• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR-FAKTOR RISIKO PENULARAN HIV/AIDS PADA LAKI-LAKI DENGAN ORIENTASI SEKS HETEROSEKSUAL DAN HOMOSEKSUAL DI PURWOKERTO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FAKTOR-FAKTOR RISIKO PENULARAN HIV/AIDS PADA LAKI-LAKI DENGAN ORIENTASI SEKS HETEROSEKSUAL DAN HOMOSEKSUAL DI PURWOKERTO"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

113

FAKTOR-FAKTOR RISIKO PENULARAN HIV/AIDS PADA LAKI-LAKI

DENGAN ORIENTASI SEKS HETEROSEKSUAL DAN HOMOSEKSUAL

DI PURWOKERTO

Agung Saprasetya Dwi Laksana, Diyah Woro Dwi Lestari1 1

Fakultas Kedokteran dan Ilmu-ilmu Kesehatan, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto E-mail:

ABSTRACT

Indonesia is a country with the highest HIV/AIDS cases acceleration in the world. Purwokerto has a high number of HIV/AIDS cases, rank number two in Central Java Province. However, risk factor for HIV/AIDS transmission among high risk groups, especially among men who have sex with men, has not been identified. This research aimed to examine HIV/AIDS transmission risk factors among homosexual and heterosexual men in Purwokerto. This study is a cross sectional study. Study population is all men aged at least 17 years old living in Purwokerto and its surrounding area. Sampling method used was snowballing sampling. Data were collected with a quessionere. The result shows that homosexual men has higher risk to suffer from HIV/AIDS through sexual behavior, these are having sex with multiple partner. No differences in HIV/AIDS transmission risk factors by parenteral and sexually transmitted disease were found between homosexual and heterosexual men. In conclusion, homosexual men have higher risk factors for the transmission of HIV/AIDS than that of heterosexual men, especially through sex partner more than one and anal sex.

______

________________________________________________________________________

Keywords :

Risk factors, HIV/AIDS transmission, men, homosexual, heterosexual

PENDAHULUAN

Epidemi human immunodeficiency

virus/acquired immunodeficiency syndrome

(HIV/AIDS) merupakan salah satu masalah

kesehatan masyarakat utama di dunia. Di

tingkat global, AIDS menempati ranking

keempat diantara penyakit-penyakit utama

penyebab kematian

1

. Indonesia merupakan

salah

satu

negara

yang

mengalami

peningkatan epidemi HIV/AIDS paling

pesat di dunia. Kasus HIV/AIDS pada tahun

2003 meningkat sebesar 2 kali lipat

dibandingkan dengan jumlah kasus pada

awal tahun 1990an, dengan perkiraan jumlah

kasus HIV/AIDS antara 165.000 – 216.000

2

.

Mathers

and

Loncar

(2006)

menyatakan bahwa berdasarkan proyeksi

penyebab kematian penduduk dunia tahun

2030, secara umum kematian akibat

penyakit menular semakin menurun, tetapi

kematian

karena

HIV/AIDS

terus

meningkat

3

. Seberapa besar peningkatannya,

sangat tergantung pada seberapa besar akses

masyarakat terhadap obat antivirus dan

seberapa

besar

peningkatan

upaya

pencegahan penularan HIV/AIDS yang

dilakukan. Strategi pencegahan HIV/AIDS

yang efektif bisa dilakukan apabila faktor

risiko utama penularan HIV/AIDS telah

diidentifikasi dengan baik

3

.

Faktor-faktor

risiko

penularan

HIV/AIDS sangat banyak, tetapi yang paling

utama adalah faktor perilaku seksual

4

.

Faktor

lain

adalah

penularan

secara

(2)

114

parenteral dan riwayat penyakit infeksi

menular seksual yang pernah diderita

sebelumnya

1,5,6

. Perilaku seksual yang

berisiko merupakan faktor utama yang

berkaitan dengan penularan HIV/AIDS

7

.

Partner seks yang banyak dan tidak

memakai

kondom

dalam

melakukan

aktivitas seksual yang berisiko merupakan

faktor risiko utama penularan HIV/AIDS.

8, 9

Padahal, pemakaian kondom merupakan

cara pencegahan penularan HIV/AIDS yang

efektif

10

. Seks anal juga merupakan faktor

perilaku

seksual

yang

memudahkan

penularan

HIV/AIDS

11

.

Pemakaian

narkotika

dan

obat-obatan

terlarang

(narkoba) secara suntik/injeksi atau injecting

drug users (IDU) merupakan faktor utama

penularan

HIV/AIDS,

termasuk

di

Indonesia

2,5

.

Pada

awal

epidemi

HIV/AIDS

diketahui, penyakit ini lebih banyak

diidentifikasi pada laki-laki homoseksual

dan aktivitas seksual laki-laki homoseksual

dituding

sebagai

penyebab

timbulnya

HIV/AIDS, akan tetapi data saat ini

menunjukkan bahwa di negara berkembang

penularan secara heteroseksual lebih banyak

terjadi

12,13,14

. Gayle and Hill (2001) juga

menyatakan bahwa heteroseksual dan IDU

merupakan penyebab utama penularan

HIV/AIDS di Asia Tenggara, termasuk

Indonesia, meskipun menurut Liu et al.

(2005)

hal

ini

disebabkan

karena

keterbatasan data tentang HIV/AIDS pada

kelompok homoseksual

1,15

. Keterbatasan ini

dipengaruhi antara lain oleh stigma buruk

masyarakat

terhadap

kelompok

homoseksual,

sehingga

kelompok

ini

seringkali tidak berani muncul secara

terang-terangan di masyarakat dan faktor

risiko pada kelompok homoseksual tetap

tersembunyi

14

.

Purwokerto memiliki jumlah penderita

HIV/AIDS kedua terbanyak di Jawa Tengah.

Sampai akhir tahun 2006, ditemukan 150

kasus HIV/AIDS dengan penderita utama

adalah heteroseksual dan IDU. Dari sisi

jenis kelamin, penderita laki-laki lebih

banyak daripada wanita. Sampai saat ini,

masih belum ada data mengenai faktor risiko

utama yang berhubungan dengan penularan

HIV/AIDS. Data mengenai kelompok

laki-laki dengan orientasi seksual heteroseksual

ataukah homoseksual yang lebih berisiko

terhadap penularan HIV/AIDS dan faktor

risiko utama penularan HIV/AIDS di

Purwokerto

masih

belum

tersedia.

Penemuan kasus yang lebih banyak pada

heteroseksual pada homoseksual juga belum

menunjukkan keadaan sesungguhnya di

masyarakat,

mengingat

pemeriksaan

dilakukan hanya terhadap individu yang

secara sukarela datang ke klinik VCT

(Voluntary Counselling and Test) di Sumah

Sakit (RS) Banyumas maupun RS Margono

Soekarjo Purwokerto. Untuk mendapatkan

data tentang kelompok masyarakat yang

paling berisiko dan faktor risiko apa saja

(3)

115

yang berkaitan dengan penularan HIV/AIDS

di Purwokerto, perlu dilakukan penelitian

yang berbasis pada masyarakat, bukan

berbasis

pada

rumah

sakit.

Dengan

demikian, dapat dilakukan langkah-langkah

strategis

yang

lebih

tepat

untuk

pengendalian penularan HIV/AIDS. Oleh

Karena itu, penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui faktor-faktor risiko penularan

HIV/AIDS pada laki-laki dengan orientasi

seks heteroseksual dan homoseksual di

Purwokerto.

METODE PENELITIAN

Penelitian menggunakan rancangan

penelitian potong lintang (cross-sectional

study). Populasi penelitian ini adalah semua

laki-laki

homoseksual

dan

laki-laki

heteroseksual di Purwokerto yang berusia

minimal 17 tahun. Metode pengambilan

sampel

dilakukan

dengan

metode

snowballing

sampling.

Sampel

atau

responden untuk kelompok homoseksual

adalah semua laki-laki homoseksual yang

diketahui melalui contact person kelompok

gay di kota Purwokerto, yang bersedia

dijadikan

responden

penelitian,

yang

dibuktikan

dengan

penanda

tanganan

informed consent. Kelompok heteroseksual

dipilih secara acak dari teman-teman

responden homoseksual yang bersedia

menjadi responden dengan menandatangani

informed consent.

Variabel bebas penelitian adalah

laki-laki dengan orientasi seks homoseksual dan

heteroseksual. Variabel terikat penelitian

adalah

faktor-faktor

risiko

penularan

HIV/AIDS. Faktor-faktor risiko yang diteliti

terdiri dari:

a. Faktor risiko perilaku, yaitu perilaku

seksual

yang

berisiko

terhadap

penularan HIV/AIDS, yang meliputi

partner hubungan seks lebih dari 1, seks

anal, pemakaian kondom.

b. Faktor risiko parenteral, yaitu faktor

risiko

penularan

HIV/AIDS

yang

berkaitan dengan pemberian cairan ke

dalam tubuh melalui pembuluh darah

vena. Faktor ini meliputi riwayat

transfusi darah, pemakaian narkotika

dan obat-obatan terlarang (narkoba)

secara suntik (injecting drug users).

c. Faktor risiko infeksi menular seksual

(IMS), yaitu riwayat penyakit infeksi

bakteri atau virus yang ditularkan

melalui hubungan seksual yang pernah

diderita

responden,

seperti

sifilis,

condiloma acuminata, dan gonorrhoea.

Instrumen penelitian yang digunakan

adalah kuesioner dengan format campuran,

sebagian

berupa

pertanyaan

terbuka,

sebagian tertutup. Pengambilan data

faktor-faktor risiko penularan HIV/AIDS maupun

orientasi seks dilakukan dengan cara

meminta responden mengisi kuesioner yang

telah dipersiapkan.

(4)

116

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari penelitian yang dilakukan dari

awal bulan Mei sampai awal September

2007, diperoleh 107 responden, 50 laki-laki

homoseksual dan 57 laki-laki heteroseksual.

Karakteristik responden penelitian dapat

dilihat pada Tabel 1 sampai 3.

Dari Tabel

1

diketahui

bahwa

karakteristik

responden

laki-laki

homoseksual dan laki-laki heteroseksual

tidak terlalu berbeda. Meskipun usia tertua

pada laki-laki homoseksual jauh lebih tinggi

dari

kelompok

heteroseksual,

tetapi

jumlahnya hanya 1 responden. Usia tertua

sesudah responden tersebut adalah 39 tahun,

tidak jauh berbeda dengan usia tertua

kelompok laki-laki heteroseksual, 38 tahun.

Responden

laki-laki

homoseksual

maupun

heteroseksual

memiliki

jenis

pekerjaan beragam, tetapi sebagian besar

bekerja sebagai karyawan swasta dan

mahasiswa (Tabel 2). Berdasarkan informasi

yang didapat dari responden, semua (100%)

responden laki-laki homoseksual pernah

melakukan hubungan seks, sedangkan pada

responden laki-laki heteroseksual, 40 orang

Tabel 1. Karakteristik responden penelitian berdasarkan usia

No. Karakteristik Usia

Homoseksual

Heteroseksual

1

Usia termuda

17

18

2

Usia tertua

64

38

3

Usia rata-rata

25,9

22,58

4

Usia terbanyak (modus)

23

20

Tabel 2. Karakteristik responden berdasarkan jenis pekerjaan

No.

Status Perkawinan

Homoseksual

Heteroseksual

1

Mahasiswa

14 (28%)

28 (49,1%)

2

Swasta

22 (44%)

17 (29,8%)

3

Wiraswasta

6 (12%)

2 (3,5%)

4

Pelajar

5 (10%)

1 (1,8%)

5

Petani

1 (2%)

0

6

Buruh

0

5 (8,8)

7

Pedagang

0

1 (1,8%)

8

Tidak menjawab

1 (2%)

3 (5,3%)

Jumlah

50 (100%)

57 (100%)

Tabel 3. Karakteristik responden berdasarkan riwayat melakukan hubungan seksual

No. Hubungan Seks

Homoseksual

Heteroseksual

1

Ya

14 (28%)

28 (49,1%)

2

Tidak

22 (44%)

17 (29,8%)

(5)

117

(70,2%) menyatakan pernah melakukan

hubungan seksual, sedangkan 17 orang

(29,8%)

menyatakan

belum

pernah

melakukan hubungan seksual (Tabel 3).

Dari Tabel 4 dapat diketahui bahwa

diantara responden yang pernah melakukan

hubungan seksual, sebagian besar laki-laki

homoseksual memiliki partner hubungan

seks lebih dari satu orang, yaitu 72,0%

memiliki lebih dari 1 partner. Pada

kelompok laki-laki heteroseksual, sebagian

besar (68,3%) hanya memiliki satu orang

partner hubungan seksual (Tabel 5). Hasil

analisis menunjukkan bahwa ada perbedaan

bermakna dalam perilaku berganti-ganti

pasangan

antara

kelompok

laki-laki

homoseksual dengan kelompok laki-laki

heteroseksual (X

2

=14,716; p=0,000). Lelaki

homoseksual lebih cenderung melakukan

hubungan seks berganti-ganti pasangan.

Meskipun demikian, persentase

berganti-ganti

pasangan

hubungan

seks

pada

kelompok laki-laki heteroseksual yang

cukup besar (37%), tetap perlu mendapatkan

perhatian yang cukup serius, mengingat

faktor ini merupakan faktor risiko utama

penularan HIV/AIDS.

Berdasarkan

jumlah

partner,

kelompok laki-laki homoseksual memiliki

partner seks rata-rata 6-7 orang, sedangkan

Tabel 4. Riwayat partner hubungan seks lebih dari satu

No. Partner > 1

Homoseksual

Heteroseksual

1

Ya

36 (72,0%)

13 (31,7%)

2

Tidak

14 (28,0%)

28 (68,3%)

Jumlah

50 (100%)

41 (100%)

X

2

= 14,716, p = 0,000

Tabel 5. Jumlah partner seksual

No.

Jumlah Partner

Homoseksual

Heteroseksual

1

Jumlah partner seks minimal

1

0

2

Jumlah partner seks maksimal

50

10

3

Rata-rata jumlah partner

6-7

1-2

4

Modus jumlah partner

1

1

t=3,581, p=0,000, 95%CI 2,576 – 8,980

Tabel 6. Melakukan seks anal pada saat berhubungan seks

No.

Seks Anal

Homoseksual

Heteroseksual

1

Ya, selalu

3 (6%)

3 (6,5%)

2

Ya, sering

3 (6%)

0 (0%)

3

Ya, kadang-kadang

30 (60%)

7 (10,5%)

4

Tidak pernah

14 (28%)

30 (75%)

Jumlah

50 (100%)

40 (100%)

X

2

= 22,279, p = 0,000

(6)

118

kelompok laki-laki heteroseksual rata-rata

1-2 partner. Jumlah partner seks maksimal

pada

kelompok

laki-laki

homoseksual

adalah 50 orang, sedangkan pada kelompok

laki-laki heteroseksual 10 orang (Tabel 5).

Hasil

analisis

dengan

uji

t

menunjukkan

adanya

perbedaan

yang

bermakna dalam rata-rata jumlah partner

seks antara kelompok laki-laki homoseksual

dan

kelompok

laki-laki

heteroseksual

(p=0,000). Kelompok laki-laki homoseksual

memiliki rata-rata jumlah partner yang lebih

banyak

daripada

kelompok

laki-laki

heteroseksual. Meskipun demikian, baik

pada

kelompok

homoseksual

maupun

kelompok heteroseksual, modus jumlah

partner seksnya adalah 1.

Dalam hal aktivitas anal seks, ternyata

kelompok laki-laki homoseksual sebagian

besar melakukan aktivitas seks anal, yaitu

sebesar 72%. Pada kelompok laki-laki

heteroseksual, sebagian besar tidak pernah

melakukan aktivitas anal seks, hanya 17%

yang menyatakan melakukan seks anal.

Yang menarik adalah jumlah responden

yang menyatakan selalu melakukan aktivitas

seks anal setiap kali berhubungan seksual

pada

kelompok

laki-laki

homoseksual

maupun heteroseksual sama besar, yaitu 3

orang, dengan persentase yang hampir sama,

yaitu

sekitar

6%.

Hasil

analisis

menunjukkan bahwa ada perbedaan yang

bemakna dalam aktivitas seks anal antara

kelompok laki-laki homoseksual dengan

kelompok laki-laki heteroseksual (X

2

=

22,279, p = 0,000).

Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa

hanya 12,0% pada kelompok laki-laki

homoseksual dan 20,0% pada kelompok

laki-laki

heteroseksual

yang

selalu

menggunakan kondom pada saat melakukan

hubungan

seksual.

Rendahnya

angka

pemakaian kondom meningkatkan risiko

penularan HIV/AIDS pada kedua kelompok.

Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada

perbedaan yang bermakna dalam pemakaian

kondom saat melakukan hubungan seksual

antara kelompok laki-laki homoseksual dan

heteroseksual (X

2

= 1,900, p = 0,593). Hal

ini menunjukkan bahwa kedua kelompok

memiliki risiko yang sama besar untuk

tertular HIV/AIDS pada saat melakukan

hubungan seksual, terutama pada hubungan

seksual yang dilakukan dengan banyak

pasangan

atau

dengan

pekerja

seks

komersial.

Dari 107 responden, hanya 5 (4,7%)

yang pernah mendapatkan transfusi darah

(Tabel 8). Jumlah responden kelompok

laki-laki heteroseksual yang pernah mendapatkan

transfusi darah lebih banyak, yaitu 4 orang

(7% dari total responden heteroseksual).

Tidak

ada

satu

respondenpun

yang

menderita

penyakit

yang

memerlukan

transfusi darah secara rutin. Secara statistik,

tidak ada perbedaan yang bermakna dalam

riwayat

transfusi

darah

pada

kedua

kelompok (X

2

= 1,505, p = 0,220). Dengan

(7)

119

demikian, risiko tertular virus HIV/AIDS

melalui

transfusi

darah

pada

kedua

kelompok sama besar.

Seluruh

responden

penelitian

menyangkal menggunakan narkotika dan

obat-obatan terlarang secara suntik/injeksi.

Hal ini berarti risiko penularan HIV/AIDS

melalui suntikan pada kedua kelompok

adalah sama, yaitu tidak berisiko tertular

HIV/AIDS melalui suntikan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

dari 107 responden, hanya 6 orang (5,6%)

yang menyatakan pernah menderita infeksi

menular seksual (IMS). Secara kuantitatif,

jumlah responden yang pernah menderita

penyakit IMS pada kedua kelompok sama,

yaitu 3 orang. Secara proporsi, 6% pada

kelompok laki-laki homoseksual dan 5,3%

pada

kelompok

heteroseksual

pernah

menderita IMS (Tabel 9). Secara statistik

tidak ada perbedaan risiko penularan

HIV/AIDS dalam infeksi menular seksual

yang bermakna antara kedua kelompok,

menandakan

bahwa

risiko

penularan

HIV/AIDS melalui IMS pada kedua

kelompok sama.

Laki-laki

homoseksual

ternyata

memiliki faktor risiko perilaku seksual lebih

tinggi daripada laki-laki heteroseksual. Hal

ini tampak dari kecenderungannya untuk

memiliki lebih banyak partner seks dan

melakukan seks anal. Perilaku pemakaian

kondom, terutama pada saat melakukan

hubungan seksual berisiko, pada kedua

kelompok tidak berbeda, meskipun secara

persentase lebih tinggi pada laki-laki

Tabel 7. Pemakaian kondom saat melakukan hubungan seksual

No.

Memakai Kondom

Homoseksual

Heteroseksual

1

Ya, selalu

6 (12,0%)

8 (20,0%)

2

Ya, sering

4 (8,0%)

5 (12,5%)

3

Ya, kadang-kadang

25 (50,0%)

16 (40,0%)

4

Tidak pernah

15 (14,4%)

11 (11,6%)

Jumlah

50 (100%)

40 (100%)

X

2

= 1,900, p = 0,593

Tabel 8. Riwayat mendapatkan transfusi darah

No.

Transfusi Darah

Homoseksual

Heteroseksual

1

Ya

1 (2,0%)

4 (7,0%)

2

Tidak

49 (98,0%)

53 (93,0%)

Jumlah

50 (100%)

57 (100%)

X

2

= 1,505, p = 0,220

Tabel 9. Riwayat menderita infeksi menular seksual (IMS)

No.

Riwayat IMS

Homoseksual

Heteroseksual

1

Ya

3 (6%)

3 (5,3%)

2

Tidak

47 (94%)

54 (94,7%)

Jumlah

50 (100%)

57 (100%)

(8)

120

heteroseksual.

Secara umum,

laki-laki

homoseksual

lebih

berisiko

tertular

HIV/AIDS melalui berganti-ganti pasanagn

(memiliki partner seks lebih dari satu),

sedangkan laki-laki heteroseksual cenderung

memiliki risiko penularan HIV/AIDS lebih

tinggi melalui hubungan seks berisiko tanpa

memakai kondom.

Tingginya faktor-faktor risiko perilaku

seksual pada laki-laki homoseksual, secara

teoritis semestinya berbanding lurus dengan

banyaknya kasus HIV/AIDS pada kelompok

ini. Seks anal merupakan faktor perilaku

seksual yang juga berhubungan erat dengan

penularan HIV/AIDS

1,15

. Penelitian yang

dilakukan oleh Hounton et al. (2005) dan

Nwokoji and Ajuwon (2004) menunjukkan

bahwa partner seks yang banyak dan tidak

memakai

kondom

dalam

melakukan

aktivitas seksual yang berisiko merupakan

faktor risiko utama penularan HIV/AIDS.

Data kasus HIV/IDS di Indonesia

maupun di Purwokerto menunjukkan bahwa

kasus-kasus HIV/AIDS lebih banyak pada

laki-laki heteroseksual, meskipun risikonya

lebih tinggi pada laki-laki homoseksual.

Hasil ini tampaknya sesuai dengan hasil

penelitian.

Lebih

banyaknya

kasus

HIV/AIDS pada kelompok heteroseksual

disebabkan karena keterbatasan data tentang

HIV/AIDS pada kelompok homoseksual

1

.

Keterbatasan ini dipengaruhi antara lain oleh

stigma buruk masyarakat terhadap kelompok

homoseksual, sehingga faktor-faktor risiko

penularan

HIV/AIDS

pada

kelompok

homoseksual tetap tersembunyi.

14

Hal ini

terjadi juga pada laki-laki homoseksual di

Purwokerto. Kelompok ini lebih cenderung

menutup diri dari masyarakat, karena pada

umumnya masyarakat Purwokerto masih

memberikan cap atau stigma buruk kepada

kelompok homoseksual. Akibatnya, faktor

risiko penularan HIV/AIDS pada kelompok

ini tetap belum teridentifikasi dan penemuan

kasus

HIV/AIDS

pada

laki-laki

homoseksual menjadi terhambat. Dari sisi

kesehatan, khususnya dalam pencegahan

dan penemuan kasus HIV/AIDS, stigma

yang buruk ini sangat merugikan.

Lebih tingginya kasus HIV/AIDS

pada

kelompok

heteroseksual

di

Purwokerto, dapat pula dipengaruhi oleh

kebiasaan tidak memakai kondom pada saat

melakukan

aktivitas

seksual

berisiko.

Dibandingkan

dengan

laki-laki

homoseksual, laki-laki heteroseksual lebih

banyak yang melakukan hubungan seks

dengan PSK, dan pada saat berhubungan

seks dengan PSK tidak menggunakan

kondom. Hal ini sesuai dengan hasil

penelitian sebelumnya, yang menyatakan

bahwa kontak seksual yang tidak aman

merupakan faktor risiko utama penularan

HIV/AIDS.

Ketidakmauan

pemakaian

kondom pada saat melakukan aktivitas seks

berisiko merupakan faktor perilaku seks

yang paling banyak dijumpai

4

.

(9)

121

Perilaku seks berisiko merupakan

faktor risiko utama penularan HIV/AIDS.

Berdasarkan hasil penelitian ini, tampaknya

dari beberapa faktor risiko perilaku seksual,

meskipun hanya salah satu yang ditemukan,

tetap menempatkan seseorang pada risiko

yang tinggi untuk tertular HIV/AIDS.

Kesimpulan ini berdasarkan data yang ada,

bahwa secara statistik laki-laki heteroseksual

hanya memiliki satu faktor risiko perilaku

seks, sedangkan laki-laki homoseksual

memiliki dua faktor risiko perilaku, tetapi

kasus HIV/AIDS lebih banyak ditemukan

pada laki-laki heteroseksual. Meskipun

demikian, mengingat besarnya faktor risiko

perilaku seks pada kelompok homoseksual,

tetapi penemuan kasusnya masih sangat

sedikit,

maka

penemuan

kasus

pada

kelompok ini perlu mendapat perhatian yang

lebih serius.

Untuk

faktor

risiko

penularan

HIV/AIDS melalui transfusi darah, tidak ada

perbedaan yang bermakna antara kelompok

laki-laki homoseksual dengan laki-laki

heteroseksual. Ini berarti kedua kelompok

memiliki risiko yang sama untuk tertular

HIV/AIDS

melalui

transfusi

darah.

Mengingat

jumlah

yang

pernah

mendapatkan transfusi darah hanya sedikit,

maka risiko kedua kelompok untuk tertular

HIV/AIDS melalui transfusi darah juga

kecil.

Meskipun

demikian,

laki-laki

homoseksual maupun heteroseksual yang

berperilaku seks berisiko yang pernah

melakukan donor darah cukup banyak, lebih

dari seperempat dari total responden. Hal ini

meningkatkan risiko penularan HIV/AIDS

pada penerima transfusi darah. Penularan

HIV/AIDS melalui transfusi darah sering

diabaikan di negara berkembang

1

. Oleh

karena itu, penularan HIV/AIDS melalui

transfusi darah belum bisa dieliminasi,

terutama apabila prevalensi HIV/AIDS

melalui transfusi darah tinggi dan screening

rutin darah belum dilakukan secara rutin.

Mengingat hal ini, maka screening darah

yang akan digunakan untuk transfusi

merupakan hal yang sangat penting untuk

dilakukan. Apalagi, sebagian dari responden

yang berisiko tinggi melakukan donor darah

secara rutin. Kurangnya kesinambungan

pemeriksaan untuk screening HIV/AIDS

pada semua darah yang akan digunakan

untuk transfusi, dapat meningkatkan risiko

penularan HIV/AIDS kepada para penerima

donor darah. Sampai saat ini, masih belum

ada data yang pasti mengenai berapa orang

yang tertular HIV/AIDS melalui transfusi

darah di Purwokerto.

Faktor risiko penularan HIV/AIDS

pada laki-laki homoseksual maupun pada

laki-laki

heteroseksual

tidak

berbeda

bermakna. Hanya sekitar 3% dari responden

yang pernah menderita IMS. Dari data

tersbut, terlihat bahwa risiko penularan

HIV/AIDS melalui IMS sangat kecil. IMS

merupakan faktor lain yang penting dalam

penularan HIV/AIDS

1

. Peradangan dan

(10)

122

ulkus pada penderita IMS meningkatkan

kerentanan terhadap infeksi HIV, karena

rusaknya barier mukosal memudahkan

masuknya virus HIV ke dalam pembuluh

darah. Selain itu IMS memfasilitasi virus

HIV untuk hidup di dalam saluran genital

dan merekrut sel peradangan virus HIV ke

dalam saluran genital.

Faktor risiko penularan HIV/AIDS

melalui pemakaian narkoba melalui jarum

suntik tidak ditemukan pada satupun

responden. Hasil ini menandakan bahwa

tidak ada risiko penularan HIV/AIDS pada

kedua kelompok. Meskipun demikian, faktor

risiko ini tetap perlu diwaspadai di masa

mendatang, mengingat pemakaian narkoba

suntik merupakan salah satu faktor risiko

utama penularan HIV/AIDS pada penderita

HIV/AIDS di Indonesia.

KESIMPULAN

Laki-laki homoseksual memiliki risiko

tertular HIV/AIDS lebih besar daripada

laki-laki

heteroseksual,

khususnya

melalui

perilaku seksual berisiko, yaitu hubungan

seks dengan lebih dari satu partner dan seks

anal. Mengingat faktor risiko yang lebih

besar

pada

kelompok

homoseksual,

sedangkan penemuan kasus pada kelompok

ini masih rendah, perlu dilakukan

upaya-upaya pencegahan kasus HIV/AIDS pada

kelompok ini secara intensif melalui

kelompok-kelompok gay yang ada di

Purwokerto

DAFTAR PUSTAKA

1. Gayle, H.D. and G.L. Hill. Global

impact of human immunodeficiency

virus and AIDS. Clinical Epidemiology

Reviews. 2001. 14 (2): 327-335.

2. Mesquita,

F.,

I.

Winarso,

I.I.Atmosukarto, B. Eka, L. Nevendorff,

A. Rahmah, P. Handoyo, P. Anastasia

and R. Angela. Public health the leading

force of the Indonesian response to the

HIV/AIDS crisis among people who

inject drugs. Harm Reduction Journal.

2007. 4 (1): 8-13.

3. Mathers,

C.D.

and

D.

Loncar.

Projections of global mortality and

burden of disease from 2002 to 2030.

Plos Medicine. 2006. 3 (11): 2011-2030.

4. Yang, H., X. Li, B. Stanton, H.J. Liu, H.

Liu, N. Wang, X. Fang, D. Lin and X.

Chen. Heterosexual transmission of HIV

in China: a systematic review of

behavioural studies in the past two

decades. Sex Transm Dis. 2005. 32 (5):

270-280.

5. Schmidt, M. and E.D. Mokotoff.

HIV/AIDS surveillance and prevention:

improving the characterization of HIV

transmission. Public Health Reports.

2003.18: 197-204.

6. Lee, L.M., M.T. McKenna and R.S.

Janssen. Classification of transmission

risk

in

the

national

HIV/AIDS

surveillance system. Public Health

Reports. 2003.18: 400-407.

7. Gutierrez, J., S.M. Bertozzi, C.J.

Conde-Glez and M. Sanchez-Aleman. Risk

behaviours of 15-21 years olds in

Mexico lead to a high prevalence of

sexually transmitted infections: results

of a survey in disadvantaged urban

areas. BMC Public Health. 2006. 6:

49-59.

8. Hounton, S.H., H. Carabin and N.J.

Henderson. Towards an understanding

of barriers to condom use in rural Benin

using the health belief model: a cross

sectional survey. BMC Public Health.

2005. 5: 8-15.

(11)

123

9. Nwokoji, U.A. and A.J. Ajuwon.

Knowledge of AIDS and HIV

risk-related

sexual

behaviour

among

Nigerian naval personnel. BMC Public

Health. 2004. 4: 24-32.

10. Essien, E.J., G.O. Ogungbade, H.N.

Kamiru, E. Ekong, D. Ward and L.

Holmes

Jr.

Emerging

socio-demographic and lifestyle predictors of

intention to use condom in human

immunodeficiencyvirus

(HIV)

intervention among uniformed services

personnel. Mil. Med. 2006. 171 (10):

1027-1034.

11. Hui, L., H. Yang, X. Li, N. Wang and B.

Stanton. Men who have sex with men

and

human

immunodeficiency

virus/sexually

transmitted

disease

control in China. Cell Res. 2005. 15

(12): 858-864.

12. Goodenow, C. J. Netherland and L.

Szalacha. AIDS-related risk among

adolescent males who have sex with

males, females, or both: evidence from a

statewide survey. American Journal of

Public Health. 2002. 92 (2): 203-210.

13. Lamptey, P.R. Reducing heterosexual

transmission of HIV in poor countries.

BMJ. 2002.324: 207-214.

14. Amirkhanian, Y.A., J.A. Kelly, A.V.

Kirsanova, W. DiFranceisco, R.A.

Khoursine, A.V. Semenov and V.N.

Rozmanova.

HIV

risk

behaviour

patterns,

predictors,

and

sexually

transmitted disease prevalence in the

social networks of young men who have

sex with men in St Petersburg, Russia.

Int J STD AIDS. 2006.17 (1): 50-56.

15. Liu, H., H. Yang, X. Li, N. Wang, H.

Liu, B. Wang, L. Zhang, Q. Wang, and

Bonita Stanton. Men Who Have Sex

with

Men

and

Human

Immunodeficiency

Virus/

Sexually

Transmitted Disease Control in China.

Cell Res. 2005. 15 (11-12): 858–864.

Gambar

Tabel 3. Karakteristik responden berdasarkan riwayat melakukan hubungan seksual   No.  Hubungan Seks  Homoseksual  Heteroseksual
Tabel 6.  Melakukan seks anal pada saat berhubungan seks
Tabel 8. Riwayat mendapatkan transfusi darah

Referensi

Dokumen terkait

Model terbaik adalah hasil pemodelan dari metode RKU yang ditambahkan peubah boneka pada data presipitasi GCM dengan time lag berdasarkan bentuk model yang lebih

Berdasarkan hasil penilaian ujian masuk yang dilaksanakan pada bulan Desember 2015, maka calon mahasiswa baru yang dinyatakan lulus untuk Program Studi Magister Manajemen

Convention for the Suppression of the Traffic in Persons and of the Exploitation of the Prostution of Other ), 25 Juli 1951. Konvensi ini mencerminkan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1 upaya yang dilakukan guru untuk menerapkan sikap sosial tanggungjawab siswa adalah dengan pendekatan persuasif yakni memberikan

Pertumbuhan gaya gaya hidrodinamika, gaya gaya aerodinamika dan gaya propulsi sebagai fungsi dari waktu t mulai dari fase high speed water run, hydro planing

Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik beberapa simpulan yaitu (1) asap cair dari serbuk gergaji campuran kayu akasia dan kayu laban berperan sebagai antijamur,

Kelebihan dari model ini ialah dapat menemukan permasalahan- permasalahan yang berkaitan dengan materi, menemukan sendiri konsep-konsep pada materi yang disampaikan,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan karbon sumber karbon di permukaan, akar, substrat lumpur, dan kandungan karbon total dan untuk mengetahui nilai ekonomi