• Tidak ada hasil yang ditemukan

Volume VI/ No. 1/April2020 ISSN : Terapeutik Jurnal Jurnal Ilmiah Ilmu Keperawatan dan Kedokteran Komunitas STUDI PENERAPAN TERAPI MUROTTAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Volume VI/ No. 1/April2020 ISSN : Terapeutik Jurnal Jurnal Ilmiah Ilmu Keperawatan dan Kedokteran Komunitas STUDI PENERAPAN TERAPI MUROTTAL"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

Volume VI/ No. 1/April2020

ISSN : 2356-1653

Terapeutik Jurnal

Jurnal Ilmiah Ilmu Keperawatan dan Kedokteran Komunitas

STUDI PENERAPAN TERAPI MUROTTAL (AL QUR’AN) TERHADAP PENURUNAN TINGKAT KECEMASAN PADA PASIEN PRE OPERASI DI RSUD KOTA KENDARI

Oleh : Adi Try Wurjatmiko, Wa Ode Siti Amono(1-6)

EFEKTIVITAS SENAM OTAK UNTUK MENINGKATKAN DAYA INGAT LANSIA DI LOKA REHABILITASI SOSIAL LANJUT USIA MINAULA KENDARI

Oleh :Aluddin,Wulandari (7-12)

GAMBARAN PEMBERIAN KOMPRES DINGIN TERHADAP INTENSITAS NYERI ANAK USIA SEKOLAH SAAT PEMASANGAN INFUS DI RUANG INSTALASI GAWAT DARURAT DI RUMAH SAKIT UMUM DEWI SARTIKA KOTA KENDARI

Oleh : Herman, Resti Meiyani (13-17)

STUDI PENATALAKSANAAN TERAPI RELAKSASI OTOT PROGRESIF TERHADAP PENURUNAN TEKANAN DARAH PADA LANSIA PENDERITA HIPERTENSI DI LOKA REHABILITASI SOSIAL LANJUT USIA MINAULA KENDARI

Oleh :Muh. Syahwal,kamaruzzaman(18-24)

STUDI PENERAPAN TEKNIK AKUPRESURE TERHADAP PERUBAHAN SKALA NYERI PADA KLIEN POST OPERASI SECTIO CAESAREA DI RUANG TERATAI RSUD KOTA KENDARI

Oleh : Muhaimin Saranani, Elprika Riansari(25-33)

STUDI PENERAPAN MASSAGE ENDORFIN DAN KOMPRES HANGAT TERHADAP PENINGKATAN PRODUKSI ASI PADA IBU POST PARTUM DI RUANG TERATAI RSUD KOTA KENDARI

Oleh :Risnawati, Muli Yati (34-39)

PENERAPAN TERAPI BERMAIN DALAM MENURUNKAN TINGKAT KECEMASAN PADA ANAK AKIBAT HOSPITALISASI DI RUANG MAWAR RSUD KOTA KENDARI

(2)

T e r a p e u t i k J u r n a l

ii | V o l . V I / N o . 1 / A p r i l 2 0 2 0

TERAPEUTIK JURNAL

Jurnal Ilmiah Ilmu Keperawatan dan Kedokteran

Komunitas

Terapeutik Jurnal merupakan jurnal yang memuat hasil-hasil

penelitian maupun naskah konsep dalam bidang ilmu keperawatan

dan kedokteran komunitas. Diterbitkan setiap enam bulan pada

bulan April danDesember.

Penanggung Jawab/Pemimpin Umum

Risnawati, SKM, M.Kes

Pemimpin Redaksi

Siti Umrana, S.Kep., Ns., M.Kes

Redaksi Pelaksana

Wa Ode Syahrani, S.Kep., Ns., M.Kep

Herman, S.Kep., Ns., M.Kes

Redaksi

Muh. Syawal, S.Kep., M.Kes

Anastasia Budianti W, S.Kep., Ns

Sekretaris Redaksi

Aluddin, S.Kep., Ns, M.Kes

Hasrima, S.Kep., Ns

Neneng Sundari, S.Kep, Ns

Alamat Redaksi

Kampus AKPER PPNI Kendari

Jln. Jend. A.H. Nasution. No. 89 G, Kendari, Sulawesi Tenggara

Telp. 0401-3191713 Email :

ppniakper@yahoo.com

(3)

T e r a p e u t i k J u r n a l

iii | V o l . V I / N o . 1 / A p r i l 2 0 2 0

TERAPEUTIK

JURNAL

Jurnal Ilmiah Ilmu Keperawatan dan KedokteranKomunitas

Daftar Isi

STUDI PENERAPAN TERAPI MUROTTAL (AL QUR’AN) TERHADAP PENURUNAN TINGKAT KECEMASAN PADA PASIEN PRE OPERASI DI RSUD KOTA KENDARI

Oleh : Adi Try Wurjatmiko, Wa Ode Siti Amono (1-6)

EFEKTIVITAS SENAM OTAK UNTUK MENINGKATKAN DAYA INGAT LANSIA DI LOKA REHABILITASI SOSIAL LANJUT USIA MINAULA KENDARI

Oleh :Aluddin, Wulandari (7-12)

GAMBARAN PEMBERIAN KOMPRES DINGIN TERHADAP INTENSITAS NYERI ANAK USIA SEKOLAH SAAT PEMASANGAN INFUS DI RUANG INSTALASI GAWAT DARURAT DI RUMAH SAKIT UMUM DEWI SARTIKA KOTA KENDARI

Oleh : Herman, Resti Meiyani (13-17)

STUDI PENATALAKSANAAN TERAPI RELAKSASI OTOT PROGRESIF TERHADAP PENURUNAN TEKANAN DARAH PADA LANSIA PENDERITA HIPERTENSI DI LOKA REHABILITASI SOSIAL LANJUT USIA MINAULA KENDARI

Oleh :Muh. Syahwal,kamaruzzaman(18-24)

STUDI PENERAPAN TEKNIK AKUPRESURE TERHADAP PERUBAHAN SKALA NYERI PADA KLIEN POST OPERASI SECTIO CAESAREA DI RUANG TERATAI RSUD KOTA KENDARI Oleh : Muhaimin Saranani, Elprika Riansari(25-33)

STUDI PENERAPAN MASSAGE ENDORFIN DAN KOMPRES HANGAT TERHADAP PENINGKATAN PRODUKSI ASI PADA IBU POST PARTUM DI RUANG TERATAI RSUD KOTA KENDARI

Oleh :Risnawati, Muli Yati (34-39)

PENERAPAN TERAPI BERMAIN DALAM MENURUNKAN TINGKAT KECEMASAN PADA ANAK AKIBAT HOSPITALISASI DI RUANG MAWAR RSUD KOTA KENDARI

(4)

T e r a p e u t i k J u r n a l

P a g e

| 1

STUDI PENERAPAN TERAPI MUROTTAL (AL QUR’AN) TERHADAP PENURUNAN TINGKAT KECEMASAN PADA PASIEN PRE OPERASI DI RSUD KOTA KENDARI

Adi Try Wurjatmiko1, Wa Ode Siti Amono2

1Dosen, Akper PPNI Kendari

ABSTRAK

Kecemasan yang dialami pasien biasanya karena prosedur pelaksanaan operasi. Untuk mengatasi kecemasan sebelum tindakan operasi salah satunya adalah terapi murotal (terapi Al Qur’an). Tujuan studi kasus ini adalah untuk mengetahui penerapan terapi murotal (Al Qur’an) terhadap tingkat kecemasan pada pasien pre operasi di Ruang Melati RSUD Kota Kendari pada tanggal 2 – 4 Oktober 2019. Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan studi kasus. Subyek dalam penelitian ini sebanyak lima orang pasien pre operasi dengan kriteria beragama Islam, pasien rawat inap yang dijadwalkan rencana operasi (elektif), pasien dengan penyakit yang berbeda, kecemasan skala sedang dan berat, kesadaran penuh, mampu berkomunikasi dengan baik, tidak mengalami gangguan pendengaran, dan bersedia menjadi responden. Instrumen penelitian berupa alat ukur kecemasan DASS, lembar observasi dan lembar prosedur pelaksanaan terapi murottal Al Qur’an. Analisis secara deskriptif untuk mengetahui adanya penurunan kecemasan pada pasien pre operasi setelah dilakukan intervensi terapi murottal Al Qur’an. Hasil penelitian menunjukan bahwa terjadi penurunan tingkat kecemasan pada kelima subjek yaitu dari skala cemas sedang menjadi skala cemas ringan. Sehingga disimpulkan bahwa terapi murottal (Al Qur’an) dapat menurunkan tingkat kecemasan pada pasien pre operasi di RSUD Kota Kendari. Disarankan terapi non-farmakologis murotal Al Qur’an dapat dijadikan sebagai salah satu tindakan dalam menurunkan tingkat kecemasan. PENDAHULUAN

Operasi atau pembedahan baik efektif maupun kedaruratan merupakan peristiwa kompleks yang menegangkan individu dengan masalah keperawatan kesehatan yang memerlukan intervensi pembedahan biasanya menjalani prosedur pembedahan yang dikenal dengan istilah keperawatan perioperatif (brunner & suddart 2002 dalam suwanto dkk, 2016). Banyak orang yang merasa cemas mendengar kata operasi, berbagai pemikiran berkecemuk dalam benaknya, tidak saja bagi pasien tetapi juga keluarga yang divonis memerlukan pembedahan sebagai jalan menyelesaikan masalah kesehatan yang diderita (grieve, 2002 dalam suwanto dkk, 2016). Dalam world health organization (WHO), Jumlah pasien dengan tindakan operasi menunjukan tindakan yang sangat signifikan dari tahun ketahun (chiang, 2012). Dalam setiap tindakan opersi sering menimbulkan cedera dan 90% dari cedera akibat opersi tersebut terjadi dinegara berpenghasilan rendah dan menengah (sari, 2016). Menurut pearse & moreno (2012), yang dikutip oleh prabawati (2014), lebih dari 23 juta operasi mayor dilakukan setiap tahun didunia, menyebabkan keadaan pasien saat operasi akan lemah, meningkatkan komplikasi setelah operasi dilakukan dan menyebabkan kematian. Tindakan operasi di indonesia mencapai 1,2 jiwa pada tahun 2015. Data tabulasi nasional depkes RI (2015) menunjukan tindakan bedah menempati urutan ke-11 dari 50 penanganan pola penyakit di rumahsakit se indonesia (hartoyo, 2015 dalam sukron, 2018). Sedangkan jumlah pasien dengan tindakan opersi di sulawesi tenggara pada tahun 2017 sebanyak 5.906 (Dinas Kesehatan Profinsi Sulawesi Tanggara, 2018).

Pasien harus mempersiapkan fisik dan mental sebelum manjalani pembedahan. Berbagai kemungkinan buruk bisa saja terjadi dan membehayakan bagi pasien. Tidak heran jika sering kali pasien dan keluarganya menunjukan sikap emosi dalam menghadapi tindakan pembedahan. Kecemasan yang mereka alami terkait dengan segala macam prosedur yang harus dijalani paasien dan juga ancaman terhadap keselamatan jiwa (hamel, 2001; mottanghi, esmaili,& rohani, 2011 dalam firgianti, 2015).

Kecemasan yang dialami pasien biasanya terkait dengan segala macam presedur asing yang harus dijalani dan juga ancaman terhadap keselamatan jiwa akibat prosedur pelaksanaan

(5)

T e r a p e u t i k J u r n a l

P a g e

| 2

operasi. Untuk mengetahui kecemasn yang dialami pasien dalam menjalani suatu tindahan opersi kini telah banyak dikembangkan terapi-terapi untuk menangani kecemasan diantaranya adalah terapi murotal yang dapat mengurang tingkat kecemasna pada pasien. Dimana terapi murotal ini bekerja pada otak, dan ketika didorong oleh rangsangan dari luar (terapi AL-Quran), maka otak akan memproduksi zat kimia yang disebut neuropeptide. Molekul ini akan menyangkutka kedalam reseptor-reseptor mereka yang ada di dalam tubuh dan akan memberikan umpan balik berupa kenikmatan atau kenyamanan (O’riodorn, 2002 dalam suwanto dkk, 2016).

Morottal merupakan salah satu terapi musik yang memiliki pemngaruh positif sebagai pendengarnya (widayarti, 2011). Terapi murotal dapat mempercepat penyembuhan yang telah diberikan oleh berbagai ahli sperti yang telah dilkukan ahmad Al khadi direktur utama islamic medicine institute for education and research di florida, Amerika Serikat. Dalam koferensi tahun ke XVII Ikatan Dokter Amerika, bahwa mendengarkan ayat suci AL-Quran memiliki pengaruh yang sifnifikan dalam menurunkan ketegangan urat saraf reflektif dan hasil ini tercatat dan terukur secara kuantitatif dan kualitatif oleh alat 97%, bahwa mendengarkan ayat suci AL-Quran memiliki pengruh mendatangkan ketenagangan dan menurunkan ketegangan urat syaraf reflektf (remolda, 2009 dalam handayani dkk, 2014).

Penelitian yang dilakukan oleh kardiatun (2015) dalam mahmuda ( 2018) tentang pengaruh terapi murotal surah alfatiha terhadap kecemasan pasien pre operasi di RSUD dr.soedarsono pontianak kalimantan barat didapatkan bahwa terapi murotal surah alfatiha dapat menurunkan kecemasan karena mampu mempengaruhi kelenjar adrenal agar tidak melepaskan hormon adrenalin (epinefrin) yang dapat menyebabkan peningkatan pernapasan pasien serta tekanan darah pasien sehingga mampu untuk mengurangi stress yang diakibatkan oleh kecemasan yang dialami oleh pasien pre opersi. Penelitian lain yang dilakukan oleh suwantoo dkk ( 2016) juga menyebabkan bahwa ada perbedaan antara penurunan tingkat kecemasan terapi musik klasik dan terapi murotal, dimana terapi murotal lebih efektif menurunkan kecemasan daripada musik klasik. Hal ini juga didukung oleh penelitian hakim (2018) yang menyatakanbahwa murotal alquran salah satu terapi komlementer yang dapat mengurangi kecemasan pasien pre operasi. Studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada bulan mei 2019 di Ruangg Bedah RSUD Kota Kendari, didapatkan data pasien yang menjalani pembedahan pada tahun 2016 sebanyak 2.041 orang, pada tahun 2017 sebanyak 2.031 orang dan pada tahun 2018 sebanyak 2.467 orang, dengan tara-rata 25 orang yang akan dioperasi tiap bulannya dengan opersi yang bermacam-macam, mulai dari bedah minor sampai bedah mayor dengan tingkat kecemasan yang berbeda-beda. Hasil wawanmcara pada 3 orang pasien pre opersi, 2 orang mengalami kecemasan berat dan 1 orang mengalami kecemasan sedang. Hal ini menunjukan setiap pasien yang akan menjalani opersi mengalami kecemasan.

Berdasarkan uraian tersebut diatas maka peneliti melakukan penelitian dengan judul “Studi Penerapan Terapi Murotal (Alquran) Terhadap Tingkat Kecemasan Pada Pasien Pre Operasi Di Ruang Melati RSUD Kot Kendari”.

METODE

Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan metode pendekatan studi kasus. Studi kasus adalah penelitian yang dilakukan dengan meneliti suatu permasalahan melalui suatu kasus yang terdiri dari unit tunggal satu orang atau suatu kelompok penduduk yang terkena suatu masalah (Notoatmodjo, 2010).

HASIL

Hasil pengukuran kecemasan sebelum dilakukan terapi murottal (Al Qur’an)

Penelitian ini pengkajian awal yang dilakukan berfokus pada tingkat kecemasan. Berdasarkan hasil studi, dapat diketahui pada saat pengkajian awal didapatkan hasil bahwa kelima subjek mengalami kecemasan dengan kategori skala cemas sedang, yakni subjek I dengan skor kecemasan 64, subjek II dengan skor kecemasan 60, subjek III dengan skor kecemasan 80, subjek IV dengan skor kecemasan 62, dan subjek V dengan skor kecemasan 70. dikarenakan ini

(6)

T e r a p e u t i k J u r n a l

P a g e

| 3

adalah pertama kalinya klien menjalani tindakan operasi serta belum pernah mendapatkan informasi terkait persiapan operasi sebelum, selama dan setelah tindakan operasi hingga perawatan sampai dirumah yang diberikan penjelasan secara bertahap. Peneliti memberikan kuesioner sehari sebelum tindakan operasi kepada subjek, setelah itu peneliti memberikan terapi murottal (Al Qur’an).

Hasil pengukuran kecemasan sesudah dilakukan terapi murottal (Al Qur’an)

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa kelima subjek sesudah dilakukan intervensi keperawatan dengan terapi murottal (Al Qur’an)hanya empat subjek yang terjadi penurunan tingkat kecemasan yaitu subjek I dengan skor 57 kategori kecemasan ringan, Sabjek III dengan skor kecemasan 58 kategori cemas ringan, subjek IV dengan skor kecemasan 50 kaegori cemas ringan, dan subjek V dengan skor 56 kategori cemas ringan. Sedangkan pada subjek II tidak terjadi penurunan tingkat kecemasan dengan skor 60 kecemasan sedang.yang dapat dilihat pada tabel 4.1 d\ibawah ini :

Tabel 4.1

Distribusi Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi Sebelum dan Sesudah Dilakukan terapi murottal (Al Qur’an)

Inisi al Suby ek Usi a (thn ) JK Tingkat Kecemasan

Pengukuran ke-1 Pengukuran ke-2

Jam Pre Post Jam Pre Post

Skor Kategori Skor Kategori Skor Kategori Skor Kategori

Ny.

W 52 P 08.00 64 Sedang 61 Sedang 10.00 60 Sedang 57 Ringan

Ny.

S 54 P 09.30 60 Sedang 60 Sedang 11.30 58 Ringan 54 Ringan

Tn.

F 44 L 07.00 80 Sedang 74 Sedang 09.00 64 Sedang 58 Ringan

Tn.

A 32 L 08.00 62 Sedang 59 Ringan 10.00 56 Ringan 50 Ringan

Ny.

M 42 P 11.00 70 Sedang 65 Sedang 13.00 62 Sedang 56 Ringan

Sumber : Data primer, 2019

Berdasarkan tabel 4.1 gambaran tingkat kecemasan pada subjek I menunjukan tingkat kecemasan pada pertemuan pertama untuk pre didapatkan kecemasan 64 (sedang) dan pos menunjukan kecemasan 61 (sedang) dan pertemuan kedua untuk pre didapatkan tingkat kecemasan 60 (sedang) dan pos menunjukan kecemasan 57 (ringan), subjek II menunjukan tingkat kecemasan pada pertemuan pertama untuk pre didapatkan kecemasan 60 (sedang) dan pos menunjukan kecemasan 60 (sedang) dan pertemuan kedua untuk pre didapatkan tingkat kecemasan 58 (sedang) dan pos menunjukan kecemasan 54 (ringan), subjek III menunjukan tingkat kecemasan pada pertemuan pertama untuk pre didapatkan kecemasan 80 (sedang) dan pos menunjukan kecemasan 74 (sedang) dan pertemuan kedua untuk pre didapatkan tingkat kecemasan 64 (sedang) dan pos menunjukan kecemasan 58 (ringan), subjek IV menunjukan tingkat kecemasan pada pertemuan pertama untuk pre didapatkan kecemasan 62 (sedang) dan pos menunjukan kecemasan 59 (sedang) dan pertemuan kedua untuk pre didapatkan tingkat kecemasan 56 (sedang) dan pos menunjukan kecemasan 50 (ringan), subjek V menunjukan tingkat kecemasan pada pertemuan pertama untuk pre didapatkan kecemasan 70 (sedang) dan pos menunjukan kecemasan 65 (sedang) dan pertemuan kedua untuk pre didapatkan tingkat kecemasan 62 (sedang) dan pos menunjukan kecemasan 56 (ringan), diketahui bahwa terjadi penurunan tingkat kecemasan dari kelima subjek, hanya empat subjek yang terjadi penurunanan tingkat kecemasan dan satu subjeknya tidak terjadi penurunan tingkat kecemasan yaitu dari skala cemas sedang menjadi skala cemas ringan.

(7)

T e r a p e u t i k J u r n a l

P a g e

| 4

Pembahasan

Peneliti pertama-tama meminta persetujuan untuk menjadi responden, menjelaskan tujuan, melakukan kontrak waktu dan meminta subyek menandatangani surat pernyataan persetujuan

menjadi subyek (informed concent), setelah pasien menyetujui diberikan lembar pengukuran

kecemasan kemudian selanjutnya intervensi terapi murottal (Al Qur’an) selama 15 menit. Pengukuran kecemasan setelah implementasii diukur sebanyak 2 kali pengukuran sebelum tindakan operasi.

Dari hasil penelitian diperoleh hasil bahwa pada kelima subjek, tingkat kecemasan yang didapatkan sebelum diberikan implementasi terapi murottal (Al Qur’an) tingkat kecemasan berada pada kategori cemas sedang, setelah dua kali diberikan intervensi terapi murottal (Al Qur’an) tingkat kecemasan berada pada kategori cemas ringan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi penurunan kecemasan setelah diberikan intervensi terapi murottal (Al Qur’an). Hal ini dikarenakan adanya penerimaan, pemahaman dan cara mengolah informasi pasien baik, disamping itu juga dapat dipengaruhi oleh usia dan tingkat pendidikan. Respon cemas yang terjadi pada klien berkaitan erat dengan mekanisme koping yang dimilikinya. Mekanisme koping yang baik akan membentuk respon psikologis yang positif sehingga dapat menunjang proses kesembuhan. Sebaliknya kecemasan yang terus berlanjut akan mempengaruhi proses tindakan yang dilakukan. Kuraesin (2009) menyatakan kecemasan yang terus berlanjut akan mengakibatkan peningkatan tekanan darah terutama pada pasien dengan riwayat hipertensi. Kecemasan yang berlebihan tidak jarang juga menyebabkan keluarga mengambil keputusan pembatalan tindakan operasi.

Hasil penelitian terlihat pada subjek III dengan skor kecemasan tertinggi 80 dengan kategori cemas sedang setelah diberikan intervensi turun menjadi skor 58 dengan kategori cemas ringan, hal ini dikarenakan penerimaan dan pemahaman klien dengan kondisi penyakitnya, disamping itu juga dapat dipengaruhi oleh usia dan tingkat pendidikan. Sedangkan skor kecemasan terendah pada subjek dengan skor 60 dengan kategori cemas sedang setelah diberikan intervensi turun menjadi skor 54 dengan kategori cemas ringan, hal ini dikarenakan subjek II dengan usia yang lebih tua dari kelima subjek, latar belakang pendidikan dan penerimaan kondisi penyakit yang diderita oleh klien.

Seseorang yang umurnya lebih muda jika dibandingkan dengan yang berumur lebih tua akan mengalami gangguan kecemasan. Gangguan kecemasan lebih sering dialami oleh perempuan dari pada laki-laki (Widodo, 2008). Dalam penelitian ini ditemukan sesuai dengan teori bahwa teori usia dan jenis kelamin didapatkan pada penelitian ini.

Kecemasan sangat mengurangi persepsi seseorang. Individu cenderung untuk berfokus pada sesuatu yang terinci dan spesifik serta tidak dapat berfikir tentang yang lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Individu memerlukan banyak pengarahan untuk dapat berfokus pada suatu area lain. Respon kecemasan seseorang dapat terjadi berbagai perubahan yang merupakan respon terhadap kecemasan yaitu antara lain respon fisiologi. Kecemasan pasien pre operasi sebelum intervensi dalam penelitian ini menunjukkan gangguan yang paling menonjol dan merata pada semua responden yaitu terjadinya gangguan pola tidur dan gangguan pernafasan. (Stuart, 2013).

Kecemasan pasien operasi dipengaruhi pula oleh faktor - faktor antara lain karena kurangnya pengetahuan pasien tentang persiapan operasi baik fisik maupun psikologis dan penunjang. Persiapan mental merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dalam proses persiapan operasi, karena mental pasien yang tidak siap atau labil dapat berpengaruh terhadap kondisi fisiknya. Secara mental, penderita harus dipersiapkan untuk menghadapi pembedahan, karena akan selalu ada rasa cemas akan penyuntikan, nyeri luka, anestesia, bahkan terhadap kemungkinan cacat atau mati (Majid, 2011).

Potter & Perry (2010), menyatakan tindakan untuk mengurangi tingkat kecemasan adalah dengan cara mempersiapkan mental diri dari pasien. Nataliza (2012) menyatakan pada saat mengalami stres, individu akan mencari dukungan dari keyakinan agamanya. Tindakan spiritual yang dapat digunakan untuk mengurangi kecemasan sesuai dengan ajaran Islam adalah murotal Al Qur’an. Murotal Al Qur’an mengandung beberapa manfaat salah satunya adalah ketenangan

(8)

T e r a p e u t i k J u r n a l

P a g e

| 5

jiwa, sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Nugroho (2011) tentang konsep jiwa dalam Al Qur’an menyatakan bahwa Al Qur’an sangat berkaitan erat dengan kesehatan jiwa seseorang. Stimulan Al Qur’an rata-rata didominasi oleh gelombang delta. Stimulan terapi murotal Al Qur’an sering memunculkan gelombang delta di daerah frontal dan sentral baik sebelah kanan dan kiri otak. Adapun fungsi dari daerah frontal yaitu sebagai pusat intelektual umum dan pengontrol emosi, sedangkan fungsi dari daerah sentral yaitu sebagai pusat pengontrol gerakan-gerakan yang dilakukan. Sehingga, stimulan Al Qur’an ini dapat memberikan ketenangan, ketentraman dan kenyamanan responden (Abdurrochman, 2008 dalam Destiana, 2012). menurut Mustamir (2009) menyatakan bahwa bacaan Al Qur’an yang paling baik digunakan untuk menurunkan kecemasan adalah bacaan Surah Al Fatihah karena di dalamnya terkandung intisari dari Al Qur’an. Selain Surah Al Fatihah, Surah An Naas, Al Falaq, dan Al Ikhlas merupakan Surah yang mempunyai keterkaitan antar ayat atau surat dengan Surah Al Fatihah sehingga mempunyai hubungan sejajar atau paralel.

Penelitian ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Maulana dkk (2015), menunjukkan penurunan sebesar 29 angka yang mana terapi murotal Al Qur’an secara langsung memberikan pengaruh fisik dan psikis terhadap responden, hal ini terjadi akibat responden meresapi dan benar-banar melakukan serangkain intervensi dengan baik, maka manfaat murotal secara langsung didapatkan oleh responden sehingga disimpulkan bahwa pemberian terapi murotal Al Qur’an berpengaruh terhadap nilai kecemasan pasien pre operasi.

Asumsi peneliti bahwa kecemasan pada pasien operasi dapat menurunkan tingkat kecemasan dan juga dapat mendekatkan diri kepeda allah.

Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan hasil dan pembahasan studi kasus ini, dapat disimpulkan bahwa terapi murottal (Al Qur’an)dapat menurunkan tingkat kecemasanpada pasien pre operasi di RSUD Kota Kendari.

DAFTAR PUSTAKA

Akper PPNI Kendari. (2018). Pedoman Penyusunan Karya Tulis Ilmiah. Kendari

Baradero M, et al. (2008). Keperawatan Perioperatif. Jakarta: EGC

Depkes (2011). Pedoman Nasional Etik Kesehatan. Jakarta

Doengoes. (2012). Rencana Asuahan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan.

Pendokumentasian Perawatan pasien. Jakarta : EGC Fitriani S. (2010). Promosi Kesehatan Edisi 1.Yogyakarta : Graha Ilmu

Helmi, Zairin N. (2013). Buku Ajar Gangguan Muskuluskeletal. Jakarta : Salemba Medika.

Hidayat, A. (2014). Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan.

Salemba Medika : Jakarta

Harini. (2009). Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Penurunan Tingkat Kecemasan

Pasien Dengan Tindakan Kemoterapi di Ruang Mawar II RSUD Dr. Moewardi.

Herdman. T. H. (2015). Nursing Diagnoses: Definitions and Classification. Wiley Company. USA

Hartono, A. (2010). Terapi Gizi dan Diet Rumah Sakit. Penerbit EGC : Jakarta.

Keliat, Budianna. (2008). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC

Kozier, Barbara. (2010). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik,

(9)

T e r a p e u t i k J u r n a l

P a g e

| 6

Majid A, et al. (2011). Keperawatan Perioperatif Edisi 1. Yogyakarta: Goysen Publishing

Mansjoer, Arif. (2010). Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.

Moesbar. (2015). Laporan Penelitian. http://repository.usu.ac.id/.pdf.

Murwani. (2014). Perawatan Pasien Penyakit Dalam. Yogyakarta : Gosyen

Nashrulloh M. (2009). Hubungan antara tingkat pengetahuan perawat dengan tindakan

keperawatan pasca bedah dengan general aenesthesia di Ruang Al Fajr dan Al Hajji di Rumah Sakit Islam Islam Surakarta (skripsi). Surakarta; Fakultas Ilmu Kesehatan. Universitas Muhammadiyah Surakarta

Ningsih, (2011). Efektifitas Paket Pereda Terhadap Intensitas Nyeri Pada Remaja dengan Di SMA Negeri Kecamatan Curup. Tesis Universitas Indonesia : Jakarta

Notoatmodjo, S. (2010). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

Notoatmodjo, S. (2011). IlmuKesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta

Notoatmodjo, S. (2012). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Riset Keperawatan

Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika

Nursalam & Efendi, (2009). Pendidikan Dalam Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika

Nursalam. (2011). Metedologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pendekatan Praktis Edisi 4.

Jakarta:Salemba Medika.

Nursalam. (2014). Manajemen Keperawatan : Aplikasi Dalam Praktik Keperawatan Profesional.

Jakarta : Salemba Medika

Price & Wilson. (2009). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Prose Penyakit. Jakarta: EGC

Rhodianto. (2008). Analisis Faktor - Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Fungsional Pasien

Paska Open Reduction Internal Fixation( ORIF) Fraktur Ektermitas Bawah, Di. RS. Ortopedi PROF. Soeharso Surakarta. Jurnal Ilmiah Kesehatan

Septiana, Sulis. (2016). Pengaruh Pendidikan Kesehatan Pra Bedah TerhadapTingkatKecemasan Pasien Pre Operasi Fraktur Di RSUD DR.Moewardi. STIKES PKU Muhammadiyah Surakarta.

Smeltzer, S & Bare, (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth's Edisi

8. Volume 1. Jakarta: EGC.

Sudigdo. (2008). Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Rineka Cipta : Jakarta

Stuart, G. Wiscarz. (2007). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Uliyah, M & Hidayat. (2008). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta : Salemba Medika

Wahit, Iqbal M. (2007). Ilmu keperawatan Komunitas. Jakarta : Salemba Medika

(10)

T e r a p e u t i k J u r n a l

P a g e

| 7

Efektivitas Senam Otak Untuk Meningkatkan Daya Ingat Lansia Di Loka Rehabilitasi Sosial Lanjut Usia Minaula Kendari

Aluddin1, Wulandari2 Dosen, AKPER PPNI Kendari Email:Aluddin70@yahoo.com

ABSTRAK

Lansia merupakan seseorang yang telah berusia 60 tahun keatas baik itu seorang pria maupun wanita, yang masih sanggup beraktivitas atau bekerja ataupun mereka yang tidak berdaya untuk mencari nafkah sendiri. Terdapat beberapa masalah yang dihadapi lansia terkait dengan perkembangan kognitif adalah melemahnya daya ingat terhadap sesuatu hal (pikun). Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya ingat lansia adalah senam otak sebagai metode non farmakologi. Senam otak adalah senam ringan yang dilakukan dengan gerakan menyilang, agar terjadi harmonisasi dan optimalisasi kinerja otak kanan dan otak kiri. Mekanisme terapi senam otak diaplikasikan perawat dengan mengajarkan cara melakukan beberapa gerakan pada subjek, selain dapat meningkatkan daya ingat, terapi tersebut juga dapat meningkatkan fungsi kognitif pada lansia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas senam otak untuk meningkatkan daya ingat lansia. Subjek studi kasus adalah lansia yang mengalami penurunan daya ingat dengan skor Mini Mental State Examination (MMSE) kurang dari 24 di Loka Rehabilitasi Sosial Lanjut Usia Minaula Kendari. Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan membandingkan nilai MMSE subjek sebelum dan setelah senam otak selama empat hari dalam satu minggu dengan durasi setiap pertemuan 15-20 menit. Hasil penelitian terhadap tiga orang subjek diperoleh kesimpulan bahwa terapi senam otak yang dilakukan selama satu minggu mulai tanggal 29 Juli – 03 Agustus tahun 2019 dapat meningkatkan daya ingat Tn. S nilai fungsi kognitif sebelum terapi nilai 20 dan setelah terapi nilai meningkat menjadi 23. Sedangkan pada Ny. Z nilai fungsi kognitif sebelum terapi nilai 13 dan setelah terapi nilai meningkat menjadi 17. Dan pada Ny. S nilai fungsi kognitif sebelum terapi nilai 15 dan setelah terapi nilai meningkat menjadi 18.

PENDAHULUAN

Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas, berdasarkan Undang-Undang No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Secara global populasil lansia diprediksi terus mengalami peningkatan, UN, World Population Properties, The 2012 Revolution menyebutkan bahwa proporsi lansia ditahun 2013 mencapai 13,4% penduduk dunia, sedangkan untuk Indonesia proporsi lansia ditahun 2013 mencapai 8,9% dan prediksi terus mengalami peningkatan hingga tahun 2100. Struktur populasi lansia merupakan cerminan dari semakain tinggi rata-rata Usia Harapan Hidup (UHH) penduduk Indonesia. Tingginya UHH merupakan salah satu indikator keberhasilan pencapaian pembangunan nasional teruama dibidang kesehatan (BPS RI, 2015).

Dalam proses menua, sel otak juga mengalami penuaan. Fungsi organ tubuh akan semakin menurun baik karena faktor alamiah atau karena faktor penyakit karena semakin bertambahnya usia, proses menua adalah proses yang akan dialami oleh semua makhluk hidup. Menjadi tua ditandai dengan adanya kemunduran biologis yang terlihat sebagai gejala-gejala kemunduran fisik pendengaran dan penglihatan berkurang mudah lelah, gerakan menjadi lamban, kemunduran lain yang terjadi adalah gangguan kemampuan kognitif pada lansia salah satunya adalah penurunan daya ingat (Arita, 2011).

Beragam pengobatan dapat diterapkan pada pasien dengan penurunan daya ingat ini. Mulai dari terapi farmakologis dengan menggunakan obat-obatan sampai terapi nonfarmakologis seperti rehabilitasi medis berupa fisioterapi, latihan kognitif, terapi wicara dan terapi okupasi. Terapi nonfarmakologis perlu diterapkan pada pasien ini untuk menunda kemunduran kognitif dengan

(11)

T e r a p e u t i k J u r n a l

P a g e

| 8

menerapkan perilaku sehat dan melakukan stimulasi otak sedini mungkin dengan beragam terapi seperti rekreasi, membaca, mendengarkan musik, mengingat waktu dan tempat, berdansa, terapi seni dan senam otak untuk melatih kemampuan otak bekerja. Banyak orang yang terbantu melepaskan stress, menjernihkan pikiran, dan meningkatkan daya ingat dengan melakukan senam otak (Yanuarita, 2012).

Penurunan fungsi kognitif atau penurunan daya ingat ini dapat diperbaiki dengan senam otak. Biasanya latihan ini yang dianjurkan empat kali seminggu, masing-masing sekitar 15-20 menit. Brain gym mengoptimalkan otak belahan kanan secara garis besar bertugas mengontrol badan bagian kiri, serta berfungsi untuk intuitif, merasakan, bermusik, menari, kreatif, dan melihat keseluruhan. Otak kanan juga mendorong manusia untuk besosialisasi, komunikasi, interaksi dengan manusia lain, serta pengendalian emosi. Pada otak kanan ini juga terletak kemampuan intuitif , kemampuan merasakan, memadukan, dan ekspresi tubuh. Otak belahan kiri secara garis besar bertugas mengatur badan bagian kanan yang berfungsi untuk berpikir logis, rasional, menganalisis, kemampuan menulis dan membaca, berbicara, berorientasi pada waktu, dan hal-hal yang rinci (Supardjiman, 2011).

Senam otak juga berguna untuk melatih otak. Latihan otak akan membuat otak bekerja atau aktif. Menurut penelitian, otak seseorang yang aktif (suka berpikir) akan lebih sehat secara keseluruhan dari orang yang tidak atau jarang menggunakan otaknya. Pada teorinya suatu organ yang aktif akan memerlukan pasokan itu lancar maka bisa dikatakan organ tersebut sehat (Yanuarita, 2012).

Menurut ahli senam otak sekaligus penemu senam otak, dari lembaga Educational Kinesiology Amerika Serikat Paul E. Denission Ph.D., meski sederhana, senam otak mampu memudahkan kegiatan belajar dan melakukan penyesuaian terhadap ketegangan, tantangan dan tuntutan hidup sehari-hari. Selain itu senam otak juga bisa mengoptimalkan perkembangan dan potensi otak serta meningkatkan kemampuan berbahasa dan daya ingat. Pada lansia, penurunan kemampuan otak dan tubuh, membuat tubuh mudah jatuh sakit, pikun dan frustasi. Meski demikian penurunan ini bisa diperbaiki dengan melakukan senam otak. Senam otak tidak saja memperlancar aliran darah dan oksigen ke otak, tetapi juga merangsang kedua belahan otak untuk bekerja (Yanuarita, 2012).

Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan Ah. Yusuf, dkk, diberikan kepada responden berdasarkan Standar Operasional Prosesur (SOP) diberikan empat kali dalam seminggu selama satu bulan dengan durasi waktu tiap pertemuan 15-20 menit dengan menunjukkan hasil bahwa ada pengaruh senam otak terhadap peningkatan fungsi kognitif lansia pada kelompok perlakuan dengan jumlah lansia dengan fungsi kognitif cukup meningkat menjadi 60%, sebanyak 20% lansia mengalami peningkatan fungsi kognitif menjadi baik dan fungsi kognitif kurang tetap ada sebanyak 20%.

Adapun data yang diperoleh di Loka Rehabilitasi Sosial Lanjut Usia pada tahun 2019 sebanyak 40 lansia dengan jumlah lansia laki-laki sebanyak 25 orang dan perempuan 15 orang. Serta terdapat beberapa lansia yang dapat berkomunikasi dengan baik sebanyak 28 lansia, sedangkan 12 lansia lainnya berada diruangan khusus/nursing care. Data yang diperoleh dari perawat dapat disimpulkan bahwa hampir seluruh lansia di Loka Rehabilitasi Sosial Lanjut Usia mengalami tanda dan gejala penurunan fungsi kognitif dan daya ingat.

Sehingga, berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka peneliti telah melakukan penelitian dengan judul Efektivitas Senam Otak Untuk Mengurangi Demensia Pada Lansia di Loka Rehabilitasi Sosial Lanjut Usia Minaula Kendari.

METODE STUDI KASUS

Desain yang dilakukan dalam penelitian ini adalah, studi yang mengesplorasi suatu masalah atau fenomena dengan batasan terperinci, memiliki pengambilan data yang mendalam dan menyertakan berbagai sumber informasi. Studi kasus dibatasi oleh waktu dan tempat, serta kasus yang dipelajari berupa peristiwa, aktivitas atau individu (Parwoto, 2015).

(12)

T e r a p e u t i k J u r n a l

P a g e

| 9

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pelaksanaan terapi Senam Otak (Brain Gym)

Berdasarkan penelitian didapatkan nilai hasil sebelum dan setelah pelaksanaan terapi Senam

Otak (Brain Gym) pada lansia diuraikan pada tabel berikut :

Tabel 2. Gambaran Nilai Fungsi Kognitif Berdasarakan Kuesioner Mini Mental State

Examination(MMSE) Sebelum dan Setelah Pemberian Terapi Senam Otak (Brain Gym) Subjek Nilai MMSE Sebelum Tindakan (Dilakukan sehari sebelum tindakan)

Waktu Pemberian Senam

Otak Nilai MMSE Setelah Tindakan (Dilakukan sehari setelah tindakan) Keterangan (Berhasil/Tidak Berhasil) Hari

Ke-1 Ke-2 Hari Ke-3 Hari Ke-4 Hari

Tn. S 20 09:00 09:00 08:45 08:45 23 Tidak Berhasil

Ny. Z 13 09:00 09:00 08:45 08:45 17 Tidak Berhasil

Ny. S 15 09:00 09:00 08:45 08:45 18 Tidak Berhasil

Sumber : Data Primer, tahun 2019

Berdasarkan Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa pada saat pengkajian awal sebelum diberikan

terapi Senam Otak (Brain Gym) didapatkan nilai fungsi kognitif Tn. S adalah 20, Ny. Z adalah 13,

dan Ny. S adalah 15. Dilihat dari interpretasi hasil yaitu Tn. S mengalami gangguan fungsi kognitif sedang, Ny. Z mengalami gangguan fungsi kognitif berat, dan Ny. S juga mengalami gangguan fungsi kognitif berat.

Peneliti memberikan terapi senam otak selama empat kali pertemuan dalam seminggu yang pada tiap pertemuan waktu terapi yang dibutuhkan 15-20 menit yang diikuti oleh masing-masing subjek. Terapi senam otak dilakukan pada pertemuan pertama belum sempurna pada masing-masing subjek karena baru pertama kali melakukan terapi tersebut juga belum mampu berkonsentrasi dengan baik. Pada pertemuan pertama terapi dilakukan dua kali berturut-turut sampai masing-masing subjek merasa gerakannya sudah sesuai SOP.

Terapi senam otak (brain gym) dilakukan dengan baik pada pertemuan kedua dimana gerakan

yang dilakukan subjek 1 dan 3 sudah baik namun pada subjek 2 masih harus mengulangi beberapa gerakan hingga sesuai yang diajarkan peneliti. Selanjutnya pada hari ketiga gerakan senam otak yang dilakukan masing-masing subjek sudah baik dan sesuai SOP. Begitupun pada pertemuan terakhir gerakan senam otak pada lansia dilakukan dengan baik karena subjek telah sedikit menghafal gerakan-gerakan tersebut.

Berdasarkan data pada tabel 2 menunjukkan terdapat peningkatan nilai fungsi kognitif lansia setelah diberikan terapi senam otak (brain gym) selama empat kali pertemuan pada masing-masing subjek, namun belum dapat meningkatkan daya ingat dari semua subjek.

Pembahasan

Studi kasus ini bertujuan untuk menggambarkan terapi Senam Otak (Brain Gym) untuk

meningkatkan daya ingat pada lansia. Pada pelaksanaan terapi senam otak ini sebelumnya dilakukan pengkajian awal untuk mengetahui nilai fungsi kognitif lansia dan setelah itu dilakukan terapi dalam beberapa gerakan dengan waktu 15-20 menit yang diinstruksikan

peneliti kemudian subjek diminta mengikuti gerakan tersebut. Terapi Senam Otak (Brain Gym)

(13)

T e r a p e u t i k J u r n a l

P a g e

| 10

kognitif menggunakan kuesioner Mini Mental State Examination (MMSE) sebelum dan setelah

terapi.

Hasil observasi didapatkan bahwa ketiga subjek penelitian sangat bersemangat untuk mengikuti

terapi Senam Otak (Brain Gym). Peneliti melakukan kontrak waktu pelaksanaan terapi Senam

Otak (Brain Gym) pada masing-masing subjek dan menyetujui, pasien juga terlihat kooperatif serta mampu mengikuti terapi yang diberikan secara bertahap dan mengikuti sesuai dengan apa yang peneliti instruksikan.

Dari hasil penelitian terapi Senam Otak (Brain Gym) pada lansia di Loka Rehabilitasi Sosial Lanjut Usia Minaula Kendari diperoleh hasil adanya peningkatan nilai fungsi kognitif setelah dilakukan terapi Senam Otak (Brain Gym). Pada subjek I didapatkan terjadi peningkatan nilai fungsi kognitif sebelum terapi nilai 20 (gangguang fungsi kognitif sedang) dan setelah terapi nilai meningkat menjadi 23 (gangguang fungsi kognitif sedang). Sedangkan pada subjek II didapatkan juga terjadi peningkatan nilai fungsi kognitif sebelum terapi nilai 13 (gangguang fungsi kognitif berat) dan setelah terapi nilai meningkat menjadi 17 (gangguang fungsi kognitif berat). Dan pada subjek III didapatkan terjadi peningkatan nilai fungsi kognitif sebelum terapi nilai 15 (gangguang fungsi kognitif berat) dan setelah terapi nilai meningkat menjadi 18 (gangguang fungsi kognitif sedang). Terapi ini dilaksanakan dengan mempertimbangkan kondisi pasien mengingat subjek pada studi kasus ini adalah lansia.

Perubahan nilai fungsi kognitif pada masing-masing subjek dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu

proses penuaan pada otak dan pertambahan usia. Dalam proses terapi Senam Otak (Brain Gym)

yang dilakukan masing-masing subjek, pada subjek I nilai fungsi kognitif sebelum dan setelah diberikan terapi meningkat namun dilihat berdasarkan interpretasi hasil tetap dalam kisaran gangguan fungsi kognitif sedang, pada subjek II nilai fungsi kognitif sebelum dan setelah diberikan terapi juga meningkat namun dilihat berdasarkan interpretasi hasil tetap dalam kisaran gangguan fungsi kognitif berat, sedangkan pada subjek III nilai fungsi kognitif sebelum terapi mengalami gangguan fungsi kognitif berat dan setelah diberikan terapi meningkat menjadi gangguan fungsi kognitif sedang. Hal ini terjadi karena dalam proses terapi subjek III melakukan gerakan dengan penuh semangat dan dilihat dari usia subjek terdapat perbedaan jauh lebih muda dibandingkan pada subjek I dan II yang cenderung mengarah pada penurunan fungsi otak.

Lansia mengalami kemunduran sel karena proses penuaan yang berakibatkelemahan organ, kemunduran fisik, dan timbulnyapenyakitdegeneratif.Padaumumnya setelah orang memasuki masa lansia maka ia akan mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor.

Kognitif adalah kemampuan pengenalandanpenafsiranseseorangterhadap

lingkunganberupaperhatian,bahasa,memori, visuospasial, dan fungsi memutuskan (Lesmana, 2009).

Lansia mengalami penurunan berat otakberkisarsampai10% padausia30–70 tahun. Volumeotakyangberkurangsejalan dengan penuaan memengaruhi penyusutan neuron sel-sel otak. Penyusutan neuron ini akanmempengaruhikinerjadarikorteksserebri. Sebagian besar penyimpanan informasi dan proses berpikir terjadi di dalam korteks serebri. Penyimpanan informasi merupakan proses yang disebut daya ingat (memori). Penurunan

kemampuankorteks serebri akan mengakibatkan gangguan sistem transmisi

neurotransmitter yang dapat mengakibatkan gangguan mental dan perilaku sehingga berakibat pada penurunan fungsi kognitif (Lesmana, 2009).

Senam otak sendiri bertujuan untuk menjaga keseimbangan kinerja antara otak kanan dan

kiri tetap optimal. Senam otak memberikanstimulus perbaikanpada serat- serat di corpus

callosum yang menyediakan banyak hubungan saraf dua arah antara area kortikal kedua

hemisfer otak, termasuk hypokampus dan amygdala. Gerakan senam otak mengaktifkan

kembali hubungan saraf antara tubuh dan otak sehingga memudahkan

aliranenergielektromagnetikkeseluruhtubuh. Gerakan ini menunjang perubahan elektrik dan kimiawiyang berlangsung pada semua kejadian mental dan fisik (Dennison, 2009).

Dari hasil penelitian yang dilakukan Ah. Yusuf, dkk (2010), menunjukkan hasil bahwa ada pengaruh senam otak terhadap peningkatan fungsi kognitif lansia pada kelompok perlakuan

(14)

T e r a p e u t i k J u r n a l

P a g e

| 11

dengan jumlah lansia dengan fungsi kognitif cukup meningkat menjadi 60%, sebanyak 20% lansia mengalami peningkatan fungsi kognitif menjadi baik dan fungsi kognitif kurang tetap ada sebanyak 20%. Penelitian lain yang dilakukan oleh Safirah Dwi Wulan Septiani, dkk (2016), terdapat perbedaan tingkat demensia pada kedua kelompok sebelum dan setelah diberikan

Senam Otak (Brain Gym) pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yaitu dapat

diketahui bahwa nilai t=4.610 dan nilai p-value=0.000 yang artinya ada pengaruh yang

signifikan antara senam otak terhadap tingkat demensia karena nilai p-value lebih kecil dari alpha yaitu nilai p-value 0,000 ≤ 0,05 (α).

Dampakpositifsenamotakpada lansia,setelahsatu minggu pelaksanaanterjadi peningkatan fungsi memori (kognitif), konsentrasi (kecerdasan), atensi dan kewaspadaan untuk mengurangi pikun atau meningkatkan daya ingat (Lihardo, 2009).

Kesimpulan

Dari hasil penelitian terhadap tiga orang subjek diperoleh kesimpulan bahwa terapi Senam Otak (Brain Gym) yang dilakukan selama empat kali pertemuan dalam satu minggu dimulai tanggal 29 Juli - 03 Agustus tahun 2019 belum mampu meningkatkan daya ingat lansia terbukti pada Tn. S nilai fungsi kognitif sebelum terapi nilai 20 dan setelah terapi nilai meningkat menjadi 23. Sedangkan pada Ny. Z nilai fungsi kognitif sebelum terapi nilai 13 dan setelah terapi nilai meningkat menjadi 17. Dan pada Ny. S nilai fungsi kognitif sebelum terapi nilai 15 dan setelah terapi nilai meningkat menjadi 18.

DAFTAR PUSTAKA

Bulecheck, G.M. (2015). Nursing Incomes Classification.Amerika:Elsevies Inc

Corwin, J.E. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Ed.3. Jakarta:EGC

Dennison, P,E, Gail E D (2009). Brain Gym Senam Otak. Jakarta:Grasindo

Effendi, F (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas : Terori Dan Praktek Dalam Keperawatan.

Jakarta:Salemba Medika

Herdman, T. Heater (2015). NANDA International Diagnosis Keperawatan Definisi Dan

Klasifikasi 2015-2017. Jakarta:EGC

Kushariyadi (2010). Askep Pada Klien Lanjut Usia. Jakarta: Salemba Medika

Luthfil, F.Y., & Holidah, E.N. (2018). Studi Kasus Penerapan Masase Kaki Dengan Citronella Oil

Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pasien Hipertensi. Jurnal Keperawatan

Muhammadiyah 3(1) 2018. Hal 115-123.

Moorhed, S (2015). Nursing Outcome Classification. Amerika: Elsevies Inc

Parwoto, Edy (2015). Panduan Penyusunan Karya Tulis Ilmiah. Studi Kasus Program DIII

Keperawatan Jawa Timur:AIPDIKI

Potter & Perry (2005). Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, Dan Praktis Edisi 4 vol 1.

Jakarta:EGC

Septiani, S.W., Suyamto., & Santoso, T. Pengaruh Senam Otak Terhadap Tingkat Demensia Pada

Lansia. Jurnal Keperwatan Notokusumo,Vol. IV, No. 1, Agustus 2016, Hal 47-53.

Wardani, N.S. (2017). Pengaruh Terapi Senam Otak (Brain Gym) Terhadap Daya Ingat Jangka

(15)

T e r a p e u t i k J u r n a l

P a g e

| 12

WHO (2012). Health Of The Ederly Geneva WHO. Yokyakarta: Teranova Books

Yanuarita (2012). Memaksimalkan Otak Melalui Senam Otak (Brain Gym). Jakarta: Salemba

Medika

Yusuf, A.H., Indarwati, R., & Jayanto, A.D. (2010). Senam Otak Meningkatkan Fungsi Kognitif Lansia. Jurnal Ners Vol. 5, No. 1, April 2010, Hal 79-86.

Zaenurrohmah, D.H., & Rachmayanti, R.D. (2017). Hubungan Pengetahuan Dan Riwayat

Hipertensi Dengan Tindakan Pengendalian Tekanan Darah Pada Lansia. Jurnal Berkala

(16)

T e r a p e u t i k J u r n a l

P a g e

| 13

Gambaran Pemberian Kompres Dingin Terhadap Intensitas Nyeri Anak Usia Sekolah Saat Pemasangan Infus di Ruang Instalasi Gawat Darurat di Rumah Sakit Umum Dewi Sartika Kota

Kendari

Herman 1, Resti Meiyani2 Dosen, AKPER PPNI Kendari ABSTRACT

.Anak yang mengalami keadaan sakit disertai ketidakmampuan fisik dan pengobatan membutuhkan perawatan dirumah sakit. ketika dirumah sakit anak diharuskan untuk menghadapi lingkungan yang baru, serta Prosedure-prosedure yang dapat menimbulkan nyeri, nyeri yang dirasakan anak akibat prosedure invasif salah satunya adalah pemasangan infus. Pemasangan infus adalah prosedure penusukan vena untuk memasukan obat atau cairan kedalam pembuluh darah, adanya penusukan vena pada pemasangan infus dapat menimbulkan rasa cemas, takut dan nyeri, nyeri merupakan sensasi ketidaknyamanan yang bersifat individual, pengaruh buruk yang dapat terjadi terutama pada anak akibat nyeri pemasangan infus adalah ketakutan, kecemasan, marah, pobia terhadap jarum suntik serta menolak untuk tindakan selanjutnya. Kompres dingin merupakan terapi nonfarmakologi yang cocok diberikan sebelum melakukan pemasangan infus, dingin akan menimbulkan mati rasa sebelum rasa sakit timbul. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pemberian kompres dingin terhadap intensitas nyeri anak usia sekolah saat pemasangan infus di ruang IGD Rumah Sakit Umum Dewi Sartika Kota Kendari. Jenis penelitian ini adalah Deskriptif dengan pendekatan studi kasus. Subjek dalam penelitian ini adalah 2 responden dengan kriteria, anak usia sekolah, serta bersedia untuk dilakukan tindakan kompres dingin. Instrumen yang peneliti gunakan yaitu lembar observasi serta alat dan bahan kompres dingin. Analisa data dilakukan secara deskriptif tentang pengaruh pemberian kompres dingin. Anak yang dikompres mendapatkan skala nyeri 2 saat pemasangan infus, sedangkan anak yang tidak dilakukan kompres mendapat skala 6. Diharapkan kompres dingin ini selalu diterapkan pada anak sebelum pemasangan infus untuk menggurangi nyeri yang dirasakan anak saat pemasangan infus.

PENDAHULUAN

Anak yang mengalami keadaan sakit disertai dengan pembatasan aktifitas harian, ketidakmampuan fisik dan pengobatan membutuhkan perawatan dirumah sakit ( Mariyam, 2011 ). Hospitalisasi merupakan kondisi kritis bagi anak. Kondisi krisis ini terjadi karena anak mencoba beradaptasi dengan lingkungan yang dianggapnya asing dan baru, sehingga kondisi tersebut mengharuskan anak untuk berpisah dengan lingkungan yang dirasakannya aman (Oktiawati, 2017).

Ketika di rumah sakit, anak diharuskan untuk menghadapi lingkungan yang baru, pemberi asuhan keperawatan yang tidak dikenal anak dan prosedur-prosedur sehingga anak merasakan nyeri, kehilangan kemandirian anak dan hal lainnya (Wong, 2009). Perawatan yang dijalani anak selama Hospitalisasi dapat dianggap sebagai suatu pengalaman yang mengancam dan merupakan sebuah stressor, serta dapat menimbulkan krisis bagi anak dan keluarga. Hal ini mungkin terjadi karena anak tidak memahami mengapa di rawat, stress dengan adanya perubahan akan status kesehatan, lingkungan dan kebiasaan sehari-hari dan keterbatasan mekanisme koping (Yuli Utami, 2014).

Anak kesulitan memahami nyeri dan prosedur invasif yang menyebabkan nyeri. Nyeri yang dirasakan anak akibat prosedur invasif salah satunya adalah pemasangan infus (Asriani dkk 2017).

Pemasangan infus adalah prosedure penusukan vena dengan menggunakan over needle catheter (ONC) untuk mamasukan obat atau cairan kedalam pembulu darah. Adanya penusukan vena pada pemasangan infus dapat menimbulkan rasa cemas, takut dan nyeri (Mariyam, 2011). Nyeri merupakan sensasi ketidaknyamanan yang bersifat individual. Klien merespon rasa nyeri dengan beragam cara, misalnya berteriak, menangis, dan lain-lain. Oleh karena itu nyeri bersifat

(17)

T e r a p e u t i k J u r n a l

P a g e

| 14

subjektif, maka perawat harus peka terhadap sensasi nyeri yang dialami klien, itulah sebabnya diperlukan kemampuan perawat dalam mengidentifikasi dan mengatasi rasa nyeri (Sutanto dan Fitriana, 2017).

Rasa nyeri yang tidak tertangani dengan baik akan memberikan pengaruh buruk bagi fisik, emosi, perilaku, kognitif, dan psikologis. Pengaruh buruk yang dapat terjadi seperti ketakutan, kecemasan, penolakan untuk prosedur selanjutnya, penurunan ambang batas nyeri, pengurangan keefektifan analgesik, pobia terhadap jarum suntik, marah, perilaku agresif, ketidakmampuan berkonsentrasi dan ketidak percayaan pada tenaga kesehatan. Selain itu juga dampak buruk terhadap fisik erat kaitannya dengan respon stress yang dapat mempengaruhi berbagai sistem tubuh, seperti fungsi kardiopulmoner (peningkatan tekanan darah, denyut jantung, dan frekuensi pernapasan), metabolisme, dan sistem imun. Adapun dampak jangka panjang nyeri yang dapat terjadi berupa insomnia, depresi, perubahan nafsu makan, dan kelelahan (Czarnecki & Taddio, 2011).

Pengurangan nyeri merupakan kebutuhan dasar dan hak semua anak. metode pengurangan nyeri dikelompokan menjadi dua yaitu farmakologi dan nonfarmakologi. farmakologi merupakan teknik menggunakan obat-obatan (Wong, 2009) tetapi tidak digunakan pada pemasangan infus, sedangkan nonfarmakologi merupakan teknik penggurangan nyeri tanpa menggunakan obat-obatan meliputi, hipnotis, guide image, terapi musik, kompres dingin, kompres hangat (Asriani, 2017)

Kompres dingin merupakan terapi nonfarmakologi yang cocok diberikan sebelum dilakukan pemasangan infus. Panas yang berlebihan akan menimbulkan rasa terbakar. Dingin, akan menimbulkan mati rasa sebelum rasa nyeri timbul. Kompres dingin dapat menimbulkan efek anastesi lokal pada luka tusuk akibat pemasangan infus. (Potter & Perry, 2013)

Berdasarkan penelitian Fauzi & Hendrayani 2013 dalam jurnal Asriani dkk, Hasil penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh kompres dingin pada prosedur pemasangan infus anak usia sekolah. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Purnamasari yang meneliti tentang Efektifitas Kompres Dingin terhadap Penurunan Intensitas Nyeri pada Pasien Fraktur di RSUD Unggaran. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh kompres dingin terhadap intensitas nyeri pasien fraktur. Hal ini membuktikan bahwa kompres dingin efektif untuk menurunkan intensitas nyeri (Purnamasari, 2014). Berdasarkan penelitian (Indriyani,2013) menyangkut tentang kompres dingin pada anak sekolah mengenai pemasangan infus dalam jurnal Putu Satya dkk, menyatakan bahwa kompres dingin dapat menurunkan nyeri anak usia sekolah saat pemasangan infus. Sejalan dengan penelitian (Nurchairiah, 2013) menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan intensitas nyeri setelah diberikan kompres dingin antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Yang artinya ada pengaruh kompres dingin terhadap tingkat nyeri pada prosedur invasif pemasangan infus anak usia sekolah di RS Bendan Kota Pekalongan.

Berdasarkan data dari rekam medik RSU Dewi Sartika, jumlah anak yang masuk di ruang IGD selama kurang lebih dua tahun terakhir yaitu pada tahun 2017–2018 berjumlah 371 anak usia prasekolah yang dirawat. Studi pendahuluan dilakukan di IGD melalui wawancara pada 2 orang perawat serta observasi pada 3 orang anak ketika pemasangan infus.

Perawat mengatakan bahwa tindakan kompres dingin belum pernah dilakukan ketika pemasangan infus pada anak. Sedangkan Berdasarkan dari wawancara dan observasi pada 3 orang anak di ruang perawatan anak, dua anak mengatakan pada saat pemasangan infus perawat mengalihkan pikirannya dengan cara menyampaikan pada anak bahwa pemasangan infus itu lebih sakit di gigit semut dan satu orang anak lagi mengatakan bahwa perawat hanya menyampaikan tindakan pemasangan infus itu tidak sakit.

Berdasarkan latar belakang diatas maka saya tertarik mengambil judul “Pemberian Kompres Dingin Pada Anak Usia Sekolah Untuk Mengurangi Tingkat Nyeri Pada Saat Pemasangan Infus”

(18)

T e r a p e u t i k J u r n a l

P a g e

| 15

METODOLOGI PENELITIAN

Jenis/desain studi kasus ini adalah Jenis Observasi Deskriptif dengan pendekatan studi kasus. Studi kasus adalah mempelajari gambaran epidemiologi yaitu distribusi dari masalah tertentu yang didistribusikan menurut waktu, tempat, dan orang .( Buchari, 2013).

Studi kasus ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang penerapan pengaruh kompres dingin pada anak yang akan di infus di RSU Dewi Sartika.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Evaluasi

Hasil evaluasi subjek I setelah diberikan intervensi keperawatan kompres dingin terhadap intensitas nyeri anak usia sekolah.

Mula-mula saya menjelaskan terlebih dahulu kepada anak dan orang tua maksud dan tujuan saya untuk melakukan kompres dingin, merka setuju akan tindakan saya, sebelum saya melakukan tindakan terlebih dahulu saya menyuruh orang tuanya untuk mengisi lembar informed concent, setelah itu baru saya melakukan tindakan tahap demi tahap sambil menunggu perawat menyiapkan peralatan infusnya. Kompres dingin saya lakukan selama 2 menit An. A hanya diam lalu perawat melakukan tindakan pemasangan infus, anak nampak gelisah dan tidak melihat kearah tanganya, saat orang-orang disekitarnya mengatakan sudah selesai anak itu nampak kaget karna mengirah belum dimulai karna ia tidak merasakan nyeri. Hasil evaluasi subjek II anak yang tidak diberikan tindakan kompres dingin.

Mula-mula saya menjelaskan kepada perawat maksud dan tujuan saya untuk menemaninya melakukan tindakan pemasangan infus, perawat itu setuju. saya membantunya mempersiapkan alat dan bahan. setelah itu kami mendekati An.R, ia nampak tenang serta mengikuti semua intruksi yang diberikan, perawat melakukan tindakan pemasangan infus saat perawat menusukan abocath ketangan An. R ia nampak kesakitan serta menarik tanganya.

jadi setelah diberikan penerapan kompres dingin kepada subjek I dan subjek II tidak dilakukan intervensi, terlihat perbedaan skala nyeri yang didapatkan. untuk lebih jelasnya kita dapat melihat tabel berikut:

Tabel 4.1

Evaluasi Gambaran Pemberian Kompres Dingin Terhadap Tingkat Nyeri Anak Usia sekolah Saat Pemasangan Infus

Di RSU Dewi Sartika Kota Kendari

No Inisial Jenis kelamin usia Skala nyeri Keterangan

1. An.A Laki-laki 10 Thn Skala 2 Sedikit nyeri

2 An.R Laki-laki 12 Thn Skala 6 Semakin lebih

nyeri Sumber : Data Primer, 2019

Berdasarkan tabel 4 diketahui bahwa terjadi perbedaan skala antara subjek I dan subjek II, antara subjek Intervensi dan subjek kontrol, dimana subjek intervensi mendapatkan skala 2 yaitu (sedikit nyeri) sedangkan subjek kontrol mendapatkan skala 6 (semakin lebih nyeri). Pembahasan

Studi kasus ini bertujuan untuk memberikan gambaran pemberian kompres dingin terhadap intensitas nyeri anak usia sekolah saat pemasangan infus. Pertama-tama peneliti datang ke Rumah Sakit Umum Dewi Sartika Kota Kendari di ruang IGD untuk mencari pasien anak yang baru masuk yang akan mendapatkan tindakan pemasangan infus. Tujuan peneliti yaitu menerapkan kompres dingin pada anak usia sekolah untuk mengetahui perbedaan tingkat nyeri anak yang diinfus biasa dan anak yang dilakukan kompres dingin sebelum pemasangan infus. Subjek I yaitu An. A dimana An. A ini yang saya akan lakukan tindakan kompres dingin, An.A ini berumur 10 tahun datang dengan keluhan febris, dokter menginstruksikan untuk melakukan tindakan pemasangan infus, perawat akan melakukan tindakan pemasangan infus dan peneliti akan melakukan implementasi yaitu kompres dingin, sebelum melakukan implementasi

(19)

T e r a p e u t i k J u r n a l

P a g e

| 16

peneliti menyampaikan maksud dan tujuan dari tindakan yang di berikan kepada anak tentang kompres dingin. peneliti melakukan tindakan kompres dingin sebelum perawat melakukan pemasangan infus, kompres dingin diberikan selama 2 menit dengan suhu air dingin 16ºC. pengukuran tingkat nyeri dilakukan pada saat penusukan infus. setelah dilakukan implementasi pemasangan infus subjek I tidak merasakan nyeri. Sesuai dengan penelitian Aminabadi & Farahani (2009) menyatakan bahwa lamanya ketidaknyamanan terhadap adanya kompres dingin sangat subjektif dirasakan masing-masing orang. pemberian lokal anestesi dengan kompres direkomendasikan selama 2-5 menit, yang paling optimal adalah 2 menit, dalam potter & Perry (2010) suhu air yang optimal dinggunakan pada kompres dingin adalah 51ºC-18ºC. Menurut Prasetyo (2013) mengatakan bahwa kompres dingin bekerja dengan menstimulasi permukaan kulit untuk mengontrol nyeri . kompres dingin yang diberikan akan mempengaruhi impuls yang dibawa oleh serabut taktil A-Beta untuk lebih mendominasi sehingga akan menutup dan impuls nyeri akan terhalangi. nyeri yang dirasakan akan berkurang atau hilang untuk sementara waktu. kompres dingin diketahui efektif dan efisien digunakan sebagai stimulasi kulit. Nurchairiah (2015) dalam bidang keperawatan kompres dingin memberikan efek fisiologis yakni menurunkan respon inflamasi, menggurangi nyeri bekerja dengan cara melepaskan endofrin, sehingga memblok transmisi stimulasi nyeri (Potter & Perry, 2013). Subjek II An.R berusia 12 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan febris disertai batuk, dokter menginstruksikan untuk dilakukan tindakan pemasangan infus, perawat melakukan pemasangan infus dan peneliti mendampingi perawat untuk mengamati respon pasien pada saat dilakukan pemasangan infus. dari hasil pengamatan peneliti skala nyeri yang dilihat berdasarkan ekspresi wajah klien menunjukan skala 6 dimana klien merasakan semakin lebih nyeri.

Dari hasil penelitian diperoleh perbedaan tingkat nyeri antara kedua subjek antara subjek yang dilakukan intervensi dan kontrol. subjek I atau subjek yang dilakukan intervensi mendapatkan skala 2 sedangkan subjek II atau subjek kontrol mendapatkan skala 6, jadi pemberian kompres dingin memang mempengaruhi tingkat nyeri anak saat pemasangan infus.

Sesuai dengan hasil penelitian Asriani dkk, (2017) bahwa terdapat perbedaan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol dimana kelompok intervensi mayoritas mengalami sedikit nyeri sedangkan pada kelompok kontrol mayoritas mengalami sakit yang paling sakit. Hasil penelitian ini sesuai juga dengan hasil penelitian Fauzi & Hendayani, (2013) dimana hasil penelitian menunjukkan responden yang tidak diberikan kompres dingin mayoritas mengalami lebih banyak nyeri dan lebih nyeri yang diukur menggunakan skala oucher. sedangkan responden yang diberikan kompres dingin mayoritas mengalami sedikit. responden yang diberikan kompres dingin mengalami nyeri yang lebih ringan. hal itu disebabkan karena berkurangnya sensitifitas syaraf yang diakibatkan karena stimulasi nyeri yang lebih mudah menembus kulit. penelitian Nurchairia (2015) menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan intensitas nyeri setelah diberikan kompres dingin antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

Peneliti memberikan asumsi, bahwa pemberian kompres dingin cocok diberikan pada anak untuk mengurangi nyeri yang dirasakan akibat prosedure pemasangan infus, agar anak tidak mengalami trauma hospitalisasi.

Kesimpulan

Berdasarkan paparan fokus studi dan pembahasan tentang gambaran pemberian kompres dingin terhadap intensitas nyeri anak usia sekolah saat pemasangan infus di Rumah Sakit Umum Dewi Sartika Kota Kendari, setelah dilakukan implementasi kompres dingin subjek I yang mendapatkan pelakuan kompres dingin mendapatkan skala nyeri 2 sedangkan subjek II yang tidak mendapatkan perlakuan kompres dingin mendapatkan skala nyeri 6, jadi pemberian kompres dingin memang mempengaruhi tingkat nyeri anak saat pemasangan infus.

DAFTAR PUSTAKA

(20)

T e r a p e u t i k J u r n a l

P a g e

| 17

Asriani, N.K. dkk (2017). Pengaruh Kompres Dingin Terhadap Tingkat Nyeri Anak Usia Sekolah

Saat Pemasangan Infus di Poliklinik Persiapan Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul. Jumat Keperawatan Respati Yogyakarta

Atik &Eko. (2016). Asuhan Keperawatan Anak Sehat Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta:Pustaka

Baru Press

Buchari. (2013). Metode Penelitian Kesehatan. Yogyakarta:Pustaka Obor Indonesia

Czarnecki,M.L., Turner,H,N.,Collins, P.M, Doellman.D.,Darey.,Wrona,S.,&

Reynolds,J.2011.Procedural Pain Management Nursing, 21 (II), 1-17

Fauzi,i. dan Hendayani.N.,(2013). Pengaruh kompres dingin terhadap tingkat nyeri anak,

prosedur pemasangan infus anak usia sekolah di RSUD Bendan kota pekalongan. SKRIPSI. Muhammadia pekajangan

Harmoko & Sujono. (2016) Standar Operasional Procedure Dalam Praktik Klinik Keperawatan

Dasar. Yogyakarta:Pustaka Pelajar

Indiyani. (2013). kompres dingin dapat menurunkan nyeri anak usia sekolah saat pemasangan

infus. Jurnal keperawatan indonesia, volume 16 no 2,juli 2013, hal 93-100

Kozier & Erb (2009) Buku Ajar Fundamental Keperawatan Klinis, Edisi 5. Jakarta:Penerbit Buku

Kedokteran EGC

Kozier. Erb, Berman. Snyder. (2010). Buku Ajar fundamental keperawatan konsep proses &

praktik, volume:1,edisi 7, EGC:Jakarta

Mariyam,. Nurhaeni, N.,Besral. (2011). Pengaruh Guided Imagery Terhadap Tingkat Nyeri Anak

usia 7-13 tahun saat dilakukan Pemasangan Infus di RSUD Kota Semarang. Fakultas Megister Keperawatan, Peminatan Keperawatan Anak :Universitas Indonesia

Nurchairiah. (2015).Efektifitas kompres dingin terhadap intensitas nyeri pada pasien fraktur

tertutup diruang dahlia RSUD Arifin Achmad.

Nurul & Wahid. (2008) Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia Teori & Aplikasi dalam Praktik. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC

NOC. (2008). Diagnosa Keperawatan Defenisi & Klasifikasi, Jakarta: EGC

Oktiawati, A., Khodijah., Ikawati S.,Rizky C.D. (2017). Teori dan konsep Keperawatan Pediatrik.

Jakarta: Trans Info Media

Purnamasari.E. (2019). Efektifitas kompres dingin terhadap penurunan intensitas nyeri pada

pasien fraktur di RSUD unggaran. STIKES telogorejo semarang.

Potter, PA & Perry, A.G. (2010) Buku fundamental of nursing edisi 7.jakarta:EGC

Potter, PA & Perry, A.G. (2013). Fundamental of nursing eighth edition.canada:mosby

Setiawan Dony. (2014). Keperawtan Anak & Tumbuh Kembang Pengkajian & Pengukuran.

Yogyakarta:Nuha Medika

Sutanto & Fitriana, (2017), kebutuhan dasar manusia teori dan aplikasi dalam praktik keperawatan profesional. pustaka baru press:yogyakarta

Wong.D.L.(2009). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta:EGC

Yuli Utami. (2014). Dampak hospitalisasi terhadap perkembangan anak. jurnal ilmiah

(21)

T e r a p e u t i k J u r n a l

P a g e

| 18

Studi Penatalaksanaan Terapi Relaksasi Otot Progresif Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada Lansia Penderita Hipertensi Di Loka Rehabilitasi Sosial Lanjut Usia Minaula Kendari

Muh. Syahwal1,Kamaruzzaman2

Dosen, AKPER PPNI Kendari ABSTRAK

Lanjut usia sangat rentan terhadap penyakit akibat terjadi penurunan fungsi tubuh salah satunya adalah hipertensi yang dapat diminimalisir dengan terapi non farmakologi yaitu terapi relaksasi otot progresif. Tujuan studi kasus ini adalah menggambarkan penatalaksanaan teknik relaksasi otot progresif terhadap penurunan tekanan darah pada lansia penderita hipertensi. Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan studi kasus. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 21 – 27 Agustus 2019 di Loka Rehabilitasi Sosial Lanjut Usia Minaula Kendari. Subyek dalam penelitian ini sebanyak tiga orang lansia penderita hipertensi yang memenuhi kriteria inklusi. Analisis dilakukan secara deskriptif untuk mengetahui adanya penurunan tekanan darah lansia penderita hipertensi setelah dilakukan intervensi keperawatan dengan menerapkan terapi relaksasi otot progresif. Hasil penelitian menunjukan adanya penurunan tekanan darah sesudah dilakukan teknik relaksasi otot progresif selama 3 hari dengan frekuensi 1 (satu) kali. Direkomendasikan dalam program pelayanan keperawatan khususnya pasien hipertensi tentang penanganan secara nonfarmakologi dengan latihan teknik relaksasi otot progresif.

PENDAHULUAN

Lanjut usia sangat rentan terhadap penyakit akibat terjadi penurunan fungsi tubuh menyebabkan timbulnya berbagai penyakit salah satunya adalah hipertensi yang menggambarkan adanya perubahan pada sistem kardiovaskuler lansia berupa penurunan elastisitas dinding pembuluh aorta sehingga menyebabkan pengerasan pada pembuluh darah sehingga tekanan darah semakin meningkat (Azizah, 2012).

Hipertensi merupakan penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan penting di seluruh dunia dan menjadi faktor resiko ketiga penyebab kematian dini dengan jumlah kejadian yang semakin meningkat (Kartikasari, 2012). Tekanan darah sistolik yang optimal adalah 120 mmHg dan tekanan diastolik 80 mmHg, sementara untuk penderita hipertensi mempunyai tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg, dan tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg (Corwin, 2012). Hipertensi umumnya menyerang pria di usia antara 35 tahun hingga 50 tahun, dan perempuan yang sudah memasuki masa menopause. Penyakit ini jarang menyerang seseorang yang berusia kurang dari 20 tahun. namun apabila terkena hipertensi pada usia di bawah 20 tahun, bisa merupakan sebagai hipertensi essensial ataupun karena penyakit ginjal (Kartikasari, 2012).

Salah satu tanda dan gejala penyakit hipertensi adalah tengkuk terasa pegal atau kekakuan pada otot tengkuk diakibatkan karena terjadi peningkatan tekanan pada dinding pembuluh darah di daerah leher sehingga aliran darah menjadi tidak lancar, sehingga metabolisme di daerah leher kekurangan O2 dan nutrisi yang menyebabkan terjadinya peradangan pada daerah perlekatan otot dan tulang yang menyebabkan rasa nyeri (Siburian, 2009).

Penatalaksanaan hipertensi terdiri dari terapi farmakologis dan non farmakologi. Terapi farmakologi berupa pemberian obat anti hipertensi seperti penggunaan diuretic dan antagonis kalsium sedangkan terapi non farmakologi berupa terapi tanpa menggunakan obat hipertensi seperti gaya hidup sehat, latihan fisik, penggunaan herbal, relaksasi otot progresif (Potter & Perry, 2012).

Terapi relaksasi otot progresif merupakan jenis terapi yang memberikan waktu terhadap individu mengontrol diri ketika terjadi rasa tidak nyaman dan dapat digunakan untuk berbagai keadaan seperti mengurangi stress dan rasa nyeri, kesulitan tidur, alergi dan asma, pusing, migrain, dan hipertensi (Susilo & Wulandari, 2011).

Gambar

Tabel 2. Gambaran Nilai Fungsi Kognitif Berdasarakan Kuesioner  Mini Mental State  Examination (MMSE) Sebelum dan Setelah Pemberian Terapi Senam Otak ( Brain
Tabel  4.1  Produksi  ASI  Pada  Ibu  Post  Partum  Sebelum  Dan  Sesudah  Penerapan  Message  endorfin Dan Kompres Hangat Di Ruangan Teratai RSUD Kota Kendari

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian, yang kedua yang dilakukan oleh pemerintah saat terjadi bencana yaitu penanganan darurat bencana, penangan darurat ini yaitu tindakan yang dilakukan oleh

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat diketahui bahwa rhitung lebih besar dari rtabel (0,864>0,176), jadi dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang positif

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat dan hidayahnya sehingga penulis mampu menyelesaikan

Yang dimaksud dengan sistem saraf pusat (central nervoussystem) adalah bagian yang mengatur keIja saraf tepi yang terdapat di otak (brain), batang otak (brain stem), dan sumsum

Pekerjaan Jasa Konsultan Perencana Pembangunan Ruang Kuliah Fakultas Hukum Universitas Jember Tahun Anggaran

Penetapan Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan untuk memberikan landasan hukum bagi pelaksanaan pemberian gaji/pensiun/tunjangan bulan ketiga belas bagi Pegawai Negeri, Pejabat

Budaya organisasi memberikan pengaruh sebesar 48,7% terhadap sistem informasi akuntansi, dimana dengan semakin sesuai budaya organisasi akan membuat sistem informasi

Selama 70 hari penelitian menunjukan hasil bahwa faktor feeding frequency tidak berpengaruh terhadap tingkat kelangsungan hidup benih Gabus pada perlakuan 3 kali maupun 4