• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PERBEDAAN FAKTOR DEMOGRAFI DALAM STRATEGI PENANGGULANGAN STRES KERJA : STUDI KASUS DINAS KESEHATAN KOTA BOGOR YANI INAYANI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS PERBEDAAN FAKTOR DEMOGRAFI DALAM STRATEGI PENANGGULANGAN STRES KERJA : STUDI KASUS DINAS KESEHATAN KOTA BOGOR YANI INAYANI"

Copied!
162
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PERBEDAAN FAKTOR DEMOGRAFI DALAM

STRATEGI PENANGGULANGAN STRES KERJA :

STUDI KASUS DINAS KESEHATAN KOTA BOGOR

YANI INAYANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ANALISIS PERBEDAAN FAKTOR DEMOGRAFI DALAM

STRATEGI PENANGGULANGAN STRES KERJA :

STUDI KASUS DINAS KESEHATAN KOTA BOGOR

YANI INAYANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Perbedaan Faktor Demografi dalam Strategi Penanggulangan Stres Kerja : Studi Kasus Dinas Kesehatan Kota Bogoradalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2011

Yani Inayani NRP H 251070081

(4)

ABSTRACT

YANI INAYANI. An Analysis of the Demographic Differences Factors in Job Stress Coping Strategies (A Case Study of The Bogor Health Department). Under direction of AIDA VITAYALA HUBEIS and AJI HERMAWAN.

ABSTRACT

Stress can be influenced by several factors including demographic factors such as gender, age and education level. Based on Epstein research (1986), one method that can be used to cope with stress is a Constructive Thinking. Several studies conducted in overseas have shown positive response towards the implementation of Constructive Thinking methods for reducing stress in the workplace. However, whether this theory can also be adopted in Indonesia, especially to cope with stress among the government employees? On that basis, the aim of this study are as follows: (1) To enquire the constructive thinking level of employee at Bogor Health Department (2). To analyze the differences in demographic factors (gender, age and education level) in a stress reduction strategy at Bogor Health Department.. Based on ANOVA (analysis of variance), the result showed that there were no differences of how stress was coped based both sex and age of the employee either as Global Constructive Thinking or six sub-scales from Constructive Thinking Inventory, only to education level factor i.e. Personal Superstitious Thinking and Naive Optimism that shown significantly different. Beside that, there were significantly different result obtained between male n female employees with the bachelor degree for the Categorical Thinking scale, betwen male n female employees with the bachelor degree range from 21 to 32 years old for Global Constructive Thinking and range 45 to 56 years old for Behavioral Coping and Categorical Thinking scales.The other hand, there were significantly different result obtain between male n female employees with non degree range from 33 to 44 years olds for Naive Optimism Scale.

Keywords: job stress, demographic factors, coping stress strategy, constructive thinking theory, constructive thinking inventory, analysis of the difference (ANOVA)

(5)

RINGKASAN

YANI INAYANI. Analisis Perbedaan Faktor Demografi dalam Strategi Penanggulangan Stres Kerja: Studi Kasus Dinas Kesehatan Kota Bogor. Dibimbing oleh AIDA VITAYALA HUBEIS dan AJI HERMAWAN.

Pembangunan nasional yang makin meluas dan kompleks dengan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih memerlukan peningkatan kemampuan di bidang perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan dalam manajemen pembangunan. Pegawai Negeri Sipil (PNS) merupakan tulang punggung pemerintah dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan. Peran tersebut harus dijalankan dengan efisien, efektif, bersih dan berwibawa. Hal ini dikarenakan penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik sangat ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusianya. Dinas Kesehatan Kota Bogor, adalah salah satu instansi pemerintah yang berperan memberikan pelayanan kesehatan kepada publik. Dalam rangka memberikan yang maksimal dan profesional untuk kepentingan dan kebutuhan pelayanan kesehatan publik seringkali memicu timbulnya stres dalam pekerjaan.

Dalam lingkungan kerja Dinas Kesehatan Kota Bogor, setiap pegawai dituntut untuk dapat melaksanakan pekerjaan sesuai dengan jabatan dan perbedaan tingkat pendidikan, hal ini seringkali memicu terjadinya demotivasi pada diri pegawai dalam melakukan pekerjaan, karena jika pembagian pekerjaan tidak sesuai dengan jabatan dan perbedaan tingkat pendidikanya dapat berakibat pada timbulnya stres kerja. Faktor perbedaan usia pegawai akan menyebabkan perbedaan dalam cara berkomunikasi dan kecepatan beradaptasi terhadap pemanfaatan teknologi, sementara itu perbedaan jenis kelamin juga cukup berpengaruh terhadap respon tindakan yang dilakukan pegawai untuk menghadapi stres kerja. Beberapa penelitian mendapatkan bahwa seringkali pegawai perempuan lebih sering menghadapi stres kerja karena perannya di tempat kerja dan di rumah. Peran ganda yang harus dijalani baik sebagai ibu rumah tangga maupun sebagai pegawai seringkali memicu timbulnya stres kerja.

Untuk mengatasi hal tersebut, Dinas Kesehatan Kota Bogor harus menyadari dan memahami bahwa penyebab stres dalam pekerjaan harus juga disertai dengan pemahaman terhadap penanggulangannya. Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam mengatasi stres kerja. Metode-metode ini biasa disebut sebagai coping stress strategy atau metode coping. Metode ini banyak digunakan pada penelitian-penelitian tentang psikologi manusia. Salah satu metode copingstress yang dapat digunakan adalah metode Constructive Thinking. Metode Constructive Thinking ini pertama kali diperkenalkan oleh Epstein (1986). Constuctive Thinking adalah suatu metode untuk berpikiran konstruktif yang dapat membantu individu menanggulangi permasalahan stres kerja. Metode ini didasarkan pada respon individu terhadap suatu permasalahan atau tekanan yang dihadapi. Epstein menyatakan bahwa kemampuan dalam mengontrol emosi dan pikiran sangat mempengaruhi kemampuan dalam mengontrol tingkat stres individu. Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah penelitian ini: 1) Bagaimanakah tingkat Constructive Thinking pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor? 2) Apakah terdapat perbedaan faktor demografi (jenis kelamin, usia dan

(6)

pendidikan) dalam strategi menanggulangi stres kerja pada pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor.

Penelitian dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Bogor. Pengumpulan data penelitian dilakukan pada Bulan Mei 2010, sedangkan pengolahan dan interpretasi data dilakukan pada Bulan Agustus – Oktober 2010. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan Nonprobability Sampling yaitu Quota Sampling. Quota Sampling merupakan metode penetapan sampel dengan menentukan quota terlebih dahulu pada masing-masing kelompok. Survei dilakukan pada seluruh pegawai berdasarkan data internal Dinas Kesehatan Kota Bogor.

Untuk mengukur tingkat Constructive Thinking digunakan Constructive Thinking Inventory yang diukur melalui 108 pernyataan yang terdiri dari 1(satu) skala global dan 6(enam) sub-skala yaitu behavioral coping, emotional coping, personal superstitious thinking, categorical thinking, esoteric thinking dan naïve optimis. Sedangkan untuk menguji adanya perbedaan digunakan Analysis of Variance (ANOVA) yang dasar pengambilan keputusannya adalah :

- Jika Fhitung < Ftabel atau probabilitasnya > 0,1, maka H0 diterima

- Jika Fhitung > Ftabel atau probabilitasnya < 0,1, maka H0 ditolak

Hasil penelitian menunjukkan karakteristik responden dibedakan berdasarkan faktor demografi yaitu berjenis kelamin wanita (68,9%), pria (31,1%) dengan rentang usia 21 – 32 tahun (22,3%); 33 – 34 tahun (42,5%); 45 – 56 tahun (34,8%) dan > 56 tahun (0,4%), sedangkan untuk tingkat pendidikan Sarjana (33,7%) dan Non Sarjana (66,3%).

Berdasarkan hasil perhitungan rataan dari Constructive Thinking Inventory (CTI) maka dapat disimpulkan tingkat Constructive Thinking pada pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor secara keseluruhan sudah memiliki kempampuan berpikir konstruktif, hal tersebut dapat dilihat dari: a) berdasarkan perbedaan jenis kelamin, pegawai laki-laki dan perempuan cenderung mampu berpikir konstruktif, dan memiliki sikap antusias, terbuka, netral dan cenderung optimis unrealistik; b) berdasarkan perbedaan usia, pegawai dari berbagai tingkatan usia cenderung mampu berpikir konstruktif dan antusias. Pegawai berusia 21-56 tahun lebih berpikir terbuka dan fleksibel namun terkadang terlalu bersikap optimis yang tidak realistis. Pegawai berusia di atas 56 tahun berpikir lebih ofensif dan netral; dan c) berdasarkan perbedaan tingkat pendidikan, pegawai lulusan sarjana maupun non sarjana cenderung mampu berpikir konstruktif dan memiliki sikap antusias, terbuka, netral dan terkadang bertindak optimis unrealistis.

Berdasarkan analisis ANOVA maka didapatkan hasil analisis perbedaan faktor demografi dalam menanggulangi stres kerja, sebagai berikut : a) tidak terdapat perbedaan nyata yang signifikan berdasarkan perbedaan jenis kelamin baik secara Global Constructive Thinking maupun terhadap 6 (enam) sub-skala dari Constructive Thinking Inventory (CTI), artinya baik pegawai pria maupun wanita memiliki cara yang tidak berbeda nyata dalam berpikir konstruktif dalam menanggulangi stres kerja; b) tidak terdapat perbedaan nyata yang signifikan berdasarkan perbedaan tingkat usia baik secara Global Constructive Thinking maupun terhadap enam sub-skala dari Constructive Thinking Inventory (CTI), artinya baik pegawai berusia tua maupun muda memiliki cara yang tidak berbeda nyata dalam berpikir konstruktif dalam menanggulangi stres kerja; c) berdasarkan perbedaan tingkat pendidikan secara Global Constructive Thinking dan 4 (empat)

(7)

sub-skala Behavioral Coping, Emotional Coping, Categorical Thinking dan Esoteric Thinking dari Constructive Thinking Inventory (CTI) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata, akan tetapi terdapat dua sub-skala lainnya yaitu Personal Supertitious Thinking dan Naive Optimism menunjukkan hasil yang berbeda nyata, dimana pegawai sarjana lebih cenderung bersikap optimis yang realistis dan cenderung bersikap defensif dibandingkan pegawai non sarjana dalam menanggulangi stres kerja; d) terdapat perbedaan nyata yang signifikan antara pegawai pria dan wanita sarjana, yaitu pada sub-skala Categorical Thinking, dimana pegawai pria sarjana lebih bersikap fleksibel dibandingkan pegawai wanita yang sarjana dalam menanggulangi stres kerja; e) terdapat perbedaan nyata yang disignifikan antara pegawai pria dan wanita sarjana pada rentang usia 21-32 tahun, yaitu pada skala Global Constructive Thinking, dimana pegawai pria sarjana lebih berpikir konstruktif dibandingkan pegawai wanita sarjana pada usia tersebut dalam menanggulangi stres kerja; f) terdapat perbedaan nyata yang signifikan antara pegawai pria dan wanita sarjana pada rentang usia 45-56 tahun, khususnya pada dua sub-skala, yaitu Behavioral Coping dan Categorical Thinking, dimana pegawai pria sarjana pada rentang usia 45-56 lebih bersikap antusias dan fleksibel dibandingkan pegawai wanita sarjana pada usia tersebut dalam menanggulangi stres kerja; g) terdapat perbedaan nyata yang signifikan antara pegawai pria dan wanita non sarjana pada rentang usia 33-44 tahun, yaitu pada sub-skala Naive Optimism, pegawai wanita non sarjana dengan rentang usia 33-44 tahun lebih bersikap optimis dibandingkan pegawai pria non sarjana dalam menanggulangi stres kerja.

Pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor perlu mempertahakan berpikiran konstruktif dan memiliki sikap antusias, terbuka, ofensif, fleksibel, berpikiran logis, optimis sehingga terus bersemangat dalam menyelesaikan pekerjaannya dan lebih realistis dalam menentukan hasil akhir yang diinginkan. Pihak manajemen dapat mempertahankan asas persamaan hak antara pegawai pria dan wanita dalam menempati suatu posisi jabatan dalam pekerjaan sehingga tidak menimbulkan kesenjangan. Perlunya mempertimbangkan kesesuaian perbedaan tingkat pendidikan dengan posisi dan pekerjaan yang diberikan, Adanya perbedaan tingkat usia akan menimbulkan permasalahan tersendiri bagi manajemen, sehingga diharapkan pihak manajemen mempertahankan dan meningkatkan kemampuan berkomunikasi antar lintas generasi yang selama ini telah berhasil diterapkan sehingga pegawai dapat menerjemahkan tugas yang diberikan dengan baik. Diklat pengembangan diri dan kepemimpinan serta pelatihan-pelatihan lain yang sifatnya membantu pegawai memiliki kemampuan yang lebih baik perlu rutin diselenggarakan. Diklat kepemimpinan akan membentuk pegawai untuk bertindak pro-aktif dalam mencari pemecahan persoalan, sehingga cenderung terhindar dari stres di tempat kerja akibat tidak mampu mencari solusi permasalahan dan tekanan yang didapatkannya. Adanya keterbasan peneliti dalam penelitian ini, perlu kiranya dilakukan kajian lebih lanjut dalam upaya penanggulangan stres kerja berdasarkan metode Constructive Thinking.

Kata kunci : stres kerja, faktor demografi, strateg coping stres, teori berpikir konstruktif, constructive thinking inventory, analysis of the difference (ANOVA)

(8)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(9)

ANALISIS PERBEDAAN FAKTOR DEMOGRAFI DALAM

STRATEGI PENANGGULANGAN STRES KERJA:

STUDI KASUS DINAS KESEHATAN KOTA BOGOR

YANI INAYANI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Ilmu Manajemen

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

(10)
(11)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : Analisis Perbedaan Faktor Demografi dalam Strategi Penanggulangan Stres Kerja: Studi Kasus Dinas Kesehatan Kota Bogor

Nama Mahasiswa : Yani Inayani Nomor Pokok : H 251070081

Mayor : Ilmu Manajemen

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Aida Vitayala Hubeis Dr.Ir. Aji Hermawan, MM. Ketua Anggota

Diketahui,

Mayor Ilmu Manajemen Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Koordinator,

Dr. Ir. Abdul Kohar I, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNYA sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Selama penelitian dan penyusunan tesis, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Ir. Aida Vitayala Hubeis dan Bapak Dr. Ir. Aji Hermawan, MM selaku ketua dan anggota komisi pembimbing atas arahan, kesabaran dan ilmu yang diberikan kepada penulis.

2. Bapak Prof.Dr.Ir. Sjafri Mangkuprawira sebagai Penguji Luar Komisi.

3. Bapak Dr.Ir. Abdul Kohar I, M.Sc sebagai Ketua Program Mayor Ilmu Manajemen Pascasarjana.

4. Bapak Dr.Ir.Mamun Sarma,MS.MEC sebagai Sekretaris Program Mayor Ilmu Manajemen Pascasarjana

5. Pihak-pihak di Dinas Kesehatan Kota Bogor terutama kepada Ibu Sarti, Ibu Heni, Bapak Sakli dan Bapak Aceng yang membantu penulis selama pengumpulan data

6. Kedua orang tua (Alm) yang tercinta atas kepercayaan dan dukungan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan studi ini.

7. Suami (Yulianto) dan Anak-anak (Ezar, Fachreza, Hanifah, Selma, Syarif dan Zulhen) atas dukungan yang luar biasa, doa dan kasih sayangnya.

8. Kakakku Heni Hidayani dan keluarga atas dukungan yang luar biasa, doa dan kasih sayangnya

9. Teman-teman Mayor Ilmu Manajemen 2007 : Hino, Rima, Hanifah, Dian, Henry dan John atas kebersamaannya selama perkuliahan

10.Rani Purwita, Lusiana, Erna, Secilia, Bram Setyadji, Dr.Agus Purnomo, Galang, M.Nur Slamet, Akhmad Sholeh dan Munawwarah Sunusi yang memberikan dukungan dan canda tawanya

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2011 Yani Inayani

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 17 Agustus 1965 sebagai anak ketiga dari enam bersaudara dari pasangan Muktari Asmadi (Alm) dan Sri Maonah (Alm). Tahun 1977 penulis lulus dari Pendidikan Sekolah Dasar dilaksanakan di SD Negeri Silih Asuh I Cirebon, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 2 Cirebon, lulus pada tahun 1981. Tahun 1984 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Cirebon. Pendidikan sarjana ditempuh di STIE Gotong Royong (MKGR) Jakarta pada Program Studi Ekonomi dan Manajemen , lulus tahun 2006. Pada tahun 2007 penulis diterima di Ilmu Manajemen, Sekolah Pascasarjana IPB. Pengalaman kerja penulis diawali sebagai pegawai Depot Logistik, Jawa Barat (DOLOG JABAR), Bandung, dari Tahun 1984 s/d Tahun 1988; Pegawai Konsorsium Hutama Karya–Yala Persada–Jaya Konstruksi, Jakarta dari Tahun 1988 s/d 1989 pada Proyek Pembangunan Jalan Layang Cawang – Tanjung Priok; Pegawai PT. Encona Engineering Inc., Jakarta dari Tahun 1989 s/d 1990; Terakhir penulis bekerja sebagai Pegawai PT. Bank Bukopin, Tbk Pusat, Jakarta dari Tahun 1990 s/d 2004 dan pegawai PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Bogor dari 2005 s/d pensiun dini pada Desember 2007.

(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxiii

DAFTAR GAMBAR ... xxv

DAFTAR LAMPIRAN ... xxvii

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 4

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Definisi Stres ... 7

2.1.1 Sumber-Sumber Penyebab Terjadinya Stres Kerja ... 9

2.1.2 Strategi Coping ... 10

2.1.3 Manajemen Stres ... 10

2.1.4 Identifikasi Stres dan Pemodelan Manajemen Stres ... 12

2.2 Teori Pemikiran Konstruktif (Constructive Thinking Theory) .... 13

2.3 Konsep Constructive Thinking Inventory ... 16

2.4 Hubungan Stres dan Pekerjaan ... 17

2.5 Dampak dari faktor Demografi terhadap Stres Kerja ... 19

2.5.1 Perbedaan Jenis Kelamin dalam Menanggulangi Stres Kerja ... 19

2.5.2 Perbedaan Usia dalam Menanggulangi Stres Kerja ... 21

2.5.3 Perbedaan Tingkat Pendidikan dalam Menanggulangi Stres Kerja ... 22

3 METODOLOGI ... 25

3.1 Kerangka Pemikiran ... 25

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 27

3.3 Jenis Data dan Sumbernya ... 27

3.4 Teknik Pengambilan Sampel ... 27

3.5 Metode Pengumpulan Data ... 29

3.5.1 Uji Validitas ... 29

3.5.2 Uji Reliabilitas ... 29

3.6 Hipotesis ... 30

3.7 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 31

3.7.1 Analisis Deskriptif ... 32

3.7.2 Uji ANOVA ... 33

(15)

3.7.4 Definisi Operasional Skala Global dan 6 (enam) Sub-skala

dari Constructive Thinking Inventory ... 37

4 GAMBARAN UMUM DINAS KESEHATAN KOTA BOGOR .. 41

4.1 Sejarah Singkat ... 41

4.2 Visi, Misi, Kebijakan dan Program ... 44

4.2.1 Visi ... 44

4.2.2 Misi ... 45

4.2.3 Kebijakan dan Program ... 46

4.3 Sarana dan Prasarana ... 46

4.4 Pengembangan Karir Pegawai ... 47

5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 49

5.1 Hasil Uji Validitas dan Realibilitas Kuesioner ... 49

5.2 Karakteristik Pegawai ... 50

5.2.1 Jenis Kelamin ... 51

5.2.2 Usia ... 52

5.2.3 Tingkat Pendidikan ... 53

5.3 Analisis Perbedaan Faktor Demografi ... 54

5.3.1 Analisis Perbedaan Jenis Kelamin terhadap Hasil Constructive Thinking Inventory (CTI) ... 55

5.3.2 Analisis Perbedaan Usia terhadap Hasil Constructive Thinking Inventory (CTI) ... 64

5.3.3 Analisis Perbedaan Tingkat Pendidikan terhadap Hasil Constructive Thinking Inventory (CTI) ... 73

5.3.4 Analisis Perbedaan jenis kelamin pegawai Sarjana dan Non Sarjana terhadap Hasil Constructive Thinking Inventory (CTI) ... 81

5.3.5 Analisis Perbedaan Jenis Kelamin pegawai Sarjana dan Non Sarjana terdasarkan Usia terhadap Hasil Constructive ThinkingInventory (CTI) ... 83

5.4 Implikasi Manajerial ... 95

6 SIMPULAN DAN SARAN ... 99

6.1 Simpulan ... 99

6.2 Saran ... 101

DAFTAR PUSTAKA ... 103

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Penyebab stres kerja ... 9

2. Penanggulangan stres secara individual dan organisasi ... 12

3. Model Pengukuran Identifikasi dan Manajemen Stres (Coping Strategy) ... 13

4. Jenis dan sumber data penelitian ... 27

5. Jumlah Populasi pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor ... 28

6. Jumlah sampel penelitian ... 28

7. Skala Likert pendapat responden ... 32

8. Pengamatan pada desain randomisasi lengkap ... 33

9. Tabel ANOVA ... 35

10. Klasifikasi Rentang Kriteria skala pengukuran dari CTI dan maknanya ... 36

11. Sarana Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Bogor ... 47

12. Kategori Pangkat PNS Dinas Kesehatan Kota Bogor ... 48

13. Hasil uji validitas dan reliabilitas kuesioner ... 50

14. Jumlah pegawai berdasarkan jenis kelamin ... 51

15. Jumlah pegawai berdasarkan kelompok usia ... 52

16. Jumlah pegawai berdasarkan tingkat pendidikan ... 53

17. Rataan dan standar deviasi ANOVA berdasarkan Jenis Kelamin ... 56

18. Hasil Klasifikasi Rentang Kriteria dari CTI berdasarkan Jenis Kelamin ... 58

19. Hasil ANOVA untuk perbedaan Jenis Kelamin ... 60

20. Rataan dan standar deviasi ANOVA berdasarkan Usia ... 65

21. Hasil Klasifikasi Rentang Kriteria dari CTI berdasarkan Usia ... 66

22. Hasil ANOVA untuk perbedaan usia ... 69

23. Rataan dan standar deviasi ANOVA berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 74

24. Hasil Klasifikasi Rentang Kriteria dari CTI berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 75

(17)

25. Hasil ANOVA untuk perbedaan Tingkat Pendidikan ... 78 26. Rataan dan standar deviasi ANOVA berdasarkan Jenis Kelamin

pegawai Sarjana dan Non Sarjana ... 81 27. Hasil ANOVA untuk perbedaan Jenis Kelamin berdasarkan pegawai

Sarjana dan Non Sarjana ... ... 83 28. Rataan dan standar deviasi ANOVA berdasarkan Jenis Kelamin rentang Usia 21-32 tahun ... 85 29. Hasil Klasifikasi Rentang Kriteria dari CTI berdasarkan Jenis Kelamin pegawai Sarjana rentang Usia 21-32 tahun ... 85 30. Hasil ANOVA untuk perbedaan Jenis Kelamin pegawai Sarjana

rentang Usia 21-32 tahun ... 86 31. Rataan dan standar deviasi ANOVA berdasarkan Jenis Kelamin

pegawai Sarjana rentang Usia 45-56 tahun ... 88 32. Hasil Klasifikasi Rentang Kriteria dari CTI pegawai pria dan wanita

Sarjana rentang Usia 45-56 tahun ... ... 89 33. Hasil ANOVA perbedaan Jenis Kelamin pegawai Sarjana rentang Usia 45-56 tahun ... 91 34. Rataan dan standar deviasi ANOVA berdasarkan Jenis Kelamin

pegawai pria dan wanita Non Sarjana rentang Usia 33-44 tahun ... 92 35. Hasil Klasifikasi Rentang Kriteria dari CTI pegawai pria dan wanita Non Sarjana rentang usia 33-44 tahun ... 93 36. Hasil ANOVA perbedaan Jenis Kelamin pada pegawai Non Sarjana rentang Usia 33-44 tahun ... 94

(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Siklus Stres (Phillips, 1995) ... 8 2. Bagan Kerangka Pemikiran Penelitian ... 26 3. Struktur organisasi Dinas Kesehatan Kota Bogor ... 42

(19)
(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Kuesioner Penelitian ... 109

2. Hasil uji validitas dan reliabilitas untuk sub-skala Behavioral Coping ... 116

3. Hasil uji validitas dan reliabilitas untuk sub-skala Emotional Coping ... 117

4. Hasil uji validitas dan reliabilitas untuk sub-skala Personal Superstitious Thinking ... 118

5. Hasil uji validitas dan reliabilitas untuk sub-skala Categorical Thinking ... 119

6. Hasil uji validitas dan reliabilitas untuk sub-skala Esoteric Thinking ... 120

7. Hasil uji validitas dan reliabilitas untuk sub-skala Naive Optimism ... 121

8. Hasil uji ANOVA untuk Skala Global Constructive Thinking (GCT) ... 122

9. Hasil uji ANOVA untuk Jenis Kelamin ... 124

10. Hasil uji ANOVA untuk Tingkat Pendidikan ... 125

11. Hasil uji ANOVA untuk Usia ... 126

12. Hasil uji ANOVA antara pegawai pria dan wanita Sarjana . ... 128

13. Hasil uji ANOVA antara pegawai pria dan wanita Non Sarjana ... 129

14. Hasil uji ANOVA pegawai pria dan wanita Sarjana rentang 21 – 32 tahun ... 130

15. Hasil uji ANOVA antara pegawai pria dan wanita Sarjana rentang usia 33 – 44 tahun ... 131

16. Hasil uji ANOVA antara pegawai pria dan wanita Sarjana rentang usia 45 – 56 tahun ... 132

17. Hasil uji ANOVA antara laki pegawai pria dan wanita sarjana rentang usia >56 tahun ... 133

(21)

18. Hasil uji ANOVA antara pegawai pria dan wanita Non Sarjana

rentang usia 21 – 32 tahun ... 134 19. Hasil uji ANOVA antara pegawai pria dan wanita Non Sarjana

rentang usia 33 – 44 tahun ... 135 20. Hasil uji ANOVA antara pegawai pria dan wanita non sarjana rentang

(22)

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pembangunan nasional yang makin meluas dan kompleks dengan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih memerlukan peningkatan kemampuan di bidang perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan dalam manajemen pembangunan. Pegawai Negeri Sipil (PNS) merupakan tulang punggung pemerintah dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan. Peran tersebut harus dijalankan dengan efisien, efektif, bersih dan berwibawa. Hal ini dikarenakan penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik sangat ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusianya.

Dinas Kesehatan Kota Bogor, adalah salah satu instansi pemerintah yang berperan memberikan pelayanan kesehatan kepada publik. Melalui Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor. 14, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4262) dan Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 13 Tahun 2004, tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Daerah Tahun 2004 Nomor 4 Seri D) mengharuskan Pemerintah Daerah Kota Bogor, khususnya pada Dinas Kesehatan Kota Bogor untuk terus berupaya meningkatkan kualitas sumberdaya manusianya. Hal ini perlu dilakukan karena sumberdaya manusia yang berkualitas merupakan salah satu kunci kesuksesan dalam memberikan pelayanan khususnya di bidang kesehatan masyarakat. Selain itu, sumberdaya manusia yang berkualitas diharapkan dapat mendukung aktivitas organisasi seluruh unit satuan kerja pada Dinas Kesehatan Kota Bogor dalam rangka memberikan pelayanan yang maksimal dan profesional untuk kepentingan dan kebutuhan pelayanan kesehatan publik.

Secara umum, masyarakat sering memandang bahwa menjadi pegawai negeri adalah pekerjaan yang paling menyenangkan. Beban pekerjaannya tidak berat dan terlihat santai dalam melakukan pekerjaannya. Dalam beberapa kasus hal ini memang tidak dapat dipungkiri, namun demikian pada kenyataannya, pegawai negeri mengalami juga stres dalam pekerjaannya, sebagaimana yang terjadi pada Dinas Kesehatan Kota Bogor.

(23)

Dinas Kesehatan Kota Bogor telah berupaya memberikan pelayanan yang maksimal dan profesional, akan tetapi dalam upaya yang selama ini dilakukan oleh seluruh jajarannya seringkali memicu timbulnya stres dalam pekerjaan. Stres dalam pekerjaan yang ditimbulkannya disebabkan oleh beberapa faktor , yaitu timbul dari pribadi pegawai itu sendiri, karena pemberian pekerjaan yang terlalu berlebihan ataupun terlalu sedikit, adanya konflik ditempat kerja, kondisi di tempat kerja dan hubungan antar personal terutama terkait perbedaan faktor demografi yang ada, yaitu perbedaan jenis kelamin, rentang usia dan tingkat pendidikan .

Dalam lingkungan kerja Dinas Kesehatan Kota Bogor, setiap pegawai dituntut untuk dapat melaksanakan pekerjaan sesuai dengan jabatan dan perbedaan tingkat pendidikan. Hal ini seringkali memicu terjadinya demotivasi pada diri pegawai dalam melakukan pekerjaan, karena jika pembagian pekerjaan tidak sesuai dengan jabatan dan perbedaan tingkat pendidikanya dapat berakibat pada timbulnya stres kerja.

Faktor perbedaan usia pegawai akan menyebabkan perbedaan dalam cara berkomunikasi dan kecepatan beradaptasi terhadap pemanfaatan teknologi. Begitu pula yang terjadi pada Dinas Kesehatan Kota Bogor, pegawai dengan usia lebih tua memiliki kecenderungan untuk tidak memanfaatkan kecanggihan teknologi dengan maksimal, seperti dalam hal menggunakan perangkat lunak komputer, sehingga hal tersebut merupakan ancaman bagi pegawai yang berusia tua, akan tetapi bagi pegawai berusia muda adanya perubahan teknologi memiliki tantangan yang menyenangkan karena akan mempermudah dalam melakukan pekerjaannya.

Disamping itu, perbedaan jenis kelamin juga cukup berpengaruh terhadap respon tindakan yang dilakukan pegawai untuk menghadapi stres kerja. Beberapa penelitian mendapatkan bahwa seringkali pegawai wanita lebih sering menghadapi stres kerja karena perannya di tempat kerja dan di rumah. Peran ganda yang harus dijalani baik sebagai ibu rumah tangga maupun sebagai pegawai seringkali memicu timbulnya stres kerja.

Pada umumnya, pegawai dapat mudah merasa stres ketika menghadapi satu masalah dalam pekerjaannya, sebaliknya ada yang mampu mengatasinya dengan baik. Stres juga memiliki dampak yang saling bertolak belakang, di satu sisi stres

(24)

yang masih dalam tingkat kewajaran dapat menjadi pendorong bagi pegawai dalam melakukan pekerjaannya, di sisi lain tingkat stres yang tinggi dapat menjadi suatu masalah yang harus segera diatasi oleh pegawai dan organisasi. Sebab dapat menurunkan produktivitas pegawai dan memberikan dampak negatif bagi organisasi.

Untuk mengatasi hal tersebut, Dinas Kesehatan Kota Bogor harus menyadari dan memahami bahwa penyebab stres dalam pekerjaan harus juga disertai dengan pemahaman terhadap penanggulangannya. Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam mengatasi stres kerja. Metode-metode ini biasa disebut sebagai coping stress strategy atau metode coping. Metode ini banyak digunakan pada penelitian-penelitian tentang psikologi manusia. Salah satu metode copingstress yang dapat digunakan adalah metode Constructive Thinking.

Metode Constructive Thinking ini pertama kali diperkenalkan oleh Epstein (1986). Constuctive Thinking adalah suatu metode untuk berpikiran konstruktif yang dapat membantu menanggulangi permasalahan stres kerja. Metode ini didasarkan pada respon individu terhadap suatu permasalahan atau tekanan yang dihadapi. Epstein menyatakan bahwa kemampuan dalam mengontrol emosi dan pikiran sangat mempengaruhi kemampuan dalam mengontrol tingkat stres individu.

Beberapa penelitian yang telah banyak dilakukan di luar negeri telah menunjukkan respon yang positif terhadap implementasi metode Constructive Thinking untuk mengurangi stres kerja. Namun demikian apakah teori ini juga dapat diadopsi di Indonesia terutama untuk mengatasi stres kerja di kalangan pegawai negeri? Hal ini menarik untuk dipelajari terutama kaitannya dengan beberapa faktor demografi seperti perbedaan jenis kelamin, usia dan tingkat pendidikan.

1.2 Perumusan Masalah

Dari uraian kondisi permasalahan yang terjadi di Dinas Kesehatan Kota Bogor, maka berdasarkan pra studi dan wawancara dengan pegawai, terlihat bahwa perlunya mengetahui tingkat pola pikir konstruktif dan perbedaan cara penanggulangan stres kerja berdasarkan faktor demografi (jenis kelamin, usia dan

(25)

tingkat pendidikan) pada pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor, sehingga dapat dirumuskan beberapa permasalahan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimanakah tingkat Constructive Thinking pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor?

2. Apakah terdapat perbedaan faktor demografi (jenis kelamin, usia dan pendidikan) dalam strategi penanggulangan stres kerja pada pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor?

1.3 Tujuan Penelitian

Merujuk pada rumusan masalah di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan, yaitu :

1. Mengetahui sejauh mana tingkat Constructive Thinking pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor.

2. Menganalisis perbedaan faktor demografi (jenis kelamin, usia dan pendidikan) dalam strategi penanggulangan stres kerja pada pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor.

1.4 Manfaat Penelitian

Bagi Dinas Kesehatan Kota Bogor, hasil dari penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk dapat mengambil satu kebijakan yang sesuai dalam mengatasi stres pekerjaan yang terjadi pada pegawai dengan pola pikir yang konstruktif sehingga dapat menghasilkan sikap pegawai sebagaimana yang diharapkan oleh tujuan organisasi.

Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sarana untuk mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB sesuai kondisi di lapangan.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Objek penelitian ini dibatasi hanya untuk mengetahui sejauh mana tingkat Constructive Thinking pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor dan menganalisis perbedaan faktor demografi (jenis kelamin, usia dan tingkat pendidikan) dalam strategi penanggulangan stres kerja pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor. Hasil

(26)

penelitian tidak sampai pada kesimpulan mencari penyebab atau faktor dari penyebab stres kerja di Dinas Kesehatan Kota Bogor, tetapi lebih ditekankan pada sejauh mana pegawai mampu menanggulangi stres dengan menerapkan metode Constructive Thinking.

(27)
(28)
(29)

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Stres

Mendefinisikan dan mengidentifikasi stres adalah langkah pertama dalam memahami konsekuensi dari stres kerja. Stres itu sendiri memiliki arti yang berbeda pada tiap individu tergantung pada bagaimana individu tersebut merespon masalah yang dihadapi baik berkaitan dengan beban kerja maupun lingkungan kerja. Banyak definisi dari stres yang berkaitan dengan ilmu kesehatan mental dan fisik. Menurut Bruno (1991) stres adalah suatu tingkat kesedihan dari suatu individu. Selye (1956, 1976) mendefinisikan stres sebagai penjumlahan dari seluruh perubahan tidak spesifik yang disebabkan oleh fungsi atau kerusakan. Dari sisi kesehatan, hal ini terkait dengan respon tubuh terhadap perubahan psikologi yang berhubungan dengan sindrom “perlawanan” (Selye, 1976).

Menurut Bowes et al (1999) stres adalah tekanan dari luar maupun dalam yang menyebabkan tubuh merespon dengan mengaktifkan suatu sistem yang rumit untuk menghasilkan hormon dan neurotransmitter yang membantu jantung dan otak bekerja untuk menanggapinya. Herbert (1997) mendefinisikan stres sebagai suatu permintaan baik secara fisik maupun mental yang keluar dari norma sewajarnya, stres tersebut biasanya memberikan tanda perbedaan antara apa yang seharusnya optimal dan apa yang sudah ada.

Mason (2001) mendefinisikan stres sebagai reaksi dari tubuh terhadap pengaruh yang negatif. Penelitiannya menunjukan bahwa stres dapat berarti negatif atau positif, contohnya : kesenangan, tantangan, perceraian dan tanggung jawab pekerjaan.

Miller (1998) mendefinisikan stres sebagai perasaan sedih terhadap suatu trauma hidup dan akumulasi dari kejadian di masa lalu. Mereka membagi stres menjadi 2(dua) konstruk : event stress dan added stress. Event stress adalah reaksi yang berhubungan langsung dengan suatu kejadian, sementara added stress adalah permasalahan yang dihadapi seiring dengan kejadian utama yang dapat menyebabkan stres.

Bowes et al (1999) memperingatkan bahwa dalam jangka panjang, stres dapat menyebabkan tubuh bereaksi seperti karet gelang. Setelah renggang akibat

(30)

stres, tubuh tidak dapat kembali ke keadaan semula dengan cepat. Semakin lama mengalami stres, akan semakin berbahaya kerusakannya. Kerusakan ini dapat berupa kemarahan, sakit jantung, tidak berfungsinya kekebalan tubuh, depresi, dan gejala penyakit tubuh lainnya.

Phillips (1995) menggambarkan 4 (empat) jenis stres dalam sebuah matriks 2 x 2 (Gambar 1). Empat jenis stres tersebut adalah: stres sehat, stres tidak produktif, sedikit stres dan situasi stres tidak sehat (healthy stress, unproductive stress, too little stress and unhealthy stress situations).

Gambar 1 Siklus stres (Phillips, 1995)

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa stres merupakan kondisi yang timbul akibat akumulasi ketidakseimbangan pada tubuh karena kejadian atau pengalamanan di masa lalu yang dapat berpengaruh pada tindakan individu saat ini maupun masa yang akan datang. Kondisi tubuh yang tidak seimbang dapat berpengaruh pada kondisi fisik maupun mental dan akan sangat berbahaya jika dibiarkan berkepanjangan.

(31)

2.1.1 Sumber-Sumber Penyebab Terjadinya Stres Kerja

Menurut Parkinson (1995) berbagai masalah yang menimbulkan stres dapat muncul setiap saat di tempat kerja dan sudah merupakan hal yang umum. Dalam lingkungan kerja tidak mungkin diciptakan suatu kondisi yang mutlak mencegah perbedaan pendapat diantara pegawainya. Sebagai contoh, dua orang pegawai yang bekerja berdampingan, dapat berbeda pendapat mengenai prisip hidup, pendapat politik maupun agama. Hal ini pasti menimbulkan stres dan tentu saja jika pada frekuensi dan jumlah yang tidak dapat ditoleransikan lagi akan berdampak negatif. Faktor-faktor lainnya dapat berupa beban kerja yang terlalu banyak, pekerjaan terlalu sedikit, hubungan atasan dan bawahan kurang serasi, peranan tidak jelas dan sebagainya. Istilah penyebab stres digunakan untuk semua pengalaman fisik atau mental yang tidak menyenangkan tersebut.

Beberapa penyebab stres kerja, menurut Hurrel et al. (1998), Losyk (2005), Robbins (2003) dan Robbins dan Judge (2008) ditunjukan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Penyebab stres kerja

No. Penyebab Stres Kerja Sumber

1. Faktor-faktor yang intrinsik di dalam penugasan, peran dalam organisasi, hubungan antar pribadi di tempat kerja, pengembangan karir, struktur dan iklim organisasi

Hurrel et al. (1998) 2. Kualitas supervisi, beban kerja yang berlebihan tekanan

dan desakan waktu, konflik peran, perubahan kemajuan teknologi, hubungan dengan rekan kerja, kondsi fisik lingkungan kerja dan tidak adanya peluang dan kesempatan

Losyk (2005)

3. Faktor lingkungan (ketidakpastian ekonomi,

ketidakpastian politik, dan perubahan teknologi), faktor organisasi (tuntutan tugas, tuntutan sarana, tuntutan antar-pribadi, struktur organisasi, kepemimpinan organisasi, dan tahap perkembangan organisasil), faktor individu (masalah keluarga, masalah ekonomi, dan kepribadian)

Robbins (2003)

4. Faktor-faktor lingkungan (ketidakpastian ekonomi, ketidakpastian politik, dan perubahan teknologi), faktor-faktor organisasional (tuntutan tugas, tuntutan peran, dan tuntutan antarpersonal), faktor-faktor personal ( persoalan keluarga, persoalan ekonomi, dan kepribadian)

Robbins dan Judge (2008)

.

Penyebab stres kerja yang dapat disimpulkan dari beberapa penelitian diatas dapat berasal dari dalam maupun dari luar individu. Faktor dari dalam berupa faktor-faktor personal seperti: kepribadian, persoalan ekonomi, konflik peran dan hubungan interpersonal. Sementara faktor dari luar berupa faktor

(32)

lingkungan seperti: ketidakpastian ekonomi, ketidakpastian politik, perubahan teknologi, kondisi lingkungan kerja, iklim organisasi dan masih banyak lagi.

2.1.2 Strategi Coping

Herbert (1997) mendefinisikan coping sebagai suatu proses mengenali, mengevaluasi dan beradaptasi terhadap stres. Davison dan Neale (2001) mendefinisikan konsep coping sebagai suatu proses bagaimana individu mencoba untuk menghadapi permasalahan atau emosi yang dihasilkan akibat permasalahan tersebut.

Strategi coping dapat dikategorikan pada 2 (dua) dimensi, yaitu: fokus pada permasalahan (problem-focused coping) dan fokus pada emosi ( emotion-focused coping). Problem-focused lebih kepada tindakan apa yang harus dilakukan untuk memecahkan permasalahan sementara emotion-focused lebih melihat pada bagaimana usaha individu untuk mengurangi emosi negatifnya terhadap stres (Lazarus dan Folkman, 1984)

Strategi yang sering dianggap lebih efektif adalah dengan menggunakan problem-focused coping, dimana strategi ini bertujuan untuk menghilangkan pemicu stres, bukan hanya memodifikasi efek negatif stres seperti dalam emotion-focused (Lazarus & Folkman, 1984; Endler & Parker, 1990). Sumber mengatasi stres didapat dari dukungan sosial keluarga, atasan di tempat kerja, dan rekan kerja, sehingga memiliki potensi untuk memperbaiki beberapa efek negatif dari stres (Patterson, 2003;. Thompson et al, 2005).

Berdasarkan uraian tersebut maka strategi coping lebih fokus pada mencari solusi permasalahan melalui mekanisme kendali emosi. Emosi yang terkendali diharapkan dapat mengurangi atau menghilangkan timbulnya stres terutama stres di tempat kerja.

2.1.3 Manajemen Stres

Untuk menjamin kelangsungan hidup organisasi dengan meningkatkan produktivitas organisasi, maka organisasi sangat perlu untuk menciptakan lingkungan kerja yang kondusif sehingga mampu memberikan kepuasan kerja pada setiap anggota organisasi. Oleh karena itu organisasi harus berusaha untuk

(33)

mengelola setiap kegiatan dengan baik, yaitu meminimumkan lingkungan kerja yang menimbulkan stres kerja melalui program-program berikut (Ivancevich and Matesson, 1997).

1) Memaksimalkan kecocokan antara individu dan lingkungan (Maximizing person-Envinronment Fit), yaitu merupakan pendekatan yang menfokuskan pada dua dimensi memajukan penghargaan secara formal maupun informal untuk menyelaraskan dengan kebutuhan individu dan memajukan keterampilan, kemampuan dan pengalaman yang dimiliki pegawai selaras dengan permintaan dan keperluan pegawai.

2) Program pencegahan dan pengelolaan stres organisasi (Organizational stres and management program), yaitu meliputi (a) employee assistance program (EAPs) merupakan program yang didesain untuk memperlebar jangkauan penanganan masalah yang berhubungan dengan stres, pekerjaan dan hal lain di luar perkerjaan termasuk masalah perilaku, emosi, keluarga, perkawinan dan berbagai masalah pribadi, dan (b) health promotions program, yaitu program yang difokuskan pada masalah kesehatan fisik dan mental pegawai.

3) Pendekatan individu terhadap pencegahan dan pengelolaan stres (Individual approach to stres prevention and management), yaitu merupakan teknik atau pendekatan yang biasa dilakukan melalui program yang meliputi (a) congnitive technique yaitu respon seseorang terhadap pemicu stres yang ada melalui proses kognitif. Asumsi yang mendasari teknik ini adalah pemikiran individu, dalam bentuk ekspektasi, kepercayaan dan asumsi yang semuanya merupakan label seseorang dalam merespon situasi, (b) relaxation training yaitu berupa latihan pernafasan, relaksasi otot-otot sehingga meningkatkan kesehatan fisiologi maupun psikologi, dan (c) biofeedback yaitu teknik yang digunakan untuk mengkontrol proses yang terjadi dalam tubuh seseorang.

Menurut Sudarmono dan Sudita (2000) cara mengatasi stress kerja dapat dilakukan dengan 2 (dua) pendekatan individu dan organisasi. Bagi individu pentingnya dilakukan penanggulangan stres karena stres mempengaruhi kehidupan, kesehatan, produktivitas dan penghasilan. Sedangkan bagi organisasi

(34)

bukan karena alasan kemanusiaan tetapi juga karena pengaruhnya terhadap prestasi dan efektifitas organisasi secara keseluruhan. Perbedaan penanggulangan stres antara pendekatan individu dan pendekatan organisasi tidak dibedakan secara tegas. Pengurangan stres dapat dilakukan pada tingkat individu, organisasi maupun keduanya. Secara keseluruhan penanggulangan stres secara individual dan organisasi disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Penanggulangan stres secara individual dan organisasi

Secara Individual Secara Organisasi

1. Meningkatkan keimanan

2. Melakukan meditasi dan pernafasan 3. Melakukan kegiatan olah raga

4. Dukungan sosial dari teman-teman dan keluarga

5. Melakukan rileksasi

6. Menghindari kebiasaan rutin yang membosankan

1. Melakuan perbaikan iklim organisasi 2. Melakukan perbaikan terhadap lingkungan

fisik

3. Menyediakan sarana olah raga

4. Melakukan analisis dan kejelasan tugas 5. Mengubah struktur dan proses organisasi 6. Meningkatkan partisipasi dalam proses

pengambilan keputusan 7. Melakukan restrukturisasi tugas

8. Menerapkan konsep manajemen berbasis sasaran

Sumber : Sudarmono dan Sudita (2000)

Berdasarkan uraian tersebut maka manajemen stres lebih ditekankan pada pengelolaan emosi dengan melakukan pekerjaan atau tindakan yang bermanfaat bagi individu tersebut. Selain itu manajemen stres juga ditekankan pada perbaikan fisik dan mental individu baik dari dalam maupun luar. Kombinasi perbaikan kondisi tersebut akan semakin menjauhkan individu dari gejala timbulnya stres

2.1.4 Identifikasi Stres dan Pemodelan Manajemen Stres

Identifikasi stres dan pemodelan manajemen stres yang tepat dan sesuai terus dikembangkan oleh para peneliti dalam upaya penanggulangan stres baik pada individu maupun kelompok. Ada beberapa tinjauan literatur yang berkaitan dengan identifikasi stres dan aplikasi pemodelan manajemen stres yang dapat digunakan dalam upaya mendefinisikan dan menjelaskan hubungan sebab-akibat antara penyebab stres pada individu maupun kelompok, baik yang berasal dari psikologis ataupun lingkungan.

Dari beberapa penelitian yang telah dikembangkan oleh peneliti-peneliti terdahulu didapatkan diantaranya 10 (sepuluh) model pengukuran yang berhasil dalam mengembangkan model coping strategy, salah satunya model pengukuran

(35)

dari Epstein (1986) yaitu Constructive Thinking Inventory(CTI) yang digunakan dalam penelitian saat ini, lebih lengkap beberapa model pengukuran yang ada terangkum dalam Tabel 3 berikut.

Tabel 3 Model Pengukuran Identifikasi dan Manajemen Stres (Coping Strategy)

Peneliti Tahun Model Keterangan

Derogatis 1986 Derogatis Stress Profile Menguji dan menggambarkan tingkat stres dalam 3 bagian

Noland 1986 PERSONALYSIS Mengukur perbedaan

karakteristik personal individu

Adams 1989 Understanding and

Managing Stress

Kumpulan tes yang menguji tingkat stres dan hubungannya dengan kesehatan

Faulkner and

Anderson 1993

Stress Indicator and Health Planner (SIPH)

Mengidentifikasi masalah kesehatan sekaligus merencanakan perbaikan kesehatan dan produktifitas

Bar-On 1997 BarOn Emotional Quotient

Inventory (EQ-i)

Mengidentifikasi tingkat kecerdasan emosi individu Nelson, Schmidt

and Nelson 1985

Stress Analysis System (SAS)

Mengidentifikasi potensi penyebab stres dan kemampuan mengenali gejala stres

Peterson 1987 Stress Management

Questionnaire (SMQ)

Mengidentifikasi bagaimana individu merespon stressor dan mengatasinya

Crosby, Scherer

and Crosby 1985

People Performance Profile (PPP)

Mengukur bagaimana karyawan mempersepsikan perusahaan, tim dan dirinya

Kindler 1993

Personal Stress Assessment Inventory (PSAI)

Mengidentifikasi individu yang mendapatkan keuntungan dalam pelatihan manajemen stres

Epstein 1986 Constructive Thinking

Inventory (CTI)

Mengukur karakteristik pikiran dari suatu sistem pengalaman Secara garis besar seluruh penelitian tersebut difokuskan pada dua hal, pertama: mencari tahu atau mengidentifikasi potensi penyebab stres dan kedua: mencari solusi dalam menanggulangi stres. Penanggulangan stres berupa mengukur sejauh mana tingkat kecerdasan emosi atau karakteristik apa yang harus dimiliki individu dalam menghadapi stres.

2.2 Teori Pemikiran Konstruktif (Constructive Thinking Theory).

Constructive Thinking Theory telah dipelajari pada beberapa penelitian dengan jenis populasi yang berbeda. Beberapa penelitian ini menunjukkan hubungan yang signifikan antara kemampuan berpikir konstruktif dengan kesehatan fisik maupun mental (Epstein, 1992; Epstein dan Katz, 1992; Hoyer, et al., 1998; Katz dan Epstein, 1991; Park, et al., 1997; Scheuer dan Epstein, 1997).

(36)

Penelitian lain juga mengungkapkan adanya hubungan antara kemampuan berpikir konstruktif dengan sosialisasi di tempat kerja (Epstein, 1990, 1991; Epstein dan Meier, 1989; Katz dan Epstein, 1991).

Epstein mengembangkan Constructive Thinking Theory (CT) sejak tahun 1986. Epstein mendefinisikan Constructive Thinking sebagai kemampuan untuk memecahkan permasalahan sehari-hari dengan meminimalkan tingkat stres atau suatu tingkatan dimana seseorang mampu berpikir secara otomatis dalam memecahkan suatu masalah. Epstein menemukan bahwa ada 2 (dua) bentuk kecerdasan : kecerdasan rasional, diukur melalui uji kecerdasan dan kecerdasan pengalaman, termasuk kecerdasan secara praktis dan emosi. Kecerdasan pengalaman bekerja dengan cepat, efisien dan mendukung tindakan dari sudut pandang menyeluruh. Sementara kecerdasan rasional bekerja melalui proses analisis dan terencana. Sebagai contoh keputusan seorang pemimpin berhubungan dengan kecerdasan pengalaman, sedangkan dalam memecahkan persoalan matematika memerlukan kecerdasan rasional.

Penelitian Epstein (1990) menyatakan ada 2 (dua) dimensi dari pikiran yaitu isi dan proses. Isi lebih pada komponen yang spesifik dari kenyataan (contoh: individu akan mudah dipercaya atau tidak). Proses menyangkut bagaimana suatu sistem bekerja. Epstein menggambarkan 2 (dua) dimensi ini sebagai berikut: sebuah pernyataan seperti “Ketika saya gagal dalam ujian, saya merasa benar-benar gagal dan saya tidak akan pernah mencoba lagi”, ini adalah respon yang negatif baik secara isi maupun proses. Isinya menyatakan perasaan pesimis, sementara prosesnya terlalu mengeneralisasi keadaan. Jika responnya seperti “Ketika saya mampu mengerjakan ujian, saya merasa sukses dan saya akan sukses di setiap ujian”, isinya positif namun prosesnya juga terlalu mengeneralisasi keadaan. Sedangkan respon yang konstruktif untuk pernyataan tersebut adalah “Ketika saya gagal pada sebuah ujian, saya menyadari bahwa ini hanya terjadi pada ujian ini dan saya akan belajar dari pengalaman ini untuk tidak kecewa”.

Katz dan Epstein (1991) melakukan penelitian tentang bagaimana seorang pemikir konstruktif bereaksi terhadap stres dan perasaan khawatir. Hasilnya adalah seseorang yang tidak berpikiran konstruktif akan mengalami tingkatan

(37)

stres yang lebih tinggi dibandingkan yang berpikiran konstruktif. Ini menjadi bukti adanya perbedaan reaksi antara pemikir konstruktif dan tidak terhadap suatu obyek atau kejadian yang sama (menunjukkan isi dan proses yang positif).

Manzo (1998) mengembangkan definisi pemikiran konstruktif yang di dalamnya mencakup pemikiran kritis dan proses intelektual yang kreatif, Constructive Thinking diilustrasikan sebagai sebuah komposisi dan alat dari pemecahan solusi yang di dalamnya dapat melengkapi kebutuhan yang diperlukan untuk pemecahan solusi permasalahan yang terjadi.

Menurut Epstein (1998) individu yang memiliki kontrol terhadap stressor akan bereaksi berbeda. Stres akan dialami oleh mereka yang tidak berpikir konstruktif dan biasanya berpengaruh terhadap hubungannya dengan sesama rekan dan cenderung bermasalah di tempat kerja. Ada 3 (tiga) alasan utama mengapa pemikir konstruktif yang baik mengalami stres lebih ringan dibandingkan dengan pemikir non konstruktif :

1. Individu tersebut lebih efektif menggunakan strategi coping dalam menghadapi keadaan stres.

2. Individu tersebut menginterpretasikan keadaan stres dengan cara yang berbeda, yaitu menganggap kejadian itu sebagai tantangan dibandingkan dengan sebuah ancaman. Mereka menganggap situasi buruk itu sebagai sebuah keadaan sementara bukan permanen dan tidak bereaksi negatif terhadap hal itu.

3. Individu tersebut berlatih untuk menghadapi stres dalam kehidupan sehari-hari sehingga terbiasa berada dalam situasi sulit baik di tempat kerja maupun di rumah.

Secara keseluruhan hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa seorang pemikir konstruktif akan lebih berpengalaman dalam menghadapi stres sehingga dapat tetap bekerja dengan baik dan menganggap situasi sulit sebagai sebuah tantangan. Epstein (1998) menyatakan lebih lanjut bahwa di tempat kerja, pemikir konstruktif yang baik akan menggunakan komunikasi yang jelas untuk memecahkan masalah mereka tanpa menunjukkan kemarahan, kebencian, kekecewaan ataupun putus asa, sehingga kondisi tersebut dapat mengurangi tekanan yang terjadi dan terhindar dari stres kerja.

(38)

Sementara itu hasil penelitian lanjutan dari Epstein (1998) menunjukkan bahwa pemikir konstruktif yang buruk atau disebut pemikir destruktif memiliki tingkat stress yang lebih tinggi. Pemikir destruktif memilki perasaan cemas dan khawatir yang berlebihan baik sebelum dan sesudah melakukan suatu pekerjaan ataupun tindakan, mereka cenderung menghindari kegagalan daripada menerimanya sebagai tantangan.

Berdasarkan uraian itu, pemikiran konstruktif erat kaitannya dengan cara individu dalam menanggulangi stres. Individu yang mampu mengembangkan pemikiran konstruktif akan cenderung mampu mengontrol emosi sehingga terhindar dari stres.

2.3 Konsep Constructive Thinking Inventory

Epstein mengembangkan pemodelan Constructive Thinking Inventory (CTI) sejak tahun 1986. Model ini digunakan untuk mengidentifikasi stres dan mendapatkan strategi manajemen stres (coping strategy) yang didasarkan pada teori berpikir konstruktif Epstein. Constructive Thinking Inventory didasarkan pada teori Cognitive-Experiential Self Dr Epstein. Menurut teori ini, seseorang memiliki dua sistem adaptif yang mendasar yaitu sebuah "sistem pengalaman" yang secara otomatis belajar dari pengalaman hidup, dan "rasional/sistem intelektual" yang berdasarkan penalaran.

Constructive Thinking Inventory ini akan mengukur kemampuan individu untuk memecahkan masalah sehari-hari dengan meminimalkan kondisi stres yang dialaminya dengan kata lain mengukur sejauh mana individu dapat berpikir konstruktif atau destruktif dalam memecahkan masalah. Constructive Thinking diukur dengan menggunakan 1 (satu) Global Constructive Thinking (GCT) scale dan 6 (enam) sub-scales yaitu Behavioral Coping (BC), Emotional Coping (EC), Personal Superstitious Thinking (PST), Categorical Thinking (CaT), Esoteric Thinking (ET) dan Naive Optimism (NaO) dari Constructive Thinking Inventory (CTI).

Untuk menguji faktor-faktor tersebut, Epstein (1986) menggunakan kuesioner yang berisi 108 (seratus delapan) pernyataan yang membutuhkan jawaban dari individu/responden berdasarkan pada skala Likert dengan 5 (lima)

(39)

pilihan sikap alternatif yaitu "sangat tidak setuju" hingga "sangat setuju". Constructive Thinking Inventory (CTI) ini dimaksudkan untuk mendapatkan skor individu/responden pada enam sub-skala dan skala global secara keseluruhan. Dari nilai ini, didapatkan hasil tingkat berpikir responden yang mengarah pada identifikasi coping strategi yang diharapkan.

Constructive Thinking Inventory yang dikembangkan Epstein (1986) selain digunakan untuk mengukur pemikiran konstruktif dan destruktif dari seseorang atau kelompok, digunakan juga untuk memprediksi berbagai kemampuan yang diinginkan, termasuk kinerja kerja, keterampilan sosial, emosional dan kesejahteraan fisik. Constructive Thinking Inventory telah banyak digunakan oleh banyak peneliti lainnya untuk mengukur kemampuan lain yang dikembangkan sesuai kebutuhan dari seseorang ataupun kelompok.

Berdasarkan uraian tersebut Constructive Thinking Inventory merupakan kumpulan pernyataan untuk menguji sejauh mana individu telah berpikiran konstruktif. Pernyataan-pernyataan dalam kuesioner tersebut akan menunjukkan kearah mana individu tersebut cenderung berpikir atau bertindak dalam merespon kondisi yang terjadi di sekitarnya.

2.4 Hubungan Stres dan Pekerjaan

Minirth et al. (1997) mengkategorikan stres manjadi 2(dua) jenis, baik dan buruk. Stres yang baik berhubungan dengan kejadian yang membahagiakan atau kepuasan sedangkan stres yang buruk berakibat pada suatu tindakan yang negatif.

Cooper (2001) menyatakan bahwa stres juga diperlukan dalam kehidupan sehari-hari agar individu selalu belajar dan berkembang. Dalam organisasi stres membantu pegawai menjadi efektif dan memiliki kemampuan dalam mengatasi permasalahan pekerjaan.

Menurut penelitian Atkinson (2000), beberapa aspek dalam pekerjaan dapat menyebabkan stres jika tidak ditangani dengan baik, termasuk diantaranya di bidang pekerjaan (jam kerja, kurangnya kontrol dan beban kerja), gaya kepemimpinan (kurangnya komunikasi dan partisipasi pekerja dalam pengambilan keputusan) dan hubungan personal (tidak ada dukungan dari atasan, gap dengan atasan). Meningkatnya stres kerja juga berhubungan dengan peran pekerja

(40)

(konflik pekerjaan), karir (terbatasnya pengembangan karir) dan kondisi lingkungan (kondisi lingkungan yang berbahaya) seringkali terjadi di banyak organisasi.

Moses (1998) mengungkapkan bahwa suatu pendekatan untuk mengelola stres harus terkonsentrasi pada individu. Penelitiannya menunjukkan bahwa stres kerja merupakan hasil dari berbagai permasalahan baik sosial, ekonomi dan demografi yang dialami oleh individu di tempat kerja.

Stres kerja adalah bentuk stres yang diakibatkan oleh suatu pekerjaannya, yang ditandai oleh perubahan dalam diri orang tersebut yang menyebabkan penyimpangan perilaku dari fungsi yang normal (Soewondo, 1993). Stres tidak sendirinya harus buruk, walaupun stres lazimnya dibahas dalam konteks negatif, stres juga memiliki nilai positif. Stres yang terlalu berat dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungan, akibatnya pada pegawai berkembang berbagai macam jenis gejala stres yang dapat menganggu kinerjanya. Sementara itu dalam penelitian Yulianti (2000) dikemukakan bahwa stres kerja dikonseptualisasi dari beberapa titik pandang, yaitu stres sebagai stimulus, respon dan stimulus-respon. Stres sebagai stimulus merupakan pendekatan yang menitik beratkan pada lingkungan. Losyk (2005) mengatakan bahwa stres kerja terjadi ketika seseorang tidak dapat memenuhi tuntutan atau kebutuhan dari pekerjaannya, dimana terlalu banyak yang harus dilakukan, kurangnya waktu dan kurangnya tenaga kerja untuk menuntaskan pekerjaanya.

Stres ditempat kerja merupakan ancaman yang serius, baik bagi keamanan pegawai, maupun bagi kelangsungan organisasi (Hurrel et al, 1998) dimana setiap individu yang bekerja dalam suatu organisasi mengalami tekanan dalam upayanya membentuk identitasnya sesuai dengan harapan-harapan yang normatif. Harapan-harapan tersebut berkaitan dengan peran dalam organisasi, yakni peran yang diinginkan oleh individu sendiri, peran yang diinginkan oleh orang lain bagi individu tersebut, serta peran yang dituntut dari individu dalam kaitannya dengan pekerjaan di dalam organisasi.

Ivancevich dan Matesson (1997) merumuskan stres kerja sebagai suatu tanggapan penyesuaian yang dilatarbelakangi oleh perbedaan individu atau proses psikologis yang merupakan konsekuensi dari setiap tindakan dari luar lingkungan,

(41)

situasi dan peristiwa yang menimbulkan kondisi fisik yang berlebihan pada seseorang. Sementara menurut Newman dan Beehr (1979) stres kerja ditinjau dari sudut interaksi antara individu dan lingkungan, kondisi dimana terdapat interaksi antara individu dan pekerjaannya dan dikarakterisasikan oleh perubahan di dalam diri individu yang memaksa untuk menyimpang.

Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa stres kerja sangat erat kaitannya dengan kondisi pekerjaan yang dilakukan baik oleh individu maupun kelompok. Kondisi tersebut lebih ditekankan pada interaksi antar sesama pegawai, anggota kelompok, atasan dan bawahan, juga beban kerja yang diberikan.

2.5 Dampak dari faktor Demografi terhadap Stres Kerja

Beberapa penelitian telah mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara faktor demografi dengan stres kerja. Dalam penelitian ini faktor demografi yang diteliti adalah perbedaan jenis kelamin, usia dan tingkat pendidikan. Berikut akan dijabarkan beberapa hasil penelitian atau teori yang berhasil ditemukan berkaitan dengan faktor demografi (jenis kelamin, usia dan pendidikan) dengan stres kerja. Teori-teori yang dijabarkan tersebut akan menjadi dasar dalam menganalisa perbedaan karakteristik demografi dalam rangka menanggulangi stres kerja.

2.5.1 Perbedaan Jenis Kelamin dalam Menanggulangi Stres Kerja

Perbedaan jenis kelamin dapat sangat berdampak pada penelitian yang berbasis peran, seperti yang banyak dibuktikan oleh banyak penelitian dengan banyak perilaku peran atau yang lebih dikenal “gender”. Penelitian yang terus dilakukan membuktikan adanya hasil pengukuran varian yang disebabkan oleh perbedaan gender (Goleman, 1998; Liem dan Teo, 1996; Burke, 1996).

Sementara itu menurut Anisman dan Merali (1999) bahwa interaksi kelenjar fisik dapat menyebabkan perbedaan reaksi gender yang seringkali dapat terlihat dalam gangguan perilaku seperti salah satu contohnya adalah gangguan suasana hati (mood disorders), reaksi yang timbul akan berbeda antara laki-laki dan perempuan, hal tersebut sangat berdampak pada perilaku mereka di tempat kerja. Peneliti lain yaitu Schwartz (1992) menemukan bahwa perempuan yang bekerja di luar rumah lebih berpontesi membawa konflik stres ke tempat bekerja

(42)

setiap harinya, kecenderungan ini tidak hanya berasal dari bagaimana cara pandang perempuan terhadap pekerjaan itu melainkan pada bagaimana budaya masyarakat memandang perempuan yang bekerja.

Penelitian lanjutan yang dilakukan oleh Lim dan Teo (1996) menemukan adanya perbedaan dan persamaan dalam respon stres kerja dan strategi penanggulangan stres kerja antara laki-laki dan perempuan, dimana pegawai perempuan sangat signifikan mempunyai skor stres yang tinggi akibat faktor intrisik pada pekerjaan mereka yaitu peran manajerial yang diterimanya dibandingkan pada pegawai laki-laki, sedangkan kebutuhan pergi dari rumah untuk bekerja antara laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan. Sementara itu perbedaan lain yang terlihat adalah cara dalam menanggulangi stres (coping strategy) dimana pegawai perempuan cenderung menggunakan emosi mereka dengan mencari dukungan sosial dan berbicara kepada orang lain yang dipercayanya tentang kesulitan mereka, sedangkan pegawai laki-laki mengatasi stres mereka secara logis dan tidak emosional.

Dalam studi lanjutannya, Lim dan Teo (1996) menemukan perbedaan kehidupan profesional akademik yaitu pada jaringan kerja dan pengembangan karir antara laki-laki dan perempuan, dimana untuk laki-laki kesempatan mendapatkan jaringan kerja yang lebih luas dan pengembangan karir lebih diutamakan daripada pegawai perempuan. Sejalan dengan penelitian Lim dan Teo, Schwartz (1992) menemukan bahwa pegawai perempuan selalu mendapatkan posisi yang tidak aman dalam pekerjaan baik dalam memperluas jaringan kerja maupun kesempatan mengembangkan karir.

Penelitian Wang dan Paten (2001) menemukan bahwa penyebab stres kerja berbeda berdasarkan gender. Pada perempuan, stres lebih disebabkan oleh keadaan fisik, sedangkan laki-laki pada keadaan psikologi. Sejalan dengan Wang dan Paten, penelitian Goleman (1998) menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama dapat meningkatkan kecerdasan emosi, perempuan cenderung lebih kuat pada kemampuan berempati dan hubungan sosial, sedangkan laki-laki pada aturan dan hukum.

Perbedaan pandangan antara pria dan wanita menyebabkan perbedaan dalam cara menanggulagi stres. Umumnya wanita mengalami stres lebih

(43)

disebabkan karena faktor fisik karena wanita memiliki peran ganda dalam keluarga, sedangkan pada pria didominasi oleh faktor psikologi dimana pria merupakan tulang punggung keluarga.

2.5.2 Perbedaan Usia dalam Menanggulangi Stres Kerja

Park et al. (1997) menemukan bahwa usia berhubungan dengan tingkatan pemahaman terhadap pemikiran konstruktif. Timbulnya hubungan ini disebabkan oleh tingkat harapan hidup yang semakin meningkat dari generasi ke generasi sehingga membuat individu belajar lebih banyak cara menghadapi stres.

Epstein (1998) mengungkapkan bahwa Constructive Thinking berkembang sejalan dengan bertambahnya usia. Perkembangan ini berhubungan dengan proses maturity yang dialami individu, semakin bertambah usia, individu akan semakin bijaksana dalam menghadapi persoalan. Namun demikian hal ini tidak dapat digeneralisasi pada setiap individu kecuali individu tersebut mampu memanfaatkan proses ini dengan baik.

Siebert (1996) menemukan bahwa ada hubungan langsung antara stres dengan usia pekerja. Sebagai contoh, perubahan sistem komputerisasi pada suatu perusahaan dapat menyebabkan stres bagi pekerja berusia tua dan justru kesenangan bagi pekerja berusia muda. Berbeda jika terjadi permasalahan yang cukup sulit, pekerja berusia tua akan cenderung lebih berpengalaman menghadapinya dan pekerja berusia muda dapat mengalami stres.

Anisman dan Merali (1999), menyatakan bahwa bertambahnya pengalaman hidup yang dialami individu seiring dengan bertambahnya usia, membuat individu tersebut mampu mengidentifikasi dan menghadapi berbagai macam stressor. Lebih lanjut penelitian Kogan (2001) membuktikan bahwa manajer perusahaan seringkali merekrut karyawan dari generasi yang berbeda karena percaya bahwa hal ini dapat menjadi aset bagi perusahaan. Namun demikian pada beberapa kasus juga membuktikan bahwa perusahaan kesulitan dalam menangani karyawan dengan perbedaan usia yang cukup besar karena memiliki perbedaan dalam kebutuhan, motivasi dan cara berpikir, karena perbedaan yang cukup besar ini dapat memicu timbulnya stres kerja.

Perbedaan generasi menyebabkan perbedaan pemahaman terhadap kemajuan teknologi maupun kemampuan berkomunikasi. Hal ini sering menjadi

Gambar

Tabel 2  Penanggulangan stres secara individual dan organisasi
Tabel 3  Model Pengukuran Identifikasi dan Manajemen Stres (Coping Strategy)
Tabel 5  Jumlah Populasi pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor
Tabel 9 Tabel ANOVA
+7

Referensi

Dokumen terkait

Namun secara lebih complicated defini Intrenet Protocol adalah protokol lapisan jaringan (network layer dalam OSI Reference Model) atau protokol lapisan internetwork (internetwork

Pasal 96 UUPM menjelaskan lebih lanjut mengenai larangan orang dalam untuk melakukan pembelian atau penjualan atas efek emiten atau perusahaan lain yang melakukan

Didalam melakukan penelitian ini, penulis menerapkan tahapan penelitian seperti menentukan desain penelitian yang digunakan, jenis dan metode pengumpulan data, metode

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa Daftar Transaksi Harian Belanja Daerah ini dibuat dengan sebenarnya dan saya bertanggung jawab penuh atas kebenaran

proporsi[posisi[0]].ToString().Substring(dataPerusahaan[posisi[1]]..

jika penelitian ini rnenunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada kernampuan sosial ditinjau dari persepsi anak terhadap pola disiplin orangtua, rnaka penelitian

Komunikasi massa adalah proses penyampaian informasi, ide, dan sikap kepada banyak orang (biasanya dengan menggunakan mesin atau media yang diklasifikasikan ke dalam media

Objek jaminan benda tidak bergerak atau hak atas tanah merupakan objek Hak Tanggungan, maka pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan