• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUNADAKSA.docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TUNADAKSA.docx"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

Anak Berkelainan Fungsi Anggota Tubuh (Tunadaksa) 1

ANAK BERKELAINAN

FUNGSI ANGGOTA TUBUH

(TUNADAKSA)

DISUSUN

OLEH

:

1. Anggita Febriana PS (5415117390) 2. Ali Akbar (5415117396) 3. Alpri Pramadanatra (5415117407) 4. Faruq Abdurrouf (5415117398) 5. Hegi Hermawan M (5415116449) 6. Inayah Rohmaniyah (5415117403)

2012

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

JURUSAN TEKNIK SIPIL

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEKNIK SIPIL

MK. PENGANTAR ILMU PENDIDIKAN

(2)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,

Segala puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat serta karunia-Nya sehingga penyusunan makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan rencana, yang berjudul “ANAK BERKELAINAN FUNGSI ANGGOTA TUBUH (TUNADAKSA)”.

Makalah ini disusun untuk diajukan sebagai tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Pendidikan di Program Studi Pendidikan Teknik Bangunan Jurusan Teknik Sipil Universitas Negeri Jakarta.

Tidak lupa pula kita ucapkan terimakasih kepada Ibu selaku dosen mata kuliah Pengantar Ilmu Pendidikan yang telah membimbing dan memberikan kuliah demi lancarnya tugas makalah ini.

Apabila terjadi kasalahan dalam penyusunan atau pengetikan makalah ini kita selaku penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Demikianlah makalah ini dibuat semoga bermanfaat.

Jakarta, Maret 2012

(3)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar...2

Daftar Isi...3

Bab I: Pendahuluan...4

Latar Belakang Masalah...4

Rumusan Masalah...4

Tujuan Penulisan...4

Bab II: Pembahasan Pengertian, Klasifikasi Dan Karakteristik Anak Tunadaksa...5

Penyebab Tunadaksa...12

Layanan Pendidikan Anak Tunadaksa...13

Bab III: Penutup...21

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Manusia pada umumnya berharap dilahirkan dalam keadaan fisik yang normal dan sempurna, akan tetapi tidak semua manusia mendapatkan kesempurnaan yang diinginkan karen adanya keterbatasan fisik yang tidak dapat dihindari seperti kecacatan atau kelainan pada fisiknya yang disebut tunadaksa. Dalam kamus bahasa Indonesia tunadaksa merupakan cacat pada anggota tubuhnya (Marhijanto, 1993). Penyabab terjadinya tunadaksa menurut Riadi dkk. (2006) ada tiga faktor yaitu faktor karena kelahiran, faktor kecelakaan, faktor virus.

Faktor kalahiran dikarenakan pada proses kelahiran yang terlalu lama karena tulang pinggang ibu kecil sehingga bayi mengalami kekurangan oksigen, kekurangan oksigen menyebabkan terganggunya sistem metabolisme dalam otak bayi, akibatnya jaringa syaraf pusat mengalami kerusakan. Pemakaian alat bantu berupa tang ketika proses kelahiran yang mengalami kesulitan sehingga dapat merusak jaringan syaraf pada otak bayi. Pemakaian anestesi yang melebihi ketentuan ibu yang melahirkan karena operasi dan menggunakan anestesi yang melebihi dosis dapat mempengaruhi sistem persyarafan otak bayi, sehingga otak mengalami kelaianan struktur ataupun fungsinya

Faktor kecelakaan, dimana seseorang mengalami kecelakaan dalam kerja seperti cleaning service yang terjatuh saat membersihkan kaca jendela tempat ia bekerja sehingga ia harus diamputasi.

Faktor virus disebabkan tubuh terserang penyakit seperti polio. Tunadaksa tidak hanya bagi mereka bagi mereka yang kehilangan anggota tubuhnya saja tapi kelebihan anggota tubuh dapat juga dikatakan sebagai tunadaksa, seperti memeiliki jari yang lebih dari lima buah.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana pengertian, klasifikasi dan karakteristik anak tunadaksa? 2. Apa penyebab tunadaksa?

3. Bagaimana layanan pendidikan anak tunadaksa? C. TUJUAN PENULISAN

1. Untuk mengetahui pengertian, klasifikasi dan karakteristik tunadaksa 2. Untuk mengetahui penyabab tunadaksa

(5)

BAB II

PEMBAHASAN

PENGERTIA N, KLA SIFIK ASI DAN KAR AKTERISTI K ANA K TUNADAKSA

Istilah tunadaksa merupakan istilah lain dari cacat tubuh/tunafisik, yaitu berbagai kelainan bentuk tubuh yang mengakibatkan kelainan fungsi dari tubuh untuk melakukan gerakan-gerakan yang dibutuhkan. Untuk mengetehui lebih lanjut mari simak uraian dibawah ini.

A. PENGERTIAN ANAK TUNADAKSA

Tunadaksa berasal dari kata “tuna” yang berarti rugi atau kurang, dan “daksa" yang berarti tubuh. Tunadaksa adalah anak yang memiliki anggota tubuh tidak sempurna, sedangkan istilah cacat tubuh dan cacat fisik dimaksudkan untuk menyebut anak cacat pada anggota tubuhnya, bukan cacat indranya. Selanjutnya istilah cacat ortopedi terjemahan dari bahasa Inggris orthopedically handicapped. Orthopedic mempunyai yang berhubungan dengan otot, tulang dan persendian. Dengan demikian, cacat ortopedi kalainannya terletak pada aspek otot, tulang dan persendian atau dapat juga merupakan akibat adanya kelainan yang terletak pada pusat pengatur sistem otot, tulang dan persendian.

Anak tunadaksa dapat didefinisikan sebagai penyandang bentuk kelainan atau kecacatan pada sistem otot, tulang dan persendian yang dapat mengakibatkan gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilisasi dan gangguan perkembangan keutuhan pribadi. Salah satu definisi mengenai anak tunadaksa menyatakan bahwa anak tunadaksa adalah anak penyandang cacat jasmani yang terlihat pada kelainan bentuk tulang, otot, sendi maupun saraf-sarafnya. Istilah tunadaksa maksudnya sama dengan istilah yang berkembang seperti cacat tubuh, tuna tubuh , tuna raga, cacat anggota badan, cacat orthopedic, crippled, dan orthopedically handicapped (Depdikbud, 1986:6). Selanjutnya, Samuel A Kirk (1986) yang dialihbahasakan oleh Moh.Amin dan Ina Yusuf Kusumah (1991:3) mengemukakan bahwa seseorang dikatakan anak tunadaksa jika kondisi fisik atau kesehatan mengganggu kemampuan anak untuk berperan aktif dalam kegiatan sehari-hari, sekolah atau rumah. Sebagai contoh, anak yang mempunyai lengan palsu tetapi ia dapat mengikuti kegiatan sekolah, seperti Pendidikan Jasmani atau ada anak yang minum obat untuk mengendalikan gangguan kesehatannya maka anak-anak jenis itu tidak termasuk penyandang gangguan fisik. Tetapi jika kondisi fisik tidak bisa memegang pena, atau anak sakit-sakitan (mengidap penyakit kronis) sering kambuh sehingga ia tidak dapat bersekolah secara rutin maka anak itu termasuk penyandang gangguan fisik (tunadaksa).

Persepsi masyarakat awam tentang anak berkelainan fungsi anggota tubuh (anak tunadaksa) sebagai salah satu jenis anak berkelainan dalam konteks

(6)

pendidikan luar biasa (pendidikan khusus)masih dipermasalahkan. Munculnya permasalaha tersebut terkait dengan asumsi bahwa anak tunadaksa (kehilangan salah satu atau lebih fungsi anggota tubuh) pada kenyataannya tidak mengalami kesulitan untuk meniti tugas perkembangannya, tanpa harus masuk sekolah khusus untuk anak tunadaksa (khususnya tunadaksa ringan).

Secara etiologis, gambaran seseorang yang diidentifikasikan mengalami ketunadaksaan, yaitu seseorang yang mengalami kesulitan mengoptimalkan fungsi anggota tubuh sebagai akibat dari luka, penyakit, pertumbuhan yang salah bentuk, dan akibatnya kemampuan untuk melakukan gerakan-gerakan tubuh tertentu mengalami penurunan.

Secara definitif pengertian kelainan fungsi anggota tubuh (tunadaksa) adalah ketidakmampuan anggota tubuh untuk malaksanakan fungsinya disebabkan oleh berkurangnya kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsi secara normal ... akibat luka, penyakit, atau pertumbuhan yang tidak sempurna (Suroyo, 1977) sehingga untuk kepentingan pembelajarannya perli layanan secara khusus (Knedler, 1984).

Sama seperti anak berkelainan lainnya, anak tunadaksa dilihat dari jenis dan karakteristiknya memmiliki gradasi berbeda. Perbedaan berat-ringannya gradasi ketunadaksaan, baik tunadaksa ortopedi maupun tunadaksa neurologis, berpengaruh pada layanan pendidikannya.

Menyimak keadaan fisik yang tampak pada anak tunadaksaortopedi dan tunadaksa saraf tidak terdapat perbedaan yang mencolok, sebab secara fisik kedua jenis anak tunadaksa memiliki kesamaan, terutama pada fungsionalisasi anggota tubuh untuk melakukan mobilitas. Namun apabila dicermati secara seksama sumber ketidakmampuan umtuk memanfaatkan fungsi tubuhnya untuk beraktivitas atau mobilitas, akan tampak perbedaannya.

Kondisi ketunadaksaan sering dikaitkan dengan masalah ekonomi dapat dikelompokan menjadi: (1) penderita tunadaksa hanya memerlukan pertolongan dalam penempatan pada pekerjaan yang cocok, (2) penderita tunadaksa karena kelainannya sehingga memerlukan latihan kerja (vocational training) untuk dapat ditempatkan dalam jabatan-jabatan biasa (open employment), (3) penderita tunadaksa setelah diberi pertolongan rehabilitasi dan latihan-latihan dapat dipekerjakan dengan perlindungan khusus (sheltered employment), dan (4) penderita tunadaksa yang sedemikian beratnya sehingga memerlukan perawatan secara terus-menerus dan tidak mungkin dapat produktif.

B. KLASIFIKASI ANAK TUNADAKSA

Secara umum karakteristik kelainan anak yang dikategorikan sebagai penyandang tunadaksa dapat dikelompokkan menjadi anak tunadaksa ortopedi

(7)

(orthopedically handicapped) dan anak tunadaksa saraf (neurologically handicapped) (Hallahan & Kauffman, 1991).

Anak tunadaksa ortopedi ialah anak tunadaksa yang mengalami kelainan, kecacatan, ketunaan tertentu pada bagian tulang, otot tubuh, ataupun daerah persendian (Heward & Orlansky, 1998), baik yang dibawa sejak lahir (congenital) maupun yang diperoleh kemudian (karena penyakit atau kecelakaan) sehingga mengakibatkan terganggunya fungsi tubuh secara normal.

Menurut ketentuan yang tertuang dalam rencana undang-undang bagi rehabilitasi penderita cacat di Indonesia dijelaskan, “penderita cacat tubuh atau tunadaksa ortopedi adalah seseorang menurut ilmu kedokteran dapat ditunjukkan bahwa orang tersebut mempunyai kelainan pada tubuh atau sebagian dari tubuhnya yang tetap dan yang sedemikian sifatnya. Kelainan itu merupakan rintangan baginya untuk mempertahankan atau mendapatkan suatu lapangan pekerjaan yang selanjutnnya dapat ditempatkan berdasarkan bakat, pendidikan, pengalaman dan pasaran kerja jika ia tidak mempunyai kelainan-kelainan itu” (dalam Suroyo, 1997).

Definisi ilmu kedokteran tersebut untuk menetapkan siapa-siapa yang cacat (tunadaksa) dan yang perlu diberikan pertolongan rehabilitasi. Di sini dapat dibedakan pengertian antara orang yang sakit dan cacat, namun sifatnya sementara dan tidak menjadi objek rehabilitasi seperti penyandang cacat/tunadaksa. Pengertian kalimat yang terakhir tersebut dalam ilmu kedokteran diterangkan, bahwa kelainan pada tubuh yang sifatnya menetap dan tidak akan berubah dalam waktu enam bulan. Contoh kelainan yang termasuk dalam kategori tunadaksa ortopedi ini diantaranya poliomyelitis, tubercolosis tulang, ostomyelitis, arthritis, paraplegia, muscle dystrophia, kelainan pertumbuhan anggota atau anggota badan yang tidak sempurna, cacat punggung, amputasi tangan, lengan kaki dan lain-lain.

Berdasarkan insiden terjadinya ketunadaksaan ortopedi, dasar pemberian pertolongan rehabilitasi, dan usaha penempatan kerja, penderita tunadaksa dapat diklasifikasikan menjadi ketunadaksaan karena kecelakaan lalu lintas, ketunadaksaan karena penyakit, serta ketunadaksaan yang didapat sejak lahir (Suroyo, 1977).

Anak tunadaksa saraf (neurologically handicapped), yaitu anak tunadaksa yang mengalami kelainan akibat gangguan pada susunan saraf diotak (Heward & Orlansky, 1991). Otak sebagai pengontrol tubuh memiliki sejumlah saraf yang menjadi pengendali mekanisme tubuh sehingga jika otak mengalami kelainan, sesuatu akan terjadi pada organisme fisik, emosi dan mental.

Sebuah eksperimen yang dilakukan Panfield dan Rasmussen dengan menggunakan perangsangan listrik dan beberapa bagian otak. Hasilnya, selama manusia dalam kondisi sadar, ternyata mampu menghasilkan gerakan otot pada bagian-bagian tubuh, misalnya rangsangan terhadap daerah pendengaran menghasilkan nada-nada pendengaran, rangsangan terhadap daerah penglihatan

(8)

menimbulkan sensasi warna, bentuk, dan lain-lain, atau jika yang dirangsang iobus temporalis akan muncul teori tentang suatu situasi atau yang lainnya.

Luka pada bagian otak tertentu, efeknya penderita akan mengalami gangguan dalam perkembangannya, mungkin akan berakibat ketidakmampuan dalam melaksanakan berbagai bentuk kegiatan. Salah satu bentuk kelainanyang terjadi pada fungsi otak dapat dilihat pada anak cerebral palsy (CP). Cerebral palsy yang berasal dari kata cerebral yang artinya otak, dan palsy yang mempunyai arti ketidakmampuan atau gangguan motorik (Kirk, 1970). Jadi cerebral palsy memiliki pengertian lengkap yakni gangguan aspek motorik yang disebabkan oleh disfungsinya otak.

The American Academy of Cerebral Palsy mendefinisikan, yaitu berbagai perubahan gerakan atau fungsi motor tidak normal dan timbul sebagai akibat kecelakaan, luka, atau penyakit pada susunan saraf yang terdapat pada rongga tengkorak. Pengertian selengkapnya dapat dikutip dari The United Cerebral Palsy Association, cerebral palsy menyangkut gambaran klinis yang diakibatkan oleh luka pada otak, terutama pada kommponen yang menjadi penghalang dalam gerak sehingga keadaan anak yang dikategorikan cerebral palsy dapat digambarkan sebagai kondisi semenjak kanak-kanak dengan kondisi nyata, seperti lumpuh, lemah, tidak adanya koordinasi atau penyimpangan fungsi gerak yang disebabkan oleh patologi pusat kontrol gerak di otak.

Dengan terganggunya fungsi motorik, sebagaimana yang dialami anak penderita cerebral palsy, rentetan kesulitan berikutnya kemungkinan dapat memengaruhi kesulitan belajar, maslah-masalah kejiwaan, kelainan sensoris, kejang-kejang, maupun penyimpangan perilaku yang bersumber pada fungsi organ tubuhnya. Dalam banyak kasus, luka atau gangguan yang terjadi pada otak atau bagian-bagiannya, baik yang didapat sebelum, selama, maupun sesudah kelahiran dapat menyebabkan gangguan pada mental, kekacauan bahasa (aphasia), ketidakmampuan membaca (disleksia), ketidakmampuan menulis (agrafia), ketidakmampuan memahami kata-kata (word deafness), ketidakmampuan berbicara (speech defect), ketidakmampuan berhitung (akalkuli), di samping berbagai bentuk gerak lainnya.

Perli dipahami bahwa cerebral palsy bukan suatu penyakit, melainkan suatu kondisi yang ditandai oleh sejumlah gejala yang muncul bersamaan. Hal ini berarti cerebral palsy berbeda dengan cacar air, tubercolosis, atau penyakit kanker. Cerebral palsy merupakan suatu sindrom dan mempunyai gambaran yang jelas.

Dilihat dari manifestasi yang tamapak pada aktivitas motorik, anak cerebral palsy dapat dikelompokkan menjadi spasticity, athetosis, ataxia, tremor, danrigidity (Hallahan & Kaufman, 1986; Patton, 1991).

(9)

1. Spasticity

Pada tahun 1861, dokter Little dari London memberi gambaran kondisi anak yang mengalami sindrom spastis. Kondisi ini kemudian dikenal dengan penyakit Little. Istila-istilah lain yang digunakan untuk menyebutkan kondisi ini diantaranya cerebrospastis, cerebral spastis, birth injured, dan cerebral palsy.

Kondisi ini terjadi karena lapisan luar otak (khususnya lapisan motor) bidang piramida dan beberapa kemungkinan bidang ekstra piramida yang berhubungan dengan pengontrolan gerakan sadar tidak berfungsi sempurna. Bidang piramida yang terletak di antara daerah gerak dan pengindraan di lapisan luar, dan daerah ekstra piramida terletak di bawah cortical, lebih masuk kedalam otak. Daerah tertentu pada otak dapat menimbulkan gerak tertentu, kontraksi, atau rangsangan-rangsangan. Faktor yang menyebabkan terjadinya kondisi tersebut disebut supresor (pendesak).

Apabila salah satu dari supresor ini masuk, maka akan terjadi suatu desakan, akibatnya otot akan berada dalam kondisi tegang dan kejang. Ketika kondisi otot kejang keseimbangan akan hilang, gerakan yang muncul menjadi tidak harmonis, tidak terkontrol dan kontraksi otot tidak teratur, sehingga gerakan yang tampak seperti suatu hentakan. Namun demikian, dalam keadaan normal anak mampu menggerakkan otot dengan baik, meskipun gerakannya tampak lamban, eksplosif, dan tidak sempurna.

Beberapa kelompok otot yang dapat dipengaruhi oleh kelumpuhan jenis ini, antara lain monoplegia yaitu jika salah satu anggota badan mengalami kekejangan, hemiplegia yaitu jika salh satu dari anggota tubuh seperti kaki dan tangan mengalami kekejangan, triplegia yaitu jika diantara anggota tubuh, seperti dua kaki dan satu tangan mengalami kekejangan, paraplegia yaitu jika kekejangan itu terjadi pada kedua kaki, dan quadriplegia yaitu kekejangan yang muncul pada keempat anggota tubuh, sebagian kadang-kadang di kepala dan anggota tubuh lainnya.

Karakteristik lain dari spasticity ini ialah penderita menunjukkan hypertomicity seperti tegangan otot yang berlebihan atau kontraksi getaran sewaktu otot-otot beristirahat. Distribusi frekuensi penderita spasticity sekitar 40-60% dari anak penderita cerebral palsy.

2. Athetosis

Paralysis spastic (kejang lumpuh)terjadi karena luka atau gangguan pada bidang piramida yang terletak pada kortek motor (lapisan luar area motorik), sedangkan athetosis penyebabnya adalah luka pada sistem ekstra piramida yang terletak pada otak depan maupun tengah. Meskipun demikian, belumjelas daerah pemisahnya sebab pada penderita spasticity barangkali juga melibatkan sistem ekstra piramida. Banyak orang percaya bahwa ekstra piramida menjebatani antara kegiatan otot dan kontrol gerak secara otomatis seperti berjalan dan gerakan ekspresi wajah.

(10)

Anak yang menderita cerebral palsy jenis athetosis ini tampak susah payah untuk berjalan, menggeliat-geliat, dan terhuyung-huyung (sempoyongan). Gerakannya tidak berirama dan tidak mengikuti urutan yang wajar, perilakunya serung tidak terkontrol. Beberapa dari mereka bergerak dengan cara tidak wajar atau aneh. Penderita athetoid meskipun mamapu meletakkan tangan pada mulutnya, namun ketika melakukan kegiatan ini tampak berbagai bentuk gerakan yang tidak terkontrol dan ekstrem.

Penderita athetosis dalam kondisi tidur gerakan seperti menggeliat tidak tampak, namun gerakan ini akan muncul pada saat penderita dalam keadaan sadar. Gerakan-gerakan abnormal penderita athetosis ini kian menghebat, apabila yang bersangkutan melakukan kegiatan disertai emosi yang tinggi. Karakteristik dari penderita athetosis ini ialah mengalami problem pada sejumlah besar tangan, bibir, lidah, serta sejumlah kecil kaki. Populasi penderita athetosis diperkirakan sekitar 15-20% dari penderita cerebral palsy.

3. Ataxia

Kondisi ataxia ini tidak begitu umum dibandingkan dengan spasticity maupun athetosis. Kondisi ataxia ini disebabkan oleh luka pada otak kecil yang terletak di bagian belakang kepala (cerebellum) yang bekerja sebagai pengontrol keseimbangan dan koordinasi pada kerja otot. Anak yang menderita ataxia gerakannya tidak teratur, berjalan dengan langkah yang tinggi dan dengan mudah menjatuhkannya. Terkadang matanya tidak terkoordinasi, gerakannya seperti tersentak-sentak (nystagmus). Penderita ataxia tidak kelihatan ketika dilahirkan, namun ketika masa meraban dan berjalan kondisi ini tampak jelas sekali. Sebagaimana spasticity dan athetosis, ataxia ada beberapa tingkatan, mulai dari yang ringan sampai yang sangat berat tergantung perluasan luka pada cerebellum.

4. Tremor dan Regidity

Tremor dan regidity mirip dengan athetosis, yakni disebabkan oleh luka pada sistem ekstra piramida. Kondisi ini muncul pada sebagian kecil anak penderita cerebral palsy. Tremor pada penderita cerebral palsy diketahui sejak dini, manakala terjadi perubahan fibrasi tubuh secara alami tidak beraturan. Hal ini terjadi akibat gangguan keseimbangan antara kelompok otot yang bekerja berlawanan. Dalam kondisi ini anak masih dapat malakukan aktivitas sesuai dengan tujuannya, walaupun ada beberapa hambatan jika dibandingkan dengan penderita spasticity atau athetosis. Regidity merupakan interferensi terhadap postural tone yang disebabkan oleh resistensi otot-otot agonis dan antagonis. Berbeda dengan athetosis yang mana gerakannya lebih bebas dan lebih sering berubah, sedangkan tremor dan regidity gerakannya terbatas dan menurut irama tertentu serta agak lambat.

(11)

5. Tipe Campuran

Walaupun jenis-jenis cerebral palsy sudah dapat diidentifikasikan menurut jenisnya, namun pada kasus-kasus tertentu menunjukkan perpaduan di antara jenis cerebral palsy tersebut. Misalnya, penderita cerebral palsy yang diidentifikasikan dalam ciri spasticity tamapak pula ciri athetosis dan ataxia, atau spasticity dengan tremor atau regidity, atau bentuk kombinasi yang lain.

C. KARAKTERISTIK ANAK TUNADAKSA

Karakteristik anak tunadaksa yang akan dibahas dalam hal ini adalah berikut ini.

1. Karakteristik Akademik

Pada umumnnya tingkat kecerdasan anak tunadaksa yang mengalami kelainan pada sistem otot dan rangka adalah normal sehingga dapat mengikuti pelajaran sama dengan anak normal, sedangkan anak tunadaksa yang mengalami kelainan pada sistem cerebral tingkat kecerdasannya berentang mulai dari tingkat idiocy sampai dengan gifted. Hardman (1990) mqngemukakan bahwa 45% anak cerebral palsy mengalami keterbelakangn mental (tunagrahita), 35% mempunyai tingkat kecerdasan normal dan diatas normal. Sisanya sedikit dibawah rata-rata. Selanjutnya, P. Seibel (1984:138) mengemukakan bahwa tidak ditemukan hubungan xecara langsung antara tingkat kelainan fisik dengan kecerdasan anak. Artinya anak cerebral palsy yang kelainannya berat, tidak berarti kecerdasannya rendah.

Selain tingkat kecerdasan yang bervariasi anak cerebral palsy juga mengalami kelainan persepsi, kognisi, dan simbolisasi. Kelainan persepsi terjadi karena saraf penghubung dan jaringan saraf ke otak mengalami kerusakan sehingga proses presepsi yang dimulai dari stimulus merangsang alat maka diteruskan ke otak oleh saraf sensoris, kemudian ke otak (yang bertugas menerima dan menafsirkan, serta menganalisis) mengalami gangguan. Kemampuan kogmisi terbatas karena adanya kerusakan otak sehingga mengganggu fungsi kecerdasan, penglihatan, pendengaran, bicara, rabaan, dan bahasa, serta akhirnya anak tersebut tidak dapatmengadakan interaksi dengan lingkungannya yang terjadi terus-menerus melalui persepsi dengan menggunakan media sensori (indra). Gangguan pada simbolisasi disebabkan oleh adanya kesulitan dalam menerjemahkan apa yang didengar dan yang dilihat. Kelainan yang komplek ini akan mempengaruhi prestasi akademiknya.

2. Karakteristik Sosial/Emosional

Karakteristik sosial/emosional anak tunadaksa bermula dari konsep diri anak yang merasa dirinya cacat, tidak berguna, dan menjadi beban orang lain yang mengakibatkan mereka malas belajar, bermain dan perilaku salah suai lainnya. Kehadiran anak cacat yang tidak diterima oleh orang tua dan disingkirkan dari masyarakat akan merusak perkembangan pribadi anak. Kegiatan jasmani yang tidak

(12)

dapat dilakukan oleh anak tunadaksa dapat mengakibatkan timbulnya problem emosi, seperti mudah tersinggung, mudah marah, rendah diri, kurang dapat bergaul, pemalu, menyendiri, dan frustrasi. Problem emosi seperti itu, banyak ditemukan pada anak tunadaksa dengan gangguan sistem cerebral. Oleh sebab itu, tidak jarang dari mereka tidak memiliki rasa percaya diri dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.

3. Karakteristik Fisik/Kesehatan

Karakteristik fisik/kesehatan anak tunadaksa biasanya selain mengalami cacat tubuh adalah kecenderungan mengalami gangguan lain, seperti sakit gigi, berkurangnya daya pendengaran, penglihatan, gangguan bicara, dan lain-lain. Kelainan tambahan itu banyak ditemukan pada anak tunadaksa sistem cerebral. Gangguan bicara disebabkan oleh kelainan motorik alat bicara (kaku atau lumpuh), seperti lidah, bibir, dan rahang sehingga mengganggu pembentukan artikulasi yang benar. Akibatnya, bicaranya tidak dapat dipahami orang lain dan diucapkan dengan susah payah. Mereka juga mengalami aphasia sensoris, artinya ketidakmampuan bicara karena organ reseptor anak terganggu fungsinya, dan aphasia motorik, yaitu mampu menangkap informasi dari lingkungan sekitarnya melalui indra pendengaran, tetapi tidak dapat mengemukakannya lagi secara lisan. Anak cerebral palsy mengalami kerusakan pada pyramidal tract dan extrapyramidal yang berfungsi mengatur sistem motorik. Tidak heran mereka mengalami kekakuan, gangguan keseimbangan, gerakan tidak dapat dikendalikan, dan susah berpindah tempat. Dilihat dari aktivitas motorik, intensitas gangguannya dikelompokkan atas hiperaktif yang menunjukkan tidak mau diam, gelisah; hipoaktif yang menunjukkan sikap pendiam, gerakan lamban, dan kurang merespons rangsangan yang diberikan; dan tidak ada koordinasi, seperti waktu berjalan kaku, sulit melakukan kegiatan yang membutuhkan integrasi gerak yang lebih halus, seperti menulis, menggambar, dan menari.

PENYEBAB TUNA DAKSA

Ada beberapa macam sebab yang dapat menimbulkan kerusakan pada anak sehingga menjadi tunadaksa. Kerusakan tersebut ada yang terletak di jaringan otak, jaringan sumsum tulang belakang, serta pada sistem musculus skeletal. Terdapat keragaman jenis tunadaksa, dan masing-masing timbulnya kerusakan yang berneda-beda. Dilihat dari waktu terjadinya, kerusakan otak dapat terjadi pada masa sebelim lahir, saat lahir, dan sesudah lahir.

A. SEBELUM LAHIR (FASE PRENATAL)

Kerusakan terjadi pada saat bayi masih dalam kandungan disebabkan:

1. Infeksi atau penyakit yang menyerang ketika ibu mengandung sehingga menyerang otak bayi yang sedang dikandungnya.

(13)

2. Kelainan kandungan yang menyebabkan peredaran terganggu, tali pusar tertekan, sehingga merusak pembentukan saraf-saraf di dalam otak.

3. Bayi dalam kandungan terkena radiasi yang langsung mempengaruhi sistem saraf pusat sehingga struktur maupun fungsinya terganggu.

4. Ibu yang sedang mengandung mengalami trauma yang dapat mengakibatkan terganggunya pembentukan sistem saraf pusat. Misalnya, ibu jatuh dan perutnya terbentur dengan cukup keras dan secara kebetulan mengganggu kepala bayi, maka dapat merusak sistem saraf pusat bayi.

B. FASE KELAHIRAN (FASE NATAL/PERINATAL)

Hal-hal yang dapat menimbulkan kerusakan otak pada bayi pada saat bayi dilahirkan antara lain:

1. Proseskelahiran yang terlalu lama karena tulang pinggangnya yang kecil pada ibu sehingga bayi mengalami kekurangan oksigen. Hal ini kemudian menyebabkan terganggunya sistem metabolisme dalam otak bayi sehingga jaringan saraf pusat mengalami kerusakan.

2. Pemakaian alat bantu berupa tang ketika proses kelahiran yang mengalami kesulitan sehingga dapat merusak jaringan saraf otak pada bayi.

3. Pemakaian anestesi yang melebihi ketantuan. Ibu yang melahirkan karena operasi dan menggunakan anestesi yang melebihi dosis dapat mempengaruhi sistem persarafan otak bayi sehingga otak mengalami kelainan struktur maupun fungsinya.

C. SETELAH PROSES KELAHIRAN (FASE POST NATAL)

Fase setelah kelahiran adalah masa di mana bayi mulai dilahirkansampai masa perkembangan otak dianggap selesai, yaitu pada usia lima tahun.

Hal-hal yang dapat menyebabakan kecacatan setelah bayi lahir adalah: 1. Kecelakaan atau trauma kepala, amputasi.

2. Infeksi penyakit yang menyerang otak.

LAYANAN PENDI DIKAN P ADA ANAK TUNADAKSA

A. TUJUAN PENDIDIKAN ANAK TUNADAKSA

Tujuan pendidikan anak tunadaksa mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1991 agar peserta didik mampu mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan. Connor (1975) dalam Musyafak Asyari (1995) mengemukakan bahwa dalam pendidikan anak tunadaksa perlu dikembangkan 7 aspek yang diadaptasikan sebagai berikut.

(14)

1. Pengembangan Intelektualdan Akademik

Pengembangan aspek ini dapat dilaksanakan secara formal di sekolah melalui kegiatan pembelajaran. Di sekolah khusus anak tunadaksa (SLB-D) tersedia seperangkat kurikulum dengan semua pedoman pelaksanaannya, namun hal yang lebih penting adalah pemberian kesempatan dan perhatian khusus pada anak tunadaksa untuk mengoptimalkan perkembangan intelektual dan akademiknya.

2. Membantu Perkembangan Fisik

Oleh karena anak tunadaksa mengalami kecacatan fisik maka dalam proses pendidikan guru harus turut bertanggung jawab terhadap pengembangan fisiknya dengan cara bekerja sama dengan staf medis. Hambatan utama dalam belajar adalah adanya gangguan motorik. Oleh karena itu, guru harus dapat mengatasi gangguan tersebut sehingga anak memperoleh kemudahan dalam mengikuti pendidikan. Guru harus membantu memelihara kesehatan fisik anak, mengoreksi gerakan anak yang salah dan mengembangkan ke arah gerak yang normal.

3. Meningkatkan Perkembangan Emosi dan Penerimaan Diri Anak

Dalam proses pendidikan, para guru bekerja sama dengan psikolog harus menanamkan konsep diri yang positif terhadap kecacatan agar dapat menerima dirinya. Hal ini dapat dilakukan dengan menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif sehingga dapat mendorong terciptanya interaksi yang harmonis.

4. Mematangkan Aspek Sosial

Aspek sosial yang meliputi kegiatan kelompok dan kebersamaannya perlu dikembangkan dengan pemberian peran kepada anak tunadaksa agar turut serta bertanggung jawab atas tugas yang diberikan serta dapat bekerja sama dengan kelompoknya.

5. Mematangkan Moral dan Spiritual

Dalam proses pendidikan perlu diajarkan kepada anak tentang nilai-nilai, norma kehidupan, dan keagamaan untuk membantu mematangkan moral dan spiritualnya.

6. Meningkatkan ekspresi diri

Ekspresi diri anak tunadaksa perlu ditingkatkan melalui kegiatan kesenian, keterampilan atau kerajinan.

7. Mempersiapkan Masa Depan Anak

Dalam proses pendidikan, guru dan personel lainnya bertugas untuk menyiapkan masa depan anak. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara membiasakan anak bekerja sesuai dengan kemampuannya, membekali mereka

(15)

dengan latihan keterampilan yang menghasilkan sesuatu yang dapat dijadikan bekal hidupnya.

Ketujuh sasaran pendidikan tersebut di atas sebenarnya bersifat dual purpose (ganda), yaitu berkaitan dengan pemulihan fungsi fisik dan pengembangan dalam pendidikannya. Tujuan utamanya adalah terbentuknya kemandirian dan keutuhan pribadi anak tunadaksa.

B. TEMPAT PENDIDIKAN

Model layanan pendidikan yang sesuai dengan jenis, derajat kelainan dan jumlah peserta didik diharapkan akan memperlancar proses pendidikan. Anak tunadaksa dapat mengikuti pendidikan pada tempat-tempat berikut.

1. Sekolah Khusus Berasrama (Full-Time Residential School)

Model ini diperuntukkan bagi anak tunadaksa yang derajat kelainannya berat dan sangat berat.

2. Sekolah Khusus tanpa Asrama (Special Day School)

Model ini dimaksudkan bagi anak tunadaksa yang memiliki kemampuan pulang pergi ke sekolah atau tempat tinggal mereka yang tidak jauh dari sekolah.

3. Kelas Khusus Penuh (Full-Time Special Class)

Anak tunadaksa yang memiliki tingkat kecacatan ringan dan kecerdasan homogen dilayani dalam kelas khusus secara penuh.

4. Kelas Reguler dan Khusus (Part-Time Reguler Class and Part-Time Special Class)

Model ini digunakan apabila menyatukan anak tunadaksa dengan anak normal, pada mata pelajaran tertentu. Mereka belajar dengan anak normal dan apabila anak tunadaksa mengalami kesulitan mereka belajar di kelas khusus.

5. Kelas reguler Dibantu oleh Guru Khusus (Reguler Class with Supportive Instructional Service)

Anak tunadaksa bersekolah bersama-sama anak normal di sekolah umum dengan bantuan guru khusus apabila anak mengalami kesulitan.

6. Kelas Biasa dengan Layanan Konsultasi untuk Guru Umum (Reguler Class Placement with Consulting Service for Reguler Teachers)

Tanggung jawab pembelajaran model ini sepenuhnya dipegang oleh guru umum. Anak tunadaksa belajar bersama dengan anak normal di sekolah umum, dan untuk membantu kelancaran pembelajaran ada guru kunjung yang berfungsi sebagai konsultan guru reguler.

(16)

7. Kelas Biasa (Reguler Class)

Model ini diperuntukkan bagi anak tunadaksa yang memiliki kecerdasan normal, memiliki potensi dan kemampuan yang dapat belajar bersama-sama dengan anak normal.

C. SISTEM PENDIDIKAN

Sesuai dengan pengorganisasian tempat pendidikan maka sistem pendidikan anak tunadaksa dapat dikemukakan sebagai berikut.

1. Pendidikan Integrasi (Terpadu)

Walaupun pendidikan anak tunadaksa di Indonesia banyak dilakukan melalui jalur sekolah khusus, yaitu anak tunadaksa ditempatkan secara khusus di SLB-D (Sekolah Luar Biasa bagian D), namun anak tunadaksa ringan (jenis poliomyelitis) telah ada yang mengikuti pendidikan di sekolah biasa. Sementara ini anak tunadaksa yang mengikuti pendidikan di sekolah umum harus mengikuti pendidikan sepenuhnya tanpa memperoleh program khusus sesuai dengan kebutuhannya. Akibatnya, mereka memperoleh nilai hanya berdasarkan hadiah terutama dalam mata pelajaran yang berkaitan dengan kegiatan fisik (Astati, 2000). Sehubungan dengan itu Kirk (1986) mengemukakan bahwa adaptasi pendidikan anak tunadaksa apabila ditempatkan di sekolah umum adalah sebagai berikut.

a. Penempatan di kelas reguler

Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut.

1) Menyiapkan lingkungan belajar tambahan sehingga memungkinkan anak tunadaksa untuk bergerak sesuai dengan kebutuhannya, misalnya membangun trotoar, pintu agak besar sehingga anak dapat menggunakan kursi roda;

2) Menyiapkan program khusus untuk mengejar ketinggalan anak tunadaksa karena anak sering tidak masuk sekolah;

3) Guru harus mengadakan kontak secara intensif dengan siswanya untuk melihat masalah fisiknya secara langsung;

4) Perlu mengadakan rujukan ke ahli terkait apabila timbul masalah fisik dan kesehatan yang lebih parah.

b. Penempatan di ruang sumber belajar dan kelas khusus

Murid yang mengalami ketinggalan dari temannya di kelas reguler karena ia sakit-sakitan diberi layanan tambahan oleh guru di ruang sumber. Murid yang datang ke ruang sumber tergantung pada materi pelajaran yang menjadi ketinggalannya, sedangkan siswa yang mengunjungi kelas khusus biasanya anak yang mengalami kelainan fisik tingkat sedang dengan inteligensia normal. Misalnya, anak yang tidak dapat berbicara maka ia perlu masuk kelas khusus sebagai persiapan anak untuk memasuki kelas reguler

(17)

karena selama anak di kelas khusus ia sering bermain, ke kantin, dan upacara bersama dengan anak normal (siswa kelas reguler).

2. Pendidikan Segregasi (Terpisah)

Penyelenggaraan pendidikan bagi anak tunadaksa yang ditempatkan di tempat khusus, seperti sekolah khusus adalah menggunakan kurikulum Pendidikan Luar Biasa Anak Tunadaksa 1994 (SK Mendikbud, 1994). Perangkat Kurikulum Pendidikan Luar Biasa 1994 terdiri atas komponen berikut.

a. Landasan, Program dan Pengembangan Kurikulum, memuat hal-hal, yaitu landasan yang dijadikan acuan dan pedoman dalam pengembangan kurikulum, tujuan, jenjang dan satuan pelajaran, program pengajaran yang mencakup isi program, pengajaran, lama pendidikan dan susunan program pengajaran, pelaksanaan pengajaran dan penilaian, serta pengembangan kurikulum sebagai suatu proses berkelanjutan di tingkat nasional dan daerah.

b. Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) memuat: pengertian dan fungsi mata pelajaran, tujuan, ruang lingkup bahan pelajaran, pokok bahasan, tema dan uraian tentang kedalaman dan keluasan, alokasi waktu, rambu-rambu pelaksanaannya, dan uraian/cara pembelajaran yang disarankan.

c. Pedoman pelaksanaan kurikulum memuat: pedoman pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar, rehabilitasi, pelaksanaan bimbingan, administrasi sekolah, dan pedoman penilaian kegiatan dan hasil belajar.

Lama pendidikan dan penjenjangan serta isi kurikulum tiap jenjang adalah sebagai berikut.

a. TKLB (Taman Kanak-kanak Luar Biasa) berlangsung satu sampai tiga tahun dan isi kurikulumnya, meliputi pengembangan Kemampuan Dasar (Moral Pancasila, Agama, Disiplin, Perasaan, Emosi, dan Kemampuan Bermasyarakat), Pengembangan Bahasa, Daya Pikir, Daya Cipta, Keterampilan dan Pendidikan Jasmani. Usia anak yang diterima sekurang-kurangnya 3 tahun.

b. SDLB (Sekolah Dasar Luar Biasa) berlangsung sekurang-kurangnya enam tahun dan usia anak yang diterima sekurang-kurangnya enam tahun. Isi kurikulumnya terdiri atas: Program Umum meliputi mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, IPS, IPA, Kerajinan Tangan dan Kesenian, serta Pendidikan Jasmani dan Kesehatan; program khusus (Bina Diri dan Bina Gerak), dan Muatan Lokal (Bahasa Daerah, Kesenian, dan Bahasa Inggris).

c. SLTPLB (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa) berlangsung sekurang-kurangnya 3 tahun, dan siswa yang diterima harus tamatan SDLB. Isi kurikulumnya terdiri atas program umum (Pendidikan Pancasila, Kewarganegaraan, Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Bahasa Inggris), program khusus (Bina Diri dan Bina Gerak), program muatan lokal (Bahasa Daerah, Kesenian Daerah).

(18)

d. SMLB (Sekolah Menengah Luar Biasa) berlangsung sekurang-kurangnya tiga tahun, dan siswa yang diterima harus tamatan SLTPLB. Isi kurikulumnya meliputi program umum sama dengan tingkat SLTPLB, program pilihan terdiri atas paket Keterampilan Rekayasa, Pertanian, Usaha dan Perkantoran, Kerumahtanggaan, dan Kesenian. Di jenjang ini, anak tunadaksa diarahkan pada penguasaan salah satu jenis keterampilan sebagai bekal hidupnya.

Lama belajar dan perimbangan bobot mata pelajaran untuk tiap jenjang adalah TKLB lama belajar satu jam pelajaran 30 menit, SDLB lama belajar satu jam pelajaran 30 dan 40 menit. Bobot mata pelajaran di SDLB yang tergolong akademik lebih banyak dari mata pelajaran yang lainnya, SLTPLB lama belajar satu jam pelajaran 45 menit dan bobot mata pelajaran keterampilan dan praktik lebih banyak daripada mata pelajaran lainnya; dan SMLB lama belajar sama dengan SLTPLB dan bobot mata pelajaran keterampilan lebih banyak dan mata pelajaran lainnya lebih diarahkan pada aplikasi dalam kehidupan sehari-hari.

D. PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

Dalam pelaksanaan pembelajaran akan dikemukakan ha-hal yang berkaitan dengan keterlaksanaannya, seperti berikut.

1. Perencanaan Kegiatan Belajar-Mengajar

Sehubungan dengan perencanaan kegiatan pembelajaran bagi anak tunadaksa, Ronald L. Taylor (1984) mengemukakan, apabila penyandang cacat menerima pelayanan pendidikan di sekolah formal maka ia harus memperoleh pelayanan pendidikan yang diindividualisasikan. Dalam rangka mengembangkan program pendidikan yang diindividualisasikan, banyak informasi/data yang diperlukan dan salah satunya dihasilkan melalui assessment. Adapun langkah-langkah utama dalam merancang suatu program pendidikan individual (PPI) adalah sebagai berikut.

a. Membentuk tim PPI atau Tim Penilai Program Pendidikan yang diindividualisasikan (TP3I), yang mencakup guru khusus, guru reguler, diagnostician, kepala sekolah, orang tua, siswa, serta personel lain yang diperlukan.

b. Menilai kekuatan dan kelemahan serta minat siswa yang dapat dilakukan dengan assessment.

c. Mengembangkan tujuan-tujuan jangka panjang dan sasaran-sasaran jangka pendek.

d. Merancang metode dan prosedur pencapaian tujuan e. Menentukan metode dan evaluasi kemajuan.

(19)

Ada beberapa prinsip utama dalam memberikan pendidikan pada anak tunadaksa, diantaranya sebagai berikut.

a. Prinsip multisensori (banyak indra)

Proses pendidikan anak tunadaksa sedapat mungkin memanfaatkan dan mengembangkan indra-indra yang ada dalam diri anak karena banyak anak tunadaksa yang mengalami gangguan indra. Dengan pendekatan multisensori, kelemahan pada indra lain dapat difungsikan sehingga dapat membantu proses pemahaman.

b. Prinsip individualisasi

Individualisasi mengandung arti bahwa titik tolak layanan pendidikan adalah kemampuan anak secara individu. Model layanan pendidikannya dapat berbentuk klasikal dan individual. Dalam model klasikal, layanan pendidikan diberikan pada kelompok individu yang cenderung memiliki kemampuan yang hampir sama, dan bahan pelajaran yang diberikan pada masing-masing anak sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.

3. Penataan Lingkungan Belajar

Berhubung anak tunadaksa mengalami gangguan motorik maka dalam mengikuti pendidikan membutuhkan perlengkapan khusus dalam lingkungan belajarnya. Gedung sekolah sebaiknya dilengkapi ruangan/sarana tertentu yang memungkinkan dapat mendukung kelancaran kegiatan anak tunadaksa di sekolah. Bangunan-bangunan gedung sebaiknya dirancang dengan memprioritaskan 3 kemudahan, yaitu anak mudah ke luar masuk, mudah bergerak dalam ruangan, dan mudah mengadakan penyesuaian atau segala sesuatu yang ada di ruangan itu mudah digunakan (Musyafak Assyari, 1995).

Beberapa kondisi khusus mengenai gedung itu adalah sebagai berikut.

a. Macam-macam ruangan khusus, seperti ruang poliklinik/UKS untuk pemeriksaan dan perawatan kesehatan anak, ruang untuk latihan bina gerak (physiotherapy), ruang untuk bina bicara (speech therapy), ruang untuk bina diri, terapi okupasi, dan ruang bermain, serta lapangan.

b. Jalan masuk menuju sekolah sebaiknya dibuat keras dan rata yang memungkinkan anak tunadaksa yang memakai alat bantu ambulasi, seperti kursi roda, tripor, brace, kruk, dan lain-lain, dapat bergerak dengan aman.

c. Tangga sebaiknya disediakan jalur lantai yang dibuat miring dan landai

d. Lantai bangunan baik di dalam dan di luar gedung sebaiknya dibuat dari bahan yang tidak licin.

e. Pintu-pintu ruangan sebaiknya lebih lebar dari pintu biasa dan daun pintunya dibuat mengatup ke dalam.

f. Untuk menghubungkan bangunan/kelas yang satu dengan yang lain sebaiknya disediakan lorong (koridor) yang lebar dan ada pegangan di tembok agar anak dapat mandiri berambulasi.

(20)

g. Pada beberapa dinding lorong dapat dipasang cermin besar untuk digunakan anak mengoreksi sendiri sikap/posisi jalan yang salah.

h. Kamar mandi/kecil sebaiknya dekat dengan kelas-kelas agar anak mudah dan segera dapat menjangkaunya.

i. Dipasang WC duduk agar anak tidak perlu berjongkok pada waktu menggunakannya.

j. Kelas sebaiknya dilengkapi dengan meja dan kursi yang konstruksinya disesuaikan dengan kondisi kecacatan anak, misalnya tinggi meja kursi dapat disetel, tanganan, dan sandaran kursi dimodifikasi, dan dipasang belt (sabuk) agar aman.

E. PERSONEL

Personel yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan pendidikan anak tunadaksa adalah berikut ini.

1. Guru yang berlatar belakang pendidikan luar biasa, khususnya pendidikan anak tunadaksa;

2. Guru yang memiliki keahlian khusus, misalnya keterampilan dan kesenian; 3. Guru sekolah biasa;

4. Dokter umum; 5. Dokter ahli ortopedi; 6. Neurolog;

7. Ahli terapi lainnya, seperti ahli terapi bicara, physiotherapist dan bimbingan konseling, serta orthotist prosthetist.

(21)

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN

Dari uraian di atas kami dapat menyimpulkan,

1. Tunadaksa adalah anak yang memiliki anggota tubuh tidak sempurna, sedangkan istilah cacat tubuh dan cacat fisik dimaksudkan untuk menyebut anak cacat pada anggota tubuhnya, bukan cacat indranya. Secara umum karakteristik kelainan anak yang dikategorikan sebagai penyandang tunadaksa dapat dikelompokkan menjadi anak tunadaksa ortopedi (orthopedically handicapped) dan anak tunadaksa saraf (neurologically handicapped).

2. Sebab yang dapat menimbulkan kerusakan pada anak hingga menjadi tunadaksa. Kerusakan tersebut ada yang terletak dijaringan otak, jaringan sumsum tulang belakang, pada sistem musculus skeletal. Adanya keragaman jenis tunadaksa dan masing-masing kerusakan timbulnya berbeda-beda. Dilihat dari saat terjadinya kerusakan otak dapat terjadi pada masa sebelum lahir, saat lahir, dan sesudah lahir.

3. Tujuan utama pendidikan anak tunadaksa adalah terbentuknya kemandirian dan keutuhan pribadi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sekurang-kurangnya tujuh aspek yang perlu dikembangkan melalui pendidikan pada anak tunadaksa, yaitu (1) pengembangan intelektual dan akademik, (2) membantu perkembangan fisik, (3) meningkatkan perkembangan emosi dan penerimaan diri anak, (4) mematangkan aspek sosial, (5) mematangkan moral dan spiritual, (6) meningkatkan ekspresi diri, dan (7) mempersiapkan masa depan anak.

(22)

DAFTAR PUSTAKA

Efendi, Muhammad. 2006. Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta: Bumi Akasara.

http://www.slbk-batam.org/index.php?pilih=hal&id=73

http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2194391-pengertian-tunadaksa/#ixzz1q2evbGwK

http://didikz888.wordpress.com/tag/makalah-adaptif-tuna-daksa/

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukan bahwa pelaksanaan konseling KB dalam perspektif HAM telah diatur di beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait yaitu hak

Adapun rencana kegiatan yang akan dilakukan dalam 10 tahun kedepan yang diselaraskan dengan visi misi KPHL Unit XXVI adalah: (1) Inventarisasi berkala wilayah

Kegiatan ini dirancang untuk memberikan edukasi berupa tutorial pembuatan masker kain kepada masyarakat khususnya anak sekolah minggu Vihara Dharma Santi di

Menurut Sholeh ketua RT 02 RW 01, masyarakat gang wayo sudah secara turun temurun melakukan poligami baik sesama warga setempat (internal poligami) ataupun

Strategi Bertutur Terus Terang dengan Basa-basi Kesantunan Positif Strategi ini digunakan oleh penutur untuk memenuhi hasrat petutur agar segala sesuatu yang ada di

pada ekosistem yang menggunakan tanaman perangkap kacang hijau atau Sesbania rostrata, dilakukan apabila ditemukan populasi pengisap polong pada tanaman kacang hijau

Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh citra merek dan citra merek terhadap niat beli pada sepeda motor merek Suzuki Satria F 150 di

Dari Gambar 6 c diperlihatkan kontur kecepatan angin pada posisi sudu 45 0 model 2, tampak bahwa kecepatan angin pada sisi cembung baik pada sudu dorong dan sudu balik