunakan untuk mengetahui kualitas perairan karena hidupnya yang relatif menetap, tidak bermigrasi walaupun ada perubahan kondisi

lingkungan, mudah diambil, dan sensitif terhadap polusi organik dan anorganik (Prihartianingsih, 2004).

Berdasarkan uraian di atas maka dianggap penting untuk melakukan penelitian dengan judul “Karateristik Sedimen dan Hubungannya dengan Struktur Komunitas Makrozoobenthos Di Perairan Sungai Tahi Ite Kecamatan Rarowatu Kabupaten Bombana Sulawesi Tenggara”

agar

dapat diketahui apakah lingkungan tersebut

sesuai dengan prasyarat kelayakan dan

peruntukan habitat organisme benthos.

Bahan dan Metode

Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan November 2012 sampai bulan Februari 2013 bertempat di area Penambangan Emas Rakyat Sungai Tahi Ite, Kecamatan Rarowatu, Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara. Analisis karateristik sedimen dilakukan di Laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo dan Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo.

Penentuan titik stasiun dilakukan secara acak (Purposive sampling), yaitu dilakukan dengan memperhatikan pertimbangan kondisi serta keadaan dari daerah penelitian. Penentuan titik stasiun yang dimulai dari aliran sungai Tahi Ite dimana lokasi penemuan awal emas. Penetuan stasiun pengambilan sampel didasarkan pada karateristik lingkungan sekitar area penambangan emas yang dibagi menjadi 3 stasiun penelitian. 1. Metode Pengambilan Sampel

a. Parameter Fisika Kimia Perairan

Pengukuran parameter fisika perairan yang diukur yaitu suhu perairan, pH air dan kecepatan arus. Pengukuran dan pengamatan ini dilakukan secara langsung di lapangan. Pengukuran suhu menggunakan termometer, pH air menggunakan kertas pH sedangkan kecepatan arus menggunakan layangan arus dengan melakukan 3 kali ulangan pada setiap stasiun pengamatan.

b. Parameter Fisika Kimia Sedimen

Sampel sedimen yang diukur pada penelitian ini yaitu tekstur sedimen, pH sedimen, CO, BO dan potensial redoks. Pengukuran tekstur sedimen, CO, BO, dan

(3)

potensial redoks sedimen diambil menggunakan pipa paralon berdiameter 8,6 cm dengan panjang pipa ± 30 cm yang ditancapkan ke dalam sedimen pada setiap stasiun pengamatan, kemudian dimasukkan ke dalam coolbox selanjutnya sampel ditangani di laboratorium untuk diamati, sedangkan untuk pengukuran pH sedimen dilakukan pengamatan langsung di lapangan dengan cara menancapkan soil tester pada sedimen dengan melakukan 3 kali pengulangan di setiap stasiun pengamatan. c. Sampel Makrozoobenthos

Pengambilan sampel makrozoobenthos dilakukan di setiap stasiun pengamatan dengan menggunakan transek kuadran yang berukuran 1 x 1 m dan dibuat plot-plot dengan ukuran 25 x 25 cm sebanyak 3 kali ulangan. Setelah itu dilakukan pemilahan menggunakan saringan yang berukuran 2 mm. Sampel makrozoobenthos dimasukkan ke dalam kantung sampel dan ditambahkan alkohol 70% agar sampel bisa awet sebelum dilakukan penanganan di laboratorium. Selanjutnya dilakukan identifikasi di laboratorium menggunakan acuan buku identifikasi karangan Dharma (1988).

2. Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil perhitungan, selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif. Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan dan menggambarkan keadaan karateristik sedimen melalui berbagai parameter yang telah dianalisis. Analisis deskriptif memberikan gambaran dalam bentuk grafik yang dimaksudkan agar memberikan gambaran lebih mudah dibaca atau diinterpretasikan.

Metode deskriptif yaitu suatu metode dengan sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan penggunaan metode ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran-gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki (Nazir, 1988 dalam Wijayanti, 2007). a. Struktur Komunitas Makrozoobenthos  Kelimpahan Jenis (K)

Kelimpahan makrozoobenthos dihitung berdasarkan jumlah individu persatuan luas (ind/m2), biasanya dinyatakan dalam satuan

meter persegi (Odum, 1993) sebagaimana persamaan berikut :

𝐾 =10.000 ∗ a b Dimana :

K = Indeks kelimpahan jenis (ind/m2); a = Jumlah makrozoobenthos yg diperoleh (individu) dalam b;

b = Luas transek (cm2).

10.000 merupakan konversi dari cm2 ke m2

 Keanekaragaman Jenis (H´)

Untuk melihat indeks keanekaragaman jenis (Species Diversty Index) (H´) digunakan rumus Shannon-Weiner (Odum, 1993) dengan persamaan berikut :

𝐻= − 𝑝𝑖 𝑙𝑜𝑔2 𝑝𝑖 Dimana:

H´ = Indeks keanekaragaman jenis; pi = ni/N;

ni = Jumlah individu jenis ke-I; N = Jumlah total individu;

Nilai indeks Shannon-Wiener mempunyai eberapa kisaran nilai tertentu, yaitu:

H’ < 1 : Keanekaragaman Rendah; 1< H’ <3 : Keanekaragaman Sedang; H’ > 3 : Keanekaragaman Tinggi.  Indeks Keseragaman Jenis (E)

Untuk menghitung keseragaman jenis makrozoobenthos, yaitu penyebaran individu antar spesies yang berada dalam komunitas digunakan rumus sebagaimana persamaan berikut (Odum, 1993) :

E = 𝐻′ 𝐻 𝑚𝑎𝑘𝑠 Dimana :

E = Indeks Keseragaman

H´ = Nilai Indeks Keragaman Jenis H maks = Log S

S = Jumlah jenis yang tertangkap

Nilai indeks keseragaman jenis ini berkisar antara 0-1. Semakin kecil nilai indeks keseragaman jenis menunjukkan bahwa jumlah antar spesies tidak menyebar merata, dan sebaliknya semakin besar nilai indeks keseragaman, berarti jumlah antar spesies semakin menyebar merata.

(4)

 Dominasi Jenis (C)

Untuk menghitung adanya dominansi jenis tertentu dalam suatu komunitas makrozoobenthos, digunakan indeks dominansi Simpson (Odum, 1993) sebagaimana persamaan (4) berikut:

C = (ni/N)² Dimana :

C = Indeks dominasi jenis; ni = Jumlah individu spesies ke-I; N = Jumlah total individu setiap jenis. Nilai indeks dominan (C) mempunyai kisaran antara 0-1. Semakin mendekati nilai 1 nilai C, berarti semakin tinggi dominansi oleh spesies tertentu.

 Pola Distribusi (Iσ) Makrozoobenthos

Untuk mengetahui pola penyebaran makrozoobenthos pada suatu habitat digunakan metode pola sebaran morisita menurut Elliot (1977) dalam Setiobudiand, dkk (2009) yaitu sebagaimana persamaan (5) berikut:

Iσ = 𝑞 ni (ni − 1) 𝑁 (𝑁 − 1) Dimana:

Iσ = Indeks Penyebaran Morisita; n = Jumlah Individu pada Pengambilan Sampel ke-I;

N = Jumlah Total Individu yang diperoleh; q = Jumlah Pengambilan Sampel;

Kriteria dari indeks Morisita adalah sebagai berikut:

I < 1 : Tipe Penyebaran Seragam; I = 1 : Tipe Penyebaran Acak;

I > 1 : Tipe Penyebaran Mengelompok. 3. Analisis PCA (Principal Componen

Analysis)

Analisis Komponen Utama merupakan metode statistik deskriptif yang bertujuan untuk mempresentasikan data dalam bentuk grafik, informasi maksimum yang terdapat dalam suatu matriks data. Matriks data yang dimaksud terdiri dari sub stasiun pengamatan sebagai individu statistik (baris) dan fisika kimia perairan sebagai variabel kuantitatif (kolom) (Bengen, 2000).

Tujuan utama penggunaan analisis komponen utama dalam suatu matriks data berukuran cukup besar diantaranya adalah: 1) mengekstraksi informasi esensial yang terdapat dalam suatu tabel/matriks data yang besar; 2) menghasilkan suatu representasi grafik yang memudahkan interpretasi; 3) mempelajari suatu tabel/matriks data dari sudut pandang kemiripan antara individu atau hubungan antar variabel (Bengen, 2000).

Menurut Gasperz (1995) dalam Hidayah (2003), bahwa suatu korelasi dinyatakan berhubungan positif atau berbanding lurus jika nilainya berkisar antara 0,5 sampai dengan 1,0. Sedangkan parameter-parameter dinyatakan berhubungan negatif atau berbanding terbalik jika nilainya berada pada kisaran -0,5 sampai dengan -1,0. Selain itu, nilai antara -0,5 hingga 0,5 dianggap tidak mempunyai hubungan atau pengaruh yang nyata baik positif maupun negatif. 4. Analisis CA (Correspondance Analysis)

Evaluasi kuantitatif terhadap sebaran makrozoobenthos antara stasiun pengamatan dan keterkaitannya dengan karateristik fisika-kimia sedimen dilakukan dengan menggunakan Analisis Faktorial Koresponden (Correspondance Analysis, CA) (Legendre dan Lagendre 1983).

Analisis Faktorial Koresponden adalah suatu metode statistik yang bertujuan mencari hubungan yang erat antara modalitas dari dua karakter atau variabel pada variabel matriks data kontigensi dan mencari hubungan yang erat antara seluruh modalitas karakter dan kemiripan antara individu berdasarkan konfigurasi jawabannya pada tabel atau matriks data (Bengen, 2000).

Hasil

Kondisi morfologi pada DAS ini umumnya merupakan daerah dataran bergelombang dengan anak-anak sungai terjal berbentuk V dan mengalir sepanjang tahun. Sungai Tahi Ite sendiri mengalir ke arah selatan. Pada sungai ini terletak lokasi penambangan Padang Bila yang terletak di bagian hulu sungai dan lokasi penambangan Tahi Ite yang terletak di hilir Tahi Ite. (Hadi, 2009).

Letak geografis UPT Tahi Ite mempunyai batasan langsung dengan wilayah lainnya sebagai berikut : Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Rarowatu Utara dan Kecamatan Matausu, Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Pungkuri Kecamatan Rarowatu, Sebelah Barat

(5)

berbatasan dengan Kecamatan Poleang Utara, Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Poleang Tenggara

Pola aliran sungai yang berkembang adalah pola denditrik di Bagian Utara yang mencirikan bahwa secara umum batuan yang menempati daerah tersebut relatif homogen. Di bagian selatan berkembang pola aliran sungai paralel dan sub trelis yang menunjukkan kontrol struktur berupa sesar dan kekar cukup kuat dengan batuan yang relatif keras.

1. Kondisi Fisika-Kimia Perairan a. Suhu Air

Hasil pengukuran suhu selama penelitian menunjukkan kisaran nilai suhu yang berbeda-beda untuk setiap stasiun pengamatan, yaitu pada stasiun I berkisar antara (29-300C), stasiun II berkisar (29-310C) dan stasiun III berkisar antara (28-290C).

Gambar 1. Suhu Air pada Setiap Stasiun Pengamatan. Nilai suhu yang diperoleh selama

pengamatan dapat dipengaruhi oleh waktu pengukuran, bedasarkan hasil pengukuran suhu di masing-masing stasiun pengamatan yang ditunjukkan pada (Gambar 1) diperoleh bahwa, suhu perairan yang tertinggi yaitu berada pada stasiun II berkisar antara (29-300C), hal ini dikarenakan pengukuran dilakukan pada siang hari dan kondisi lingkungan di stasiun II gersang yang hanya ditumbuhi rumput di antara aliran sungai yang merupakan aliran dari pembuangan limbah penambangan emas, penetrasi cahaya yang secara langsung masuk ke perairan dengan kondisi sungai dangkal yang menyebabkan tingginya suhu, hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi (2003), bahwa cahaya matahari yang masuk ke perairan akan mengalami penyerapan dan perubahan menjadi energi panas sehingga mempengaruhi suhu. Tingginya nilai suhu juga diduga akibat tidak adanya tanaman air ataupun pepohonan yang dapat mengurangi penetrasi cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan. Dengan demikian, perairan menerima panas lebih banyak dan penguapan pun jauh lebih besar terjadi pada stasiun II, sedangkan suhu perairan

terendah berada pada stasiun III yaitu berkisar antara (28-300C), suhu perairan berada pada kondisi rendah dibandingkan stasiun I dan stasiun II, dikarenakan kondisi lingkungan di stasiun III ini rindang dengan ditumbuhi pepohonan yang menyebabkan tidak maksimalnya penetrasi cahaya yang masuk ke dalam perairan.

Hasil pengukuran suhu yang tertinggi yaitu pada stasiun II berkisar antara (29-31oC) merupakan suhu sungai yang masih stabil untuk kebutuhan organisme dalam kelangsungan hidupnya, hal ini sesuai dengan pernyataan Hidayah (2003), bahwa perairan yang sesuai untuk kehidupan makrozoobenthos adalah perairan yang memiliki suhu sekitar 30°C, sedangkan suhu lethal (mematikan) untuk kehidupan makrozoobenthos adalah 35°C-40°C. Pada kisaran suhu tersebut makrozoobenthos telah mencapai titik kritis yang dapat menyebabkan kematian sedangkan menurut Hutabarat dan Evans (1985) siklus temperatur untuk kehidupan organisme perairan berkisar 26oC–31oC. 0 5 10 15 20 25 30 35 I II III Su hu ( oC) Stasiun Pengamatan Pengamatan I Pengamatan II Pengamatan III

(6)

0.000 0.020 0.040 0.060 0.080 0.100 0.120 0.140 I II III K ec epat an A rus ( m /det ) Stasiun Pengamatan Pengamatan I Pengamatan II Pengamatan III b. Kecepatan Arus

Hasil pengamatan kecepatan arus selama penelitian menunjukkan kisaran nilai yang berbeda-beda di setiap stasiun pengamatan. Pada

stasiun I berkisar (0,113-0,132 m/det), stasiun II berkisar (0,113-0,127 m/det) dan stasiun III berkisar antara (0,046-0,096 m/det).

Gambar 2. Kecepatan Arus pada Setiap Stasiun Pengamatan. Dari hasil pengukuran kecepatan arus yang

diperoleh di setiap stasiun pengamatan masing-masing (Gambar 2), menunjukkan bahwa nilai kecepatan arus yang di stasiun I yaitu dengan kisaran waktu 0,113–0,132 m/det, kecepatan arus di stasiun II berkisar 0,113 m/det–127 m/det dan nilai kecepatan arus pada stasiun III dengan kisaran kecepatan arus 0,046–0,096 m/det, Rata-rata kecepatan arus untuk setiap stasiun pengamatan berkisar 0,046–0,132 m/det, dan nilai ini termasuk dalam kondisi sungai yang memiliki kecepatan arus yang lambat sampai arus sangat lambat. Hal ini sesuai dengan pernyataan (Mason 1993, dalam Setiawan 2008), bahwa perairan yang mempunyai arus > 1 m/det dikategorikan dalam perairan yang berarus sangat deras, perairan dengan arus > 0,5–1 m/det dikategorikan sebagai arus deras, kecepatan arus 0,25–0,5 m/det dikategorikan sebagai arus sedang, kecepatan arus 0,1–0,25 m/dtk di kategorikan arus lambat dan kecepatan arus < 0,1 m/det dikategorikan arus sangat lambat.

Kecepatan arus mempengaruhi keberadaan dan komposisi makrozoobentos serta secara tidak langsung mempengaruhi substrat dasar perairan. stasiun I dan stasiun II menghasilkan tekstur substrat yang dominan pasir sedangkan stasiun III menghasilkan tekstur substrat lempung berdebu. Hal ini sesuai pernyataan Menurut Welch (1980) dalam Setiawan (2008), arus

mempengaruhi transport sedimen dan mengikis substrat dasar perairan sehingga dapat dibedakan menjadi substrat batu, pasir, liat, ataupun debu. Sungai dengan arus yang cepat, substrat dasarnya terdiri dari batuan dan kerikil sedangkan sungai dengan arus air yang lambat substrat dasarnya terdiri dari pasir atau lumpur.

Selain mempengaruhi keadaan tekstur substrat, kecepatan arus yang tinggi juga akan mempengaruhi keadaan substrat dan stabilitas substrat dan juga berpengaruh terhadap jenis dan sifat fisik organisme makrozoobenthos. Kecepatan arus yang terlalu tinggi mengakibatkan hanya sebagian kecil saja makrozoobenthos yang dapat hidup dan bertahan hidup pada kondisi tersebut hal ini menyebabkan pada daerah yang memiliki kecepatan arus tinggi jumlah dan jenis makrozoobenthos hanya sedikit dan sebaliknya daerah yang kondisi kecepatan arusnya lambat memungkinkan makrozoobenthos yang lebih banyak dapat hidup pada daerah tersebut (Emiyarti, 2004).

c. Derajat Keasaman (pH) Air

Hasil pengukuran pH air selama penelitian menunjukkan kisaran nilai yang hampir sama untuk setiap stasiun pengamatan yaitu pada stasiun I mempunyai kisaran yang sama setiap pengulangan yaitu 7, stasiun II berkisar (6,5-7) dan stasiun III berkisar antara (7-8).

(7)

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 I II III pH Stasiun Pengamatan Pengamatan I Pengamatan II Pengamatan III

Gambar 3. pH Air pada Setiap Stasiun Pengamatan. Nilai pH menyatakan intensitas keasaman

atau alkalinitas dari suatu contoh air dan mewakili konsentrasi ion hidrogennya. Konsentrasi ion hidrogen ini akan berdampak langsung terhadap keanekaragaman dan distribusi organisme serta menentukan reaksi kimia yang akan terjadi.

Berdasarkan hasil pengukuran derajat keasaman di perairan Sungai Tahi Ite pada masing-masing stasiun pengamatan yang ditunjukkan pada (Gambar 3), didapatkan kisaran pH 6,5–8. Nilai pH air tertinggi pada stasiun III berkisar 7-8, sedangkan pH air pada stasiun II memiliki pH rendah berkisar 6,5-7, dan kisaran pH stasiun I adalah untuk setiap ulangan pengamatan yaitu 7, nilai pH ini berada pada kondisi yang netral. Makrozoobentos memiliki kisaran toleransi terhadap pH yang berbeda-beda,seperti Gastropoda lebih banyak ditemukan pada perairan dengan pH di atas 7. Kisaran rata-rata pH untuk setiap stasiun pengamatan

merupakan kisaran pH yang masih memungkinkan untuk kebutuhan hidup organisme di sungai tersebut.

2. Kondisi Fisika-Kimia Sedimen a. pH Sedimen

Hasil pengukuran rata-rata pH sedimen pada setiap stasiun pengamatan yaitu 7. Sedangkan untuk hasil pengukuran BO di setiap stasiun pengamatan memiliki kisaran 3,5851-5,21 % dan CO berkisar 2,08-3,02 % (Tabel 1). Selanjutnya hasil pengukuran tipe sedimen melalui analisis laboratorium didapatkan tipe sedimen untuk stasiun I (Pasir), stasiun II (pasir berlempung) dan stasiun III (Lempung berdebu).

Sebaran nilai rata-rata tekstur sedimen

pada setiap stasiun pengamatan di perairan

Sungai Tahi Ite dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai Rata-rata Presentase Tekstur dan Tipe Sedimen pada Setiap Stasiun Penelitian Stasiun

Tekstur (%)

Tipe sedimen BO (%) CO (%) Pasir (%) Liat (%) Debu (%)

I 89,8514 1,4347 8,7138 Pasir 3,5851 2,08

II 86,4972 3,4124 10,0904 Pasir

Berlempung 4,6099 2,67

III 17,5611 68,9477 13,4912 Lempung

Berdebu 5,21 3,02

Nilai rerata potensial redoks dan pH sedimen pada setiap stasiun pengamatan di Perairan Sungai Tahi Ite dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini :

(8)

Tabel 2. Rerata pH Sedimen dan Potensial Redoks

Stasiun Eh (mv) pH sedimen Zona

I -38,257 6,88 Reduksi

II -23,987 6,90 Reduksi

III -96,363 6,89 Reduksi

b. Tekstur Sedimen

Berdasarkan hasil analisis sebaran fraksi sedimen yang diperoleh selama penelitian, menunjukkan bahwa jenis substrat yang dominan di perairan Sungai Poleang adalah pasir (17,56– 89,85%), debu (1,43–68,95%) dan liat (8,71– 13,49%). Gambaran tipe sedimen yang berbeda untuk masing-masing stasiun pengamatan yaitu stasiun I (pasir), stasiun II (pasir berlempung) sedangakan stasiun III (Lempung berdebu).

Tipe sedimen pada stasiun I dan II terbentuk (Pasir) dan (Pasir berlempung) dikarenakan keadaan sungai memiliki kecepatan arus yang berbeda hal ini menurut pernyataan pernyataan Odum (1993), bahwa tipe substrat dasar berhubungan dengan kecepatan arus, semakin tinggi kecepatan arus maka substrat dasar memiliki ukuran yang semakin besar. Kedua stasiun yaitu stasiun I dan II memiliki arus yang lambat, sehingga partikel sedimen yang terbawa oleh pergerakan arus biasanya dominan material pasir sampai lumpur sedangkan stasiun III (lempung berdebu), hal ini dikarenakan arus di stasiun III ini merupakan arus yang lebih lambat dari stasiun I dan stasiun II. Arus yang lambat membuat partikel halus yang berukuran kecil seperti lumpur ini mudah mengendap di dasar perairan sehingga substrat yang terbentuk adalah dominan lempung.

Substrat lempung memiliki kandungan organik yang cukup tinggi sehingga memungkinkan adanya kehidupan organisme di stasiun tersebut karena bahan organik merupakan komponen yang dibutuhkan makrozoobenthos untuk kelangsungan hidupnya dan kondisi substrat dengan kombinasi ketiga jenis substrat yaitu pasir, lumpur dan liat yang sesuai dengan habitat makrozoobenthos.

Nyabakken (1998), menyatakan bahwa keberadaan lumpur di dasar perairan sangat dipengaruhi oleh banyaknya partikel-partikel tersuspensi yang dibawa oleh air tawar. Selanjutnya Levinton (1982) dalam Emiyarti (2004), menyatakan bahwa karateristik sedimen akan mempengaruhi morfologi fungsional dan tingkah laku hewan bentik, hewan bentik beradaptasi sesuai dengan tipe substratnya. Pada jenis substrat berpasir kandungan oksigen relatif

besar dibandingkan dengan substrat yang halus, karena pada substrat berpasir terdapat pori air yang memungkinkan terjadinya percampuran yang lebih intensif dengan air di atasnya, akan tetapi pada sedimen berpasir tidak banyak terdapat unsur hara. Pada substrat yang lebih halus, walaupun oksigen sangat sedikit tapi cukup tersedia nutrien dalam jumlah yang besar. c. Potensi Redoks dan Derajat Keasaman (pH)

Sedimen

Nilai pH sedimen merupakan konsentrasi ion hidrogen dalam air sedimen. Kondisi keasaman dalam sedimen dapat diduga dari pH sedimen, karena asam merupakan hasil disosiasi dalam air.

Hasil pengukuran pH sedimen selama penelitian untuk ketiga stasiun memiliki nilai yang sama yaitu bernilai 7 (Tabel 1), nilai pH untuk ketiga stasiun pengamatan merupakan nilai pH yang netral, dimana pH dengan nilai 0–7 bersifat asam, nilai 7 bersifat netral dan nilai 7– 14 bersifat basa. Jadi kondisi ketiga stasiun pengamatan relatif stabil.

Odum (1993), bahwa pH sedimen sangat erat kaitannya dengan bahan organik substrat, tipe substrat dan kandungan oksigen. Kisaran nilai pH tersebut masih aman untuk kehidupan makrozoobenthos.

Hasil pengukuran potensial redoks di perairan Sungai Tahi Ite untuk reratanya berkisar (-23,98)–(-96,36), untuk setiap stasiun kondisi sedimen dengan nilai yang ada menunjukkan sedimen berada dalam zona reduksi yaitu nilai Eh<0. Hal ini sesuai dengan pernyataan odum (1993), yang mengelompokkan sedimen dasar suatu perairan menjadi 3 zona yang didasarkan pada nilai potensial redoks dan reaksi-reaksi kimia yang terjadi di dalamnya. Ketiga zona tersebut adalah zona oksidasi dalam nilai Eh>200 mv, zona transisi dengan nilai Eh antara 0-200 mv dan zona reduksi dengan nilai Eh<0.

Zona reduksi bisa terjadi karena adanya aktivitas bakteri yang mendegradasi bahan organik dan kurangnya sirkulasi air yang menyebabkan kadar oksigen menurun. Golterman (1990) dalam Emiyarti (2004), menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang

(9)

mempengaruhi nilai Eh dalam sedimen, antara lain aktivitas mikroba dan proses reduksi senyawa kimia.

d. Bahan Organik

Hasil pengukuran kandungan bahan organik selama penelitian berkisar antara 3,5851–5,21% (Tabel 1), melihat hasil kisaran nilai, bahan organik yang tertinggi berada pada stasiun III yaitu 5,21 % dengan tekstur sedimen lempung berdebu dan bahan organik terendah pada stasiun I yaitu 3,5851 % dengan kondisi tekstur sedimen pasir.

Nilai bahan organik pada stasiun III tinggi dikarenakan, kondisi lingkungan di stasiun tersebut merupakan daerah yang memiliki kecepatan arus yang relatif tenang, rindang dengan ditumbuhi pepohonan disekitar sungai, pepohonan ini merupakan produsen utama serasah, (daun-daun) yang dihasilkan pepohonan tersebut jatuh ke dalam perairan kemudian mengendap dengan proses pengurairan yang terjadi di dalam sedimen oleh dekomposer menghasilkan bahan organik yang sangat dibutuhkan oleh organisme makrozoobenthos untuk kehidupannya. Selain itu tingginya bahan organik di stasiun III ditunjukkan oleh substrat dasar yang berupa lempung. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ompi et al., (1990), bahwa pengendapan lumpur terjadi karena arus yang relatif tenang karena banyaknya pepohonan di sekitarnya. Sedimen berlumpur cenderung mengakumulasi bahan organik dimana tekstur dan ukuran partikel yang halus memudahkan terserapnya bahan organik selanjutnya Nyabakken (1998), menyatakan bahwa tingginya bahan organik berdasarkan tingginya fraksi lumpur. Stasiun III juga ditunjukkan dengan banyaknya kelimpahan makrozoobenthos (Tabel 4), jenis substrat dasar berlumpur sangat disenangi oleh organisme dasar perairan karena mengandung unsur hara yang tinggi untuk mendukung kehidupan organisme dasar tersebut.

Kisaran bahan organik yang tinggi berkorelasi dengan tipe substrat yaitu

menghasilkan substrat lempung berpasir, bahan organik berkorelasi positif dengan tipe partikel sedimen atau substrat halus hal ini berhubungan dengan kondisi lingkungan tenang sehingga memungkinkan pengendapan sedimen lumpur diikuti oleh akumulasi bahan organik ke dasar perairan dan menjadi sumber makanan bagai organisme bentik sehingga jumlah dan laju penambahannya dalam sedimen pada batasan tertentu mempunyai pengaruh yang besar terhadap jenis, jumlah dan kelimpahan makrozoobenthos (Doni, 2008).

e. C-Organik

Hasil pengukuran selama penelitian menunjukkan bahwa kandungan karbon organik berkisar antara 2,08–3,02% (Tabel 1), nilai karbon organik tertinggi berada pada stasiun III yaitu 3,02% dan nilai karbon organik terendah berada pada stasiun I 2,08%.

Nilai karbon organik yang tinggi di stasiun III dikarenakan, serasah-serasah dari pepohonan di sekitaran sungai yang jatuh ke dalam perairan dan mengendap berperan sebagai penyumbang C-organik dalam sedimen. Dasar perairan yang berlumpur juga akan mengandung C-organik yang lebih banyak dibandingkan dengan tipe substrat yang tidak berlumpur seperti substrat berpasir.

3. Struktur Komunitas Makrozoobenthos

Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis kelimpahan makrozoobenthos di Perairan Sungai Tahi Ite didapatkan jenis makrozoobenthos sebagai berikut :

a. Kelimpahan Jenis (K) Makrozoobenthos Hasil analisis kelimpahan makrozoobenthos pada setiap stasiun berkisar 4-67 ind/m2 dan jumlah jenis yaitu 4 spesies pada Tabel 3.

Tabel 3. Kelimpahan dan Jumlah Jenis Makrozoobenthos pada Setiap Stasiun Penelitian Stasiun Kelimpahan (ind/m2) Jumlah Jenis Nama Jenis

I 9 2 Potamopyrgus sp.,Littoridina sp.

II 4 1 Littoridina sp.

III 67 1 Melanoides sp.

Berdasarkan hasil penelitian organisme makrozoobenthos yang ditemukan di lokasi

penelitian yaitu hanya berasal dari kelas Gastropoda. Pada stasiun I makrozoobenthos dari

(10)

kelas gastropoda yang didapatkan yaitu Littoridina sp. dan Potamopyrgus sp. dengan total kelimpahan (K) 9 ind/m2, stasiun II

Littoridina sp. total kelimpahan (K) 4 ind/m2 sedangkan stasiun III Melanoides sp. total kelimpahan 67 ind/m2.

Makrozoobenthos yang didapatkan hanya berasal dari kelas gastropoda, karena melihat dari sifat hidup gastropoda yang tahan terhadap perubahan kondisi lingkungan yang ekstrim dengan melakukan adaptasi terhadap lingkungannya, dan jenis-jenis gastropoda dapat tumbuh dan berkembang pada sedimen halus, karena memiliki fisiologi khusus untuk dapat beradaptasi pada lingkungan perairan yang memiliki tipe substrat berlumpur. Hal ini sesuai dengan pernyataan Barnes (1999) dalam Suci dkk., (2012), bahwa jenis gastropoda biasanya hidup pada substrat pasir dan lumpur, gastropoda telah melakukan adaptasi sangat ekstensif terhadap kehidupan pada semua bentuk dasar laut dan kehidupan pelagis, demikian juga pada perairan tawar dan daratan.

Makrozoobenthos yang paling tinggi kelimpahanya didapatkan pada stasiun III Melanoides sp. yang berasal dari kelas gastropoda dengan total kelimpahan 67 ind/m2, hal ini dikarenakan kondisi lingkungan stasiun III

yaitu kondisi substrat berupa lempung berdebu dan juga dimungkinkan karena sifat dari Melanoides sp. ini menyukai tempat yang berlumpur dengan kandungan bahan organik cukup tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan (Razak, 2002), jenis ini dari kelas gastropoda, dimana kebanyakan bersifat deposit feeders (pemakan deposit) karena itu biasanya lebih banyak ditemukan pada substrat halus yang mengadung cukup bahan organik. Selanjutnya Abdunnur (2002), menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kandungan bahan organik dan ukuran partikel sedimen. Pada sedimen yang halus persentase bahan organik lebih tinggi dari pada sedimen yang kasar, hal ini juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Lingkungan yang agak tenang memungkinkan pengendapan lumpur yang diikuti oleh akumulasi bahan organik ke dasar perairan. Sedangkan pada sedimen yang kasar, kandungan bahan organiknya rendah, karena partikel yang lebih halus tidak mengendap. Oleh karena itu, tekstur sedimen dasar perairan secara tidak langsung akan menentukan kelimpahan, keragaman dan komposisi makrozoobenthos. Karena alasan tersebut, Melanoides sp. merupakan jenis makrozoobenthos yang memiliki jumlah kelimpahan tinggi .

Tabel 4. Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominansi Mkrozoobenthos pada Setiap Stasiun Penelitian

Stasiun Keanekaragaman(H’) Keseragaman (E) Dominansi (C)

I 0,1515 0,3175 0,8025

II 0 0 1

III 0 0 1

a. Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C)

Indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi merupakan indeks-indeks biologi yang dipakai untuk menduga dan mengevaluasi kondisi suatu lingkungan perairan. Kondisi suatu lingkungan perairan umumnya dikatakan baik (stabil) bila memiliki indeks keanekaragaman, keseragaman yang tinggi serta indeks dominansi yang rendah (tidak ada spesies yang mendominasi).

Berdasarkan hasil analisis indeks keanekaragaman makrozoobenthos di perairan Sungai Tahi Ite berkisar 0-0,15 (Tabel 4), dengan melihat kisaran tersebut menurut nilai indeks Shannon-Wiener bahwa keanekaragaman makrozoobenthos berada pada kondisi keanekaragaman yang rendah hal ini dimungkinkan karena adanya tekanan kondisi

lingkungan dari makrozoobenthos seperti faktor fisika, kimia perairan dan sedimen dan menurut

(Odum 1993), menyebutkan bahwa

keanekaragaman spesies cenderung rendah dalam ekosistem yang mengalami tekanan secara fisik maupun kimia.

Indeks keanekaragaman tertinggi berada pada stasiun I, dimana masih terdapat 2 jenis makrozoobenthos yang berasal dari kelas gastropoda yaitu Littoridina sp. dan Potamopyrgus sp. hal ini dimungkinkan 2 jenis makrozoobenthos ini masih dapat mentolerir perubahan kondisi lingkungan perairan Sungai Tahi Ite.

Indeks keanekaragaman terendah berada pada stasiun II dan stasiun III, yang ditunjukkan dengan hanya ditemukannya satu jenis makrozoobenthos masing-masing stasiun yaitu Littoridina sp. dan Melanoides sp. hal ini dimungkinkan karena kondisi lingkungan pada

(11)

stasiun II dan III, dimana terjadi sedimentasi yang tinggi yang menyebabkan organisme tertentu saja mentolelir kondisi tersebut.

Berdasarkan hasil anaisis indeks keseragaman (E) untuk setiap stasiun pengamatan berkisar 0-0,317 (Tabel 4), hal ini memperlihatkan bahwa jumlah antara spesies tidak tersebar secara merata, tidak terdapat variasi jenis dan jumlah makrozoobenthos. Indeks keseragaman tertinggi berada pada stasiun I dan yang terendah pada stasiun II dan III. Menurut (Odum, 1993), nilai indeks keseragaman jenis yang berkisar antara 0-1. Semakin kecil nilai indeks keseragaman jenis menunjukkan bahwa jumlah antar spesies tidak menyebar merata, dan sebaliknya semakin besar nilai indeks keseragaman, berarti jumlah antar spesies semakin menyebar merata dan Hal ini sesuai dengan pernyataan Zulfiandi dkk., (2012), bahwa semakin besar nilai keseragaman menunjukkan keseragaman jenis yang besar, artinya kepadatan tiap jenis dapat dikatakan sama dan cenderung tidak didominasi oleh jenis tertentu, sebaliknya semakin kecil nilai keseragaman menunjukkan keseragaman jenis yang kecil, artinya kepadatan tiap jenis dapat dikatakan tidak sama dan cenderung didominasi oleh jenis tertentu.

Berdasarkan hasil analisis pada setiap stasiun pengamatan, indeks dominansi jenis berkisar 0,802-1 (Tabel 4). Nilai indeks dominansi tertinggi berada pada stasiun II dan III, dan terendah di stasiun I. Hasil tersebut menunjukkan bahwa Littoridina sp. dan Melanoides sp. yang mendominasi di stasiun penelitian II dan III, jumlah spesies yang ada pada komunitas tersebut juga turut menentukan besarnya nilai indeks ini. Pada perairan yang hidup banyak spesies makrozoobenthos akan mempunyai nilai indeks dominansi yang rendah dibandingkan dengan jumlah jenisnya yang sedikit, dengan catatan jumlah masing-masing spesiesnya sama. Menurut (Odum, 1993)

makrozoobenthos dapat menunjukkan kualitas

perairan sungai, dalam suatu perairan yang belum tercemar, jumlah individu relatif merata dari semua spesies yang ada. Sebaliknya suatu perairan tercemar, penyebaran jumlah individu tidak merata dan cenderung ada spesies yang

mendominasi. Semakin mendekati nilai 1 nilai C,

berarti semakin tinggi dominansi oleh spesies tertentu.

b. Pola Distribusi

Hasil analisis pola distribusi makrozoobenthos pada setiap stasiun berkisar 2,3 - 3 (Tabel 5).

Tabel 5. Pola Distribusi Makrozoobenthos pada Setiap Stasiun Penelitian

Stasiun Dominansi Pola Distribusi

I 2,3 Mengelompok

II 3 Mengelompok

III 3 Mengelompok

Untuk mengetahui pola penyebaran makrozoobenthos di perairan Sungai Tahi Ite digunakan metode pola sebaran Morisita, penyebaran suatu populasi menggambarkan distribusi spasial dari individu-individu populasi tersebut.

Berdasarkan hasil analisis pada setiap stasiun pengamatan, pola distribusi makrozoobenthos berkisar 2,3-3 disajikan pada (Tabel 5). Pola distribusi tertinggi berada di stasiun II dan III dengan pola penyebaran yang mengelompok dan pola distribusi terendah di stasiun I dengan pola penyebaran yang mengelompok pula, dari ketiga stasiun pengamatan didapatkan nilai kisaran pola distribusi yang berbeda-beda namun, sama-sama memiliki nilai yang menunjukkan pola penyebaran secara mengelompok. Mengelompokkanya makrozoobenthos ini disebabkan karena faktor lingkungan yang

mengalami perubahan seperti kandungan bahan organik terdistribusi secara tidak merata, hanya beberapa tempat yang memiliki kandungan bahan organik yang tinggi sehingga makrozoobentos cenderung melakukan pengelompokkan. Menurut Emiyarti (2004), menyatakan bahwa pengelompokkan makrozoobenthos yang terjadi dalam suatu perairan merupakan reaksi individu tersebut terhadap kondisi lingkungan perairan yang berbeda baik fisika-kimia air serta karakteristik sedimen dan karateristik sedimen yang mempengaruhi pengelompokkan makrozoobenthos seperti tipe dan fraksi sedimen, pH (derajat keasaman) perairan serta bahan organik.

Hidup berkelompok pada jenis-jenis makrozoobentos yang telah ditemukan diduga disebabkan makrozoobentos tersebut memilih hidup pada habitat yang sesuai pada perairan baik dari segi faktor fisik-kimia perairan maupun

(12)

pH sedimen Potensial redoks B-OrgC-Org Pasir (%) Debu (%) Liat (%) Suhu pH air Kec arus -1 -0.75 -0.5 -0.25 0 0.25 0.5 0.75 1 -1 -0.75 -0.5 -0.25 0 0.25 0.5 0.75 1 F2 (1 0. 94 % )

Variables (axes F1 and F2: 100.00 %)

I II III -3 -2 -1 0 1 2 3 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 F 2 (1 0. 94 %) F1 (89.06 %)

Observations (axes F1 and F2: 100.00 %) tersedianya nutrisi. Ketersediaan nutrisi ini hanya

berada di tempat tertentu dan tidak menyebar

secara merata sehingga makrozoobenthos

cenderung mengelompok. Hal ini mengacu pada pernyataan Suin (2002), bahwa faktor fisika dan kimia yang hampir merata pada suatu habitat serta tersedianya makanan bagi organisme yang hidup di dalamnya sangat menentukan organisme tersebut hidup berkelompok atau acak maupun

merata. Selanjutnya penyataan Suwondo dkk., (2005), mengelompoknya jenis Gastropoda diduga karena sifatnya yang hidup bergerombol dan menempel pada satu tempat sepanjang waktu.

4. Sebaran Spasial Karakteristik Fisika Kimia Air, dan Sedimen

Gambar 4. Grafik PCA Karateristik Fisika Kimia Air dan Sediman

Gambar 5. Grafik PCA Sebaran Stasiun Penelitian pada Sumbu F1, F2

Sebaran spasial parameter fisika kimia perairan dan sedimen dapat diketahui dengan menggunakan Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis) dengan bantuan software ExcelStat 2009.

Parameter yang digunakan dalam analisis komponen utama (PCA) adalah parameter fisika, kimia sedimen yaitu (pH air, kecepatan arus, suhu, pH sedimen, potensial redoks, bahan organik, c-organik, dan tekstur substrat). Parameter tersebut diintegrasikan F1 89,06%

(13)

sehingga akan didapatkan nilai matriks hubungan antar parameter.

Berdasarkan analisis PCA, diperoleh total informasi (eigenvalue) sebesar 100% yang terdapat pada sumbu F1 dan F2, hal ini menunjukkan bahwa analisis komponen dianggap tinggi atau dapat mewakili beberapa parameter yang ada tanpa mengurangi

banyaknya informasi data tersedia. Hal ini

sesuai dengan pernyataan Bengen (2000), bahwa jika diperoleh nilai korelasi (R) ≥ 0,90 - ≤ 1,00 maka dapat dikatakan bahwa hubungan antara variabel sangat kuat/tinggi.

Berdasarkan hasil analisis data ditunjukkan bahwa informasi penting terpusat pada dua sumbu utama (F1xF2). Pada masing-masing sumbu mempunyai akar ciri 8,906 dan 1,094 yang memberikan kontribusi sebesar 89,064% dan 10,936 %. (Lampiran 5a).

Hasil korelasi antar variabel pada sumbu 1 dan 2 (F1xF2) (Gambar 5), menunjukkan bahwa pada sumbu 1 (positif) dicirikan oleh potensial redoks (10,600%), suhu (11,076%), fraksi pasir (11,227%) dan kecepatan arus (11,142%). Sedangkan pada sumbu 1 (negatif) menunjukkan adanya keterkaitan yang cukup besar antara parameter kualitas sedimen dan kualitas perairan yaitu fraksi liat 10,633%), debu (11,220%), pH air (9,645%) dan pH sedimen (9,586%), dan Sumbu 2 positif dicirikan oleh bahan organik (7,417%) dan c-organik (7,454%).

Berdasarkan penyebaran stasiun pengamatan pada sumbu 1 (F1) dan sumbu 2 (F2) yang disajikan pada (Gambar 8) diperoleh dua pengelompokkan. Pengelompokkan tersebut selanjutnya diintegrasikan menggunakan dendogram klasifikasi hirarki, seperti yang ditunjukkan pada (Gambar 8).

Kelompok I yang terdiri dari stasiun III yang dicirikan oleh bahan organik, c-organik, pH air, pH sedimen, dan tekstur substrat berupa debu dan liat. Kandungan bahan organik yang tinggi pada stasiun ini

dimungkinkan karena, kondisi lingkungan yang tenang memiliki komunitas vegetasi tingkat pohon di sepanjang tepi sungai yang menunjang kehidupan komunitas makrozoobentos, pepohonan ini menghasilkan serasah yang kemudian mengendap di dasar perairan dan diurai oleh dekomposer untuk menghasilkan bahan organik yang dibutuhkan makrozoobenthos.

Kelompok II yang terdiri dari stasiun I dan stasiun II dicirikan serta dipengaruhi oleh kecepatan arus, suhu dan tekstur substrat berupa pasir dan potensial redoks. Stasiun-stasiun ini dicirikan dengan ditemukannya 2 jenis makrozoobentos.

Berdasarkan hal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya perbedaan penciri dari masing-masing stasiun karena perbedaan kondisi serta letak stasiun, dimana stasiun I dan II yang merupakan kelompok I berada pada aliran sungai dengan kecepatan arus yang lambat dan stasiun III juga di daerah aliran sungai, namun dengan kondisi lingkungan yang lebih tenang dan kecepatan arus yang sangat lambat dibandingkan stasiun I dan stasiun II.

Berdasarkan analisis PCA pada sumbu 1 parameter kualitas air yaitu suhu, kecepatan arus dan kualitas sedimen yaitu fraksi pasir dan potensial redoks memiliki korelasi yang positif, karena kecepatan arus berhubungan dengan tekstur substrat yang terbentuk, dimana kecepatan arus yang lambat menghasilkan tekstur substrat pasir hingga lumpur. Sebaliknya kecepatan arus yang kuat menghasilkan tekstur substrat terdiri dari batu, kerikil dan pasir hal ini sesuai dengan pernyataan Hynes, 1974 dalam Emiyarti, 2004) bahwa kecepatan arus akan menentukan tipe sedimen, arus kuat mengakibatkan substrat yang terbentuk berupa batu,kerikil sampai pasir sedangkan arus yang lemah menghasilkan tekstur substrat berlumpur atau tanah-organik.

(14)

III I II 0 2000 4000 6000 8000 10000 Jarak Euklidean Dendrogram ST I ST II ST III LTD MEL PTG -2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 -3 -2.5 -2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2 2.5 F2 (3 ,5 7 % ) F1 (96,43 %) Symmetric plot (axes F1 and F2: 100,00 %) Columns Rows

5. Distribusi Spasia Makrozoobenthos terhadap Karakteristik Sedimen

Gambar 7. Grafik Analisis Faktorial Koresponden Stasiun Pengamatan dengan Kelimpahan jenis Makrozoobenthos pada sumbu 1 dan 2

Gambar 8. Dendogram Klasifikasi Hirarki Stasiun Pengamatan terhadap Karateristik Fisika Kimia Air dan Sedimen

Untuk mengetahui hubungan

makrozoobenthos terhadap stasiun pengamatan digunakan Analisi Faktorial Koresponden.

Berdasarkan hasil analisis, spesies

makrozoobenthos terpusat pada 2 sumbu utama (F1 dan F2), dengan masing-masing sumbu

memiliki akar ciri 1,000 dan 0,037 yang

memberikan kontribusi sebesar 96,429% dan 3,571%. (Lampiran 6a).

Grafik hasil Analisis Faktorial Koresponden antara spesies makrozoobenthos dan stasiun pengamatan pada kedua sumbu utama (F1 dan F2) menunjukkan adanya hubungan yang nampak antara spesies makrozoobenthos dengan stasiun pengamatan (Gambar 7).

Kelompok I (Gambar 8) mempunyai kontribusi pada sumbu 1 (positif) terlihat stasiun

I dan stasiun II dengan karateristik sedimen dominan pasir serta kandungan bahan organik yang rendah. Adanya asosiasi antara Potamopyrgus sp. (PTG) dengan karateristik sedimen yang berupa pasir, makrozoobentos jenis ini beradaptasi pada tipe substrat mencakup pasir, lumpur, batu kerikil dan kerikil.

Kelompok II yang terdiri dari stasiun III dengan karateristik sedimen liat dan debu yang tinggi adanya asosiasi yang erat antara spesies Melanoides sp. (MEL) yang merupakan spesies dari kelas Gastropoda, dapat bertahan hidup walaupun adanya perubahan kondisi lingkungan. Makrozoobentos yang berasal dari kelas gastropoda senang hidup pada perairan yang tenang dengan kandungan bahan organik yang cukup tinggi. Hilda dkk., (2006), menyatakan

(15)

bahwa kelompok Gastropoda memiliki kemampuan beradaptasi yang tinggi terhadap lingkungan dan tipe pemakan deposit materi (deposit feeder) di permukaan lumpur. Hasil Analisis Faktorial koresponden menunjukkan bahwa keterkaitan organisme makrozoobenthos dengan tipe sedimen yang disukai dan merupakan kebutuhannya sangat mempengaruhi sifat biologis serta kebiasaan dari organisme makrozoobenthos tersebut.

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan, bahwa : 1. Sungai Tahi Ite yang didasarkan pada

faktor fisika perairan (suhu, kecepatan arus), faktor kimia perairan (pH air, pH sedimen), faktor kimia sedimen (Bahan organik, C-organik) masih dapat

memenuhi untuk kehidupan

makrozoobenthos, Namun salah satu Faktor kimia sedimen (potensial redoks) menunjukkan kondisi lingkungan sedimen sudah terganggu.

2. Kelimpahan makrozoobenthos di perairan Sungai Tahi Ite tergolong sangat rendah, dan hanya 1 kelas saja yang ditemukan selama penelitian yaitu berasal dari kelas Gastropoda. Keanekaragaman (H’) 0-0151,

keseragaman (E) 0-0,317,

makrozoobenthos di perairan Sungai Tahi Ite ini tergolong rendah dan spesies Melanoides sp. yang mendominasi dengan pola penyebaran mengelompok. Hal ini menunjukkan adanya tekanan ekologis yang terjadi pada lingkungan.

Persantunan

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua dan seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penelitian dan skripsi ini. Daftar Pustaka

Bengen, D.G. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Biofisik Sumberdaya Pesisir. PKSPL. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 85 hal. Dharma, B. 1988. Siput dan Kerang Indonesia. Shelis

II. Lipi. Jakarta.

Effendi, H. 2003. Telaah kualitas Air. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 258 hal.

Emiyarti. 2004. Karateristik Fisika Kimia Sedimen dan Hubungannya dengan Struktur Komunitas Makrozoobentos di Perairan Teluk Kendari. Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor. 95 hal. Hadi I.S. 2009. Penambangan Emas Letakan Oleh

Masyarakat Bombana dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan.

Hermanto, W.K.M. 2010. Kandungan Bahan Organik pada Sedimen di Perairan Teluk Buyat dan Sekitarnya. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Unsrat. Manado. Vol. Vi-3, Desember 2010.

Hidayah, Z. 2003. Pengaruh Kondisi Sedimen Terhadap Struktur Komunitas Makrozoobenthos di muara Sungai Donan Cilaap Jawa Tengah. Skripsi Sarjana. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 28 hal.

Hilda, Z, Setiawan D. 2011. Struktur Komunitas Makrozoobentos di Perairan Sungai Musi Kawasan Pulokerto sebagai Instrumen Biomonitoring. Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sriwijaya, Sumatera Selatan. Oktober 2011: 95-99.

Mallawa, A. 2006. Pengelolaan Ikan Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. Lokakarya Agenda Penelitian Program Coremap II Kabupaten Selayar.

Muhyin, Muh. 2006. Struktur komunitas dan kaitannya dengan karateristik sedimen di areal sekitar penempatan tailing di PT. Newmont Nusa Tenggara. Skripsi Sarjana. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. 68 hal.

Nybakken, J.W. 1998. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis (Terjemahan Eidman, H, M). Penerbit PT. Gramedia. Jakarta. 459 hal.

Odum, E. P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi (Terjemahan Samingan, T). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 574 hal.

Ompi, M., L. Effendi, B. Zottoli dan Moringka, 1990. Sedimen dan Hubungannya dengan Komunitas Molluska di Gugusan Pulau Pari Kepulauan Seribu, Jakarta. Jurnal Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor, Bogor 1 (2) : 125-131. Prihatiningsih. 2004. Struktur Komunitas

Makrozoobentos di Perairan Teluk Jakarta. Skripsi Sarjana. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. 59 hal.

Razak, A. 2002. Dinamika Karakteristik Fisika-Kimia Sedimen dan Hubungannya dengan Struktur Komunitas Moluska (Bivalvia dan Gastropoda) di Muara Bandar Bakali Padang. Program Pasca Sarjana Institut Pertania Bogor. Bogor. 106 Hal.

Gambar

Gambar 1. Suhu Air pada Setiap Stasiun Pengamatan.
Gambar 2. Kecepatan Arus pada Setiap Stasiun Pengamatan.
Tabel 1. Nilai Rata-rata Presentase Tekstur dan Tipe Sedimen pada Setiap Stasiun  Penelitian  Stasiun
Tabel 2. Rerata pH Sedimen dan Potensial Redoks
+6

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil isolasi sampel pus pasien penderita ulkus diabetes pasien rawat inap di RSUD Dr.. Moewardi pada media Mac Conkey, menunjukkan bahwa 12 sampel pus

1) KUR melalui lembaga linkage dengan pola channeling berdasarkan dengan lampiran Permenko No. 8 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat:.. Lembaga

Yaitu : “Jika dua jenis unsur dapat membentuk lebih dari satu macam senyawa, maka perbandingan massa salah satu unsur yang terikat pada massa unsur lain yang sama,

Tidak banyak orang yang mengetahui kemunduran ekonomi mereka juga mempengaruhi sisi sosial dan budaya.. Menurut Claude Guillot seorang peneliti yang pernah mengkaji

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa gaya kelekatan adalah kecenderungan perilaku anak atau individu untuk mencari dan berusaha mempertahankan kedekatan

Penelitian ini diharapakan dapat memberikan pedoman informasi serta mengembangkan pengetahuan perusahaan segi faktor-faktor yang mempengaruhi loyalitas konsumen. Penelitian

memberikan arahan, masukan dalam mengambil mata kuliah serta bimbingan mengenai akademik selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Téh Anggun sareng Tari salaku batur caket di kosan anu sasarengan silih bantosan, sami-sami nyiar élmu, sareng tebih ti sepuh anu teu weléh nyumangetan