• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. Kanker adalah istilah umum untuk pertumbuhan sel tidak normal yaitu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. Kanker adalah istilah umum untuk pertumbuhan sel tidak normal yaitu"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. KANKER PAYUDARA 1. Definisi kanker payudara

Kanker adalah istilah umum untuk pertumbuhan sel tidak normal yaitu tumbuh sangat cepat dan tidak terkontrol yang dapat menyusup ke jaringan tubuh normal dan menekan jaringan tubuh normal sehingga mempengaruhi fungsi tubuh (dalam Diananda, 2009).

Kanker adalah kelompok penyakit, dimana sel tubuh berkembang, berubah, dan menduplikasikan diri diluar kendali. Biasanya, nama kanker diberikan berdasarkan bagian tubuh dimana kanker pertama kali tumbuh. Jadi, kanker payudara adalah tumor ganas yang telah berkembang dari sel-sel yang ada di dalam payudara. Kanker payudara merujuk pada pertumbuhan serta perkembangbiakan sel abnormal yang muncul pada jaringan payudara (dalam Chyntia, 2009).

Kanker payudara adalah suatu penyakit dimana terjadi pertumbuhan berlebihan atau perkembangan tidak terkontrol dari sel-sel (jaringan) payudara. Kanker bisa mulai tumbuh di dalam kelenjar susu, saluran susu, jaringan lemak maupun jaringan ikat pada payudara (dalam Rahayu, 1991).

(2)

2. Penyebab kanker payudara

Penyebab spesifik kanker payudara masih belum diketahui, tetapi menurut Moningkey dan Kodim (dalam Chyntia, 2009) terdapat banyak faktor risiko yang diperkirakan mempunyai pengaruh terhadap terjadinya kanker payudara, diantaranya:

a. Faktor reproduksi

Karakteristik reproduktif yang berhubungan dengan risiko terjadinya kanker payudara adalah nuliparitas, menarche pada umur muda, menopause pada umur lebih tua, dan kehamilan pertama pada umur tua. Risiko utama kanker payudara adalah bertambahnya umur. Diperkirakan, periode antara terjadinya haid pertama dengan umur saat kehamilan pertama merupakan window of initiation perkembangan kanker payudara. Secara anatomi dan fungsional, payudara akan mengalami atrofi dengan bertambahnya umur. Kurang dari 25% terjadi pada masa sebelum menopause sehingga diperkirakan awal terjadinya tumor terjadi jauh sebelum terjadinya perubahan klinis.

b. Penggunaan hormon

Hormon estrogen berhubungan dengan terjadinya kanker payudara. Laporan dari Harvard School of Public Health menyatakan bahwa terdapat peningkatan kanker payudara yang bermakna pada para pengguna terapi estrogen replacement. Suatu metaanalisis menyatakan bahwa walaupun tidak terdapat risiko kanker payudara pada pengguna kontrasepsi oral, wanita yang menggunakan obat ini untuk waktu yang lama mempunyai risiko tinggi untuk mengalami kanker ini sebelum menopause.

(3)

c. Obesitas

Terdapat hubungan yang positif antara berat badan dan bentuk tubuh dengan kanker payudara pada wanita pasca menopause. Penelitian di negara-negara Barat dan bukan Barat juga menunjukkan bahwa terdapat pengaruh diet terhadap terjadinya keganasan ini.

d. Konsumsi lemak

Willet dkk., melakukan studi prospektif selama 8 tahun tentang konsumsi lemak dan serat dalam hubungannya dengan risiko kanker payudara pada wanita umur 34 sampai 59 tahun dan menemukan bahwa konsumsi lemak diperkirakan sebagai suatu faktor risiko terjadinya kanker payudara.

e. Radiasi

Eksposur radiasi ionisasi selama atau sesudah pubertas meningkatkan terjadinya risiko kanker payudara. Dari beberapa penelitian yang dilakukan disimpulkan bahwa risiko kanker radiasi berhubungan secara linier dengan dosis dan umur saat terjadinya eksposur.

f. Riwayat keluarga dan faktor genetik

Riwayat keluarga merupakan komponen yang penting dalam riwayat penderita yang akan dilaksanakan screening untuk kanker payudara. Terdapat peningkatan risiko keganasan ini pada wanita yang keluarganya menderita kanker payudara. Pada studi genetik ditemukan bahwa kanker payudara berhubungan dengan gen tertentu. Apabila terdapat BRCA 1, yaitu suatu gen suseptibilitas kanker payudara, probabilitas untuk terjadi kanker payudara sebesar 60% pada umur 50 tahun dan sebesar 85% pada umur 70 tahun.

(4)

Sementara beberapa faktor lain yang menunjukkan kemungkinan seorang wanita dapat menderita kanker payudara hádala sebagai berikut (dalam Dixon & Leonard, 2002):

a. Menunda kehamilan

Wanita yang belum hamil sampai melebihi usia 30 tahun, atau yang belum pernah melahirkan, memiliki risiko lebih besar daripada mereka yang hamil pertama kali di usia belasan tahun.

b. Menyusui

Seorang wanita yang telah menyusui satu anak atau lebih memiliki risiko lebih rendah daripada wanita yang tidak pernah menyusui.

c. Sel-sel payudara yang abnormal

Beberapa wanita yang pada kondisi non-kanker ditemukan menderita ketidaknormalan pada sel-sel payudara tertentu nantinya bisa menjadi kanker. Seorang wanita dengan masalah ini, dikenal sebagai hyperplasia tidak normal, membutuhkan check-up teratur.

d. Minum alkohol dan merokok

Beberapa studi menunjukkan wanita yang minum banyak alkohol memiliki risiko lebih tinggi daripada mereka yang tidak minum alkohol. Merokok tidak dihubungkan secara langsung dengan risiko kanker payudara, tetapi berhubungan dengan penyakit lain dan kesehatan secara menyeluruh.

(5)

e. Mengkonsumsi pil KB

Ada sedikit peningkatkan risiko pada wanita yang mengkonsumsi pil KB. Risiko ini bersifat sementara dan hilang setelah 10 tahun berhenti mengkonsumsi pil KB.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor risiko kanker payudara adalah faktor reproduksi, penggunaan hormon, obesitas, konsumsi lemak, radiasi, riwayat keluarga dan faktor genetik, penundaan kehamilan, tidak menyusui, sel-sel payudara yang abnormal, minum alkohol dan merokok, serta mengkonsumsi pil KB.

3. Pengobatan medis kanker payudara

Pengobatan kanker payudara dibagi menjadi dua jenis, yaitu pengobatan lokal dan sistemik. Pembedahan dan radioterapi (terapi radiasi) merupakan pengobatan lokal yang digunakan untuk mengangkat, merusak, atau mengontrol sel kanker pada area spesifik. Sedangkan kemoterapi merupakan pengobatan sistemik yang digunakan untuk merusak atau mengontrol sel kanker melalui seluruh tubuh (Odgen, 2004).

Pembedahan merupakan pengobatan primer kanker payudara. Selain pembedahan, terdapat pengobatan yang dinamakan adjuvant therapy yaitu pengobatan yang diberikan untuk melengkapi pengobatan primer agar meningkatkan kesempatan penyembuhan yang terdiri dari kemoterapi dan radiasi (Odgen, 2004). Berikut penjelasan tiga tipe dasar dari pengobatan kanker, yaitu pembedahan, radiasi, dan kemoterapi.

(6)

a. Pembedahan

Pembedahan merupakan pengobatan yang paling umum untuk kanker payudara. Terdapat beberapa jenis pembedahan pada kanker payudara, yaitu: lumpectomy (pembedahan yang dilakukan dengan cara mengangkat benjolan atau tumor dan sejumlah kecil jaringan normal yang ada disekitarnya), total mastectomy (pembedahan yang dilakukan dengan cara mengangkat keseluruhan payudara yang terkena kanker), dan radical mastectomy (pembedahan yang dilakukan dengan cara mengangkat keseluruhan payudara yang terkena kanker, dinding otot dada di bawah payudara, dan semua limfa di bawah lengan) (dalam Bellenir, 2009). Pembedahan dilakukan berdasarkan ukuran kanker, letak kanker dan penyebarannya (dalam Odgen, 2004).

(1) Efek fisik pembedahan

Sejumlah pasien kanker payudara melaporkan masalah-masalah yang timbul setelah dilakukannya pembedahan. Mulai dari rasa ketidaknyamanan segera setelah pembedahan sampai dengan masalah-masalah kronik seperti kaku, mati rasa, bengkak, dan lelah yang dapat dirasakan selama berminggu-minggu sampai bertahun-tahun (dalam Ricks, 2005). Pembedahan juga dapat mengakibatkan perubahan bentuk dan ukuran payudara (dalam Odgen, 2004). Efek samping yang juga muncul dari pembedahan lumpectomy ataupun mastectomy adalah terjadinya infeksi dan munculnya sejumlah cairan pada luka bekas pembedahan (dalam Ricks, 2005). Dalam jangka panjang, terdapat risiko komplikasi yang besar, kondisi ini dimanakan lymphedema dimana lengan akan membengkak yang meskipun dapat diatasi namun tidak dapat disembuhkan (dalam Odgen, 2004).

(7)

Perubahan-perubahan penampilan fisik akibat pembedahan tersebut dapat terjadi secara permanen (dalam Feuerstein, 2007).

(2) Efek psikologis pembedahan

Masalah yang sering dihadapi setelah proses pembedahan adalah perubahan cara berpikir tentang tubuh mereka dan efeknya terhadap perasaan dan aktivitas seksual. Kebanyakan wanita melihat payudaranya sebagai bagian yang penting dari feminitas dan identitas seksual (dalam Odgen, 2004). Apalagi di kebanyakan budaya, terdapat stereotip seksual yang kuat dimana payudara dianggap secara simbolik berkaitan dengan kehangatan, keibuan, dan kasih sayang. Jika bagian tubuh terpenting yang tampak diamputasi atau dimutilasi, hal ini kemudian menjadi sebuah alasan bahwa body image akan ikut terpengaruh. Perubahan body image ini akan berdampak pada fungsi psikologis dan seksual pada seorang wanita. Wanita tersebut dapat mengalami distress karena hal tersebut sehingga biasanya mereka akan mulai memakai baju yang sangat longgar untuk menyamarkan bentuk payudara mereka atau menjadi pobia sosial dan menarik diri dari interaksi dengan orang lain (dalam Tavistock & Routledge, 2002). Oleh karena itu, sulit bagi mereka untuk menerima bahwa pengobatan diartikan sebagai mutilasi atau kehilangan sesuatu yang sangat terkait dengan seksualitas mereka. Kehilangan dari satu atau keduanya akan menambah beban akan fakta bahwa mereka terkena kanker (dalam Odgen, 2004). Kehilangan payudara pada akhirnya dapat menciptakan disfungsi seksual yang parah sebagai bentuk hilangnya self-image, rendahnya self-esteem, hilangnya perceived atrractiveness, rasa malu, dan kehilangan gairah (dalam Tavistock & Routledge, 2002).

(8)

Beberapa wanita menginginkan agar payudaranya tetap utuh dengan banyak cara, sementara wanita lainnya merasa bahwa mereka hanya dapat menyelamatkan payudaranya jika keduanya diangkat sekaligus. Beberapa wanita, yang menganggap bahwa mastektomi membuat mereka merasa sakit secara emosional, mungkin menginginkan rekonstruksi payudara dengan segera, sementara wanita yang lainnya cenderung untuk menghindari pembedahan dan puas hanya dengan memakai prosthesis (benda berbentuk seperti payudara) di dalam bra mereka (dalam Odgen, 2004).

b. Radiasi

Terapi radiasi merupakan pengobatan kanker yang menggunakan X-ray berenergi tinggi untuk membunuh sel kanker atau menahannya agar tidak berkembang. Keputusan tentang seberapa banyak kadar dan seberapa lama radiasi diberikan tergantung dari kadar, tipe, dan tahap kanker. Terdapat dua tipe dari terapi radiasi yaitu terapi radiasi internal dan terapi radiasi eksternal. Terapi radiasi internal menggunakan substansi radioaktif melalui suntik, kawat atau pipa yang ditempatkan langsung di dalam atau di dekat kanker. Sedangkan terapi radiasi eksternal menggunakan mesin di luar tubuh untuk mengirimkan radiasi ke arah kanker. Cara terapi radiasi diberikan tergantung pada tipe dan tahap kanker yang sedang diobati (dalam Bellenir, 2009).

Terapi radiasi sering diberikan bersama pengobatan kanker yang lain. Radiasi dapat diberikan bersama dengan pembedahan. Radiasi mungkin akan diberikan sebelum, sesudah atau selama pembedahan. Dokter mungkin akan melakukan radiasi sebelum pembedahan.untuk mengurangi ukuran kanker, atau dilakukan

(9)

setelah pembedahan untuk membunuh sel kanker yang masih tersisa. Terkadang, terapi radiasi diberikan selama proses pembedahan sehingga dapat langsung menuju ke kanker tanpa harus menyentuh kulit. Model terapi radiasi ini dinamakan intraoperative radiation (dalam Feuerstein, 2007).

Radiasi juga dapat diberikan bersama dengan kemoterapi. Radiasi mungkin akan diberikan pada saat sebelum, selama, dan sesudah kemoterapi. Pada saat sebelum ataupun selama kemoterapi, terapi radiasi berfungsi untuk mengurangi kanker sehingga kemoterapi dapat bekerja dengan lebih baik. Sedangkan setelah kemoterapi, terapi radiasi dapat digunakan untuk membunuh sel kanker yang tersisa (dalam Feuerstein, 2007).

(1) Efek fisik radiasi

Efek samping radiasi yang dapat dirasakan adalah mual dan muntah, penurunan jumlah sel darah putih, infeksi/peradangan, reaksi pada kulit seperti terbakar sinar matahari, rasa lelah, sakit pada mulut dan tenggorokan, diare dan kebotakan (dalam Chyntia, 2009). Terapi radiasi dapat menyebabkan luka kecil pada paru-paru, sehingga mengakibatkan iritasi dan batuk, atau terkadang sulit bernapas (dalam Dixon & Leonard, 2002). Beberapa pasien kehilangan selera makannya dan mengalami kesulitan pada sistem pencernaan mereka selama pengobatan (Odgen, 2004).

Efek samping tersebut bersifat kumulatif; beberapa pasien semakin merasa buruk pada akhir rangkaian pengobatan daripada awal pengobatan. Pada sebuah studi, hampir sepertiga dari pasien masih mengeluh akan rasa lelah yang

(10)

berlebihan setelah terapi radiasi dan masih dirasakan setahun setelah pengobatan berakhir (Fallowfield et al. dalam Tavistock & Routledge, 2002).

(2) Efek psikologis radiasi

Lucas et al. (dalam Tavistock & Routledge, 2002) menemukan bahwa terdapat korelasi yang kuat antara jumlah terapi radiasi yang diberikan, reaksi yang tidak menyenangkan, dan berikutnya psychiatric morbidity, akan tetapi terkadang pikiran-pikiran akan pengobatan saja pun cukup untuk menciptakan kecemasan. Tidak disangkal bahwa beberapa kecemasan dan depresi tersebut berkaitan dengan adanya diagnosa kanker payudara, sehingga penyakit ini membuat wanita khawatir bahkan meskipun mereka memulai terapi radiasi dengan pikiran positif dan optimis.

c. Kemoterapi

Kemoterapi merupakan proses pemberian obat-obatan anti kanker dalam bentuk pil cair atau kapsul atau melalui infus yang bertujuan membunuh sel kanker (dalam Chyntia, 2009). Jadwal pengobatan kemoterapi sangat bervariasi. Seberapa sering dan seberapa lama pasien mendapatkan kemoterapi tergantung pada tipe dan stadium kanker; tujuan pengobatan (apakah kemoterapi digunakan untuk mengobati kanker, mengontrol perkembangannya, atau mengurangi gejala-gejala); tipe kemoterapi; dan bagaimana tubuh bereaksi terhadap kemoterapi (dalam Bellenir, 2009).

Kemoterapi dibagi atas dua jenis yaitu kemoterapi sistemik dan kemoterapi regional. Kemoterapi sistemik adalah kemoterapi yang diberikan melalui mulut atau disuntik melalui pembuluh darah vena atau otot, sehingga obat-obatan masuk

(11)

ke aliran arah dan dapat mencapai sel kanker melalui tubuh. Sedangkan kemoterapi regional adalah kemoterapi yang ditempatkan langsung ke dalam lajur spinal, organ, atau rongga tubuh, seperti daerah perut, sehingga obat-obatan akan mempengaruhi sel kanker di area tersebut.

Prinsip kerja pengobatan ini adalah dengan meracuni atau membunuh sel-sel kanker, mengontrol pertumbuhan sel kanker, dan menghentikan pertumbuhannya agar tidak menyebar atau untuk mengurangi gejala-gejala yang disebabkan oleh kanker (dalam Chyntia, 2009). Sayangnya, obat-obatan anti kanker tidak dapat mengenali sel-sel kanker secara spesifik, dan akan membunuh sel-sel lain yang membelah secara aktif seperti sel-sel darah atau sumsum tulang (dan rambut) (dalam Dixon & Leonard, 2002).

(1) Efek fisik kemoterapi

Kemoterapi mempengaruhi orang dengan cara yang berbeda. Bagaimana efek fisik yang dirasakan tergantung dari seberapa sehat seseorang sebelum pengobatan, tipe kanker, seberapa parah kanker tersebut, jenis kemoterapi yang didapatkan, dan dosisnya. Beberapa efek samping yang umum terjadi akibat kemoterapi adalah rasa sakit, nyeri dan luka pada mulut (dalam Bellenir, 2009). Pasien yang menerima kemoterapi akan mengalami peningkatan risiko terkena infeksi, dimana hal ini menandakan bahwa mereka membutuhkan perawatan ekstra untuk menghindari situasi yang berisiko. Depresi dan rasa lelah akan membuat keadaan tersebut semakin memburuk (dalam Odgen, 2004).

Kebanyakan pasien yang diberikan kemoterapi juga mengalami mual, muntah, dan kerontokan rambut (dalam Tavistock & Routledge, 2002). Banyak orang yang

(12)

memandang bahwa rambut mereka merupakan bagian yang sangat penting dari penampilan. Pada beberapa budaya, rambut juga merupakan lambang dari kesuburan atau status, sehingga kerontokan rambut dapat menjadi pengalaman yang begitu sulit (dalam Odgen, 2004).

Kebanyakan efek samping mereda setelah kemoterapi berakhir. Tetapi terkadang efek tersebut dapat berlangsung berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Kemoterapi juga dapat menyebabkan efek samping jangka panjang yang tidak kunjung reda seperti kerusakan hati, paru-paru, ginjal, saraf, atau organ reproduksi. Beberapa tipe kemoterapi bahkan dapat menyebabkan kanker tambahan beberapa tahun kemudian (dalam Bellenir, 2009).

(2) Efek psikologis kemoterapi

Pada wanita yang telah mengalami banyak penderitaan secara fisik dan emosional akibat kanker payudara yang mereka derita, kabar bahwa sekarang mereka harus menjalani beberapa rangkaian kemoterapi selama periode lebih dari 6 bulan, sering menciptakan rasa takut sekaligus curiga. Seperti ketika kebutuhan akan terapi radiasi yang membuat ketakutan karena kanker yang tidak dapat disembuhkan secara efektif dengan pembedahan, kebutuhan akan kemoterapi juga akan menciptakan kecemasan yang serupa (dalam Tavistock & Routledge, 2002).

Dengan tidak melibatkan efek fisik yang muncul, terdapat banyak efek samping psikologis berkaitan dengan kemoterapi. Maguire et al. (dalam Tavistock & Routledge, 2002) mempelajari psychiatric morbidity pada wanita-wanita yang sedang menjalani mastektomi disertai dengan pemberian kemoterapi dengan yang menjalani mastektomi saja. Secara signifikan, wanita-wanita yang juga menerima

(13)

kemoterapi lebih mengalami kecemasan dan/atau depresi. Dan semakin mereka mengalami efek samping yang buruk, maka semakin parah kecemasan dan/atau depresi yang dialami.

4. Pengobatan alternatif dan komplementer kanker payudara a. Definisi pengobatan alternatif dan komplementer

The National Center for Complementary and Alternative Medicine (NCCAM), merupakan biro pemerintahan yang merupakan bagian dari Institusi Kesehatan Nasional (National Institutes of Health). The National Center for Complementary and Alternative Medicine (NCCAM) mendefinisikan pengobatan alternatif dan komplementer sebagai: “ sekelompok sistem, praktek dan produk perawatan kesehatan dan medis yang terdiri dari beberapa jenis dan bukan merupakan bagian dari pengobatan konvensional (Silver, 2006).

Beberapa wanita penderita kanker payudara menggunakan pengobatan alternatif dan komplementer (Complementary and Alternative Medicine) atau yang biasa disingkat dengan CAM (Bellenir, 2009). Pengobatan alternatif dan komplementer berbeda antara satu dengan yang lainnya. Pengobatan komplementer diartikan untuk menambah atau melengkapi pengobatan utama pada umumnya.(medis); pengobatan alternatif diartikan untuk menggantikan pengobatan medis dengan pengobatan yang berbeda (Lyons, 2007).

Pasien mungkin akan memilih menggunakan pengobatan komplementer disamping menjalani pengobatan medisnya seperti pembedahan, radiasi, kemoterapi ataupun terapi biologis untuk meredakan gejala dari kanker dan efek

(14)

samping dari terapi kanker yang dijalani. Pengobatan komplementer dapat terdiri dari meditasi, pemijatan, yoga, diet dan konsumsi suplemen berupa vitamin, mineral ataupun jamu. Di lain hal, pasien mungkin akan memilih menggunakan terapi alternatif daripada terapi kanker medis. Beberapa pengobatan alternatif identik dengan pengobatan komplementer. Pengobatan alternatif lainnya dapat berupa pengobatan yang menggunakan peralatan kimiawi ataupun elektris. Perbedaan antara pengobatan alternatif dan komplementer adalah pasien menggunakan pengobatan alternatif dengan tujuan mengobati kanker dan sama sekali tidak menggunakan pengobatan medis. (Lyons, 2007).

b. Prevalensi penggunaan pengobatan alternatif dan komplementer

Pengobatan alternatif dan komplementer telah meningkat popularitasnya dalam beberapa tahun belakangan ini (Bellenir, 2009). Penggunaan CAM lebih umum terjadi diantara pasien-pasien kanker daripada pasien-pasien penyakit lainnya (Shumay dkk, 2002). Pasien kanker yang menggunakan pengobatan alternatif dan komplementer mengalami peningkatan (Aloui-Jamali, 2010). Sebanyak 90% pasien penderita kanker pernah menggunakan beberapa bentuk dari pengobatan CAM (Aloui-Jamali, 2010).

Morris dkk. (2000) melaporkan bahwa pasien penderita kanker payudara cenderung untuk menggunakan sejumlah tipe CAM dan cenderung untuk menjalaninya secara teratur dibandingkan penderita jenis kanker lainnya (Shumay dkk, 2002). Prevalensi penggunaan CAM pada penderita kanker payudara bervariasi yang mengindikasikan sekitar 63% sampai 83% pasien kanker payudara

(15)

menggunakan setidaknya satu tipe dari CAM (Digianni, Garber, & Winner, 2002). Dengan meningkatnya ketakutan akan sakit dan kematian, wanita penderita kanker payudara akan mencoba berbagai jenis pengobatan CAM (VandeCreek, Rogers, & Lester, 1999 dalam Lengacher, 2002).

c. Domain pengobatan alternatif dan komplementer

Pengobatan alternatif dan komplementer dikategorisasikan ke dalam beberapa jenis. The National Center for Complementary and Alternative Medicine (NCCAM) membaginya ke dalam lima domain (Kelvin, 2011):

1. Whole medical systems of theory and practice

Pengobatan ini telah diterapkan dan digunakan oleh banyak budaya yang berbeda di berbagai belahan dunia. Pengobatan ini berfungsi untuk merangsang atau mendorong kemampuan tubuh untuk menyembuhkan dirinya sendiri atau untuk memulihkan keseimbangan yin dan yang dan sirkulasi qi (energi kehidupan). Contohnya termasuk homeopathic medicine, naturopathic medicine, pengobatan tradisional Cina (contoh: akupuntur), dan Ayurveda dari India.

2. Mind–body medicine

Teknik ini membantu pikiran untuk meningkatkan fungsi tubuh dan mengurangi gejala penyakit. Contohnya termasuk meditasi, guided imagery, hipnosis, berdoa, dan creative therapies.

(16)

Pengobatan ini menggunakan bahan-bahan yang didapat dari alam seperti jamu, makanan, vitamin, dan produk biologis lainnya (contohnya tulang rawan ikan hiu).

4. Manipulative and body-based practices

Teknik ini mencakup manipulasi atau pergerakan tubuh seperti yang biasa digunakan oleh chiropractor (orang yang mengurut tulang penderita penyakit tulang punggung) dan terapi pemijatan.

5. Energy medicine

Teknik ini memanipulasi energi didalam atau diluar tubuh. Contohnya termasuk terapi sentuh (touch therapy), penggunaan magnet, atau Reiki (suatu metode penyembuhan alami yang memanfaatkan energi dari alam, dan disalurkan kedalam tubuh pasien untuk menormalkan kembali organ tubuh yang sakit).

Ada banyak pengobatan berbeda yang digolongkan sebagai komplementer akan tetapi yang paling banyak digunakan kanker payudara adalah akupuntur (dan acupressure), aromaterapi, creative therapies, pengobatan herbal, homeopathy, hipnoterapi, relaksasi dan visualisasi serta refleksologi (Odgen, 2004).

d. Alasan penggunaan pengobatan alternatif dan komplementer

Adanya kemajuan dalam perawatan kesehatan pada abad-abad terakhir ini membuat angka harapan hidup manusia lebih tinggi sementara mereka yang menderita penyakit kronis masih menemukan bahwa pengobatan konvensional tidak mampu untuk menyembuhkan atau mengurangi rasa sakit secara efektif (Michaud, 2000). Dengan globalisasi informasi dan sumber yang mudah didapat,

(17)

banyak orang yang menggunakan pengobatan alternatif dan komplementer untuk memuaskan kebutuhan perawatan kesehatan pribadi (Michaud, 2000). Pasien kanker khususnya, cenderung lebih terbuka terhadap pengobatan CAM. Sebagian alasannya adalah dikarenakan persepsi, benar atau salah, bahwa pengobatan tersebut alami, aman, efektif, dan lebih mudah diterima oleh tubuh (Aloui-Jamali, 2010).

Penderita kanker payudara menggunakan pengobatan komplementer dengan alasan yang berbeda-beda. (Odgen, 2004). Beberapa orang melakukannya karena mereka merasa bahwa proses medis yang konvensional berada diluar kontrol mereka sedangkan menggunakan pengobatan komplementer memberikan cukup kontrol untuk penyembuhan diri mereka sendiri. (Odgen, 2004). Beberapa penderita lainnya menggunakan pengobatan tersebut untuk memperbaiki kualitas hidup mereka dengan mengurangi efek samping dari kemoterapi. Penderita lainnya juga merasakan bahwa pengobatan komplementer memberikan mereka harapan yang lebih bahwa mereka akan dapat bertahan melalui semuanya (Odgen, 2004).

Pasien kanker payudara menyatakan berbagai alasan dalam menerapkan CAM kedalam perawatan kesehatan mereka. Boon dkk (dalam Digianni, Garber, & Winner, 2002) menanyakan kepada sejumlah sampel acak dari penderita kanker payudara di Kanada untuk memahami motivasi dibalik penggunaan CAM. Wanita-wanita tersebut menyatakan bahwa mereka menggunakan pengobatan tersebut untuk meningkatkan sistem kekebalan (63%), meningkatkan kualitas hidup (53%), mencegah kambuhnya kanker (42%), memberikan perasaan kontrol

(18)

akan hidup mereka (38%), dan untuk melengkapi pengobatan medis konvensional yang mereka lakukan (38%). Richardson dkk melaporkan hasil yang mirip tentang pengobatan CAM dari sekelompok pasien kanker di sebuah pusat kanker. Pasien berharap dapat memperbaiki kualitas hidup (77%), menaikkan sistem kekebalan (71%), dan memperpanjang usia (62%).

Bagaimanapun, peningkatan pengobatan alternatif dan komplementer menggambarkan keadaan yang menyedihkan pada banyak penderita kanker sehingga membuat mereka berkeinginan untuk mencoba segala cara yang dapat membantu mereka mengatasi hal tersebut (Kelvin, 2011).

B. RESILIENSI 1. Definisi Resiliensi

Reivich. K dan Shatte. A (2002) dalam bukunya “the resiliency factor” menjelaskan bahwa arti resiliensi itu adalah kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi bila terjadi sesuatu yang merugikan dalam hidupnya. Bertahan dalam keadaan tertekan sekali pun, atau bahkan berhadapan dengan kesengsaraan (adversity) maupun trauma yang dialami sepanjang kehidupannya. Resiliensi bukanlahlah suatu trait, akan tetapi bersifat kontinum, sehingga tiap individu dapat meningkatkan resiliensinya (Reivich & Shatte, 2002). Kemampuan seseorang untuk menyembuhkan diri, beradaptasi, atau bangkit kembali ke kondisi normal (resiliensi) bervariasi sepanjang hidup mereka (Norman, 2000).

Resiliensi pada individu didefinisikan oleh Grotberg (dalam Schoon, 2006) sebagai kapasitas manusia untuk menghadapi, mengatasi, dan bahkan berubah

(19)

akibat pengalaman traumatik tersebut. Ketika orang yang resilien mendapatkan gangguan dalam kehidupan, mereka mengatasi perasaan mereka dengan cara yang sehat. Mereka membiarkan diri mereka untuk merasakan duka, marah, kehilangan, dan bingung ketika merasa tersakiti dan distress, akan tetapi mereka tidak membiarkan hal tersebut menjadi perasaan yang permanen (Siebert, 2005).

Resiliensi merupakan proses mengembangkan kapasitas untuk bertahan dalam menghadapi tantangan fisik, sosial, dan emosional (Glantz & Johnson, 1999). Beberapa dari individu yang resilien tidak hanya bertahan tetapi juga berkembang. Mereka akan mengembangkan cara untuk mengubah keadaan yang penuh tekanan menjadi sebuah kesempatan untuk pengembangan diri pribadi. Sehingga, pada akhirnya mereka akan menjadi lebih baik dari yang sebelumnya (Maddi & Khoshaba, 2005).

Dari berbagai pengertian resiliensi di atas dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan untuk bertahan dan tidak berputus asa dari peristiwa buruk atau musibah dan bisa mengambil hikmah dari apa yang terjadi untuk bisa bangkit kembali.

2. Domain resiliensi

Menurut Reivich dan Shatte (2002), terdapat tujuh domain yang membangun resiliensi, yaitu aspek regulasi emosi, impuls kontrol, optimisme, analisis kausal, empati, self-efficacy, dan reaching out.

(20)

Regulasi emosi merupakan kemampuan untuk tetap tenang saat berada di bawah tekanan. Individu yang resilien menggunakan sekumpulan keterampilan dengan baik yang dapat membantu mereka untuk mengontrol emosi, perhatian, dan perilaku mereka. Self-regulated merupakan hal yang penting dalam membentuk kedekatan, sukses di pekerjaan dan membantu pemeliharaan kesehatan fisik seseorang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang kurang memiliki kemampuan untuk mengatur emosi mengalami kesulitan dalam membangun dan menjaga hubungan pertemanan. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai macam alasan di antaranya adalah tidak ada orang yang mau menghabiskan waktu bersama orang yang marah, merengut, cemas, khawatir serta gelisah setiap saat. Emosi yang dirasakan seseorang cenderung menular kepada orang lain. Semakin kita terasosiasi dengan kemarahan dan rasa cemas maka kita juga akan semakin menjadi seseorang yang pemarah dan mudah cemas.

Tidak semua emosi yang dirasakan individu harus dikontrol. Tidak semua rasa marah, sedih, gelisah, dan rasa bersalah harus diminimalisir ataupun ditahan. Hal ini dikarenakan mengekpresikan emosi yang kita rasakan baik emosi positif maupun negatif merupakan hal yang konstruktif dan sehat, bahkan kemampuan untuk mengekspresikan emosi secara tepat merupakan bagian dari resiliensi (Reivich & Shatte, 2002).

Beberapa individu cenderung untuk lebih sering mengalami rasa gelisah, sedih, dan marah daripada orang yang lainnya. Ketika mereka kecewa, mereka kesulitan untuk mengembalikan emosi menjadi positif seperti semula. Mereka

(21)

sering terpaku pada rasa marah, sedih, dan gelisahnya sehingga mereka menjadi kurang efektif dalam memecahkan dan mengatasi masalah yang muncul. Mereka pun biasanya merasa kesulitan mencari pertolongan orang lain dan mengutip pembelajaran dari suatu kejadian ketika mereka sedang dikuasai oleh emosi mereka tersebut (Reivich & Shatte, 2002).

Reivich dan Shatte (2002) mengungkapkan dua buah keterampilan yang dapat memudahkan individu dalam meningkatkan regulasi emosi, yaitu calming (tenang) dan focusing (fokus). Dua buah keterampilan ini akan membantu individu untuk mengontrol emosi yang tidak terkendali, memfokuskan pikiran individu ketika muncul banyaknya hal yang mengganggu, serta mengurangi stres yang dialami oleh individu

(1) Calming (Tenang)

Individu dapat mengurangi stres yang mereka alami dengan merubah cara berpikir ketika berhadapan dengan stressor. Meskipun begitu, seorang individu tidak akan mampu menghindar dari keseluruhan stres yang dialami, diperlukan cara untuk membuat diri mereka berada dalam kondisi tenang ketika stres menghadang.

Keterampilan ini adalah sebuah kemampuan untuk meningkatkan kontrol individu terhadap respon tubuh dan pikiran ketika berhadapan dengan stres dengan cara relaksasi. Dengan relaksasi individu dapat mengontrol jumlah stres yang dialami. Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk relaksasi dan membuat diri kita berada dalam keadaan tenang, yaitu dengan mengontrol

(22)

pernafasan, relaksasi otot serta dengan menggunakan teknik positive imagery, yaitu membayangkan suatu tempat yang tenang dan menyenangkan.

(2) Focusing (Fokus)

Keterampilan untuk fokus pada permasalahan yang ada memudahkan individu untuk menemukan solusi dari permasalahan yang ada. Setiap permasalahan yang ada akan berdampak pada timbulnya permasalahan-permasalahan baru. Individu yang fokus mampu untuk menganalisa dan membedakan antara sumber permasalahan yang sebenarnya dengan masalah-masalah yang timbul sebagai akibat dari sumber permasalahan. Pada akhirnya individu juga dapat mencari solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan yang ada. Hal ini tentunya akan mengurangi stres yang dialami oleh individu (Reivich & Shatte, 2002).

b. Impulse Control

Pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri. Individu yang memiliki kemampuan pengendalian impuls yang rendah, cepat mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya mengendalikan pikiran dan perilaku mereka. Mereka menampilkan perilaku mudah marah, kehilangan kesabaran, impulsif, dan berlaku agresif. Tentunya perilaku yang ditampakkan ini akan membuat orang di sekitarnya merasa kurang nyaman sehingga berakibat pada buruknya hubungan sosial individu dengan orang lain (Reivich & Shatte, 2002).

(23)

Individu dengan pengendalian impuls yang rendah pada umumnya percaya pada pemikiran impulsifnya yang pertama mengenai situasi sebagai kenyataan dan bertindak sesuai dengan situasi tersebut. Sedangkan individu dengan pengendalian impuls yang tinggi dapat mengendalikan impulsivitas dengan mencegah terjadinya kesalahan pemikiran, sehingga dapat memberikan respon yang tepat pada permasalahan yang ada. Menurut Reivich dan Shatte (2002) pencegahan dapat dilakukan dengan menguji keyakinan individu dan mengevaluasi kebermanfaatan terhadap pemecahan masalah. Individu dapat melakukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat rasional yang ditujukan kepada dirinya sendiri, seperti ’apakah penyimpulan terhadap masalah yang saya hadapi berdasarkan fakta atau hanya menebak?’, ’apakah saya sudah melihat permasalahan secara keseluruhan?’,’apakah manfaat dari semua ini?’, dll.

Kemampuan individu untuk mengendalikan impuls sangat terkait dengan kemampuan regulasi Resilience Quotient emosi yang ia miliki. Seorang individu yang memiliki skor yang tinggi pada faktor regulasi emosi cenderung memiliki skor Resilience Quotient pada faktor pengendalian impuls (Reivich & Shatte). c. Optimism

Individu yang resilien biasanya memiliki sifat optimis. Mereka percaya bahwa segala sesuatu dapat berubah menjadi lebih baik. Optimisme adalah ketika kita melihat bahwa masa depan kita cemerlang. Individu yang optimis memiliki harapan terhadap masa depan mereka dan mereka percaya bahwa mereka lah pemegang kendali atas arah hidup mereka. Individu yang optimis memiliki

(24)

kesehatan yang lebih baik, jarang mengalami depresi, serta memiliki produktivitas yang tinggi, apabila dibandingkan dengan individu yang cenderung pesimis.

Siebert (2005) mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara tindakan dan ekspektasi kita dengan kondisi kehidupan yang dialami individu. Peterson dan Chang (dalam Siebert, 2005) mengungkapkan bahwa optimisme sangat terkait dengan karakteristik yang diinginkan oleh individu, kebahagiaan, ketekunan, prestasi, dan kesehatan. Individu yang optimis percaya bahwa situasi yang sulit suatu saat akan berubah menjadi situasi yang lebih baik. Sebagian individu memiliki kecenderungan untuk optimis dalam memandang hidup ini secara umum, sementara sebagian invidu yang lain optimis hanya pada beberapa situasi tertentu (Siebert, 2005). Optimisme bukanlah sebuah sifat yang terberi melainkan dapat dibentuk dan ditumbuhkan dalam diri individu (Siebert, 2005).

Optimisme menandakan bahwa adanya keyakinan bahwa kita mempunyai kemampuan untuk mengatasi kemalangan atau ketidakberuntungan yang mungkin terjadi di masa depan tersebut. Hal ini juga merefleksikan Self Efficacy yang dimiliki oleh seseorang, yaitu kepercayaan individu bahwa ia mampu menyelesaikan permasahan yang ada dan mengendalikan hidupnya. Reivich & Shatte(2002) mengemukakan individu yang optimis mampu memprediksi masa depan dengan akurat pada masalah potensial yang akan muncul dan membangun strategi untuk mencegah dan mengatasi masalah yang terjadi.

Optimisme akan menjadi hal yang sangat bermanfaat untuk individu bila diiringi dengan Self-Efficacy, hal ini dikarenakan dengan optimisme yang ada pada seseorang akan mendorong individu untuk mampu menemukan solusi

(25)

permasalahan dan terus bekerja keras demi kondisi yang lebih baik (Reivich & Shatte, 2002). Tentunya optimisme yang dimaksud adalah optimisme yang realistis (realistic optimism), yaitu sebuah kepercayaan akan terwujudnya masa depan yang lebih baik dengan diiringi segala usaha untuk mewujudkan hal tersebut. Berbeda dengan unrealistis optimism dimana kepercayaan akan masa depan yang cerah tidak dibarengi dengan usaha yang significan untuk mewujudkannya. Pada kenyataannya unrealistic optimism akan membuat individu mengabaikan ancaman yang sebenarnya yang perlu mereka antisipasi. Perpaduan antara optimisme yang realistis dan self-efficacy adalah kunci resiliensi dan kesuksesan.

d. Causal Analysis

Causal analysis merupakan istilah yang digunakan untuk mengartikan sebuah kemampuan untuk mengidentifikasi penyebab masalah secara akurat. Analisis kausal digunakan individu untuk mencari penjelasan dari suatu kejadian. Jika kita tidak mampu memperkirakan penyebab masalah dengan akurat, maka kita akan membuat kesalahan yang sama secara terus-menerus.

Seligman (dalam Reivich & Shatte, 2002) mengidentifikasikan gaya berpikir explanatory yang merupakan kebiasaan cara seseorang untuk menjelaskan hal baik dan buruk yang terjadi pada diri dan kehidupan mereka. Gaya berpikir ini erat kaitannya dengan kemampuan causal analysis yang dimiliki individu. Gaya berpikir explanatory dapat dibagi dalam tiga dimensi: personal (saya-bukan saya), permanen (selalu-tidak selalu), dan pervasive (semua-tidak semua).

(26)

Individu dengan gaya berpikir ”saya-selalu-semua” merefleksikan keyakinan bahwa penyebab permasalahan berasal dari dirinya sendiri (saya), hal ini selalu terjadi dan permasalahan yang ada tidak dapat diubah (selalu), serta permasalahan yang ada tidak dapat diubah (semua). Sementara individu yang memiliki gaya berpikir ”bukan saya-tidak selalu-tidak semua” meyakini bahwa permasalahan yang terjadi disebabkan oleh orang lain (bukan saya), dimana kondisi tersebut masih memungkinkan untuk diubah (tidak selalu) dan permasalahan yang ada tidak akan mempengaruhi sebagian besar hidupnya (tidak semua).

Gaya berpikir explanatory memegang peranan penting dalam konsep resiliensi (Reivich & Shatte, 2002). Individu yang terfokus pada ”selalu-semua” tidak mampu melihat jalan keluar dari permasalahan yang mereka hadapi dan mengubah situasi. Mereka akan menyerah dan putus asa. Sebaliknya individu yang cenderung menggunakan gaya berpikir ”tidak selalu-tidak semua” dapat merumuskan solusi dan tindakan yang akan mereka lakukan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.

Individu yang resilien mempunyai fleksibilitas kognitif dan dapat mengidentifikasi seluruh penyebab signifikan dari kemalangan yang menimpa mereka, tanpa terjebak pada salah satu gaya berpikir explanatory. Mereka tidak mengabaikan faktor permanen maupun pervasif. Individu yang resilien tidak akan menyalahkan orang lain atas kesalahan yang mereka perbuat demi menjaga self-esteem mereka atau membebaskan mereka dari rasa bersalah. Mereka tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar kendali mereka, sebaliknya mereka memfokuskan dan memegang kendali penuh pada pemecahan masalah, perlahan

(27)

mereka mulai mengatasi permasalahan yang ada, mengarahkan hidup mereka, bangkit dan meraih kesuksesan (Reivich & Shatte, 2002).

e. Empathy

Menurut Reivich & Shatte (2002) dikatakan bahwa empati mencerminkan kemampuan individu membaca tanda dari kondisi emosional dan psikologis orang lain. Beberapa individu memiliki kemampuan yang cukup mahir dalam menginterpretasikan bahasa-bahasa nonverbal yang ditunjukkan oleh orang lain seperti ekspresi wajah, intonasi suara, bahasa tubuh dan mampu menangkap apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Individu-individu yang tidak membangun kemampuan untuk peka terhadap tanda-tanda noverbal tersebut tidak mampu untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain, merasakan apa yang dirasakan orang lain dan memperkirakan maksud dari orang lain. Individu dengan empati yang renadah cenderung mengulang pola yang dilakukan oleh individu yang tidak resilien, yaitu menyamaratakan semua keinginan dan emosi orang lain (Reivich & Shatte, 2002)

Dengan kemampuan individu dapat memahami bagaimana menghadapi orang lain sehingga mampu untuk mengatasi permasalahan yang dihadapinya. Seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang baik (Reivich & Shatte, 2002). Sedangkan ketidakmampuan berempati berpotensi menimbulkan kesulitan dalam hubungan sosial (Reivich & Shatte, 2002). Ketidakmampuan individu untuk membaca tanda-tanda nonverbal orang lain dapat sangat merugikan, baik dalam konteks hubungan kerja maupun

(28)

hubungan personal, hal ini dikarenakan kebutuhan dasar manusia untuk dipahami dan dihargai.

f. Self-efficacy

Efikasi diri merepresentasikan keyakinan seseorang bahwa ia dapat memecahkan masalah yang dialami dengan efektif dan keyakinan akan kemampuan untuk sukses. Dalam keseharian, individu yang memiliki keyakinan pada kemampuan mereka untuk memecahkan masalah akan tampil sebagai pemimpin, sebaliknya individu yang tidak memiliki keyakinan terhadap self-efficacy mereka akan selalu tertinggal dari yang lain dan terlihat ragu-ragu. Efikasi diri merupakan hal yang sangat penting sebagai untuk mencapai resiliensi. g. Reaching out

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa resiliensi lebih dari sekedar bagaimana seorang individu memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan dan bangkit dari kemalangan yang menimpa dirinya. Resiliensi membantu untuk meningkatkan aspek positif dalam kehidupan kita. Resiliensi merupakan sumber dari kemampuan untuk menggapai sesuatu yang lebih (reaching out) dimana orang lain cenderung tidak dapat melakukannya.

Banyak individu yang tidak mampu melakukan reaching out, hal ini dikarenakan mereka telah diajarkan sejak kecil untuk sedapat mungkin menghindari kegagalan dan situasi yang memalukan. Mereka adalah individu-individu yang lebih memilih memiliki kehidupan standar dibandingkan harus meraih kesuksesan namun harus berhadapan dengan resiko kegagalan hidup dan hinaan masyarakat. Mereka menganggap gagal ketika melakukan sesuatu lebih

(29)

buruk daripada gagal sebelum mencoba. Hal ini menunjukkan kecenderungan individu untuk berlebihan-lebihan (overestimate) dalam memandang kemungkinan hal-hal buruk yang dapat terjadi di masa mendatang. Individu-individu ini memiliki rasa ketakutan untuk mengoptimalkan kemampuan mereka hingga batas akhir. Gaya berpikir ini dikenal dengan istilah self-handicapping, dan secara tidak sadar membatasi diri mereka sendiri. Individu seperti ini cenderung berlebihan (overestimate) dalam melihat kemungkinan kegagalan yang akan mendatangkan bencana besar.

Reaching Out adalah kemampuan seseorang untuk menemukan dan membentuk suatu hubungan dengan orang lain, untuk meminta bantuan, berbagi cerita dan perasaan, untuk saling membantu dalam menyelesaikan masalah baik personal maupun interpersonal atau membicarakan konflik dalam keluarga (Reivich & Shatte, 2002). Menurut Reivich & Shatte (2002), resiliensi merupakan kemampuan yang meliputi peningkatan aspek positif dalam hidup. Individu yang meningkatkan aspek positif dalam hidup mampu melakukan dua aspek ini dengan baik, yaitu: (1) mampu membedakan risiko yang realistis dan tidak realistis, (2) memiliki makna dan tujuan hidup serta mampu melihat gambaran besar dari kehidupan. Individu yang selalu meningkatkan aspek positifnya akan lebih mudah dalam mengatasi permasalahan hidup, serta berperan dalam meningkatkan kemampuan interpersonal dan pengendalian emosi.

(30)

Perkembangan resiliensi pada manusia merupakan suatu proses perkembangan manusia yang sehat – suatu proses dinamis dimana terdapat pengaruh dari interaksi antara kepribadian seorang individu dengan lingkungannya dalam hubungan yang timbal balik. Hasilnya ditentukan berdasarkan keseimbangan antara faktor resiko, kejadian dalam hidup yang menekan, dan faktor protektif (Warner & Smith, 1982 dalam Bernard, 1991). Selanjutnya, keseimbangan ini tidak hanya ditentukan oleh jumlah dari faktor resiko dan faktor protektif yang hadir dalam kehidupan seorang individu tetapi juga dari frekuensi, durasi, derajat keburukannya, sejalan dengan kemunculannya.

a. Faktor Risiko

Faktor risiko dapat berasal dari kondisi budaya, ekonomi, atau medis yang menempatkan individu dalam risiko kegagalan ketika menghadapi situasi yang sulit. Faktor risiko menggambarkan beberapa pengaruh yang dapat meningkatkan kemungkinan munculnya suatu penyimpangan hingga keadaan yang lebih serius lagi. Trait risiko merupakan predisposisi individu yang meningkatkan kelemahan individu pada hasil negatif. Efek lingkungan, dimana lingkungan atau keadaan dapat berhubungan atau mendatangkan risiko. Hubungan antar beberapa variabel resiko yang berbeda akan membentuk suatu rantai risiko (Smokowski, 1998). b. Faktor Protektif

Faktor protektif adalah karakteristik pada individu atau kondisi dari keluarga, sekolah, ataupun komunitas yang meningkatkan kemampuan individu dalam menghadapi tantangan dalam kehidupan dengan baik (dalam Alaska Division of Behavioral Health, 2008). Rutter (dalam Davis, 1999) menyatakan interaksi antara

(31)

proses sosial dan intrapsikis dapat memungkinkan seseorang untuk dapat menghadapi kesulitan dan segala kumpulan tantangan kehidupan secara positif. Dyer dan McGuinness (dalam Davis, 1999) menjelaskan resiliensi sebagai proses dinamik yang sangat dipengaruhi oleh faktor protektif, dimana seseorang dapat bangkit kembali dari kesulitan dan menjalani kehidupannya.

Ditambahkan juga bahwa faktor protektif merupakan setiap traits, kondisi situasi yang muncul untuk membalikkan kemungkinan dari masalah yang diprediksi akan muncul pada individu yang mengalami masalah (Segal 1968, Garmezy, 1991; Isacsoon, 2002). Rutter (dalam Davis, 1999) menyatakan faktor protektif merupakan prediktor terkuat dalam mencapai resiliensi dan hal yang memainkan peran kunci dalam proses yang melibatkan seseorang untuk berespon dalam situasi sulit.

(32)

C. PARADIGMA PENELITIAN

Diagnosa dan pengobatan yang dijalani penderita penyakit kanker payudara

Kondisi Fisik: Kondisi Psikologis - Efek Pengobatan - Ketidakstabilan Emosi

- Kemunduran Fisik - Perasaan Negatif

- Kerusakan Fungsional - Ketidakberdayaan

Kondisi Sosial - Life Situation - Work Status - Social Life Domain Resiliensi: - Emotion Regulation - Impulse Control

- Optimism Faktor Protektif

- Causal Analysis Faktor Risiko

- Empathy - Self-Efficacy - Reaching Out Keterangan:

: Menyebabkan

: Mempengaruhi satu sama lain : Mempengaruhi

Referensi

Dokumen terkait

New South Wales Department of Education and Training (2002) provides a simple definition: Blended learning is learning which combines online and face-to-face approaches. Sampai

· Lepaskan selalu daya listrik AC dengan mencabut kabel daya dari colokan daya sebelum menginstal atau melepaskan motherboard atau komponen perangkat keras lainnya.. ·

• CF dari gejala flu sebagai kesimpulan dari Rule 1 dihitung sebagai CF dari premis Rule 1 (bernilai 1.0) dikalikan dengan CF dari rule tersebut. Diperoleh: 1.0*0.5

Teori yang digunakan yaitu bahasa ragam jual beli, pragmatik dalam teori pregmatik terdiri dari pengertian pragmatik dan aspek-aspek situasi tutur, dalam

Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan kasih karunia-Nya maka Penulis dapat menyelesaikan laporan skripsi yang berjudul “Evaluasi Fisik

Pemerintah kota Tangerang Selatan pun akhirnya menetapkan tanda visual ban- gunan Blandongan sebagai bagian dari logo pemerintah kota Tangerang Selatan melalui

Pemberian Nomor Cara Seri Unit (Serial Unit Numbering System) Pemberian nomor cara seri unit atau dikenal dengan Serial Unit Numbering System (SUNS) adalah suatu

Dari beberapa penjelasan para ahli di atas, yang paling mendukung dalam penelitian ini adalah penjelasan dari Wang dan Chen (2020) yang mendefinisikan bahwa