• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERAGAMAN KUALITAS TANAH BERDASARKAN JENIS VEGETASI DI KAWASAN PESISIR KABUPATEN MAMUJU PROVINSI SULAWESI BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KERAGAMAN KUALITAS TANAH BERDASARKAN JENIS VEGETASI DI KAWASAN PESISIR KABUPATEN MAMUJU PROVINSI SULAWESI BARAT"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Lahan rawa di kawasan pesisir memiliki kondisi ekstrem sehingga vegetasi yang tumbuh adalah vegetasi yang dapat beradaptasi terhadap lingkungan tersebut dan memiliki keragaman kualitas tanah. Oleh karena itu, dilakukan penelitian yang bertujuan mengetahui keragaman kualitas tanah pada vegetasi yang berbeda yang didasarkan pada sekumpulan peubah kualitas tanah yang dianalisis statistik secara simultan. Pengukuran dan pengambilan contoh tanah di kawasan pesisir Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat dilakukan pada vegetasi api-api (Avicennia alba), bakau (Rhizophora apiculata), paku laut (Acrostichum aureum), nipah (Nypa fruticans), kelapa (Cocos nucifera), sagu (Metroxylon sagu), padi (Oryza sativa), rumput, campuran vegetasi mangrove dan tanpa vegetasi (bekas vegetasi mangrove atau tambak), masing-masing pada kedalaman

tanah 0–0,25 m dan 0,50–0,75 m. Kualitas tanah yang diukur langsung di lapangan adalah pHF, pHFOX, dan

potensial redoks, sedangkan yang dianalisis di laboratorium adalah pHKCl, pHOX, SP, SKCl, SPOS, TPA, TAA, TSA,

pirit, karbon organik, N-total, PO4, Fe, Al, dan tekstur. Analisis kluster dengan metode hirarki atau berjenjang

digunakan untuk mengelompokkan vegetasi berdasarkan kualitas tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, di kawasan pesisir Kabupaten Mamuju dijumpai berbagai vegetasi yang tumbuh pada tanah sulfat masam yang diklasifikasikan sebagai Sulfaquent, Hydraquent, dan Sulfihemits untuk kategori Kelompok Besar. Pada kedalaman 0–0,25 m tanah vegetasi api-api, bakau, nipah, rumput, kelapa, dan tanpa vegetasi (Kelompok I) memiliki kesamaan dan tanah vegetasi sagu, campuran, dan padi (Kelompok III) juga memiliki kesamaan akan tetapi kedua kelompok tersebut memiliki ketidaksamaan dan juga ketidaksamaan dengan vegetasi paku laut. Pada kedalaman 0,50–0,75 m tanah vegetasi api-api, bakau, nipah, tanpa vegetasi, sagu, rumput, kelapa, dan campuran memiliki kesamaan tetapi vegetasi tersebut memiliki ketidaksamaan dengan vegetasi paku laut dan padi, sedangkan tanah vegetasi paku dan padi juga memiliki ketidaksamaan atau keragaman.

KATA KUNCI: keragaman, tanah, vegetasi, pesisir, Sulawesi Barat PENDAHULUAN

Di kawasan pesisir termasuk kawasan pesisir Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat dijumpai lahan rawa. Lahan rawa adalah lahan yang dipengaruhi oleh kondisi pasang surut laut atau sungai sekitarnya. Dalam kaitannya dengan sumberdaya alam, dikenal istilah lahan yang merupakan suatu lingkungan fisik yang terdiri atas tanah, topografi, hidrologi, vegetasi, dan iklim di mana pada batas-batas tertentu mempengaruhi kemampuan penggunaan lahan (FAO, 1976 dalam Rayes, 2007). Oleh karena itu, perbedaan kombinasi penyusun lingkungan fisik lahan tersebut akan memberikan karakteristik lahan dan dalam hal ini juga memberikan karakteristik tanah yang berbeda.

Karakteristik tanah yang dicirikan oleh kualitas tanah merupakan suatu faktor utama produksi sebab dapat mempengaruhi kualitas air, proses biologi dan rekayasa tambak (Boyd, 1995; Sammut, 1999). Oleh karena itu, faktor kualitas tanah merupakan faktor yang dipertimbangkan dalam evaluasi kesesuaian lahan untuk budidaya tambak, selain kualitas air, topografi dan elevasi, iklim, serta infrastruktur (Treece, 2000; Salam et al., 2003; Karthik et al., 2005; Mustafa et al., 2007).

Faktor pembentuk tanah merupakan faktor yang menentukan dalam pembentukan jenis-jenis tanah. Walaupun faktor pembentuk tanah tersebut sebenarnya banyak, tetapi yang terpenting menurut Jenny (1941) dalam Schaetzl & Anderson (2005), adalah: iklim, organisme, topografi, bahan induk, dan waktu. Yang termasuk faktor organisme dalam pembentukan tanah adalah vegetasi dan hewan, akan tetapi peran vegetasi lebih nyata dibandingkan dengan hewan (Hanafiah, 2005). Dalam hal ini, vegetasi dapat menentukan karateristik tanah yang terbentuk. Sebaliknya, vegetasi yang tumbuh di tanah tertentu dapat mencirikan sifat khas habitat yang merupakan bentuk adaptasi vegetasi terhadap

KERAGAMAN KUALITAS TANAH BERDASARKAN JENIS VEGETASI

DI KAWASAN PESISIR KABUPATEN MAMUJU PROVINSI SULAWESI BARAT

Akhmad Mustafa, Andi Marsambuana Pirzan, dan Kamariah Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau

Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129 Maros 90512, Sulawesi Selatan

(2)

habitat atau pengaruh habitat terhadap vegetasi. Hubungan antara vegetasi dan jenis tanah di daerah tropika seperti Indonesia umumnya kurang jelas, kecuali di tempat-tempat tertentu seperti di kawasan pesisir (Hardjowigeno, 2003).

Tanah di bawah tegakan hutan mangrove atau kawasan pesisir secara umum tergolong kondisi yang ekstrem dalam hal salinitas, status oksidasi, tingkat kemasaman, ketersediaan nutrien, ukuran partikel tanah dan kestabilan tanah, serta pengaruh pasang surut. Oleh karena itu, hanya sedikit jenis vegetasi yang dapat bertahan hidup dan bersifat khas dan tentunya merupakan vegetasi yang telah melewati proses adaptasi dan evolusi pada kondisi tersebut. Wilayah lahan rawa dapat dibagi atas 5 kawasan yaitu: 1) tepian sungai yang dirajai oleh asosiasi pedada atau perapat (Sonneratia sp.) dan api-api (Avicennia sp.), 2) pesisir pantai yang ditempati bakau (Rhizophora sp.), 3) kubah gambut dihuni oleh ramin (Gonystylus bancamus), meranti (Shorea albida), tarantang (Campriosperma auricurata), pulai (Alastonia sp.) dan lainnya, 4) pinggir sungai yang bersifat payau ditempati oleh nipah (Nypa fruticans), dan 5) kawasan yang telah dibuka yang kebanyakan kemudian ditinggalkan dan ditumbuhi vegetasi galam (Melalaeuca leucadendrom) (Noor, 2004). Kajian karakteristik tanah pada vegetasi man-grove tertentu telah banyak dilakukan sebelumnya. Kajian lebih lanjut pada jenis vegetasi yang lebih banyak dan selanjutnya peubah kualitas tanah dianalisis secara simultan masih sangat sedikit informasinya sehingga perlu dilakukan. Walaupun terjadi keragaman kualitas tanah di kawasan pesisir, tetapi belum ada informasi mengenai kesamaan atau kemiripan atau kedekatan kualitas tanah pada berbagai vegetasi di kawasan tersebut. Oleh karena itu, dilakukan penelitian di kawasan pesisir Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat untuk mengetahui keragaman atau ketidaksamaan kualitas tanah pada vegetasi yang berbeda dengan mengetahui kesamaan tanah yang didasarkan pada sekumpulan peubah kualitas tanah yang dianalisis statistik secara simultan. Hasil penelitian ini diharapkan pula dapat digunakan untuk memprediksi kualitas tanah pada berbagai jenis vegetasi di kawasan pesisir untuk budidaya tambak.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di kawasan pesisir Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat. Hasil

klasifikasi tidak terbimbing dari Citra Landsat-7 ETM+ akuisisi 20 Juni 2004 serta 6 Januari, 3 Maret,

dan 6 Oktober 2005 telah digunakan sebagai petunjuk awal dalam penentuan lokasi pengamatan. Penentuan lokasi pengamatan lanjutan dilakukan secara bertujuan (purposive) yaitu dengan memilih kawasan vegetasi mangrove tertentu, sedangkan penentuan titik-titik pengukuran dan pengambilan contoh tanah dalam vegetasi yang sama dilakukan secara acak (random).

Pengukuran dan pengambilan contoh tanah dilakukan di bawah tegakan dari vegetasi: api-api (Avicennia alba), bakau (Rhizophora apiculata), paku laut (Acrostichum aureum), nipah (Nypa fruticans), kelapa (Cocos nucifera), sagu (Metroxylon sagu), padi (Oryza sativa), rumput, campuran vegetasi man-grove dan tanpa vegetasi (bekas vegetasi manman-grove atau tambak) (Gambar 1). Identifikasi dan klasifikasi vegetasi mangrove ditentukan berdasarkan petunjuk Blasco (1984), Chapman (1984) dan Cintrõn & Novelli (1984). Pengukuran dan pengambilan contoh tanah dilakukan pada tiga kawasan untuk setiap jenis vegetasi. Contoh tanah diambil dengan menggunakan bor tanah pada permukaan tanah (0–0,25 m) dan kedalaman tanah 0,50–0,75 m. Contoh tanah diambil pada tiga lokasi pengambilan untuk jenis vegetasi yang sama dan pada satu lokasi vegetasi diambil tanah pada tiga titik dan selanjutnya contoh tanah tersebut dikomposit. Lokasi pengukuran dan pengambilan contoh tanah ditentukan posisinya dengan Global Positioning System (GPS) dan disajikan pada Gambar 1 dengan menggunakan Citra ALOS AVNIR-2 akuisisi 28 Juli 2009.

Kualitas tanah yang diukur secara in situ adalah pHF (pH tanah yang diukur langsung di lapangan)

dengan pH-meter (Ahern et al., 2004), pHFOX (pH tanah yang diukur di lapangan setelah dioksidasi

dengan hidrogen peroksida 30%) dengan pH-meter (Ahern et al., 2004) dan potensial redoks diukur dengan redox-meter. Untuk analisis peubah kualitas tanah lainnya, maka contoh tanah yang ada dalam kantong plastik dimasukkan dalam cool box yang berisi es sesuai petunjuk Ahern et al. (2004). Sebelumnya, sisa tumbuhan segar, kerikil, dan kotoran lainnya dibuang dan bongkahan besar dikecilkan dengan tangan. Karena seluruh contoh tanah adalah tanah sulfat masam, maka contoh tanah di-oven pada suhu 80°C–85°C selama 48 jam (Ahern et al., 2004). Setelah kering, contoh tanah dihaluskan

(3)

dengan cara ditumbuk pada lumpang porselin dan diayak dengan ayakan ukuran lubang 2 mm dan selanjutnya dianalisis di Laboratorium Tanah Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros. Kualitas

tanah yang dianalisis di laboratorium meliputi pHKCl (pH dari ekstrak KCl) (McElnea & Ahern, 2004a),

pHOX (McElnea & Ahern, 2004b), SP (sulfur peroksida) (Melville, 1993; McElnea & Ahern, 2004c), SKCl

(sulfur yang diekstrak dengan KCl) (Melville, 1993; McElnea & Ahern, 2004d), SPOS (SP-SKCl) (Ahern &

McElnea, 2004), TPA (Titratable Peroxide Acidity atau sebelumnya dikenal dengan Total Potential Acid-ity) (McElnea & Ahern, 2004b), TAA (Titratable Actual Acidity atau sebelumnya dikenal dengan Total Actual Acidity) (McElnea & Ahern, 2004a), TSA (Titratable Sulfidic Acidity atau sebelumnya dikenal

dengan Total Sulfidic Acidity) (TPA–TAA) (McElnea & Ahern, 2004b), pirit (Ahern et al., 1998a; 1998b),

karbon organik dengan metode Walkley & Black (Sulaeman et al., 2005), N-total dengan metode

Kjedhal (Sulaeman et al., 2005), PO4 dengan metode Bray 1 (Sulaeman et al., 2005), Fe dengan

spektrofotometer (Menon, 1973), Al dengan spektrofotometer (Menon, 1973) dan tekstur dengan metode hidrometer (Abdurachman et al., 2006).

Nilai-nilai kuantitatif peubah kualitas tanah dari setiap jenis vegetasi pada kedalaman yang sama ditampilkan dalam bentuk rata-rata±standar deviasi. Korelasi Pearson (Pearson Correlation) digunakan untuk mengetahui kesamaan antar peubah. Peubah-peubah yang memiliki kesamaan dipilih satu di antaranya untuk analisis lebih lanjut, di mana peubah yang terpilih adalah peubah yang lebih mudah diukur. Ukuran ketidaksamaan atau keragaman antar vegetasi ditentukan dengan Jarak Kuadrat Eu-clidean (Squared EuEu-clidean Distance). Dalam Analisis Kelompok atau Analisis Kluster (Cluster Analysis)

Gambar 1. Tititk pengukuran dan pengambilan contoh tanah di kawasan pesisisr Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Selatan

(4)

dipilih Metode Hirarki atau Berjenjang (Hierarchical Clustering Method). Penentuan jarak antar kelompok menggunakan Metode Pautan Rata-rata (Average Lingkage Method atau Between Groups). Hasil pengelompokan tersebut digambarkan dengan diagram pohon atau dendrogram. Seluruh data dianalisis dengan bantuan Program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 15,0 (SPSS, 2006; Coakes et al., 2008).

HASIL DAN BAHASAN

Vegetasi yang dijumpai tumbuh di kawasan pesisir Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat cukup banyak, di antaranya seperti terlihat pada Tabel 1. Di bawah tegakan vegetasi tersebut dilakukan pengukuran dan pengambilan contoh tanah dan sisanya dilakukan pada tanah yang ditumbuhi rumput, campuran vegetasi mangrove dan tambak atau tanpa vegetasi. Berdasarkan salinitasnya, maka vegetasi tersebut tergolong dapat menempati salinitas air laut, air payau, dan air tawar. Api-api dan bakau adalah vegetasi yang selalu menempati kawasan yang memiliki salinitas air laut, sedangkan nipah adalah vegetasi yang menempati kawasan salinitas air payau. Paku laut tergolong vegetasi grove, tetapi tidak terikat pada kawasan yang bersalinitas air laut. Paku laut tergolong flora man-grove minor, yakni flora manman-grove yang tidak mampu membentuk tegakan murni, sehingga secara morfologis tidak berperan dominan dalam struktur komunitas hutan mangrove (Tomlinson, 1986 dalam Hogart, 2007). Sedangkan vegetasi lainnya yaitu: kelapa, sagu, dan padi adalah vegetasi pada lahan yang bersalinitas air payau dan atau air tawar. Namun demikian, kelapa juga sering didapatkan tumbuh di daerah pantai.

Jenis rumput yang dominan tumbuh di lahan rawa kawasan pesisir Kabupaten Mamuju adalah teki (Cyperus rotundus). Pada vegetasi campuran didominasi oleh Ceriops tagal, Hibiscus tiliaceus, sagu, dan kelapa. Untuk tanpa vegetasi atau tambak, berdasarkan informasi dari para pemilik tambak dan sisa tanaman yang ada dalam tambak menunjukkan bahwa tambak sebelumnya adalah bekas vegetasi Rhizophora sp., Bruguiera sp., dan Sonneratia sp. serta Nypa fruticans.

Berdasarkan pada taksonomi tanah (Soil Survey Staff, 2001), tanah di kawasan pesisir Kabupaten Mamuju diklasifikasikan sebagai Sulfaquent, Hydraquent dan Sulfihemits untuk kategori Kelompok Besar (Great Groups). Sulfaquent dicirikan dengan Aquents yang mempunyai bahan sulfidik atau pirit

Famili Genus Spesies

Arecaceae Metroxylon

Metroxylon sagu

Avicenniaceae Avicennia

Avicennia marina

Avicennia alba

Cyperaceae Cyperus

Cyperus rotundus

Malvaceae Hibiscus

Hibiscus tiliaceus

Palmaceae Cocos

Cocos nucifera

Nypa

Nypa fruticans

Poaceae Oryza

Oryza sativa

Polypodiaceae Acrostichum

Acrostichum aureum

Rhizophoraceae Rhizophora

Rhizophora apiculata

Rhozophora mucronata

Bruguiera

Bruguiera gymnorrhiza

Bruguiera parviflora

Ceriops

Ceriops tagal

Sonneratiaceae Sonneratia

Sonneratia acida

Sonneratia alba

Tabel 1. Famili dan genus vegetasi yang diuji kualitas

tanahnya di kawasan pesisir Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat

(5)

sampai 0,5 m dari permukaan tanah dan termasuk tanah sulfat masam potensial. Hydraquent dicirikan dengan Hydraquent dengan kedalaman 1,0 m dari permukaan tanah yang mempunyai bahan sulfidik atau lapisan sulfirik pada kedalaman 0–0,15 m atau lebih dan selain itu mempunyai pH 3,5–4,0. Dalam kategori Kelompok Inti (Ordo), Sulfaquent dan Hydraquent dimasukkan dalam Entisol atau pada sistem Klasifikasi Tanah dari Pusat Penelitian Tanah dimasukkan dalam tanah Aluvial. Tanah sulfat masam tidak hanya didapatkan dalam tanah mineral, tetapi juga dalam tanah organik, termasuk tanah sulfat masam di Kabupaten Mamuju yang diklasifikasi sebagai Sulfihemits. Sulfihemits dicirikan dengan keberadaan bahan sulfidik sampai 1,0 m dari permukaan yang tidak teroksidasi dan tidak mempunyai horizon sulfurik pada kedalaman 0,5 m dari permukaan tanah serta juga digolongkan sebagai tanah sulfat masam potensial. Dalam kategori Kelompok Inti, Sulfihemits adalah Histosol atau pada sistem klasifikasi tanah dari Pusat Penelitian Tanah dimasukkan dalam Organosol.

Oleh karena tanah di kawasan pesisir Kabupaten Mamuju umumnya tergolong tanah sulfat masam, maka peubah kualitas tanah yang diuji sebagai pensifat dari vegetasi adalah peubah kualitas tanah untuk tanah sulfat masam. Ada 22 peubah kualitas tanah yang dianalisis seperti terlihat pada Tabel 2 dan 3. Hasil analisis Korelasi Pearson menunjukkan bahwa banyak di antara peubah kualitas tanah yang memiiki kesamaan (Lampiran 1), sehingga hanya 14 peubah kualitas tanah yaitu: potensial

redoks, pHF, pHFOX, pHOX, SPOS, TSA, pirit, Fe, Al, PO4, N-total, pasir, liat, dan debu yang dianalisis lebih

lanjut.

Potensial redoks tanah menunjukkan status tanah yang teroksidasi atau tereduksi. Potensial redoks adalah hasil pengukuran kuantitatif untuk menginformasikan suatu indeks diagnostik dari tingkat anaerobik tanah (Patrick & Delaune, 1977). Potensial redoks adalah salah satu peubah penting dalam mengontrol persistensi berbagai senyawa organik dan anorganik tanah (Vorenhout et al., 2004; Zhang et al., 2009). Potensial redoks tanah pada semua vegetasi baik pada kedalaman 0–0,25 m maupun 0,50–0,75 m bernilai negatif yang menunjukkan bahwa kondisi tanah pada saat pengukuran dalam

keadaan tereduksi. pHF adalah pH tanah yang diukur langsung di lapangan dalam kondisi tanah

basah atau segar. pHF dapat digunakan untuk indikator secara cepat keberadaan dan kepelikan

tanah sulfat masam aktual. pHF tanah pada semua jenis vegetasi mangrove lebih besar dari 5,5.

pHFOX yaitu pH yang diukur di lapangan setelah tanah diberikan hidrogen peroksida (H2O2) 30%.

Pemberian H2O2 30% dalam pengukuran pHFOX dimaksudkan agar potensi kemasaman yang ada dalam

tanah dapat teroksidasi semuanya secara paksa. Sebagai akibatnya pHFOX yang terukur menjadi lebih

rendah daripada hasil pengukuran pHF pada semua kedalaman tanah. Salinitas dan alkalinitas yang

tinggi tidak dapat menetralisir potensial kemasaman sehingga pHFOX tetap menjadi rendah. pHFOX

yang tinggi (> 3,0) dijumpai pada vegetasi paku laut, padi, dan campuran. pHOX (pH dengan

pengekstrak 1 N KCl yang selanjutnya dioksidasi dengan hidrogen peroksida) dijumpai lebih tinggi (> 2,0) pada tanah vegetasi paku laut, sagu, padi, campuran, dan tanpa vegetasi.

Pada tanah sulfat masam yang dicirikan dengan kandungan pirit, maka salah satu sumber kemasamannya adalah sulfur. Pirit yang teroksidasi akan menghasilkan asam sulfat dan ferrosulfat yang apabila bereaksi dengan air melepaskan ferrisulfat yang selanjutnya apabila teroksidasi kembali

akan menghasilkan asam sulfat. Hasil analisis sulfur (SPOS) menunjukkan bahwa kandungan sulfur

terendah dijumpai pada tanah vegetasi paku laut, kelapa, sagu, padi, dan campuran pada kedalaman 0–0,25 m dan pada vegetasi paku laut, kelapa, sagu, dan padi pada kedalaman 0,50–0,75 m. Sebagai sumber kemasaman yang penting pada tanah sulfat masam, maka sulfur yang diukur dalam bentuk

SPOS tanah telah digunakan oleh Ahern et al. (1998b) untuk menentukan kebutuhan kapur bagi tanah

sulfat masam. Hasil pengukuran peubah lain yang menggambarkan kemasaman tanah yaitu TSA menunjukkan bahwa TSA yang rendah dijumpai pada tanah vegetasi sagu, padi, dan campuran, baik pada kedalaman 0–0,25 m maupun 0,50–0,75 m. Namun TSA pada kedalaman 0–0,25 m lebih rendah daripada kedalaman 0,50–0,75 m pada vegetasi yang sama.

Pirit adalah ciri utama dari tanah sulfat masam. Kandungan pirit yang rendah (< 1,0%) dijumpai pada tanah vegetasi sagu, padi, dan campuran pada kedalaman 0–0,25 m dan kandungan pirit yang < 2,0% dijumpai pada vegetasi sagu, padi, rumput, dan campuran. Terlihat juga bahwa kandungan pirit pada kedalaman 0,5–0,75 m lebih tinggi daripada kedalaman 0–0,25 m pada vegetasi yang sama.

(6)

Ap i-a pi* Bak au * Pa ku la ut * Ni pa h* Ke la pa Sag u Pa di Ru m pu t Ca m pu ra n Po te ns ia l r ed ok s (m V) -126± 48, 2 -94± 38, 4 -97± 39, 9 -115± 85, 7 -232± 101, 1 -258± 73, 5 -312± 48, 1 -133± 83, 2 -262± 72, 1 pHF 5, 62± 0, 524 6, 52± 0, 387 6, 12± 0, 280 6, 14± 0, 118 6, 13± 0, 556 5, 92± 0, 014 6, 49± 0, 042 6, 11± 0, 122 6, 10± 0, 191 pHFO X 0, 89± 0, 525 0, 64± 0, 132 3, 08± 0, 605 0, 85± 0, 533 1, 77± 1, 214 2, 62± 1, 857 5, 89± 0, 092 1, 45± 1, 313 3, 22± 1, 895 pHF - p HFO X 4, 73± 0, 881 5, 88± 0, 323 3, 04± 0, 816 5, 29± 0, 575 4, 36± 2, 757 3, 30± 2, 843 0, 61± 0, 134 4, 66± 2, 247 2, 88± 1, 086 pHKC l 5, 12± 1, 071 4, 96± 0, 772 6, 61± 0, 437 5, 38± 1, 485 6, 25± 0, 859 7, 00± 0, 530 6, 72± 0, 014 5, 66± 0, 195 6, 74± 0, 177 pHOX 1, 52± 0, 191 1, 71± 0, 860 2, 22± 1, 241 1, 98± 0, 245 1, 82± 0, 777 2, 43± 0, 156 2, 39± 0, 170 1, 85± 0, 208 2, 31± 0, 007 SKCl (% ) 0, 87± 0, 280 1, 25± 0, 427 0, 61± 0, 647 0, 91± 0, 738 0, 75± 0, 472 0, 35± 0, 034 0, 27± 0, 022 0, 88± 0, 140 0, 33± 0, 021 SP (% ) 10. 84± 4, 720 11, 82± 5, 056 5, 81± 4, 972 8, 73± 5, 246 5, 85± 4, 774 0, 71± 0, 164 0, 76± 0, 193 8, 05± 4, 913 2, 98± 1, 703 SPOS (% ) 9, 97± 4, 622 10, 58± 4, 755 5, 20± 4, 325 7, 82± 5, 803 5, 10± 4, 312 0, 37± 0, 198 0, 49± 0, 171 7, 73± 4, 802 2, 65± 1, 683 TP A ( m ol H + /ton ) 751, 33± 143, 615 812, 50± 717, 761 497, 67± 440, 393 354, 00± 137, 535 366, 67± 269, 584 94, 00± 2, 828 101, 75± 61, 165 492, 42± 15, 025 172, 36± 18, 385 TA A ( m ol H + /ton ) 7, 67± 4, 619 35, 67± 27, 319 0, 00± 0, 000 5, 00± 0, 000 0, 00± 0, 000 0, 00± 0, 000 0, 00± 0, 000 9, 67± 0, 000 0, 00± 0, 000 TS A ( m ol H + /ton ) 743, 67± 139, 030 776, 83± 690, 719 497, 67± 440, 393 349, 00± 137, 535 366, 67± 269, 584 94, 00± 2, 828 101, 75± 61, 165 504, 77± 15, 025 172, 36± 18, 385 Pir it ( %) 3, 33± 0, 608 3, 47± 0, 972 2, 22± 1, 091 1, 57± 0, 603 1, 64± 1, 543 0, 42± 0, 013 0, 45± 0, 273 2, 45± 0, 067 0, 77± 0, 082 Ba ha n Or ga ni k ( %) 14, 17± 3, 193 16, 82± 13, 595 11, 29± 9, 300 7, 02± 3, 563 12, 84± 10, 186 2, 91± 2, 031 2, 62± 0, 836 12, 43± 1, 165 4, 13± 0, 739 N -to ta l (% ) 0, 3433± 0, 06658 0, 4367± 0, 17786 0, 3133± 0, 07506 0, 2933± 0, 18148 0, 3870± 0, 33827 0, 1000± 0, 05454 0, 0953± 0, 05041 0, 3547± 0, 06766 0, 1419± 0, 03001 Ra si o C :N 24, 78± 8, 431 19, 65± 10, 633 19, 34± 11, 819 14, 62± 5, 069 28, 56± 16, 003 16, 07± 3, 012 17, 01± 3, 909 16, 76± 4, 215 13, 17± 4, 960 PO4 (m g/ L) 18, 5900± 10, 04191 10, 4000± 4, 69748 45, 5233± 23, 88585 60, 9333± 17, 82085 23, 8495± 15, 24689 39, 3070± 21, 69650 80, 2418± 40, 27459 31, 8592± 8, 30624 41, 6286± 13, 25098 Fe (m g/ L) 4. 660± 34, 5 3. 314± 1. 154, 5 1. 590± 1. 070, 0 4. 414± 482, 4 3. 280± 2518, 0 69± 60, 1 2. 507± 1. 896, 0 3. 452± 1. 549, 8 1. 843± 1. 087, 6 Al (m g/ L) 299± 89, 1 450± 285, 8 168± 114, 3 167± 145, 6 209± 167, 6 276± 31, 113 274± 151, 3 258± 69, 6 325± 142, 8 Pa si r ( %) 90, 67± 1, 155 87, 33± 1, 155 72, 00± 13, 856 82, 00± 5, 292 88, 00± 7, 211 88, 00± 11, 314 89, 00± 1, 414 86, 00± 7, 211 89, 00± 4, 243 Li at (% ) 5, 73± 1, 155 6, 00± 2, 000 12, 67± 9, 866 4, 67± 1, 155 4, 00± 0, 000 3, 00± 1, 414 5, 00± 1, 414 7, 33± 3, 055 3, 00± 1, 414 De bu (% ) 4, 00± 2, 000 6, 07± 3, 055 15, 33± 4, 163 13, 33± 5, 033 8, 00± 7, 211 9, 00± 2, 728 6, 00± 0, 000 6, 67± 4, 619 8, 00± 2, 828 Pe ub ah Ve ge ta si Tabel 2.

Nilai rata-rata±standar deviasi setiap peubah tanah pada vegetasi berbeda pada kedalaman tanah 0–0,25 m di kawasan pesisir Kabu

paten

Mamuju Provinsi Sulawesi Barat

Sumber:

Diolah dari Mustafa

et al

(7)

Ap i-a pi* Bak au * Pa ku la ut * Ni pa h* Ke la pa Sag u Pa di Ru m pu t Ca m pu ran Po ten sia l r ed ok s ( m V) -1 46± ± 130, 2 -161± 91, 3 -144± 50, 8 -1 63± 22, 6 -246± 89, 3 -241± 109, 6 -243± 170, 4 -291± 37, 0 -145± 21, 2 pHF 6, 07± 0, 207 6, 36± 0, 254 5, 98± 0, 707 6, 12± 0, 163 6, 13± 0, 496 5, 63± 0, 453 6, 38± 0, 028 6, 48± 0, 286 6, 62± 0, 530 pHFO X 0, 50± 0, 046 0, 70± 0, 356 2, 87± 0, 706 0, 64± 0, 217 2, 24± 1, 855 2, 96± 2, 100 3, 94± 0, 177 0, 83± 0, 170 2, 09± 1, 881 pHF - p HFO X 5, 57± 0, 169 5, 66± 0, 362 3, 11± 1, 326 5, 48± 0, 151 3, 89± 2, 120 2, 68± 1, 648 2, 45± 0, 205 5, 64± 0, 327 4, 53± 1, 351 pHKC l 4, 99± 1, 071 4, 76± 0, 772 6, 61± 0, 437 5, 31± 1, 485 6, 66± 0, 834 5, 78± 1, 230 6, 64± 0, 078 6, 11± 0, 550 6, 52± 0, 247 pHOX 1, 20± 0, 121 1, 75± 1, 292 2, 14± 1, 538 1, 63± 0, 148 1, 78± 0, 346 2, 07± 1, 407 1, 85± 1, 032 2, 13± 0, 156 2, 07± 0, 042 SKCl (% ) 1, 16± 0, 181 1, 56± 0, 517 0, 77± 0, 479 1, 55± 0, 803 0, 90± 0, 589 0, 48± 0, 412 0, 38± 0, 285 0, 60± 0, 254 0, 38± 0, 066 SP (% ) 12, 72± 2, 368 12, 88± 4, 543 5, 84± 4, 149 13, 04± 1, 033 7, 45± 6, 030 4, 85± 3, 147 4, 80± 3, 933 7, 63± 3, 515 10, 72± 0, 173 SPOS (% ) 11, 56± 2, 206 11, 32± 4, 660 5, 07± 4, 174 11, 48± 2, 560 6, 55± 5, 474 4, 37± 3, 735 4, 43± 3, 648 7, 04± 3, 411 10, 33± 0, 239 TP A ( m ol H + /ton ) 1. 163, 33± 189, 842 1. 068. 67± 951, 757 552. 33± 493, 330 525, 33± 181, 045 646, 83± 469, 614 336, 00± 177, 595 437, 50± 302, 753 322, 00± 192, 938 238, 00± 38, 184 TA A ( m ol H + /ton ) 3, 67± 1, 155 26, 67± 21, 733 0, 00± 0, 000 3, 33± 1, 525 0, 00± 0, 000 2, 50± 1, 536 0, 00± 0, 000 0, 00± 0, 000 0, 00± 0, 000 TS A ( m ol H + /ton ) 1. 159, 67± 188, 696 1. 042, 00± 931, 087 552, 33± 493, 33 522, 00± 129, 552 646, 83± 469, 614 333, 50± 174, 059 437, 50± 302, 753 322, 00± 192, 938 238, 00± 38, 184 Pir it ( %) 5, 19± 0, 832 4, 65± 2, 167 2, 47± 1, 320 2, 34± 0, 810 2, 89± 2, 096 1, 49± 0, 670 1, 95± 1, 244 1, 44± 0, 861 1, 06± 0, 170 Ba ha n Or ga ni k ( %) 19, 60± 4, 186 15, 08± 14, 492 11, 88± 5, 904 8, 33± 3, 285 12, 98± 9, 594 4, 04± 2, 544 4, 90± 3, 047 4, 45± 2, 524 5, 78± 2, 060 N-to ta l ( %) 0, 3736± 0, 02394 0, 3855± 0, 34455 0, 2985± 0, 09003 0, 3179± 0, 16214 0, 3632± 0, 32671 0, 0967± 0, 03072 0, 1194± 0, 04969 0, 1543± 0, 08806 0, 1579± 0, 03866 Ra si o C :N 30, 74± 8, 287 24, 42± 5, 780 23, 01± 7, 527 15, 75± 2, 047 28, 18± 12, 469 28, 05± 24, 176 39, 43± 24, 921 17, 88± 4, 669 20, 93± 2, 444 PO4 (m g/ L) 6, 8567± 1, 63323 10, 9133± 3, 84360 52, 0933± 26, 66185 55, 6233± 19, 88085 32, 9955± 27, 14989 29, 7530± 12, 07706 269 ,6346± 143, 46352 27, 4156± 14, 91128 28, 0805± 12, 67321 Fe (m g/ L) 4. 651± 34, 5 4. 559± 1. 154, 5 1. 787± 1. 070, 0 4. 716± 482, 4 3. 115± 2. 459, 4 2. 371± 1. 177, 4 1. 162± 881, 4 3. 136± 2. 622, 0 4. 747± 53, 0 Al (m g/ L) 445± 89, 1 371± 285, 8 231± 114, 3 399± 145, 6 205± 12, 7 312± 78, 1 363± 235, 1 364± 66, 4 240± 159, 8 Pa si r ( %) 89, 33± 2, 309 87, 33± 1, 154 74, 00± 6, 928 85, 33± 8, 327 86, 00± 6, 928 91, 00± 4, 243 90, 00± 2, 828 85, 33± 8, 083 90, 00± 5, 657 Li at (% ) 5, 33± 1, 155 6, 00± 2, 000 8, 67± 4, 616 4, 00± 2, 000 4, 00± 0, 000 6, 00± 2, 828 4, 00± 2, 828 6, 67± 2, 309 3, 00± 1, 414 De bu (% ) 5, 33± 3, 055 6, 67± 1, 55 17, 33± 2, 309 10, 67± 7, 024 10, 00± 6, 928 3, 00± 1, 414 6, 00± 0, 000 8, 00± 6, 000 7, 00± 4, 243 Pe ub ah Ve ge ta si Tabel 3.

Nilai rata-rata±standar deviasi setiap peubah tanah pada

vegetasi berbeda pada kedalaman tanah 0,50–0,75 m di kawasan p

esisir Kabupaten

Mamuju Provinsi Sulawesi Barat

*

Diolah dari Mustafa

et al

(8)

Kandungan Fe yang lebih rendah dijumpai pada tanah vegetasi paku laut, sagu, dan campuran pada kedua kedalaman dan terlihat juga bahwa kandungan Fe tanah lebih tinggi pada kedalaman 0,50–0,75 m daripada kedalaman 0–0,25 m pada vegetasi yang sama. Kandungan Al yang rendah dijumpai pada tanah vegetasi paku laut dan nipah pada kedalaman 0–0,25 m, sedangkan pada kedalaman 0,50–0,75 m dijumpai pada vegetasi paku laut dan kelapa. Seperti halnya dengan kandungan Fe, kandungan Al pada kedalaman 0,50–0,75 m lebih tinggi daripada kedalaman 0–0,25 m pada vegetasi yang sama.

Kandungan N-total yang tinggi dijumpai pada vegetasi mangrove yaitu api-api dan bakau. Hal ini terkait erat dengan kandungan bahan organik yang tinggi pada kedua vegetasi tersebut. Bahan organik, selain sebagai sumber karbon, juga merupakan sumber nitrogen (Boyd, 2008). Kandungan

PO4 yang tinggi, baik pada kedalaman 0–0,25 m dan 0,50–0,75 m dijumpai lebih tinggi pada vegetasi

padi dan tanpa vegetasi. Tanah pada vegetasi padi dan tanpa vegetasi adalah tanah yang masing-masing dimanfaatkan sebagai sawah dan tambak. Untuk peningkatan produksi padi di sawah dan

ikan di tambak, maka pupuk yang mengandung PO4 seperti TSP atau SP–36 menjadi kebutuhan

utama, sehingga tingginya kandungan PO4 diduga sebagai akibat aplikasi pupuk yang mengandung

PO4 oleh pembudidaya.

Matriks ketidaksamaan vegetasi berdasarkan kualitas tanah kedalaman 0–0,25 m dengan Jarak Kuadrat Euclidean di kawasan pesisir Kabupaten Mamuju dapat dilihat pada Lampiran 2. Hasil Analisis Kluster vegetasi berdasarkan kualitas tanah pada kedalaman 0–0,25 m menunjukkan bahwa tanah di kawasan pesisir Kabupaten Mamuju dikelompokkan atas 3 kelompok utama yaitu: Kelompok I terdiri atas tanah vegetasi api-api, bakau, nipah, rumput, kelapa, dan tanpa vegetasi, Kelompok II terdiri atas paku laut serta Kelompok III terdiri atas sagu, campuran, dan padi (Gambar 2). Hal ini menunjukkan bahwa kualitas tanah pada vegetasi api-api, bakau, nipah, rumput, kelapa, dan tanpa vegetasi memiliki kesamaan, demikian juga kualitas tanah vegetasi sagu, campuran, dan padi yang juga memiliki kesamaan. Akan tetapi, tanah vegetasi Kelompok I, II, dan III memiliki keragaman atau ketidaksamaan.

Pada Kelompok I tergabung vegetasi yang dijumpai tumbuh di daerah bersalinitas air laut. Api-api, bakau, dan nipah adalah vegetasi mangrove yang dapat tumbuh dari salinitas air payau sampai air laut. Kelapa adalah tanaman tropis yang biasa didapati sepanjang pantai dan agak toleran terhadap salinitas serta tumbuh baik pada berbagai jenis tanah dan pH yang lebar dari 5,0–8,0, namun menyukai tanah yang drainase-nya baik (Broschat & Crane, 2008). Sedangkan rumput teki (Cyperus rotundus) adalah salah satu jenis rumput yang dapat tumbuh pada air bersalinitas tinggi dan juga dijumpai tumbuh pada tanah sulfat masam. Seperti dikatakan oleh Osaki et al. (1998) bahwa rumput teki (Cyperus sp.) didapati tumbuh dengan baik pada tanah sulfat masam, tanah gambut, tanah podsolik pasir, dan tanah salin di Thailand. Juga telah disebutkan sebelumnya bahwa tambak yang ada di Kabupaten Mamuju adalah bekas vegetasi Rhizophora sp., Bruguiera sp., dan Sonneratia sp., serta Nypa fruticans yang juga adalah vegetasi mangrove. Diduga lingkungan tumbuh dari vegetasi tersebut

Gambar 2. Dendrogram pengelompokan vegetasi berdasarkan kualitas tanah kedalaman 0–0,25 m di kawasan pesisir Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat

(9)

yang menyebabkan adanya kesamaan kualitas tanah pada vegetasi tersebut. Secara umum, Kelompok

I ini dicirikan dengan tanah yang memiliki pHFOX, pHOX yang lebih rendah dan sebaliknya memiliki

TSA, SPOS dan pirit yang lebih tinggi daripada kelompok vegetasi lainnya.

Tanah di bawah tegakan vegetasi Rhizophora sp. mengandung material serat akar yang tinggi dari vegetasi tersebut yang dapat menjadi sangat masam dan meracuni tanaman apabila teroksidasi (Jordan, 1964). Kemungkinan lain lebih rendahnya pH yang diukur di laboratorium dari tanah vegetasi mangrove tertentu sebab adanya kandungan tanin yang tinggi dari Rhizophora sp., Bruguiera sp., Ceriops tagal, Xylocarpus granatum, dan Nypa fruticans yang dapat menyebabkan tanah lebih masam

(Jamandre & Rabanal, 1975; Sunarto, 2008; Anonim, 2009). Tingginya TSA, SPOS, dan pirit pada

Kelompok I ini diduga terkait dengan lingkungannya.

Telah dilaporkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan pirit adalah jumlah bahan

organik, suhu sedimen, pasokan SO4, dan bikarbonat (White et al., 1995) serta suasana anaerob dan

kandungan Fe (Dent, 1986). Tingginya TSA, SPOS, dan pirit tanah diduga sebagai akibat keberadaanya

yang lebih dekat ke arah laut sehingga pasokan sulfat dari air laut cukup tinggi. Selain itu, tanah di vegetasi tersebut memiliki kandungan bahan organik yang lebih tinggi (Tabel 2 dan 3) yang merupakan sumber karbon bagi bakteri dalam pembentukan pirit. Suasana anaerob merupakan kondisi yang lebih umum pada vegetasi tersebut, sebab berada pada daerah yang lebih dekat ke laut dan vegetasi ini lebih lama tergenang. Selanjutnya Noor (2004) menyatakan bahwa endapan liat yang berasal dari serat sisa akar vegetasi bakau mengandung pirit yang tinggi.

Kebalikan dari Kelompok I adalah Kelompok III yang dicirikan dengan tanah yang memiliki pHFOX,

pHOX yang lebih tinggi dan sebaliknya memiliki TSA, SPOS, dan pirit yang lebih rendah daripada

kelompok vegetasi lainnya. Dalam Kelompok III ini tergabung vegetasi sagu, campuran dan padi yang cenderung tumbuh pada lingkungan dengan salinitas yang mendekati tawar. Pada vegetasi campuran, walaupun ada yang tergolong vegetasi mangrove yaitu Ceriops tagal, tetapi vegetasi ini umumnya dijumpai di bagian dalam vegetasi mangrove yang berbatasan dengan hutan darat. Sagu tumbuh subur pada tanah masam sampai netral (pH 4,0–7,4) dan memiliki toleransi terhadap salinitas untuk waktu yang singkat, sehingga sering dijumpai di pinggir hutan mangrove (McClatchey et al., 2006).

Sedangkan Kelompok I yang hanya dihuni vegetasi paku laut memiliki karakteristik tanah antara tanah Kelompok I dan Kelompok III. Paku laut adalah vegetasi yang menempati tanah terbuka dan pernah terbakar (Noor, 2004), sehingga diduga dengan kondisi demikian maka potensi kemasaman telah banyak terbuang secara alami untuk waktu yang cukup lama, yang menyebabkan potensi kemasamannya sudah berkurang.

Pengukuran dan pengambilan contoh tanah, tidak hanya dilakukan ada kedalaman 0–0,25 m tetapi juga pada kedalaman 0,50–0,75 m. Hal ini dilakukan untuk dapat mengetahui kualitas tanah pada kedalaman 0,50–0,75 m yang terkait hubungannya apabila tanah tambak digali untuk pembuatan atau memperdalam tambak. Untuk budidaya udang windu (Penaeus monodon), rumput laut (Gracilaria verrucosa), dan ikan bandeng (Chanos chanos) secara tradisional memerlukan kedalaman air tambak minimal masing-masing 0,8; 0,6; dan 0,4 m dari pelataran tambak. Pada Lampiran 3 terlihat matriks ketidaksamaan vegetasi berdasarkan kualitas tanah kedalaman 0,50–0,75 m dengan Jarak Kuadrat Euclidean di kawasan pesisir Kabupaten Mamuju. Hasil Analisis Kluster vegetasi berdasarkan kualitas tanah pada kedalaman 0,50–0,75 m menunjukkan bahwa tanah di kawasan pesisir Kabupaten Mamuju juga dikelompokkan atas 3 kelompok utama yaitu: Kelompok I terdiri atas tanah vegetasi api-api, bakau, nipah, tanpa vegetasi, sagu, rumput, kelapa, dan campuran, Kelompok II terdiri atas paku laut serta Kelompok III terdiri atas padi (Gambar 3). Pengelompokan vegetasi berdasarkan kualitas tanah pada kedalaman tanah 0,50–0,75 m ini berbeda dengan kedalaman tanah 0–0,25 m (Gambar 2). Pada kedalaman tanah 0,50–0,75 m, tanah vegetasi api-api, bakau, nipah, tanpa vegetasi, sagu, rumput, kelapa, dan campuran memiliki kesamaan, tetapi tidak memiliki kesamaan dengan vegetasi paku laut dan padi. Seperti halnya pada kedalaman 0–0,25 m,

Kelompok I dicirikan dengan tanah yang memiliki pHFOX, pHOX yang lebih rendah dan sebaliknya

memiliki TSA, SPOS, dan pirit yang lebih tinggi daripada kelompok vegetasi lainnya. Hal ini sebagai

(10)

SPOS, dan pirit yang tinggi sehingga pH-nya lebih rendah. Ketika tanah sulfat masam yang mengandung pirit itu terekspos atau teroksidasi, misalnya digali untuk dijadikan tambak, akan menyebabkan terjadinya penurunan pH tanah, peningkatan kelarutan unsur atau senyawa beracun seperti Fe, Al,

dan SO4 (Mustafa & Rachmansyah, 2008).

Dari Gambar 3 terlihat juga kualitas tanah vegetasi padi dan paku laut pada kedalaman tanah 0,50–0,75 m memiliki keragaman atau ketidaksamaan dan kedua jenis vegetasi tersebut juga memiliki ketidaksamaan dengan tanah vegetasi api-api, bakau, nipah, tanpa vegetasi, sagu, rumput, kelapa,

dan campuran. Kualitas tanah vegetasi padi pada kedalaman 0,50–0,75 m memiliki TSA, SPOS, dan

pirit yang lebih rendah dan sebaliknya pH yang lebih tinggi dibandingkan dengan vegetasi lainnya.

Namun demikian, TSA, SPOS, dan pirit tanah vegetasi ini pada kedalaman 0,50–075 m lebih tinggi

dan sebaliknya pH yang lebih rendah daripada kedalaman 0-0,25 m, yang diduga merupakan penyebab sehingga pada kedalaman 0,50–0,75 m tanah vegetasi padi tidak lagi memiliki kesamaan dengan vegetasi sagu dan campuran seperti pada kedalaman 0–0,25 m. Sawah di mana padi ditumbuhkan merupakan lingkungan yang unik bagi berbagai proses dalam tanah, sebab tanah dikelola dalam kondisi tergenang selama waktu tertentu. Salah satu keuntungan penggenangan pada sawah yang tergolong tanah sulfat masam adalah meningkatkan pH tanah yang masam ke yang netral karena kondisi tanah dalam kondisi tereduksi (van den Eelaart, 1982; Kimura, 2000), sehingga diduga merupakan salah satu penyebab lain lebih tingginya pH tanah vegetasi padi pada kedalaman 0–0,25 m daripada kedalaman 0,50–0,75 m.

KESIMPULAN DAN SARAN

Di kawasan pesisir Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat dijumpai berbagai vegetasi yang tumbuh pada tanah sulfat masam yang diklasifikasikan sebagai Sulfaquent, Hydraquent, dan Sulfihemits untuk kategori Kelompok Besar. Pada kedalaman 0–0,25 m tanah vegetasi api-api, bakau, nipah, rumput, kelapa, dan tanpa vegetasi (Kelompok I) memiliki kesamaan dan tanah vegetasi sagu, campuran, dan padi (Kelompok III) juga memiliki kesamaan tetapi kedua kelompok tersebut memiliki ketidaksamaan dan juga ketidaksamaan dengan vegetasi paku laut. Pada kedalaman 0,50–0,75 m tanah vegetasi api-api, bakau, nipah, tanpa vegetasi, sagu, rumput, kelapa, dan campuran memiliki kesamaan tetapi vegetasi tersebut memiliki ketidaksamaan dengan vegetasi paku laut dan padi, sedangkan tanah vegetasi paku dan padi juga memiliki ketidaksamaan atau keragaman.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih diucapkan kepada Muhammad Arnold dan Darsono atas bantuannya dalam pengambilan contoh tanah di lapangan dan Rosiana Sabang dan Rahmiyah atas bantuannya dalam analisis tanah di laboratorium.

DAFTAR ACUAN

Abdurachman, A., Haryati, U., & Juarsah, I. 2006. Penetapan kadar air tanah dengan metode gravimetri. Gambar 3. Dendrogram pengelompokan vegetasi berdasarkan kualitas tanah kedalaman

(11)

Dalam: Kurnia, U., Agus, F., Adimihardja, A., & Dariah, A. (eds.), Sifat Fisik Tanah dan Metode Analisisnya. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian, Bogor, hlm. 131–142. Ahern, C.R. & McElnea, A.E.. 2004. Calculated sulfur parameters. In: Acid Sulfate Soils Laboratory

Meth-ods Guidelines. Queensland Department of Natural Resources, Mines and Energy, Indooroopilly, Queensland, Australia, p. B11-1–B11-2.

Ahern, C.R., McElnea, A.E., & Baker, D.E. 1998a. Peroxide oxidation combined acidity and sulfate. In: Ahern, C.R., Blunden, B., & Stone, Y. (eds.), Acid Sulfate Soils Laboratory Methods Guidelines. Acid Sulfate Soil Management Advisory Committee, Wollongbar, NSW, p. 4.1–4.17.

Ahern, C.R., McElnea, A.E., & Baker, D.E. 1998b. Total oxidisable sulfur. In: Ahern, C.R., Blunden, B., & Stone, Y. (eds.), Acid Sulfate Soils Laboratory Methods Guidelines. Acid Sulfate Soil Management Advi-sory Committee, Wollongbar, NSW, p. 5.1–5.7.

Ahern, C.R., Blunden, B., Sullivan, L.A., & McElnea, A.E. 2004. Soil sampling, handling, preparation and storage for analisys of dried samples. In: Acid Sulfate Soils Laboratory Methods Guidelines. Queensland Department of Natural Resources, Mines and Energy, Indooroopilly, Queensland, Aus-tralia, p. B1-1–B1-5.

Anonim. 2009. Manfaat hutan mangrove. http://wawan-satu.blogspot.com/2009/11/manfaat-hutan-mangrove.html. Diakses 12/01/2010.

Blasco, F. 1984. Taxonomic considerations of the mangrove species. In: Snedaker, S.C. & Snedaker, J.G. (eds.), The Mangrove Ecosystems: Research Methods. UNESCO, Bungay, p. 81–113.

Broschat, T.K. & Crane, J.H. 2008. The coconut palm in Florida. http://edis.ifas.ufl.edu/mg043. Diakses 20/01/2010.

Boyd, C.E. 1995. Bottom Soils, Sediment, and Pond Aquaculture. Chapman and Hall, New York, 348 pp. Boyd, C.E. 2008. Pond bottom soil analyses. Global Aquaculture Advocate September/October, p. 91–

92.

Chapman, V.J. 1984. Botanical surveys in mangrove communities. In: Snedaker, S.C. & Snedaker, J.G. (eds.), The Mangrove Ecosystems: Research Methods. UNESCO, Bungay, p. 53–80.

Cintrõn, G. & Novelli, Y.S. 1984. Methods for studying mangrove structure. In: Snedaker, S.C. & Snedaker, J.G. (eds.), The Mangrove Ecosystems: Research Methods. UNESCO, Bungay, p. 91–113.

Coakes, S.J., Steed, L., & Price, J. 2008. SPSS: Analysis without Anguish: Version 15.0 for Windows. John Wiley & Sons Australia, Ltd., Milton, Qld., 270 pp.

Dent, D. 1986. Acid Sulphate Soils: A Baseline for Research and Development. ILRI Publication 39. Interna-tional Institute for Land Reclamation and Improvement, Wageningen, 204 pp.

van den Eelaart, L.J. 1982. Problems in reclaiming and managing tidal lands of Sumatra and Kalimantan, Indonesia. In: Dost, H. & van Breemen, N. (eds.), Proceedings of the Bangkok Symposium on Acid Sulphate Soils. ILRI Publication 31. International Institute of Land Reclamation and Improvement, Wageningen, p. 272–290.

Hanafiah, K.A. 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 360 hlm.

Hardjowigeno, S. 2003. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Edisi revisi. Akademika Pressindo, Jakarta. 354 hlm.

Hogart, P. 2007. The Biology of Mangroves and Seagrasses. Second edition. Oxford University Press, Oxford, 273 pp.

Jamandre, T.J. & Rabanal, H.R. 1975. Engineering aspect of brackishwater aquaculture in the South China Sea Region. South China Sea Fish. Dev. and Coord. Prog., Manila, 96 pp.

Jordan, H.D. 1964. The relation of vegetation and soil to development of mangrove swamps for rice growing in Sierra Leone. J. of Applied Ecology, 1(1): 209–212.

Karthik, M., Suri, J., Saharan, N., & Biradar, R.S. 2005. Brackish water aquaculture site selection in Palghar Taluk, Thane district of Maharashtra, India, using the techniques of remote sensing and geographical information system. Aquacultural Engineering, 32: 285–302.

Kimura, M. 2000. Anaerobic microbiology in waterlogged rice fields. In: Bollag, J.-M. & Stotzky, G. (eds.), Soil Biochemistry. Marcel Dekker, Inc., New York, p. 35–138.

(12)

McClatchey, W., Manner, H.I., & Elevitch, C.R. 2006. Metroxylon amicarum, M. paulcoxii, M. sagu, M. salomonense, M. vitiense, and M. warburgii (sago palm), ver. 2.1. In: Elevitch, C.R. (ed.), Species Profiles for Pacific Island Agroforestry. Permanent Agriculture Resources (PAR), Hôlualoa, Hawai, p. 1–23.

McElnea, A.E. & Ahern, C.R. 2004a. KCl extractable pH (pHKCl) and titratable actual acidity (TAA). In:

Acid Sulfate Soils Laboratory Methods Guidelines. Queensland Department of Natural Resources, Mines and Energy, Indooroopilly, Queensland, Australia, p. B2-1–B2-3.

McElnea, A.E. & Ahern, C.R. 2004b. Peroxide pH (pHOX), titartable peroxide acidity (TPA) and excess

acid neutralising capacity (ANCE). In: Acid Sulfate Soils Laboratory Methods Guidelines. Queensland

Department of Natural Resources, Mines and Energy, Indooroopilly, Queensland, Australia, p. B3-1–B3-7.

McElnea, A.E. & Ahern, C.R. 2004c. Sulfur-peroxide oxidation method. In: Acid Sulfate Soils Laboratory Methods Guidelines. Queensland Department of Natural Resources, Mines and Energy, Indooroopilly, Queensland, Australia, p. B7-1–B7-2.

McElnea, A.E. & Ahern, C.R. 2004d. Sulfur 1M KCl extraction (SKCl). In: Acid Sulfate Soils Laboratory

Methods Guidelines. Queensland Department of Natural Resources, Mines and Energy, Indooroopilly, Queensland, Australia, p. B8-1–B8-2.

Menon, R.G. 1973. Soil and Water Analysis: A Laboratory Manual for the Analysis of Soil and Water. Proyek Survey O.K.T. Sumatera Selatan, Palembang, 190 pp.

Melville, M.D. 1993. Soil Laboratory Manual. School of Geography, The University of New South Wales, Sydney, 74 pp.

Mustafa, A. & Rachmansyah. 2008. Kebijakan dalam pemanfaatan tanah sulfat masam untuk budidaya tambak. Dalam: Sudradjat, A., Rusastra, I.W., & Budiharsono, S. (Eds.), Analisis Kebijakan Pembangunan Perikanan Budidaya. Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta, hlm. 1–11.

Mustafa, A., Rachmansyah, & Hanafi, A. 2007. Kelayakan lahan untuk budi daya perikanan pesisir. Dalam: Kumpulan Makalah Bidang Riset Perikanan Budidaya. Disampaikan pada Simposium Kelautan dan Perikanan pada tanggal 7 Agustus 2007 di Gedung Bidakara, Jakarta. Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta, 28 hlm.

Mustafa, A., Rachmansyah, & Kamariah. 2010. Karakteristik tanah di bawah tegakan jenis vegetasi mangrove dan kedalaman tanah berbeda di Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat sebagai indikator biologis untuk tanah tambak. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros, 30 hlm. Noor, M. 2004. Lahan Rawa: Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat Masam. PT RajaGrafindo

Persada, Jakarta, 238 hlm.

Osaki, M., Watanabe, T., Ishizawa, T., Nilnond, C., Nuyim, T., Sittibush, C., & Tadano, T. 1998. Nutri-tional characteristics in leaves of native plants grown in acid sulfate, peat, sandy podzolic, and saline soils distributed in Peninsular Thailand. Plant and Soil, 210(2): 175–182.

Patrick, W.H.Jr. & Delaune, R.D. 1977. Chemical and biological redox systems affecting nutrient avail-ability in the coastal wetlands. Geoscience and Man, 18: 131–137.

Rayes, M.L. 2007. Metode Inventarisasi Sumber Daya Lahan. Penerbit Andi, Yogyakarta. 298 hlm. Salam, M.A., Ross, L.G., & Beveridge, C.M.M. 2003. A comparison of development opportunities for

crab and shrimp aquaculture in southwestern Bangladesh, using GIS modeling. Aquaculture, 220: 477–494.

Sammut, J. 1999. Amelioration and management of shrimp ponds in acid sulfate soils: key research-able issues. In: Smith, P.T. (ed.), Towards Sustainresearch-able Shrimp Culture in Thailand and the Region. ACIAR Proceedings No. 90. Australian Centre for International Agricultural Research, Canberra, p. 102– 106.

Schaetzl, R.J. & Anderson, S. 2005. Soils: Genesis and Geomorphology. Cambridge University Press, Cam-bridge, 817 pp.

Soil Survey Staff. 2001. Soil Taxonomy, a Basic System of Soil Classification for Making and Interpreting Soil Survey. United State Department of Agriculture, Washington, DC. 734 pp.

(13)

pp.

Sulaeman, Suparto, & Eviati. 2005. Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Diedit oleh: Prasetyo, B.H., Santoso, D., & Widowati, L.R. Balai Penelitian Tanah, Bogor, 136 hlm. Sunarto. 2008. Peranan Ekologis dan Antropogenesis Ekosistem Mangrove. Karya Ilmiah. Fakultas Perikanan

dan Ilmu Kelautan, Universitas Padjadjaran, Jatinangor, 34 hlm.

Treece, G.D. 2000. Site selection. In: Stickney, R.R. (ed.), Encyclopedia of Aquaculture. John Wiley & Sons, Inc, New York, p. 869–879.

Vorenhout, M., van der Geest, H.G., van Marum, D., Wattel, K.,& Eijsackers, H.J.P. 2004. Automated

and continuous redox potential measurements in soil. J. of Environmental Quality, 33: 1177–1182. White, I., Melville, M.D., Lin, C., van Oploo, P., Sammut, J., & Wilson, B.P. 1995. Identification and management of acid sulphate soils. In: Hazelton, P.A. & Koppi, A.J. (eds.), Soil Technology - Applied Soil Science - A Course of Lecturer. Third edition. Australian Society of Soil Science Inc., NSW Branch and Department of Agricultural Chemistry & Soil Science, The University of Sydney, Sydney, p. 463–497.

Zhang, W., Faulkner, J.W., Giri, S.K., Geohring, L.D., & Steenhuis, T.S. 2009. Effect of soil reduction on

(14)

Lampiran 1.

Matriks

kesamaan

peubah kualitas tanah berdasarkan Korelasi Pearson di kawasan pesisir Kabupaten Mamuju Provinsi

Sulawesi Barat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 pHF (1 ) 1,0 0 Po ten si al r ed ok s ( 2) -,4 2 1, 00 pHFO X (3 ) -,1 9 -,0 4 1,0 0 pHF -p HFO X (4 ) ,48 -,09 -,95 1, 00 pHKC l (5 ) -,1 0 -,1 5 ,50 -,48 1, 00 pHOX (6 ) ,02 ,1 4 ,11 -,10 ,0 2 1, 00 SKCl (7 ) ,04 ,0 4 -,1 4 ,13 -,12 -,07 1, 00 SP (8 ) ,33 -,05 -,70 ,7 2 -,4 3 -,0 8 ,13 1, 00 SPOS (9 ) ,24 -,07 -,48 ,5 0 -,2 8 -,0 2 -,5 8 ,73 1, 00 TP A ( 10 ) ,1 0 ,0 4 -,4 4 ,4 3 -,6 8 -,0 5 ,1 3 ,4 7 ,2 9 1, 00 TA A ( 11) ,0 4 ,1 1 -,1 8 ,1 7 -,5 1 ,6 1 ,0 2 ,2 4 ,1 9 ,5 7 1, 00 TS A ( 12 ) ,1 0 ,0 3 -,4 5 ,4 3 -,6 8 -,0 8 ,1 4 ,4 7 ,2 9 1, 00 ,5 4 1, 00 Ba ha n o rg ani k ( 13 ) ,1 3 ,0 5 -,4 8 ,4 7 -,5 8 ,0 6 ,1 2 ,5 0 ,3 3 ,8 7 ,5 7 ,8 6 1, 00 Pi ri t ( 14 ) ,1 0 ,0 3 -,4 5 ,4 3 -,6 8 -,0 8 ,1 4 ,4 7 ,2 9 1, 00 ,5 4 1, 00 ,8 6 1, 00 Fe (15) ,3 5 -,1 6 -,6 6 ,6 7 -,5 6 -,2 0 ,1 7 ,7 3 ,4 7 ,4 6 ,1 6 ,4 7 ,4 4 ,4 7 1, 00 Al (1 6) -,0 4 -,2 0 -,1 5 ,1 3 ,0 8 -,2 0 ,4 4 ,2 1 -,1 4 ,1 8 -,1 9 ,1 9 ,1 9 ,1 9 ,1 5 1, 00 PO4 (1 7) -,07 ,2 1 ,09 -,10 ,1 5 ,08 -,01 -,13 -,10 -,18 -,09 -,18 -,15 -,18 -,24 -,01 1, 00 N -t ot al (18) ,0 8 ,0 8 -,4 8 ,4 6 -,5 6 ,1 6 ,2 5 ,4 1 ,1 6 ,7 6 ,5 5 ,7 6 ,8 8 ,7 6 ,4 2 ,1 2 -,0 7 1, 00 Ra si o C :N (19) -,0 3 ,0 3 ,1 0 -,1 0 -,0 2 -,1 0 -,1 2 -,0 3 ,0 6 ,1 2 ,0 2 ,1 2 ,1 2 ,1 2 -,0 8 ,0 5 ,2 8 -,2 2 1, 00 Pa si r ( 20 ) -,1 9 -,0 7 ,1 2 -,1 6 ,0 5 -,1 0 ,0 7 ,0 1 -,0 4 -,1 2 ,0 2 -,1 3 -,2 2 -,1 3 -,0 2 -,0 3 -,0 7 -,2 9 ,1 8 1, 00 Li at (2 1) -,0 3 ,2 7 ,0 4 -,0 5 ,0 6 ,3 0 -0 .1 -,1 3 -,0 6 ,0 2 ,1 2 ,0 2 ,1 0 ,0 2 -,2 5 -,0 1 ,1 4 ,1 7 -,1 3 -,7 4 1, 00 D eb u ( 22) ,2 9 -,0 7 -,1 8 ,2 5 -,1 0 -,0 6 -,0 5 ,0 7 ,0 9 ,1 6 -,1 1 ,1 6 ,2 4 ,1 6 ,1 8 ,0 5 ,0 1 ,2 9 -,1 6 -,9 0 ,3 7 1, 00 Pe ub ah Ni la i k or el as i pea rs on

(15)

Lampiran 2. Matriks ketidaksamaan vegetasi berdasarkan kualitas tanah kedalaman 0–0,25 m dengan jarak kuadrat euclidean di kawasan pesisir Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat

Api-api Bakau Paku laut Nipah Kelapa Sagu Padi Rumput Campuran Tanpa vegetasi

Api-api 0,000 Bakau 18,150 0,000 Paku laut 50,110 44,790 0,000 Nipah 30,938 31,700 20,831 0,000 Kelapa 17,811 24,983 33,625 19,680 0,000 Sagu 57,817 60,620 40,788 31,377 28,490 0,000 Padi 64,733 58,211 49,846 42,762 30,365 15,570 0,000 Rumput 12,450 11,900 21,648 9,630 11,447 30,960 35,020 0,000 Campuran 46,460 44,547 39,078 22,337 23,453 3,907 10,296 20,668 0,000 Tanpa vegetasi 25,363 31,204 47,244 22,611 19,719 21,565 35,595 15,801 13,899 0,000

Vegetasi Jarak kuadrat euclidean

Lampiran 3. Matriks ketidaksamaan vegetasi berdasarkan kualitas tanah kedalaman 0,50–0,75 m di dengan jarak kuadrat euclidean kawasan pesisir Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat

Api-api Bakau Paku laut Nipah Kelapa Sagu Padi Rumput Campuran Tanpa

vegetasi Api-api 0,000 Bakau 6,763 0,000 Paku laut 60,804 39,565 0,000 Nipah 19,584 11,505 36,111 0,000 Kelapa 29,667 17,835 24,871 17,347 0,000 Sagu 49,441 38,790 36,828 33,155 19,449 0,000 Padi 59,858 51,697 51,681 47,583 28,316 22,822 0,000 Rumput 47,070 27,174 32,045 19,423 19,301 18,036 34,945 0,000 Campuran 45,978 27,836 44,152 16,631 19,502 26,585 37,846 19,643 0,000 Tanpa vegetasi 20,224 16,815 45,888 8,745 21,153 18,770 36,658 20,239 21,669 0,000 Vegetasi

Gambar

Gambar 1. Tititk pengukuran dan pengambilan contoh tanah di kawasan pesisisr Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Selatan
Tabel 2.Nilai rata-rata±standar deviasi setiap peubah tanah pada vegetasi berbeda pada kedalaman tanah 0–0,25 m di kawasan pesisir Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat Sumber:Diolah dari Mustafa et al
Tabel 3.Nilai rata-rata±standar deviasi setiap peubah tanah pada vegetasi berbeda pada kedalaman tanah 0,50–0,75 m di kawasan pesisir Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat *Diolah dari Mustafa et al
Gambar 2. Dendrogram pengelompokan vegetasi berdasarkan kualitas tanah kedalaman 0–0,25 m di kawasan pesisir Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat
+2

Referensi

Dokumen terkait

Mereka, di samping ada juga peranan dari golongan lain, secara tidak langsung ikut berpartisipasi dalam menumbangkan cengkeraman kekuasaan Tokugawa dan yang

Jadi dapat disimpulkan bahwa bauran pemasaran adalah perpaduan dari unsur produk, promosi, dan penentuan harga yang bersifat unik, kemudahan atas akses dan ambience jasa,

resistor (V R1 , V R2 , V R3 ) dan arus yang mengalir pada rangkaian dengan. menggunakan rumus pada hukum Ohm dan buktikan

Pembuatan alat pengatur suhu dan kelembaban otomatis dilakukan untuk mengetahui suhu dan kelembaban pada ruangan budidaya jamur tiram untuk mengetahui kondisi saat itu yang

Peserta didik yang mampu mengerjakan soal-soal uraian terstruktur memiliki ketuntasan belajar R batas KKM, yaitu 60% (2) kesulitan peserta didik dalam mengerjakan soal-soal uraian

Akad transaksi asuransi syahriah mengundang kepastian dan penjelasan sehingga peserta asuransi menerima polis asuransi sesuai dengan apa yang dibayarkan ditambah

Dengan adanya perubahan standar baru ini yaitu PSAK 72 mengenai pengakuan pendapatan dari kontrak dengan pelanggan mengubah model pengakuan pendapatan berpengaruh besar atas laporan

Berdasarkan hasil uji lanjut pengaruh interaksi persentase penambahan daun kelor dan proses penyaringan ekstrak terhadap nilai kesukaan tekstur, diperoleh bahwa