• Tidak ada hasil yang ditemukan

AHMAD RAHMAWAN BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT SARAF FK UNLAM RSUD ULIN BANJARMASIN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "AHMAD RAHMAWAN BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT SARAF FK UNLAM RSUD ULIN BANJARMASIN"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

Makalah Tinjauan Pustaka

Malaria Serebral

Oleh

AHMAD RAHMAWAN

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT SARAF FK UNLAM – RSUD ULIN

BANJARMASIN

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh sporozoa dari genus Plasmodium, yang secara klinis ditandai dengan serangan paroksismal dan periodik, disertai anemia, pembesaran limpa dan kadang-kadang dengan komplikasi pernisiosa seperti ikterik, diare, black water fever, acute tubular necrosis, dan malaria cerebral.1

Berdasarkan laporan WHO (2000), terdapat lebih dari 2400 juta penduduk atau 40% dari penduduk dunia tinggal di daerah endemis malaria. Sementara, prevalensi penyakit malaria di seluruh dunia diperkirakan antara 300-500 juta klinis setiap tahunnya. Sedangkan angka kematian yang dilaporkan mencapai 1-1,5 juta penduduk per tahun, terutama terjadi pada anak-anak di Afrika, khususnya daerah yang kurang terjangkau oleh pelayanan kesehatan.2

Di Indonesia, sampai saat ini angka kesakitan penyakit malaria masih cukup tinggi, terutama di daerah luar Jawa dan Bali. Namun, kini di daerah Jawa dan Bali sudah terjadi peningkatan jumlah penderita malaria. Hal ini diakibatkan banyaknya pengungsi yang berasal dari daerah yang dilanda konflik, sehingga juga ikut berperan bagi terjadinya penyebaran malaria dari daerah endemis ke daerah non-endemis.2

Dalam pelaksanaan program pemberantasan malaria, sudah banyak biaya dan tenaga yang dikerahkan tetapi belum membuahkan basil yang nyata. Salah satu kendala adalah keterlambatan mendiagnosis malaria sedini mungkin sehingga tidak dapat segera diberi pengobatan. Oleh sebab itu dalam perbaikan strategi pemberantasan malaria, upaya diagnosis dini dan pengobatan tepat merupakan sasaran utama. Walaupun sampai saat ini diagnosis pasti hanya dapat dipastikan melalui pemeriksaan parasitologis yang memerlukan keterampilan dan fasilitas khusus.3

(3)

Dari 300 - 500 juta kasus klinis malaria di dunia, terdapat sekitar 3 juta kasus malaria berat (malaria komplikasi) dan kasus kematian akibat malaria. Dari kasus tersebut, paling banyak disebabkan oleh Plasmodium falciparum. Malaria berat atau malaria komplikasi yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum ditandai dengan disfungsi berbagai organ. Salah satu jenis malaria komplikasi adalah malaria serebral6. Studi terhadap populasi migran di Indonesia menunjukkan bahwa risiko terkena malaria komplikasi setiap tahunnya 1,34 kali pada orang dewasa (>15 tahun) dan 0,25 kali pada anak-anak (<10 tahun). Patogenesis malaria komplikasi meliputi cytoadherent pada mikrovaskular terhadap eritrosit terinfeksi parasit, adherens antara eritrosit normal dengan eritrosit yang mengandung parasit (rosetting), dan pengeluaran sitokin sebagai respons terhadap substansi toksik yang dikeluarkan oleh Plasmodium falciparum yang menyebabkan kerusakan jaringan7,8. Namun, pada keadaan tertentu pengeluaran sitokin sebagai respons terhadap substansi toksik dari Plasmodium

falciparum terjadi secara berlebihan sehingga menyebabkan kerusakan jaringan

yang sangat berat dan fatal. Dalam makalah ini, penulis akan menguraikan tentang mekanisme imunologis yang berperan bagi terjadinya malaria serebral (malaria komplikasi).2

1.2 Tujuan

Penulisan makalah tinjauan kepustakaan ini bertujuan memberikan informasi mengenai infeksi malaria falciparum dengan komplikasi malaria berat, yaitu malaria serebral. Secara khusus, akan dibahas mengenai etiologi, patogenesis, penegakan diagnosis, terapi, prognosis, hingga prevensi dan follow

(4)

BAB II

ISI

2.1 Malaria Secara Umum

Penyakit Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa parasit yang merupakan golongan Plasmodium, dimana proses penularannya melalui gigitan nyamuk Anopheles. Protozoa parasit jenis ini banyak sekali tersebar di wilayah tropik, misalnya di Amerika, Asia dan Afrika.4 Gambaran

penyakit berupa demam yang sering periodik, anemia, pembesaran limpa dan berbagai kumpulan gejala oleh karena pengaruhnya pada beberapa organ misalnya otak, hati dan ginjal.5

Gambar 1. Mikroskopik Plasmodium sp.

Plasmodium adalah parasit yang termasuk vilum Protozoa, kelas sporozoa.5 Secara parasitologi dikenal 4 genus Plasmodium dengan karakteristik

klinis yang berbeda bentuk demamnya, yaitu :1

(5)

1) Plasmodium vivax, secara klinis dikenal sebagai Malaria tertiana disebabkan serangan demamnya yang timbul setiap 3 hari sekali.

2) Plasmodium malaria, secara klinis juga dikenal juga sebagai Malaria Quartana karena serangan demamnya yang timbul setiap 4 hari sekali.

3) Plasmodium ovale, secara klinis dikenal juga sebagai Malaria Ovale dengan pola demam tidak khas setiap 2-1 hari sekali.

4) Plasmodium falciparum, secara klinis dikenal sebagai Malaria tropicana atau Malaria tertiana maligna sebab serangan demamnya yang biasanya timbul setiap 3 hari sekali dengan gejala yang lebih berat dibandingkan infeksi oleh jenis plasmodium lainnya.

Secara epidemiologi, spesies yang terbanyak dijumpai di Indonesia adalah plasmodium falsiparum dan vivax. Plasmodium malariae dijumpai di Indonesia bagian timur, plasmodium ovale pernah ditemukan di irian jaya dan NTT.5

Gambar 2. Distribusi geografik malaria di seluruh dunia. Indonesia merupakan salah satu wilayah dengan angka kejadian yang tinggi

(6)

Terjadinya infeksi oleh parasit Plasmodium ke dalam tubuh manusia dapat terjadi melalui dua cara yaitu : 5

1. Secara alami melalui gigitan nyamuk anopheles betina yang mengandung parasit malaria

2. Induksi yaitu jika stadium aseksual dalam eritrosit masuk ke dalam darah manusia, misalnya melalui transfuse darah, suntikan, atau pada bayi yang baru lahir melalui plasenta ibu yang terinfeksi (congenital).

Patofisiologi malaria sangat kompleks dan mungkin berhubungan dengan hal- hal sebagai berikut:6

1. Penghancuran eritrosit yang terjadi oleh karena :

Fagositosis tidak hanya pada eritrosit yang mengandung parasit tapi juga terhadap eritrosit yang tidak mengandung parasit sehingga menimbulkan anemia dan anoksia jaringan. Pada hemolisis intravaskuler yang berat dapat terjadi hemoglobinuria (black water fever) dan dapat menyebabkan gagal ginjal

2. Pelepasan mediator Endotoksin-makrofag

Pada saat skizogoni, eritrosit yang mengandung parasit memicu makrofag yang sensitif endotoksin untuk melepaskan berbagai mediator. Endotoksin mungkin berasal dari saluran pencernaan dan parasit malaria sendiri dapat melepaskan faktor nekrosis tumor (TNF). TNF adalah suatu monokin yang ditemukan dalam peredaran darah manusia dan hewan yang terinfeksi parasit malaria. TNF dan sitokin lainnya menimbulkan demam, hipoglikemia dan sindrom penyakit pernafasan pada orang dewasa.

3. Sekuetrasi eritrosit

Eritrosit yang terinfeksi dengan stadium lanjut P.falciparum dapat membentuk tonjolan-tonjolan (knobs) pada permukaannya. Tonjolan tersebut mengandung antigen dan bereaksi dengan antibodi malaria dan berhubungan dengan afinitas eritrosit yang mengandung P.falciparum terhadap endotelium kapiler darah alat dalam, sehingga skizogoni berlangsung di sirkulasi alat dalam. Eritrosit yang terinfeksi menempel pada endotelium dan membentuk gumpalan

(7)

yang membendung kapiler yang bocor dan menimbulkan anoksia dan edema jaringan.

Manifestasi klinis penderita malaria ini sangat beragam, dari yang tanpa gejala sampai dengan yang berat. Di daerah endemis malaria, manifestasi klinis tersebut sudah sangat dikenal oleh tenaga kesehatan bahkan penderita dapat mendiagnosis penyakitnya sendiri. Pada daerah non endemis diperlukan pengalaman untuk mengarah ke diagnosis malaria antara lain pengetahuan epidemiologis, status malaria daerah asal atau tempat tinggal, mengetahui riwayat tindakan medis yang pernah didapat (transfusi darah, suntikan), riwayat penyakit dan berpergian dari penderita tersebut.3

(8)

Gejala klinis mulai tampak setelah 1 hingga 4 minggu setelah infeksi dan umumnya mencakup demam dan menggigil. Hampir seluruh pasien dengan malaria akut memiliki episode demam, sesuai dengan tipikal demam masing-masing plasmodium. Menggigil dapat terjadi secara tidak teratur, terutama pada infeksi Plasmodium falciparum. Gejala lainnya yaitu sakit kepala, keringat yang meningkat, nyeri punggung, nyeri otot, diare, nausea, vomiting, dan batuk.7

Banyak faktor yang mempengaruhi manifestasi klinis tersebut antara lain:3

1) Status kekebalan yang biasanya berhubungan dengan tingkat endemisitas tempat tinggalnya.

2) Beratnya infeksi (kepadatan parasit).

3) Jenis dan strain Plasmodium (spesies, resisten obat antimalaria atau Chesson strain).

4) Status gizi.

5) Sudah minum obat antimalaria.

6) Keadaan lain penderita (bayi, hamil, orang tua, menderita sakit lain dan lain-lain.

7) Faktor genetik (HbF, defisiensi G6PD, ovalositosis dan lain-lain)

Secara umum, bila kepadatan parasit tinggi, biasanya risiko menjadi malaria berat lebih besar. Walaupun demikian tidak jarang didapatkan penderita malaria berat dengan kepadatan parasit rendah dan sebaliknya(10,11). Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinis malaria dipengaruhi oleh banyak faktor. Malaria berat umumnya disebabkan oleh P. falciparum. Di samping itu malaria falsiparum merupakan jenis malaria yang telah dilaporkan resisten terhadap klorokuin maupun multidrug(2,3). Di Irian dikenal P. vivax Chesson strain yang lebih sulit dapat disembuhkan. Status gizi sangat mempengaruhi kekebalan tubuh terhadap infeksi terutama pada anak-anak, sehingga tak mengherankan malaria pada anak kurang gizi sering berkembangmenjadi berat.3

(9)

Manifestasi umum malaria: 6

1. Masa inkubasi

Biasanya berlangsung 8-37 hari tergantung pada spesies parasit (terpendek untuk P.falciparum dan terpanjang untuk P.malariae), beratnya infeksi dan pada pengobatan sebelumnya atau pada derajat resistensi hospes.

2. Keluhan-keluhan prodromal

Keluhan prodromal dapat terjadi sebelum terjadinya demam, berupa: kelesuan, malaise, sakit kepala, sakit tulang belakang, nyeri pada tulang atau otot, anoreksia, perut tidak enak, diare ringan dan kadang-kadang merasa dingin di punggung. Keluhan prodromal sering terjadi pada P.vivax dan P.ovale, sedangkan

P.falciparum dan P.malariae keluhan prodromal tidak jelas bahkan gejala dapat

mendadak.

3. Gejala-gejala umum

Gejala klasik yaitu terjadinya trias malaria (malaria proxysm) secara berurutan:6

a. Periode dingin

Mulai menggigil, kulit dingin dan kering, penderita sering membungkus dirinya dengan selimut atau sarung pada saat menggigil, sering seluruh badan gemetar dan gigi-gigi saling terantuk, pucat sampai sianosis seperti orang kedinginan. Periode ini berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam diikuti dengan meningkatnya temperatur.

b. Periode panas

Muka penderita terlihat merah, kulit panas dan kering, nadi cepat dan panas badan tetap tinggi dapat sampai 40°C atau lebih, penderita membuka selimutnya, respirasi meningkat, nyeri kepala, nyeri retroorbital, muntah-muntah, dapat terjadi syok (tekanan darah turun), kesadaran delirium sampai terjadi kejang (anak). Periode ini lebih lama dari fase dingin, dapat sampai 2 jam atau lebih, diikuti dengan keadaan berkeringat.

(10)

c. Periode berkeringat

Penderita berkeringat mulai dari temporal, diikuti seluruh tubuh, sampai basah temperatur turun, penderita merasa capek dan sering tertidur. Bila penderita bangun akan merasa sehat dan dapat melakukan pekerjaan biasa.

Trias malaria secara keseluruhan dapat berlangsung antara 6-10 jam, lebih sering terjadi pada infeksi P.vivax. Pada infeksi P.falciparum menggigil dapat berlangsung berat atau pun tidak ada. Periode tidak panas berlangsung 12 jam pada P.falsiparum, 36 jam pada P.vivax dan ovale, 60 jam pada P.malariae.6

Manifestasi klinis penderita yang sudah minum obat antimalaria atau minum profilaksis biasanya dapat lebih ringan atau menjadi tidak jelas. Pada penderita dengan defisiensi G6PD dapat disertai dengan hemoglobinuria. Anak-anak, ibu hamil dan orang tua, biasanya lebih rentan terhadap infeksi. Malaria pada kehamilan dapat menyebabkan abortus, kematian janin, bayi lahir mati, berat badan lahir rendah, malaria kongenital, partus sulit, anemia, gangguan fungsi ginjal dan hipoglikemia.3

Periodisitas serangan berhubungan dengan berakhirnya skizogoni, bilamana skizon matang kemudian pecah, merozoit bersama dengan pigmen dan benda residu keluar dari sel darah merah memasuki aliran darah. Ini sebenarnya merupakan suatu infeksi protein asing. Pada infeksi akut terdapat leukositosis sedang dangan granulositosis, tetapi dengan turunnya suhu badan maka timbul leukopenia dengan monositosis relatif dan limfositosis. Jumlah sel darah putih sebesar 3000 sampai 45.000 pernah dilaporkan. Pada permulaan infeksi dapat terjadi trombositopenia jelas, tetapi hal ini bersifat sementara.5

Diagnosis malaria sering memerlukan anamnesa yang tepat dari penderita tentang asal penderita apakah dari daerah endemik malaria, riwayat bepergian ke daerah malaria, riawayat pengobatan kuratif maupun preventif. Beberapa

(11)

pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis malaria antara lain:5

1. Pemeriksaan tetes darah untuk malaria

Pemeriksaan mikroskopik darah tepi untuk menemukan adanya parasit malaria sangat penting untuk menegakkan diagnosa. Pemeriksaan satu kali dengan hasil negative tidak mengenyampingkan diagnosa malaria. Pemeriksaan darah tepi tiga kali dan hasil negative maka diagnosa malaria dapat dikesampingkan.

2. Tes Antigen : p-f test

Yaitu mendeteksi antigen dari P.falciparum (Histidine Rich Protein II). Deteksi sangat cepat hanya 3-5 menit, tidak memerlukan latihan khusus, sensitivitasnya baik, tidak memerlukan alat khusus. Deteksi untuk antigen vivaks sudah beredar dipasaran yaitu dengan metode ICT. Tes sejenis dengan mendeteksi

laktat dehidrogenase dari plasmodium (pLDH) dengan cara immunochromato-graphic telah dipasarkan dengan nama tes OPTIMAL. Optimal dapat mendeteksi

dari 0-200 parasit/ul darah dan dapat membedakan apakah infeksi P.falciparum atau P.vivax. Sensitivitas sampai 95 % dan hasil positif salah lebih rendah dari tes deteksi HRP-2. Tes ini sekarang dikenal sebagai tes cepat (Rapid test).

3. Tes Serologi

Tes serologi mulai diperkenalkan sejak tahun 1962 dengan memakai tekhnik indirect fluorescent antibody test. Tes ini berguna mendeteksi adanya antibody specific terhadap malaria atau pada keadaan dimana parasit sangat minimal. Tes ini kurang bermanfaat sebagai alat diagnostik sebab antibody baru terjadi setelah beberapa hari parasitemia. Manfaat tes serologi terutama untuk penelitian epidemiologi atau alat uji saring donor darah. Titer > 1:200 dianggap sebagai infeksi baru ; dan test > 1:20 dinyatakan positif . Metode-metode tes serologi antara lain indirect haemagglutination test, immunoprecipitation

(12)

4. Pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction)

Pemeriksaan ini dianggap sangat peka dengan tekhnologi amplifikasi DNA, waktu dipakai cukup cepat dan sensitivitas maupun spesifitasnya tinggi. Keunggulan tes ini walaupun jumlah parasit sangat sedikit dapat memberikan hasil positif. Tes ini baru dipakai sebagai sarana penelitian dan belum untuk pemeriksaan rutin.

2.2 Pengertian Malaria Serebral

Malaria cerebral adalah suatu komplikasi berat dari infeksi Plasmodium

falciparum yang ditandai demam yang sangat tinggi, gangguan kesadaran, kejang

yang terutama terjadi pada anak, hemiplegi dan berakhir pada kematian jika tidak secepatnya mendapatkan perawatan yang tepat.1

Pada malaria falciparum, 10% kasus akan mengalami komplikasi malaria serebral, dan jumlah ini memenuhi 80% kematian pada malaria.8

Malaria serebral merupakan penyebab utama ensefalopati non-traumatik di dunia, sehingga merupakan penyakit parasitik terpenting pada manusia. Malaria diperkirakan telah sekitar 5% populasi dunia dan menyebabkan 0,5 – 2,5 juta jiwa meninggal setiap tahun.9

2.3 Etiopatogenesis Malaria Serebral

Penyebab malaria cerebral adalah akibat sumbatan pembuluh darah kapiler di otak karena menurunnya aliran darah efektif dan adanya hemolisa sel darah.1

selain itu, beberapa faktor yang juga mempengaruhi manifestasi neurologi pada malaria, antara lain:8

- Demam derajat tinggi, akan mengganggu kesadaran, kejang demam (pada anak), dan psikosis. Manifestasi tersebut akan menurun bila derajat panas diturunkan. Apabila kesadaran tidak mengalami gangguan setelah serangan kejang atau demam, maka prognosis penderita umumnya baik

- Obat-obat antimalaria, seperti klorokuin, kuinin, meflokuin, dan halofantrin juga dapat menyebabkan gangguan perilaku, kejang, halusinasi, dan psikosis.

(13)

Bila tidak terdapat demam tinggi atau parasitemia yang menyertai manifestasi neurologis, maka kemungkinan penyebabnya adalah obat antimalaria.

- Hipoglikemia, pada infeksi malaria berat , dapat terjadi hipoglikemia. Kejadian hipoglikemia lebih sering terjadi pada ibu hamil. Perlu adanya pertimbangan pemberian infus dextrose 25-50% untuk mengatasi hal ini. - Hiponatremia, hampir selalu terjadi pada kasus yang dialami orang tua dan

seringkali akibat muntah berlebih.

- Anemia berat dan hipoksemia dapat menyebabkan disfungsi serebral pada pasien dengan malaria.

Patofisiologi malaria serebral yang terkait dengan infeksiusitas parasit masih belum diketahui secara pasti. Meskipun dasar kelainan adalah adanya sumbatan mikrosirkulasi serebral yang disebabkan parasit, namun mekanisme pastinya masih merupakan hipotesis.8

Pada malaria berat mekanisme patogenesisnya berkaitan dengan invasi merozoit ke dalam eritrosit sehingga menyebabkan eritrosit yang mengandung parasit mengalami perubahan struktur dan biomolekuler sel untuk mempertahankan kehidupan parasit. Perubahan tersebut meliputi mekanisme transpor membran sel, penurunan deformabilitas, pembentukan knob, ekspresi varian non antigen di permukaan sel, sitoadherensi, sekuestrasi dan rosetting, peranan sitokin dan NO (Nitrik Oksida).6

Menurut pendapat ahli lain patogenesis malaria berat atau malaria falciparum dipengaruhi oleh faktor parasit dan faktor penjamu (host). Yang termasuk ke dalam faktor parasit adalah intensitas transmisi, densitas parasit dan virulensi parasit. Sedangkan yang termasuk ke dalam faktor penjamu adalah tingkat endemisitas daerah tempat tinggal, genetik, usia, status nutrisi, dan status imunologi. Parasit dalam eritrosit (EP) secara garis besar mengalami 2 stadium, yaitu stadium cincin pada 24 jam pertama dan stadium matur pada 24 jam kedua. Permukaan EP stadium cincin akan menampilkan antigen RESA (Ring Erytrocite

Suirgace Antigen) yang menghilang setelah parasit masuk stadium matur.

(14)

membentuk knob dengan Histidin Rich Protein-1 (HRP-1) sebagai komponen utamanya. Selanjutnya bila EP tersebut mengalami merogoni, akan dilepaskan toksin malaria berupa GPI yaitu Glikosilfosfatidilinositol yang merangsang pelepasan TNF α dan Interleukin 1 (IL-1) dari makrofag.6

Sitoadherensi adalah peristiwa perlekatan eritrosit yang telah terinfeksi P.falsiparum pada reseptor di bagian endotelium venule dan kapiler. Selain itu

eritrosit juga dapat melekat pada eritrosit yang tidak terinfeksi sehingga terbentuk roset. Sitoadherensi menyebabkan eritrosit matur tidak beredar kembali dalam sirkulasi. Parasit dalam eritrosit matur yang tinggal dalam jaringan mikrovaskuler disebut eritrosit matur yang mengalami sekuestrasi. Hanya P.falsiparum yang mengalami sekuestrasi, karena pada plasmodium lainnya seluruh siklus terjadi pada pembuluh darah perifer. Sekuestrasi terjadi pada organ-organ vital dan hampir semua jaringan dalm tubuh. Sekustrasi tertinggi terdapat di otak, diikuti dengan hepar dan ginjal, paru, jantung dan usus. Sekuestrasi ini memegang peranan utama dalam patofisiologi malaria berat.6

Rosseting adalah suatu fenomena perlekatan antara satu buah eritrosit yang

mengandung merozoit matang yang di selubungi oleh sekitar 10 atau lebih eritrosit non parasit sehingga berbentuk seperti bunga. Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya rosseting adalah golongan darah dimana terdapatnya antigen golongan darah A dan B yang bertindak sebagai reseptor pada permukaan eritrosit yang tidak terinfeksi parasit. Rosseting menyebabkan obstruksi aliran darah lokal atau dalam jaringan sehingga mempermudah terjadinya sitoadherens.6

Tubuh membentuk mekanisme pertahanan terhadap penyakit malaria. Namun, tidak dapat dijelaskan secara rinci bagaimana terbentuknya imunitas populasi yang migrasi dari daerah non-endemis ke daerah endemis. Berdasarkan observasi yang telah dilakukan, ternyata orang dewasa lebih rentan terkena malaria dengan gejala klinis yang berat dibanding anak-anak. Akan tetapi, orang dewasa lebih cepat membangun imunitas antiparasit dibanding anak-anak.2

Risiko terkena malaria berat akan meningkat seiring dengan pertambahan usia dan adanya kontak dengan parasit sebelumnya. Terdapat fenomena yang

(15)

sangat menarik. Pada anak yang mengalami malaria serebral ternyata telah memiliki kadar antibodi antimalaria yang tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi infeksi malaria sebelumnya. Fenomena ini memunculkan suatu hipotesis bahwa pada anak-anak, saat infeksi pertama malaria mereka tidak memiliki risiko tinggi untuk terkena malaria serebral. Tetapi, pada saat infeksi kedua dan infeksi berulang berikutnya, mereka memiliki risiko tinggi untuk terkena malaria serebral. Ada satu penjelasan yang paling mungkin mengenai hal ini bahwa malaria serebral adalah penyakit imunologis, di mana pada infeksi pertama terbentuk pertahanan imun yang protektif yang nantinya menyebabkan imunopatologi pada reinfeksi berikutnya.2

Dalam mempelajari patofisiologi malaria, para peneliti menemukan sebuah mediator yang dianggap mempunyai peran sentral dalam terjadinya gejala klinik. Tumor Necrosis Factor (TNF) merupakan sitokin yang mayoritas diproduksi oleh makrofag, dianggap dapat memperantarai timbulnya demam, anemia, gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal, edema paru (ARDS = adult respiratory distress syndrome), penurunan tensi sampai syok, serta malaria serebral.10

Sitokin terbentuk dari sel endotel, monosit dan makrofag setelah mendapat stimulasi dari toksin malaria. Sitokin ini antara lain TNF alfa (TNF α), interleukin-1 IL-1), IL-6, IL3, lymphotoxin (LT) dan interferon gamma (INF γ). Dari beberapa penelitian dibuktikan bahwa penderita malaria serebral yang meninggal atau dengan komplikasi berat seperti hipoglikemia mempunyai kadar TNFα yang tinggi. Demikian juga malaria tanpa komplikasi kadar TNFα, IL-1, IL-6 lebih rendah dari malaria serebral. Walaupun demikian hasil ini tidak konsisten karena juga dijumpai penderita malaria yang mati dengan TNF normal atau rendah atau pada malaria serebral yang hidup dengan sitokin yang tinggi. Oleh karenanya diduga adanya peran dari neurotransmiter yang lain sebagai free

radical dalam kaskade ini seperti NO sebagai faktor yang penting dalam

(16)

Hipotesis lain mengatakan bahwa parasit malaria secara langsung menginduksi tingginya kadar TNF-α sesuai dengan gejala klinis yang ditampilkan pada penyakit malaria serebral. Produk dari eritrosit terinfeksi parasit yang mengalami ruptur akan memacu makrofag untuk memproduksi TNF-α, yang merupakan respons pirogenik terhadap infeksi malaria. Juga meningkatkan ekspresi adhesion molecute pada endotel mikrovaskular otak yang nantinya memudahkan perlekatan eritrosit terinfeksi P. falciparum pada endotel mikrovaskular otak. Terjadilah sequesterasi yang menyebabkan penyumbatan mikrovaskular, suplai darah ke sel otak terhambat, dan mengakibatkan koma.2

Eritrosit yang terinfeksi P. vivax tidak berikatan dengan endotel, sehingga merupakan satu alasan mengapa malaria vivax tidak bisa menyebabkan malaria serebral walaupun kadar TNF-α dalam plasma sangat tinggi. Meskipun demikian, peran TNF-α dalam patogenesis penyakit malaria lebih bersifat fisiologis dibanding patologis. Jika dicapai kadar optimal dari TNF-α akan memberikan proteksi, tetapi jika kadarnya terlalu tinggi akan menimbulkan reaksi patologis. Selain TNF-α, IFN-γ juga ikut berperan. Kadar IFN-γ yang rendah berhubungan dengan resolusi penyakit, tetapi kadar IFN-γ yang tinggi juga akan menyebabkan reaksi patologis. Pada percobaan in vitro, produksi IFN-γ oleh sel T sangat tergantung pada IL-12. Kadarnya akan meningkat setelah 5-7 hari setelah terinfeksi.2

Infeksi primer malaria pada anak akan menginduksi pengeluaran TNF-Α dan IFN-γ dengan kadar yang rendah dan akan terbentuk sel T yang spesifik terhadap antigen malaria. Pada reinfeksi berikutnya, sel T yang spesifik tadi akan memproduksi IFN-γ yang banyak dan secara sinergik dengan endotoksin malaria akan meningkatkan produksi TNF-α oleh makrofag. Ini akan menyebabkan peningkatan risiko terkena malaria serebral dan syok sistemik. Hal ini menunjukkan adanya proliferasi yang berlebihan dari sel T dan IFN-γ sebagai respons terhadap antigen malaria selama fase lanjut dari infeksi.2

Laporan penelitian terbaru menunjukkan bahwa rasio dari beberapa sitokin dapat membedakan antara malaria komplikasi dan malaria tanpa komplikasi.

(17)

Keseimbangan antara sitokin yang dikeluarkan oleh Th1 seperti Tumor Necrosis

Factor-α (TNF-α) dan Interferon Gamma (IFN-γ) serta sitokin yang dikeluarkan

oleh Th2 seperti Interleukin 4 (IL-4) dan Interleukin 10 (IL-10) dapat menentukan berat ringannya malaria falciparum.

Sebagai contoh, rasio IL-10 : TNF-α sangat rendah pada penderita anak-anak dengan hiperparasitemia yang disertai anemia. Hal ini menunjukkan bahwa produksi IL-10 yang tinggi dapat mengurangi anemia dengan mengurangi efek dari TNF-α. Percobaan in vitro menggunakan sel pasien malaria menunjukkan bahwa IL-10 dapat menghambat produksi TNF-α dan IL-1. Dalam percobaan tersebut, pada penyakit malaria akibat Plasmodium falciparum akan terjadi peningkatan IL-12 dan IL-1014,15. IL-12 dapat meningkatkan clearence parasit sehingga dapat meningkatkan imunitas, akan tetapi IL-12 juga mempunyai efek yang merugikan pada beberapa tipe infeksi malaria.2

Pada malaria serebral umumnya ditemukan kadar TNF-α yang sangat tinggi dalam serum penderita. Hal ini terjadi karena adanya sel T spesifik terhadap antigen malaria mengadakan proliferasi berlebihan. Sel T ini biasanya diperankan oleh Th1. Respons Th1 tergantung pada IL-12. Akan tetapi, respons ini bisa dihambat oleh IL-10 yang disekresi oleh Th2. Selain itu, juga antibodi yang sudah terbentuk bisa menghambat aktivasi terhadap sel T dan memblok induksi pengeluaran TNF-α dari makrofag. Berdasarkan konsep ini, IL-10 dan IL-12 sangat berperan dalam patogenesis penyakit malaria.2

2.4 Diagnosis Klinis

Diagnosis malaria secara umum ditegakkan seperti diagnosis penyakit lainnya berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium. Diagnosis dini dan pegobatan cepat merupakan salah satu sasaran perbaikan strategi pemberantasan malaria. Penegakan diagnosis malaria sedini mungkin dapat memberikan pengobatan yang cepar dan mencegah komplikasi penyakit lebih lanjut.3 Diagnosis pasti malaria harus ditegakkan dengan pemeriksaan sediaan

(18)

1. Anamnesis

Pada anamnesis sangat penting diperhatikan:

- Keluhan utama: Demam, menggigil, berkeringat dan dapat disertai sakit kepala, mual, muntah, diare, nyeri otot dan pegal-pegal.

- Riwayat berkunjung dan bermalam 1-4 minggu yang lalu ke daerah endemik malaria.

- Riwayat tinggal di daerah endemik malaria. - Riwayat sakit malaria.

- Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir. - Riwayat mendapat transfusi darah.

2. Pemeriksaaan Fisik: - Demam (T ≥ 37,5°C).

- Konjunctiva atau telapak tangan pucat. - Pembesaran limpa (splenomegali). - Pembesaran hati (hepatomegali).

Pada tersangka malaria berat ditemukan tanda-tanda klinis sebagai berikut:

- Temperatur rektal ≥ 40°C. - Nadi cepat dan lemah/kecil. - Tekanan darah sistolik <70mmHg.

- Frekuensi nafas > 35 kali per manit pada orang dewasa atau >40 kali per menit pada balita, anak dibawah 1 tahun >50 kali per menit.

- Penurunan derajat kesadaran dengan GCS <11. - Manifestasi perdarahan: ptekie, purpura, hematom.

- Tanda dehidrasi: mata cekung, turgor dan elastisitas kulit berkurang, bibir kerins, produksi air seni berkurang.

- Tanda-tanda anemia berat: konjunktiva pucat, telapak tangan pucat, lidah pucat.

- Terlihat mata kuning atau ikterik. - Adanya ronkhi pada kedua paru.

(19)

- Pembesaran limpa dan atau hepar.

- Gagal ginjal ditandai dengan oliguria sampai dengan anuria. - Gejala neurologik: kaku kuduk, reflek patologis.

-

3. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan dengan mikroskop

Pemeriksaan sediaan darah tebal dan tipis untuk menentukan: - Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif). - Spesies dan stadium plasmodium.

- Kepadatan parasit.

Pemeriksaan dengan tes diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test)

Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria, dengan menggunakan metoda immunokromatografi, dalam bentuk dipstik. Tes serologi

Tes ini berguna untuk mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap malaria atau pada keadaan dimana parasit sangat minimal. Tes ini kurang bermanfaat sebagai alat diagnostik sebab antibodi baru terjadi setelah beberapa hari parasitemia. Manfaat tes serologi terutama untuk penelitian epidemiologi atau alat uji saring donor darah. Titer >1:200 dianggap sebagai infeksi baru, dan tes >1:20 dinyatakan positif

Gejala klinis untuk malaria serebral diantaranya berbagai tingkatan penurunan kesadaran berupa delirium, mengantuk, stupor, dan ketidak sadaran dengan respon motorik terhadap rangsang sakit yang dapat diobservasi/dinilai. Onset koma dapat bertahap setelah stadium inisial konfusi atau mendadak setelah serangan pertama. Tetapi, ketidak sadaran post iktal jarang menetap setelah lebih dari 30-60 menit. Bila penyebab ketidaksadaran masih ragu-ragu, maka penyebab ensefalopati lain yang lazim ditempat itu, seperti meningoensefalitis viral atau bakterial harus disingkirkan.6

(20)

Manifestasi neurologis (1 atau beberapa manifestasi) berikut ini dapat ditemukan:11

1. Ensefalopati difus simetris 2. Kejang umum atau fokal

3. Tonus otot dapat meningkat atau turun 4. Refleks tendon bervariasi

5. Terdapat plantar fleksi atau plantar ekstensi

6. Rahang mengatup rapat dan gigi kretekan (seperti mengasah)

7. Mulut mencebil (pouting) atau timbul refleks mencebil bila sisi mulut dipukul 8. Motorik abnormal seperti deserebrasi rigidity dan dekortikasi rigidity

9. Tanda-tanda neurologis fokal kadang-kadang ada

10. Manifestasi okular : pandangan divergen (dysconjugate gaze) dan konvergensi spasme sering terjadi. Perdarahan sub konjunctive dan retina serta papil udem kadang terlihat

11. Kekakuan leher ringan kadang ada. Tetapi tanda Frank (Frank sign) meningitis, Kernigs (+) dan photofobia jarang ada. Untuk itu adanya meningitis harus disingkirkan dengan pemeriksaan punksi lumbal (LP)

12. Cairan serebrospinal (LCS) jernih, dengan < 10 lekosit/ml, protein sering naik ringan

Meskipun manifestasi klinis malaria serebral sangat beragam, namun hanya terdapat 3 gejala terpenting, baik pada anak dan dewasa, yaitu:12

1. Gangguan kesadaran dengan demam non-spesifik 2. Kejang umum dan sekuel neurologik

3. koma menetap selama 24 – 72 jam, mula-mula dapat dibangunkan, kmudian tak dapat dibangukan.

Kriteria diagnosis lainnnya, yaitu menurut Lubis dkk (2005) dalam dexamedia 2005, yaitu harus memenuhi lima kriteria berikut:13

1. Penderita berasal dari daerah endemis atau berada di daerah malaria. 2. Demam atau riwayat demam yang tinggi.

(21)

4. Adanya manifestasi serebral berupa kesadaran menurun dengan atau tanpa gejala-gejala neurologis yang lain, sedangkan kemungkinan penyebab yang lain telah disingkirkan.

5. Kelainan cairan serebro spinal yang berupa Nonne positif, Pandi positif lemah, hipoglikemi ringan.

Di derah endemis malaria, semua kasus demam dengan perubahan sensorium harus diobati sebagai serebral malaria, sementara menyingkirkan meningoensefalitis yang biasa terjadi di tempat itu. 11

2.5. Penatalaksanaan

Manajemen terapi atau penanggulangan malaria serebral meliputi: 2

1. Penanganan Umum

a. Penderita harus dirawat di ruang perawatan intensif (ICU).

b. Untuk di daerah endemis, terapi diberikan sesegera mungkin, kadang-kadang sebelum konfirmasi parasitologik.

c. Penderita harus ditimbang untuk menghitung dosis obat antimalaria. d. Pemberian cairan infus untuk pemeliharaan cairan dan kebutuhan kalori,

jika perlu dipasang kateter CVP, khususnya untuk penderita lanjut usia. Semua intake harus direkam secara hati-hati.

e. Pasang kateter urin untuk mengukur pengeluaran urin seperti halnya mengukur pengeluaran yang lain.

f. Penderita harus diawasi dari muntah dan pencegahan jatuhnya penderita dari tempat tidur.

g. Penderita harus dibolak-balik untuk menghindari decubitus.

h. Hindari penggunaan NGT (nasogastric tube) untuk mencegah aspirasi. 2. Terapi Antimalaria

a. Obat-obat terpilih:

- Kinin dihidroklorida 10 mg/kg BB i.v. dalam NaCl 0,9% (10 cc/kg BB) diberi dalam 4 jam, diulang setiap 12 jam sampai sadar.

(22)

b. Obat-obat pengganti:

- Khlorokuin sulfat 250 mg i.v. perlahan-lahan disusul dengan 250 mg dalam 500 cc NaCl 0,9% dalam 12 jam (2 kali).

- Dexametason 10 mg i.v. (dosis inisial), dilanjutkan dengan 4 mg i.v. tiap 1 jam.

3. Penangaan pasien tidak sadar: 11

- Buat grafik suhu, nadi, dan pernafasan secara akurat.

- Pasang IVFD. Untuk mencegah terjadinya trombophlebitis dan infeksi yang sering terjadi melalui IV-line maka IV-line sebaiknya diganti setiap 2-3 hari.

- Pasang kateter urethra dengan drainase / kantong tertutup. Pemasangan kateter dengan memperhatikan kaidah antisepsis.

- Pasang nasogastric tube (maag slang) dan sedot isi lambung untuk mencegah aspirasi pneumonia.

- Mata dilindungi dengan pelindung mata untuk menghindari ulkus kornea yang dapat terjadi karena tidak adanya refleks mengedip pada pasien tidak sadar.

- Menjaga kebersihan mulut untuk mencegah infeksi kelenjar parotis karena kebersihan rongga mulut yang rendah pada pasien tidak sadar.

- Ubah/balik posisi lateral secara teratur untuk mencegah luka dekubitus dan hypostatic pneumonia.

4. Monitoring

Hal-hal yang perlu dimonitor: 11

- Tensi, nadi, suhu, dan pernafasan setiap 30 menit.

- Pemeriksaan derajat kesadaran dengan modifikasi Glasgow coma scale (GCS) setiap 6 jam.

- Hitung parasit setiap 12-24 jam. - Hb & Ht setiap hari.

(23)

- Parameter lain sesuai indikasi (misal : ureum, creatinin & kalium darah pada komplikasi gagal ginjal).

- Pemeriksaan derajat kesadaran (modifikasi Glasgow coma score). 2.6 Prognosis dan Follow Up

Prognosis malaria berat tergantung kecepatan diagnosa dan ketepatan & kecepatan pengobatan. Pada malaria berat yang tidak ditanggulangi, maka mortalitas yang dilaporkan pada anak-anak 15 %, dewasa 20 %, dan pada kehamilan meningkat sampai 50 %. Prognosis malaria berat dengan kegagalan satu fungsi organ lebih baik daripada kegagalan 2 fungsi organ. Mortalitas dengan kegagalan 3 fungsi organ, adalah > 50 %. Mortalitas dengan kegagalan 4 atau lebih fungsi organ, adalah > 75 %. 11

Dalam sebuah penelitian mengenai malaria serebral di Manado, didapatkan angka kematian pada penderita malaria falsiparum adalah 39% dan kematian pada penderita malaria serebral adalah 50%. Kematian dapat dipastikan terjadi bila terdapat > 4 komplikasi yang terutama adalah tachypone, hiperkreatnemia, hiperbilirubinemia, hipoglikemia, leukositosis dan hipotensi. Nilai rata-rata sitokin serum yaitu TNF-α, IL-6, IL-1b dan IFN-γ pada penderita malaria serebral adalah 75,1 , 161, 8,3 dan 370 picogram/ml adalah lebih tinggi bila dibandingkan pada penderita malaria falsiparum non serebral yaitu 36.9, 126,0.3 dan 293 pg/mL.14

Adanya korelasi antara kepadatan parasit dengan klinis malaria berat yaitu: 11

- Kepadatan parasit < 100.000, maka mortalitas < 1 % - Kepadatan parasit > 100.000, maka mortalitas > 1 % - Kepadatan parasit > 500.000, maka mortalitas > 50 %

(24)

Semua penderita malaria berat dirujuk / ditangani RS Kabupaten. Apabila penderita tidak bersedia dirujuk dapat dirawat di puskesmas rawat inap dengan konsultasi kepada dokter RS Kabupaten. Bila perlu RS kabupaten dapat pula merujuk kepada RS Propinsi. Cara merujuk : 11

1) Setiap merujuk penderita harus disertakan surat rujukan yang berisi tentang diagnosa, riwayat penyakit, pemeriksaan yang telah dilakukan dan tindakan yang sudah diberikan.

2)

Apabila dibuat preparat SD malaria, harus diikutsertakan.

Obat yang dipakai untuk tujuan ini pada umumnya bekerja terutama pada tingkat eritrositer, hanya sedikit yang berefek pada tingkat eksoeritrositer (hati). Obat harus digunakan terus-menerus mulai minimal 1 – 2 minggu sebelum berangkat sampai 4 ? 6 minggu setelah keluar dari daerah endemis malaria. OAM yang dipakai dalam kebijakan pengobatan di Indonesia adalah Klorokuin, banyak digunakan karena murah, tersedia secara luas, dan relatif aman untuk anak-anak, ibu hamil maupun ibu menyusui. Pada dosis pencegahan obat ini aman digunakan untuk jangka waktu 2-3 tahun. Efek samping berupa gangguan GI Tract seperti mual, muntah, sakit perut dan diare. Efek samping ini dapat dikurangi dengan meminum obat sesudah makan. 11

Pencegahan pada anak, OAM yang paling aman untuk anak kecil adalah klorokuin. Dosis : 5 mg/KgBB/minggu. Dalam bentuk sediaan tablet rasanya pahit sehingga sebaiknya dicampur dengan makanan atau minuman, dapat juga dipilih yang berbentuk suspensi. 11

Untuk mencegah gigitan nyamuk sebaiknya memakai kelambu pada waktu tidur. Obat pengusir nyamuk bentuk repellant yang mengandung DEET sebaiknya tidak digunakan untuk anak berumur < 2 tahun. Pencegahan perorangan Dipakai oleh masing-masing individu yang memerlukan pencegahan terhadap penyakit malaria. Obat yang dipakai : Klorokuin. Cara pengobatannya:11

(25)

- Bagi pendatang sementara :

Klorokuin diminum 1 minggu sebelum tiba di daerah malaria, selama berada di daerah malaria dan dilanjutkan selama 4 minggu setelah meninggalkan daerah malaria.

- Bagi penduduk setempat dan pendatang yang akan menetap :

Pemakaian klorokuin seminggu sekali sampai lebih dari 6 tahun dapat dilakukan tanpa efek samping. Bila transmisi di daerah tersebut hebat sekali atau selama musim penularan, obat diminum 2 kali seminggu. Penggunaan 2 kali seminggu dianjurkan hanya untuk 3 - 6 bulan saja. Dosis pengobatan pencegahan: Klorokuin 5 mg/KgBB atau 2 tablet untuk dewasa.

WHO merekomendasikan agar memberikan suatu dosis pengobatan (dosis terapeutik) anti malaria untuk semua wanita hamil di daerah endemik malaria pada kunjungan ANC yang pertama, kemudian diikuti kemoprofilaksis teratur. Saat ini kebijakan pengobatan malaria di Indonesia menghendaki hanya memakai klorokuin untuk kemoprofilaksis pada kehamilan. Ibu hamil dengan status non-imun sebaiknya menghindari daerah endemis malaria. Profilaksis mulai diberikan 1 sampai 2 minggu sebelum mengunjungi daerah endemis, dengan klorokuin (300 mg basa) diberikan seminggu sekali dan dilanjutkan sampai 4 minggu setelah kembali ke daerah non endemis. Beberapa studi memperlihatkan bahwa kemoprofilaksis menurunkan anemia maternal dan meningkatkan berat badan bayi yang dilahirkan.15

(26)

BAB III

PENUTUP

3. 1 Kesimpulan

Kesimpulan dari penulisan makalah tinjauan kepustakaan ini, antara lain:

1. Malaria adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh parasit dari genus Plasmodium.

2. Malaria dapat menimbulkan berbagai komplikasi berat, yang disebut sebagai malaria berat. Salah satu komplikasi tersebut adalah malaria serebral.

3. Malaria serebral ditandai demam yang sangat tinggi, gangguan kesadaran, kejang yang terutama terjadi pada anak, hemiplegi dan berakhir pada kematian jika tidak secepatnya mendapatkan perawatan yang tepat.

4. Dasar patogenesis malaria serebral adalah abnormalitas eritrosir terinfeksi, yang mencakup berbagai proses patologi penting, yaitu sekuestrasi, sitoadherensi, dan rosetting eritrosit, dengan konsekuensi blokade mikrosirkulasi serebral.

5. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, dimana sebelumnya pasien terbukti menderita malaria dan terdapat lebih dari satu manifestasi neurologis.

6. Penatalaksanaan terbagi menjadi penanganan umum, penanganan malaria, penanganan pasien tidak sadar, dan monitoring.

7. Pencegahan malaria serebral sesuai dengan pencegahan malaria secara umum, yaitu dengan menghindari gigitan nyamuk dan memutus daur hidup nyamuk. Prognosis umumnya buruk bila telah terjadi kegagalan lebih dari 2 organ. 3.2 Saran

Berbagai penelitian mengenai berbagai efektivitas antimalaria merupakan hal yang perlu digiatkan. Dasar pertimbangannya adalah insidensi

(27)

yang terus meningkat di Indonesia, dan adanya kecenderungan resistensi parasit terhadap klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin, menunjukkan perlu adanya temuan antimalaria baru yang efektif dalam membunuh parasit.

(28)

DAFTAR PUSTAKA

1. Munthe CE. Malaria serebral: Laporan Kasus. Cermin Dunia Kedokteran 2001;131:5-6

2. Putera HD. Malaria serebral (Komplikasi): Suatu penyakit imunologis. Laboratorium Parasitologi FK Universitas Lambung Mangkurat, Kalimatan Selatan, 2002

3. Tjitra E. Manifestasi klinis dan pongobatan malaria. Cermin Dunia

Kedokteran 1995;101:5-11

4. Khomsah. Penyakit Malaria. (available at www.google.co.id/penyakit-malaria.com, tanggal 5 Agustus 2008)

5. Dinda. Malaria. (available at www.medicafarma.com, diakses tanggal 5 Agustus 2008)

6. Akhyar Y. Malaria. Fakultas Kedokteran Universitas Riau. RSUD Arifin Achmad Pekanbaru, Riau 2008

7. Weller Pf. Protozoan Infection: Malaria. Dalam Infection Disease: The Clinician’s Guide to Diagnosis, Treatment, and Prevention. Editor: Dale DC. New York, 2004.

8. Kakkilaya BS. Central nervous system involvement in P. Falciparum malaria. (available at www.malariasite.com, diakses tanggal 5 Agustus 2008)

9. Newton CRJC, Hien TT, White N. Neurological aspects of tropical disease: Cerebral malaria. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2000;69:433-41 10. Santoso, Baju SH. Peran tumor necrosis factor (YNF) dan faktor

penghambat produksi TNF pada gejala klinik malaria falciparum dan malaria vivax di daerah hipoendemik Lombok. 2007 (available at lib.unair.ac.id, diakses tanggal 5 Agustus 2008)

11. Pusat Informasi Penyakit Infeksi. Malaria. (available at www.infeksi.com, diakses tanggal 5 Agustus 2008).

12. Anonymous. Cerebral Malaria. (Available at www.cerebralmalaria.com, diakses tanggal 5 Agustus 2008).

(29)

13. Lubis HN. Malaria Serebral Ringan. Dexa Media 2005;18(2):45-9.

14. Tjitra E. Penelitin imunologi pada penderita malaria serebral di RS. Manado dan Tomohon. Badan 14

Kesehatan 2002. (Available at

litbang.depked.go.id, diakses tanggal 5 Agustus 2008)

15. Suparman E. Malaria pada kehamilan. Cermin Dunia Kedokteran 2005;146:20-8 DAFTAR ISI Halaman Judul ... i Daftar Isi ... ii BAB I. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan ... 3

BAB II. ISI ... 3

2.1 Malaria Secara Umum ... 3

2.2 Pengertian Malaria Serebral... 11

2.3 Etiopatogenesis Malaria Serebral ... 11

2.4 Diagnosis Klinis... 15

2.5 Penatalaksanaan ... 20

2.6 Prognosis dan Follow Up... 22

BAB III. PENUTUP... 25

(30)

3.1 Kesimpulan ... 25 3.2 Saran ... 25 Daftar Pustaka

Gambar

Gambar 1. Mikroskopik Plasmodium sp.
Gambar 2. Distribusi geografik malaria di seluruh dunia. Indonesia merupakan  salah satu wilayah dengan angka kejadian yang tinggi
Gambar 3. Siklus infeksi malaria pada manusia dan nyamuk

Referensi

Dokumen terkait

Islam tersebar di Indonesia atau Nusantara didukung oleh beberapa faktor yaitu ajaran Islam yang menekankan prinsip ketauhidan dalam sistem

Masukkan email serta password lalu klik “Login” untuk melakukan koneksi ke akun tumblr yang ingin di daftarkan sehingga nanti jika ada postingan baru dari akun blog anda

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti akan melakukan penelitian dengan judul : “Perbandingan Hasil Belajar dan Kemampuan Berpikir Kritis yang Diajarkan dengan

Arsitektur jaringan saraf tiruan yang paling optimal untuk di implementasikan kedalam sistem ini adalah jaringan dengan input layer yang terdiri atas 4 neuron, 1

Penelitian ini akan mengimplementasikan algoritma data mining K-Means Clustering untuk mengenali pola jemaat yang menjadi salah satu target kegiatan pelayanan gereja

Berdasarkan paparan diatas, untuk mengetahui bagaimana gambaran literasi sains siswa dengan menggunakan model inkuiri, maka penelitian ini mengangkat judul “Deskripsi

Responden di masing- masing provinsi adalah mikroskopis Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi yang saat ini dilaksanakan oleh Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda), Rumah Sakit

Penerapan standar memerlukan prasarana teknis dan institusional meliputi standar produk dan standar pendukungnya (cara uji, cara pengukuran, dsb), lembaga penilaian