• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kota Surakarta Sejarah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kota Surakarta Sejarah"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Kota Surakarta 2.1.1. Sejarah

Pada abad XVIII, Kota Solo memanfaatkan sungai terpanjang di Pulau Jawa, yaitu Sungai Bengawan Solo sebagai jalur transportasi utama yang menghubungkan Solo dengan Bandar Surabaya. Kota Solo mendapat julukan Kota Bengawan karena site-nya berada di tepian Sungai Bengawan Solo. Wilayah ini merupakan dataran rendah di antara vulkan-vulkan (intermountain-plain) Merapi dan Merbabu di sebelah barat dan Lawu di sebelah timur (Hadi 2001).

Kota Solo atau Surakarta pada awalnya merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Mataram. Melalui Perjanjian Gianti pada tahun 1755, Kerajaan Mataram pecah menjadi Kerajaan Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat. Perjanjian Salatiga tahun 1757 menyebabkan Kerajaan Surakarta pecah menjadi dua, Kasunanan dan Mangkunegaran. Kota Surakarta tetap menjadi tempat kedudukan kedua kerajaan tersebut sampai saat ini. Pemerintahan Kota Surakarta dimulai sejak ditetapkan sebagai ibukota karesidenan pada tahun 1946, dan kemudian pada tahun 1965 ditetapkan sebagai Ibukota Daerah Tingkat II Kotapraja Surakarta dan sekarang berstatus kotamadya (Hadi 2001).

Lebih lanjut, Hadi (2001) mengambil kesimpulan bahwa “Solo Lama” adalah pusat pemerintahan Kerajaan Surakarta Hadiningrat. Solo Lama merupakan kawasan deliniasi antara Keraton Surakarta dan Keraton Mangkunegaran. Pada kawasan ini sampai sekarang masih terdapat nama-nama pasar tempat penduduk melakukan transaksi, lekat dengan fungsinya sebagai pasar musiman dalam nama-nama hari Jawa. Pola penyebaran pasar-pasar ini membentuk konfigurasi kota yang cenderung berkembang mengikuti pola grid bentukan pengaruh kolonial. Pasar-pasar tradisional yang tumbuh saat Solo sebagai pusat Kerajaan Surakarta, antara lain Pasar Kliwon, Pasar Pon, Pasar Legi, Pasar Gedhe, Pasar Slompretan (sekarang Klewer), Pasar Kembang, dan Pasar Ngapeman.

(2)

2.1.2. Perkembangan Kota

a. Perkembangan Tata Ruang

Luas administrasi Kota Surakarta adalah 4.404 hektar terdiri dari 5 wilayah kecamatan dan 51 kelurahan (Hadi 2001). Sebuah jalan yang lurus dan lebar memanjang dari barat ke timur, yaitu Jalan Slamet Riyadi, membagi Kota Surakarta menjadi dua bagian, yaitu bagian utara yang bersifat profane/tercemar dan bagian selatan yang bersifat sakral. Kompleks Keraton dan kedua alun-alun jelas termasuk ke bagian Kota Selatan yang sakral. Pemukiman orang asing yang beragama lain dan daerah bekas teritorial seperti Mangkunegaran dan Kota Eropa terdapat di bagian utara kota (Santoso 2008).

Selanjutnya, Hadi (2001) menyampaikan bahwa pengembangan kota ke arah barat dan selatan cenderung didominasi oleh industri dan komersial tanah di wilayah tersebut dikembangkan dari endapan alluvial vulkanik muda yang subur dan merupakan aquifer yang baik. Potensi air tanah memungkinkan untuk penyediaan air baku industri. Masalah yang mungkin timbul adalah tejadinya konflik kepentingan antara kebutuhan tanah untuk industri dan tanah untuk pertanian. Demikian juga eksploitasi air tanah untuk industri dan limbah industri yang akan mencemari sungai-sungai sebagai badan air yang menerima limbah antara lain Kali Pepe dan Kali Wingko karena industri-industri tersebut letaknya di hulu.

Pengaruh regulasi makro yang menetapkan Kota Surakarta sebagai pusat pengembangan Jawa Tengah bagian selatan dan timur (Pusat Pertumbuhan Wilayah IV) dan pusat zona industri Solo-Yogya telah membawa perkembangan tata ruang kota sesuai dengan fungsi baru yang harus didukung atau pengembangan fungsi lamanya (Hadi 2001).

Di dalam wilayah kota, Hadi (2001) melihat bahwa pusat kota berkembang di sekitar kedua keraton yaitu Kasunanan dan Mangkunegaran yang pada awalnya pusat pemerintahan, berkembang menjadi daerah perdagangan, jasa perkantoran, hiburan, dan wisata. Beberapa perumahan di pemukiman ini menjadi tinggi intensitasnya dan beralih fungsi menjadi kawasan komersial dan dunia usaha. Pusat-pusat kegiatan lain di luar pusat kota berkembang secara linier maupun terpusat, menggeser fungsi pemukiman/perumahan termasuk perumahan tipe vila

(3)

(perumahan besar) di jalan-jalan utama yang berkembang menjadi daerah komersial, niaga, dan jasa. Berbagai kegiatan industri, manufaktur, jasa, juga berkembang di pinggiran kota di luar wilayah admisnistratif Kota Surakarta karena memerlukan tanah yang luas dan harga tanah yang relatif murah. Pertumbuhan ke luar kotamadya ini didukung oleh prasarana dan sarana transportasi yang memadai.

b. Karakteristik Transportasi

Menurut Hadi (2001) perkembangan kota secara fisik pada arah barat-timur dipengaruhi oleh perkembangan jalur transportasi (jalan raya) Solo-Yogya dan Solo-Semarang, juga oleh berkembangnya pangkalan udara Adi Sumarmo menjadi Bandara Internasional di sektor barat; sedangkan ke arah timur dipengaruhi oleh perkembangan jalur transportasi darat (jalan raya) Solo-Surabaya dan perkembangan kawasan industri Palur. Perkembangan tata ruang kota dan perluasannya ke wilayah-wilayah kabupaten di sekitarnya melahirkan wilayah perkembangan terpadu Subosuka (Surakarta-Boyolali-Sukoharjo-Karanganyar). Letak Solo yang berada di tengah jalur antara Semarang dan Yogya menjadikan Solo menjadi kota yang cukup ramai dan berkembang.

Subosuka terletak pada jalur lintas selatan sistem transportasi regional Pulau Jawa yang terdiri dari beberapa rute moda transportasi, yaitu;

a. Lintas utama KA dari Jakarta, Bandung, Yogya, Semarang menuju Surabaya. Sebuah cabang dari jalur ini menuju ke Purwodadi di bagian utara. Jalur lain yang berasal dari Solo adalah ke Wonogiri di bagian selatan.

b. Jalan Arteri Primer yang menghubungkan bagian timur dan barat Subosuka dengan jalan utama di pusat Kota Solo yaitu Jalan Slamet Riyadi menghubungkan jalan menuju Semarang, Yogya, dan Surabaya.

c. Sistem transportasi darat ini mendukung sistem transportasi iregional

dengan wilayah lain, yaitu Bandara Adi Sumarmo (Hadi 2001).

2.1.3. Lanskap Sejarah dan Budaya

Menurut Santoso (2008), hanya kota-kota (peninggalan sejarah kerajaan Mataram) seperti Solo dan Yogya yang masih bisa mempertahankan bentuk asli mereka sampai batas-batas tertentu. Peran sejarah Kota Solo sejak jaman

(4)

pra-kerajaan hingga jaman kemerdekaan tidak dapat diabaikan. Hal tersebut terlihat dari banyaknya peninggalan bersejarah di Kota Solo. Tabel 1 merupakan hasil identifikasi bangunan-bangunan kuno berdasarkan studi Zaida (2004).

Tabel 1. Bangunan-Bangunan Kuno Bersejarah di Kota Solo No Bangunan Bersejarah Tahun Dibangun Keterangan 1 Keraton Surakarta Hadiningrat

1745 Merupakan cikal bakal pembentukan Kota Surakarta dengan ciri arsitektur tradisional Jawa. Namun keraton saat ini hanya menjadi sebuah situs bersejarah seperti layaknya candi.

2 Benteng Vastenberg

1745 Berfungsi sebagai titik pertahanan kolonial di Jawa Tengah dengan bangunan bergaya kolonial. Namun kondisinya saat ini lebih menyerupai puing-puing, beberapa bagian atap di bangunan utama sudah tidak bergenting.

3 Pura

Mangkunegaran

1757 Menggambarkan percampuran antara arsitektur tradisional dengan arsitektur barat.

4 Masjid Agung 1777 Dibangun dengan arsitektur tradisional Jawa. Kondisi saat ini masih cukup terawat namun di sekitar bangunan ini banyak berdiri bangunan-bangunan modern yang bersifat komersial.

5 Stasiun Balapan - Merupakan bangunan gaya kolonial yang berfungsi sebagai sarana transportasi yaitu kereta api. Kondisi cukup terawat hingga saat ini.

6 Stasiun Purwosari 1875 Sebagai pendukung Stasiun Balapan. Bangunan berarsitektur barat ini masih berfungsi sebagai stasiun kereta api namun kondisinya kurang terawat.

7 Loji Gandrung - Bangunan berarsitektur kolonial ini sekarang digunakan sebagai rumah dinas Walikota Surakarta dan masih utuh kondisinya. 8 Vihara

Avalokiteswaru

- Merupakan rona arsitektur yang berbeda dengan lingkungannya karena pengaruh Cina mendominasi. Kondisi cukup terawat dan masih berfungsi sebagai tempat ibadah agama Budha.

9 Vihara Po-An-Kiong

1881 Ciri arsitektur Cina sangat tercermin dari bentuk maupun ornamen-ornamennya. Kondisi saat ini masih cukup terawat. 10 Pasar Gede

Hardjonagoro

1893 Bangunan ini merupakan persenyawaan antara bentuk kolonial (dinding tebal / kolom yang besar / tegas) dengan konsep tradisional (bentuk atap bentuk joglo atau limasan). Pada tahun 1927 pernah dilakukan perbaikan, kondisi saat ini masih cukup baik.

11 Taman Sriwedari 1899 Taman ini telah mengalami perubahan sebagai taman yang memiliki unsur budaya menjadi kawasan bernilai ekonomi dan wisata.

12 Stasiun Jebres 1900 Bangunan bergaya kolonial ini tetap seperti aslinya, belum pernah ditambah atau dikurangi meskipun saat ini telah berkembang sebagai stasiun peti kemas.

13 Gereja St. Antonius

1905 Bangunan yang didirikan dengan gaya arsitektur barat ini belum pernah mengalami perubahan bentuk maupun fungsinya.

14 Javache Bank 1908 Merupakan kantor bank pertama kali di Surakarta dengan arsitektur kolonial. Sekarang menjadi gedung Bank Indonesia, kondisinya baik.

15 Taman Balekambang

1916 Sebagai bekas taman dan pemandian putri pemerintahan Mangkunegaran.

Berdasarkan letak-letak bangunan kuno bersejarah di Kota Solo, Zaida (2004) mengidentifikasi kawasan “Solo Lama”. Terdapat beberapa area yang mempunyai nilai sejarah di Kota Solo yang dapat menjadi linkage area untuk

(5)

dikembangkan sebagai motor penggerak aktivitas kota dan perlu dibenahi untuk meningkatkan karakter Kota Solo. Linkage area terdiri dari tapak bersejarah dan ruang terbuka bersejarah (Gambar 2).

Kawasan Berikat Tapak Bersejarah (Integrated Linkage of Historical Area)

Kawasan- kawasan yang tercakup di dalamnya adalah kawasan Keraton Kasunanan Surakarta, kawasan Pura Mangkunegaran, kawasan Balaikota-Pasar Gedhe, serta kawasan benteng Vastenberg yang berada di pusat kota dan sebagai kawasan perdagangan dan pemerintahan. Zaida (2004) menganalisis bahwa di sekitar kawasan ini sering terjadi perbenturan nilai tradisional dengan nilai-nilai yang timbul kemudian. Untuk itu pada kawasan ini perlu didesain sebuah kawasan perdagangan yang tetap mengacu kepada kedudukan Keraton dan Mangkunegaran. Sesuai dengan konsep manca-pat2, kawasan inti Keraton (istana, alun-alun, masjid, dan pasar) dan Mangkunegaran harus steril dari kegiatan perdagangan. Pusat-pusat pertokoan dan pedagang kaki lima (PKL) tidak seharusnya berada di sekitar kawasan keraton ataupun alun-alun, karena jika mengacu konsep manca-pat telah dibangun Pasar Gedhe di luar keraton.

Kawasan Berikat Ruang Terbuka Bersejarah (Integrated Linkage of Historical Open Space)

Kawasan yang tercakup di dalamnya adalah Taman Sriwedari, kawasan Taman Balekambang, dan Kawasan Taman Jurug. Ketiga kawasan ini merupakan bagian dari sejarah perkembangan Kota Solo dimana fungsinya adalah sebagai ruang terbuka publik dan sarana rekreasi bagi warga kota. Selain berfungsi sebagai sarana rekreasi dan hiburan, dapat pula sebagai kegiatan industri wisata seperti pameran pembangunan serta kegiatan promosi wisata dan kebudayaan yang menarik minat wisatawan. Dalam perencanaan kawasan ini, dapat dihadirkan elemen-elemen lanskap baik elemen keras seperti jalur pedestrian, plasa, jalan, pagar, gedung kesenian, dan lain-lain ataupun elemen lunak seperti vegetasi dan air, bernuansa masa lalu sehingga warga kota ataupun pengunjung dapat merasakan bentuk kota tradisional pada masa lampau (Zaida 2004).

2

Manca-pat diartikan oleh Santoso (2008) sebagai sebuah satuan ruang yang disucikan dengan membaginya menjadi empat bagian (pat ) yang berpusat di tengah (alun-alun utara), yaitu sebelah barat melambangkan ukhrowi ditandai dengan Masjid Agung (1), selatan melambangkan istana raja ditandai dengan istana (2), timur melambangkan duniawi ditandai dengan Pasar Gedhe Hardjonagoro (3), dan utara melambangkan pemerintahan ditandai dengan adanya kepatihan (4).

(6)

b. Linkage of Historical Open Space a.Linkage of Historical Area

Sumber : Zaida 2004

Gambar 2. Historical Linkage

Perencanaan kota harus tetap mempertahankan nilai-nilai sejarah dan budaya yang telah ada sebelumnya. Dalam merencanakan sebuah kawasan kota yang terdapat banyak obyek sejarah, harus dipertimbangkan keberadaan obyek-obyek sejarah tersebut. Menurut Zaida (2004) alasan tentang pemberian perhatian pada bangunan kuno bersejarah sebagai pertimbangan dalam perencanaan dan pembangunan kota adalah sebagai berikut:

1. lingkungan dan bangunan kuno bersejarah dengan ragam arsitekturnya yang khas merupakan asset yang sangat berharga dalam bidang pariwisata;

2. peninggalan karya arsitektur kuno, baik tradisional maupun peninggalan kolonial, merupakan rekaman sejarah dalam bentuk visual yang menyiratkan kesinambungan peri kehidupan masyarakat dari waktu ke waktu;

3. pada masa-masa yang penuh perubahan cepat, lingkungan dan bangunan kuno bersejarah memberikan suasana tersendiri yang unik, segar akrab serta dapat menjadi “tengeran” atau landmark untuk orientasi;

4. generasi mendatang membutuhkan rasa aman dan kebanggaan, yang akan diperoleh melalui peluang untuk melihat, menyentuh, dan merasakan bukti fisik sejarah serta kekayaan budaya nenek moyang;

5. dengan dilestarikannya bangunan kuno bersejarah di segenap tempat, khasanah wajah lingkungan akan menjadi lebih kaya;

6. keberhasilan perencanaan dan perancangan lingkungan binaan akan menjadi bekal dan pelajaran berharga bagi kegiatan serupa di masa depan.

(7)

2.2. Jalan Slamet Riyadi 2.2.1. Karakteristik

Menurut Malik (2007), pada abad ke-19 tepat berhadapan dengan benteng Vastenberg, menjadi pusat pemukiman Belanda yang dinamakan Kampung Baru. Di pusat pemukiman Belanda terdapat jalan ke arah barat menuju Kartasura dan ke Semarang. Santoso (2008) mengemukakan jalan yang lurus dan lebar tersebut memanjang dari barat ke timur membagi Solo menjadi dua bagian, yaitu bagian utara yang telah tercemar (profane) dan bagian selatan yang sakral. Kompleks Keraton dan kedua alun-alun termasuk ke dalam bagian Kota Selatan yang sakral (Santoso 2008). Dengan dibukanya jalan menuju Semarang, terjadi pertumbuhan ekonomi dan kultural pada masyarakat Solo. Sejak itu keberagaman etnis, tradisi dan kesenian tumbuh di masyarakat wilayah utara dan selatan kota (Malik 2007).

Jalan yang pada mulanya dinamakan Wihelminaan ini sekarang bernama Jalan Slamet Riyadi (Malik 2007). Jalan ini merupakan jalan utama/arteri di pusat Kota Surakarta yang menghubungkan bagian timur dan barat Subosuka dan juga menghubungkan Surakarta dengan Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya (Hadi 2001). Selain itu, di Jalan Slamet Riyadi terdapat sebuah rel kereta api yang menyatu dengan jalan dan berada di sebelah selatan jalan. Rel kereta api yang merentang di Jalan Slamet Riyadi ini, adalah rel jurusan Solo-Wonogiri (Primartantyo 2008).

Jalan Slamet Riyadi memiliki nilai-nilai sejarah dan budaya yang sangat tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan keberadaan obyek-obyek sejarah kolonial dan budaya Jawa yang masih terlihat hingga saat ini, termasuk kedua keraton, yaitu. Kasunanan dan Mangkunegaran. Menurut Hadi (2001), pusat kota berkembang di sekitar kedua keraton, yaitu Kasunanan dan Mangkunegaran, menjadi daerah perdagangan, jasa perkantoran, hiburan, dan wisata yang pada awalnya merupakan pusat pemerintahan. Jalan Slamet Riyadi, juga ikut berkembang menjadi daerah komersial, niaga, dan jasa.

2.2.2. Rencana Pengembangan

Zaida (2004) memaparkan bahwa di sepanjang Jalan Slamet Riyadi yang diperuntukkan sebagai perkantoran, pertokoan, dan jasa pelayanan, dalam perencanaanya dapat dikembangkan dengan desain bangunan atau perabot jalan

(8)

(street furniture) yang mengacu pada arsitektur tradisional, sehingga tercipta kesatuan ruang. Dari hasil perencanan kawasan ini, dapat dikembangkan kegiatan wisata budaya yang dipadukan dengan wisata belanja. Rejeki (2006) menyatakan bahwa bangunan-bangunan di sepanjang Jalan Slamet Riyadi juga menampilkan bangunan bercorak kolonial-jawa sebagai ciri khas Kota Surakarta.

Lebih lanjut Rejeki (2006) menyampaikan bahwa Pemerintah Kota (Pemkot) Solo saat ini telah mengembangkan konsep city walk di sepanjang Jalan Slamet Riyadi sehingga bisa digunakan untuk berjalan dan menarik para wisatawan. Pada tahap awal pengembangan city walk, Pemkot Surakarta telah menata pedagang kaki lima (PKL) dengan menertibkan dan membangun shelter PKL. Solo City Walk dibangun di sebelah selatan Jalan Slamet Riyadi, mulai dari Purwosari hingga ke Bundaran Gladak dan Pasar Gede. Jalur pedestrian dilebarkan dengan cara menghilangkan jalur lambat dan menggabungkannya dengan trotoar yang sudah ada sehingga terbentuk jalur pedestrian baru selebar lima meter. Jalur pedestrian ini dilengkapi dengan kursi-kursi bagi pejalan kaki, taman, dan penambahan pepohonan.

Selanjutnya Primartantyo (2008) menyebutkan bahwa PT Kereta Api telah mempertimbangkan untuk mengoperasikan trem di jalur kereta api yang merentang sepanjang jalan utama Kota Surakarta ini. Trem beroperasi di sejumlah kota Indonesia sejak zaman Belanda. Setelah zaman merdeka, perlahan trem-trem ini dihentikan operasinya dan diganti bus kota sebagai angkutan massal. Selain sebagai angkutan, trem juga bisa diarahkan untuk paket wisata, sepanjang jalur kereta di pinggir Jalan Slamet Riyadi banyak bangunan bersejarah seperti Museum Radya Pustaka, Keraton, dan lainnya.

2.3. Wisata

2.3.1. Pengertian Wisata

Menurut Gunn (1993), wisata merupakan perjalanan sementara yang dilakukan orang menuju sebuah tujuan selain tempat asal mereka bekerja dan tinggal, mereka melakukan aktivitas selama di tujuan tersebut dan fasilitas-fasilitas dibuat untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Menurut Pendit (2002), wisata sebagai istilah bahasa Indonesia adalah padanan istilah bahasa Inggris tourism yang dipakai oleh Negara-negara Eropa

(9)

Barat dan travel oleh orang Amerika Utara, yang mengandung makna ‘kepergian orang-orang, dalam jangka waktu pendek, sementara, ke tempat-tempat tujuan diluar tempat tinggal dan bekerja sehari-harinya serta kegiatan-kegiatan mereka selama berada ditempat-tempat tujuan tersebut untuk berbagai motivasi asal usaha mereka tidak untuk mencari nafkah. Wisata adalah salah satu jenis industri baru yang mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan kerja, peningkatan penghasilan, standar hidup serta menstimulasi sektor-sektor produktif lainnya.

2.3.2. Wisata Sejarah

Untuk sumber-sumber sejarah, tipe pengembangan dapat dilakukan pada obyek-obyek seperti: tempat yang bersejarah, arsitektur bersejarah, tempat yang suci, museum yang menggambarkan berbagai era sejarah, pusat budaya, pawai sejarah, festival, landmark, dan taman bersejarah. Untuk keperluan wisata, tapak, stuktur, serta kegiatan yang berkaitan dengan tempat tersebut merupakan dasar atraksi wisata (Gunn 1993).

Menurut Gunn (1993), perlu usaha lebih agar pemilik situs-situs sejarah yang vital terdorong agar mempercayakan wewenang perlindungan dan pengelolaan kepada pihak negara. Dibutuhkan sebuah program untuk meningkatkan dorongan guna pelestarian kembali sumber-sumber sejarah. Hal ini dapat diantisipasi dengan pembuatan zona baru yang berhubungan dengan aspek sejarah guna identifikasi sumber-sumber sejarah selama proses perencanaan keseluruhan.

Suatu daerah tertentu sedikit banyaknya memiliki ciri sejarah berupa benda acuan (landmark). Pengetahuan terhadap letak dan kegunaan benda acuan ini sangat berharga untuk suatu penafsiran terhadap daerah yang akan dikelola secara menyeluruh, juga dalam hal meletakkan tampilan khusus dan menjadikannya sebagai pusat perhatian. Beberapa aspek pada tapak yang merupakan ciri sejarah: rute bersejarah, bangunan bersejarah, tapak bersejarah (Chiara dan Koppelmen 1994).

(10)

2.3.3. Wisata Budaya

Lanskap wisata sejarah juga sangat berkaitan erat dengan budaya masyarakat lokal karena hasil interaksi serta persepsi masyarakat lokal terhadap warisan sejarah merupakan kebudayaan yang tidak ternilai harganya. Menurut Marbun (1994), kota Indonesia masa kini dan masa depan tidak perlu menjiplak model dari dunia luar, tetapi harus menggali nilai-nilai/budaya Indonesia dan memadukan secara harmonis sesuai dengan kemajuan teknologi.

Wisata budaya adalah wisata yang dilakukan atas dasar keinginan, untuk memperluas pandangan hidup seseorang dengan jalan mengadakan kunjungan atau peninjauan ke tempat lain atau keluar negeri, mempelajari keadaan rakyat, kebiasaan, dan adat istiadat mereka, cara hidup mereka, budaya dan seni mereka. Perjalanan ini sering disatukan dengan kesempatan-kesempatan mengambil bagian dalam kegiatan-kegiatan budaya, seperti eksplorasi seni, atau kegiatan yang bermotif kesejarahan dan sebagainya (Pendit 2002).

2.4. Jalur Interpretasi 2.4.1. Pengertian Interpretasi

Tilden dalam Sharpe (1982) mengemukakan bahwa interpretasi adalah aktivitas pendidikan yang bertujuan untuk mengungkapkan makna dan asal-usul sebuah obyek bersejarah dengan berbagai media ilustrasi. Selanjutnya Sharpe (1982) menyimpulkan bahwa interpretasi merupakan hubungan komunikasi antara pengunjung dengan obyek yang dikunjunginya.

Knudson dalam Damayanti (2003) menyatakan bahwa interpretasi adalah mengkomunikasikan arti sebuah tempat dan kejadian, serta memunculkan makna-makna yang tersembunyi. Secara umum, interpretasi adalah penerjemahan dari fenomena sejarah, budaya, dan alam sehingga para pengunjung dapat memahami dengan baik dan menikmati apa yang disampaikan.

2.4.2. Teknik dalam Pengembangan Jalur Interpretasi

Peter Howard dalam Riyanto (2008) mengulas tentang interpretation in practice danbeberapa butir penting menyangkut hal ini antara lain adalah:

1) interpretasi merupakan salah satu dari tiga bagian utama heritage selain

(11)

2) interpretasi memiliki berbagai makna berkaitan dengan mengkomunikasikan heritage kepada masyarakat yang meliputi interpretasi langsung dan kemasan (design);

3) persoalan dalam interpretasi antara lain adalah menyangkut apa yang

harus disampaikan, bagaimana caranya, dan untuk siapa;

4) interpretasi dengan kemasan (design) akan menyangkut beberapa hal

seperti:

a) diperlukan keahlian dalam mengemas (mendesain),

b) sasarannya adalah kelima panca indra pengunjung,

c) bentuknya meliputi: pameran, leaflet, label, audio-video, sistem

teknologi informasi (multi media), tata suara, musik, replika, contoh/peniruan,

d) prosesnya meliputi tiga tahapan: strategi, taktis, pelaksanaan.

Ham dalam Damayanti (2003) menyebutkan beberapa teknik presentasi interpretasi yaitu: (1) penyampaian lisan, tulisan; (2) pemandu perjalanan wisata; (3) brosur dan publikasi; (4) pameran; (5) penanda; (6) self-guided trails. Untuk mendukung pelaksanaan teknik interpretasi dibutuhkan kelengkapan interpretasi seperti tempat pameran, penanda, bangku, jalur, kelengkapan sepanjang jalur, dan amphitheater.

Gunn (1993) berpendapat bahwa untuk pengembangan wisata yang berkelanjutan dibutuhkan kontrol oleh pengelola, dalam hal ini pemerintah, dan pihak pengunjung demi kenyamanan mereka sendiri. Beberapa kontrol yang berpengaruh untuk menyeimbangkan penggunaan wisata dengan perlindungan situs-situs bersejarah yaitu pos masuk, pusat pengunjung, pelaksanaan peraturan yang santun dan efektif, pengelolaan sumber-sumber sejarah, pengenalan dan interpretasi lingkungan.

Salah satu kontrol yang paling penting adalah pusat interpretasi. Pusat interpretasi pengunjung adalah sebuah fasilitas dan program yang didesain untuk melengkapi pengetahuan dan wawasan pengunjung terhadap sumber-sumber wisata alami maupun budaya. Alokasi ruang untuk fasilitas pusat interpretasi terbukti telah membuat pengalaman wisatawan lebih mengenang dan tidak terlupakan (Gunn 1993). Hal ini karena pengunjung lebih mengetahui tempat mana saja yang harus dikunjungi sesuai dengan waktu yang dimiliki.

(12)

2.5. Perencanaan Lanskap Wisata

Menurut Hall (2000), perencanaan wisata tidak hanya mengarah kepada spesifikasi pengembangan wisata dan promosi walaupun hal tersebut memang penting. Wisata harus terintegrasi dengan proses perencanaan secara menyeluruh agar tujuan utama dari pengembangan ekonomi, sosial, dan lingkungan dapat sesuai dengan pengembangan wisata.

Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam mengembangkan kawasan wisata adalah ketersediaan obyek dan atraksi wisata, pelayanan wisata, dan transportasi pendukung. Obyek dan atraksi wisata merupakan andalan utama untuk mengembangkan kawasan wisata. Wisata harus direncanakan untuk memastikan bahwa wisatawan dapat dengan bebas memperkaya diri dengan mendapatkan sesuatu yang baru, petualangan, dan penghargaan terhadap diri sendiri dengan mencapai obyek yang diinginkan (Gunn 1993).

Berikut ini adalah pertimbangan dalam penelitian daya tarik wisata sejarah dan budaya.

Tabel 2. Kriteria Penelitian Daya Tarik Wisata Sejarah dan Budaya (Pendit 2002)

Aspek Jenis Obyek/Atraksi Wisata

Sejarah Peninggalan Purbakala Bekas istana, tempat peribadatan , kota tua dan bangunan-bangunan purbakala, peninggalan sejarah, dongeng atau legenda.

Budaya Adat Istiadat Pakaian, makanan dan tatacara hidup daerah, pesta rakyat, kerajinan tangan dan produk-produk lokal lainnya.

Seni Bangunan Arsitektur setempat seperti candi, pura, masjid, gereja, industri, bangunan adat, dan sebagainya. Pentas dan Pagelaran Gamelan, musik, seni tari, pekan olahraga,

kompetisi, pertandingan dan sebagainya.

Pameran Pekan Raya Pekan raya-pekan raya bersifat industri komersial.

Gambar

Tabel 1. Bangunan-Bangunan Kuno Bersejarah di Kota Solo
Gambar 2. Historical Linkage
Tabel 2. Kriteria Penelitian Daya Tarik Wisata Sejarah dan Budaya (Pendit 2002)

Referensi

Dokumen terkait

Dalam upaya pencapaian target strategi yang telah ditetapkan Pavilyun Sakinah (In patient) memiliki beberapa program yang akan dilaksanakan pada tahun 2016

Pada PES 2013, akan lebih mudah dalam melakukan dribbling untuk melewati pemain lawan, namun lebih susah dalam melakukan umpan 1-2 jika dibandingkan PES 20121. Trik dalam

Berisi tentang kesimpulan dari data–data yang telah dianalisa dan selanjutnya akan diberikan saran dari kesimpulan yang telah didapat terutama bagi pihak

dimaksud menggambarkan adanya empat langkah dan pengulangannya, yang disajikan dalam bagan berikut ini. Analisis data akan dilakukan untuk menguji hipotesis dari

Mengasosiasi • Guru memberikan • Peserta didik membahas penerapan kesempatan kepada aksara jawa yang digunakan pada teks kelompok peserta didik tembang Gambuh serat

Pada sampel tidak dijemur dengan konsentrasi air 150

Perbedaan antara peran pemerintah dan NGO dalam bantuan bencana memang cukup menarik, penelitian ini diperdalam dengan persepsi antara pemimpin organisasi pemerintah dan pemimpin

Kelemahan dari penelitian ini adalah belum diketahuinya secara pasti mekanisme penghambatan kenaikan kadar ALT tikus yang diinduksi dengan parasetamol serta senyawa