• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan dapat menurunkan kualitas hidup (Allen, 2003; Krisdapong et al., 2013; Wang et

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan dapat menurunkan kualitas hidup (Allen, 2003; Krisdapong et al., 2013; Wang et"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penyakit gigi dan mulut (gilut) menimbulkan beban kesehatan di masyarakat dan dapat menurunkan kualitas hidup (Allen, 2003; Krisdapong et al., 2013; Wang et al., 2013). Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007 (Kemenkes RI, 2007) menunjukkan bahwa rerata decayed, missing, filling teeth (DMFT) pada anak berusia 12 tahun sebesar 0,9, sedangkan menurut RISKESDAS 2013, DMFT naik menjadi 1,4 (Kemenkes RI, 2013). Angka ini lebih rendah dibanding hasil survei di Vientiane, Laos, dengan rerata DMFT sebesar 1,8 pada anak-anak yang berusia sama (Jurgensen dan Petersen, 2009). Di Thailand, DMFT pada anak-anak yang tinggal di perkotaan lebih tinggi (2,6) dibandingkan dengan di pedesaan yang sebesar 2,2 (Petersen et al., 2001). DMFT pada anak usia yang sama di New South Wales, Australia, sebesar 0,74 (Phelan et al., 2009), sementara di beberapa tempat di negara belum berkembang, misalnya Mbarara, Uganda sebesar 1,5 (Batwala et al., 2007).

Di Khartoum, Sudan, hasil survei pada anak berusia 12 tahun, menunjukkan rerata DMFT sebesar 0,42 (Nurelhuda et al., 2009), bahkan di daerah pinggiran kota di Nigeria, rerata DMFT pada anak usia yang sama hanya 0,14 (Adekoya-Sofowora et al., 2006), jauh lebih rendah dibandingkan dengan di Indonesia. Fenomena indikator DMFT menunjukkan bahwa di negara yang belum berkembang, DMFT relatif rendah dibandingkan dengan negara sedang berkembang. Demikian pula, DMFT lebih rendah di negara maju dibandingkan dengan negara berkembang. Di negara sedang berkembang, pada tingkat sosial ekonomi rumah tangga yang lebih tinggi prevalensi karies juga lebih tinggi (Popola et al., 2013).

(2)

Kesehatan gilut di negara maju semakin membaik, tercermin dari prevalensi karies yang semakin menurun dari waktu ke waktu (Marthaler, 2004). Peningkatan tersebut dilatarbelakangi faktor-faktor yang kompleks, misalnya konsumsi gula yang menurun, praktik kesehatan mulut yang membaik, penggunaan fluorida dalam pasta gigi, aplikasi fluorida topikal, pemanfaatan pelayanan kesehatan gilut secara lebih efektif dan program-program pencegahan, pendidikan dan promosi kesehatan gigi di sekolah (Shenoy dan Sequeira, 2010). Kesehatan gilut di antara orangtua dan anak-anak di negara maju semakin membaik, seiring dengan meningkatnya kesadaran, pengetahuan dan sikap terhadap kesehatan mulut (Krol, 2003).

Tingkat sosial ekonomi penduduk yang membaik diikuti peningkatan tingkat kesehatan gilut anak sekolah (Watt dan Sheiham, 1999). Hasil penelitian dengan data sekunder menunjukkan bahwa di negara berkembang prevalensi karies meningkat karena konsumsi gula yang semakin tinggi, sementara itu konsumsi gula di negara maju relatif tidak berubah, namun penggunaan fluorida dan pelayanan pencegahan penyakit gigi telah mengakibatkan penurunan prevalensi karies (Masood et al., 2012). Peran orang tua dalam penurunan angka karies pada anak terutama berkaitan dengan perilaku anak dalam menggosok gigi menggunakan pasta gigi berfluorida dan pemeriksaan gigi secara rutin di antara anak yang hidup dalam keluarga dengan sosial-ekonomi yang lebih baik (Wigen dan Wang, 2012). Tingkat kejadian karies ditemukan lebih rendah pada anak dengan orangtua berpendidikan dan berpenghasilan lebih tinggi (Salduanite et al., 2014).

Sebagian besar faktor yang berpengaruh terhadap penurunan penyakit gilut terkait dengan perubahan perilaku yang positif terhadap kesehatan gilut, sehingga perilaku tersebut harus dimulai sedini mungkin (Makuch dan Reschke, 2001). Perilaku-perilaku esensial dalam pencegahan penyakit gilut meliputi higiene mulut,

(3)

pola makan, pemakaian fluorida, kunjungan ke dokter gigi untuk pelayanan protektif terhadap permukaan gigi (Hurlbutt dan Young, 2014).

WHO menganjurkan upaya peningkatan kesehatan gilut melalui kegiatan promosi kesehatan berbasis sekolah (WHO, 2003). Usaha kesehatan gigi sekolah (UKGS) merupakan bagian dari usaha kesehatan sekolah (UKS) yang sudah diimplementasikan di Indonesia sejak tahun 1951. Menurut Keputusan Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Nomor: HK.02.04/II/963/2012 tentang Pedoman UKGS, ada tiga tahap UKGS, tahap I disebut dengan paket minimal UKGS dengan kegiatan 1) Pelatihan dan peningkatan pengetahuan kesehatan gilut secara terintegrasi kepada guru pembina UKS dan dokter kecil, 2) Pendidikan dan penyuluhan kesehatan gigi oleh guru pendidikan jasmani, olah raga dan kesehatan (PJOK)/pembina UKS/dokter kecil sesuai kurikulum untuk semua murid kelas 1-6 minimal 1 kali setiap bulan, dan 3) Sikat gigi bersama menggunakan pasta gigi yang mengandung fluorida dibimbing oleh guru.

Tahap II disebut dengan paket standar UKGS dengan kegiatan yang sama dengan tahap I ditambah dengan: 1) Pengobatan darurat untuk menghilangkan rasa sakit oleh guru, 2) Penjaringan kesehatan gilut untuk kelas 1 pada awal tahun ajaran dengan pencabutan gigi sulung yang sudah waktunya tanggal oleh tenaga kesehatan gigi disertai informed consent dari orangtua murid, 3) Surface protection untuk gigi molar tetap yang sedang tumbuh, dilakukan fissure sealant untuk murid kelas 1 dengan gigi tetap ada yang karies atau lebih dari delapan gigi susu yang karies, dan 4) Rujukan bagi yang memerlukan.

Tahap III disebut paket optimal UKGS dengan kegiatan yang sama dengan kegiatan UKGS tahap II ditambah dengan kegiatan surface protection untuk murid kelas 2 dan pelayanan medik gigi dasar atas permintaan murid kelas 1-6 (care on

(4)

demand). Kegiatan program dikendalikan oleh dokter gigi atau perawat gigi puskesmas, karena UKGS merupakan program puskesmas, juga melibatkan guru yang dilatih (Kemenkes RI, 2012).

Pada era desentralisasi pemerintahan ke tingkat kabupaten/kota, pelayanan kesehatan gigi, termasuk UKGS, tidak merupakan pelayanan kesehatan dasar di puskesmas di Indonesia, tetapi merupakan pelayanan pengembangan, bukan kegiatan utama (Depkes, 2002). Pedoman UKGS yang dikeluarkan oleh Kemenkes tidak selalu dilaksanakan di puskesmas, tergantung kebijakan puskesmas untuk merencanakan program dan mengalokasikan sumber daya. Hasil penelitian pendahuluan pada anak kelas 5 dan 6 dari 6 SD di Kabupaten Sleman yang berjumlah 629 anak menunjukkan bahwa rerata angka DMFT sebesar 1,4 dengan prevalensi karies sebesar 75,8%. Kegiatan UKGS di sekolah hanya berupa pemeriksaan skrining, dilanjutkan dengan rujukan ke puskesmas bila ada indikasi. Kegiatan program kesehatan gilut di sekolah yang terfokus pada pelayanan teknis seperti pendidikan dan penyuluhan, pelatihan guru, skrining kesehatan gilut, program menggosok gigi masal, pengobatan darurat atas permintaan (on demand) bersifat parsial. Tidak semua komponen program UKGS sesuai pedoman nasional dilaksanakan oleh puskesmas.

Kinerja program peningkatan kesehatan gigi dalam UKGS di DIY tidak berkaitan dengan pengalaman karies (Amalia et al., 2012), walaupun efektivitas kegiatan-kegiatan program UKGS didukung oleh bukti ilmiah. Kelemahan dari penelitian-penelitian dalam bidang UKGS adalah tanpa didukung teori perilaku sebagai kerangka konseptual yang mendasarinya (Richards, 2013). Demikian pula, efek sekolah dan pusat pelayanan kesehatan primer terhadap status kesehatan gilut murid sekolah tidak pernah dianalisis.

(5)

Hasil penelitian Gauba et al. (2006) menunjukkan bahwa program pencegahan penyakit gilut berbasis sekolah yang dilaksanakan mempunyai dampak yang positif. Siswa yang mendapat program kesehatan gigi sekolah mempunyai pengetahuan, praktik, dan derajat kesehatan gilut yang lebih baik. Di Thailand selatan, Petersen et al. (2001) menemukan bahwa pendidikan kesehatan secara sistematik di sekolah dapat meningkatkan kesehatan gilut. Menurut Antonio et al. (2006), program promosi kesehatan gilut berbasis sekolah di Brasil menghasilkan dampak positif terhadap kesehatan gilut, dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapat intervensi berbasis sekolah.

Pendidikan kesehatan terbukti dapat meningkatkan pengetahuan dan mengurangi akumulasi plak, namun tidak berhasil menurunkan prevalensi karies (Kay dan Locker, 1996). Program menggosok gigi dengan pasta gigi mengandung fluorida yang dianjurkan sebagai salah satu kegiatan di sekolah dapat menurunkan karies (Curnow et al., 2002). Mouthrinsing dengan 0,2% larutan NaF sekali dalam seminggu dapat menurunkan karies gigi (36,6% DMFT dan 42,8% DMFS) pada anak usia 12 tahun yang mengikuti program sejak usia 6 tahun (Komiyama et al., 2012).

Proporsi perilaku menggosok gigi pada waktu yang benar (minimal dua kali sehari yaitu setelah sarapan dan sebelum tidur malam) di antara murid-murid sekolah hanya 7,69% (Widiati, 2013). Motivasi untuk perilaku kesehatan gigi dan pencegahan gilut secara konsisten berhubungan dengan kebersihan mulut dan status karies. Penelitian tersebut hanya mengkaji aspek motivasi, tidak menguji teori-teori perilaku yang menjelaskan praktik-praktik kesehatan gilut yang dilakukan oleh anak-anak sekolah yang diteliti.

Wilayah Kabupaten Sleman berada pada ketinggian antara 100-2500 meter di atas permukaan laut. Bagian selatan relatif datar, kecuali daerah perbukitan di bagian

(6)

tenggara Kecamatan Prambanan dan sebagian di Kecamatan Gamping, sedangkan bagian utara merupakan lereng Gunung Merapi. Secara administratif, Kabupaten Sleman terdiri dari 17 kecamatan dengan penduduknya yang berjumlah 978.242 jiwa (485.172 laki-laki dan 493.073 perempuan). Jumlah anak yang berusia 5-14 tahun berjumlah 125.180 anak terdiri dari 63.943 laki-laki (14,6%) dan 61.237 (13,2%) perempuan. Anak usia sekolah dasar ini kemungkinan menempuh pendidikan di sekolah swasta dan 403 SD negeri. Pelayanan kesehatan primer terutama difasilitasi melalui 25 puskesmas (Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, 2013). Efek lingkungan sekolah dan peran puskesmas tidak pernah diperhitungkan dalam kajian program-program perubahan perilaku anak sekolah untuk meningkatkan status kesehatan gilut. Amalia et al. (2011) menemukan bahwa faktor-faktor sosial, bukan program UKGS yang lebih berperan terhadap pengalaman karies murid sekolah. Pengukuran faktor-faktor sosial tersebut dilakukan pada tingkat individu murid, sehingga tidak memperhitungkan saling keterkaitan faktor-faktor sosial di sekolah yang sama dan yang dilayani oleh puskesmas yang sama.

Kebaruan dalam penelitian ini adalah dalam memperhitungkan faktor-faktor perilaku murid, perbedaan sekolah, dan puskesmas sebagai determinan kesehatan gilut murid sekolah. Perilaku murid secara langsung merupakan determinan kebersihan mulut, kesehatan gusi dan karies gigi, yang bersifat individual. Faktor sekolah dan puskesmas sebagai konteks perilaku dan sosial murid-murid, dikaji melalui analisis multilevel, sehingga efek tingkat agregat, tidak hanya individual, dapat diestimasi (Faulkner et al., 2014). Penjelasan secara multilevel terhadap kesehatan gilut merupakan kebaruan penelitian ini. Analisis multilevel merupakan teknik statistik untuk menguji teori bahwa faktor kontekstual berpengaruh terhadap hubungan-hubungan pada tingkat individual. Menurut Hayes (2006), pemahaman akan teknik

(7)

statistik tersebut dapat memberikan kontribusi terhadap formulasi pertanyaan-pertanyaan substantif dan teoritik, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan-pengetahuan yang baru.

Kesehatan gilut dipengaruhi oleh kebiasaan terkait kebersihan gigi, pola diet, dan pencegahan penyakit gilut oleh perawat atau dokter gigi. Permasalahan yang melatarbelakangi penelitian ini adalah bahwa perilaku individual yang tercermin dari kebiasaan-kebiasaan tersebut tidak sepenuhnya menjelaskan status kesehatan gilut di masyarakat. Sekolah dan puskesmas juga berperan terhadap tingkat kesehatan gilut murid-murid sekolah. Permasalahan penelitian dapat dirangkum dalam pertanyaan-pertanyaan tentang perilaku individual, sekolah dan puskesmas sebagai determinan kesehatan gilut.

B. Masalah Penelitian

Permasalahan penelitian meliputi efek individu yang mengelompok di unit-unit agregat tertentu, misalnya sekolah dan puskesmas, sehingga dibutuhkan pendekatan multilevel, untuk merinci pengaruh individual dan pengaruh unit agregat sebagai level yang lebih tinggi terhadap kesehatan gilut:

1. Apakah perilaku kesehatan gilut dan sosio-demografi murid sekolah dasar merupakan determinan kesehatan gilut?

2. Apakah sekolah dasar tempat belajar murid dan puskesmas sebagai penanggung-jawab program UKGS di wilayahnya berhubungan dengan status kesehatan gilut? 3. Apakah individu, sekolah dan puskesmas secara keseluruhan berhubungan dengan

(8)

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara perilaku kesehatan gilut, sosio-demografi murid SD dalam konteks sekolah dan puskesmas sebagai penanggung-jawab UKGS yang merupakan program nasional, dengan kesehatan gilut murid sekolah.

2. Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui hubungan perilaku dan kesehatan gilut murid sekolah dasar, dan mengetahui model teoritis untuk menjelaskan perilaku kesehatan gilut. b. Untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga dan faktor-faktor

sosio-demografi, dengan kesehatan gilut murid sekolah dasar.

c. Untuk mengetahui hubungan sekolah tempat belajar murid dengan status kesehatan gilut murid sekolah dasar.

d. Untuk mengetahui hubungan puskesmas sebagai penanggung-jawab program UKGS dengan status kesehatan gilut murid sekolah dasar.

D. Manfaat Penelitian

Usia sekolah merupakan bagian dari masa-masa pembentukan diri yang dapat mempengaruhi kebiasaan dan perilaku (Burke et al., 2014). Terkait dengan kesehatan gilut, perilaku yang sehat dapat menurunkan kejadian karies dan meningkatkan kebersihan mulut serta kesehatan gusi dalam jangka panjang. Penelitian ini memberikan kontribusi teoritis terhadap perilaku kesehatan gilut yang dapat ditindaklanjuti dengan intervensi perilaku, dan kontribusi praktis terhadap efek sosiodemografi dan konteks sosial yang dapat berkontribusi terhadap alokasi sumberdaya dan penentuan prioritas program.

(9)

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi model perilaku yang menjelaskan perilaku dalam hubungannya dengan kesehatan gilut murid SD.

2. Memahami konteks sekolah dalam hubungan dengan kesehatan gilut.

3. Mengidentifikasi faktor-faktor sosio-demografi dan dukungan terhadap perilaku yang berhubungan dengan kesehatan gilut.

4. Memahami konteks puskesmas dalam hubungan dengan kesehatan gilut

E. Keaslian Penelitian

1. Ohara et al. (2000) menemukan bahwa pendidikan kesehatan (variabel bebas) telah menurunkan karies gigi seri, peningkatan jumlah gigi karies yang ditambal dan penurunan gigi tanggal (variabel terikat) dari tahun 1979 sampai tahun 1986 di Hiraizumi. Selanjutnya, kegiatan kumur-kumur dengan cairan fluorida di sekolah sejak tahun 1986 sampai tahun 2000 telah berhasil menurunkan karies secara keseluruhan, khususnya gigi molar. Penelitian tersebut merupakan survei berulang pada murid sekolah dan hanya mengaitkan dua intervensi yaitu pendidikan dan kegiatan kumur-kumur. Penelitian yang dilakukan ini berbeda dalam rancangan yang bersifat survei cross-sectional, dengan penilaian terhadap institusi (puskesmas dan sekolah), sosial-ekonomi orangtua murid dan perilaku murid (sebagai variabel bebas), dan kesehatan gilut sebagai variabel terikat.

2. Yazdani et al. (2009) melakukan penelitian dengan variabel bebas sikat gigi massal, kumur-kumur dengan NaF, aplikasi fluorida topikal, pemberian fissure sealant yang diimplementasikan di sekolah dapat menurunkan skor plak (variabel terikat). Penelitian tersebut tidak melakukan kajian atas perilaku murid. Dalam

(10)

penelitian ini digunakan teori-teori perilaku untuk menjelaskan perilaku murid sekolah yang diteliti.

3. Implementasi program kesehatan gigi berbasis sekolah bervariasi, seperti yang ditemukan pada penelitian program kumur-kumur dengan cairan fluorida berbasis sekolah yang hanya diimplementasikan pada 11% sekolah di Jepang (Komiyama et al., 2012). Sebagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan program, faktor implementasi program tersebut harus diperhitungkan dalam memperkirakan efek kegiatan program. Penelitian ini, berbeda dengan penelitian di Jepang tersebut, tingkat implementasi program UKGS diukur pada tingkat puskesmas dan sekolah. 4. Uji klinik komunitas di Filipina, dengan pemberian silver diammine fluoride (SDF)

38% sebagai aplikasi tunggal pada kelompok anak sekolah yang melakukan program gosok gigi setiap hari di sekolah tidak dapat mencegah lesi karies pada permukaan oklusal molar pertama permanen, sementara aplikasi sealant ART secara bermakna menurunkan kejadian karies dalam rentang waktu 18 bulan (Monse et al., 2012). Hasil pemberian sealant ini sesuai dengan penelitian Gugnani (2013) bahwa lesi karies yang baru dapat dicegah dengan pemberian sealant (variabel bebas) setelah pengamatan satu tahun, seperti yang ditemukan pula oleh Muller-Bolla et al. (2013). Penelitian Pieper et al. (2013) juga menunjukkan bahwa pemberian fissure sealant merupakan faktor yang bersifat preventif terhadap karies (variabel terikat), di samping pemanfaatan pasta gigi mengandung fluorida dan kelompok etnik. Dalam penelitian ini, evaluasi kegiatan program tidak hanya difokuskan pada pemberian fissure sealant, tetapi meliputi pula kegiatan-kegiatan lain seperti pendidikan guru, gosok gigi massal, pemeriksaan dan pengobatan kesehatan gilut sebagai variabel bebas dan kesehatan gilut sebagai variabel terikat.

(11)

5. Amalia et al. (2011) melakukan penelitian untuk melihat keberhasilan program usaha kesehatan gigi di sekolah dengan mengukur perilaku murid (kebiasaan gosok gigi, konsumsi gula dan kunjungan ke dokter gigi) dan DMFT yang mencerminkan tingkat karies dengan membandingkan antara sekolah-sekolah dengan kinerja UKGS yang tinggi dan yang rendah. Penelitian ini menggunakan rancangan yang sama, yakni survei cross-sectional dengan outcome yang juga sama, yaitu status kesehatan gilut, namun dengan pengukuran pada tingkat sekolah dan puskesmas, tidak hanya pada murid sekolah. Dalam penelitian ini perilaku murid didasarkan pada teori-teori perilaku.

6. Promosi kesehatan gilut berbasis komunitas melalui intervensi pendidikan kesehatan gilut di sekolah, dan instruksi gosok gigi oleh perawat pada sebagian murid sekolah berumur 7-12 tahun, dari tahun 2009 sampai 2010, telah meningkatkan frekuensi gosok gigi, khususnya pada anak usia lebih muda (7-10 tahun) dan berjenis kelamin perempuan (Halonen et al., 2013). Penelitian ini tidak hanya aspek pendidikan kesehatan yang akan diukur, melainkan juga kegiatan-kegiatan lain pada tingkat puskesmas dan sekolah.

Dalam penelitian ini, berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, dilakukan analisis model evaluasi multilevel untuk menjelaskan implementasi komponen-komponen program UKGS pada tingkat puskesmas dan sekolah, dan perilaku murid sekolah, berhubungan dengan kesehatan gilut murid sekolah sebagai variabel tergantung. Kebaruan penelitian ini adalah identifikasi model yang tidak hanya meliputi perilaku pada tingkat individu, tetapi juga kontribusi lembaga (sekolah dan puskesmas) terhadap perilaku dan kesehatan gilut pada tingkat individu. Persamaan dan perbedaan penelitian yang dilakukan dengan penelitian sebelumnya dapat dilihat pada Tabel 1.

(12)

Tabel 1. Persamaan dan perbedaan penelitian yang dilakukan dengan penelitian sebelumnya

Judul/peneliti/tahun Persamaan Perbedaan

1 2 3

Evaluation of school-based dental health activities including fluoride mouthrinsing in Hiraizumi, Japan (Ohara, et al., 2000) School-based education to improve oral

cleanliness and gingival health in ado-lescents in Tehran, Iran (Yazdani, et al., 2009)

Relationship between duration of fluoride exposure in school-based fluoride mouthrinshing and effect on prevention and control of dental caries, (Komiyama, et al., 2012)

Caries preventive efficacy of silver

diammine fluoride (SDF) and ART sealants in a school -based daily fluoride tooth-brushing program in the

Philippines (Monse, et al., 2012)

The role of school based dental programme on dental caries experience in Yogyakarta Province, Indonesia (Amalia et al., 2011)

Merupakan studi eva-luasi cross-sectional atas status kesehatan gigi anak sekolah, setelah pendidikan kesehatan gigi dan kumur-kumur dengan fluorida

Evaluasi atas intervensi kesehatan gigi berbasis sekolah

Melakukan evaluasi intervensi berbasis sekolah, dengan outcome karies gigi, pada anak sekolah dasar, dengan rancangan cross-sectional

Melakukan evaluasi intervensi berbasis sekolah, pada anak sekolah dasar dengan outome karies gigi

Merupakan survei cross-sectional, membandingkan puskesmas dengan outcome pengalaman karies Tidak mempertimbang-kan faktor-faktor

perilaku siswa, kegiatan di sekolah dan pusat pelayanan kesehatan primer sebagai unit pelaksana program.

Penelitian eksperimental (cluster randomized trial) dengan memban-dingkan plak gigi atau perdarahan gusi, evaluasi setelah 12 minggu, pada populasi remaja

Analisis sekolah-sekolah dengan lama program kumur-kumur fluorida yang berbeda, tanpa mempertimbangkan faktor perilaku murid sekolah

Merupakan uji klinik dengan randomisasi perlakuan pemberian SDF atau ART sealant, tanpa mempertimbang-kan perilaku siswa sekolah, peran sekolah dan peran pelayanan kesehatan primer Tidak melakukan analisis multilevel dan tidak mengkaji perilaku kesehatan gilut

(13)

1 2 3 Trial shows caries

reduction at one year in school-based sealant programme, evid Based dent (Gugnani, N., 2013) Effectiveness of school-based dental sealant programs among children from low-income backgrounds in France: a pragmatic randomized clinical trial (Muller-Bolla, et al., 2013)

Caries prevalence in 12-year-old children from Germany: results of the 2009 national survey (Pieper, et al., 2013) Association between dental caries and

socioeconomic factors in schoolchildren – a multilevel analysis (Engelmann et al., 2016) Evaluasi program berbasis sekolah (pemberian sealant) dengan outcome karies gigi.

Evaluasi efektivitas program berbasis sekolah dengan outcome karies gigi

Penelitian cross-sectional dengan

pengamatan karies pada anak usia 12 tahun

Penelitian

cross-sectional dengan kajian multilevel, menganalisis hubungan

sosial-ekonomi dengan pengalaman karies gigi

Randomized control trial, untuk memahami efektivitas program sealant, tanpa

mengevaluasi perilaku murid

Merupakan randomized trial pemberian sealant gigi molar pertama, tanpa

mempertimbangkan perilaku murid dan kajian multilevel

Dalam penelitian tersebut tidak dilakukan kajian multilevel dan perilaku kesehatan gilut Tidak dilakukan kajian perilaku kesehatan gilut

Dari Tabel 1 dapat dilihat perbedan penelitian ini atas rancangan outcome dan prediktornya. Rangkuman perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya dapat dilihat pada Tabel 2.

(14)

Tabel 2. Rangkuman perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya

Penulis (tahun)

Rancangan Multilevel Outcome Prediktor Trial Survei Ya Tidak OHIS DMFT GI

Ohara et al. (2000) ✔ ✔ ✔ Pendidikan, perilaku Yazdani et al. (2009) ✔ ✔ ✔ Perilaku, pelayanan Amalia et al. (2011) ✔ ✔ ✔ Sosial, UKGS Komiyama et al. (2012) ✔ ✔ ✔ Program kesehatan gilut Monse et al. (2012) ✔ ✔ ✔ Sealant Gugnani (2013) ✔ ✔ ✔ Sealant Muller-Bolla et al. (2013) ✔ ✔ ✔ Sealant Amalia et al. (2011) ✔ ✔ ✔ Program, Sosial-ekonomi Engelmann et al. (2016) ✔ ✔ ✔ Sosial, sekolah Penelitian yang dilakukan ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ Perilaku, sosio-demografi, sekolah, puskesmas

Tabel 2 menunjukkan perbedaaan dengan penelitian-penelitian sebelumnya, dalam penelitian yang dilakukan ini kajian atas perilaku kesehatan gilut murid, sosio-demografi dan konteks sekolah serta puskesmas, terkait dengan indikator-indikator kebersihan gigi, pengalaman karies dan kesehatan gusi pada murid-murid sekolah dasar. Upaya pemahaman perilaku kesehatan gilut dalam konteks agregat sekolah dan puskesmas dilakukan dengan analisis multilevel.

Gambar

Tabel 2. Rangkuman perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga untuk mendapatkan material komposit dengan elongasi yang lebih baik dan nilai kekuatan yang baik maka dapat digunakan kombinasi laminat dengan perpaduan dua arah

Bingkai (Frame) yang dikonstruksi oleh detik.com maupun Tempo Interaktif terkait kasus dugaan korupsi pada aliran dana BLBI ini cenderung memposisikan diri sebagai counter

Alasan pemilihan domain tersebut adalah karena penelitian yang telah dilakukan sebelumnya meneliti sistem informasi akademik Unjani pada domain PO dan memiliki nilai

Sebelum sistem informasi (perangkat lunak) digunakan pada Pondok Pesantren Sukamiskin Bandung maka harus dilakukan pengujian terlebih dahulu yang bertujuan untuk menemukan kesalahan

Dapat disimpulkan dari sebaran spesies ikan di atas, jenis yang dominan adalah yang memiliki sifat tahan pencemaran semacam ikan sapu-sapu; sedangkan ikan yang

Dari beberapa penelitian terdahulu mengenai pengaruh corporate governance terhadap financial distress yang sudah dilakukan sebelumnya, ternyata hasil yang diperoleh antara

Biokimia Sarjana Biologi F-MIPA III/2001 – sampai sekarang Biokimia Sarjana Kimia F-MIPA VI/2001,2002,2003,2004,2005 Biokimia Sarjana Pendidikan Kimia FKIP V/2001,2002,2003,2004

Lipatan adalah hasil perubahan bentuk atau volume dari suatu bahan yang ditunjukkan sebagai lengkungan atau kumpulan dari lengkungan pada unsur garis atau bidang