Penyusunan data dasar dilakukan secara terintegrasi dengan penyusunan sistem persamaan. Data dasar berperan sebagai pensuplai semua data dan parameter yang dibutuhkan sistem persamaan. Sebelum data dan parameter yang diminta oleh sistem persamaan disediakan secara lengkap, model tidak akan dapat dioperasikan sesuai dengan tahapan-tahapannya. Berkaitan dengan hal tersebut pada bab ini dipaparkan semua data dan parameter yang diperlukan model terutama komponen-komponen utama yang dimuat dalam tiga sumber utama data dasar yaitu Tabel Input-Output (I-O), Tabel Interregional Input-Output (IRIO) dan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) serta nilai koefisien elastisitas dan beberapa parameter lainnya. Selanjutnya akan diuraikan langkah-langkah atau tahapan-tahapan yang dilalui dalam penyusunan data dasar sampai akhirnya model yang dibangun dapat digunakan untuk melakukan simulasi peningkatan infrastruktur.
5.1. Tabel Input-Output Indonesia
Table I-O Indonesia disusun dan dipublikasikan oleh BPS secara periodik setiap lima tahunan seperti Tabel I-O tahun 1990, 1995, dan 2000. Sebagai usaha mengakomodasi perkembangan data beberapa tahun sesudahnya, BPS melakukan updating Tabel I-O seperti Tabel I-O versi update tahun 2003. Tabel I-O menyediakan informasi mengenai aktivitas pasar seluruh perekonomian khususnya transaksi barang-barang dan jasa-jasa yang saling terkait antara satu sektor dengan sektor lainnya. Tabel tersebut memuat dua sub kelompok tabel, yaitu tabel dasar dan tabel analisis. Tabel dasar terdiri atas tabel transaksi total atas dasar harga konsumen, tabel transaksi total atas dasar harga produsen, tabel
transaksi domestik atas dasar harga konsumen, tabel transaksi domestik atas dasar harga produsen dan tabel transaksi impor atas dasar harga produsen. Tabel analisis diturunkan dari tabel dasar setelah dilakukan pengolahan terlebih dahulu. Tabel ini meliputi tabel koefisien input, matriks kebalikan total atas dasar harga produsen dan matriks kebalikan domestik atas dasar harga produsen. Berdasarkan keseluruhan tabel tersebut, penelitian ini menggunakan tabel transaksi total, tabel transaksi domestik dan tabel transaksi impor yang keseluruhannya atas dasar harga produsen.
5.1.1. Struktur Input-Output
Tabel Input-Output (I-O) merupakan matriks yang merekam saling keterkaitan atau transaksi antar sektor dalam suatu wilayah pada suatu waktu tertentu. Pada tabel I-O, baris menunjukkan distribusi output atau asal pembelian oleh setiap pelaku ekonomi, sedangkan kolom menunjukkan distribusi input pada setiap sektor. Output suatu sektor dijual kepada sektor lainnya sebagai input antara (intermediate good) dan sisanya digunakan oleh pengguna akhir (final demand) berupa konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, inventori dan ekspor. Pengeluaran suatu sektor, di sisi lain terdiri atas pembayaran atas penggunaan input antara dan nilai tambah. Nilai tambah terdiri atas upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan, pajak tidak lagsung, dan subsidi. Berdasarkan data yang dimuat pada baris dan kolom dapat diketahui bagaimana output suatu sektor didistribusikan ke sektor-sektor lainnya sebagai input, dan sebaliknya bagaimana suatu sektor memperoleh input dari sektor-sektor lainnya yang diperlukan dalam proses produksinya.
Pada Tabel I-O, output dan pengeluaran dinyatakan dalam nilai nominal, dimana nilai ouput keseluruhan sektor (total ouput) sama besarnya dengan pengeluaran seluruh sektor (total pengeluaran). Jadi, Tabel I-O selalu menunjukkan keseimbangan antara permintaan oleh pelaku-pelaku ekonomi dengan penawaran ouput oleh produsen pada setiap sektor.
Keberadaan keseimbangan dalam transaksi antar sektor pada sebuah Tabel I-O menjadi dasar pijakan bagi berdirinya sebuah model CGE, karena model ini berbasiskan Tabel I-O. Pada konstruksi data dasar model CGE, matriks-matriks yang terdapat pada Tabel I-O dikelompokkan atas matriks penyerapan input untuk setiap industri, matriks produk bersama (joint product) dan matriks pajak bersama. Kolom matriks penyerapan memuat 6 pelaku ekonomi yaitu produsen domestik, investor, rumah tangga, ekspor, pemerintah dan inventori.
Pada sebuah Tabel I-O, seperti ditunjukkan pada gambar 12, aliran bahan baku dasar pada kolom pertama dan kedua menunjukkan aliran komoditas impor dan domestik yang digunakan oleh industri sebagai input atau pembentukan kapital. Sebagai contoh, VIBAS (kolom pertama dan baris pertama) adalah nilai bahan baku dasar dari komoditas c, yang berasal dari sumber s oleh industri i dalam proses produksinya. Aliran bahan baku dasar pada kolom ketiga menunjukkan komoditas yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Aliran bahan baku keempat, kelima dan keenam masing-masing menunjukkan nilai komoditi untuk ekspor, konsumsi pemerintah dan penambahan/pengurangan inventori. Disini dapat dilihat bahwa hubungan antar komoditi pada Tabel I-O menunjukkan hubungan sektoral antar industri dan hubungan aggregat dari pelaku-pelaku ekonomi dalam ekonomi makro.
Matriks Penyerapan
1 2 3 4 5 6
Produsen Investor Rumah
Tangga Ekspor Pemerintah Inventory
Size ← I → ← I → ← 1 → ← 1 → ← 1 → ← 1 → Aliran Bahan Baku ↑ CxS ↓
V1BAS V2BAS V3BAS V4BAS V5BAS V6BAS
Margin ↑ CxSx
M ↓
V1MAR V2MAR V3MAR V4MAR V5MAR n/a
Pajak ↑ CxS
↓
V1TAX V2TAX V3TAX V4TAX V5TAX n/a
Tenaga Kerja
↑ O ↓
V1LAB C=Jumlah komoditas I =Jumlah industri Kapita l ↑ 1 ↓ V1CAP
S= Jumlah sumber komoditas O=Jumlah jenis pekerjaan M=Jumlah margin Tanah ↑ 1 ↓ V1LND Biaya lainnya ↑ 1 ↓ V1OCT Matriks Produk Bersama Pajak Impor Ukuran ← I → Ukuran ← I → ↑ C ↓ MAKE ↑ C ↓ V0TAR
Gambar 12. Data Input-Output pada Model Keseimbangan Umum Sumber: Horridge et.al. (1993)
Alur margin pada baris kedua adalah biaya margin komoditi yang digunakan oleh produsen, investor, rumah tangga, pemerintah dan biaya margin komoditi ekspor. Pajak dimatrikkan pada baris ketiga yang menunjukkan
pajak-pajak komoditi, seperti pajak-pajak atas komoditi yang dikonsumsi oleh produsen, investor, rumah tangga dan pemerintah, dan pajak ekspor. Baris-baris pengeluaran untuk tenaga kerja, kapital, tanah dan biaya lainnya mencatat pembayaran atas penggunaan faktor primer untuk masing-masing industri. Dua matriks terakhir adalah gabungan dari matriks produksi dan matriks pajak impor. Gabungan matriks produksi menunjukkan komposisi komoditi dari output tiap-tiap industri. Suatu industri, diasumsikan hanya dapat memproduksi satu komoditi (homogeneity). Matriks bea impor mencatat pembayaran bea impor atas tiap komoditi yang diimpor oleh masing-masing industri.
5.1.2. Agregasi dan Disagregasi Sektor
Pengelompokan sektor-sektor ekonomi, rumah tangga dan tenaga kerja dalam sebuah model CGE masing-masing menggambarkan derajat disagregasi tingkat aktivitas ekonomi masyarakat, keragaman distribusi pendapatan, dan jenis pekerjaan atau tingkat keahlian tenaga kerja. Pada penelitian ini, derajat disagregasi ketiga komponen tersebut disesuaikan dengan tujuan penelitian dan ketersediaan data, terutama disagregasi sektor-sektor ekonomi yang terdapat di dalam tabel I-O dan IRIO sebagai sumber data utama dalam konstruksi model CGE .
Jumlah sektor yang dianalisis dalam penelitian ini mencakup 44 sektor. Agregasi dan disagregasi sektor dilakukan berdasarkan pertimbangan keterkaitan input ouput antar sektor baik antara sektor pertanian dan sektor industri maupun antara sektor jasa infrastruktur ekonomi dan sektor lainnya yang terkait. Penentuan sektor juga didasarkan atas pertimbangan tingkat disagregasi sektor-sektor yang terdapat pada PDB. Penyelarasan antara sektor-sektor yang terdapat pada Tabel I-O dan IRIO serta PDB, dimaksudkan untuk mempermudah melakukan
disagregasi pada sektor-sektor yang diperlukan pada penelitian. Selain itu, cara ini diharapkan akan dapat mempermudah melakukan estimasi elastisitas stok kapital infrastruktur yang akan digunakan sebagai koefisien pengguncang (shock) produktivitas sektoral. Hasil pengelompokan sektor-sektor produksi tersebut sekaligus diharapkan dapat mempresentasikan dan mengakomodasi tujuan penelitian untuk melihat dampak ketersediaan infrastruktur terhadap kinerja ekonomi sektoral terutama aktivitas ekonomi sektor-sektor pertanian dan kaitannya dengan sektor industri pengolahan hasil-hasilnya serta sektor jasa-jasa. Hal ini juga akan dapat membantu dalam melihat dampaknya terhadap tingkat kesejahteraan rumah tangga menurut jenis lapangan usaha atau pekerjaan antara daerah perdesaan dan perkotaan.
Keseluruhan sektor penelitian dapat dikategorikan ke dalam empat kelompok besar yaitu sektor pertanian, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, dan jasa-jasa. Sektor pertanian diagregasi menjadi 14 sektor dari 23 sektor yang terdapat pada Tabel I-O tahun 2003. Sektor tersebut adalah: padi, tanaman bahan makanan lainnya (hasil agregasi sektor tanaman kacang-kacangan, jagung, tanaman umbi-umbian, sayur-sayuran dan buah-buahan, dan tanaman makanan lainnya), karet, tebu, kelapa, kelapa sawit, tembakau, kopi, teh, perkebunan dan tanaman lainnya (agregasi sektor hasil tanaman serat, tanaman perkebunan lainnya dan tanaman lainnya), peternakan dan hasil-hasilnya (agregasi sektor peternakan, pemotongan hewan, dan unggas dan hasil-hasilnya), kayu dan hasil hutan lainnya (agregasi sektor kayu dan sektor hasil hutan lainnya), dan sektor perikanan. Tanaman padi merupakan pengguna utama output pengairan atau irigasi dalam proses produksinya, karena itu sektor ini dibuat terpisah dari sektor tanaman bahan makanan lainnya agar dampak peningkatan penyediaan infrastruktur irigasi terhadap sektor tersebut dapat terlihat secara lebih nyata.
Pada Tabel IRIO tahun 2005, sektor pertanian hanya dikelompokkan menjadi 6 sektor yaitu: padi, tanaman bahan makanan lainnya, tanaman perkebunan, peternakan dan hasil-hasilnya, kehutanan, dan perikanan. Sektor perkebunan didisagregasi menjadi 9 sektor sesuai dengan Tabel I-O tahun 2003 dan sektor penelitian. Disagregasi ini dilakukan dengan menggunakan nilai sektor perkebunan yang terdapat pada statistik provinsi dalam angka untuk masing-masing provinsi. Seteleh sektor perkebunan didisagregasi, jumlahnya pada Tabel IRIO berubah menjadi 44 sektor.
Sektor pertambangan dan penggalian pada Tabel I-O tahun 2003 didisagregasi menjadi dua sektor yaitu sektor pertambangan minyak, gas dan panas bumi dan sektor batu bara, biji logam dan penggalian lain. Sektor yang disebut belakangan merupakan hasil agregasi sektor penambangan batu bara dan bijih logam dengan sektor penambangan dan penggalian lainnya.
Pada kelompok sektor industri pengolahan pengkategoriannya lebih ditekankan pada dikotomi diantara industri pengolahan hasil pertanian dan industri pengolahan non-pertanian. Dikotomi ini dimaksudkan untuk melihat dampak infrastruktur terhadap kedua kelompok industri tersebut. Selain itu, industri yang berkaitan langsung dengan stok kapital infrastruktur seperti industri mesin, alat-alat dan peralatan listrik dan industri alat pengangkutan dan peralatannya tetap dibuat terpisah dari industri lainnya.
Pengelompokan sektor industri pada Tabel I-O tahun 2003 juga berbeda dengan Tabel IRIO tahun 2005. Pada Tabel I-O tahun 2003 sektor industri dikelompokkan ke dalam 24 jenis industri, sementara di Tabel IRIO 2005 hanya 15 jenis industri. Industri pengolahan hasil laut dan industri alas kaki yang terdapat pada Tabel IRIO 2005 tidak ditemukan pada Tabel I-O 2003. Sektor industri pengolahan hasil laut termasuk ke dalam sektor 27 pada Tabel I-O tahun
2003 yaitu sektor industri pengolahan dan pengawetan makanan. Sektor ini merupakan hasil agregasi sektor 50 sampai dengan sektor 54 pada Tabel I-O tahun 2000. Berdasarkan pangsanya pada Tabel I-O tahun 2000, sektor industri pengolahan dan pengawetan makanan pada Tabel I-O 2003 didisagregasi untuk mendapatkan nilai sektor industri pengolahan hasil laut dan sektor industri pengolahan dan pengawetan makanan lainnya. Disagregasi tersebut menghasilkan tambahan satu sektor pada Tabel I-O tahun 2003 sehingga jumlah sektornya menjadi 67 sektor.
Sektor industri alas kaki tercakup dalam sektor 36 pada Tabel I-O tahun 2003 yaitu sektor industri tekstil, pakaian dan kulit. Sektor ini merupakan hasil agregasi dari sektor 76-83 pada Tabel I-O tahun 2000. Disagregasi sektor industri tekstil, pakaian dan kulit menjadi 2 sektor menghasilkan satu tambahan sektor lagi sehingga sektor-sektor yang terdapat pada Tabel I-O tahun 2003 berubah menjadi 68 sektor.
Melalui proses disagregasi tersebut dan agregasi beberapa sektor lainnya, industri pengolahan dikelompokkan menjadi 16 sektor dalam penelitian ini yaitu: industri pengolahan hasil laut; industri minyak dan lemak; industri makanan, minuman dan tembakau (hasil agregasi industri pengolahan dan pengawetan makanan, kecuali industri pengolahan hasil laut; industri tepung dan segala jenisnya; industri gula; industri makanan lainnya; industri minuman; dan industri rokok); industri tekstil dan produk tekstil (hasil agregasi industri pemintalan dan industri tekstil dan kulit, kecuali industri alas kaki); industri alas kaki; industri barang kayu, rotan dan bambu; industri pulp dan kertas; industri karet dan barang dari karet; industri petro kimia; industri pengilangan minyak bumi; industri semen; industri dasar besi dan baja dan logam dasar bukan besi (hasil agregasi industri dasar besi dan baja dan industri logam dasar bukan besi); industri barang
dari logam; industri mesin, alat-alat dan perlengkapan listrik; industri alat pengangkutan dan perbaikannya; dan industri barang lainnya (hasil agregasi industri kimia; industri barang-barang dari mineral bukan logam dan industri lainya).
Pada kelompok sektor jasa-jasa dilakukan disagregasi pada sektor yang terkait langsung dengan infrastruktur yaitu sektor listrik, gas dan air bersih atau sektor 51 pada Tabel I-O tahun 2003. Sektor ini didisagregasi menjadi tiga sektor yaitu sektor listrik, sektor gas dan sektor air bersih. Disagregasi ini dilakukan mengingat sektor listrik merupakan output yang dihasilkan oleh stok kapital infrastruktur pembangkit energi listrik. Melalui disagregasi ini keterkitan diantara sektor tersebut dengan sektor lainnya akan terekam ketika dilakukan guncangan (shock) pada peningkatan produktivitas sektor listrik. Disagregasi sektor listrik, gas dan air bersih menjadi tiga sektor yaitu sektor listrik, sektor gas dan sektor air bersih dilakukan dengan menggunakan pangsanya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2003, bukan pangsanya pada Tabel I-O tahun 2000. Hal ini mengingat, pada Tabel I-O tahun 2000 sektor ini didisagregasi menjadi dua sub sektor yaitu sektor listrik dan gas dan sektor air bersih, sementara pada data PDB sektor ini dirinci menjadi tiga sub sektor yaitu listrik, gas, dan air bersih. Disagregasi sektor listrik, gas dan air bersih menjadi tiga sektor, akhirnya menghasilkan 70 sektor pada Tabel I-O 2003.
Berdasarkan proses disagregasi dan agregasi, sektor jasa-jasa dikelompokkan kembali menjadi 12 sektor yaitu listrik; gas; air bersih; bangunan; perdagangan; hotel dan restoran; angkutan darat; angkutan air; angkutan udara; komunikasi; lembaga keuangan; jasa pemerintahan dan pertahanan; dan jasa-jasa lainnya. Jadi, secara keseluruhan proses disagregasi dan agregasi menghasilkan 44 sektor penelitian yang meliputi 14 kelompok sektor pertanian, 2 sektor
pertambangan dan penggalian, 16 kelompok sektor industri pengolahan, dan 12 sektor jasa-jasa. Disagregasi dan agregasi sektor-sektor tersebut, secara singkat dirangkum pada Tabel 1.
Tabel 1. Disagregasi Sektor pada Tabel I-O Tahun 2003 dan Agregasi Menjadi 44 Sektor Penelitian.
No. Hasil disagregasi sektor pada Tabel I-O Tahun 2003 No.
Agregasi ke-44 sektor dalam penelitian
1 Padi 1 Padi
2 Tanaman Kacang-kacangan 2 Tanamanan pangan lainnya
3 Jagung 2 Tanamanan pangan lainnya
4 Tanaman Umbi-umbian 2 Tanamanan pangan lainnya
5 Sayur-sayuran dan buah-buahan 2 Tanamanan pangan lainnya 6 Tanaman makanan lainnya 2 Tanamanan pangan lainnya
7 Karet 3 Karet
8 Tebu 4 Tebu
9 Kelapa 5 Kelapa
10 Kelapa Sawit 6 Kelapa Sawit
11 Tembakau 7 Tembakau
12 Kopi 8 Kopi
13 Teh 9 Teh
14 Cengkeh 10 Cengkeh
15 Hasil tanaman serat 11 Perkebunan dan tanaman lainnya
16 Tanaman perkebunan lainnya 11 Perkebunan dan tanaman lainnya
17 Tanaman lainnya 11 Perkebunan dan tanaman
lainnya
18 Peternakan 12 Peternakan dan hasilnya
19 Pemotongan hewan 12 Peternakan dan hasilnya
20 Unggas dan hasil-hasilnya 12 Peternakan dan hasilnya
21 Kayu 13 Kehutanan
22 Hasil hutan lainnya 13 Kehutanan
23 Perikanan 14 Perikanan
24 Penambangan batu bara dan bijih
logam 16
Pertambangan batu bara, biji logam dan penggalian lainnya
25 Penambangan minyak, gas dan
panas bumi 15
Pertambangan minyak, gas dan panas bumi
Tabel 1. Lanjutan
No. Hasil disagregasi sektor pada Tabel I-O Tahun 2003 No.
Agregasi ke-44 sektor dalam penelitian
26 Penambangan dan penggalian
lainnya 16
Pertambangan batu bara, biji logam dan penggalian lainnya
27 Industri pengolahan makanan
hasil laut 18 Industri pengolahan hasil laut
28 Industri pengolahan dan
pengawetan makanan lainnya 19 Industri makanan minuman 29 Industri minyak dan lemak 17 Industri minyak dan lemak 30 Industri penggilingan padi 19 Industri makanan minuman 31 Industri tepung, segala jenisnya 19 Industri makanan minuman
32 Industri gula 19 Industri makanan minuman
33 Industri makanan lainnya 19 Industri makanan minuman
34 Industri minuman 19 Industri makanan minuman
35 Industri rokok 19 Industri makanan minuman
36 Industri pemintalan 20 Industri tekstil dan produk tekstil
37 Industri alas kaki 21 Industri alas kaki
38 Industri tekstil, pakaian dan kulit 20 Industri tekstil dan produk tekstil
39 Industri kayu, bambu dan rotan 22 Industri barang kayu, rotan dan bambu
40 Industri kertas, barang dari
kertas dan karton 23 Industri pulp dan kertas 41 Industri pupuk dan pestisida 25 Industri petrokimia
42 Industri kimia 32 Industri lainnya
43 Industri Pengilangan minyak
bumi 26
Industri pengilangan minyak bumi
44 Industri barang karet dan plastik 24 Industri karet dan barang dari karet
45 Industri barang-barang dari
mineral bukan logam 32 Industri lainnya
46 Indutri semen 27 Industri semen
47 Industri dasar besi dan baja 28 Industri dasar besi dan baja dan logam dasar bukan besi 48 Industri logam dasar bukan besi 29 Industri barang dari logam 49 Industri barang dari logam 29 Industri barang dari logam 50 Industri mesin, alat-alat dan
perlengkapan listrik 30
Industri mesin listrik dan peralatan listrik
51 Industri alat pengangkutan dan
perbaikannya 31
Industri alat angkutan dan perbaikannya
Tabel 1. Lanjutan
No. Hasil disagregasi sektor pada Tabel I-O Tahun 2003 No.
Agregasi ke-44 sektor dalam penelitian
52 Industri barang lain yang belum
digolongkan dimanapun 32 Industri lainnya
53 Listrik 33 Listrik
54 Gas 34 Gas dan air bersih
55 Air Bersih 34 Gas dan air bersih
56 Bangunan 35 Bangunan
57 Perdagangan 36 Perdagangan
58 Restoran dan hotel 37 Hotel dan Restoran
59 Angkutan kereta api 38 Angkutan darat
60 Angkutan darat 38 Angkutan darat
61 Angkutan air 39 Angkutan air
62 Angkutan udara 40 Angkutan udara
63 Jasa penunjang angkutan 38 Angkutan darat
64 Komunikasi 41 Komunikasi
65 Lembaga keuangan 42 Lembaga keuangan
66 Usaha bangunan dan jasa
perusahaan 43
Pemerintah umum dan pertahanan
67 Pemerintahan umum dan
pertahanan 43
Pemerintah umum dan pertahanan
68 Jasa sosial kemasyarakatan 43 Pemerintah umum dan pertahanan
69 Jasa lainnya 44 Jasa-jasa lainnya
70 Kegiatan yang tak jelas
batasannya 44 Jasa-jasa lainnya
Sumber: Diolah dari Tabel Input Ouput Indonesia Tahun 2003 (BPS 2005b)
5.2. Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia 5.2.1. Anatomi Tabel SNSE
Sistem neraca sosial ekonomi (SNSE) atau Social Acxcounting Matrix (SAM) merupakan suatu sistem kerangka data yang disajikan dalam bentuk matriks untuk memberikan gambaran mengenai kondisi ekonomi dan sosial masyarakat dan keterkaitan diantara keduanya secara komprehensif, konsisten dan terintegrasi. Kondisi ekonomi dan sosial tersebut disajikan dalam bentuk neraca
yang menjamin keseimbangan transaksi diantara keduanya. Neraca yang dimuat pada tabel tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian yaitu kelompok neraca-neraca endogen dan kelompok neraca-neraca eksogen. Kelompok neraca endogen terdiri atas neraca faktor produksi, neraca institusi, dan neraca aktivitas produksi. Neraca eksogen meliputi neraca kapital dan neraca luar negeri. Anatomi sebuah Tabel SNSE sederhana disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Anatomi Tabel SNSE Sederhana
P E N G E L U A R A N 1 2 3 4 5 Faktor Produksi Institusi termasuk Rumah Tangga Aktivitas Produksi Neraca Lainnya Total Neraca Kapital Luar Negeri P E N E R I M A A N 1 F aktor P roduk si Distribusi Pendapatan atas Faktor Penerimaa n Faktor Produksi 2 Inst it usi ter m as uk Ru m ah Tan gg a Pendapatan Distribusi RT dan Institusi Lainnya Transfer, Pajak dan Subsidi Penerimaan Institusi dari Luar Negeri Pendapatan Institusi 3 Ak ti v it as P roduk si Permintaan Barang dan Jasa Institusi Permintaan antar Industri Formasi Kapital Ekspor Pendapatan Kotor 4 Ner aca Ka p it al Tabungan Institusi Tabungan Agregat Luar Neg eri Impor Barang dan Jasa Institusi Aktivitas Produksi Impor Barang Impor pada Barang Investasi Total Pengeluaran ke Luar Negeri 5 Tota l Pengeluaran Faktor Produksi Pengeluaran Institusi Output Kotor Aggregate Investasi Total Penerimaan dari Luar Negeri Sumber: Thorbecke (1985)
Pada matriks Tabel SNSE, baris menunjukkan penerimaan, sedangkan kolom menunjukkan alokasi pengeluaran. Pada Tabel 2, baris pertama kolom ketiga misalnya, menunjukkan alokasi nlai tambah yang dihasilkan oleh berbagai sektor produksi ke faktor-faktor produksi sebagai balas jasa atas penggunaannya dalam proses produksi. Baris kedua kolom pertama menunjukkan alokasi pendapatan yang diperoleh faktor-faktor produksi ke institusi rumah tangga, pemerintah dan perusahaan, sementara baris kedua kolom kedua menunjukkan transfer pembayaran antar institusi seperti pemberian subsidi oleh pemerintah atau perusahaan ke rumah tangga, pambayaran pajak dari rumah tangga ke pemerintah atau transfer antar rumah tangga.
Pada Tabel SNSE yang sesunguhnya, neraca faktor produksi dikelompokkan lagi menjadi tenaga kerja dan bukan tenaga kerja, sementara institusi dibedakan atas rumah tangga, perusahaan dan pemerintah. Keberadaan insitusi secara lengkap dapat memberikan berbagai informasi ekonomi dan sosial seperti struktur produksi, akumulasi kapital, struktur pengeluaran berbagai institusi dan distribusi pendapatan antar kelompok rumah tangga.
Tabel SNSE 2003 dipublikasikan dalam dua tingkatan agregasi sektoral yaitu versi 23 sektor dan 110 sektor. Pengelompokan sektor produksi pada Tabel SNSE tidak seluruhnya sama dengan Tabel I-O. Dalam konstruksi data dasar, Tabel SNSE berfungsi sebagai pelengkap data yang ada pada Tabel I-O. Untuk memadukan sektor penelitian berdasarkan Tabel I-O dengan sektor yang terdapat pada Tabel SNSE dilakukan pemetaan (mapping). Hasil pemetaan sektor-sektor Tabel I-O dan SNSE dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Pemetaan Sektor Penelitian ke Tabel Input-Output Tahun 2003 dan Tabel Sistem Neraca Sosial Ekonomi, Tahun 2003
No. Sektor Penelitian I-O 2003 SNSE 2003
1. Padi 1 1
2. Tanamanan pangan lainnya 2-6 1
3. Karet 7 2 4. Tebu 8 2 5. Kelapa 9 2 6. Kelapa Sawit 10 2 7. Tembakau 11 2 8. Kopi 12 2 9. The 13 2 10. Cengkeh 14 2
11. Perkebunan dan tanaman lainnya 15-17 2
12. Peternakan dan hasilnya 18-20 3
13. Kehutanan 21-22 4
14. Perikanan 23 5
15. Pertambangan minyak, gas dan panas bumi 25 6 16. Pertb. batu bara, biji logam & penggalian lainnya 24,26 6-7
17. Industri minyak lemak 29 8
18. Industri pengolahan hasil laut 27 8
19. Industri makanan dan minuman 28,30-35 8
20. Industri tekstil dan produk tekstil 36,38 9
21. Industri alas kaki 37 9
22. Industri barang kayu, rotan dan bambu 39 10
23. Industri pulp dan kertas 40 11
24. Industri karet dan barang dari karet 44 11
25. Industri petrokimia 41 12
26. Industri pengilangan minyak bumi 43 11
27. Industri semen 46 12
28. Industri dasar besi & baja & lgm dasar bukan besi 47 11
29. Industri barang dari logam 48-49 11
30. Industri mesin listrik dan peralatan listrik 50 11 31. Industri alat angkutan dan perbaikannya 51 11
32. Industri lainnya 42,45,52 11
33. Listrik 53 13
34. Gas dan air bersih 54-55 13
35. Bangunan 56 14
36. Perdagangan 57 15
37. Hotel dan Restoran 58 16-17
38. Angkutan darat 59-60,63 18
39. Angkutan air 61 19
40. Angkutan udara 62 19
41. Komunikasi 64 19
42. Lembaga keuangan 65 20
43. Pemerintah umum dan pertahanan 66-68 22
44. Jasa-jasa lainnya 69-70 23
5.2.2. Klasifikasi Rumah Tangga
Salah satu data yang diperlukan untuk membangun data dasar adalah pengelompokan rumah tangga ke dalam beberapa kategori sesuai dengan kebutuhan analisis. Pengklasifikasian rumah tangga terutama diperlukan untuk mengetahui aspek distributif berdasarkan kelompok rumah tangga seperti pendapatan rumah tangga, pengeluaran konsumsi rumah tangga, suplai tenaga kerja oleh rumah tangga, transfer pemerintah ke dan dari rumah tangga, pangsa kapital yang digunakan rumah tangga, pangsa lahan yang digunakan rumah tangga, transfer asing ke rumah tangga, trasfer antar rumah tangga, pajak pendapatan personal rumah tangga, dan pembayaran sewa oleh industri ke rumah tangga. Klasifikasi rumah tangga tidak ditemukan di dalam Tabel I-O, tetapi tersedia di dalam Tabel SNSE. Pada penelitian ini, pengelompokkan rumah tangga disesuaikan dengan kategori yang dilakukan BPS di dalam tabel SNSE Tahun 2003 yaitu lima kelompok rumah tangga untuk daerah perdesaan dan tiga kelompok untuk daerah perkotaan. Lima kelompok rumah tangga di wilayah perdesaan terdiri atas:
1. Rumah tangga buruh di sektor pertanian 2. Rumah tangga pengusaha tani
3. Pengusaha bebas golongan rendah, tenaga TU, pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan, buruh kasar di perdesaan
4. Rumah tangga bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas perdesaan 5. Pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer, militer,
profesional, teknisi, guru, pekerja TU dan penjualan golongan atas
Tiga kelompok rumah tangga yang bertempat tinggal di daerah perkotaan terdiri atas:
1. Rumah tangga pengusaha bebas golongan rendah, tenaga TU, pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan, dan buruh kasar di perkotaan
2. Rumah tangga bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas perkotaan 3. Pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer, militer,
profesional, teknisi, guru, pekerja TU dan penjualan golongan atas di perkotaan.
Melalui pengkategorian rumah tangga wilayah perdesaan dan perkotaan ke dalam 10 kelompok tersebut diharapkan dapat mengungkapkan dampak ketersediaan infrastruktur terhadap pola pergeseran distribusi pendapatan antar kelompok rumah tangga di masing-masing wilayah perdesaan dan perkotaan dan ketimpangan antar daerah perdesaan dan perkotaan.
5.2.3. Klasifikasi Tenaga Kerja
Input primer dalam model yang digunakan terdiri atas lahan, tenaga kerja dan kapital. Input tenaga kerja diklasifikasikan berdasarkan tabel SNSE 2003 yang mengkategorikannya menjadi 16 kelompok. Berdasarkan pengelompokan tersebut, pada penelitian ini dilakukan agregasi menjadi 2 kategori yaitu tenaga kerja tidak terdidik (unskill labor) hasil penggabungan kategori (1) sampai dengan (8) dan tenaga kerja terdidik (skill labor) hasil penggabungan kategori (9) sampai dengan (16). Agregasi ini berbeda dengan studi Oktaviani (2000) yang mengklasifikasikan tenaga kerja menjadi empat kategori, yaitu: tenaga kerja pertanian, operator, tata usaha dan profesional. Pengklasifikasian tenaga
kerja menjadi dua katergori pada studi ini dilakukan mengingat terbatasnya data koefisien elastisitas substitusi tenaga kerja.
Selain klasifikasi tenaga kerja, tabel SNSE juga menyediakan informasi mengenai tingkat upah dan pangsanya untuk masing-masing jenis tenaga kerja pada setiap sektor. Pembagian proporsi upah tersebut diperlukan untuk mengalokasikan pembayaran upah pada setiap sektor ekonomi. Pola penyerapan tenaga kerja pada setiap sektor ekonomi atau lapangan usaha menyebabkan terjadinya perbedaan penerimaan upah antar sektor. Nilai nominal pembayaran upah tenaga kerja tidak terdidik jauh lebih besar dibanding tenaga kerja terdidik pada kelompok sektor pertanian, industri pengolahan dan beberapa sektor lainnya (lampiran 1). Sebaliknya pengeluaran upah untuk tenaga kerja terdidik relatif lebih besar pada hampir seluruh sektor jasa-jasa.
5.3. Tingkat Pengembalian Lahan dan Kapital
Dua jenis input lainnya, selain tenaga kerja yang pengelompokkannya telah dijabarkan di atas adalah lahan dan kapital. Data yang dibutuhkan dari kedua jenis input ini adalah tingkat pengembaliannya, yaitu pengembalian lahan (return of land) dan pengembalian kapital (return of capital) yang terperinci per sektor ekonomi, namun data tersebut belum disediakan oleh Badan Pusat Statistik. Pada Tabel I-O hanya ditemukan kombinasi pengembalian kedua faktor produksi tersebut per sektor dalam bentuk surplus usaha (baris 202 pada Tabel I-O) dan penyusutan (baris 203 pada Tabel I-O). Trewin et al (1993), Buetre (1996) dan data dasar model INDORANI telah menghitung tingkat pengembalian lahan dan kapital berdasarkan penjumlahan kedua komponen ini dengan beberapa bentuk variasi dalam proporsi masing-masing pengembalian lahan dan kapital tersebut. Warr (1998) dalam mengkonstruksi data dasar model WAYANG untuk perekonomian Indonesia menggunakan metode proporsi untuk memisahkan nilai pengembalian lahan dan kapital berdasarkan data pada Tabel SNSE. Metode yang
sama juga telah digunakan Oktaviani (2000) dalam mengkonstruksi data dasar untuk model INDOF. Secara umum perhitungan yang dilakukan pada studi-studi tersebut menggunakan angka proporsi yang lebih besar untuk nilai pengembalian lahan dibanding kapital pada sektor pertanian berbasis komoditas, sebaliknya proporsi nilai pengembalian yang lebih besar untuk kapital di luar sektor pertanian.
Sejalan dengan Warr (1998) dan Oktaviani (2000), perhitungan nilai pengembalian lahan dan kapital pada penyusunan data dasar model infrastruktur Indonesia dalam studi ini juga dilakukan dengan menggunakan pangsanya berdasarkan data Tabel SNSE. Pada Tabel SNSE 2003 tersedia matrik nilai input di luar tenaga kerja yang meliputi lahan, kapital, rumah, kapital lainnya, kapital swasta dalam negeri, kapital pemerintah, dan kapital asing untuk 23 sektor berdasarkan klasifikasi SNSE. Nilai input tersebut dapat diagregasi menjadi dua jenis input yaitu lahan dan kapital. Pangsa lahan dapat dihitung sebagai rasio biaya lahan terhadap total biaya faktor produksi selain biaya tenaga kerja. Ini berarti pangsa kapital sama dengan satu dikurangi pangsa lahan. Hasil perhitungan pangsa masing-masing lahan dan kapital untuk 23 sektor berdasarkan Tabel SNSE dipetakan (mapping) ke 70 sektor pada Tabel I-O yang telah didisagregasi dan selanjutnya diagregasi kembali untuk memperoleh pangsanya pada 44 sektor penelitian.
Apabila suatu sektor berdasarkan klasifikasi Tabel SNSE memuat beberapa sektor menurut klasifikasi Tabel I-O dalam perhitungan pangsa lahan dan kapital, maka pangsa kedua faktor produksi tersebut untuk masing-masing sektor diasumsikan sama nilainya dengan klasifikasi yang terdapat pada Tabel SNSE. Hasil perhitungan pangsa lahan dan kapital kemudian dikalikan dengan nilai penjumlahan keuntungan usaha (baris 202 Tabel I-O) dan penyusutan (baris
203 Tabel I-O) untuk mendapatkan nilai pengembalian lahan dan kapital pada masing-masing sektor.
Hasil perhitungan seperti pada lampiran 2, memperlihatkan bahwa nilai pengembalian input lahan ternyata masih lebih rendah dibanding nilai pengembalian input kapital pada sektor pertanian tanaman bahan makanan. Sebaliknya, pada sektor tanaman perkebunan nilai pengembalian input lahan justeru lebih besar dibanding nilai pengembalian input kapital. Hasil perhitungan ini mengindikasikan bahwa input lahan memiliki tingkat produktivitas yang lebih rendah apabila digunakan untuk komoditas budidaya pertanian tanaman bahan makanan sehingga nilai pengembaliannya juga menjadi lebih rendah dibanding sektor pertanian tanaman perkebunan. Jadi nilai ekonomi lahan akan menjadi lebih rendah jika ditanami dengan tanaman bahan makanan dibanding tanaman perkebunan. Pada seluruh sektor di luar pertanian pengembalian lahan bernilai nol, karena faktor produksi ini nilainya nol pada Tabel SNSE. Hal ini merupakan konsekuensi dari relatif kecilnya peran lahan dalam proses produksi sektor-sektor non pertanian baik aktivitas industri manufaktur maupun jasa-jasa.
5.4. Investasi per Sektor
Investasi merupakan proses akumulasi kapital atau penambahan stok kapital yang telah ada sebagai hasil dari akumulasi investasi pada periode sebelumnya. Stok kapital itu sendiri merupakan input yang berperan sebagai faktor penentu peningkatan produktivitas dan proses pertumbuhan output pada setiap sektor sebagaimana yang dijelaskan dalam teori pertumbuhan Neo-klasik versi Solow atau model pertumbuhan Solow. Data alokasi investasi per sektor sangat dibutuhkan dalam mengkonstruksi data dasar sesuai dengan yang dikehendaki model. Keperluan data investasi dan stok kapital terutama berkenaan dengan pendefenisian keberadaan keseimbangan jangka panjang yang merupakan
hasil proses penyesuaian terhadap ketidakseimbangan-ketidakseimbangan dalam jangka pendek.
Selain data pengembalian lahan dan kapital, Tabel I-O juga tidak memuat informasi mengenai investasi per sektor ekonomi secara lengkap. Penyusunan Tabel I-O di Indonesia dilakukan dengan pendekatan produksi. Nilai pengeluaran barang investasi sektor ke-i pada kolom 303 Tabel I-O merupakan bagian dari output sektor tersebut yang tidak digunakan sebagai input antara dan/atau konsumsi (rumah tangga dan pemerintah). Investasi yang dilakukan pada setiap industri baik investasi yang berasal dari investor domestik maupun asing tidak terekam. Konsekuensinya, banyak sektor yang pengeluaran investasinya tidak terisi atau bernilai nol. Pada kondisi demikian, apabila dilakukan shock (guncangan) pada variabel eksogen investasi, dampaknya menjadi relatif kecil karena keterkaitannya dengan sektor-sektor yang investasinya bernilai nol terputus.
Ada dua alternatif yang dapat digunakan untuk menghitung investasi sektoral dari investasi total. Alternatif pertama adalah metode yang digunakan dalam penyusunan data dasar model INDORANI (Impact Project, 1998) yang mengasumsikan bahwa pangsa investasi untuk masing-masing sektor sama dengan pangsa pengembalian kapital yang diperoleh sektor tersebut. Melalui penerapan metode ini, pangsa investasi pada masing-masing sektor dapat diformulasikan sebagai:
INVSHRi = V1CAPi/V1CAP_i ...(5.1) dimana:
INVSHRi = Pangsa investasi masing-masing industri.
V1CAPi = Nilai pengembalian kapital masing-masing industri. V1CAP_i = Nilai total pengembalian kapital.
Alternatif kedua adalah penghitungan investasi masing-masing sektor dengan menggunakan pangsanya terhadap total nilai investasi. Metode ini telah diterapkan Oktaviani (2000) dalam konstruksi data dasar model INDOV. Berdasarkan metode ini, nilai pangsa investasi pada masing-masing sektor ekonomi dapat dihitung dari data investasi PMA dan PMDN yang dipublikasikan Badan Koordinasi Penanaman Kapital (BKPM). Perhitungan yang telah dilakukan dengan menggunakan data tersebut, telah menghasilkan nilai pangsa setiap sektor ekonomi terhadap total nilai investasi PMA dan PMDN seperti pada Tabel 4.
Tabel 4. Realisasi Proyek PMDN dan PMA di Indonesia Dirinci Menurut Sektor Ekonomi, Tahun 2003 No. Sektor PMDN (M Rp) PMA (M Rp) Jumlah (M Rp) Pangsa (%) 1 Tan.Pangan dan Perkebunan 77.5 1873.6 1951.1 3.34
2 Peternakan 29.9 9.4 39.3 0.07 3 Kehutanan 452.8 0.0 452.8 0.77 4 Perikanan 33.6 8.5 42.1 0.07 5 Pertambangan 16.2 274.4 290.6 0.50 6 Ind. Makanan 3323 2728.3 6051.3 10.35 7 Ind. Tekstil 249.1 1302.6 1551.7 2.65
8 Ind. Brng dr Kulit & Alas Kaki 1.0 49.57 50.57 0.09
9 Ind. Kayu 356.2 1348.8 1705 2.92
10 Ind. Kertas dan Percetakan 99.4 71.8 171.2 0.29
11 Ind. Kimia dan Farmasi 1362.6 2412 3774.6 6.45
12 Ind. Karet dan Plastik 53.4 853.9 907.3 1.55
13 Ind. Mineral Non Logam 0.0 366.7 366.7 0.63
14 Ind. Lgm, Mesin dan Elektronik 548.7 3713.8 4262.5 7.29 15 Ind. Kendaraan Bermotor dan
Alat Transportasi Lain 57.7 2679.6 2737.3 4.68
16 Ind. Lainnya 178.3 545.3 723.6 1.24
17 Listrik, Gas dan Air 0.0 655.6 655.6 1.12
18 Konstruksi 505.6 912 1417.6 2.42
19 Perdagangan dan Reparasi 486.6 2627.4 3114 5.33
20 Hotel & Restoran 68.1 686.3 754.4 1.29
21 Transp, Gudang & Komunikasi 3511.2 22799.8 26311 44.99
22 Jasa Lainnya 479.1 666.7 10145.8 1.96
Jumlah 11890.0 46586.1 58476.1 100.00
Pada publikasi data investasi BKPM, investasi domestik merupakan investasi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan Indonesia, sementara investasi asing adalah penanaman kapital langsung (foreign direct investment) oleh investor asing yang mendirikan perusahaan di Indonesia. Penanaman modal domestik dapat dilakukan oleh pihak swasta sepenuhnya, kerjasama dengan perusahaan negara, atau perusahaan negara sepenuhnya. Investasi asing dapat berupa kerja sama perusahaan asing dengan perusahaan Indonesia (joint venture) atau perusahaan asing sepenuhnya. Kedua jenis investasi ini dikelompokkan per sektor menurut versi data investasi BKPM. Pengelompokkan ini berbeda dengan klasifikasi sektor yang digunakan dalam penelitian. Oleh sebab itu, sebelum menghitung pangsa investasi per sektor, terlebih dahulu dilakukan pemetaan sektoral antara sektor penelitian dengan sektor yang ada pada data investasi publikasi BKPM. Apabila suatu sektor pada data BKPM memuat lebih dari satu sektor menurut klasifikasi sektor penelitian, maka pangsa investasi untuk sektor penelitian dihitung sebagai pangsa dari pengembalian kapital setiap sektor dalam kelompok dikali pangsa kelompok tersebut (sektor dalam data investasi BKPM) terhadap total investasi. Sebagai contoh, pangsa investasi untuk tanaman padi dapat dihitung dengan menggunakan formula berikut:
perkb pan i i padi padi xINVSHR CAP V CAP V CAP V
INVSHR tan &
1 _ 1 1 ∑ = ...(5.2) dimana:
INVSHRpadi = Pangsa investasi sektor tanaman padi setelah dilakukan mapping antara sektor penelitian dan data investasi V1CAPpadi = Nilai pengembalian kapital untuk sektor tanaman padi
ΣV1CAPi = Jumlah pangsa tanaman padi, tanaman pangan lainnya, karet, kelapa sawit, dan perkebunan dan tanaman lainnya yang dikelompokkan menjadi sektor tanaman pangan dan perkebunan pada data investasi.
INVSHR tan pan &perkb = pangsa sektor tanaman pangan dan perkebunan pada data investasi.
Penerapan formula 5.2 pada seluruh sektor akan menghasilkan besaran pangsa investasi per sektor penelitian. Selanjutnya, nilai nominal investasi masing-masing sektor dapat diperoleh dari hasil kali besaran pangsa investasi tersebut dengan nilai total investasi untuk seluruh sektor penelitian. Nilai total investasi itu sendiri, dapat diperoleh dari hasil penjumlahan komponen pembentukan modal tetap bruto seluruh sektor yang terdapat pada kolom 303 Tabel I-O yaitu sebesar Rp 386 219.03 Milyar. Hasil perhitungan pangsa dan nilai investasi tersebut disajikan pada tabel berikut.
Tabel 5. Pemetaan Sektor Penelitian ke Data Investasi, Pangsa dan Nilai Investasi Menurut Sektor, Tahun 2003
No. Sektor penelitian Agregasi Sektor Penelitian ke Data Investasi
Pangsa (%)
Investasi (Milyar Rp) 1 Padi Tanaman Pangan dan Perkebunan 0.00984 3801.02 2 Tanamanan pangan
lainnya Tanaman Pangan dan Perkebunan 0.01691 6531.05 3 Karet Tanaman Pangan dan Perkebunan 0.00073 280.14 4 Tebu Tanaman Pangan dan Perkebunan 0.00043 167.68 5 Kelapa Tanaman Pangan dan Perkebunan 0.00115 442.81 6 Kelapa Sawit Tanaman Pangan dan Perkebunan 0.00125 482.03 7 Tembakau Tanaman Pangan dan Perkebunan 0.00010 37.64 8 Kopi Tanaman Pangan dan Perkebunan 0.00021 81.38 9 The Tanaman Pangan dan Perkebunan 0.00007 27.08 10 Cengkeh Tanaman Pangan dan Perkebunan 0.00028 109.07 11 Perkebunan dan tanaman
lainnya Tanaman Pangan dan Perkebunan 0.00243 939.81 12 Peternakan dan hasilnya Peternakan 0.00070 270.35
13 Kehutanan Kehutanan 0.00770 2973.89
14 Perikanan Perikanan 0.00070 270.35
15 Pertambangan minyak, gas
dan panas bumi Pertambangan 0.00296 1144.91 16
Pertambangan batu bara, biji logam dan penggalian lainnya
Pertambangan 0.00204 786.18 17 Industri minyak lemak Industri Makanan 0.01917 7404.42
Tabel 5 (Lanjutan)
No. Sektor penelitian Agregasi Sektor Penelitian ke Data Investasi
Pangsa (%)
Investasi (Milyar Rp) 18 Industri pengolahan hasil
laut Industri Makanan 0.00983 3794.73
19 Industri makanan
minuman Industri Makanan 0.07450 28774.52
20 Industri tekstil dan produk
tekstil Industri Tekstil 0.02650 10234.80
21 Industri alas kaki Industri Barang dari kulit dan alas
kaki 0.00090 347.60
22 Industri barang kayu, rotan
dan bambu Industri Kayu 0.02920 11277.60
23 Industri pulp dan kertas Industri Kertas dan Percetakan 0.00290 1120.04 24 Industri karet dan barang
dari karet Industri Barang Karet dan Plastik 0.01550 5986.40 25 Industri petrokimia Industri Kimia dan Farmasi 0.06450 24911.13 26 Industri pengilangan
minyak bumi Industri lainnya 0.00822 3174.76 27 Industri semen Industri Mineral Non Logam 0.00630 2433.18 28
Industri dasar besi dan baja dan logam dasar bukan besi
Ind. Logam, Mesin dan Elektronik 0.01032 3984.74 29 Industri barang dari logam Ind. Logam, Mesin dan Elektronik 0.02756 10642.30 30 Industri mesin listrik dan
peralatan listrik Ind. Logam, Mesin dan Elektronik 0.03503 13528.33 31 Industri alat angkutan dan
perbaikannya
Ind. Kendaraan Bermotor dan Alat
Transportasi Lain 0.04680 18075.05 32 Industri lainnya Industri lainnya 0.00418 1614.36 33 Listrik Listrik, Gas dan Air Bersih 0.00762 2941.44 34 Gas dan air bersih Listrik, Gas dan Air Bersih 0.00358 1384.21
35 Bangunan Konstruksi 0.02420 9346.50
36 Perdagangan Perdagangan dan Reparasi 0.05330 20585.47 37 Hotel dan Restoran Hotel dan Restoran 0.01290 4982.23 38 Angkutan darat Transportasi, Gudang dan
Komunikasi 0.17232 66554.13
39 Angkutan air Transportasi, Gudang dan
Komunikasi 0.06375 24620.81
40 Angkutan udara Transportasi, Gudang dan
Komunikasi 0.02761 10664.26
41 Komunikasi Transportasi, Gudang dan
Komunikasi 0.18622 71920.74
42 Lembaga keuangan Jasa-Jasa Lainnya 0.00651 2513.48 43 Pemerintah umum dan
pertahanan Jasa-Jasa Lainnya 0.00068 264.08 44 Jasa-jasa lainnya Jasa-Jasa Lainnya 0.01241 4792.34 Sumber : Diolah dari Tabel I-O Tahun 2003 (BPS, 2005) dan Data BKPM
5.5. Stok Kapital per Sektor
Pada bab sebelumnya telah dikemukakan bahwa karakteristik dinamis model CGE infrastruktrur Indonesia diformulasikan pada persamaan akumulasi kapital, disamping persamaan pertumbuhan tenaga kerja. Stok kapital, bersama tenaga kerja merupakan input konvensional yang berperan penting sebagai sumber pertumbuhan ekonomi, disamping kemajuan teknologi atau pertumbuhan produktivitas. Oleh sebab itu, data stok kapital awal per sektor juga diperlukan dalam mendefenisikan keseimbangan perekonomian jangka panjang seperti halnya data investasi per sektor. Penyediaan informasi stok kapital awal akan memungkinkan untuk melakukan prediksi tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat pengembalian kotor, dan nilai stok kapital di setiap sektor pada periode berikutnya.
Stok kapital merupakan hasil akumulasi investasi selama beberapa periode sebelumnya yang nilai stok awal dan peningkatannya pada setiap periode jarang sekali dicatat dan dilaporkan secara berkala oleh perusahaan atau lembaga pemerintah. Informasi mengenai stok kapital hanya dapat diperoleh melalui proses estimasi. Badan Pusat Statistik (1997), misalnya telah mengestimasi data stok kapital dengan menerapkan Perpetual Inventory Methode (PIM) untuk periode 1979-1994. Metode yang sama juga digunakan Wicaksono et al. (2002) dalam menghitung stok kapital bruto dan stok kapital neto periode 1980-2000. Metode ini hanya dapat digunakan jika tersedia data pembentukan kapital tetap atau investasi dalam format runut waktu tahunan pada periode jangka panjang. Pada tingkat disagregasi sektoral yang lebih terperinci, data investasi seperti yang dimaksud cukup sulit diperoleh di Indonesia.
Oktaviani (2000) telah mengemukakan tiga metode alternatif untuk menyediakan data stok kapital awal pada suatu tahun tertentu. Alternatif pertama,
nilai awal stok kapital dihitung sebagai rasio antara nilai depresiasi stok kapital dengan tingkat depresiasi yang nilainya telah diketahui, atau dapat diformulasikan sebagai berikut:
V0CAPi = VDEPi/(1-DEPi) ………..(5.3) dimana:
V0CAPi = Nilai stok kapital awal VDEPi = Nilai depresiasi stok kapital 1-DEPi = Tingkat depresiasi
Alternatif kedua adalah perhitungan stok kapital awal dari data investasi dan nilai rasio kapital terhadap investasi (investment capital ratio=ICR) yang nilainya telah diketahui. Berdasarkan kedua informasi ini, nilai stok kapital awal dihitung dengan rumus:
V0CAPi = V2TOTi/R_Ti ………..………..(5.4) dimana:
V0CAPi = Nilai stok kapital awal
V2TOTi = Nilai investasi pada setiap sektor
R_Ti = Investment capital ratio pada setiap sektor
Berdasarkan kedua metode di atas, sebagai alternatif tambahan, Oktaviani (2000) selanjutnya memperkenalkan metode perhitungan yang ketiga. Pada metode alternatif ini, stok kapital awal dihitung sebagai nilai rata-rata dari stok kapital awal yang diperoleh dengan menggunakan persamaan (5.3) dan (5.4). Penyusunan data dasar pada penelitian ini hanya membutuhkan informasi stok kapital awal pada tahun 2003. Formula (5.3) memungkinkan untuk diterapkan dalam menghitung stok kapital awal. Data nilai depresiasi stok kapital per sektor dapat diperoleh dari baris 203 Tabel I-O, sementara tingkat depresiasi dapat
ditentukan atau diasumsikan sesuai dengan perkiraan masa pakai (usable life) masing-masing stok barang kapital.
Data investasi per sektor pada Tabel I-O telah disesuaikan dengan kebutuhan penelitian seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Ketersediaan data investasi per sektor memungkinkan untuk menerapkan formula (5.4) dalam menghitung stok kapital awal. Mengingat investasi dan stok kapital merupakan dua variabel ekonomi yang saling berkaitan secara langsung dalam proses akumulasi kapital, maka diperlukan konsistensi diantara keduanya. Untuk memilihara konsistensi data investasi yang telah disesuaikan dengan stok kapital, penghitungannya dalam studi ini akhirnya dilakukan dengan menerapkan formula (5.4). Informasi yang masih diperlukan untuk menerapkan formula tersebut adalah parameter nilai ICR per sektor.
5.6. Koefisien Elastisitas dan Parameter Lainnya
Selain data dasar yang telah dikemukakan sebelumnya, model keseimbangan umum juga membutuhkan informasi elastisitas dan beberapa parameter behavioural lainnya. Parameter elastisitas yang digunakan dalam model ini terdiri atas elastisitas Armington, elastisitas permintaan ekspor, elastisitas substitusi input primer, elastisitas substitusi tenaga kerja, elastisitas pengeluaran, dan elastisitas upah. Selain elastisitas pengeluaran, koefisien elastisitas tersebut telah diestimasi dengan menggunakan data yang tersedia di Indonesia baik data runut waktu (time series) maupun data kerat lintang (cross section) atau gabungan diantara keduanya (polled-data) seperti ditunjukkan pada lampiran 31-35 sebagai contoh. Elastisitas pengeluaran cukup sulit untuk diestimasi, karena terbatasnya data runut waktu pengeluaran setiap rumah tangga untuk berbagai jenis komoditi pada tingkat disagregasi yang lebih terperinci
seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Koefisien elastisitas ini diambil dari data Susenas yang dipublikasikan BPS dan data dasar Wayang, Wittwer (1999).
5.6.1. Elastisitas Armington
Armington telah mengemukakan teori mengenai permintaan barang dalam aktivitas perdagangan internasional. Pada teori yang dikembangkannya, Armington memperkenalkan asumsi bahwa produk yang diperdagangkan secara internasional berbeda berdasarkan lokasi produksinya (differentiation of product). Armington lebih jauh mengasumsikan bahwa dalam suatu negara, setiap industri hanya menghasilkan satu produk dan bahwa produk ini berbeda dari produk industri yang sama dari negara lain. Dilihat dari sudut pandang konsumen, produk suatu industri yang berasal dari berbagai negara merupakan sekelompok barang yang dapat saling bersubstitusi. Menurut Armington (1969) diacu dalam Kapuscinski dan Warr (1999), tingkat substitusi diantara barang yang dihasilkan oleh industri domestik dan industri di negara lain besifat tidak sempurna (imperfect of substitution). Derajat substitusi diantara kedua barang tersebut selanjutnya dikenal secara luas sebagai elastisitas substitusi Armington atau disingkat elastisitas Armington.
Asumsi Armington terhadap produk yang terdeferensiasi secara nasional telah diadopsi secara luas dalam model CGE untuk mendefenisikan permintaan barang-barang domestik dan barang-barang impor. Pada penyusunan data dasar dalam penelitian ini, elastisitas Armington telah diestimasi dengan menggunakan data runut waktu yang tersedia. Secara umum, hasil estimasi koefisien elastisitas Armington untuk sebagian besar komoditi atau sektor pada perekonomian Indonesia relatif kecil. Pada kelompok produk pertanian, koefisien elastisitas yang
cukup besar ditemukan pada komoditas tanaman pangan. Produk sektor perkebunan dan kehutanan koefisiennya sedikit di atas satu, sementara koefisien produk peternakan dan perikanan kurang dari satu atau tidak elastis.
Produk sektor pertambangan dan penggalian juga memiliki koefisen elastisitas di atas satu, namun sebagian besar komoditas industri justru memiliki koefisien elastistas yang relatif lebih kecil. Pada kelompok produk industri manufaktur, hanya industri barang kayu, rotan dan bambu dan industri semen yang memiliki koefisien elastisitas sedikit di atas satu, selebihnya kurang dari satu. Tanda koefisien yang positif berarti bahwa peningkatan harga domestik relatif terhadap harga impor akan meningkatkan permintaan produk impor relatif terhadap produk domestik. Pengguna domestik (konsumen, industri dan pemerintah) akan mensubstitusi barang domestik dengan barang impor dalam merespon kenaikan harga domestik relatif terhadap harga barang impor. Angka-angka koefisien elastisitas yang relatif kecil memperlihatkan bahwa pengguna domestik kurang responsif terhadap perubahan harga produk domestik relatif terhadap harga produk impor. Jadi, peningkatan harga barang-barang domestik relatif terhadap barang-barang impor tidak akan direspon oleh pengguna domestik dengan mensubstitusi barang domestik ke barang impor pada tingkat yang cukup besar.
Hal yang cukup menarik dari temuan di atas adalah, bahwa responsivitas pengguna domestik justru cukup tinggi terhadap komoditas dimana Indonesia berperan sebagai produsen utama yaitu tanaman bahan makanan; perkebunan; kehutanan; industri barang kayu, rotan dan bambu; dan industri semen. Sebagai negara produsen utama, kebergantungan Indonesia terhadap impor kelompok
komoditas ini relatif rendah sehingga proporsi impornya juga tidak begitu besar bila dibandingkan dengan impor barang-barang antara khususnya bahan baku dan peralatan kapital yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan industri domestik. Khusus untuk produk tanaman bahan makanan, hal ini kemungkinan disebabkan oleh kebergantungan pengguna domestik yang masih cukup tinggi terhadap beberapa produk bahan pangan impor seperti komoditas kedelai, jagung, dan gandum termasuk besarnya volume impor beras untuk menutupi kekurangan produksi beras domestik. Responsivitas pengguna domestik yang cukup tinggi terhadap perubahan harga domestik untuk komoditas tersebut berimplikasi pada munculnya persoalan dilematis dalam kebijakan peningkatan penghasilan petani domestik melalui peningkatan harga pangan domestik. Kebijakan peningkatan harga domestik, akan direspon oleh pengguna domestik melalui penurunan permintaan dan mensubstitusinya dengan produk impor sehingga kesejahteraan petani tidak mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
Hasil estimasi elastisitas Armington seperti yang dikemukakan di atas, tidak jauh berbeda dengan studi Kapuscinsky dan Warr (1999) yang mengkombinasikan model LRM, PAM dan ECM untuk perekonomian Philipina. Pada 33 komoditi pertanian, pertambangan dan industri pengolahan yang diestimasi, nilai koefisien elastisitas yang cukup besar hanya ditemukan pada komoditas jagung dan produk penggilingan tebu dan minyak masing-masing sebesar 4.798 dan 3.866 untuk model PAM. Nilai elastisitas komoditas lainnya relatif kecil yaitu berkisar antara -0.170 untuk produk peternakan babi, sampai dengan 1.881 untuk produk pengolahan hasil laut.
Sedikit berbeda dengan hasil estimasi produk pertanian di Indonesia dan komoditas jagung di Philipina, studi Nganou (2004) untuk perekonomian Leshoto
justru menemukan koefisien elastisitas yang kecil untuk sektor pertanian dan industri pengolahan pangan masing-masing sebesar 0.898 dan 1.37. Koefisien elastisitas yang kecil juga ditemukan pada sektor transportasi dan industri pengolahan lainnya dengan angka 1.696, dan 0.486. Koefisien yang cukup besar dalam studi ini ditemukan pada sektor pertambangan dan industri tekstil masing-masing sebesar 4.01 dan 4.23.
Koefisien elastisitas Armington yang relatif kecil juga diperlihatkan oleh studi Reinert dan Roland-Holst (1992) untuk sektor pertambangan dan industri manufaktur Amerika Serikat yang mencakup 162 komoditi. Pada hasil estimasi keseluruhan produk tersebut, hanya enam produk yang memiliki koefisien cukup tinggi yaitu kanvas, tas tekstil dan perkakas rumah tangga (2.18); kaus kaki (2.53); baterai penyimpan energi (2.65); peralatan memasak rumah tangga (2.69); industri pengecoran besi dan logam (3.08); dan komoditi anggur, brandy dan brandy spirits (3.49). Koefisien elastisitas untuk produk lainnya berkisar antara 0.01 (produk karet lainya) sampai dengan 1.99 (produk keju mentah dan olahan). Pada kasus negara yang sama, Bilgic et al. (2002) telah mengestimasi koefisien elastisitas substitusi impor yang mencakup 21 kelompok komodi. Besaran koefisien elastisitas yang dihasilkan berkisar antara 0.290 (pakaian dan produk tekstil jadi lainnya) sampai dengan 2.872 (bahan bakar dan produk batubara).
Pada data dasar model Global Trade Analysis Project (GTAP), nilai koefisien elastisitas Armington berkisar sekitar 2. Koefisien yang cukup besar ditemukan pada produk industri pakaian dan kulit yang mempunyai elastisitas substitusi 4.4. Nilai koefisien elastisitas tersebut untuk barang antara, konsumsi, dan investasi yang digunakan Dixon et al. (1982) dalam model ORANI perekonomian Australia juga berkisar sekitar 2.
Berdasarkan studi-studi yang dikemukakan di atas, hasil estimasi koefisien elastisitas Armington yang diperoleh untuk perekonomian Indonesia tidak terlalu jauh berbeda dengan kasus pada beberapa negara lainnya baik sesama Negara sedang berkembang (NSB) maupun negara maju. Oleh sebab itu, koefisien elastisitas yang diperoleh dipandang cukup valid dan relevan untuk digunakan dalam mengkonstruksi data dasar pada penelitian ini.
Tabel 6. Koefisien Elastisitas Armington dan Permintaan Ekspor untuk Masing-Masing Sektor Penelitian.
No. Jenis Komoditas Armington Permintaan Ekspor
1 Padi 4.87 -1.40
2 Tanamanan pangan lainnya 4.87 -1.40
3 Perkebunan dan tanaman lainnya 1.74 -0.98
4 Peternakan dan hasilnya 0.06 -0.96
5 Kehutanan 1.79 -0.36
6 Perikanan 0.06 -1.11
7 Pertambangan dan penggalian 1.20 -0.58
8 Ind. makanan dan minuman 0.59 -1.39
9 Ind. Tekstil, pakaian dan kuli 0.50 -0.56 10 Ind. barang kayu, rotan dan bambu 1.05 -1.19
11 Ind. pulp dan kertas 0.67 -1.92
12 Ind. karet, kimia dan plastik 0.53 -0.13
13 Ind. pengilangan minyak bumi 0.72 -0.65
14 Ind. semen 1.13 -1.07
15 Ind. dsr besi, logam non besi, dan brg logam 0.54 -0.78 16 Ind. mesin listrik dan peralatan listrik 0.71 -0.08
17 Ind. alat pengangkutan 0.71 -2.05
18 Ind. Lainnya 0.72 -0.56
19 Listrik, gas dan Air Bersih 2.80 -5.60
20 Jasa-jasa lainya 1.90 -3.78
Sumber: Kerjasama Bank Mandiri dan FEM-IPB, Oktaviani et al. (2007b)
Catatan: Koefisien Elastisitas Sektor 18-19 Diambil dari Database Model GTAP Versi 6.2.
5.6.2. Elastisitas Permintaan Ekspor
Elastisitas permintaan ekspor menunjukkan respon permintaan komoditas ekspor terhadap perubahan harganya di pasar dunia. Berdasarkan hasil estimasi
seperti ditunjukkan pada Tabel 6, secara umum permintaan komoditas ekspor Indonesia relatif kurang responsif terhadap perubahan harga dengan nilai absolut koefisien elastisitas lebih kecil dari satu. Hanya sebagian kecil komoditi yang nilai absolut koefisien elastisitas permintaan ekspornya lebih besar dari satu. Peningkatan harga komoditas ekspor Indonesia di pasar dunia tidak berdampak cukup besar terhadap penurunan volume ekspor, sebaliknya upaya-upaya peningkatan efisiensi untuk meningkatkan daya saing ekspor juga tidak direspon oleh peningkatan permintaan konsumen negara importir. Pada kelompok produk pertanian, hanya produk pertanian tanaman bahan makanan dan perikanan yang memiliki nilai koefisien elastisitas di atas satu, sementara produk perkebunan, kehutanan dan peternakan ternyata bersifat relatif inelastis dengan nilai koefisien elastisitas di bawah satu. Ketidakelastisan permintaan sebagian besar produk pertanian terutama disebabkan relatif kecilnya impor negara partner dagang yang dilakukan dalam bentuk bahan mentah. Sebagian besar impor produk pertanian dilakukan dalam bentuk produk antara hasil olahan industri domestik seperti Crude Palm Oil (CPO), karet alam lembaran (SIR 20 dan SIR 50) dan produk peternakan dan perikanan kemasan yang akan diproses lebih lanjut menjadi barang jadi.
Pada kelompok industri pengolahan, hanya produk industri alat angkutan dan perbaikannya yang sangat responsif terhadap perubahan tingkat harganya, diikuti oleh produk industri pulp dan kertas serta industri pengolahan makanan dan minuman, termasuk produk industri kelapa sawit dan industri pengolahan hasil laut. Elastisitas produk industri barang dari kayu, rotan dan bambu dan industri semen mendekati angka satu. Perubahan tingkat harga dan permintaannya bergerak dalam persentase yang relatif sama. Responsifitas yang cukup tinggi untuk permintaan produk industri pulp dan kertas dan industri pengolahan
makanan dan minuman erat kaitannya dengan keunggulan komparatif kedua produk ini yang berbasis sumber daya alam. Hal yang juga ditunjukkan oleh produk industri barang dari kayu, rotan dan bambu dan industri semen.
Temuan yang cukup menarik adalah produk industri alat angkutan dan perbaikannya yang memiliki koefisien elastisitas permintaan ekspor paling tinggi. Industri ini ternyata memiliki kemampuan bersaing yang cukup tinggi bila dilihat dari sisi efek perubahan harganya sehingga cukup prospektif untuk dikembangkan di Indonesia khususnya industri dalam bidang perkapalan. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa produk industri Indonesia hanya sebagian kecil yang memiliki kemampuan bersaing cukup tinggi bila dibandingkan dengan komoditas yang sama produksi negara lain.
Hasil estimasi elastisitas produk ekspor Indonesia seperti yang dikemukakan di atas tidak jauh berbeda dengan estimasi yang dilakukan Svensson (2005) untuk 15 produk bijih besi dan logam dasar menggunakan model Autoregresif (AR). Memanfaatkan database perdagangan negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), studi ini berhasil mengestimasi besaran koefisien elastisitas ekspor untuk keseluruhan barang tersebut. Angka koefisien elastisitas yang diperoleh berkisar antara -0.90 (untuk produk limbah non besi) sampai dengan -1.56 (untuk produk aluminium).
Elastisitas Substitusi Faktor Primer
Faktor primer pada studi ini terdiri atas tanah, tenaga kerja dan kapital. Penggunaan ketiga faktor ini dalam proses produksi diasumsikan mengikuti fungsi produksi CES. Menggunakan fungsi produksi ini, antara satu faktor dan faktor produksi lainnya dapat saling bersubstitusi dengan koefisien elastisitas substitusi yang konstan dan nilainya sama untuk seluruh pasangan faktor.
Besarnya nilai elastisitas ini akan menentukan responsivitas penggunaan input pada setiap sektor apabila terjadi perubahan biaya relatif suatu faktor terhadap faktor lainnya.
Pada sebagian besar studi, koefisien elastisitas faktor primer difokuskan pada dua input yaitu tenaga kerja dan stok kapital. Hal ini didasari oleh fakta dominannya peran kedua input tersebut dalam proses produksi pada hampir seluruh aktivitas ekonomi. Penggunaan faktor produksi lahan hanya dominan pada aktivitas produksi pertanian. Pada studi ini, elastisitas input primer juga difokuskan pada input tenaga kerja dan stok kapital.
Nilai koefisen elastisitas substitusi input primer seperti ditunjukkan pada Tabel 7 berkisar antara 0.34 (lembaga keuangan dan jasa lainnya) sampai dengan 1.47 (angkutan dan komunikasi). Angka-angka tersebut memperlihatkan bahwa responsivitas penggunaan input kapital relatif terhadap tenaga kerja sebagai akibat perubahan tingkat upah relatif terhadap sewa kapital, bersifat elastis pada aktivitas industri manufaktur dan angkutan dan komunikasi dengan koefisien elastisitas di atas satu. Pada sektor lain, angkanya bersifat relatif inelastis dengan koefisien elastisitas di bawah satu. Temuan ini memperlihatkan bahwa pada aktivitas angkutan dan komunikasi dan aktivitas industri pengolahan, peningkatan upah tenaga kerja relatif terhadap sewa kapital akan menyebabkan meningkatnya penggunaan input peralatan kapital menggantikan input tenaga kerja, pada persentase yang lebih besar. Pada aktivitas ekonomi lainnya, persentase peningkatan penggunaan kapital untuk menggantikan tenaga kerja relatif lebih kecil dari persentase kenaikan tingkat upah relatif terhadap sewa kapital.
Nilai koefisien elastisitas input primer yang ditemukan tidak jauh berbeda dengan angka yang digunakan oleh Oktaviani (2000) pada model INDOF. Angka
tersebut bersumber dari data dasar GTAP yang besarnya berkisar diseputar interval 0.56 (aktivitas pertanian) sampai dengan 1.68 (aktivitas perdagangan, transportasi dan komunikasi). Bila dihitung rata-rata koefisien elastisitas input primer yang telah diestimasi, yaitu sebesar 0.91, nilainya sedikit lebih tinggi dari koefisien yang digunakan oleh Dixon et al. (1982) pada model ORANI, Horridge et al. (1993) pada model ORANI-F and Horridge et al. (1998) pada model ORANI-G untuk perekonomian Australia. Pada ketiga model tersebut, nilai elastisitasnya ditetapkan sama untuk seluruh aktivitas ekonomi yaitu sebesar 0,5. Nilai koefisen elastisitas yang sama juga telah digunakan oleh Buetre (1996) untuk model perekonomian Philippina.
Tabel 7. Koefisien Elastisitas Substitusi Faktor Primer dan Tenaga Kerja untuk Masing-Masing Sektor Penelitian
No. Jenis Komoditas Sub. Faktor Primer TK
1 Pertanian 0.71 0.50
2 Pertambangan dan penggalian 0.62 0.04
3 Industri 1.21 0.44
4 Listrik, Gas dan air bersih 0.46 0.50
5 Bangunan 0.25 0.20
6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 0.76 0.50
7 Angkutan dan Komunikasi 1.47 0.07
8 Lembaga Keuangan, Persewaan dan Jasa Persh 0.34 0.50
9 Jasa-jasa Lainnya 0.34 0.50
Sumber: Kerjasama Bank Mandiri dan FEM-IPB, Oktaviani et al. (2007b)
5.6.4. Elastisitas Substitusi Tenaga Kerja
Tenaga kerja, seperti telah dikemukakan sebelumnya, diklasifikasikan atas tenaga kerja skill dan unskill. Kedua jenis tenaga kerja ini diasumsikan dapat saling bersubstitusi dalam proses produksi mengikuti fungsi CES. Derajat substitusi diantara kedua jenis tenaga kerja ini disebut sebagai elatisitas substitusi tenaga kerja. Hasil estimasi koefisien elastisitas ini untuk perekonomian Indonesia cukup sulit untuk ditemukan. Sebagian besar studi yang membangun atau menerapkan model CGE di Indonesia mengadopsinya dari studi-studi sebelumnya
untuk negara lain. Pada konstruksi data dasar model INDOF misalnya, Oktaviani (2000) menggunakan angka 0.5 untuk seluruh sektor penelitiaannya. Angka ini diperoleh dari studi Horridge et al. (1993) untuk model CGE perekonomian Australia. Angka yang sama juga telah digunakan oleh Buetre (1996) untuk model perekonomian Philippina.
Nilai koefisien elastisitas substitusi tenaga kerja telah diestimasi dengan menggunakan data runut waktu untuk agregasi 9 lapangan usaha. Hasil estimasi koefisien elastisitas tenaga kerja dirangkum pada Tabel 7. Nilai koefisien elastisitas yang diperoleh ternyata tidak jauh berbeda dengan koefisien elastisitas yang digunakan pada beberapa studi sebelumnya seperti telah dikemukakan di atas. Secara rata-rata nilai koefisien elastisitas yang diperoleh adalah 0.41 atau berkisar antara 0.04 sampai dengan 0.50. Angka-angka ini bersifat relatif inelastis, yang menunjukkan bahwa responsivitas substitusi penggunaan tenaga kerja sebagai akibat perubahan tingkat upah tenaga kerja skill relatif terhadap tenaga kerja unskill tergolong rendah. Peningkatan upah tenaga kerja skill relatif terhadap tenaga kerja unskill sebesar 1 persen hanya menyebabkan peningkatan penggunaan tenaga kerja skill sebagai substitusi terhadap tenaga kerja unskill sekitar 0.04 persen sampai dengan 0.50 persen. Pada studi ini, kelompok sektor pertanian diasumsikan hanya menggunakan tenaga kerja unskill. Jadi substitusi tenaga kerja dalam proses produksi hanya terjadi pada kelompok sektor non pertanian
5.6.5. Elastisitas Pengeluaran
Elastisitas pengeluaran menunjukkan respon pengeluaran rumah tangga terhadap konsumsi berbagai jenis komoditi atas perubahan tingkat pendapatannya. Secara teoritis pola hubungan antara tingkat pendapatan dan pengeluaran
konsumsi rumah tangga dipresentasikan oleh Hukum Engel yang menyatakan bahwa peningkatan pendapatan rumah tangga akan diikuti oleh peningkatan pengeluaran konsumsi. Proporsi pengeluaran konsumsi untuk produk pangan cendrung menurun, sementara proporsi pengeluaran untuk konsumsi produk non-pangan cendrung meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan rumah tangga. Berdasarkan konsep ini, rumah tangga yang tingkat penghasilannya relatif rendah pola konsumsinya akan dicirikan oleh proporsi pengeluaran untuk produk pangan yang lebih besar sehingga permintaan pangan pada kelompok rumah tangga ini akan bersifat relatif elastis. Sebaliknya, pada kelompok rumah tangga yang berpenghasilan lebih tinggi, justru permintaan produk non pangan yang akan bersifat relatif lebih elastis.
Estimasi koefisien elastisitas pengeluaran rumah tangga secara terperinci untuk keseluruhan kelompok rumah tangga terhadap berbagai jenis komoditas yang dikonsumsi, membutuhkan data dan informasi yang sangat banyak dan waktu yang cukup lama. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka pada penelitian ini tidak dilakukan pengestimasian koefisien elastisitas pengeluaran rumah tangga. Pada studi ini koefisien elastisitas pengeluaran diambil dari hasil Susenas dan data dasar Wayang (Witweer, 1999). Besarnya koefisien elastisitas pengeluaran menurut kelompok rumah tangga untuk keseluruhan komoditas yang diteliti, ditunjukkan pada Lampiran 3.
Elastisitas pengeluaran terhadap produk pertanian pada seluruh kelompok rumah tangga bersifat relatif inelastis dengan koefisien di bawah satu, kecuali untuk produk peternakan dan hasil-hasilnya. Konsumsi produk pangan hewani berupa daging, ikan dan telur masih tergolong sebagai barang mewah bagi sebagian besar rumah tangga di Indonesia. Hal ini erat kaitannya dengan tingkat pendapatan per kapita yang masih tergolong rendah dan masih tingginya
persentase penduduk miskin dan hampir miskin dengan pengeluaran sekitar 1 US$-2US$ per hari.
Pada kelompok komoditas pangan olahan, pengeluaran rumah tangga di daerah perkotaan realatif elastis terhadap produk minyak dan lemak termasuk hasil industri kelapa sawit, produk olahan hasil laut dan produk industri dan makanan dan minuman olahan lainnya. Pengeluaran seluruh kelompok rumah tangga perdesaan relatif elastis terhadap konsumsi komoditas hasil industri tekstil dan produk tekstil dan produk industri alas kaki. Pada kelompok rumah tangga perkotaan, pengeluaran untuk sektor bangunan juga bersifat elastis. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh pengeluaran terhadap aktivitas perdagangan, termasuk pada kelompok rumah tangga berpenghasilan tinggi di perdesaan.
Temuan yang cukup menarik adalah pengeluaran rumah tangga perdesaan ternyata cukup elastis terhadap sektor perhotelan dan restoran dan sektor angkutan darat. Temuan ini mengindikasikan meningkatnya kebutuhan wisata pada kalangan masyarakat perdesaan. Pengeluaran rumah tangga perkotaan, kelompok rumah tangga berpenghasilan tinggi dan rumah tangga pengusaha tani perdesaan juga bersifat elastis terhadap sektor angkutan air, udara dan komunikasi. Kondisi ini merupakan indikasi meningkatnya kebutuhan terhadap pelayanan sektor angkutan dan komunikasi yang lebih berkualitas seiring dengan meningkatnya pendapatan rumah tangga perkotaan dan rumah tangga berpenghasilan tinggi di perdesaan. Pengeluaran untuk sektor jasa-jasa lainnya ternyata bersifat elastis pada seluruh kelompok rumah tangga perdesaan dan perkotaan.
5.6.6. Elastisitas Upah
Elastisitas upah menunjukkan respon permintaan atau penawaran tenaga kerja terhadap perubahan tingkat upah. Berdasarkan hasil estimasi koefisien