• Tidak ada hasil yang ditemukan

Monograf Peran POS dan OC dalam Model Kinerja SDIDTK 2020

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Monograf Peran POS dan OC dalam Model Kinerja SDIDTK 2020"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

iii Sunarto, Suparji. Monograf. Editor: Heru SWN

ONOGRAF

Peran Perceived Organizational Support dan

Organizational Commitment dalam Model

Kinerja SDIDTK

Cetakan : 2020

Penulis:

Sunarto

Suparji

Editor :

Heru Santoso Wahito Nugroho

Penerbit :

Prodi Kebidanan Magetan Poltekkes Kemenkes Surabaya

M

(4)

iv Sunarto, Suparji. Monograf. Editor: Heru SWN

MONOGRAF

Peran Perceived Organizational Support dan

Organizational Commitment dalam Model

Kinerja SDIDTK

Cetakan :2020

Penulis : Sunarto Suparji

Cetakan Pertama : Mei 2020

Editor : Heru Santoso Wahito Nugroho Tata Letak : Sunarto

Tata Muka : Tim Prodi Kebidanan Magetan Diterbitkan Oleh : Prodi Kebidanan Magetan

Poltekkes Kemenkes Surabaya

Jl. Jend S Parman No.1 Magetan 63313 Telp.0351-895216; Fax.0351-891565 Magetan Email : prodikebidananmagetan@yahoo.co.id

ISBN : 978-623-92343-7-9

 Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002. Dilarang memperbanyak/menyebarluaskan dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit Prodi Kebidanan Magetan Poltekkes Kemenkes Surabaya

(5)

v Sunarto, Suparji. Monograf. Editor: Heru SWN

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, dengan memuji kebesaran Allah SWT, dan atas

kehendak-Nya pula akhirnya monograf Perceived Organizational Support dan

Organizational Commitment dalam kegiatan SDIDTK di PAUD/TK bisa diterbitkan. Buku monograf ini sebagai tambahan bacaan disamping buku-buku sejenis yang telah terbit. Buku ini disusun berdasarkan hasil penelitian dengan topik serupa yang dilakukan penulis tahun 2016.

Buku monograf ini berisi tujuh bab, dimulai dari bab satu berisi persepsi dukungan organsiasional, bab dua berisi komitmen organisasional, bab tiga berisi tentang persepsi, bab empat berisi stimulasi deteksi intervensi dini tumbuh kembang anak, bab lima berisi antesenden persepsi dukungan organsiasional pada kegiatan SDIDTK, bab enam berisi hasil-hasil penelitian pengaruh persepsi dukungan organisasional dan komitmen organisasional dalam kegiatan SDIDTK dan bab tujuh kesimpulan dan saran.

Hasil penelitian membuktikan bahwa dukungan organisasional berupa supervisor (pengawasan dari atasan), kondisi kerja dan penghargaan yang diberikan organisasi bepengaruh posistif terhadap kinerja guru PAUD/TK dalam penyelenggaraan program SDIDTK di kelompok anak usia dini atau balita serta anak pra sekolah. Kedua Komitmen organisasional yang berupa

affective commitment, continuance commitment, normative commitment, berpengaruh posistif terhadap kinerja guru PAUD/TK dalam penyelenggaraan program SDIDTK di kelompok anak usia dini atau balita serta anak pra sekolah. Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian tersebut dapat disarankan dalam pembinaan suatu organisasi sangat diperlukan dukungan terhadap pegawai yang berupa supervisor/pengawasan atasan langsung, kondisi kerja dan penghargaan dari organisasi. Dukungan supervisor berupa pengawasan melekat dan pemberian kesempatan untuk meningkatkan kompetensi berupa penilaian kinerja, pembinaan kinerja, pelatihan dan workshop. Untuk meningkatkan komitmen pengelola PAUD termasuk guru/pendidik diperlukan kondisi kerja yang nyaman, jauh dari ketegangan bahkan stres, dengan meningkatkan hubungan kerja antara pengelola dengan guru/pendidik.

(6)

vi Sunarto, Suparji. Monograf. Editor: Heru SWN

Selain dukungan organisasional untuk mencapai kinerja organisasi diharapkan perlu ditingkatkan komitmen suatu organisasi yang berupa

affective commitment, continuance commitment, normative commitment,

sehingga dapat dicapai kegiatan SDIDTK yang dilaksanakan di organisasi PAUD/TK tersebut bisa terlaksana secara maksimal

Kami berharap kepada para pembaca pada umumnya dan para mahasiswa pada khususnya, bisa lebih memahami pentingnya pengaruh persepsi organisasi dan komitmen organisasi dalam kegiatan SDIDTK di tingkat pelayanan baik di keluarga/masyarakat atau pelayanan kesehatan. Kami yakin monograf serupa sudah banyak diterbitkan oleh penulis yang lain, harapan penulis buku monograf ini dapat digunakan sebagai sumber referensi tambahan untuk mempelajari pengaruh persepsi dukungan organsiasional dan komitmen organisasional dalam kegiatan SDIDTK utamanya di PAUD/TK.

Semoga dengan bimbingan Allah SWT, buku Monograf ini dapat bermanfaat untuk perkembangan ilmu Manajemen Kesehatan dan dapat digunakan sebagai referensi dalam mendukung tercapinya keberhasilan cakupan kegiatan SDIDTK pada Balita dan Anak Prasekolah. Jazahumullahu Khairan.

Magetan, Mei 2020 Penyusun

(7)

vii Sunarto, Suparji. Monograf. Editor: Heru SWN

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul ii

Kata Pengantar v

Daftar Isi vii

Daftar Tabel ix

Daftar Gambar x

BAB 1 Perceived Organizational Support (Persepsi Dukungan

Organisasional) 1

1.1 Definisi Persepsi Dukungan Organisasional 1

1.2 Manfaat Persepsi Dukungan Organisasional 2

1.3 Dimensi Persepsi Dukungan Organisasional 3

1.4 Pengukuran Persepsi Dukungan Organisasional 4

1.5 Dampak Persepsi Dukungan Organisasional 4

BAB 2 Persepsi (Perceived) 7

2.1 Definisi Persepsi 7

2.2 Faktor yang Mempengaruhi Persepsi 8

2.3 Pengelompokan Persepsi 13

2.4 Kesalahan Persepsi 14

2.5 Memperbaiki Persepsi 17

BAB 3 Organizational Commitment (Komitmen Organisasional) 21

3.1 Definisi Komitmen Organisasional 21

3.2 Konsep Komitmen 21

3.3 Variabel Komitmen Individu 23

3.4 Perspektif Sikap dan Perilaku dalam Komitmen Organisasional

25

3.5 Tiga Kerangka Komponen Komitmen Organsasional 26

BAB 4 Stimulasi Deteksi Intervensi Dini Tumbuh Kembang

(SDIDTK) 31

4.1 Stimulasi Tumbuh Kembang Balita dan Anak

Prasekolah 31

4.2 Deteksi Dini Tumbuh Kembang 32

4.3 Intervensi dan Rujukan Dini Penyimpangan Tumbuh Kembang Anak

34

4.4 Pencatatan, Pelaporan, Monitoring dan Evaluasi 37

4.5 Indikator Keberhasilan SDIDTK 37

4.6 Kerangka Konsep Pembinaan Tumbuh Kembang 38

BAB 5 Antesenden Perceived Organizational Support pada

Kegiatan SDIDTK

(8)

viii Sunarto, Suparji. Monograf. Editor: Heru SWN

5.1 PAUD/TK Sebagai Organsiasi 39

5.2 Perceived Organizatonal Support dalam Kegiatan

SDIDTK di PAUD/TK 43

5.3 Antesenden Perceived Organizational Support 46

5.4 Konsekuensi Perceived Organizational Support 48

BAB 6 Hasil Penelitian Perceived Organizational Support dan

Organizational Commitment pada Kegiatan SDIDTK di PAUD/TK

51

6.1 Metode Penelitian 51

6.2 Hasil Penelitian 54

6.3 Pengaruh Perceived Organizational Support

terhadap Kinerja Guru/Pendidik dalam Pelaksanaan SDIDTK di PAUD/TK

57

6.4 Pengaruh Organizational Commitment terhadap

Kinerja Guru/Pendidik dalam Pelaksanaan SDIDTK di PAUD/TK

60

BAB 7 Kesimpulan dan Saran 63

7.1 Kesimpulan 63

7.2 Saran 63

(9)

ix Sunarto, Suparji. Monograf. Editor: Heru SWN

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Perbedaan Ketiga Komponen Komitmen

Organsiasional

30

Tabel 4.1 Kelompok Umur Stimulasi Anak 32

Tabel 4.2 Jadwal Kegiatan Deteksi Dini Tumbuh Kembang Anak 33

Tabel 4.3 Pelaksanaan dan Alat Deteksi Dini Penyimpangan

Pertumbuhan Anak

34

Tabel 4.4 Pelaksanaan dan Alat Deteksi Dini Penyimpangan

Perkembangan Anak

34

Tabel 4.5 Indikator Keberhasilan SDIDTK Tingkat Puskesmas 37

Tabel 6.1 Gambaran Data Tingkat Pendidikan Guru PAUD/TK 54

Tabel 6.2 Gambaran Data Status Kepegawaian Guru PAUD/TK 54

Tabel 6.3 Distribusi Data Tingkat Dukungan Organisasi 55

Tabel 6.4 Distribusi Data Tingkat Komitmen Organisasi 55

(10)

x Sunarto, Suparji. Monograf. Editor: Heru SWN

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Faktor Pengaruh Persepsi 9

Gambar 2.2 Proses Pembentukan Sikap dan Perilaku dari Hasil Persepsi Stimulus

12

Gambar 2.3 Pembentukan Persepsi dan Pengaruhnya 13

Gambar 2.4 Proses Organisasi Persepsi 14

Gambar 2.5 Teori Atribusi 19

Gambar 3.1 Perspektif Sikap dan Perilaku pada Komitmen Organisasional

26

Gambar 3.2 Model Komponen Komitmen Organisasional 27

Gambar 4.1 Bagan Alur Rujukan Dini Penyimpangan Perkembangan Anak

36

Gambar 4.2 Kerangka Konseptual Pembinaan SDIDTK 38

Gambar 5.1 Stuktur Organisasi PAUD 42

Gambar 5.2 Hubungan Antesenden Perceived Organizational

Support dengan Konsekuensi Perceived Organizational Support

50

Gambar 6.1 Rancangan Penelitian 51

(11)

1 Sunarto, Suparji. Monograf. Editor: Heru Santoso WN

BAB

1

(

Persepsi Dukungan Organisasional)

1.1 Definisi Persepsi Dukungan Organisasional (Perceived Organizational

Support)

Perceived organizational support didefinisikan sebagai perasaan umum dari pegawai tentang sejauh mana organisasi menghargai kontribusi mereka

dan peduli terhadap kesejahteraan mereka.Treatment yang dilakukan

organsiasi dijadikan sebagai stimulus yang ditangkap oleh karyawan dan diinterprestasikan menjadi persepsi atas dukungan organsiasi tersebut.

Perceived organizational support telah dibuktikan berpengaruh positif

terhadap kinerja pegawai dan kesejahteraan pegawai (Eisenberger et al., 1986;

Rhoades and Eisenberger, 2002).

Perceived organizational support adalah persepsi karyawan terhadap organisasi yang menyatakan bahwa organisasi menghargai kontribusi mereka dan peduli tentang kesejahteraan mereka (Neves&Eisenberger, 2014). Ketika karyawan memegang persepsi bahwa pekerjaan mereka dihargai dan dipedulikan oleh organisasi akan mendorong karyawan untuk menyatukan keanggotaan sebagai anggota organisasi ke dalam identitas diri mereka.

Menurut Eisenberger, Huntington, Hutchison, & Sowa, (1986), Perceived

organizational support adalah keyakinan karyawan terhadap organisasi tempat kerjanya yang dapat mendorong persepsi karyawan mengenai sejauh mana organisasi menghargai kontribusi kinerja karyawan dan peduli terhadap kesejahteraan dirinya.

Berdasarkan paparan dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan

bahwa persepsi dukungan organisasi (perceived organizational support)

merupakan persepsi karyawan yang ditandai dengan sikap positif karyawan mengenai sejauh mana organisasi menghargai kontribusinya dan mempedulikan kesejahteraan karyawan. Semakin tinggi kepedulian organisasi terhadap kinerja karyawan maka semakin tinggi pula persepsi positif karyawan terhadap organsiasinya. Semakin baik organsiasi memberikan kesejahteraan kepada karyawan maka kinerja karyawan juga semakin meningkat.

(12)

2 Sunarto, Suparji. Monograf. Editor: Heru SWN

1.2 Manfaat Persepsi Dukungan Organisasional (Perceived Organizational

Support)

Pada dasarnya, dukungan organisasi yang diberikan kepada karyawan menunjukkan komitmen organisasi kepada karyawan. Dukungan tersebut dibalas oleh karyawan dalam bentuk meningkatkan kinerjanya ketika melakukan pekerjaan. Dukungan organisasi yang berupa pemberian kompensasi, promosi, pelatihan, keamanan dalam bekerja akan dipersepsikan karyawan sebagai tanda kepedulian organisasi terhadap kesejahteraan karyawan. Dengan demikian, karyawan membalas dukungan organisasi dalam bentuk kepercayaan dan mengembangkan perilaku positif terhadap organisasi. Jika karyawan memiliki persepsi bahwa organisasi benar-benar memperhatikan kesejahteraan karyawan dan memiliki keinginan untuk

berbagi advantage maka akan muncul kepercayaan karyawan terhadap

organisasi. Karyawan juga akan meningkatkan kinerja dengan bekerja keras karena karyawan mengharapkan organisasi untuk sukses. Persepsi dukungan organisasi pada saat kejadian krisis dapat bermanfaat dalam hal mengembangkan serta meningkatkan hasil kerja perorangan ataupun hasil kerja organisasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Rhoades, Eisenberger & Armeli,(2001) pada sejumlah sampel karyawan dari berbagai organisasi ditemukan bahwa karyawan yang merasa dirinya mendapatkan dukungan dari organisasi akan memiliki rasa kebermaknaan dalam diri karyawan tersebut. Rasa kebermaknaan ini akan meningkatkan komitmen pada diri karyawan. Komitmen inilah yang pada akhirnya akan mendorong karyawan untuk berusaha membantu organisasi mencapai tujuannya. Karyawan akan meyakini sepenuhnya apabila performa kerjanya meningkat pasti akan diperhatikan dan dihargai oleh organisasi.

Singh, Singh, Kumar, & Gupta, (2015) mengungkapkan persepsi terhadap dukungan organisasi juga dianggap sebagai sebuah keyakinan global yang di bentuk oleh tiap karyawan mengenai penilaian mereka terhadap kebijakan dan prosedur organisasi. Persepsi karyawan ini di bentuk berdasarkan pengalaman mereka terhadap kebijakan dan prosedur organisasi, penerimaan sumber daya, interaksi dengan atasan langsungnya atau supervisor dan kepedulian organisasi terhadap kesejahteraan mereka.

Bagi karyawan, organisasi merupakan sumber penting bagi kebutuhan

sosio-emosional mereka seperti respect (penghargaan), caring (kepedulian),

dan tangible benefit seperti gaji, bonus, insentif dan tunjangan lainnya.

(13)

3 Sunarto, Suparji. Monograf. Editor: Heru SWN

karyawan akan approval (persetujuan),esteem (penghargaan) dan affiliation

(keanggotaan). Penilaian positif dari organisasi juga meningkatkan kepercayaan bahwa peningkatan usaha dalam bekerja akan dihargai. Oleh karena itu karyawan akan memberikan perhatian yang lebih atas penghargaan yang mereka terima dari atasan merek. Masih menurut (Singh et al., 2015) walaupun organisasi menghargai kontribusi dan peduli terhadap kesejahteraan karyawan, namun penelitian menunjukkan bahwa para karyawan menggabungkan dukungan nyata yang ditunjukkan oleh organisasi dengan persepsi individual mereka. Para karyawan yakin bahwa organisasi mempunyai orientasi positif atau negatif terhadap mereka yang pada akhirnya akan berpengaruh pada penghargaan terhadap kontribusi dan kesejahteraan karyawan tersebut.

1.3 Dimensi Persepsi Dukungan Organisasional (Perceived Organizational

Suppor Dimmention)

Menurut (Rhoades & Eisenberger, 2002) persepsi dukungan organisasional terdiri dari beberapa dimensi yang berasal dari persepsi karyawan terhadap organisasi, yaitu:

1. Keadilan

Keadilan procedural meliputi bagaimana menentukan strategi untuk

mendistribusikan sumber daya diantara karyawan (Rhoades & Eisenberger, 2002).

2. Dukungan Atasan

Dukungan atasan sangat mempengaruhi kontribusi karyawan. Karena jika atasan memberikan arahan dan melakukan penilaian kinerja bawahan, maka karyawan akan memiliki pesepsi bahwa atasan memberikan dukungan organisai.

3. Penghargaan Organisasi dan Kondisi Pekerjaan

Bentuk dari penghargaan organisasi dan kondisi pekerjaan ini adalah sebagai berikut:

a) Gaji, pengakuan, dan promosi. Hal tersebut dapat meningkatkan

persepsi dukungan organisasi yang dirasakan karyawan sehingga dapat meningkatkan kontribusi karyawan.

b) Keamanan dalam bekerja. Salah satu cara untuk memperkuat persepsi

organisasi yaitu dengan adanya kejelasan masa depan karyawan di organisasi tersebut.

c) Kemandirian. Cara meningkatkan persepsi dukungan organisasional

yaitu organisasi memberikan kepercayaan kepada karyawan untuk melakukan kemandirian dalam melaksanakan pekerjaan.

(14)

4 Sunarto, Suparji. Monograf. Editor: Heru SWN

d) Peran stressor. Stress berhubungan negatif dengan persepsi dukungan

organisasi. Stress mengacu pada ketidakmampuan setiap individu

dalam mengatasi tuntutan dari lingkungan.

e) Pelatihan. Pelatihan yang dilakukan pada setiap organisasi merupakan

bekal karyawan dalam bekerja yang akhirnya dapat meningkatkan persepsi dukungan organisasi.

1.4 Pengukuran Persepsi Dukungan Organisasional (Perceived Organizational

Support)

Pengukuran persepsi dukungan organisasi (perceived organization

support) menggunakan kuesioner menurut (Eisenberger et al., 1986) ada 36 item pernyataan yang mengacu pada faktor-faktor survei persepsi dukungan

organisasional (SPOS). Variabel persepsi dukungan organisasional (perceived

organizational support) diukur melalui beberapa indikator, yaitu:

1. Penghargaan

Penghargaan yang diberikan organisasi terhadap usaha yang telah dilakukan karyawan berupa: perhatian pimpinan, gaji, bonus, promosi, cuti, akses informasi dan bentuk lainnya yang dibutuhkan untuk meningkatkan kinerja pegawai secara maksimal.

2. Pengembangan

Pengembangan merupakan suatu penghargaan yang diberikan kepada karyawan berupa kesempatan promosi, pengembangan kompetensi, peningkatan pendidikan, pelatihan dan pertemuan-pertemuan ilmiah lainnya.

3. Kondisi kerja

Kondisi kerja merupakan keadaan mengenai lingkungan kerja yang memberikan kenyamanan karyawan untuk bekerja seperti; meubeler, peralatan mesin perkantoran, ruang kerja yang nyaman, AC, kecukupan ATK dan semisalnya.

4. Peduli dengan kesejahteraan karyawan

Perhatian dengan kesejahteraan karyawan, mendengarkan masukan atau keluhan karyawan serta tertarik dengan pekerjaan yang karyawan lakukan merupakan kepedulian yang ditunjukkan oleh organisasi untuk karyawan.

1.5 Dampak Persepsi Dukungan Organisasional (Perceived Organizational

Support)

Menurut (Rhoades & Eisenberger, 2002) persepsi dukungan organisasi

(15)

5 Sunarto, Suparji. Monograf. Editor: Heru SWN

1. Komitmen organisasi.

Atas dasar norma timbal balik, persepsi dukungan organisasi akan menciptakan kewajiban untuk memperhatikan kesejahteraan organisasi. Kewajiban tersebut akan meningkatkan komitmen afektif karyawan terhadap organisasi. (Rhoades & Eisenberger, 2002).

2. Efek terkait pekerjaan

Persepsi dukungan organisasi mempengaruhi reaksi afektif karyawan terhadap pekerjaannya, termasuk kepuasan kerja dan suasana hati yang positif. Kepuasan kerja mengacu pada sikap keseluruhan karyawan terhadap pekerjaannya. Persepsi dukungan organisasi berkontribusi terhadap kepuasan kerja dengan meningkatkan harapan penghargaan atas kinerja, dan memperlihatkan ketersediaan bantuan bila dibutuhkan. Suasana hati positif berbeda dengan kepuasan kerja karena melibatkan keadaan emosi seseorang tanpa objek tertentu. Persepsi dukungan organisasi dapat berkontribusi terhadap perasaan hati, kompetensi dan kelayakan karyawan sehingga meningkatkan suasana hati yang positif (Rhoades & Eisenberger, 2002).

3. Job Involvment (Keterlibatan Kerja)

Keterlibatan kerja mengarah pada identifikasi dan minat pekerjaan tertentu yang seseorang lakukan. Kompetensi yang dirasakan karyawan berhubungan dengan minat. Dengan memaksimalkan kompetensi karyawan, persepsi dukungan organisasi dapat meningkatkan minat karyawan dalam pekerjaan mereka (Rhoades & Eisenberger, 2002).

4. Kinerja

Persepsi dukungan organisasi dapat meningkatkan standar kinerja karyawan dengan tindakan yang melampaui tanggung jawab yang sudah ditentukan sehingga dapat memberi keuntungan organisasi. Tindakan tersebut berupa saling membantu sesama teman kerja, melakukan tindakan yang dapat melindungi organisasi dari berbagai resiko, berbagi ilmu dan ketrampilan yang memiliki manfaat bagi organisasi. (Rhoades & Eisenberger, 2002).

5. Strain

POS diharapkan dapat mengurangi reaksi psikologis dan psikosomatis yang tidak disukai (mis.,strain) untuk stresor dengan menunjukkan ketersediaan bantuan materi dan dukungan emosional ketika dibutuhkan untuk menghadapi tuntutan tinggi di tempat kerja.

(16)

6 Sunarto, Suparji. Monograf. Editor: Heru SWN

6. Keinginan Untuk Tetap

Telah dilaporkan dalam berbagai studi terdapat hubungan antara POS dan keinginan karyawan untuk tetap bekerja di organisasinya. Diperkirakan kecenderungan pekerja untuk meninggalkan organisasi jika ditawarkan sedikit gaji yang lebih tinggi, kebebasan atau status yang lebih profesional, atau rekan kerja yang lebih bersahabat. Keinginan untuk tetap harus dibedakan dari persepsi tidak nyaman terperangkap dalam suatu organisasi karena dari tingginya biaya meninggalkan (mis., komitmen kelanjutan).

7. Niat Turnover

Teori pertukaran sosial dan teori dukungan organisasi menyatakan bahwa turnover terjadi apabila karyawan yang menerima dukungan tingkat tinggi dari organisasi yang cenderung membayar lebih dari organisasi lain. Sebagian literatur berpendapat bahwa karyawan yang menerima lebih banyak dukungan sebagai bagian dari janji upah yang melebih standar yang ditawarkan oleh organisasi akan memiliki lebih sedikit keinginan untuk meninggalkan organisasi.

8. Perilaku Penarikan

Perilaku penarikan mengacu pada berkurangnya partisipasi aktif dalam organisasi. Hubungan POS dengan niat perilaku untuk pergi (mis., Niat berpindah) telah dinilai untuk memahami perilaku penarikan diri seperti keterlambatan, ketidakhadiran, dan penurunan omset secara sukarela. Retensi keanggotaan organisasi, kehadiran tinggi, dan ketepatan waktu memberikan cara yang dapat diidentifikasi secara publik bagi karyawan untuk membalasnya. POS juga dapat meningkat komitmen organisasi yang efektif, sehingga mengurangi perilaku penarikan.

(17)

7 Sunarto, Suparji. Monograf. Editor: Heru SWN

BAB

2

Persepsi (

Perceived

)

2.1 Definisi Persepsi

Kreitner&Kinicki (2007) dalam Wijaya,(2017) mengatakan bahwa persepsi adalah proses kognitif yang memungkinkan kita untuk menafsirkan dan memahami lingkungan sekitar kita. Orang harus mengenal objek untuk berinteraksi sepenuhnya dengan lingkungan mereka. Menurut Ivancevich, dkk (2006) mendefinisikan bahwa persepsi adalah proses kognitif di mana individu memilih, mengorganisasikan, dan memberikan arti terhadap adanya stimulus lingkungan. Pengertian lain dinyatakan bahwa persepsi adalah suatu proses dimana individu mengorganisasikan dan menginterprestasikan kesan sensori mereka untuk memberi arti pada lingkungan mereka (Supartha & Sintaasih, 2017).

Badu&Djafri, (2017) mengatakan bahwa persepsi merupakan proses mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera (sensasi) manusia agar memberi makna pada lingkungan mereka. Proses ini mencakup sensasi, atensi dan interpretasi. Luthans menjelaskan “persepsi itu lebih kompleks dan lebih luas dibanding penginderaan. Proses persepsi meliputi suatu interaksi yang sulit dari kegiatan seleksi, penyusunan dan penafsiran. Selanjutnya proses persepsi dapat menambah dan mengurangi kejadian. Sebagai contoh: bagian pembelian membeli peralatan yang diperkirakan menurutnya adalah peralatan yang terbaik, tetapi para insinyur mengatakan bahwa itu bukan yang terbaik.

Dari beberapa pengertian di atas. dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan proses sensasi manusia terhadap stimulus lingkungan di sekitarnya. Proses sensasi berasal dari proses indra, kemudian ditangkap, ditafsirkan, diorganisasi yang kesemuanya merupakan proses kognitif sebagai respon dari adanya stimulus. Maka persepsi menggunakan kaidah teori stimulus dan respon. Proses respon kognisi akibat adanya stimulus sangat tergantung pada pengalaman serupa sebelumnya. Melalui persepsi inilah manusia memandang dunia, sehingga persepsi adalah sebuah realita. Riset tentang persepsi secara konsisten menunjukkan bahwa individu yang berbeda dapat melihat hal yang sama tetapi memahaminya secara berbeda. Kenyataannya bahwa tidak ada seorang pun dari kita melihat realitas. Yang

(18)

8 Sunarto, Suparji. Monograf. Editor: Heru SWN

kita lakukan adalah menginterpretasikan apa yang kita lihat dan menyebutnya sebagai realitas.

2.2 Faktor yang Mempengaruhi Persepsi

Bagaimana kita menjelaskan sesuatu kenyataan bahwa individu memiliki pemahaman yang berbeda pada hal yang sama? Sejumlah faktor bekerja untuk membentuk persepsi dan kadangkala membiaskan persepsi. Faktor-faktor tersebut dapat terletak pada orang yang mempersepsikannya, objek atau sasaran yang dipersepsikan, atau konteks dimana persepsi itu dibuat. Ketika seorang individu melihat suatu sasaran dan berusaha menginterpretasikan apa yang ia lihat, interpretasi itu sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi individu yang melihat.

Muhyadi (1989) Persepsi dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: 1) orang yang membentuk persepsi itu sendiri, khususnya kondisi internal (kebutuhan, kelelahan, sikap, minat, motivasi, harapan, pengalaman masa lalu dan kepribadian), 2) stimulus yang berupa obyek maupun peristiwa tertentu (benda, orang, proses dan lain-lain), dan 3) stimulus dimana pembentukan persepsi itu terjadi baik tempat, waktu, suasana (sedih, gembira dan lain-lain).

Menurut Robbins & Judge, (2013) ketika seseorang individu melihat

adanya stimulus atau target, maka mereka akan berusaha

menginterprestasikan apa yang mereka lihat, dan interpretasi ini sangat dipengaruhi oleh karakteristik individu. Karakteristik pribadi yang mempengaruhi persepsi meliputi sikap, kepribadian, motif, kepentingan, pengalaman masa lalu, dan harapan.

Karakteristik sasaran yang diobservasi dapat mempengaruhi apa yang dipersepsikan. Orang yang ceria lebih menonjol dalam suatu kelompok dari pada orang yang pendiam. Begitu pula pada individu yang secara ekstrem menarik atau tidak menarik. Karena sasaran tidak dipahami secara terisolasi, latar belakang sasaran dapat mempengaruhi persepsi, seperti kecenderungan kita untuk mengelompokkan hal-hal yang berdekatan dan hal-hal yang mirip dalam suatu tempat. Konteks dimana kita melihat suatu objek atau peristiwa dapat mempengaruhi pemahaman, seperti juga lokasi, cahaya, panas, atau sejumlah faktor-faktor situasional lainnya.

Setiap individu dalam organisasi memiliki perbedaan perilaku. Apabila kita menginginkan untuk memahami perilaku organisasi maka kita juga harus memahami perbedaan persepsi dan kepribadian dari masing-masing individu yang ada dalam organisasi. Setiap individu dalam organisasi memiliki persepsi yang berbeda-beda terhadap organisasinya. Ada individu yang memiliki

(19)

9 Sunarto, Suparji. Monograf. Editor: Heru SWN

persepsi lebih sehingga kinerjanya lebih juga meskipun organisasinya kurang menghargai kelompok yang lebih. Ada pula individu yang memiliki persepsi ambigue artinya kalau organisasi memeberikan lebih dia akan bekerja lebih, kalau organisasi memberikan penghargaan kurang dia akan menurunkan kinerjanya. Ada individu yang memiliki persepsi selalu dibawah rerata, artinya apapun pengharagaan yang diberikan organsiasi, dia akan mempersepsikan dibawah rerata kelompoknya. Kelompok individu yang terakhir ini sering disebut dengan perilaku distroyer atau selalu memberikan penilaian negatif.

Gambar 2.1 : Faktor Mempengaruhi Persepsi

Sumber : Stephen Robbins dan Timothy Judge, Organizational Behavior : 2013:168 Faktor-Faktor dalam

Situasi

 Waktu

 Keadaan kerja  Keadaan sosial

Faktor dalam diri Seseorang  Sikap  Motif  Minat  Pengalaman  Harapan

Faktor dalam diri target

 Sesuatu yang baru

 Gerakan  Suara  Ukuran  Latar Belakang  Kedekatan  Kemiripan PERSEPSI

(20)

10 Sunarto, Suparji. Monograf. Editor: Heru SWN

Gambar di atas, menunjukkan bahwa persepsi dibentuk oleh tiga faktor,

yaitu: 1) Perceiver, orang yang memberikan persepsi, 2) target, orang atau

objek yang menjadi sasaran persepsi, dan 3) situasi, keadaan pada saat persepsi dilakukan.

Faktor pelaku persepsi mengandung komponen: (a) sikap-sikap, (g) motif-motif, (c) Minat-minat, (d) Pengalaman, dan (e) Harapan-harapan. Pelaku persepsi ini merupakan penafsiran seseorang pada suatu objek yang dilihatnya atau yang disensasinya. Penafsiran terhadap hasil sensasi dipengaruhi oleh ke-enam karakteristik pribadi diatas.

Kebutuhan atau motif yang tidak dipuaskan akan merangsang individu dan mempunai pengaruh yang kuat pada persepsi mereka. Sebagai contoh seorang dosen akan lebih memperhatikan kepuasan dan keaktifan mahasiswanya dalam proses belajar mengajar daripada seorang pelukis. Seorang penyanyi akan lebih memperhatikan kesempurnaan suara dan intonasi nada dibandingkan dengan seorang juru masak. Individu yang disibukkan dengan masalah pribadi akan sulit mencurahkan perhatian untuk orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya kita dipengaruhi oleh minat kita.

Faktor target mengandung komponen antara lain : (a) sesuatu yang baru, (b) gerakan, (c) suara, (d) ukuran, (e) latar belakang, (f) kedekatan dan, (g) kemiripan. Objek yang baru dan bersifat ekstrim akan menarik minat seseorang tentu akan disensasi lebih. Gerakan-gerakan yang mengandung perhatian akan disensasi lebih juga oleh seseorang. Suara yang merdu, ukuran yang besar, warna cahaya yang mencolok akan disensasi lebih oleh seseorang. Kedekatan karakter dan kemiripan sifat atau karakter tentu akan diminati oleh seseorang sehingga akan disensasi lebih juga karena merupakan stimulus yang merangsang panca indra.

Menurut Gitosudarmo (2000), faktor-faktor yang mempengaruhi proses perhatian terhadap stimulus lingkungan adalah sebagai berikut :

1. Ukuran. Semakin besar ukuran suatu objek fisik, semakin besar kemungkinanya objek tersebut di persepsikan

2. Intensitas. Semakin besar intensitas suatu stimulus, semakin besar kemungkinannya diperhatikan. Suara yang keras misalnya akan lebih di perhatikan dari pada suara yang lembut.

3. Frekwensi. Semakin sering frekwensi suatu stimulus disampaikan, semakin besar kemungkinannya stimulus tersebut di perhatikan.

(21)

11 Sunarto, Suparji. Monograf. Editor: Heru SWN

Prinsip pengulangan ini dipergunakan dalam perriklanan untuk menarik perhatian konsumen.

4. Kontras. Stimulus yang kontras atau mencolok dengan lingkungan sekelilingnya kemungkinan di pilih untuk diperhatikan akan semakin besar dari pada stimulus yang sama dengan lingkungannya.

5. Gerakan. Stimulus yang bergerak lebih di perhatikan dari pada stimulus yang tetap atau tidak bergerak.

6. Perubahan. Suatau stimulus akan lebih di perhatikan jika stimulus atau objek tersebut dalam bentuk yang berubah-ubah. Lampu yang nyalanya kelap-kelip akan lebih di perhatikan dari pada lampu biasa.

7. Baru. Suatu stimulus yang baru dan unik akan lebih cepat mendapatkan perhatian dari pada stimulus yang sudah bisa dilihat.

Faktor situasi mengandung komponen antara lain: (a) waktu, (b) keadaan kerja, dan (c) keadilan sosial. Faktor dalam situasi juga berpengaruh pada persepsi kita. Sebagai contoh seorang wanita yang berparas cantik, tentu tidak akan dilihat oleh laki-laki apabila wanita tersebut berada di mall, karena di mall banyak wanita cantik. Apabila wanita cantik tersebut berada di pematang sawah, tentu akan dilihat oleh para lelaki.

Menurut McShane & Glinow, (2010), persepsi dimulai saat rangsangan

lingkungan diterima melalui indera kita, melalui proses merasakan (feeling),

mendengarkan (hearing), melihat (seeing), proses membau (smelling) dan

pengecapan (tasting). Sebagian besar rangsangan dari lingkungan kita selalu

membombardir panca indra kita setiap saat. Proses selanjutnya adalah melakukan seleksi dan ditafsirkan untuk memberikan respon emosional dari setiap stimulus. Proses dari memperhatikan beberapa informasi yang diterima oleh akal sehat kita dan mengabaikan informasi lainnya disebut perhatian selektif. Perhatian selektif dipengaruhi oleh karakteristik orang atau objek yang dipersepsikan, terutama ukuran, intensitas, gerakan, pengulangan, dan hal baru.

Ketika informasi diterima melalui indera, otak kita dengan cepat dan tanpa sadar menilai apakah itu relevan atau tidak tidak relevan bagi kita dan kemudian menempelkan penanda emosional (kekhawatiran, kebahagiaan, kebosanan) pada informasi itu. Penanda emosional membantu kita menyimpan informasi dalam memori; mereka juga mereproduksi emosi yang sama ketika kita kemudian memikirkannya informasi ini. Proses perhatian selektif jauh dari sempurna. Hasil akhir dari seleksi adalah kemampuan

(22)

12 Sunarto, Suparji. Monograf. Editor: Heru SWN

mengorganisasi persepsi untuk diterjemahkan atau ditafsirkan yang mampu menentukan sikap seseorang untuk memebrikan penilaian negatif, netral atau positif. Tentunya sikap ini dipengaruhi oleh pengalaman dan karakteristik internal seseorang dan kuat lemahnya stimulus. Sikap yang dimiliki seseorang akan menghasilkan perilaku.

Gambar 2.2. Proses pembentukan Sikap dan Perilaku dari hasil Persepsi Stimulus Sumber : McShane dan Glinov (2010), Organizational Behavior hal: 68

Menurut Johnson, Kast, & Rosenzwerg, (1973) proses terbentuknya persepsi individu banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti ketegangan situasi, tekanan kelompok dan sistem imbalan. Pengalaman seseorang sangat menentukan dalam menafsirkan stimulus. Beberapa proses dasar pembentukan persepsi ini dapat diidentifikasi melalui selektivitas, penutupan dan penafsiran.

Stimulus Lingkungan

Diterima panca indra  Dirasakan (feeling)

 Didengarkan (hearing)

 Dilihat (seeing)  Dibau (smelling)  Dikecap (tasting)

Seleksi dan Respon emosional

Organsiasi persepsi dan penafsiran Sikap dan Perilaku

(23)

13 Sunarto, Suparji. Monograf. Editor: Heru SWN

Konsep mengenai persepsi selektif sangat penting karena banyaknya informasi yang diterima dan diolah. Setiap orang akan memilih informasi yang mendukung dan memuaskan dirinya. Stimulus yang sama akan ditafsirkan berbeda oleh setiap orang. Persepsi terhadap stimulus ini snagat tergantung dari pengalaman masa lalu terhadap stimulus yang sama. Maka persepsi seseorang bukan sekedar melalukan seleksi namun juga memberikan

dukungan. Konsep terakhir adalah penutupan (closure) artinya pemebntukan

persepsi berkenaan dengan kecenderungan individu untuk mendapatkan gambaran lengkap mengenai situasi-situasi tertentu. Setiap individu akan merasakan lebih daripada informasi sebenarnya yang ditunjukkan oleh objek. Indivisu akan memberikan tambahan makna yang sesuai sehingga persepsi terhadap objek lebih bermakna.

Gambar 2.3 : Pembentukan Persepsi dan Pengaruhnya terhadap Perilaku dari (Johnson et al., 1973)

2.3 Pengelompokan Persepsi

Apabila informasi berasald ari suatu situasi yang telah diketahui oleh seseorang, maka informasi yang datang tersebut akan mempengaruhi cara seseorang mengorganisasikan persepsinya. Hasil dari pengorganisasian

Informasi

Mekanisme pembentukan persepsi

Selektivitas Penafsiran Penutupan Persepsi Perilaku  Pergaulan  Peranan  Kelompok acuan

 Posisi organisasi dan pekerjaan

(24)

14 Sunarto, Suparji. Monograf. Editor: Heru SWN

persepsi mengenai suatu informasi yang berasald ari stimulus objek dapat berupa pengertian tentang karakteristik objek itu sendiri. Menurut (Robbins & Judge, 2013) dalam Thoha (2011) dalam (Tahir, 2014) pengorganisasian persepsi meliputi tiga hal yaitu :

1. Kesamaan dan ketidaksamaan

Sesuatu objek yang memiliki kesamaan dan ketidaksamaan ciri, akan

dipersepsi sebagai suatu objek yang berhubungan dan

ketidakhubungan. Objek yang memiliki ciri tidak sama akan dipersepsi berbeda atau terpisah.

2. Kedekatan dalam ruang

Peristiwa yang dilihat oleh orang karena adanya kedekatan dalam ruang dan waktu tertentu, akan mudah diartikan sebagai peristiwa yang ada hubungannya.

3. Kedekatan dalam waktu

Objek artau peristiwa juga dapat dilihat sebagai hal yang mempunyai hubungan karena adanya kedekatan atau kesamaan dalam waktu.

Gambar 2.4 : Proses Organisasi Persepsi

Sumber : Robbins & Judge, Organizational Behavior, (2013)

2.4 Kesalahan Persepsi

Apabila seseorang melihat adanya stimulus objek tertentu (manusia, hewan, benda, suara, bunyi, dsb), maka persepsinya terhadap objek tersebut mungkin sesuai atau tidak sesuai informasi aslinya. Kondisi ini dinamakan kesalahan persepsi. menurut McShane & Glinow, (2010) beberapa kesalahan

Objek Peristiwa Sensasi Objek oleh Pancaindra  Penglihatan  Pendengaran  Penyentuhan  Perasaan  Penciuman Transformasi Kesamaan Ketidaksamaan Kedekatan ruang Kedekatan Waktu Per sep si

(25)

15 Sunarto, Suparji. Monograf. Editor: Heru SWN

persepsi diantaranya : halo effect, primacy effect, recency effect dan false

consesus effect. Sedangkan kesalahan persepsi dapat berupa: Halo, leniency, central tendency, recency effect dan contrast effect (Kreitner, Kinicki, & Cole, 2007).

Kesalahan persepsi menurut Robbins & Judge, (2013) dalam Tahir,

(2014) dapat berupa : fundamental attribution error, halo effect, similar to me

effect, selective perception dan first impression error. a. Fundamental Attribution Error

Merupakan kesalahan persepsi yang disebabkan adanya kecenderungan menghubungkan tindakan orang lain pada sebab internal, padahal faktor eksternal juga berpengaruh. Contoh kita sering mempersepsi perilaku orang dari sifat, watak, cara bicara dan pembawaan, padahal perilaku seseorang juga ditentukan dari lingkungan tempat tinggal mereka, lingkungan pekerjaan mereka, lingkungan rumah tangga mereka, dan sebagainya. Contoh lain kesalahan persepsi dari kategori ini adalah orang yang terlambat masuk sekolah dipersepsikan karena malas dan tidak disiplin, padahal karena adanya kemacetan lalu lintas akibat tanah longsor sehingga jalan ditutup.

b. Halo Effect

Kesalahan persepsi disebabkan karena kesan umum kita yang sering mendasarkan pada karakter seseorang yang ditentukan sebelumnya. Efek halo ini terjadi karena sejak awal penilai atau pemberi persepsi sudah memiliki kesan terhadap suatu obyek dan menggunakan kesan awal tersebut untuk menilai sehingga menjadi bias. Apabila seseorang menilai orang lain dari kecerdasan, kemampuan bergaul, penampilan dan bahasa badan bisa dipastikan menimbulkan efek halo.

c. Similar-to-me Effect

Adalah kesalahan persepsi yang disebabkan karena memandang orang lebih rendah dan lebih ringan bila dibandingkan dengan si penilai atau pemberi persepsi. Apabila seorang atasan menilai bawahan, dimana bawahan bekerja sesuai dengan kesan si atasan, maka bawahan akan dinilai tinggi. Sebaliknya apabila kinerja bawahan sangat buruk tidak sesuai dengan harapan atasan, tentu akan dinilai sangat buruk.

d. Selective Perception

Kesalahan persepsi yang disebabkan karena pemberi persepsi memfokuskan pada salah satu aspek penilaian dan mengabaikan aspek-aspek yang lain. Contoh seorang pemerhati lukisan, dimana kesukaan

(26)

16 Sunarto, Suparji. Monograf. Editor: Heru SWN

pemerhati tersebut terletak pada perpaduan warna saja, maka dia akan mempersepsi lukisan didasarkan pada paduan warna. Padahal keindahan lukisan tidak hanya ditentukan dari perpaduan warna, bisa juga dari ukuran, kehalusan, dimensi, sehingga memebri kesan lukisan menjadi hidup.

e. First impression Error

Kesalahan persepsi yang disebabkan karena penilaian awal pemebri persepsi yang selalu dijadikan pertimbangan dalam menilai atau memeprsepsi objek serupa lainnya. Kesan awal membimbing penilai ke

kesan berikutnya, hal ini menjadikan kita menjadi korban first impression

error.

f. Recency Effect

Kesalahan persepsi yang disebabkan karena informasi terbaru mendominasi penilai dalam memeprsepsikan objek yang sama. Apabila kebanyakan orang mempersepsikan bahwa pimpinan itu cara kerjanya tidak baik, dia ikut memberikan penilaian tidak baik juga.

g. False consensus effect

Kesalahan persepsi dimana penilai memebrikan perkiraan lebih tinggi erhadap stimulus objek yang informasinya biasa-biasa saja sebenanrnya. Seseorang yang kecewa terhadap pimpinannya, memiliki pemikiran bahwa karyawan yang lain juga berpikiran sama dengan dirinya, kecewa juga dengan pimpinannya. Pekerja yang ingin keluar dari pekerjaannya berkeyakinan bahwa pekerja lainnya juga memiliki pikiran untuk keluar dari pekerjaannya juga.

h. Lineancy effect

Kesalahan persepsi yang terjadi karena mengarahkan individu untuk menilai lebih tinggi karena berkeyakinan benar. Contoh orang yang menilai seorang profesor, pasti kinerjanya baik dan powerfull karena profesor, padahal bila dibandingkan dengan yang belum profesor justru lebih bagus yang belum profesor. Orang yang benci kepada sesuatu, dia akan memeprsepsikan jelek pada sesuatu tersebut, padahal sebenarnya

baik. Linieancy effect merupakan ketidakjujuran dalam memeprsepsikan

sesuatu.

i. Central tendency effect

Merupakan kecenderungan menghindari semua pertimbangan ekstrem dan menilai objek sebagai sesuatu yang datar-datar saja atau semua biasa-biasa saja, bahkan netral.

(27)

17 Sunarto, Suparji. Monograf. Editor: Heru SWN

2.5 Memperbaiki Persepsi

Selain sering terjadi kesalahan persepsi, dapat juga persepsi mengalami penyimpangan dalam berbagai macam bentuk sehingga dampaknya kesalahan dalam menilai perikaku seseorang. Sebagai seorang manajer atau pemimpin perusahaan atau atasan langsung dalam suatu organsiasi harus mampu mengurnagi kemungkinan terjadinya penyimpangan persepsi ini. Berikut beberapa hal yang bisa digunakan untuk mengatasi penyimpangan persepsi yang dikemukankan oleh (Wijaya, 2017) yaitu :

1) Menyadari kapan faktor perceptual dapat mempengaruhi persepsi

seseorang

Apabila kita ingin menyampaikan ide baru kepada ornag lain, kita harus sadar bahwa orang lain tidak serta merta menerima ide kita itu, diperlukan waktu untuk menerimanya. Kita yang punya ide baru harus mampu meyakinkan kepada orang lain agar persepsi mereka tidak salah atau bahkan menyimpang.

2) Menyadari adanya motif

Setiap orang memiliki motif yang tidak nampak, oleh karenanya tugas kita sebagai atasan harus menjelaskan posisi dan peran bawahannya secara riil atau eksplisit.

3) Mencari informasi lain

Meminta pendapat orang lain, second opinion, pengumpulan data dan

informasi merupakan cara untuk mendekatkan persepsi ke arah sebebanrnya atau ke arah objektif.

4) Empati

5) Meluruskan persepsi dengan cara meminta umpan balik dari orang

yang dipersepsikan.

6) Menghindari penyimpangan; seperti menghindari adanya efek halo,

efek selektif, dsb.

7) Menghindari terjadinya pengatribusian

Teori atribusi dikemukakan untuk mengembangkan penjelasan mengenai cara-cara kita menilai orang secara berlainan, bergantung pada makna apa yang akan kita kaitkan pada perilaku tertentu. Pada dasarnya, teori ini mengemukakan bahwa bila kita mengamati perilaku individu, kita berusaha menentukan apakah perilaku itu disebabkan oleh faktor internal atau eksternal? Meski demikian, penentuan tersebut sebagian bergantung pada tiga

(28)

18 Sunarto, Suparji. Monograf. Editor: Heru SWN

Salah satu penemuan lebih menarik dari teori atribusi adalah bahwa terdapat kekeliruan atau bias yang mendistorsi atribusi. Misalnya cukup banyak bukti yang mengungkapkan bahwa ketika membuat pertimbangan atau penilaian mengenai perilaku orang lain, maka kita mempunyai kecenderungan untuk meremehkan pengaruh faktor eksternal dan melebih-lebihkan pengaruh

faktor internal atau faktorfaktor pribadi. Ini disebut kekeliruan atribusi

mendasar dan dapat menjelaskan mengapa manajer penjualan cenderung menghubungkan kinerja buruk agen penjualannya dengan kemalasan bukannya dengan deretan produk inovatif pesaing. Individu-individu cenderung menghubungkan sukses mereka sendiri dengan faktor-faktor internal seperti kemampuan atau upaya, sementara untuk kegagalan, yang disalahkan adalah faktor-faktor eksternal seperti; nasib kurang mujur. Ini

disebut bias layanan diri. Apakah kekeliruan dan bias yang mendistorsi

atribusi ini bersifat universal pada kebudayaan-kebudayaan yang berlainan? Kita tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut secara absolut, namun terdapat sejumlah bukti awal yang menyiratkan perbedaan-perbedaan kebudayaan.

Kita menggunakan jalan pintas ketika kita menilai orang lain. Mempersepsikan dan menafsirkan apa yang dilakukan orang lain itu sulit.

Akibatnya, individu-individu mengembangkan teknik-teknik untuk

memudahkan pengelolaan tugas tersebut. Teknik-teknik ini seringkali bernilai, teknik tersebut memungkinkan kita untuk membuat persepsi dengan tepat dan cepat dan memberikan data yang sahih untuk membuat perkiraan. Akan tetapi teknik-teknik tersebut tidak bebas kesalahan. Teknik ini berpotensi dan menceburkan kita kedalam kesulitan. Pemahaman terhadap jalan pintas ini dapat membantu mengenali kapan teknik-teknik ini menghasilkan distorsi yang signifikan.

1. Persepsi selektif: orang secara selektif menafsirkan apa yang mereka

lihat atas dasar kepentingan, latar belakang, pengalaman, dan sikap mereka.

2. Efek Halo; menggambarkan kesan umum tentang individu atas dasar

karakteristik tunggal. Misal, kecerdasan, kemampuan bergaul atau penampilan.

3. Efek Kontras; evaluasi terhadap karakteristik-karakteristik seseorang

yang terpengaruh oleh perbandingan-perbandingan dengan orang lain yang baru masuk yang berperingkat lebih tinggi atau lebih rendah berdasar karakteristik-karakteristik yang sama.

(29)

19 Sunarto, Suparji. Monograf. Editor: Heru SWN

4. Proyeksi; Mencirikan karakteristik-karakteristik pribadi seseorang ke

orang lain.

5. Membuat Stereotipe; menilai seseorng atas dasar persepsi seseorang

terhadap kelompok dimana orang itu tergabung. Berikut alur teori atribusi

Gambar 2.5 : Teori Atribusi

Sumber : Meiyanto, 2018. Modul 3.0; Persepsi, Nilai dan Sikap. Kertas Kerja Minat Utama Manajemen Rumah Sakit, PPs Manajemen UGM, Yogjakarta

Teori atribusi berasal dari kesalahan-kesalahan dalam melalukan penafsiran sebagai respon dari kegiatan pengamatan. Manusia melakukan pengamatan menggunakan organ panca indra yaitu; mata dengan cara melihat, telinga dengan mendengarkan, lidah dengan pengecapan, hidung dengan cara membau dan kulit dengan cara melakukan perabaan. Kegiatan pengamatan terhadap obyek atau stimulus obyek dinamakan sensasi. Hasil dari sensasi adalah respon untuk ditafsirkan. Proses penafsiran sebagai respon fisiologis sensasi pasti dipengaruhi oleh : 1) faktor internal berupa kemampuan atau fisiologis organ panca indra, fisiologis otak dan syaraf dan penyakit penyerta lainnya, 2) faktor eksternal berupa pengalaman masa lalu, faktor obyeknya

Pengamatan Interpretasi Atribusi Penyebab

Pengamatan Kekhususan Konsensus Konsisten Eksternal tinggi Internal Rendah Eksternal tinggi Eksternal tinggi Internal Rendah Internal Rendah

(30)

20 Sunarto, Suparji. Monograf. Editor: Heru SWN

sendiri dan pengaruh lingkungan lainnya. Karena banyaknya faktor yang mempengaruhi penafsiran maka dimungkinkan timbulnya kesalahan-kesalahan persepsi.

Proses menilai seseorang (atribusi) tergantung pada sifat dari obyek yang diamati(stimulus yang diterima) apakah bersifat unik/khusus, bersifat konsisten dan/atau bersifat konsensus. Ketiga sifat stimulus tersebut akan dinilai secara internal dan eksternal. Perbedaannya teori atribusi ini justru penilaian secara eksternal memiliki kadar yang lebih tinggi dari pada penilaian secara internal. Artinya menilai perilaku seseorang paling dominan berasal dari pengaruh-pegaruh luar atau eksternal, bukan dari faktor dalam/internal. Akibatnya adalah timbulnya kesalahan-kesalahan dalam mempersepsikan, apalagi persepsi terhadap perilaku seseorang sering terjadi kesalahan.

Penyebab atribusi dari faktor eksternal/luar lebih dominan pada kasus stimulus dari obyek yang bersifat unik. Kekhususan ini memiliki sifat atau daya rangsangan yang ekstrim, maka pengalaman masa lalu terhadap stimulus ekstrim ini lebih mendominasi dibandingkan dengan karakteristik ke-ekstriman dari stimulus.

Penyebab atribusi pada stimulus yang bersifat konsensus, berawal dari ketidakmampuan kita terhadap apa sebenarnya obyek/stimulus yang kita hadapi. Namun kita diharuskan memberikan respon agar pengetahuan kita bertambah terhadap obyek tersebut. Pengalaman dan pengetahuan kita terhadap obyek meskipun kadar kebenarannya relatif digunakan untuk merespon obyek, inilah dinamakan konsensus, tentu tingkat atribusinya juga tinggi.

Penyebab atribusi pada stimulus yang konsisten sangat tergantung pada kebenaran bersama terhadap persepsi sebelumnya karena stimulus bersifat sama kadarnya. Pengaruh eksternal dalam memebrikan persepsi juga dominan, padahal meskipun stimulus itu konsisten tetapi kadar rangsangan, waktu, ruang dan situasi berbeda maka persepsi seharusnya jiga berbeda. Situasi demikianlah menimbulkan kesalahan persepsi (atribusi persepsi).

(31)

21 Sunarto, Suparji. Monograf. Editor: Heru SWN

BAB

3

Organizational Commitment

(Komitmen Organisasional)

3.1 Definisi Komitmen Organisasional (Organizational Commitment)

Meyer and Herscovitch, (2001), merumuskan definisi komitmen dalam organisasi adalah suatu konstruk psikologis yang merupakan karakteristik hubungan anggota organisasi dengan organisasinya dan memiliki implikasi terhadap keputusan individu untuk melanjutkan keanggotaannya dalam berorgansiasi. Komitmen organisasi memiliki tiga komponen yaitu: komitmen afektif, komitmen normatif dan komitmen berkelanjutan.

Komitmen afektif didefinisikan sampai manakah derajat seseorang memiliki keterikatan psikologis terhadap organisasinya, seperti loyalitas,

affection, dan sevisi dengan tujuan organisasi. Pada komponen komitmen afektif ini karyawan masuk kategori menginginkan, karena secara emosional keterlibatan karyawan dengan organisasi sangat kuat dan ingin menetap bekerja di organisasinya.

Dimensi kedua adalah komitmen normatif, merupakan perasaan kewajiban moral untuk melanjutkan pekerjaan. Nilai-nilai normatif karena tugas, karena kewajiban membuat individu mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi. Dalam arti lain karyawan merasa cocok dengan organisasinya karena kewajiban moral untuk berbakti dengan melaksanakan kewajibannya sebagai anggota organisasi.

Dimensi ketiga adalah komitmen berkelanjutan, merupakan kesadaran anggota organisasi akan kerugian jika meninggalkan/keluar dari organisasi. Dalam arti sempit komitmen berkelanjutan hanya dimiliki oleh karyawan-karyawan yang meras membutuhkan organsiasi, karena mereka memiliki kebutuhan untuk menjadi anggota organisasi. Pegawai yang memiliki masa kerja yang cukup lama, kawan-kawan kerja yang akrab, hubungan kerja dengan sesama rekan kerja biasanya tidak mudah untuk keluar dari anggota organsiasi (Tjahyono & Christanto, 2016).

3.2 Konsep Komitmen

Konsep komitmen sering dikaitkan dengan sikap dan emosi. Komitmen terhadap suatu hubungan, suatu organisasi, suatu tujuan, atau suatu pekerjaan melibatkan emosional seseorang. Porter, Steers, Mowday dan Boulian (1974)

(32)

22 Sunarto, Suparji. Monograf. Editor: Heru SWN

dalam (Meyer & Allen, 1991) menyatakan bahwa terdapat tiga elemen komitmen organisasi yaitu:

1. Perasaaan emosional terhadap tujuan organisasi;

2. Perasaan emosional keterlibatan dalam tugas-tugas organisasi; dan

3. Perasaan emosional untuk loyalitas kepada organisasi.

Lee dan Mitchell (1991) dalam (Hanlon & D, 1999) mencirikan komitmen sebagai keyakinan bersama untuk menerima nilai dan tujuan organisasi serta berkeinginan untuk bekerja lebih guna mencapai tujuan dan nilai-nilai organisasi, serta keinginan mempertahankan keanggotaan dalam suatu organisasi. Komitmen adalah keyakinan untuk bekerja lebih guna mencapai tujuan organisasi dan tetap menjadi karyawan dalam kondisi apapun mengenai organisasinya.

Orang yang membuat komitmen memiliki beberapa karakteristik diantaranya adalah (Colquitt, Lepine, & Esson, 2019) :

1. Mereka tetap dengan komitmen mereka

Mereka mengatakan akan melakukannya sehingga kata-kata seperti mungkin, harus, atau tidak bisa hilang dari kosa kata mereka.

2. Orang-orang berkomitmen percaya mereka dapat memuaskan

komitmen mereka. Mereka dapat memvisualisasikan garis akhir dan percaya mereka akan mencapai tujuan mereka. Karena kepercayaan mereka begitu kuat, tidak mencapai tujuan mereka bahkan bukan bagian dari persamaan.

3. Orang yang berkomitmen mengatakan apa yang mereka komitmen

Mereka mewujudkan impian mereka hanya dengan menggunakan kekuatan bahasa. Sungguh menakjubkan apa yang mereka lakukan atau capai begitu mereka mengatakan komitmen mereka dengan keras.

4. Orang yang berkomitmen berinvestasi dalam komitmen mereka

Mereka menginvestasikan waktu, uang, dan energi mereka ke dalam komitmen mereka. Komitmen mereka menjadi demikian penting bahwa mereka mengolah kembali kehidupan mereka di sekitar mereka.

5. Orang berkomitmen realistis tentang komitmen mereka.

Mereka menjelajahi jalan yang berbeda dan baik untuk diri mereka sendiri di sepanjang jalan. Tentu, mungkin ada kemunduran, tetapi kesalahan dipandang sebagai peluang dan bukan suatu hambatan untuk mencapai komitmennya.

(33)

23 Sunarto, Suparji. Monograf. Editor: Heru SWN

Komitmen mereka menjadi bagian dari siapa mereka, bukan sesuatu yang mereka coba capai secara sembarangan. Pendekatan ini membuat komitmen mereka menyenangkan dan bukan sesuatu yang mereka "harus" atau "harus" lakukan.

7. Orang yang berkomitmen bersemangat tentang komitmen mereka.

Gairah mereka memotivasi, terus bergerak, dan menginspirasi orang lain di sekitar mereka.

3.3 Variabel Komitmen Individu

Hasil penelitian Kohen (1999) telah menyarankan bahwa model yang lebih sederhana bahwa kepribadian seseorang mempengaruhi kinerja, yang pada gilirannya mempengaruhi hasil pekerjaan. Ellemers, de Gilder, dan van den Heuvel (1998) telah menyarankan bahwa komitmen tim kerja mempengaruhi penampilan kinerja seseorang dan hasil pekerjaan. Bentuk komitmen seseorang yang kurang baik, juga mempengaruhi keputusan untuk tetap bekerja atau pindah kerja/pindah perusahaan. Penelitian oleh Ellemers menyarankan agar konstruk komitmen dimasukkan variabel budaya tempat kerja dan budaya negara.

Beberapa data menunjukkan bahwa semakin lama seorang individu bekerja dalam suatu organisasi, semakin kuat komitmen pribadinya. Senioritas dalam pekerjaan akan meningkatkan komitmen. Selain itu, jumlah pertemanan individu dan pengalaman positif dalam organisasi meningkatkan komitmen afektif seseorang terhadap organsiasi. Akhirnya, individu merasa lebih bertanggung jawab berbagai aspek fungsi organisasi, yang mengarah pada peningkatan komitmen normatif.

Beberapa anteseden atau faktor luar yang bisa menentukan komitmen seseorang kepada organisasi (komitmen organisasi) terdiri dari empat faktor antara lain; 1) karakteristik pribadi, 2) karakteristik terkait pekerjaan atau peran, 3) karakteristik struktural, dan 4) pengalaman kerja(Hanlon & D, 1999).

1. Karakteristik pribadi

a. Usia

Penelitian menunjukkan usia dan masa kerja sebagai karakteristik pribadi berkorelasi positif dengan komitmen. Sebagaian orang menjadi tua dan tetap di organisasi mereka, komitmen mereka naik, mungkin karena alternatif peluang kerja berkurang untuk orang tua atau karena komitmen dapat menjadi strategi yang sukses dalam bergaul. Atau mungkin, sederhananya, karyawan yang lebih berkomitmen tetap bersama organisasi lebih lama.

(34)

24 Sunarto, Suparji. Monograf. Editor: Heru SWN

b. Pendidikan yang lebih tinggi

Pendidikan tinggi dikaitkan dengan komitmen yang lebih rendah, mungkin karena orang berpendidikan tinggi memiliki harapan organisasi tidak dapat bertemu atau lebih berkomitmen pada profesi (komunitas pekerjaan mereka) daripada ke organisasi. Bisa jadi peluang kerja alternatif lebih besar.

c. Jenis kelamin

Wanita biasanya lebih berkomitmen daripada pria untuk organisasi mereka, mungkin karena mereka harus berlebihan datang dan lebih banyak hambatan untuk masuk ke organisasi-organisasi itu atau karena lebih sedikit alternatif tersedia bagi mereka

d. Sikap Pribadi

Berbagai sikap pribadi terkait dengan komitmen, di antaranya minat hidup berorientasi pekerjaan, pencapaian-motivasi, dan rasa kompetensi. Jenis-jenis hubungan ini mendukung gagasan pertukaran antara karyawan dan organisasinya.

2. Karakteristik terkait pekerjaan atau peran

Beberapa karakteristik peran pekerjaan berkorelasi dengan komitmen. Lingkup pekerjaan berhubungan positif dengan komitmen, mungkin karena pekerjaan luas menantang orang lebih dari pekerjaan sempit atau karena orang dengan pekerjaan yang lebih luas, manajer dan sejenisnya seringkali sudah menunjukkan komitmen mereka, itulah sebabnya mereka telah diberi pekerjaan yang lebih luas. Konflik peran dan kelebihan peran secara negatif terkait dengan komitmen;

3. Struktur organisasi

Beberapa karakteristik struktur organisasi terkait dengan komitmen, menunjukkan bahwa manajer harus memikirkan bagaimana pengaturan struktural organisasi mereka dapat mempengaruhi pekerja. Formalisasi, ketergantungan fungsional, dan desentralisasi semuanya terkait dengan komitmen.

4. Pengalaman kerja

Pengalaman kerja terkait komitmen meliputi keterlibatan sosial, ketergantungan pada organisasi, kepentingan pribadi pada organisasi, membayar tagihan, ketergantungan pada teman kerja, dan norma kelompok mengenai kerja keras. Satu studi multinasional tentang pekerja-pekerja Asia, pekerja-pekerja Eropa, dan pekerja-pekerja Arab di Arab Saudi menunjukkan bahwa orang-orang Asia lebih berkomitmen untuk bekerja daripada dua

(35)

25 Sunarto, Suparji. Monograf. Editor: Heru SWN

kelompok lainnya. Ini mungkin karena kesempatan kerja lebih sedikit di enam negara Asia yang miskin darimana para pekerja ini berasal. Oleh karena itu aspek sosiodemografi merupakan salah satu variabel karakteristiki individu yang berpengaruh terhadap komitmen pada organsiasi.

3.4 Perspektif Sikap dan Perilaku Dalam Komitmen Organisasional

Perbedaan antara komitmen sikap dan perilaku dari beberapa literatur telah dijelaskan oleh Mowday et al. 1982; Reichers 1985; Salancik 1977; Scholl 1981; Staw 1977, yang menawarkan bahwa komitmen sikap berfokus pada proses emosional diri dihubungkan dengan kepentingan organsiasi (aspek psikologis). Dalam banyak hal dianggap sebagai pola pikir di mana individu mempertimbangkan sejauh mana nilai dan tujuan mereka sendiri selaras dengan nilai-nilai organisasi. Sedangkan komitmen perilaku, berkaitan dengan proses dimana individu terkunci dalam organisasi tertentu (aspek fisik). Dalam pendekatan sikap, banyak penelitian telah melaporkan bahwa sikap seseorang berkontribusi pada pengembangan komitmen dan konsekuensi perilaku dari komitmen. (Buchanan 1974; Steers 1977) dalam (Colquitt et al., 2019)

Model komitmen dalam buku ini, kami menggabungkan pendekatan sikap dan perilaku terhadap komitmen organisasi. Tujuan utamanya adalah bagaimana memperluas konsep komitmen organisasi sebagai pola pikir, atau keadaan psikologis (mis., perasaan dan atau keyakinan tentang hubungan karyawan dengan karyawan lain dalam organisasi). Kami berpendapat bahwa komitmen pribadi seseorang yang tinggi mencerminkan keinginan, kebutuhan, dan/atau suatu kewajiban untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi.

Penting untuk dicatat bahwa, saat kami memperluas konsep komitmen termasuk keinginan, kebutuhan, dan kewajiban untuk tetap bekerja dalam suatu organsiasi, sikap tidak lagi masuk dalam definisi psikologis sosial namun lebih mengarah pada psikologi organsiasi. Untuk menghindari kebingungan, kami selanjutnya akan menggunakan istilah perspektif sikap organisasi menjadi "komitmen" dengan merujuk pada komitmen sebagai kondisi psikologis. Apabila komitmen tersebut telah dinyatakan dalam perbuatan nyata seperti; bekerja, pertemuan staf, melaporkan hasil kerja, merencanakan pekerjaan, menyelesaikan pekerjaan dan semisalnya maka kami istilahkan menjadi "perilaku komitmen" untuk menyebutkan komitmen sebagai kegigihan berperilaku.

(36)

26 Sunarto, Suparji. Monograf. Editor: Heru SWN

Gambar 3.1 : Perspektif Sikap dan Perilaku pada Komitmen Organsiasi Sumber : Meyer & Allen,; A Three-Component Conceptualization Of Organizational Commitment, Human Resource Management Review, Volume 1, Number 1, 1991, Hal.61-89

3.5 Tiga Kerangka Komponen Komitmen Organisasional

Beberapa pakar menyatakan bahwa istilah komitmen digunakan untuk menggambarkan suatu orientasi afektif terhadap organisasi. Buchanan (1974) dalam (Meyer & Allen, 1991) menggambarkan komitmen sebagai :

“Komitmen adalah keterikatan afektif dengan tujuan dan nilai-nilai, yang ada pada organisasi untuk kepentingannya sendiri, terlepas dari nilai yang

murni ”(hal. 533).

Menurut Mowday, Steers, & Porter (1979); Porter, Crampon, & Smith (1976); Porter, Steers, Mowday, & Boulian (1974) menjelaskan bahwa komitmen sebagai

"Kekuatan relatif dari identifikasi dan keterlibatan individu dalam organisasi tertentu "(Mowday et al. 1979, p. 226).

Komitmen sebagaimana dikonseptualisasikan dalam tiga pendekatan yang diidentifikasi di atas selanjutnya masing-masing disebut sebagai komitmen afektif, komitmen kelanjutan, dan komitmen normatif. Secara umum ketiga pendekatan ini adalah pandangan bahwa komitmen adalah keadaan psikologis yang ; (a) mencirikan hubungan karyawan dengan organisasi, dan (b) memiliki implikasi bagi keputusan untuk melanjutkan keanggotaan dalam organisasi. Komitmen afektif mengacu pada identifikasi keterikatan emosional karyawan dengan keterlibatan dalam organisasi. Karyawan dengan komitmen afektif yang kuat melanjutkan kerja dengan organisasi karena mereka ingin melakukannya. Komitmen kelanjutan mengacu pada kesadaran tentang biaya

Kondisi Keadaan Psikologis Perilaku

Perilaku

Perilaku

Keadaan Psikologis Kondisi

(37)

27 Sunarto, Suparji. Monograf. Editor: Heru SWN

yang terkait dengan meninggalkan organisasi. Karyawan yang memiliki tautan utama ke organisasi komitmen kelanjutan tetap karena mereka perlu melakukannya. Komitmen normatif mencerminkan perasaan kewajiban untuk melanjutkan pekerjaan. Karyawan dengan komitmen normatif tingkat tinggi merasa bahwa mereka seharusnya melakukannya tetap bersama organisasi. Kami percaya bahwa lebih tepat untuk mempertimbangkan komitmen afektif, kelanjutan, dan komitmen normatif sebagai komponen, daripada sebagai jenis komitmen. Itu menyiratkan bahwa keadaan psikologis mencirikan tiga bentuk komitmen saling berhubungan.

Gambar 3.2 : Model Komponen Komitmen Organisasional

Sumber : Meyer & Allen, (1991), A Three-Component Conceptualization Of Organizational Commitment, Human Resource Management Review, Volume 1, Number 1, 1991, Hal.61-89

Struktur dan Karakteristik Organisasi Karakteristik Pribadi Pengalaman Kerja dan Kompetensi Komitmen Afektif Pindah Atribusi Perilaku Komitmen Investasi Pilihan-pilihan Komitmen Berkelanjutan Komitmen Normatif Investasi Organisasi Budaya Organsiasi Penampilan Kinerja Timbal Balik

(38)

28 Sunarto, Suparji. Monograf. Editor: Heru SWN

Komitmen Afektif

Mowday et al. (1982) mencatat bahwa anteseden komitmen (afektif) terbagi dalam empat kategori: karakteristik pribadi, karakteristik struktural, karakteristik terkait pekerjaan, dan pengalaman kerja. Karena perbedaan antara karakteristik pekerjaan objektif dan pengalaman kerja subyektif agak kabur, kami menggunakan istilah yang lebih global, pengalaman kerja, selanjutnya, merujuk pada keduanya karakteristik objektif dan subyektif dari pekerjaan. Meskipun karakteristik demografis seperti usia, kepemilikan, jenis kelamin, dan pendidikan telah dikaitkan dengan komitmen (mis., Angle & Perry 1981; Glisson & Durick 1988; Morris & Sherman 1981; Besok & McElroy 1987; Mottaz 1988; Pierce & Dunham 1987; Steers 19771, hubungan tidak kuat atau konsisten. Relatif sedikit penelitian yang meneliti hubungan antara karakteristik organisasi dan komitmen (Glisson & Durick 1988). Meskipun demikian, ada beberapa bukti bahwa komitmen afektif terkait dengan pengambilan keputusan (Brooke, Russell, & Harga 1988; Mor-ris & Steers 1980) dan formalisasi kebijakan dan prosedur (Morris & Steers 1980; O'Driscoll 1987; Podsakoff, Williams, & Todor 1986). Mungkin pengaruh karakteristik struktural pada komitmen adalah tidak langsung (Podsakoff et al. 1986), melainkan dimediasi oleh pengalaman kerja seperti hubungan karyawan/ supervisor, kejelasan peran, dan perasaan penting pribadi, yang terkait dengan ini karakteristik struktural. Berbeda dengan karakteristik pribadi dan organisasi, telah ada banyak penelitian yang meneliti hubungan antara variabel pengalaman kerja dan komitmen afektif. Sayangnya, Marize Reichers (1985, p. 467) mencatat bahwa pengalaman kerja masih berupa variabel yang berkorelasi saja.

Komitmen Kelanjutan

Karena komitmen kelanjutan mencerminkan pengakuan biaya Setelah meninggalkan organisasi, apa pun yang meningkatkan biaya yang dirasakan dapat terjadi dianggap sebagai anteseden. Pendahulu yang paling sering dipelajari miliki telah menjadi taruhan sampingan, atau investasi, dan ketersediaan alternatif. Becker (1960) mengemukakan bahwa komitmen terhadap suatu tindakan berkembang sebagai satu membuat taruhan sisi yang akan hilang jika tindakan dihentikan. Ini taruhan samping bisa dalam berbagai bentuk dan mungkin terkait pekerjaan atau tidak. Untuk contohnya, ancaman membuang-buang waktu dan upaya yang dihabiskan untuk memperoleh non-trans- keterampilan yang dapat diangkut, kehilangan manfaat menarik,

Gambar

Gambar 2.1 : Faktor Mempengaruhi Persepsi
Gambar 2.2. Proses pembentukan Sikap dan Perilaku dari hasil Persepsi Stimulus  Sumber : McShane dan Glinov (2010), Organizational Behavior hal: 68
Gambar 2.3 : Pembentukan Persepsi dan Pengaruhnya   terhadap Perilaku dari (Johnson et al., 1973)  2.3  Pengelompokan Persepsi
Gambar 2.4 : Proses Organisasi Persepsi
+7

Referensi

Dokumen terkait