• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN AGAMA DAN SAINS DALAM KONTEKS PENDIDIKAN ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN AGAMA DAN SAINS DALAM KONTEKS PENDIDIKAN ISLAM"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN AGAMA DAN SAINS DALAM KONTEKS PENDIDIKAN ISLAM

Oleh :

Drs. Mujahidun, M.Pd.

(Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Magelang dan Mahasiswa Program Doktor Kependidikan Islam di Universitas Islam Negeri

Sunan Kalijaga Yogyakarta) (+62813 2870 1722)

Abstrak

Agama dan sains dalam konteks pendidikan khususnya pendidikan Islam merupakan tema sentral dan pokok meskipun bukan merupakan obyek atau subyek formal dalam pembahasan pendidikan Islam, namun keduanya sangat erat berkaitan dengan maksud dan tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri. Simptom dikotomik dalam dunia pendidikan Islam lebih dikarenakan pola pikir baik ilmuwan maupun agamawan belum bersedia membuka diri dan terjebak pada perilaku hegemoni dalam memaknai sebuah ilmu pengetahuan termasuk agama. Usaha yang dilakukan melalui pendekatan dialogis dan integratif telah membuka ruang pemisah dan konflik yang selama ini terjadi di antara agama dan sains. Dengan memposisikan kontrbusi masing-masing, maka agama dan sains dalam konteks pendidikan semakin mendapatkan tempat dan ruang untuk dilakukan hubungan yang lebih harmonis.

Kata kunci, Agama, Sains, dan Pendidikan Islam

A. Pendahuluan

Persoalan hubungan sains dan agama masih menjadi wacana menarik perhatian di kalangan intelektual. Akh. Minhaji (2004:ix) mengemukakan bahwa persoalan ini ditunjukkan dengan sikap ilmuwan dan agamawan ketika membicarakan soal sains tidak perlu membawa-bawa agama karena sains berada di luar kewenangan agama, begitu juga sebaliknya. Keduanya bersikukuh kuat dalam mempertahankan pendapat masing-masing. Agama dan sains menurut Abd. Rachman Assegaf (2010:10) merupakan dua entitas yang sulit dipertemukan. Keduanya mempunyai wilayah masing-masing, terpisah antara satu dengan lainnya, baik dari segi objek formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan maupun status teori masing-masing bahkan sampai ke institusi penyelenggaranya.

(2)

Amin Abdullah (2004:3) mengungkapkan dengan kata lain, bahwa ilmu tidak memperdulikan agama dan agama-pun tidak memperdulikan ilmu. Usaha untuk mencari hubungan keduanya telah dilakukan, namun dalam catatan sejarah perjumpaan agama dengan sains tidak hanya berupa pertentangan, melainkan posisi sains tidak mengarahkan agama kepada jalan yang dikehendakinya dan agama juga tidak memaksakan sains untuk tunduk pada kehendaknya. Haught (1995:2) menyinggung “banyak pemikir yang sangat yakin bahwa agama tidak akan pernah dapat didamaikan dengan sains. Lebih lanjut Haught (1995:2) menjelaskan bahwa apabila saudara seorang ilmuwan, sulitlah membayangkan bagaimana saudara secara jujur dapat serentak ”saleh-beriman”, setidak-tidaknya dalam pengertian percaya akan Tuhan. Alasan utama mereka bahwa agama jelas-jelas ”tidak dapat membuktikan” kebenaran ajaran-ajarannya dengan tegas, sedangkan sains apakah dapat membuktikan kebenaran temuannya.

Uraian di atas mendatangkan persoalan yakni bagaimana hubungan sains dan agama yang seharusnya? Apakah keduanya harus dipadukan atau dibiarkan berdiri sendiri ataukah juga tidak perlu dipersoalkan ada tidaknya hubungan keduanya? Persoalan tersebut semestinya menjadi perhatian pemikir dalam memperoleh jawaban baik dalam sudut pandang epistemologi maupun metodologinya. Dalam sudut pandang epistemologi, sasaran utamanya adalah bagaimana menemukan kebenaran dan tolok ukur apa yang digunakan serta bagaimana pembuktian kebenaran dari keduanya. Sedangkan dalam metodologinya, keduanya berusaha menemukan cara dan pendekatan dalam mengkaji hubungannya.

Istilah integrasi, dalam wacana sains dan agama, dalam artian generiknya sebagai upaya memadukan sains dan agama pernah diajukan oleh J.Sudarminta (Zaenal Abidin Bagis et.al. 2005:19) sebagai sebuah ”integrasi yang valid”, tetapi pada kesempatan lain mengkritik ”integrasi yang naif” [istilah yang digunakannya untuk menyebut kecenderungan pencocok-cocokan secara dangkal ayat-ayat kitab suci dengan temuan-temuan ilmiah]. Pertarungan antara sains dan agama seolah-olah tak pernah berhenti. Salah satu sebab katakan saja,

(3)

di satu pihak ada kelompok saintis (ilmuwan) yang tak pernah dianggap sebagai intelektual. Tetapi kerjanya yang berpijak pada dunia empiris secara nyata telah mengubah dunia seperti yang kita lihat sekarang ini. Sementara di sisi lain, para agamawan yang dikategori sebagai kelompok tradisional, mengklaim dan menyebut dirinya sebagai kaum yang berhak berbicara semua hal tentang kebenaran. Akibatnya sering terjadi konflik antara agama dan sains. Dalam pandangan Islam, kondisi semacam inilah yang dimungkinkan akan turut mempengaruhi proses dan tujuan dari pendidikan Islam.

Pendidikan Islam hadir dalam rangka membangun sinergi kualitas pribadi seseorang memiliki dua kemampuan sekaligus, yakni kemampuan penguasaan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu pengetahuan umum lainnya. Salah satu tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya insanul kamil yang oleh Saefuddin (1990:111-112) dirumuskan sebagai wajah monokotomis yang menumbuhkan integralisme sistem ilahiyah (ketuhanan) ke dalam sistem insaniyah (kemanusiaan) dan sistem kauniyah (kealaman) atau menurut Thalhah Hasan (1986:43-44) terbentuknya insanul kaffah yang memiliki tiga dimensi kehidupan, yaitu dimensi religius, budaya dan ilmiah. Dalam pandangan Islam (termasuk pendidikan Islam) ilmu agama dan ilmu umum tidak terpisah. Agama merupakan nilai-nilai pedoman bagi tingkah laku manusia sedangkan ilmu adalah hasil proses akal yang dicapai manusia berkat kemampuannya yang keduanya merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Dengan nilai-nilai agama, maka proses akal tidak akan terbiarkan menyusuri garis-garis menyesatkan oleh Abd. Rachman Assegaf (2010:10) dikatakan telah terjadi keterpaduan kata hati dan pengetahuan, satunya conscience dan science. Dalam sejarah pendidikan Islam pernah terlintas dikotomi antara ilmu agama dengan ilmu umum, mengapa hal ini terjadi? Argumentasi yang diajukan oleh Assegaf (2010:11-12) tentang menunculnya dikotomi ilmu dalam pendidikan Islam disebabkan oleh tiga hal yakni, pertama faktor perkembangan pembidangan ilmu sendiri yang bergerak demikian pesat sehingga membentuk berbagai cabang disiplin ilmu, bahkan anak cabangnya. Kedua, faktor historis perkembangan umat Islam, yakni ketika masa kemunduran Islam dan peran

(4)

dominasi fuqaha yang membedakan ilmu-ilmu agama tergolong fardlu „ain dan ilmu-ilmu umum termasuk fardlu kifayah. Akibat faktor ini, umat Islam tertinggal jauh dengan umat dan negara lain khususnya dalam bidang kemajuan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi. Ketiga, faktor internal kelembagaan pendidikan Islam yang kurang mampu melakukan upaya pembenahan dan pembaharuan yang disebabkan oleh kompleksitas problematika yang dihadapi oleh umat dan negara Islam yang mengakibatkan umat Islam terjebak dalam pemaknaan yang tidak utuh terhadap struktur ilmu. Pemikiran-pemikiran di atas menjadi dasar bahwa tulisan ini hendak mengetahui pola hubungan agama dan sains dan bagaimana pandangan pendidikan Islam berkaitan dengan hubungan keduanya.

B. Pembahasan

1. Pola Hubungan Agama dan Sains

Ada persoalan yang muncul dalam benak pikiran penulis, apakah agama itu bertentangan dengan sains atau sebaliknya? Jika tidak bertentangan, bagaimana mengintegrasikan keduanya? Sebagaimana disinggung di atas, bahwa pertentangan antara agama dan sains bukan merupakan wacana (isu) yang baru. Antara kelompok pemikir yang mempertentangkan dan kelompok yang mengintegrasikan, keduanya saling mengklaim bahwa pendapatnya yang paling benar dan berhak menentukan kehidupan. Namun yang jelas bahwa agama dan sains merupakan dua bagian penting dalam perjalanan sejarah kehidupan manusia. Kerinduan akan tersintesisnya agama dan sains pernah diurai Charles Percy Snow dalam Ceramahnya di Universitas Cambridge yang dibukukan dengan judul The Two Cultures yang menyorot kesenjangan antar budaya, yaitu antara kelompok agamawan yang mewakili budaya literer dan kelompok saintis yang mewakili budaya ilmiah (http://www.pikiran-rakyat.com, Senin, 28 Februari 2013). Kesenjangan itu muncul akibat pihak skepstis ilmuwan yang menuduh agamawan dalam menentukan kebenaran hanya bergantung pada asumsi-asumsi yang didasarkan pada keyakinan (imajinasi liar), sebaliknya,

(5)

kaum ilmuwan hanya semata-mata terbatas pada hasil fakta yang empiris saja. Selain itu, beberapa kritik menunjukkan bahwa hubungan sains dengan agama terlalu komplek dan terlalu bebas-konteks untuk dihimpun di bawah skema klasifikasi manapun. Ian Barbaour (2000:44) menjelaskan bahwa mereka mengklaim bahwa interaksi di antara keduanya sangatlah beragam di sepanjang periode sejarah yang berbeda dan disiplin ilmu yang berbeda untuk menunjukkan pola-pola umum manapun.

Pola hubungan agama dan sains sangat erat dengan corak masyakarat dan perkembangan zaman yang tengah terjadi. Meminjam istilah August Comte tentang tiga corak masyarakat, bahwa pada masyarakat primitif, perkembangan ilmu masih lamban. Segala kehidupan manusia bergantung sepenuhnya dengan benda-benda yang dimistiskan (dikendalikan oleh tuhan-tuhan), kemudian lambat laun berubah menjadi masyarakat metafisik yang mampu menangkap hal-hal yang abstrak kemudian akhirnya pada masyarakat ilmiah, manusia dapat menangkap hal-hal yang kausalistik (dapat dilihat berdasarkan fakta empiris). Selanjutnya perbedaan cara pandang dalam hal ini (antara agama dan sains) yang sangat menyolok juga terjadi antara masyarakat eklusifisme dan liberal. Menurut masyarakat eklusifisme, bahwa agama mendominasi segala kehidupan manusia termasuk dalam pemerolehan ilmu pengetahuan yang sepenuhnya adalah hak Tuhan, sedangkan pada masyarakat liberal memandang bahwa agama membuka ruang sebebas-bebasnya dalam mengkaji ilmu pengetahuan yang boleh jadi agama bisa tidak diterima apabila tidak sesuai dengan perkembangan zaman.

Yumi mengomentari tentang perkembangan selama ini, bahwa sains didominasi oleh aliran positivisme, sebuah aliran yang sangat menuhankan metode ilmiah dengan menempatkan asumsi-asumsi metafisis, aksiologis dan epistemologis. Penganut aliran ini, mengatakan bahwa sains mempunyai reputasi tinggi untuk menentukan kebenaran dan sains merupakan “dewa” dalam beragam tindakan [sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain]. Sedangkan menurut mereka, agama hanyalah merupakan hiasan belaka ketika tidak sesuai dengan sains, begitu kira-kira kata kaum positivisme.

(6)

Pertentangan hubungan antara agama dan sains sedemikian hebat dan kuat, mengisyaratkan agar diupayakan perpaduan keduanya meski tidak berarti dicampuradukkan, namun dapat menghasilkan perpaduan yang produktif dan kontributif baik dari agama maupun sains, yang apabila keduanya memang harus diyakini sebagai entitas yang terpisah dan berdiri sendiri. Dalam hal ini, Ian G. Barbour (2000:44) mendiskripsikan atau mengusulkan empat pola hubungan (agama dan sains) yaitu conflict, independence, dialogue, dan integration. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa hubungan konflik antara agama dan sains menunjukkan bahwa keduanya saling bermusuhan. Hubungan perpisahan berarti keduanya berjalan sendiri-sendiri. Hubungan perbincangan adalah hubungan yang saling terbuka dan menghormati, karena kedua belah pihak ingin memahami persamaan dan perbedaan mereka. Sedangkan hubungan perpaduan yaitu hubungan yang bertumpu pada keyakinan bahwa pada dasarnya kawasan telaah, rancangan penghampiran, dan tujuan ilmu dan agama adalah sama dan satu. Keempat hubungan tersebut pada realitasnya sangat mungkin terjadi dan bergantung dari tingkat pemahaman dan tujuan dari masing-masing hubungan yang ingin dicapai. Namun tampaknya Ian G. Barbour, lebih berpihak pada dua pandangan terakhir, dan khususnya integration -yakni integrasi teologis. Teori-teori ilmiah mutakhir dicari implikasi teologinya, lalu suatu teologi baru dibangun dengan memperhatikan teologi tradisonal sebagai salah satu sumbernya.

Pandangan yang mirip tetapi tak sama dengan Ian G. Barbour, yaitu John F. Haught (1995 :1) membagi pendekatan sains dan agama, menjadi pendekatan konflik, pendekatan kontras, pendekatan kontak, dan pendekatan konfirmasi. Keempat pandangan ini dapat dilihat sebagai semacam tipologi seperti yang dibuat Barbour, tetapi Haught juga melihatnya sebagai semacam perjalanan. Haught mengemukakan bahwa pendekatan konflik menunjukkan bahwa pada dasarnya agama dan sains tidak dapat dipadukan. Masing-masing berada pada posisi yang berbeda, sains menguji semua hipotesis dan semua teorinya berdasarkan pengalaman, sedangkan agama berdasarkan

(7)

keyakinan dan jika berpadu akan timbul konflik. Pendekatan kontras adalah suatu pernyataan bahwa tidak ada pertentangan yang sungguh-sungguh, karena agama dan sains memberi tanggapan terhadap masalah yang sangat berbeda. Kita tidak boleh menilai agama dengan tolok ukur sains, begitu juga sebaliknya. Pendekatan kontak berarti suatu pendekatan yang mengupayakan dialog, interaksi, dan kemungkinan adanya ”penyesuaian” antara sains dan agama, dan terutama mengupayakan cara-cara bagaimana sains ikut mempengaruhi pemahaman religius dan teologis. Agama dan sains tidak dikotomik dan juga tidak dangkal dalam peleburan. Melainkan berbeda secara logis dan linguistik. Adapun pendekatan konfirmasi adalah suatu perspektif yang lebih tenang, tetapi sangat penting, perspektif ini menyoroti cara-cara agama, pada tataran yang mendalam, mendukung dan menghidupkan segala kegiatan ilmiah. Pendekatan ini menyarankan agama dan sains agar saling mengukuhkan (Haught, 1995:2-8).

Selain Barbour dan Haught, dalam bidang psikologi, Jones (1997), menyebutkan tiga bentuk tradisional yang mengungkapkan hubungan antara ”psikologi” dan ”agama”. Hubungan itu selalu bersifat satu arah dengan posisi psikologi di atas agama artinya perkembangan baru dalam psikologi mempengaruhi agama, tetapi perkembangan pemikiran dalam agama sama sekali tidak mempengaruhi psikologi. Jones (Jalaluddin, 2005:136-143) selanjutnya mengusulkan tiga interaksi agama dan sains (dalam hal ini psikologi) yaitu pertama, interaksi kritis- evaluatif - menguji dan mengevaluasi teori-teori psikologi apakah teori-teori itu tidak bertentangan dengan keyakinan agama. Pada posisi ini, psikologi diletakkan di bawah telaah ”miskroskop” agama, dan bukan agama ditelaah psikologi. Kedua, interaksi konstruktif yaitu keyakinan dan pandangan keagamaan memberikan konstribusi yang positif untuk kemajuan sains. Pada posisi ini, agama membantu psikolog untuk melihat dunia dengan cara yang baru - membentuk persepsi baru tentang data dan teori. Ketiga, intertaksi dialogis dan dialektis yakni psikologi tidak mengarahkan agama kepada jalan yang dikehendakinya dan agama tidak memaksanakan psikologi untuk tunduk pada kehendaknya.

(8)

Terlepas dari gambaran beberapa pola hubungan agama dan sains sebagaimana diungkapkan oleh para tokoh di atas, tulisan ini tidak ingin mendukung ataupun menolak pendapat salah satu tokoh tersebut, melainkan ingin mendapatkan gambaran bagaimana implementasi pola hubungan tersebut jika dikaitkan dengan konteks pendidikan Islam. Pembahasan hubungan agama dan sains dalam konteks pendidikan Islam mempunyai tujuan agar dikotomi antara agama dan sains yang selama ini dirasakan dalam dunia pendidikan (antara pendidikan umum dan pendidikan agama) segera berakhir.

2. Hubungan Agama dan Sains dalam Konteks Pendidikan Islam

Dalam pandangan Islam sains dan agama memiliki dasar metafisik yang sama, dan tujuan pengetahuan yang diwahyukan maupun pengetahuan yang dupayakan adalah mengungkapkan ayat-ayat Tuhan dan sifat-sifat-Nya kepada umat manusia. Jadi, kita dapat mempertimbangkan kegiatan ilmiah sebagai bagian dari kewajiban agama, dengan catatan bahwa ia memiliki metodologi dan bahasanya sendiri. Para sarjana Muslim, menekankan bahwa motivasi di balik upaya pencarian ilmu-ilmu kealaman dan ilmu-ilmu matematis adalah upaya untuk mengetahui ayat-ayat Tuhan di alam semesta. Dalam pandangan mereka, tiap-tiap bidang ilmu ini menunjukkan satu dimensi ciptaan Tuhan, dan ilmu-ilmu tersebut memiliki kesatuan organis. Dengan demikian, para sarjana Muslim tidak memisahkan kajian tentang alam dari pandangan dunia mereka yang religius. Al-Qur’an, memperingatkan umat manusia bahwa kajian tentang alam hanya dapat membawa manusia dari penciptaan kepada Sang Pencipta, jika manusia memiliki modal iman kepada Tuhan, firman Allah : “Katakanlah, Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman” (QS. Yunus:101). Dengan dasar ayat ini, maka jika seorang ilmuwan mendekati alam dengan iman kepada Tuhan, imannya akan diperkuat oleh kegiatan dan temuan-temuan ilmiahnya. Jika

(9)

tidak demikian, maka kajian tentang alam tidak dengan sendirinya akan membawanya kepada Tuhan.

Di lain pihak, keyakinan religius dapat memberikan motivasi yang baik bagi kerja ilmiah. Hal ini telah dibuktikan dengan kemajuan perdaban Islam di abad pertengahan di mana muncul para pemikir Islam yang sungguh-sungguh menelaah tentang fenomena alam semisal Al Farabi, Ibnu Sina, dan lain-lain. Kemashuran para pemikir Islam ternyata tidak berlangsung lama dan akibat kemunduran peradaban Islam maka polemik dikotomi ilmu dalam dunia Islam kembali marak. Dikotomi ilmu dan agama semakin kuat dengan munculnya perbedaan teologi Islam yang melahirkan banyak aliran, faham, madzhab, isme-isme dalam memahami Islam itu sendiri. Friksi dan aliran ini lah kemudian menggejala dalam lembaga pendidikan Islam yang menyeret kepada pola pikir umat Islam yang cenderung fanatisme madzhab dan aliran teologi. Abd. Rachman Assegaf (2010:12)mengungkapkan adanya dikotomi dalam pendidikan Islam yakni dikotomisme antara urusan duniawi-ukhrawi, akal-wahyu, iman-ilmu, Allah-manusia dan alam, serta antara ilmu-ilmu agama dan umum. Dikotomi agama dan sains begitu lebar, sehingga seolah-olah ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi dipandang tidak menyebabkan ketakwaan dan kesalehan seseorang. Cara pandang yang mengakibatkan dikotomi tersebut harus dirubah dan digantikan dengan cara pandang yang universal atau holistik tentang makna Islam yang sejatinya.

Perubahan cara pandang tersebut, tidak bisa tidak harus melalui upaya pendidikan Islam yang menghasilkan paradigma keilmuan yang mampu menggabungkan dimensi-dimensi pendidikan Islam yang lazim dikenal dengan dimensi ilahiyah, dimensi insaniyah dan dimensi amaliyah. Ketiga dimensi tersebut menjadi dasar dalam perumusan dan penerapan pendidikan Islam sebagai bagian dari paradigma keilmuan pendidikan Islam. Untuk mewujudkan paradigma keilmuan pendidikan Islam perlu dirubah kerangka teori dan metodologi dalam pendidikan Islam. Metode pendidikan Islam yang selama terkenal dengan istilah metode bayani, burhani dan irfani hendaknya disatupadukan dalam proses epistemologi pendidikan Islam, yang oleh Amin

(10)

Abdullah (2007:33) ditempuh dengan jalan integrasi dan interkoneksi. Pendekatan integrasi-interkoneksi akan menggantikan pendekatan dikotomis-atomistik ke arah integratif- interkonektif sehingga membuka cara pandang hegemoni menuju universalistic. Sebuah tawaran pendekatan hubungan agama dan sains di atas menurut penulis tidak perlu ditawar lagi. Selanjutnya Amin Abdullah menjelaskan bahwa agar tidak terjebak dalam entitas tunggal ataupun isolated entities keilmuan, maka perlu dikembangkan kearah interconnected entities.

C. Kesimpulan

Hubungan agama dan sains yang tampaknya sering bertentangan atau dipertentangkan, justru menghasilkan berbagai hasil pemikiran baik dalam dataran konsep, teori, metodologi maupun pendekatan sehingga tidak dikhawatirkan hubungan keduanya semakin harmonis. Hubungan ini diupayakan melalui dialog, interaksi dan konfirmasi antara keduanya baik oleh ilmuwan maupun agamawan. Baik agama maupun sains, keduanya tidak saling memaksa, tunduk satu dengan yang lain akan tetapi saling membantu yakni agama harus membantu sains dengan memberikan perspektif ilahiyah yang ilmiah dan sains membantu agama untuk melihat kehidupan realitas yang berbasis empiris. Untuk mencapai itu semua, sains dan agama harus memiliki wajah yaitu intelektual-sosial dan spiritual-rasional. Dalam konteks pendidikan Islam, hubungan agama dan sains semakin tampak, disamping merupakan sasaran utama dalam dunia pendidikan Islam, juga menjadi tolok ukur tujuan dari pendidikan Islam yang mengarahkan terbentuknya insanul kamil atau insanul kaffah yang salah satu ciri-cirinya adanya keseimbangan antara iman dan ilmu. Dengan demikian, hubungan agama dan sains dalam konteks pendidikan Islam terbuka lebar dan bersifat dialogis-integratif sehingga akan senantiasa menghadirkan wacana-wacana baru bagi perkembangan pendidikan Islam itu sendiri.

(11)

D. Daftar Pustaka

Abdullah, M. Amin. 2007, Desain Pengembangan Akademik IAIN menuju UIN Sunan Kalijaga: Dari Pendekatan Dikotomis-Atomistis ke Arah Integratif-Interkonektif, dalam Abdullah, M. Amin dkk. Islamic Studies: Dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi (sebuah Antologi), (Yogyakarta: Suka Press,).

________, 2004, ”Etika Tauhidik Sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama [Dari Paradigma Positivistik-Sekjularistik ke Arah Teoantroposentrik-Integralistik]”, dalam M.Amin Abdullah, dkk., Integrasi Sains Islam Mempertemukan Epistemologi Islam dan Sains [Pilar Relegia dan SUKA Press], Yogyakarta.

Bagis, Zainal Abidin, et al, 2005, Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi, Mizan, Bandung.

Barbour, Ian G. 2000, When Science Meets Relegion: Enemies, Strangers, or Partuers?, terj. E.R. Muhammad, 2002, Juru Bicara Tuhan antara Sains dan Agama, Mizan, Bandung.

____________, 1971, Issue in Science and Religion, terj. Kardimin, dkk., 2006, Isu dalam Sains dan Agama (Yogyakarta, Pascasarjana UIN Suka).

Bunyamin, Asep, Saling Hormat Agama dan Sains, From: http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/ 2005/0105/14/ renungan_jumat.htm, akses, jam.10.00.

Haught, John F., 1995, Sccience and Religion: From Conflict to Conversation, Paulist Press, New York, Amerika, terj. Fransiskus Borgias, 2004, Perjumpaan Sains dan Agama, dari Konflik ke Dialog, Mizan, Bandung.

Minhaji, Akh., 2004, ”Transformasi IAIN Menuju UIN, Sebuah Pengantar, dalam M.Amin Abdullah, dkk., Integrasi Sains Islam Mempertemukan Epistemologi Islam dan Sains , Pilar Relegia dan SUKA Press, Yogyakarta

Muhammad Thalhah Hasan, 1986, Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan Zaman, (Jakarta, Bangun Prakarya, )

Nizar Ali dan Sumedi, 2010, Antologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta, Program Pascasarjana UIN Suka kerjasama dengan Idea Press,)

Rakhmat, Jalaluddin, 2005, Psikologi Agama, Sebuah Pengantar, Mizan, Cet. III, Bandung.

Saefuddin AM , 1990, Desekularisasi Pemikiran, Landasan Islamisasi, (Banddung, Mizan,).

(12)

Yumi, Resensi “Bertanding dan Bersanding”, Judul Buku : Psikologi Agama, Sebuah Pengantar, Penulis : Djalaluddin Rakhmat Penerbit, Mizan, From: http: //www. Penulislepas. com/more.php?id=213010M6

Referensi

Dokumen terkait

dari ketentuan pasal tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa peran Dinas Perhubungan (DLLAJR) dalam menertibkan aturan lalu lintas angkutan umum adalah suatu

Pemberian ransum dengan ekstrak daun murbei yang difermentasi dengan cairan rumen (0,06% dan 0,12%) mampu mengurangi pengaruh negatif senyawa DNJ dalam menghambat

sepenuhnya oleh PDAM. Oleh karena itu, penentuan alokasi sumber air baku disesuaikan dengan program pengembangan sumber air baku PDAM. Berdasarkan data dari PDAM Tirta

Pemberian edukasi gizi kepada pasien dan keluarga pasien mengenai diet yang diberikan (jenis diet, tujuan diet, syarat diet, makanan dianjurkan dan makanan tidak

Berdasarkan hasil optimasi uji pada coating AgES yaitu diperoleh nilai kelipatan IgG 1,2-1,5 kali lipat dari nilai absorbnsi sampel negatif, maka dilakukan

Bahwa dengan adanya tindakan melanggar Undang-Undang yang telah dijelaskan diatas oleh pihak tergugat dan melakukan penarikan tanpa adanya pemberitahuan kepada penggugat

Upaya masyarakat desa Argosari dalam mengembangkan taman agrowisata B29 melalui kewirausahaan sosial dapat dikatakan berhasil karena wisata B29 mampu berkembang

Metode pengumpulan data yang dilakukan yaitu wawancara (terstruktur), observasi dan dokumentasi.Sedangkan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah reduksi,