4.1 Karakteristik Bahan Baku
Ikan pari yang digunakan diperoleh dari pasar Flamboyan Pontianak. Ukuran berat ikan yang digunakan berkisar antara 57 kg/ekor. Kulit ikan pari dipisahkan dari dagingnya secara manual menggunakan pisau. Sisa-sisa daging yang masih menempel pada kulit dibersihkan dengan cara dikerok, kemudian kulit dicuci dengan air dingin hingga bersih dan dimasukkan dalam kantong plastik yang ditutup rapat untuk disimpan dalam freezer lemari pendingin sebelum diolah pada tahap selanjutnya. Penyimpanan dalam lemari pendingin ini berfungsi untuk menjaga kesegaran dan kualitas kulit sampai digunakan untuk perlakuan selanjutnya. Gambar 8 memperlihatkan jenis ikan pari yang digunakan.
(a) (b)
Gambar 8 ikan pari (Pastinachus solocirostris) tampak depan (a) tampak belakang (b).
Kulit ikan pari yang akan digunakan dikarakterisasi terlebih dahulu dengan malakukan analisis komposisi kimia kulit yang meliputi kadar air, abu, protein, lemak, dan logam berat (Hg, Pb, dan As). Analisis komposisi kimia kulit ini dilakukan dengan tujuan untuk menilai kelayakan awal dari kulit ikan pari sebagai bahan baku pembuatan kolagen.
Komposisi kimia kulit ikan pari disajikan pada Tabel 7. Kadar air yang terkandung dalam kulit ikan pari sebesar 63,80%. Nilai kadar air ini masih berada dalam kisaran kadar air kulit ikan pada umumnya sehingga dapat dikatakan kulit ikan pari masih dalam kondisi yang cukup segar. Hasil penelitian Ferna´ndez-Dı´az et al. (2003) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat
kesegaran kulit dengan komposisi molekul dan karakteristik fisik gelatin yang dihasilkan. Gelatin yang dihasilkan dari kulit ikan flounder (Platichthys flesus) yang masih segar mengandung komponen dengan berat molekul tinggi (komponen γ) yang lebih banyak dibandingkan komponen α dan β dan memiliki gel strength yang lebih tinggi dibandingkan dengan gelatin yang dihasilkan dari kulit yang sudah mengalami penyimpanan beku.
Kandungan protein kulit ikan pari (28,49%) lebih tinggi dibandingkan dengan protein daging ikan pari kelapa (18,98%), kulit ikan alaska pollock (25%), dan kulit ikan pasific cod (24,5%); namun lebih rendah dibandingkan protein pada kulit ikan nila (30,6%) serta kulit ikan rainbow trout (41,12%) (Yasin 2005; Becthel 2003; Songchotikunpan et al. 2008; Tabarestani et al. 2012). Kandungan protein kulit ikan pari yang tinggi memungkinkan untuk digunakan sebagai bahan baku kolagen. Kołodziejska et al. (2008) mengungkapkan bahwa sekitar 80% dari total protein pada kulit ikan merupakan kolagen.
Kadar lemak kulit ikan pari cukup tinggi (6,08%) dibandingkan kadar lemak pada kulit ikan nila (1,1%), alaska pollack (0,4%), pasific cod (0,3%), dan daging ikan pari kelapa (1,36%); namun lebih rendah dari kadar lemak pada ikan rainbow trout (13,12%) (Yasin 2003; Becthel 2003; Songchotikunpan et al. 2008; Tabarestani et al. 2012). Kadar abu kulit ikan pari (0,65%) hampir sama dengan kadar abu alaska pollack (0,7%), namun jauh lebih rendah dibandingkan pada ikan nila (2,1%), pasific cod (2%), ikan rainbow trout (5,45%), dan daging ikan pari kelapa (3,10%) (Yasin 2003; Becthel 2003; Songchotikunpan et al. 2008; Tabarestani et al. 2012). Kandungan lemak dan abu kulit ikan pari yang cukup tinggi mengindikasikan perlunya optimasi proses pretretment kulit untuk menghilangkan lemak dan mineral-mineral dalam kulit ikan sehingga dapat meningkatkan kualitas kolagen yang dihasilkan. Shon et al. (2011) menyatakan bahwa keberadaan lemak dan mineral-mineral lainnya akan mengganggu efektivitas kolagen dalam aplikasinya pada berbagai produk.
Keberadaan logam berat, misalnya merkuri (Hg), timbal (Pb), dan arsen (As) dalam bahan pangan dapat membahayakan kesehatan jika jumlahnya melebihi ambang batas yang ditentukan. Analisis kandungan logam berat pada kulit ikan pari dilakukan agar produk kolagen yang dihasilkan terjamin
keamannnya dari cemaran logam. Berdasarkan hasil uji, kandungan logam berat Pb, Hg, dan As pada kulit ikan pari (Tabel 7) masih berada dibawah ambang batas kandungan logam berat untuk ikan dan hasil olahannya yang ditetapkan oleh SNI 7387-2009 yaitu 0,3 mg/kg (Pb); 0,5 mg/kg (Hg); dan 0,1 mg/kg (As). Hal ini menunjukkan bahwa kulit ikan pari cukup aman untuk digunakan sebagai sumber bahan baku kolagen dan diharapkan dapat memenuhi persyaratan kandungan logam berat untuk cosmetic grade yaitu Pb<0,5 mg/kg, As<0,3 mg/kg, dan Hg<0,1 mg/kg (Zhengzhou Sigma Chemical Co., Ltd.).
Tabel 7 Komposisi kimia kulit ikan pari
Parameter uji Satuan Nilai (%bb)
Air % 63,80 Protein % 28,49 Lemak % 6,08 Abu % 0,65 Timbal (Pb) mg/kg < 0,0348 Merkuri (Hg) mg/kg < 0,0035 Arsen (As) mg/kg < 0,0088
4.2 Optimasi Ekstraksi Kolagen
Pembuatan kolagen dari kulit ikan pari terbagi dalam dua tahap, yaitu pretreatment (perendaman kulit dalam larutan NaOH yang dilanjutkan perendaman kulit dalam asam asetat) dan ekatraksi dengan air. Optimasi pada tahap perendaman kulit dalam larutan NaOH ditujukan untuk mendapatkan perlakuan kombinasi konsentrasi NaOH dan waktu perendaman terbaik dalam menghilangkan protein non kolagen pada kulit ikan. Optimasi pada tahap perendaman asam asetat ditujukan untuk mendapatkan konsentrasi dan waktu perendaman terbaik terhadap derajat pengembangan kulit (DP) kulit dengan tingkat kehilangan kolagen yang rendah.
4.2.1 Perendaman kulit dalam larutan NaOH
Hasil pengamatan kandungan protein dari larutan NaOH sisa perendaman kulit dapat dilihat pada Gambar 9. Kandungan protein dari larutan NaOH sisa perendaman kulit untuk setiap perlakuan kombinasi konsentrasi NaOH dengan lama waktu perendaman 2 jam menunjukkan kandungan protein yang tinggi dan
nilai kandungan protein semakin menurun seiring penambahan waktu perendaman. Hal ini menunjukkan bahwa protein non kolagen yang terkandung dalam kulit ikan sudah banyak dilepaskan dengan pelarut basa pada 2 jam pertama perendaman sehingga jumlah protein non kolagen dalam kulit semakin berkurang yang ditunjukkan dengan semakin kecilnya nilai konsentrasi protein dalam larutan NaOH sisa perendaman kulit pada pengamatan berikutnya. Zhou dan Regenstein (2005) menunjukkan bahwa penggunaan larutan basa pada proses pretreatment kulit lebih efektif dalam proses pengeluaran protein non kolagen dan hanya menyebabkan tingkat kehilangan kolagen yang rendah dibandingkan dengan penggunaan larutan asam. Hinterwaldner (1977) menyatakan bahwa pelepasan zat selain kolagen terjadi akibat hancurnya sebagian ikatan silang pada struktur kolagen dalam kondisi basa. Jaswir et al. (2011) menambahkan bahwa selama perendaman dalam NaOH terjadi sedikit pembengkakan kulit sehingga memungkinkan masuknya air dan menyebabkan protein non kolagen yang terjebak dalam matrik kolagen menjadi lebih mudah dilepaskan.
0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4 1,6 K 1 W 2 K 1 W 4 K 1 W 6 K 1 W 8 K 2 W 2 K 2 W 4 K 2 W 6 K 2 W 8 K 3 W 2 K 3 W 4 K 3 W 6 K 3 W 8 N ilai k ons e nt ras i pr ot e in ( m g/ m l) perlakuan
Gambar 9 Konsentrasi protein larutan NaOH sisa perendaman kulit dengan perlakuan kombinasi konsentrasi NaOH dan waktu perendaman.
Perlakuan kombinasi konsentrasi NaOH 0,2 M dengan waktu perendaman 4, 6, dan 8 jam menunjukkan nilai konsentrasi protein yang cenderung lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian kolagen dalam kulit mulai terlarut dalam larutan NaOH. Hal diduga terjadi karena
kelebihan konsentrasi OH yang mengakibatkan terputusnya sebagian ikatan kovalen dalam struktur kolagen. Hal ini selaras pendapat Jaswir et al. (2011) yang mengatakan bahwa NaOH memiliki peranan dalam pemisahan untaian dari batang-batang serat kolagen. Yoshimura et al. (2000) melaporkan bahwa basa menyerang terutama wilayah teleopeptida dari struktur kolagen selama proses pretreatment sehingga dapat menyebabkan kelarutan kolagen.
Hasil analisis ragam (ANOVA) kandungan protein larutan NaOH sisa perendaman kulit (Lampiran 3) menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan konsentrasi NaOH dan waktu perendaman berpengaruh nyata terhadap kandungan protein pada larutan NaOH sisa perendaman kulit. Hasil uji lanjut dengan DMRT 5% (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perlakuan terbaik untuk menghilangkan protein non kolagen pada kulit ikan pari adalah perendaman kulit dalam larutan 0,05 M NaOH selama 6 jam. Hal ini selaras dengan penelitian yang dilakukan Zhou dan Regenstein (2005) yang menunjukkan bahwa protein non kolagen dapat dihilangkan dengan perendaman dalam larutan NaOH dengan konsentrasi 0,01 mol/L OH dan 0,1 mol/L OH. Peningkatan konsentrasi diatas 0,1 mol/L OH tidak memberikan pengaruh terhadap penghilangan protein non kolagen. Penelitian yang dilakukan Shon et al. (2011) menunjukkan bahwa perendaman kulit dengan konsentrasi NaOH 0,15 N selama 48 jam menghasilkan rendemen, viscositas, dan gel strength kolagen dari kulit ikan skate (Raja kenojei) yang terbaik.
4.2.2 Perendaman kulit dalam asam asetat
Kulit hasil perendaman larutan NaOH dengan perlakuan terbaik pada tahap sebelumnya (0,05 M; 6 jam) dilanjutkan pada tahap kedua yaitu perendaman dalam larutan asam asetat. Kulit yang digunakan dicuci dengan air mengalir sampai mendekati pH netral. Pencucian betujuan untuk mengurangi sisa basa yang masih menempel pada kulit sehingga tidak mempengaruhi terhadap pH larutan asam asetat yang akan digunakan pada tahap selanjutnya.
Preteatment asam diperlukan untuk mengubah struktur serat kolagen sehingga akan mempermudah proses ekstraksi pada tahap selanjutnya. Perendaman dalam asam menyebabkan terjadinya penggembungan kulit (swelling) yang diakibatkan masuknya air ke dalam serat kolagen. Jaswir et al.
(2011) mengatakan bahwa masuknya air ke dalam serat kolagen disebabkan terjadinya gaya elektrostatik antara gugus polar pada serat kolagen dengan H+ dari asam atau terbentuknya ikatan hidrogen antara gugus non polar pada serat kolagen dengan H+ dari asam. Pembengkakan ini penting karena dapat mendukung rusaknya struktur serat kolagen melalui terganggunya ikatan non kovalen dan pada akhirnya memudahkan ekstraksi dan kelarutan kolagen.
Hasil pengamatan terhadap derajat pengembangan (DP) kulit hasil perendaman dalam asam asetat pada konsentrasi dan lama waktu perendaman yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 10. Derajat pengembangan kulit mengalami peningkatan dengan semakin tinggi konsentrasi asam asetat dan semakin lama waktu perendaman. Hal ini mengindikasikan semakin tinggi konsentrasi dan semakin lama waktu perendaman asam mengakibatkan semakin banyak jumlah air yang dapat diserap oleh kulit sehingga serat kolagen menjadi lebih mudah untuk dipisahkan dan akan memudahkan proses ekstraksi kolagen pada tahap selanjutnya.
0 20 40 60 80 100 120 140 160 1 2 D e rajat Pe n ge mb an gan ( % )
waktu perendaman (jam)
Gambar 10 Derajat pengembangan (DP) kulit dengan perlakuan konsentrasi dan lama waktu perendaman asam asetat: Konsentrasi asam asetat 0,05 M ( ), konsentrasi asam asetat 0,1 M ( ), konsentrasi asam asetat 0,2 M ( ).
Hasil analisis ragam (ANOVA) derajat pengembangan kulit (Lampiran 6) menunjukkan bahwa konsentrasi asam asetat dan lama waktu perendaman berpengaruh nyata terhadap derajat pengembangan (DP) kulit, sedangkan interaksi antara konsentrasi asam asetat dengan lama waktu perendaman menunjukkan hasil tidak berbeda nyata. Hasil uji lanjut dengan DMRT 5% (Lampiran 7 dan
Lampiran 8) menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi asam asetat terbaik untuk menghasilkan derajat pengembangan kulit yang tinggi adalah 0,2 M; sedangkan waktu perendaman terbaik untuk menghasilkan derajat perendaman kulit yang tinggi adalah 2 jam.
Berdasarkan hasil uji kualitatif kelarutan kolagen menggunakan larutan NaCl 5 M menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi asam asetat 0,2 M dengan lama waktu perendaman 2 jam mengalami tingkat kelarutan kolagen yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan konsentrasi asam asetat 0,05 M dan 0,1 M (Tabel 8). Hal ini mengindikasikan sebagian kolagen pada kulit dengan perlakuan konsentrasi asam asetat 0,2 M sudah banyak terekstrak dalam asam sehingga dikhawatirkan akan menurunkan rendemen kolagen yang dihasilkan.
Tabel 8 Kelarutan kolagen dalam larutan asam asetat
Konsentrasi asam asetat Waktu (jam) 1 2 0,05 M + ++ 0,1 M + ++ 0,2 M ++ +++
Berdasarkan hal tersebut maka untuk tahap ini dipilih perlakuan terbaik perendaman kulit dalam asam asetat pada konsentrasi 0,1 M dan lama waktu perendaman 2 jam dengan derajat pengembangan kulit mencapai 120,811%. Nilai derajat pengembangan kulit ikan pari jauh lebih rendah dibandingkan nilai derajat pengembangan kulit ikan pari (Himantura gerrardi) hasil perendaman asam asetat 4% selama 12 jam yang mencapai 500% (Martianingsih dan Atmaja 2009). Hal ini diduga disebabkan perbedaan konsentrasi dan lama waktu perendaman sehingga menyebabkan perbedaan jumlah air yang terabsopsi. Menurut Jaswir et al. (2011) penggunaan asam membantu peningkatan H+ yang menyebabkan air lebih mudah masuk ke dalam serat kolagen melalui terjadinya gaya elektrostatik antar gugus polar (pembengkakan elektrostatik) atau ikatan hidrogen antara gugus non polar dan atom (hidrasi lyotropic). Asghar dan Henrickson (1982) di dalam Gomez-Guillen dan Montero (2001) menyatakan
bahwa efek lyotropic dari asam karboksilat pada kolagen lebih dominan dalam peningkatan swelling.
4.2.3 Ekstraksi dengan air
Kulit hasil perendaman asam asetat dengan perlakuan terbaik (0,1 M selama 2 jam) dilanjutkan pada tahap ketiga, yaitu ekstraksi dengan air. Kulit dicuci dengan air mengalir sampai pH mendekati netral. Hal ini ditujukan agar kolagen yang dihasilkan memiliki pH mendekati netral. Hinterwaldner (1977) menyatakan bahwa proses penetralan akan mengurangi sisa asam maupun basa sehingga dihasilkan pH akhir yang mendekati netral.
Ekstraksi kulit dilakukan dengan air bersuhu 40 C selama 2 jam. Proses pemanasan kulit dalam air hangat menyebabkan berlanjutnya kerusakan ikatan hidrogen dan kovalen yang sebelumnya sudah berlangsung selama proses perendaman asam asetat. Gómez-Guillén et al. (2011) menyatakan bahwa proses kerusakan ikatan hidrogen dan kovalen akibat pemanasan kolagen menyebabkan terganggunya kesetabilan struktur triple heliks kolagen sehingga terjadi perubahan bentuk menjadi gulungan dan akhirnya kolagen terdegradasi menjadi gelatin yang larut air. Pemilihan suhu 40 C dilakukan dengan tujuan untuk menghindari terjadinya degradasi kolagen menjadi gelatin selama ekstraksi berlangsung. Hal ini didasarkan pada pendapat Karim dan Bhat (2009) yang menyatakan bahwa suhu 40 C merupakan suhu transisi perubahan heliks menjadi bentuk gulungan yang mengarah pada pembentukan gelatin yang larut. Hal ini juga diperkuat oleh hasil penelitian Kołodziejska et al. (2008) yang menunjukkan bahwa degradasi kolagen menjadi gelatin terjadi diatas suhu 45 oC.
Hasil esktrak kulit dengan air berupa kolagen larut air, kemudian dikeringkan dengan Freeze dryer sehingga diperoleh kolagen dalam bentuk serbuk. Rendemen kolagen yang dihasilkan sebesar 14,475% (bb).
4.3 Pembuatan Nanopartikel Kolagen
Proses pembuatan nanopartikel kolagen dilakukan dengan metode desolvasi menggunakan etanol dingin. Optimasi dilakukan untuk mendapatkan rasio larutan kolagen terhadap etanol paling baik yang menghasilkan ukuran partikel kolagen terkecil (nm) dan nilai polydispersity index rendah.
Ukuran nanopartikel kolagen yang dihasilkan dengan metode desolvasi menggunakan etanol dapat dilihat pada Tabel 9. Semua perlakuan rasio larutan kolagen terhadap etanol (1:1, 1:2, dan 1:3) menghasilkan kolagen dengan ukuran nanopartikel yang berkisar antara 159,48206,88 nm. Bolzinger et al. (2011) mendefinisikan nanopartikel dalam kisaran 1100 nm, sementara Mohanraj dan Chen (2006) mendefinisikan nanopartikel sebagai partikel yang berbentuk padat dengan ukuran sekitar 101000 nm. Hal ini menunjukkan bahwa pembuatan nanopartikel kolagen berhasil dilakukan dengan metode desolvasi menggunakan etanol. Ketika larutan kolagen diaduk dengan kecepatan tinggi meggunakan stirer selama satu jam, maka batang-batang kolagen terpotong-potong menjadi ukuran yang lebih pendek. Penambahan etanol menyebabkan berkurangnya jumlah air yang dapat diikat oleh molekul kolagen dan sebaliknya meningkatkan rekasi hidrofobik dengan terbentuknya ikatan hidrogen intramolekul kolagen. Hal ini menyebabkan perubahan struktur kolagen menjadi bentuk terdehidrasi. Hal ini selaras dengan pendapat Singer (1962) di dalam Gulseren et al. (2012) yang mengatakan bahwa etanol dapat mempengaruhi struktur protein melalui perubahan konstanta dielektrik, kekuatan solvasi, mempengaruhi interaksi hidrofobik, ikatan hidrogen, momen dipol, dan jembatan garam.
Tabel 9 Ukuran partikel dan polydispersity index nanopartikel kolagen
Rasio larutan kolagen terhadap etanol awal penyimpanan Z-average (nm) Polydispersity Index Z-average (nm) Polydispersity Index 1:1 185,24 0,090 156,96 0,268 1:2 159,48 0,070 209,27 0,269 1:3 206,88 0,762 - -
Berdasarkan Tabel 9 dapat dilihat perlakuan rasio larutan kolagen terhadap etanol berpengaruh terhadap ukuran partikel yang dihasilkan. Perlakuan rasio larutan kolagen terhadap etanol sebesar 1:2 menunjukkan nilai Z-average yang paling kecil dibandingkan dengan perlakuan rasio larutan kolagen terhadap etanol sebesar 1:1 dan 1:3. Namun jika dilihat dari nilai polydispersity index antara perlakuan rasio larutan kolagen terhadap etanol sebesar 1:1 dan 1:2 menunjukkan
bahwa kedua perlakuan menghasilkan ukuran partikel yang seragam dibandingkan perlakuan rasio larutan kolagen terhadap etanol sebesar 1:3. Hal ini mengindikasikan bahwa ukuran partikel cenderung mengalami peningkatan dengan peningkatan jumlah etanol yang ditambahkan. Hal ini selaras dengan hasil penelitian Gulseren et al. (2012) yang menunjukkan bahwa nilai rata-rata ukuran partikel isolat β-loctoglobulin dan isolat whey protein meningkat seiring penambahan etanol dari 0 sampai 5 kali lipat dari larutan yang digunakan. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Weber et al. (2000) yang menunjukkan terjadinya peningkatan ukuran partikel human serum albumin (HSA) dengan penambahan etanol hingga 4 kali lipat dari larutan HSA.
Ukuran nanopartikel kolagen yang dihasilkan dengan perlakuan rasio larutan kolagen terhadap etanol sebesar 1:1 lebih stabil dibandingkan dengan perlakuan rasio larutan kolagen terhadap etanol sebesar 1:2 setelah mengalami penyimpanan selama 24 jam. Ukuran nanopertikel kolagen dengan perlakuan rasio larutan kolagen terhadap etanol sebesar 1:2 mengalami peningkatan dari dari 159,48 nm sebelum disimpan menjadi 209,27 nm setelah mengalami penyimpanan (Tabel 9). Hasil penelitian Gulseren et al. (2012) menunjukkan bahwa ukuran nanopartikel whey protein yang dihasilkan dengan proses desolvasi menggunakan etanol dengan rasio larutan terhadap etanol sebasar 1:2 mengalami peningkatan setelah penyimpanan selama 96 jam dari 15,4 nm menjadi 17,1 nm. Peningkatan ukuran nanopartikel selama penyimpanan diduga disebabkan terjadinya agregasi antar nanopartikel kolagen dalam suspensi selama penyimpanan. Kelebihan etanol pada proses pembuatan nanopartikel menyebabkan kekuatan ionik pelarut meningkat. Hal ini diduga menyebabkan interaksi antara nanopartikel kolagen lebih kuat dibandingkan interaksi antara nanopartikel kolagen dengan pelarut. Hal ini selaras dengan pendapat Jun et al. (2011) bahwa agregasi dapat terjadi karena interaksi antar partikel yang lebih besar dibandingkan interaksi partikel dengan pelarut.
Berdasarkan hal tersebut maka pada tahap ini dipilih perlakuan terbaik adalah penggunaan rasio larutan kolagen terhadap etanol sebesar 1:1 yang menghasilkan nanopartikel kolagen dengan ukuran partikel 185,24 nm. Hal ini selaras dengan hasil penelitian Azarmi et al. (2006) yang berhasil membuat
nanopartikel gelatin type A dengan metode desolvasi dua tahap menggunakan etanol sebagai agen desolvasi pada rasio larutan terhadap etanol sebesar 1:1 dengan ukuran partikel adalah 386 nm.
Larutan nanopartikel kolagen yang dihasilkan dari perlakuan terbaik selanjutnya dihilangkan pelarutnya dengan proses evaporasi sampai diperoleh larutan nanopartikel kolagen bebas etanol. Larutan nanopartikel kolagen hasil proses evaporasi dikeringkan dengan freeze dryer sehingga diperoleh kolagen nanopartikel dalam bentuk serbuk. Rendemen dari nanopartikel kolagen yang dihasilkan sebesar 9,64% (bb).
4.4 Karakterisasi Kolagen dan Nanopartikel Kolagen
Kolagen dan nanopartikel kolagen yang dihasilkan dari perlakuan terbaik pada penelitian tahap sebelumnya dikarakterisasi baik sifat kimia maupun fisik. Karakteristik kimia meliputi proksimat, jenis asam amino, dan pH; sedangkan karakteristik fisik yang diukur antara lain gugus fungsi dengan FTIR, berat molekul dengan SDS-PAGE, viskositas, derajat putih, analisis termal, solubilitas, dan struktur permukaan dengan SEM.
4.4.1 Komposisi proksimat
Komponen kimia kolagen dapat digunakan sebagai salah satu parameter untuk menunjukkan kualitas kolagen yang dihasilkan dan sekaligus menilai efektifitas dari proses pretretment kulit pada proses pembuatan kolagen. Proses preteatment kulit diharapkan mampu menghilangkan komponen-komponen lain misalnya lemak, mineral, protein non kolagen pada bahan baku kulit sehingga dihasilkan kolagen dengan kandungan protein tinggi.
Komposisi proksimat kolagen dan nanopartikel kolagen yang dihasilkan dari kulit ikan pari dan kolagen dari kulit ikan lainnya sebagai pembanding dapat dilihat pada Tabel 10. Berdasarkan Tabel 10 dapat dilihat bahwa komponen utama kolagen adalah protein dan komponen lainnya berupa air, lemak, dan abu dalam jumlah yang sedikit. Kandungan protein kolagen maupun nanopartikel kolagen dari kulit ikan pari hampir sama dengan kandungan protein pada kolagen dari kulit ikan skate (Raja kenojei) namun lebih rendah dibandingkan protein pada kolagen dari kulit ikan rainbow trout (Onchorhynchus mykiss), sedangkan untuk
kandungan lemak dan abu pada kolagen dan nanopartikel kolagen dari kulit ikan pari lebih rendah dibandingkan pada kolagen dari kulit ikan skate (Raja kenojei) maupun kulit ikan rainbow trout (Onchorhynchus mykiss). Perbedaan komposisi proksimat kolagen dari sumber bahan baku kulit yang berbeda diduga disebabkan perbedaan komponen kimia yang terkandung dalam bahan baku kulit dan teknik ekstraksi yang digunakan. Bechtel (2003) mengungkapkan bahwa perbedaan komposisi kimia dapat disebabkan oleh perbedaan umur, jenis kelamin, habitat ikan, serta cara preparasi kulit. Shon et al. (2011) menyatakan bahwa kulit yang memiliki kandungan lemak dan abu yang tinggi memerlukan teknik pemurnian yang berbeda untuk menghasilkan produk kolagen dengan kemurnian tinggi. Rendahnya nilai kandungan lemak dan abu pada kolagen dari kulit ikan pari yang dihasilkan menunjukkan bahwa proses preteatment kulit dengan perendaman dalam larutan basa maupun asam cukup efektif untuk mereduksi lemak dan mineral-mineral dalam kulit ikan. Hal ini selaras dengan pendapat Hinterwaldner (1977) yang menyatakan bahwa perendaman kulit dalam larutan basa mengakibatkan hancurnya sebagian ikatan silang pada struktur kolagen sehingga kulit dapat melepaskan zat selain protein kolagen, misalnya lemak, kotoran, pigmen, dan protein non kolagen.
Tabel 10 Komposisi proksimat kolagen dari beberapa kulit ikan dan nanopartikel kolagen kulit ikan pari
jenis kolagen Parameter (%bb) Sumber
pustaka air protein lemak abu
Kolagen kulit ikan pari (Pastinachus solocirostris)
11,78 86,97 0,19 0,17 hasil penelitian Nanopartikel kolagen kulit
ikan pari (Pastinachus solocirostris)
13,46 86,18 0,25 0,13 hasil penelitian
Kolagen kulit ikan skate (Raja kenojei)
7,01 86,4 0,35 3,38 Shon et al. (2011) Kolagen kulit ikan rainbow
trout (Onchorhynchus mykiss)
3,49 96,2 0,31 0,21 Tabarestani et al. (2012)
Kadar air kolagen maupun nanopartikel kolagen lebih tinggi dibandingkan kadar air kolagen dari kulit ikan skate (Raja kenojei) dan kolagen dari kulit ikan
rainbow trout (Onchorhynchus mykiss) (Tabel 10). Tingginya kadar air kolagen maupun nanopartikel kolagen diduga disebabkan cara penyimpanan kolagen yang kurang baik sehingga memungkinkan terjadinya proses penyerapan air. Pada nanopartikel kolagen terjadi tingkat penyerapan air yang lebih tinggi dibandingkan pada kolagen. Hal ini berkaitan dengan lebih kecilnya ukuran nanopartikel kolagen sehingga meningkatkan luas permukaan yang dapat menyerap air.
Kolagen dan nanopartikel kolagen dari kulit ikan pari sudah memenuhi spesifikasi kolagen cosmetic grade ditinjau dari kandungan abu keduanya, namun untuk kandungan air dan protein masih belum terpenuhi. Kolagen cosmetic grade mensyaratkan kandungan air<5%, protein 90%, dan abu <1% (Zhengzhou Sigma Chemical Co., Ltd.). Kolagen maupun nanopartikel kolagen dari kulit ikan pari memiliki potensi untuk digunakan sebagai bahan baku kosmetik dengan mengusahakan teknik pengeringan maupun teknik pengemasan yang tepat sehingga bisa meminimalkan kandungan air sampai mencapai kandungan air yang disyaratkan untuk kolagen cosmetic grade dan meminimalkan terjadinya penyerapan air selama penyimpanan.
4.4.2 Asam amino
Kolagen merupakan protein struktural utama dari jaringan ikat yang meliputi hampir 30% dari total protein tubuh. Molekul dasar kolagen terbentuk dari tiga rantai polipeptida yang saling berpilin membentuk struktur triple heliks dengan susunan asam amino yang khas yaitu Gly-X-Y, pada posisi X adalah prolina dan posisi Y adalah hidroksiprolina (Friess 1998).
Komposisi asam amino penyusun kolagen dan nanopartikel kolagen dapat dilihat pada Tabel 11. Kolagen maupun nanopartikel kolagen memiliki komposisi asam amino yang hampir sama dengan asam amino yang paling dominan adalah glisina (24,078% dan 23,029%) dan prolina (11,417% dan 10,964%), sementara asam amino yang terkandung dalam jumlah sedikit adalah tirosina (0,708% dan 0,786%) dan histidina (1,893% dan 1,796%) serta tidak mengandung asam amino sistina dan triptofan. Hal ini selaras dengan kandungan asam amino kolagen dari beberapa jenis kulit ikan, contoh: balloon fish (Diodon holocanthus) (Huang et al. 2011), ornate threadfin bream (Nemipterus hexodon) (Nalinanon et al. 2011),
striped catfish (Pangasianodon hypophthalmus) (Singh et al. 2011), dan largefin longbarbel catfish (Mystus macropterus) (Zhang et al. 2009). Kittiphattanabawon et al. (2010a) mengatakan bahwa glisina merupakan asam amino utama pembentuk kolagen yang meliputi 1/3 dari total asam amino. Friess (1998) menyatakan bahwa asam amino glisina terdapat pada setiap posisi ketiga susunan asam amino triple heliks kolagen (Gly-X-Y), sementara 35% dari asam amino penyusun triple heliks kolagen merupakan prolina dan hidroksiprolina. Nalinanon et al. (2011) mengatakan kolagen tipe I mengandung asam amino glisina, alanina, dan prolina dalam jumlah yang tinggi, sedangkan asam amino tirosina dan histidina hanya terdapat dalam jumlah yang sedikit serta tidak mengandung sistina dan triptofan.
Kolagen dan nanopartikel kolagen mengandung asam amino arginina yang cukup tinggi dengan nilai berturut-turut 12,026% dan 11,647%. Kandungan arginina yang tinggi pada ikan pari juga dilaporkan oleh Mardiah et al. (2012) yaitu mencapai 10,50% pada daging ikan pari (Himantura gerrardi).
Tabel 11 Komposisi asam amino kolagen dan nanopertikel kolagen
asam amino kolagen nanopartikel kolagen
Asam aspartat 3,753 ± 0,091 4,215 ± 0,116 Serina 3,595 ± 0,258 3,072 ± 0,080 Asam glutamat 8,203 ± 0,393 8,943 ± 0,153 Glisina 24,078 ± 0,134 23,029 ± 0,593 Histidina 1,893 ± 0,183 1,796 ± 0,014 Arginina 12,026 ± 0,211 11,647 ± 0,556 Treonina 3,843 ± 0,144 3,617 ± 0,133 Alanina 4,366 ± 0,247 4,595 ± 0,044 Prolina 11,417 ± 0,554 10,964 ± 0,090 Sistina 0,000 0,000 Tirosina 0,708 ± 0,088 0,786 ± 0,045 Valina 3,172 ± 0,083 2,863 ± 0,035 Metionina 3,249 ± 0,006 2,899 ± 0,134 Lisina 2,514 ± 0,226 2,497 ± 0,087 Isoleusina 1,973 ± 0,035 1,823 ± 0,016 Leusina 2,991 ± 0,080 2,790 ± 0,018 Fenilalanina 2,967 ± 0,223 3,074 ± 0,141 Triptofan 0,000 0,000
4.4.3 Analisis gugus fungsi dengan FTIR
Spektroskopi Fourier Transform Infrared (FTIR) merupakan teknik analisis spektroskopi yang memanfaatkan sinar infra merah sebagai sumber radiasi elektromagnetik yang menyebabkan terjadinya vibrasi molekul senyawa organik ketika menyerap sinar tersebut. Analisis FTIR banyak digunakan untuk mengkarakterisasi senyawa-senyawa organik dengan melihat gugus fungsi penyusunnya. Analisis FTIR yang dilakukan pada penelitian ini bertujuan untuk memastikan bahwa senyawa yang dihasilkan merupakan kolagen berdasarkan gugus-gugus fungsi penyusunnya.
Hasil pendeteksian gugus fungsi kolagen dan nanopartikel kolagen dengan teknik FTIR disajikan pada Gambar 11, sedangkan rangkuman karakteristik gugus fungsi kolagen dan nanopartikel kolagen hasil deteksi FTIR dilihat pada Tabel 12. Berdasarkan spektra FTIR baik kolagen maupun nanopartikel kolagen menunjukkan puncak-puncak serapan pada wilayah serapan amida yang meliputi amida A, amida I, amida II, dan amida III.
Amida A merupakan gugus khas kolagen dengan wilayah serapan pada bilangan gelombang ( ) = 3490–3430 cm-1 yang menunjukkan stretching NH (Coates 2000). Keberadaan amida A pada kolagen ditunjukkan dengan adanya serapan pada = 3431,91 cm-1 sedangkan pada nanopartikel kolagen pada serapan = 3431,41 cm-1. Spektra FTIR kolagen dan nanopartikel juga menunjukkan adanya serapan pada = 2928,27cm-1 dan = 2929,29 cm-1. Hal ini menunjukkan gugus fungsi amida B dengan wilayah serapan pada ( ) = 29352915 cm-1 yang terbentuk dari Methylene C-H asym./sym. stretching (Coates 2000).
Gugus fungsi khas kolagen berikutnya adalah amida I yang berada pada wilayah serapan = 16001690 cm-1 yang menunjukkan C=O streching (Kong dan Yu 2007). Gugus fungsi ini ditunjukkan dengan adanya serapan pada
= 1641,24 cm-1 pada spektra FTIR kolagen dan = 1643,72 cm-1 pada spektra FTIR nanopartikel kolagen.
Muyonga et al. (2004b) menyatakan bahwa amida I terdiri dari empat komponen struktur sekunder protein, yaitu -heliks, β-sheet, β-turn, dan random coil yang saling bertumpang tindih. Kong dan Yu (2007) mengungkapkan bahwa setiap komponen dari struktur sekunder protein memiliki wilayah serapan yang
berbeda. Komponen -heliks ditunjukkan pada wilayah serapan = 1654 dan 1658 cm-1; β-sheet pada = 1624 dan 1642 cm-1; β-turn pada = 1666, 1672, 1680, 1688 cm-1; dan random coil pada = 16482 cm-1.
(a)
(b)
Tabel 12 Karakteristik gugus fungsi kolagen dan nanopartikel kolagen hasil deteksi dengan FTIR
Amida Wilayah serapan (cm-1) puncak serapan (cm-1) Keterangan Referensi Kolagen Nanopartikel kolagen
Amida A 3490–3430 3431,91 3431,41 NH stretching Coates
(2000) Amida B 2935-2915/ 2865–2845 2928,27 2929,29 Methylene C-H asym./sym. stretching Coates (2000)
Amida I 1600-1690 1641,24 1643,72 C=O streching Kong dan
Yu (2007)
Amida II 1480-1575 1555,99 1500 CN sterching, NH
bending
Kong dan Yu (2007) Amida III 1229-1301 1240,49 1240,39 CN sterching, NH
bending
Kong dan Yu (2007)
Berdasarkan puncak serapan Amida I pada kolagen maupun nanopartikel kolagen ( = 1641,24 cm-1 dan = 1643,72 cm-1) menunjukkan bahwa kolagen maupun nanopartikel kolagen yang dihasilkan memiliki struktur β-sheet. Hal ini berarti bahwa kolagen yang dihasilkan dengan proses ekstraksi kulit dengan air pada suhu 40 C belum terdegradasi menjadi bentuk gelatin. Gómez-Guillén et al. (2011) menyatakan bahwa denaturasi kolagen akibat proses pemanasan menyebabkan rantai triple heliks kolagen secara sempurna bertransformasi menjadi rantai tunggal -heliks (gelatin). Muyonga et al. (2004a) menunjukkan bahwa spektra amida I dari gelatin yang dihasilkan dari kulit ikan Nile perch (Lates niloticus) dengan ekstraksi pada suhu 70 C terdapat pada wilayah serapan
= 1658 cm-1 yang berarti gelatin menunjukkan struktur -heliks. Hasil penelitian Martianingsih dan Atmaja (2009) menunjukkan bahwa spektra Amida I dari gelatin yang dihasilkan dari kulit ikan pari (Himantura gerrardi) dengan ekstraksi pada suhu 6070 C terdapat pada wilayah serapan = 1647,2; 1648,7; dan 1650 cm-1 yang berarti gelatin menunjukkan struktur -heliks dan random coil.
Amida II juga merupakan gugus fungsi khas kolagen yang berada pada wilayah serapan = 14801575 cm-1 yang menunjukkan CN sterching dan NH bending (Kong dan Yu 2007). Hasil spektra FTIR kolagen dan nanopartikel
kolagen menunjukkan keberadaan gugus ini dengan adanya serapan pada = 1555,99 cm-1 (kolagen) dan = 1500 cm-1 (nanopartikel kolagen).
Gugus fungsi khas kolagen terakhir adalah amida III yang ditunjukkan pada wilayah serapan 12291301 cm-1 yang menunjukkan CN sterching dan NH bending (Kong dan Yu 2007). Hal ini ditunjukkan pada serapan = 1240,49 cm-1 untuk kolagen dan = 1240,39 cm-1 untuk nanopartikel kolagen. Muyonga et al. (2004b) menyatakan bahwa intensitas amida III berkaitan dengan struktur triple heliks. Hal ini berarti bahwa kolagen yang dihasilkan dengan proses ekstraksi kulit dengan air pada suhu 40 C belum terdegradasi menjadi bentuk gelatin yang ditandai dengan masih terdapatnya struktur triple heliks.
Spektra infrared kolagen juga menunjukkan serapan pada bilangan gelombang 1163,89; 1081,19; 1032,21 cm-1 dan nanopartikel kolagen pada bilangan gelombang 1082,25 dan 1031,89 cm-1. Petibois et al. (2006) mengatakan serapan pada daerah bilangan gelombang tersebut menunjukkan vibrasi streching C-OH karbohidrat yang berikatan dengan protein kolagen. Hal ini menunjukkan bahwa kolagen dan nanopartikel kolagen mengandung karbohidrat. Friess (1998) mengatakan bahwa kolagen tipe I tergolong glikoprotein dengan kandungan karbohidrat tidak lebih dari 1%. Karbohidrat penyusun kolagen terdiri dari galaktosa tunggal dan disakarida (galaktosa dengan glukosa O-glycosidically).
4.4.4 Penentuan berat molekul dengan SDS‐PAGE
Sodium Dodecyl Sulfate Polyacrilamide Gel Electroforesis (SDS‐PAGE) merupakan salah satu metode PAGE yang umumnya digunakan untuk analisis campuran protein secara kualitatif. Prinsip analisis SDS-PAGE adalah pemisahan protein berdasarkan berat molekul. Metode ini menggunakan 2 macam gel, yaitu gel penahan (stacking gel) dan gel pemisah (resolving gel). Penambahan deterjen anionik, misalnya SDS (sodium dodesil sulfat), β-merkaptoetanol ke dalam gel tersebut dan pada proses pemanasan akan merusak struktur tiga dimensi protein. β-merkaptoetanol akan memecah ikatan disulfida dan mereduksinya menjadi gugus sulfihidril, sedangkan SDS akan bereaksi dengan protein membentuk kompleks bermuatan negatif sehingga protein akan bergerak dalam medan listrik hanya berdasarkan pada ukuran molekul. Protein berukuran kecil akan bergerak lebih cepat melintasi gel dibandingkan protein berukuran lebih besar sehingga
protein dengan berat molekul rendah memiliki jarak tempuh (Rf) yang lebih panjang dibandingkan protein dengan berat molekul tinggi (Rosenberg 1996).
Proses elektroforesis dilakukan pada voltase 220 volt dan arus 50 mA selama 2 jam. Pola elektroforesis SDS-PAGE dari marker, kolagen, dan nanopartikel kolagen ditunjukan pada Gambar 12. Berdasarkan pola elektroforesis terlihat bahwa baik kolagen maupun nanopartikel kolagen mengandung dua rantai α yaitu rantai α1 dan α2. Kolagen maupun nanopartikel kolagen juga mengandung komponen dengan berat molekul tinggi (high molecular weight) yang meliputi komponen β (α chain dimers) dan γ (α chain trimers). Keberadaan komponen β dan γ menunjukkan adanya ikatan silang (cross-linked) dalam molekul kolagen. Friess (1998) mengatakan bahwa kolagen tipe I dicirikan dengan adanya ikatan (α1(I))2α2(I) dan trimer (α 1(I))3. Hal ini berarti bahwa
kolagen maupun nanopartikel kolagen yang dihasilkan tergolong kolagen tipe I. Pola elektroporesis SDS-PAGE yang hampir sama juga ditunjukkan pada kolagen
dari kulit beberapa spesies ikan, misalnya unicorn leatherjacket (Aluterus monocerous), largefin longbarbel catfish (Mystus macropterus), striped catfish (Pangasianodon hypophthalmus), balloon fish (Diodon holocanthus) dan ornate threadfin bream (Nemipterus hexodon) (Ahmad dan Benjakul 2010; Zhang et al. 2009; Singh et al. 2011; Huang et al. 2011; Nalinanon et al. 2011).
Gambar 12 Pola elektroforesis SDS-PAGE dari: marker (M) kolagen (A) dan nanopartikel kolagen (B).
Berat molekul untuk masing-masing pita rantai yang terdeteksi pada kolagen maupun nanopartikel kolagen dihitung berdasarkan berat molekul dari marker spektra multicolor broad range protein ladder dari permentos (Lampiran
M A B 260 kDa 140 kDa 100 kDa 70 kDa 50 kDa γ β α1 α2
15). Berat molekul pita rantai α1, α2, β, dan γ dari kolagen dan nanopartikel kolagen ditunjukkan pada Tabel 13. Berat molekul rantai α1, α2 dan β dari kolagen dan nanopartikel kolagen hampir sama dengan berat molekul α1 (120 kDa), α2 (112 kDa) dan β (205 kDa) pada kolagen dari kulit bluefin tuna (Thunnus orientails) serta α1 (117,3 kDa) dan α2 (107,4 kDa) pada kolagen tipe I dari sisik ikan karper (Sung-Hee et al. 2011; Zhang et al. 2011).
Tabel 13 Berat molekul kolagen dan nanopartikel kolagen dari kulit ikan pari
Sampel Berat molekul (kDa)
α1 α2 β γ
Kolagen 132,35 113,72 207,33 294,31
Nanopartikel kolagen 125,70 108,17 187,58 279,94
Berdasarkan pola elektroforesis SDS-PAGE kolagen dan nanopartikel kolagen (Gambar 12) dapat dilihat bahwa baik kolagen maupun nanopartikel kolagen tidak mengandung komponen dengan berat molekul lebih rendah dari berat molekul α2. Hal ini menunjukkan bahwa kolagen yang dihasilkan dengan proses ekstraksi kulit dengan air pada suhu 40 C belum terdegradasi menjadi bentuk gelatin. Karim dan Bhat (2009) menyatakan bahwa gelatin mengandung campuran komponen dengan berat molekul berkisar dari 80250 kDa. Hasil penelitian Duan et al. (2011) menunjukkan bahwa gelatin dari kulit ikan mas (Cyprinus carpio) mengandung komponen dengan berat molekul berkisar dari 97205 kDa. Hasil penelitian Nur Azira et al. (2012) menunjukkan bahwa gelatin babi komersial mengandung komponen dengan berat molekul sebesar 58, 64, 70, 76, 83, 87, 96, 106, 114, 120, dan 125 kDa.
4.4.5 pH
Pengukuran pH dilakukan untuk menilai tingkat keasaman atau kebasaan suatu larutan. Nilai pH kolagen penting diketahui karena berkaitan erat dengan tingkat kelarutan kolagen (Tabarestani et al. 2012). Hasil pengukuran pH kolagen dan nanopartikel kolagen menunjukkan kedua bahan tersebut bersifat asam dengan nilai pH berturut turut 5,00 dan 4,93 (Tabel 14), namun nilainya masih
sedikit lebih tinggi dari pH kolagen beberapa merk kolagen untuk kosmetik yang dilaporkan Peng et al. (2004) yaitu berkisar antara 3,84,7.
Tabel 14 Sifat fisik kolagen dan nanopartikel kolagen
parameter Kolagen Nanopartikel kolagen
Titik leleh (oC) 165,88 156,63
Viskositas (cP) 292,33 110,00 Derajat putih (%) 72,48 60,03 pH 5,00 4,93
Perbedaan pH akhir kolagen tersebut dapat disebabkan perbedaan jenis dan konsentrasi asam atau basa yang digunakan selama perendaman. Proses asam cenderung menghasilkan nilai pH rendah dan sebaliknya proses basa akan cenderung menghasilkan nilai pH yang tinggi. Kombinasi proses asam dan basa cenderung menghasilkan pH mendekati netral (Zhou dan Regenstein 2005). Proses penetralan juga akan mempengaruhi pH akhir kolagen karena proses tersebut dapat mengurangi sisa-sisa asam maupun basa setelah perendaman. Proses penetralan yang baik menghasilkan pH akhir yang mendekati pH netral (Hinterwaldner 1977).
4.4.6 Viskositas
Viskositas atau kekentalan cairan menunjukkan ukuran ketahanan sebuah cairan terhadap perubahan bentuk ketika dikenai gaya. Viskositas juga dapat diartikan sebagai sifat cairan yang menentukan besarnya perlawanan terhadap gaya geser. Beberapa faktor yang mempengaruhi tingginya viskositas antara lain temperatur, gaya tarik antar molekul, dan jumlah molekul terlarut.
Pengukuran viskositas kolagen dilakukan untuk mengetahui tingkat kekentalan kolagen sebagai larutan pada konsentrasi dan suhu tertentu. Nilai viskositas kolagen maupun nanopartikel kolagen yang diukur menggunakan viskometer Brookfield LV pada konsentrasi 1% dan suhu 30 C berturut-turut adalah 292,33 cP dan 110,00 cP (Tabel 14). Nilai viskositas kolagen dan nanopartikel kolagen cukup tinggi dibandingkan nilai viskositas Pepsin Soluble Collagen (PSC) dari kulit ikan unicorn leatherjacket (Aluterus monocerous) yang berkisar antara 19,622,8 cP pada suhu sistem 4 C (Ahmad dan Benjakul 2010).
Menurut Zhang et al. (2010) suhu dan konsentrasi larutan akan mempengaruhi nilai viskositas larutan. Semakin tinggi suhu maka viskositas semakin rendah dan semakin tinggi konsentrasi larutan viskositas juga mengalami peningkatan pada suhu yang sama. Tabarestani et al. (2012) menyatakan bahwa suhu yang tinggi menyebabkan rusaknya ikatan hidrogen yang merupakan penstabil struktur kolagen sehingga struktur triple heliks kolagen mengalami perubahan menjadi bentuk coil. Viskositas yang tinggi juga berkaitan erat dengan tingginya proporsi rantai β dan γ sehingga menunjukkan pula tingginya berat molekul. Zhang et al. (2011) menyatakan viskositas yang tinggi berkaitan dengan tolakan elektrostatik yang kuat antara molekul kolagen dalam larutan. Viskositas yang tinggi dari kolagen maupun nanopartikel kolagen juga disebabkan pada saat analisis kolagen dilarutkan dalam air bukan asam. Menurut Ahmad dan Benjakul (2010), adanya asam pada larutan kolagen dapat mengganggu kestabilan dari struktur triple heliks kolagen.
4.4.7 Derajat putih
Warna kolagen merupakan salah satu karakter fisik yang menentukan kualitas dari kolagen sehingga perlu mendapat perhatian karena berkaitan dengan aplikasinya untuk keperluan berbagai industri. Kolagen berkualitas baik memiliki warna yang putih dengan derajat putih mendekati 100%. Kolagen dengan derajat putih yang tinggi tidak memberikan pengaruh terhadap warna produk akhir ketika diaplikasikan untuk keperluan industri.
Pengukuran derajat putih kolagen dan nanopartikel kolagen dilakukan dengan menggunakan Whiteness meter C-100. Hasil pengukuran menunjukkan nilai derajat putih nanopartikel kolagen lebih rendah dibandingkan derajat putih kolagen (Tabel 14), namun baik kolagen maupun nanopartikel kolagen memiliki derajat putih yang lebih rendah dibandingkan dengan derajat putih kolagen dari kulit ikan skate (Raja kenojei) yang mencapai 88,4% (Shon et al. 2011). Hal ini menunjukkan adanya perbedaan tingkat efektivitas pengeluaran pigmen dari kulit ikan selama proses perendaman asam atau basa. Perendaman kulit dalam larutan asam atau basa menyebabkan terjadinya pembengkakan kulit (swelling) sehingga pigmen dalam kulit ikan mudah terlepas (Jaswir et al. 2011). Gimenez et al.
(2005) menunjukkan bahwa tingkat swelling kulit selama perendaman dipengaruhi oleh jenis dan konsentrasi asam.
4.4.8 Analisis termal
Analisis termal digunakan untuk memahami sifat termodinamis material sehingga dapat diketahui sifat material dibawah pengaruh pemanasan atau pendinginan, dibawah atmosfer reduksi atau oksidasi dan dibawah tekanan gas. Analisis termal juga dapat digunakan untuk mengkarakterisasi material berdasarkan perubahan sifat fisik maupun kimia material sebagai fungsi suhu (Klancnik et al. 2010). Beberapa metode analisis termal yang sering digunakan dalam bidang farmasi dan industri makanan adalah Differential Thermal Analysis (DTA), Differential Scanning Calorimetry (DSC), dan Thermogravimetric Analysis (TGA). Analisis termal dengan metode DSC dilakukan dengan mengukur perbedaan aliran panas pada sampel dan standar (referensi). Teknik ini biasa digunakan untuk mengukur fase-fase transisi, yaitu transisi gelas (Tg), titik leleh (Tm), dan temperatur dekomposisi (Td) pada polimer.
Kurva termogram DSC dari pemanasan kolagen dan nanopartikel kolagen pada rentang suhu 20 C300 C dengan laju pemanasan 10 C/menit diperlihatkan pada Gambar 13. Berdasarkan kurva termogram DSC tersebut baik kolagen maupun nanopartikel kolagen memiliki pola gfafik DSC yang sama yaitu memiliki dua puncak eksotermis. Puncak eksotermis kolagen terjadi pada suhu 88,92 C dan 165,88 C, sedangkan untuk nanopartikel pada suhu 86,75 C dan 156,63 C. Hal ini selaras dengan hasil penelitian Martianingsih dan Atmaja (2009) dimana DSC gelatin dari
kulit ikan pari memiliki dua puncak eksotermis yang berkisar antara 44,83 C48,39 C untuk puncak eksotermis pertama dan 187,93 C188,71 C
untuk puncak eksotermis kedua. Puncak eksotermis pertama menunjukkan transisi gelasi dari kolagen akibat terputusnya ikatan hidrogen yang mengarah pada pembentukan polimer amorf yaitu gelatin. Karim dan Bhat (2009) mengatakan suhu transisi untuk gelatin dari ikan terjadi diatas suhu 40 C. Pemanasan dengan suhu diatas 40 C menyebabkan hancurnya ikatan hidrogen dan terpotongnya sejumlah ikatan kovalen yang menstabilkan struktur triple heliks menghasilkan konversi kolagen menjadi gelatin yang larut. Berdasarkan kurva
DSC, transisi gelasi kolagen terjadi pada suhu 82,49 C, sedangkan nanopartikel kolagen pada suhu 78,78 C.
(a)
(b)
Gambar 13 Kurva termogram DSC: kolagen (a) nanopartikel kolagen (b).
Puncak eksotermis kedua menunjukkan puncak melting bahan yang sangat jelas sehingga dapat dikatakan suhu transisi maksimum (Tmax) dari kolagen maupun nanopartikel kolagen terjadi pada puncak eksotermis kedua yaitu berturut-turut pada suhu 165,88 C dan 156,63 C. Nilai Tmax kolagen sedikit
lebih tinggi dibandingkan Tmax nanopartikel kolagen, namun baik kolagen maupun nanopartikel kolagen memiliki nilai Tmax yang jauh lebih tinggi dibandingkan Tmax kolagen dari beberapa spesies ikan dan mamalia(Tabel 15). Tingginya nilai Tmax disebabkan oleh perbedaan jenis pelarut kolagen yang digunakan pada pengujian DSC. Pada penelitian ini digunakan air sebagai media pelarut kolagen sementara pada umumnya asam asetat digunakan sebagai pelarut. Penelitian Singh et al. (2011) menunjukkan penggunaan air sebagai media pelarut pada pengujian DSC dari Acid Soluble Collagen (ASC) dan Pepsin Soluble Collagen (PSC) dari kulit ikan striped catfish memberikan nilai Tmax yang lebih tinggi dibandingkan ASC maupun PSC yang dilarutkan dalam asam asetat. Ahmad dan Benjakul (2010) mengatakan adanya asam asetat menyebabkan terputusnya ikatan hidrogen intramolekul yang merupakan penstabil struktur triple heliks dari kolagen. Hasil penelitian Samouillan et al. (2011) menunjukkan bentuk akhir kolagen juga mempengaruhi terhadap suhu denaturasi kolagen. Kolagen type I dari urat sapi dalam bentuk terliopilisasi menunjukkan Tmax yang lebih tinggi dibandingkan dalam bentuk hydrated kolagen dengan nilai berturut-turut 225 C dan 78,3 C.
Tabel 15 Nilai Tmax kolagen dari berbagai jenis ikan
Sumber kolagen Tmax (C) pustaka
ASC PSC Kulit ikan balloon
(Diodon holocanthus) 29,64 30,30
Huang et al. (2011)
Kulit ikan bigeye snapper
(Priacanthus macracanthus) 30,37 30,87
Jongjareonrak et al. (2005)
Tulang rawan ikan
brownbanded bamboo Shark (Chiloscyllium punctatum
)
36,73 35,98
Kittiphattanabawon et al. (2010b)
Tulang rawan ikan blacktip
shark (Carcharhinus limbatus) 36,28 34,56
Kittiphattanabawon et al. (2010b)
Kulit ikan ornate threadfin
bream (Nemipterus hexodon) 33,35
Nalinanon et al. (2011)
Kulit ikan striped catfish (Pangasianodon hypophthalmus)
39,3 39,6
Singh et al. (2011)
Kulit ikan largefin longbarbel
catfish (Mystus macropterus) 32,1 31,6
Zhang et al. (2009)
kulit babi 37 Nagai dan Suzuki (2000)
Kulit sapi
40,8 Komsa-Penkova et al. (1999)
msa-Penkova
Perbedaan stabilitas termal dari kolagen juga dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu komposisi dan susunan asam imino sebagai pembentuk struktur tersier kolagen (Ahmad dan Benjakul 2010), musim penangkapan dan tingginya komposisi ikatan α1 pada struktur kolagen (Duan et al. 2012), asal bahan baku (Karim dan Bhat 2009), serta keberadaan garam-garam mineral misalnya Cl-, SCN-, H2PO4-, HPO42-, SO42-, Li+, Na+, NH4+, dan Ca2+ (Komsa-Pencova et al. 1996).
4.4.9 Solubilitas
Solubilitas didefinisikan sebagai kemampuan suatu zat kimia tertentu (solute) untuk larut dalam suatu pelarut (solvent). Solubilitas kolagen dan nanopartikel kolagen diukur pada pH yang bervariasi yaitu dari pH 1-12 dengan tujuan untuk mengetahui kondisi pH optimun yang menghasilkan tingkat kelarutan kolagen atau nanopartikel kolagen yang paling baik. Solubilitas kolagen dan nanopartikel kolagen ditentukan dengan membandingkan konsentrasi protein terlarut dari kolagen atau nanopartikel terhadap total protein pada kolagen atau nanopartikel kolagen. Solubilitas yang dihasilkan pada pH tertentu dibandingkan terhadap solubilitas tertinggi untuk menentukan solubilitas relatif kolagen maupun nanopartikel kolagen.
Solubilitas relatif kolagen dan nanopartikel kolagen pada berbagai pH ditunjukkan pada Gambar 14. Berdasarkan Gambar 14 terlihat bahwa tingkat solubilitas kolagen cenderung bervariasi pada kondisi pH berbeda, sedangkan tingkat solubilitas nanopartikel kolagen cenderung stabil pada kondisi pH berbeda. Kolagen menunjukkan solubilitas tertinggi pada pH 7 dengan tingkat solubilitas sebesar 99,5%; sedangkan pada pH 6, 9, dan 10 solubilitas kolagen cukup rendah dengan tingkat solubilitas sekitar 60%. Solubilitas nanopartikel kolagen pada berbagai pH menunjukkan nilai rata-rata sebesar 80% dengan tingkat solubilitas tertinggi pada pH 3 (92,8%) dan solubilitas terendah pada pH 6 (64,3%). Hal ini menunjukkan bahwa pH optimum untuk melarutkan kolagen adalah pada pH 7, sedangkan untuk nanopartikel kolagen pada pH 3. Solubilitas terendah menunjukkan titik isoelektrik kolagen maupun nanopartikel kolagen. Titik isoelektrik kolagen berada pada pH 6, 9,dan 10; sedangkan nanopartikel kolagen pada pH 6.
0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 So lu b ili tas re latif pH
Gambar 14 Solubilitas pada berbagai pH: kolagen () nanopartikel kolagen (). Nilai pH optimum solubilitas kolagen dan nanopartikel kolagen serta pH minimum (titik isoelektrik) yang diperoleh berbeda dengan pH optimum dan pH minimum (titik isoelektrik) kolagen dari beberapa kulit ikan (Tabel 16). Menurut Kittiphattanabawon et al. (2005), perbedaan pH optimum dan minimum dari kelarutan kolagen berkaitan dengan perbedaan struktur molekuler dari setiap kolagen.
Tabel 16 pH optimum dan minimum solubilitas kolagen dari kulit ikan
Sumber kolagen pH
optimum
pH minimum (titik isoelektrik)
Sumber pustaka
Kulit ikan rainbow trout (Onchorhynchus mykiss)
1 9 Tabarestani et al.
(2012) Kulit ikan unicorn leatherjacket
(Aluterus monocerous)
2 8 Ahmad dan
Benjakul (2010) Kulit ikan balloon fish
(Diodon holocanthus)
1-5 7 Huang et al. (2011)
kulit ikan striped catfish
(Pangasianodo hypophthalmus)
2 5 Singh et al . (2011)
Variasi solubilitas kolagen pada berbagai pH disebabkan perbedaan titik isoelektrik (pI) dari kolagen (Jongjareonrak et al. 2005). Hal ini berkaitan dengan muatan protein kolagen yang berbeda pada titik isoelektrik. Kittiphattanabawon et al. (2005) mengatakan bahwa ketika nilai pH berada di atas dan di bawah pI, protein memiliki muatan positif atau negatif sehingga memiliki kemampuan berinteraksi dengan air yang lebih tinggi. Ahmad dan Benjakul (2010) mengungkapkan bahwa pada pH titik isoelektrik protein bermuatan nol sehingga
interaksi hidrofobik meningkat dan terjadi pengendapan protein terlarut pada pH titik isolektrik tersebut.
4.4.10 Analisis SEM
Scanning Electron Microscopy (SEM) merupakan jenis mikroskop elektron yang memanfaatkan berkas elektron untuk menerangi sampel sehingga menghasilkan gambar sampel. Sinar elektron yang dikenakan pada sampel akan memindai keseluruhan sampel. Sampel akan mengeluarkan elektron baru yang akan diterima oleh detektor dan dikirim ke monitor yang mengandung informasi mengenai topografi permukaan sampel.
Analisis SEM serbuk kolagen dan nanopartikel kolagen dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai struktur mikroskopik dari kedua sampel tersebut. Hasil analisis SEM kolagen dan nanopartikel kolagen disajikan pada Gambar 15. Struktur kolagen menunjukkan terbentuknya agregat yang terpisah, sedangkan nanopartikel kolagen menunjukkan struktur agregat yang lebih halus. Hal ini selaras dengan hasil penelitian yang dilaporkan Yang et al. (2008) bahwa struktur gelatin yang dihasilkan dengan pretreatment menggunakan 0,25 M dan 1,0 M NaOH cenderung membentuk agregat yang terpisah dibandingkan dengan struktur gelatin yang dihasilkan dengan pretreatment asam maupun air. Menurut Jaswir et al. (2011) larutan NaOH mungkin bertanggung jawab untuk memisahkan untaian dari batang-batang serat kolagen, sedangkan asam asetat tidak mempengaruhi terhadap perubahan struktur serat kolagen. Yoshimura et al. (2000) menyatakan bahwa basa menyerang bagian teleopeptida dari struktur kolagen.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 15 Struktur permukaan kolagen dan nanopartikel kolagen: kolagen perbesaran 20.000x (a); kolagen perbesaran 40.000x (b); nanopartikel kolagen perbesaran 20.000x (c); nanopartikel kolagen perbesaran 40.000x (d).