• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. berkisar antara mm/tahun (Suprapto dkk., 2001). dengan rata- rata hasil 11,59 kwintal per ha (BPPS, 2011) dan tahun 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. berkisar antara mm/tahun (Suprapto dkk., 2001). dengan rata- rata hasil 11,59 kwintal per ha (BPPS, 2011) dan tahun 2012"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

1 1.1 Latar Belakang

Daerah Kubutambahan yang lokasinya di Kabupaten Buleleng, merupakan lahan kering yang memiliki potensi untuk pengembangan pertanian, salah satunya adalah kedelai. Secara geografis daerah Kubutambahan terletak pada koordinat antara 08003’37 10” Lintang Selatan (LS) - 08012’37” Lintang Selatan (LS) dan 115009’43” Bujur Timur (BT) - 115013’22” Bujur Timur (BT). Sebagian besar lahan kering di Bali terletak di bagian Utara dan Timur Pulau Bali. Lahan kering bagian Utara meliputi luas 43.333 ha (31,5% dari luas Kabupaten Buleleng) tergolong lahan kering tipe D4 dengan bulan basah 3-4 bulan dan curah hujan berkisar antara 1200 – 1600 mm/tahun (Suprapto dkk., 2001).

Lahan kering di daerah Kubutambahan mencapai 5.656 hektar. Jumlah curah hujan terbanyak adalah pada bulan Januari dengan rata-rata curah hujan 698 mm, hari hujan 23 hari. Produksi kedelai di Kubutambahan tahun 2011 adalah 144,90 ton dengan rata- rata hasil 11,59 kwintal per ha (BPPS, 2011) dan tahun 2012 mengalami penurunan dengan rata-rata hasil 8,0 kwintal per ha (BPPS, 2012).

Kedelai merupakan sumber protein nabati yang sangat potensial. Permintaan terhadap komoditas ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun baik untuk konsumsi masyarakat maupun untuk industri makanan. Produksi kedelai saat ini masih belum mencukupi sehingga Indonesia harus impor kedelai setiap tahun, dengan rata-rata impor sekitar 700.000 ton per tahun (Guntoro, 1998).

(2)

Sektor pertanian memang perlu dilakukan kajian yang mendalam tentang berbagai aspek. Aspek iklim dan ketersediaan air lahan salah satu aspek yang perlu dikaji. Didaerah tropis aspek iklim yang paling berperan adalah curah hujan (Sumiana, 2007 ). Menurut Alissa (1992) sukses atau gagalnya lahan tadah hujan atau lahan beririgasi, berhubungan erat dengan pola curah hujan. Kawasan lahan kering yang cukup potensial dan banyak tersedia untuk perluasan areal pertanaman pangan terutama kedelai di daerah Bali adalah lahan kering di daerah Buleleng. Pemanfaatan lahan untuk kegiatan pertanian tanaman pangan di Bali digolongkan ke dalam dua tipe, yaitu pertanian tanaman pangan lahan basah yang diperuntukkan bagi tanaman padi sawah dan pertanian tanaman pangan lahan kering yang diperuntukkan bagi tanaman palawija, hortikultura atau tanaman pangan lainnya. Luas lahan sawah tertinggi di Bali terdapat di Kabupaten Tabanan, sedangkan lahan tegalan yang paling luas terdapat di Kabupaten Buleleng (Bapedalda Propinsi Bali, 2011). Melihat kondisi lahan kering yang cukup luas di Buleleng maka daerah ini memiliki potensi yang tinggi untuk pengembangan pertanian lahan kering, namun sampai saat ini belum ditangani secara optimal. Oldeman et al., (1980 dalam Daryono. 2003) menyebutkan bahwa curah hujan sebagai faktor iklim yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan kedelai terutama pada stadia perkecambahan dan pembungaan. Kebutuhan air akan bertambah sesuai dengan umur tanaman. Kebutuhan air tertinggi pada saat berbunga dan pengisian polong. Menurut Adisarwanto (2005) pada umumnya kebutuhan air tanaman kedelai berkisar 350 – 450 mm selama masa pertumbuhannya, dan Curah hujan dalam hitungan pertahunnya adalah sekitar 1.500 - 2.500 mm/tahun. Curah

(3)

hujan bersama evapotranspirasi yang didukung oleh sifat fisik tanah menentukan periode surplus – defisit air lahan yang dianalisis melalui analisis neraca Air.

Penyusunan tabel neraca air disuatu tempat pada suatu periode dimaksudkan untuk mengetahui jumlah neto air yang diperoleh, nilai surplus defisit air, dan saat terjadinya (Nasir dan Effendy, 1999). Hasil yang diketahui dari periode dan nilai surplus-defisit air tanah maka dapat ditentukan kapan waktu tanam maupun pemberian air irigasi sehingga pertanian yang diusahakan akan mampu memberikan hasil panen yang maksimum. Curah hujan bersama evapotranspirasi yang didukung oleh sifat fisik tanah akan dapat memberikan keterangan penting tentang jumlah air yang dapat diperoleh, daya tampung tanah, yang kesemuanya itu dapat dianalisis melalui perhitungan neraca air, sehingga dengan berdasarkan acuan hasil perhitungan neraca air diharapkan akan dapat diperoleh hasil pertanian yang lebih baik. Kegiatan budidaya kedelai di daerah beriklim kering, potensi ketersediaan air harus dapat diperkirakan dengan baik agar air yang tersedia dapat dimanfaatkan secara maksimum, dimana dalam setiap proses tumbuh tanaman selalu tidak pernah lepas dari tersedianya air yang cukup, maka resiko kegagalan usaha dapat ditekan sekecil mungkin. Air sangat diperlukan tanaman pada hampir setiap proses fisika, kimia, dan biologi dalam tubuh tanaman. Penelitian ketersediaan air tanah untuk menentukan waktu tanam belum banyak di dilakukan, di lain pihak sebagai wilayah dengan lahan kering yang cukup luas perlu diketahui ketersediaan air tanahnya, periode surplus-defisit, sehingga waktu tanam kedelai yang tepat dapat diketahui. Daerah tropis hujan lebih bervariasi daripada daerah lintang yang lebih tinggi, disamping juga tingginya evapotranspirasi, diperparah dengan adanya asumsi

(4)

petani bahwa harapan akan turun hujan pada saat tanam namun tidak terjadi sehingga mengakibatkan sebagian tanaman yang ada di lapangan mati. Curah hujan dan ketersediaan air dalam tanah merupakan dua faktor penting dalam memenuhi kebutuhan air tanaman, terutama untuk tanaman-tanaman pertanian yang diusahakan di lahan tadah hujan beriklim kering.

Slatyer (1991) menyatakan bahwa air sangat penting peranannya dalam pertumbuhan tanaman terutama pada saat stadia kritis pertumbuhan tanaman. Pemupukan pada tanaman kurang menunjukkan hasil yang nyata jika tidak disertai dengan ketersediaan air yang cukup (Suryatna Effendi, 1984). Dasar tinjauan secara umum kondisi air, saat, lama, banyaknya curah hujan, evaporasi potensial dan aktual, kelembaban tanah, dan drainase pada suatu daerah sangat perlu diketahui sebagai dasar penggunaan air yang tepat, besarnya kebutuhan air bagi tanaman serta stadia kritis pertumbuhan tanaman (Jackson, 1979). Sama halnya seperti tanaman pertanian lainnya, tanaman kedelai dapat tumbuh dan menghasilkan hasil panen optimal bila kebutuhan airnya terpenuhi sepanjang pertumbuhan tanaman. Secara umum kebutuhan air tanaman pada awalnya rendah, kemudian terus meningkat sesuai dengan tingkat pertumbuhan tanaman, mencapai maksmimum dan selanjutnya menurun hingga panen.

Mengingat pentingnya peranan air dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman maka penyesuaian waktu tanam merupakan hal yang sangat penting diperhitungkan. Pengaturan waktu tanam yang tepat berdasarkan pola curah hujan merupakan salah satu usaha yang dapat dilakukan terutama dalam hubungannya dengan pemanfaatan air hujan secara maksimal untuk mendukung pertumbuhan dan hasil tanaman. Penentukan waktu tanam yang tepat, perlu diketahui secara seksama

(5)

tentang pola curah hujan dan distribusinya curah hujan tahunan bahkan bulanan pada daerah-daerah pertanaman yang diteliti. Prakiraan yang tepat berdasarkan perhitungan dan pengalaman tentang kapan waktu turun hujan didaerah tertentu dan pemahaman tentang konsep keseimbangan air, dapat pula membantu dalam menetapkan waktu tanam yang tepat didaerah yang bersangkutan sehingga tanaman terhindar dari water stress serta kegagalan usaha tani akibat keterbatasan air dapat dihindari. Guna tercapainya keberhasilan budidaya tanaman kedelai pada daerah yang kurang air dilakukan penelitian mengenai ”Penentuan Waktu Tanam Tanaman Kedelai (Glycine max L. Merrill) Berdasarkan Neraca Air di Daerah Kubutambahan, Kabupaten Buleleng”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan sebelumnya maka rumusan masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana perbandingan Pola Curah Hujan di Kubutambahan antara periode tahun 1981- 1995 dan tahun 1996 - 2010.

2. Berapa besar persediaan air berdasarkan Neraca Air di Daerah Kubutambahan. 3. Kapan waktu tanam yang tepat untuk tanaman kedelai, dan apakah ada

pergeseran. 1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :

1. Perubahan Pola curah hujan di daerah Kubutambahan, Kabupaten Buleleng periode 1981-1995 dan periode 1996 – 2010.

(6)

2. Mengetahui besar persediaan Neraca Air di daerah Kubutambahan.

3. Menentukan waktu tanam yang tepat untuk meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini secara praktis adalah dapat memberikan sumbangan kepada pemerintah daerah Kabupaten Buleleng khususnya Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Buleleng dan juga petani di daerah Kubutambahan.

Manfaat penelitian secara Ilmiah adalah untuk mengetahui :

1. Perubahan pola Curah Hujan dari periode 15 tahun sebelumnya yakni tahun 1981 – 1995 dibandingkan dengan periode 15 tahun sesudahnya yaitu tahun 1996 – 2010.

2. Kebutuhan air tanaman kedelai dibandingkan ketersediaan air tanah sehingga memberikan hasil panen yang meningkat dan memperkecil resiko gagal panen. 3. Meningkatkan produktivitas lahan.

(7)

7 2.1. Curah Hujan

Karakteristik curah hujan menyangkut intensitas, frekuensi, dan lamanya hujan. Intensitas curah hujan cenderung tinggi di daerah tropis, namun dalam banyak hal pola curah hujannya kurang cocok untuk pertanian (Jackson, 1977). Air tanah yang berasal dari hujan, diuapkan secara langsung di permukaan tanah ke udara (evaporasi) dan sebagian lagi tersedia untuk tanaman. Sebagian besar dari air yang diserap oleh tanaman diuapkan melalui bagian-bagian tanaman seperti batang dan daun (transpirasi), dan hanya sebagian kecil yang digunakan untuk metabolisme tanaman, evaporasi dan transpirasi dapat juga terjadi bersama-sama yang disebut evapotranspirasi. Evaporasi merupakan proses fisika dimana penentuan nilainya menyangkut semua parameter fisik seperti suhu, kelembaban, radiasi, air, dan komponen tanah (Nuryadi dkk. 2010).

Penyerapan air tanah oleh tanaman terjadi apabila retensi air oleh partikel-partikel tanah lebih kecil dari energi tanaman atau energi matahari melalui transpirasi. Hal ini berarti jika keadaan air tanah rendah maka retensi air oleh partikel tanah sangat kuat, akibatnya tanaman tidak dapat menggunakan air tanah sehingga layu. Kehilangan air akibat transpirasi dan evaporasi tidak konstan sepanjang tahun. Dengan melihat karakteristik hujan pada bulan-bulan tertentu saja, tidak dapat menentukan iklim pada suatu daerah. Suatu iklim hanya dapat ditunjukkan dengan membandingkan distribusi curah hujan sepanjang tahun dengan evapotranspirasi musiman sebagai proses penerimaan dan pelepasan air. Evapotranspirasi aktual dari tanaman

(8)

bergantung pada iklim yang juga dihubungkan dengan jenis tanaman dan faktor-faktor tanah. Soesanto, 1986 menyatakan bahwa tersedianya air bawah tanah bagi tanaman dipengaruhi oleh sifat fisik tanah, sifat tanaman, dan keadaan iklim.

Evaporasi potensial lebih konstan dari tahun ke tahun daripada hujan, sebab adanya variasi yang kecil dari energi matahari. Variasi awal jatuhnya hujan yang terjadi pada daerah kering, mempunyai arti yang sangat penting bagi persiapan lahan, pesemaian, dan awal pertumbuhan. Awal periode pertumbuhan dimulai saat curah hujan sama dengan setengah dari evaporasi potensial. Keadaan ini menunjukkan bahwa jumlah air yang dibutuhkan pada awal pertumbuhan berada di bawah evapotranspirasi potensial (Oldeman dan Frere, 1982).

Variasi ini dapat dikatakan sebagai "water balance"atau keseimbangan air. Saat curah hujan lebih tinggi daripada evapotranspirasi potensial dan tercapainya kapasitas lapang, maka curah hujan dikatakan surplus, keadaan dimana curah hujan lebih kecil daripada evapotranspirasi potensial sehingga sampai pada titik layu permanen maka curah hujan dikatakan defisit.

Skaggs (1978) telah mengembangkan sebuah model simulasi pengelolaan muka air bawah tanah dengan model yang menggambarkan semua gerak dan ketersediaan air. Gerakan air dalam tanah adalah kejadian kompleks. Laju infiltrasi, drainase, evaporasi, dan penyebaran air dalam profil tanah dapat dihitung, model simulasi inimenyebutkan bahwa dari curah hujan total tidak semuanya efektif bagi tanaman. Curah hujan efektif dihitung dengan menggunakan metode konservasi tanah USDA (Departemen Pekerjaan Umum Provinsi Bali, 1995), yakni dengan mengalikan curah hujan total dengan persentase keefektifan curah hujan. Menurut Early et al. (1989), curah hujan efektif itu sendiri merupakan jumlah kedalaman curah hujan yang dapat disimpan di daerah

(9)

perakaran dan dapat digunakan oleh tanaman. Cujan hujan efektif untuk palawija dengan tajuk tanaman tertutup rapat adalah 75%. Kegiatan seperti pengelolaan tanah (pemanfaatan tanah dan pembuatan guludan), membiarkan sisa-sisa panenan sebagai bahan organik dan penggunaan mulsa, dapat mengurangi aliran air pada permukaan tanah, meningkatkan infiltrasi, dan mengurangi penyebaran air dalam profil tanah. Curah hujan efektif dapat ditingkatkan dengan berbagai cara tersebut.

Tujuan peningkatan efisiensi curah hujan adalah untuk meningkatkan hasil tanaman (Dastane, 1984). Peningkatan efsiensi curah hujan dapat dicapai dengan perencanaan pertanaman yang baik, yang disesuaikan dengan jumlah, intensitas, maupun frekuensi curah hujan, dengan cara :

1. Perencanaan pola tanam yang disesuaikan dengan pola curah hujan;

2. Pemilihan jenis tanaman yang berumur genjah dan berdaya hasil tinggi untuk memperoleh pendapatan yang maksimal. Pengaturan waktu semai yang disesuaikan dengan probabilitas curah hujan sehingga pada saat stadia kritis tidak pada saat air dalam jumlah sedikit;

3. Teknik budidaya yang digunakan disesuaikan dengan probabilitas curah hujan; 4. Mengkombinasikan (tumpang sari) antara tanaman berakar dalam dengan tanaman

berakar dangkal untuk mengurangi terjadinya kerugian akibat kerusakan dan untuk pemanfaatan air secara maksimal;

5. Mempergunakan ramalan cuaca yang dapat dipertanggungjawabkan dalam perencanaan pertanaman.

Menurut Jackson (1979) aplikasi konsep keseimbangan air sangat besar

peranannya bagi pertanian yaitu:

(10)

data curah hujan, evaporasi potensial dan aktual, kelembaban tanah dan drainase;

2. Untuk memperkirakan tanaman yang sesuai pada suatu areal dan

penganalisaan pada tingkat mana kebutuhan air tanaman terpenuhi. Hal ini sehubungan dengan pendugaan waktu tanam dan waktu panen;

3. Menaksir kebutuhan air irigasi, baik kuantitas maupun intervalnya;

4. Untuk mengetahui hubungan antara air dengan hasil, dalam hubungannya dengan ketersediaan air. Hasil, lebih dipengaruhi oleh curah hujan efektif daripada curah hujan total;

5. Untuk menaksir penggunaan air bagi pertanaman dan jenis tanaman tertentu. Dalam menyusun konsep optimasi pengaturan tata air suatu daerah areal pertanaman, harus diketahui terlebih dahulu tingkat pertumbuhan tanaman yang paling peka terhadap kondisi kekurangan air yang dapat mengakibatkan menurunnya hasil.

Berdasarkan faktor tersebut, Oldeman dan Frere (1982) telah menyusun suatu konsep yang berhasil dalam optimasi pengaturan air suatu areal pertanaman untuk mendapatkan hasil yang paling baik. Konsep ini dinamakan konsep indek "stress" harian (SDI= Stress Day Index), yang merupakan suatu cara kuantitatif untuk menentukan kekurangan air yang dialami suatu tanaman selama masa pertumbuhannya.

2.2 Tanaman Kedelai dan Faktor Iklim

Kedelai (Glycine Max L. Merrill) merupakan tanaman semusim berupa semak rendah, berdaun lebat, dengan beragam morfologi. Tinggi tanaman berkisar antara 10

(11)

cm sampai dengan 20 cm, bercabang sedikit atau banyak bergantung pada kultivar dan lingkungan hidupnya (Hidajat, 1985). Selain media tanam dan ketinggian tempat, faktor penting lainnya untuk pertumbuhan tanaman kedelai adalah iklim. Menurut Nuryadi (2010) Optimalisasi produksi komoditas tanaman kedelai sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim. Penentuan lokasi sentra kedelai dan periode waktu tanam yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangannya sangat penting guna memperoleh produksi yang maksimal. Informasi iklim yakni neraca air untuk menentukan waktu tanam sangat diperlukan guna perencanaan alokasi penggunaan lahan, jenis komoditas yang dibudidayakan (intensifikasi), dan peningkatan produksi nasional melalui perluasan areal tanam (ekstensifikasi). Terkait dengan hal tersebut, analisis iklim yang lebih spesifik untuk tanaman kedelai sangat bermanfaat sebagai bahan pertimbangan penentuan waktu tanam yang lebih tepat. Kedelai merupakan tanaman daerah sub tropis yang dapat beradaptasi dengan baik didaerah tropis dan dapat tumbuh baik di antara garis lintang 0º- 52º Unsur iklim yang juga mempengaruhi pertumbuhan tanaman kedelai antara lain lama penyinaran matahari (day light), suhu, dan curah hujan.

2.2.1 Pengaruh suhu

Suhu udara yang optimum untuk budidaya kedelai adalah 23 - 30 °C (Nazar dkk, 2008). Suhu udara berpengaruh terhadap perkembangan dan hasil tanaman kedelai. Menurut Baharsjah et al. (1985) perkecambahan normal kedelai terjadi pada suhu 15°, 20°dan 30°C. Suhu diatas 40°C tidak memungkinkan benih tumbuh, dan pada suhu 10°C menurunkan pemanjangan hipokotil. Pada fase vegetatif suhu 38.8°C merupakan suhu kritis yang dapat menyebabkan kegagalan. Namun demikian

(12)

pada suhu 37.1°C dan 24.5°C dapat menyebabkan tertundanya saat pemunculan kotiledon. Suhu optimum bagi pertumbuhan kedelai 31°-36°C, namun laju pertumbuhan tercepat terjadi pada suhu 28.5°C dan 30.9°C.

Baharsjah et al. (1985) juga menyatakan bahwa proses pembungaan lebih banyak pada suhu 26-32°C daripada suhu lebih kecil daripada suhu 26°C. Suhu yang rendah selama proses pembungaan berakibat kurang baik terhadap kualitas kedelai dan kematangan biji yang dihasilkan. Kerusakan sering terjadi pada tanaman yang mengalami suhu rendah sampai 15°C (siang atau malam) selama 2-3 minggu pada saat mulai stadia pembungaan atau satu minggu setelahnya.

Suhu udara berhubungan dengan ketinggian tempat. Suhu udara akan menurun dengan semakin tingginya tempat dari permukaan laut. Menurut Guntoro (1998) semakin tinggi tempat akan mengurangi komponen hasil kedelai (jumlah dan bobot biji) karena radiasi sinar matahari yang rendah, akibat menurunnya proses fotosintesis. Berdasarkan ketinggian tempat, umur berbunga tanaman kedelai yang ditanam pada dataran tinggi mundur 2 - 3 hari dibandingkan tanaman kedelai yang ditanam didataran rendah (Adisarwanto, 2005).

2.2.2 Curah hujan dan pengairan

Menurut Prihatman (2000) curah hujan yang diperlukan tanaman kedelai adalah 100 - 200 mm/bln. Menurut Doorenbos & Pruitt (1979) kebutuhan air tanaman kedelai sebesar 318.93 mm selama pertumbuhannya. Selama fase vegetatif dibutuhkan sebanyak 125.97 mm dan selama fase generatif sebanyak 192.96 mm. Dalam penelitian di Boawae-Flores, Guntoro (1998) menemukan bahwa selama fase vegetatif faktor yang berpengaruh adalah karakteristik hujan berupa tinggi

(13)

rendah intensitas hujan dan kejadian hujan. Sedangkan selama fase generatif peningkatan deret hari kering maksimum akan berpengaruh terhadap penurunan hasil. Selama pertumbuhan kedelai varietas Wilis dan Malabar, ditentukan oleh karakter hujan yang terjadi selama fase vegetatif.

Perlakuan selang pemberian air mempengaruhi perbedaan laju pertumbuhan yang mengakibatkan intersepsi radiasi yang berbeda. Pertumbuhan tanaman kedelai lebih baik pada musim hujan daripada pertanaman pada musim kemarau, namun produktivitasnya lebih baik di musim kemarau daripada pertanaman pada musim hujan (Lumbantoruan, 1992). Hal ini didasarkan pada penelitian bahwa pemberian air setara 50 mm per bulan akan mempercepat panen enam hari pada musim kemarau dan empat hari pada musim hujan selama masa tanam sampai panen. Sedangkan pemberian air setara curah hujan 25 mm per bulan selama stadia pengisian polong mempercepat panen tiga hari pada musim kemarau dan tujuh hari pada musim hujan pada varietas kedelai Orba.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan air dalam tanah mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan dan produksi tanaman kedelai (Herawati, 1994; Mar'ah, 1996; Masyhudi et al. 1989). Masyhudi et al. (1989) menyatakan bahwa pertumbuhan bagian-bagian vegetative (akar, batang dan daun) dan bagian reproduktif (polong dan biji) mengalami penurunan akibat kekurangan air tersedia dalam tanah.

Cekaman kekeringan juga berpengaruh terhadap tanaman kedelai. Harnowo (1992) menyatakan bahwa cekaman kekeringan pada fase reproduktif menghambat distribusi asimilat ke bagian reproduktif, menurunkan jumlah polong, biji dan bobot biji per tanaman. Tekanan kekeringan juga berpengaruh terhadap penurunan persentase

(14)

akar aktif, berat kering tanaman, jumlah daun dan polong, serta tinggi tanaman.

Penelitian juga menghasilkan kesimpulan bahwa cekaman kekeringan akan menurunkan luas daun, mempercepat penuaan daun, menurunkan jumlah polong per hektar dan hasil biji. Cekaman kekeringan pada kondisi 50% di bawah air tersedia selama pertumbuhan vegetatif tidak mempengaruhi hasil tetapi akan meningkatkan indeks panen dan effisiensi remobilisasi bahan kering. Pengelolaan air pada tanaman kedelai sangat penting terutama untuk menjaga ketersediaan air dalam tanah yang sangat mempengaruhi masa perkecambahan, pertumbuhan vegetatif dan pengisian polong.

2.3 Keseimbangan Air

Air harus dimanfaatkan walau dalam kondisi air terbatas jumlahnya, secara hemat, maka penghematan penggunaan air sangat penting. Menurut Richard dan Wedleigh (1992, dalam Sudarta,(2007) pertumbuhan tanaman semakin menurun sejalan dengan menurunnya kelembaban tanah dan pertumbuhannya akan terhambat sebelum titik layu permanen tercapai. Hal ini berarti makin dekat kepada keadaan kapasitas lapang, pertumbuhan tanaman makin baik.

Air tanah yang berasal dari hujan, diuapkan secara langsung di permukaan tanah ke udara (evaporasi) dan sebagian lagi tersedia untuk tanaman. Sebagian besar dari air yang diserap oleh tanaman diuapkan melalui bagian-bagian tanaman seperti batang dan daun (transpirasi), dan hanya sebagian kecil yang digunakan untuk metabolisme tanaman. Kombinasi evaporasi dari permukaan tanah bersama-sama transpirasi dari tanaman, yang disebut evapotranspirasi, menunjukkan aliran balik air dari bumi ke atmosfer dan dari atmosfer ke bumi melalui curah hujan (Thornthwaite & Mather, 1957 dalam Nuryadi, 2010).

(15)

Kehilangan air akibat transpirasi dan evaporasi tidak konstan sepanjang tahun, kelembaban atau kekeringan suatu iklim hanya dapat ditunjukkan dengan membandingkan distribusi curah hujan sepanjang tahun dengan evapotranspirasi musiman sebagai proses penerimaan dan pelepasan air.

Evapotranspirasi atau aliran balik air dari tanah ke atmosfer merupakan faktor iklim yang sama pentingnya dengan curah hujan. Evapotranspirasi aktual dari pertanaman tergantung pada iklim yang juga dihubungkan dengan jenis tanaman dan faktor-faktor tanah; antara lain tipe dan stadium pertumbuhan tanaman, pengolahan tanah, jenis tanah, dan kandungan air tanah.

Kapasitas lapang (KL) biasanya dianggap sebagai batas atas ketersediaan air dimana keadaan ini tercapai setelah air berhenti mengalir ke bawah setelah tercapai keadaan jenuh, sedang titik layu permanen (TLP) adalah kandungan air tanah (KAT) pada saat tanaman yang ditanam di atasnya telah mengalami layu permanen dalam arti tanaman telah mengalami sulit hidup kembali meskipun telah ditambahkan sejumlah air yang mencukupi (Soepardi, 1983).

Data sifat fisik tanah juga diperlukan selain data curah hujan dan data meteorologi penentu evapotranspirasi, dalam keseimbangan air tanah. Data ini menyangkut kemampuan tanah memegang air (water holding capacity) yang pada umumnya ditentukan oleh tekstur dan struktur tanah (Murdiyarso, 1980).

Secara praktis dalam perhitungan keseimbangan air digunakan asumsi dan penyederhanaan. Asumsi yang sering digunakan adalah bahwa semua curah hujan mengalami infiltrasi ke dalam tanah atau dapat dikatakan tidak ada limpasan permukaan, “surplus” hanya terjadi apabila kapasitas lapang tanah telah tercapai

(16)

(Jackson, 1979). Curah hujan total, tidak semuanya efektif bagi tanaman, tetapi sebagian mengalami perkolasi maupun evaporasi (Dastane, 1984).

Daerah tadah hujan, curah hujan efektif akan mengurangi periode “stress” dan mampu meningkatkan hasil. Daerah beririgasi, curah hujan efektif berarti simpanan air irigasi yang digunakan untuk mengairi areal yang lebih luas. Curah hujan efektif dapat ditingkatkan dengan mengurangi “run off” pada permukaan, meningkatkan infiltrasi dan mengurangi kehilangan air karena perkolasi yang dalam. Pengurangan “run off” permukaan dapat dicapai dengan cara mengubah topografi tanah, membentuk penghambat aliran air, dan dengan meningkatkan kemungkinan untuk infiltrasi. Secara praktis kegiatan ini meliputi: pengolahan dan perataan tanah, pembuatan teras-teras, membiarkan sisa-sisa tanaman setelah panen. Infiltrasi dapat ditingkatkan dengan jalan memperbaiki struktur tanah dan kondisi permukaan tanah maupun “sub surface”. Pelaksanaan ini meliputi: pencangkulan tanah yang dalam atau mencegah lapisan tanah yang keras, menambahkan bahan-bahan organik, dan penggunaan mulsa untuk mencegah rusaknya agregat tanah pada permukaan. Memperkecil kehilangan air karena perkolasi dapat dilakukan dengan cara meningkatkan kapasitas pegang tanah pada tanah-tanah ringan dengan menambahkan liat atau bahan organik.

2.4. Syarat Tumbuh Tanaman Kedelai

Tanaman dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik apabila syarat tumbuh dapat dipenuhi. Tanaman kedelai dapat tumbuh pada tanah yang tidak begitu subur sampai yang subur. Struktur tanah tidak merupakan halangan tumbuhnya tanaman kedelai baik tanah itu berstruktur padat maupun berstruktur remah (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Bali, 1995). Produksi kedelai kurang stabil pada jenis tektur

(17)

tanah berpasir. Penanaman kedelai pada tanah-tanah liat agak sukar namun setelah benih berkecambah tanaman biasanya menunjukkan pertumbuhan yang baik. Tanah yang berstruktur remah sangat baik bagi pertumbuhan tanaman kedelai (Ismail dan Effendi, 1985).

Tanah yang cocok untuk tanaman kedelai adalah tanah yang mempunyai pH tanah antara 5.5–7.0 (Badan Penelitian dan Pengembangan Pangan, 1995). Derajat keasaman (pH) tanah berhubungan erat dengan ketersediaan unsur hara. Rendahnya pH tanah dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman kedelai, dan dalam batas-batas tertentu juga berpengaruh terhadap proses fiksasi nitrogen (Ismail & Effendi, 1985). Suprapto (1985) mengatakan bahwa tanaman kedelai hidup dengan baik di tempat yang berhawa panas dan terbuka. Pertumbuhan kedelai berbiji besar cocok ditanam pada lahan dengan ketinggian 300 – 500 m dpl (Prihatman, 2000; Irwan, 2006), Keadaan iklim yang selalu basah (curah hujan tinggi) dapat menyebabkan tanaman tumbuh subur, akan tetapi tanaman kurang menghasilkan biji.

Daerah yang baik untuk tanaman kedelai adalah daerah yang memiliki curah hujan 100 – 200 mm perbulan, dan kedelai memerlukan iklim panas dengan jumlah bulan kering 3 – 6 bulan dan hari hujan berkisar antara 95 – 122 hari per tahun (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Bali, 1995).

Suhu merupakan faktor penting untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman kedelai. Perkecambahan optimum terjadi pada suhu 30C dan pertumbuhan terbaik terjadi pada suhu 29.4C dan menurun bila suhu lebih rendah 29.4oC.

Apabila air mencukupi, kedelai masih dapat tumbuh baik pada suhu yang tinggi (36C) dan akan berhenti tumbuh pada suhu 39C. Suhu yang lebih rendah

(18)

dari 23,9C umumnya memperlambat pertumbuhan kedelai (Baharsjah dkk, 1985).

2.5 Kebutuhan Air pada Tanaman Kedelai

Unsur hara dalam tanah yang diperlukan tanaman harus dilarutkan dalam air sebelum dapat diserap oleh akar tanaman yang selanjutnya diangkut ke seluruh bagian tanaman. Air diperlukan dalam proses asimilasi dan diperlukan pula sebagai pengatur setiap proses metabolisme tanaman, baik secara langsung atau tidak langsung juga dipengaruhi oleh ketersediaan air.

Secara umum kebutuhan air untuk tanaman kedelai, dengan umur panen 90-100 hari, berkisar antara 350 - 400 mm, atau rata-rata 3,5 mm per hari. Kebutuhan air tanaman kedelai yang dipanen pada umur 80-90 hari berkisar antara 360-405mm, setara dengan curah hujan 120-135 mm per bulan. Jumlah air yang dibutuhkan sangat dipengaruhi oleh kemampuan tanah menyimpan air, besar penguapan, dan kedalaman lapisan olah tanah (Van Doren and Reicosky, 1987).

Pengairan dilakukan pada awal fase pertumbuhan vegetatif (umur 15-21 hst), saat berbunga (umur 25-35 hst), dan pada saat pengisian polong (umur 55-70 hst), pengairan dilakukan apabila curah hujan tidak mencukupi. Berdasarkan perhitungan Kung dalam Somaatmadja dkk (1985), kebutuhan air tanaman kedelai umur sedang (85 hari) pada setiap periode tumbuh adalah sebagai berikut :

Tabel 2.1 Stadia tumbuh tanaman kedelai Stadia tumbuh Tanaman

Kedelai Periode (hari) Kebutuhan air (mm/periode)

Pertumbuhan awal 15 53 - 62

Vegetatif aktif 15 53 - 62

Pembuahan-pengisian polong 35 124 - 143

(19)

Air yang dapat diserap oleh tanaman tergantung dari yang tersedia didalam tanah. Air yang tersedia ini berada dalam kisaran kapasitas lapang dan titik layu permanen. Jumlah air yang berada dalam kisaran tersebut sangat beragam, tergantung kadar bahan organik, tekstur dan tipe lempung suatu tanah. Kelebihan dan kekurangan air di media tumbuh kedelai akan mempengaruhi pertumbuhan dan hasil kedelai. Periode kritis kedelai terhadap air dapat ditentukan dengan menghadapkan tanaman pada kekeringan atau genangan sejak awal pertumbuhan sampai pertumbuhan akhir. Satu pertanyaan yang akan dicoba dijawab melalui penelitian ini adalah untuk mengetahui jumlah air yang paling sesuai untuk tanaman kedelai.

Setiap periode pertumbuhan tanaman bersifat spesifik terhadap kebutuhan air yang dinyatakan dengan nilai Kc (Koefisien Tanaman) yang berbeda - beda tergantung dari jenis periode pertumbuhan tanaman. Nilai Kc untuk tanaman Kedelai tercantum pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Koefisien Tanaman (Kc) tanaman Kedelai Stadia pertumbuhan kedelai Lama (hari) Kc

Stadia Perkecambahan 20 0,30 – 0,40

Stadia pertumbuhan awal 20 0,70 – 0,80

Stadia Medium / Pembungaan 40 1,00 – 1,15

Stadia Pengisian Polong 20 0,70 – 0,80

Panen 0,40 – 0,50

Kramer (1980) mengemukakan bahwa air dalam tubuh tanaman berfungsi sebagai (1) penyusun utama jaringan tanaman yang aktif secara fisiologi (2) pereaksi dalam fotosintesis dan proses hidrolisis (3) pelarut garam, gula dan senyawa lainnya (4) pengendali dan stabilisator suhu tanaman (5) unsur yang diperlukan dalam

(20)

mempertahankan turgor tanaman, serta diperlukan dalam pengaturan sel dan jaringan yang mengalami pertumbuhan.

Air berada di dalam sel tanaman karena terikat pada persenyawaan-persenyawaan kimia serta mempunyai fungsi mulai dari perkecambahan sampai pada pembentukan bagian - bagian reproduktif (Kramer, 1980). Dalam perkecambahan proses yang pertama terjadi adalah pengisian air ke dalam biji. Setelah air masuk ke dalam biji air berfungsi sebagai perangsang metabolisme dan sebagai pelarut dalam perombakan dan pengangkutan cadangan makanan ke bakal batang dan bakal akar, sehingga biji dapat tumbuh. Setelah tanaman tumbuh, air diperlukan dalam proses pengangkutan zat hara, sintesis karbohidrat, sintesis protein, sebagai alat angkut zat makanan ke bagian tubuh tanaman yang lainnya, dan untuk melarutkan garam-garam dalam tanah sehingga dapat diserap oleh tanaman. Stadia perkecambahan merupakan stadia yang sangat peka terhadap ketersediaan air tanah, kekurangan atau kelebihan air pada fase ini akan mengurangi daya kecambah biji sehingga biji-biji tersebut terhambat pertumbuhannya (Jackson, 1979). Air merupakan bagian terbesar penyusun jaringan tumbuhan. Unsur - unsur hara dari dalam tanah yang diperlukan tanaman harus dilarutkan dalam air sebelum dihisap oleh akar tanaman dan selanjutnya diangkut keseluruh bagian tanaman oleh air pula. Pertukaran gas dalam tanah dan udara juga memerlukan air untuk memberi suplai O2 bagi akar dan mikroorganisme (Riche 2004). Air juga diperlukan dalam

proses asimilasi dan pengatur suhu (Harjadi, 1985). Setiap proses metabolisme tanaman secara langsung atau tidak dipengaruhi oleh ketersediaan air.Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Rhine (2006), bahwa terdapat pengaruh negatif yang nyata antara perlakuan pemberian air yang kurang

(21)

dengan fase pertumbuhan kedelai. Pada kondisi kekurangan air, hasil kedelai menurun 17−43% , pada fase vegetatif dan 50 − 56% pada fase reproduktif (Oosterhuis et al.1990).

Setiap periode pertumbuhan tanaman bersifat spesifik terhadap kebutuhan air yang dinyatakan dengan nilai Kc (koefisien tanaman) yang berbeda-beda tergantung jenis dan periode pertumbuhan tanaman.

2.6. Peranan Air pada Tanaman Kedelai

Masalah air bagi tanaman pangan terutama Tanaman Kedelai tidak hanya didominasi oleh daerah beriklim kering. Di daerah beriklim basah pun air merupakan faktor yang menentukan terhadap tingkat pertumbuhan dan produksi tanaman. Keberhasilan suatu kegiatan pertanian sangat ditentukan oleh perimbangan antara jumlah air yang tersedia di lahan dengan jumlah air yang dibutuhkan tanaman selama masa pertumbuhannya. Jumlah air yang tersedia pada suatu lahan pertanian dapat dilihat dari kondisi curah hujan, sedangkan jumlah air yang dibutuhkan oleh tanaman dapat digambarkan dengan jumlah air yang dibutuhkan untuk evapotranspirasi (Heryani et al., 2000).

Air merupakan bagian terbesar penyusun jaringan tumbuhan. Unsur - unsur hara dari dalam tanah yang diperlukan tanaman harus dilarutkan dalam air sebelum dihisap oleh akar tanaman dan selanjutnya diangkut keseluruh bagian tanaman oleh air pula. Pertukaran gas dalam tanah dan udara juga memerlukan air untuk memberi suplai O2 bagi akar dan mikroorganisme (Riche 2004). Air juga diperlukan dalam

proses asimilasi dan pengatur suhu (Harjadi, 1985). Selanjutnya dikatakan bahwa hampir setiap proses metabolisme tanaman secara langsung atau tidak langsung

(22)

dipengaruhi oleh ketersediaan air. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Rhine (2006), bahwa terdapat pengaruh negatif yang nyata antara perlakuan pemberian air yang kurang dengan fase pertumbuhan kedelai. Pada kondisi kekurangan air, hasil kedelai menurun 17−43% , pada fase vegetatif dan 50 − 56% pada fase reproduktif (Oosterhuis et al.1990).

Proses perkecambahan yang pertama terjadi penyerapan air karena imbibisi oleh sel dalam biji, selanjutnya air berfungsi sebagai pelarut dalam perombakan cadangan makanan ke bakal batang dan bakal akar sehingga biji dapat berkecambah (Harjadi, 1979).

2.7. Waktu Tanam Tanaman Kedelai

Tanaman kedelai biasanya ditanam pada lahan kering (tegalan) atau tanah persawahan. Pengolahan tanah bagi pertanaman kedelai di lahan kering sebaiknya dilakukan pada akhir musim kemarau atau awal musim hujan, sedangkan pada lahan sawah, umumnya dilakukan pada musim kemarau (Marcha,2007). Pemilihan waktu tanam kedelai ini harus tepat, tetapi waktu tanam yang tepat pada masing - masing daerah sangat berbeda. Menurut Yuliana, (2011), umur kedelai sesuai varietas yang dianjurkan berkisar antara 75 - 120 hari, maka sebaiknya kedelai ditanam menjelang akhir musim penghujan, yakni saat tanah agak kering tetapi masih mengandung cukup air. Bila tanaman kedelai ditanam di tanah tegalan, waktu tanam terbaik adalah permulaan musim penghujan. kedelai yang ditanam dilahan sawah dengan irigasi, dapat ditanam pada awal sampai pertengahan musim kemarau.

(23)

2.8. Konsep Neraca Air di bidang Pertanian

Karakteristik hujan dan tingkat evaporasi yang tinggi di daerah tropis merupakan masalah utama. Karakteristik curah hujan menyangkut : intensitas, lamanya, dan frekuensi hujan. Intensitas curah hujan cenderung tinggi di daerah tropis, namun dalam banyak hal pola curah hujannya kurang cocok untuk pertanian (Jackson, 1979). Sebagian air yang disimpan didalam tanah saat hujan, diuapkan ke udara dari permukaan tanah (evaporasi) dan sebagian lagi tersedia untuk tanaman. Sebagian besar dari air masuk ke tanaman melalui akar diuapkan melalui daun dan batang (transpirasi), dan hanya sebagian kecil saja yang digunakan untuk metabolisme tanaman. Kombinasi evaporasi dari permukaan tanah dan transpirasi dari tanaman adalah yang biasa disebut evapotranspirasi, menunjukkan aliran balik air dari bumi ke atmosfer dan begitu pula sebaliknya melalui curah hujan. Evaporasi merupakan proses fisika dimana penentuan nilainya menyangkut semua parameter fisik seperti; suhu udara, kelembaban, radiasi, air dan komponen tanah (Usman, 1980).

Melihat karakter curah hujan pada bulan-bulan tertentu seperti; lamanya, intensitas, dan frekwensi serta elemen dalam sistem perpindahan dari atmosfer-tanah-tanaman, tidak memungkinkan untuk menyatakan dengan tepat saat bulan-bulan basah. Curah hujan tidak menunjukkan keadaan iklim, kelembaban dan kekeringan pada suatu daerah karena kehilangan air akibat transpirasi dan evaporasi tidak konstan sepanjang tahun, kelembaban dan kekeringan hanya dapat ditunjukkan dengan membandingkan distribusi curah hujan sepanjang tahun dengan evapotranspirasi musiman sebagai proses penerimaan dan pelepasan air. Evapotranspirasi aktual sari pertananaman tergantung pada iklim yang juga dihubungkan dengan jenis tanaman dan faktor – faktor tanah,

(24)

antara lain tipe dan stadium pertumbuhan tanaman, pengolahan tanah, jenis tanah, dan kandungan air tanah.

Evaporasi potensial lebih konstan dari tahun ke tahun daripada curah hujan sebab adanya variasi yang kecil dari energi matahari. Variasi awal jatuhnya curah hujan pada daerah yang sering mengalami keadaan kekurangan air, mempunyai arti yang sangat penting dimana persiapan persemaian, perkecambahan dan awal pertumbuhan tanaman sangat tergantung pada jumlah, frekuensi dan distribusi curah hujan awal tersebut. Awal periode pertumbuhan dimulai saat curah hujan sama dengan setengah dari evapotraspirasi potensial. Keadaan ini juga menunjukkan bahwa jumlah air yang dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan awal tanaman jauh dibawah tingkat evapotranspirasi potensialnya (Oldeman dan Frere, 1982).

Variasi musiman dari curah hujan dan evaporasi dapat digambarkan dalam pengertian ”water balance” (keseimbangan air) digunakan oleh Thornthwaite dan Mather dalam Sumiana (2007), Adi(2010), dan Rusmayadi (2011). Persamaan ini menggunakan input hanya dari curah hujan saja. Pada metode ini semua aliran masuk dan keluarnya air serta nilai kapasitas cadangan air tanah pada lokasi tanaman tertentu digunakan untuk mendapatkan besarnya kadar air tanah.

Masalah air bagi tanaman pangan tidak hanya didominasi oleh daerah beriklim kering. Di daerah beriklim basahpun air merupakan faktor yang menentukan terhadap tingkat pertumbuhan dan produksi tanaman. Keberhasilan suatu kegiatan pertanian sangat ditentukan oleh perimbangan antara jumlah air yang tersedia di lahan dengan jumlah air yang dibutuhkan tanaman selama masa pertumbuhannya. Jumlah air yang tersedia pada suatu lahan pertanian dapat dilihat dari kondisi curah hujan, sedangkan

(25)

jumlah air yang dibutuhkan oleh tanaman dapat digambarkan dengan jumlah air yang dibutuhkan untuk evapotranspirasi (Heryani et al., 2000).

Jumlah air yang tersedia dan jumlah air yang dibutuhkan akan mengalami fluktuasi dari waktu ke waktu, sehingga pada suatu peiode dapat terjadi kelebihan air dan pada periode lainnya dapat terjadi kekurangan air bagi tanaman. Informasi tentang kelebihan dan kekurangan air tersebut sangat membantu dalam menyusun perencanaan di lahan pertanian, di samping itu tanah juga mempunyai peranan penting terhadap ketersediaan air bagi tanaman.

Penelitian analisis neraca air pernah dilakukan di Bali dengan hasil analisisnya hanya secara umum. Selain itu hal yang menarik untuk daerah ini ditinjau dari sisi iklimnya adalah bahwa wilayah Bali mempunyai mempunyai kondisi iklim yang berbeda, dimana bagian utara adalah wilayah yang sangat rentan kekeringan dan sangat signifikan pengaruh El-Nino, bagian tengah adalah wilayah transisi dan merupakan daerah pegunungan, dan bagian selatan adalah wilayah yang lebih basah karena pengaruh angin monsoon baratan yang membawa uap air dalam jumlah besar terutama pada bulan November-Maret (Daryono, 2002).

Berbagai usaha dilakukan untuk mengurangi resiko kegagalan pertanian diantaranya adalah dengan menyusun informasi potensi waktu tanam terutama bagi tanaman semusim. Metode Thornthwaite dan Mather dalam Sumiana, 2007 merupakan salah satu metode pendekatan yang umum digunakan untuk mengetahui tingkat ketersediaan air lahan pertanian guna menentukan potensi dan waktu tanam tanaman kedelai. Dalam perhitungan neraca air tanah diperlukan data suhu udara di lokasi daerah tersebut untuk menentukan besar kecilnya Evapotranspirasi (ETo).

(26)

Saat curah hujan melebihi evaporasi potensial, maka cadangan kelembaban air tanah terisi. Saat tercapainya keadaan kapasitas lapang (nilainya bervariasi tergantung karakteristik tanah dan perakaran) maka curah hujan itu disebut surplus. Jika curah hujan lebih rendah dari kebutuhan evaporasinya, maka cadangan kelembaban tanah digunakan, dan saat tanah dibawah titik layu permanennya, maka air tidak tersedia bagi tanaman. Konsep siklus hidrologi adalah bahwa jumlah air di suatu luasan tertentu di hamparan bumi dipengaruhi oleh masukan (input) dan keluaran (output) yang terjadi. Kebutuhan air di kehidupan kita sangat luas dan selalu diinginkan dalam jumlah yang cukup pada saat yang tepat. Penyusunan neraca air di suatu tempat dan pada suatu tempat dimaksudkan untuk mengetahui jumlah neto dari air yang diperoleh sehingga dapat diupayakan pemanfaatannya sebaik mungkin. Neraca air merupakan perimbangan antara masukan (input) dan keluaran (output) air di suatu tempat pada suatu saat atau periode tertentu. Dalam perhitungan digunakan satuan tinggi air (mm, atau cm). Satuan waktu yang digunakan dapat dipilih satuan harian, mingguan, dekade (10 harian), bulanan ataupun tahunan sesuai dengan keperluan (Nuryadi, 2010).

Neraca air merupakan kebutuhan mutlak bagi tanaman. Jumlah air yang dibutuhkan atau yang digunakan tanaman tergantung dari beberapa faktor lingkungan (iklim dan tanah) serta tanaman (jenis, pertumbuhan, dan fase perkembangan). Fluktuasi ketersediaan air tanah dari bulan ke bulan dapat diketahui dengan menggunakan metode neraca air. Kesimpulannya adalah bahwa ketersediaan air sebanding dengan evapotranspirasi, dengan demikian pada taraf 50% dari maksimal ketersediaan air antara kapasitas lapang dan titik layu permanen, evapotranspirasi diasumsikan menurun sampai tingkat 50% dari potensialnya.

(27)

Perbedaan antara evaporasi potensial dan aktual dinyatakan dalam defisit. (Jackson, 1979).

Secara sederhana dalam perhitungan keseimbangan air, asumsi yang sering digunakan adalah bahwa semua curah hujan yang disebut hujan efektif mengalami infiltrasi kedalam tanah / dapat dikatakan tidak ada limpasan permukaan, Hujan efektif (efective rainfall) atau hujan berlebihan (excess rainfall) adalah bagian dari hujan yang menjadi aliran langsung di sungai.

Hujan efektif adalah sama dengan hujan total yang jatuh di permukaan tanah dikurangi dengan kehilangan air atau abstraksi yang meliputi air yang hilang karena terinfiltrasi, tertahan dalam cekungan-cekungan di permukaan tanah (depression storage) dan akibat adanya penguapan. surplus hanya terjadi apabila kapasitas lapang tanah telah tercapai atau defisit terjadi apabila kapasitas lapang tanah belum tercapai (Widiyanto, 1981).

(28)

28

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Pertanian lahan kering di di daerah Kubutambahan memiliki potensi yang untuk di budidayakan Kedelai. Permasalahan utama pada lahan kering adalah terbatasnya ketersediaan sumber daya air, di samping kondisi lingkungan tanah yang kurang subur. Petani kedelai bertanam hanya berdasarkan pengalaman turun temurun dan tidak intensif, juga saat ini petani tidak dan atau belum memanfaatkan informasi iklim secara optimal. Kondisi ini menyebabkan produksi pertanian menjadi rendah.

Curah hujan dan neraca air yang terjadi saat ini telah mengalami perubahan, sehingga dibutuhkan informasi mengenai perubahan pola curah hujan dan neraca air untuk perencanaan pertanian yang lebih baik dan Informasi Neraca Air jika dimanfaatkan petani akan mengetahui waktu tanam yang tepat dan cara bertanam secara intensif maka kebutuhan air tanaman kedelai akan terpenuhi sehingga tidak terjadi kekeringan pada tanaman kedelai. Pemanfaatan informasi perubahan pola curah hujan dan informasi surplus dan defisit air tanah dalam pola tanam, akan meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman. Meningkatnya produksi pertanian akan meningkatkan pendapatan petani. Diagram kerangka berfikir dapat dilihat pada Gambar 3.1.

(29)

Gambar 3.1 Diagram kerangka berpikir Lahan kering di daerah

Kubutambahan Sumber air terbatas Irigasi tdk ada Curah hujan Lahan marginal

Waktu tanam dan cara bercocok tanam menurut pengalaman saja

Gagal panen / produksi rendah Pendapatan petani rendah Sumber air terbatas Irigasi tdk ada Mengetahui

Curah hujan marginalLahan

Waktu tanam tepat, cara bertanam dengan Intensifikasi

Kebutuhan Air Lebih Terpenuhi produksi meningkat Pendapatan petani meningkat Tanpa memanfaatkan

informasi Neraca Air Dengan memanfaatkan

informasi Neraca Air

Kebutuhan Air tidak terpenuhi

(30)

3.2 Kerangka Konsep Penelitian

Penelitian ini diawali dengan melakukan survei kelokasi penelitian, mengambil sampel tanah, wawancara dengan petani setempat guna mengetahui kapan waktu tanam, pemberian air. Langkah selanjutnya adalah melakukan perhitungan kebutuhan air tanaman periode 15 tahun dari 1981 – 1995 dan 15 tahun berikutnya yakni 1996 -2010, dilakukan analisa keseimbangan kebutuhan air tanaman dengan persediaan air tanaman untuk menentukan waktu tanam. Kebutuhan air yang dihitung adalah kebutuhan air tanaman dengan metode pendugaan.

Tahap berikutnya adalah mengetahui persediaan air dari curah hujan yang didapat dari penakar curah hujan yang terdapat pada lokasi penelitian (ETo). Curah hujan efektif diperoleh dengan cara mengalikan antara curah hujan total setiap setengah bulan dengan prosentase keefektifan curah hujan. Hujan efektif dihitung dengan menggunakan metode konservasi tanah USDA (Departemen Pekerjaan Umum Provinsi Bali, 1995).

Tahapan terakhir adalah melakukan analisa penentuan waktu tanam. Dalam hal ini akan dicari alternatif waktu tanam yang terbaik di daerah penelitian yang didasarkan kepada keseimbangan antara persediaan air tanaman dengan kebutuhan air tanaman tersebut. Waktu tanam yang diperoleh pada masing-masing periode yaitu periode I tahun 1981 – 1995 dan periode II tahun 1996 – 2010 dibandingkan untuk mengetahui apakah ada pergeseran waktu tanam. Selanjutnya dicari bulan-bulan sebagai alternatif waktu tanam. Kerangka Konsep Penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.2.

(31)

3.3 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dirumuskan, maka hipotesis penelitian ini dapat dikemukakan

1. Pola curah hujan di daerah Kubutambahan 1995 dan periode 1996

2. Persediaan di daerah kubutambahan

musim hujan dan mencukupi pada awal musim hujan. 3. Sesuai zone musim, wa

bulan Nopember.

Gambar 3.2. Kerangka Konsep

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dirumuskan, maka hipotesis dikemukakan sebagai berikut :

ah hujan di daerah Kubutambahan, Kabupaten Buleleng periode 1981 1995 dan periode 1996 - 2010 mengalami perubahan.

di daerah kubutambahan tidak mencukupi pada penanaman akhir musim hujan dan mencukupi pada awal musim hujan.

Sesuai zone musim, waktu tanam yang tepat adalah awal musim hujan pada Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dirumuskan, maka hipotesis

, Kabupaten Buleleng periode

1981-pada penanaman akhir

(32)

32

METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan memerlukan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan observasi langsung dilapangan, dilokasi penelitian. Sedangkan data sekunder diperoleh dari Kantor Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah III Denpasar. Data yang digunakan adalah data selama 15 tahun yaitu dari tahun 1996 – 2010. Data tersebut kemudian dianalisis berdasarkan rumus neraca air untuk menentukan waktu tanam.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di daerah Kubutambahan, Kabupaten Buleleng. Daerah Kubutambahan posisi geografisnya terletak pada 08003’37 10” LS - 08012’3739” LS dan 115009’43” BT - 115013’22 BT dengan ketinggian sekitar 50 meter diatas permukaan laut (dpl).

(33)

4.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Pebruari 2013 sampai dengan bulan April 2013.

4.3. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini membahas mengenai jenis tanaman, waktu tanam dan kondisi tanah yang merupakan data primer. Ruang lingkup dibatasi hanya sampai yang berhubungan dengan pola curah hujan dan ketersediaan air dan kebutuhan air tanaman, sedangkan data tambahan lainnya diperoleh dari sumber - sumber pustaka.

4.4. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa data iklim, yang meliputi curah hujan harian dan bulanan, hasil pengamatan Pos Hujan Kubutambahan, selama 30 tahun (1981 – 2010), terdapat pada lampiran 1, suhu udara didaerah Kubutambahan diperoleh dari konversi suhu udara terhadap ketinggian. Didaerah Kubutambahan tidak ada pengamatan suhu maka sebagai acuan adalah hasil pengamatan di Stasiun Meteorologi Klas I Ngurah Rai di Tuban. (Lampiran 3).

4.5. Prosedur Penelitian

Prosedur dalam penelitian ini adalah dengan survai lokasi penelitian, pengambilan sampel tanah untuk mengetahui sifat fisik tanah yakni kadar air, tektur tanah, kemudian wawancara dengan petani setempat meliputi jenis tanaman, varietas, waktu tanam yang dilakukan saat ini, dan juga hasil panen.

(34)

Prosedur berikutnya adalah menghitung data curah hujan harian dan bulanan yang didapat dari Pos Hujan Kubutambahan dengan merata-rata data curah hujan selama 15 tahun yaitu periode tahun 1996 sampai 2010, sebagai berikut :

...(1)

dimana :

M = Rata-rata curah hujan bulanan

Mi = Jumlah curah hujan bulanan tahun ke-i i = 1, 2, 3, …….., n

n = Jumlah data

Penghitungan konversi suhu terhadap ketinggian, karena di lokasi penelitian tidak ada pengamatan suhu maka memakai suhu Stasiun Meteorologi Klas I Ngurah rai. Setelah itu dimasukkan ke rumus - rumus Neraca Air metode Thornthwaite and Mather yang dikemukakan oleh Purnomo (2007).

4.6. Analisis Data

Analisa data dilakukan dengan mempertemukan dua hal yaitu, mengetahui kebutuhan air tanaman kedelai (ETc) dengan persediaan air tanaman kedelai (KSa) di lokasi penelitian pada masing-masing musim tanam.

4.6.1. Penghitungan Kebutuhan Air Tanaman (ETc)

Kebutuhan air tanaman dihitung dengan menggunakan metode pendugaan menurut Doorenbos dan Pruitt yang dikemukaan Purnomo (2007), besarnya

(35)

pendugaan kebutuhan air tanaman (ETc) sama dengan nilai evapotranspirasi (ETo) dikalikan dengan Koefisien tanaman (Kc) sesuai persamaan berikut :

ETc = Kc . ETo (mm / hari) ………(2) Dimana :

ETc = Evapotranspirasi tanaman / kebutuhan air tanaman (mm / hari) Kc = Koefisien tanaman

ETo = Evapotranspirasi potensial (mm / hari)

Nilai Koefisien tanaman (Kc) untuk tanaman kedelai mengacu pada (Doorenbos and Kassam, 1979 dalam Purnomo, 2007). ETo (Evapotranspirasi Standar) dihitung dengan rumus :

ETo = 1,6 F (10 T/I )a ...(3) Dimana :

ETo : Evapotranspirasi Standar (mm/hari)

F : Faktor panjang hari (dari bulan ke bulan dalam setahun) T : suhu rata-rata bulanan (0C)

I : akumulasi indeks panas dalam setahun (12 bulan) yaitu ∑(T/5)1.54 a : 0,675 x 10-6x I3- 0,771 x 10-4x I2+ 0,01792 x I + 0,49239

ETc (Kebutuhan Air tanaman) dihitung setiap sepuluh harian, seperti pada Lampiran 7 dan Lampiran 8.

4.6.2. Metode perhitungan Neraca Air Tanaman

Perhitungan Neraca Air Tanaman yang dilakukan sesuai dengan metode yang mengacu pada metode Thornthwaite and Mather yang dikemukakan Purnomo, (2007) Dalam perhitungan neraca air lahan, data masukan yang diperlukan yaitu :

(36)

• Curah Hujan;

• Evapotranspirasi potensial (ETo);

• Kandungan air tanah yang disediakan untuk tumbuh dalam hal ini adalah Curah Hujan efektif atau Ketersediaan air (KSa) dengan rumus :

CHe = 0,75 .(0.82X – 30)... (4) Ket :

CHe = Curah hujan efektif (mm/hari)

X = Curah hujan rata-rata bulanan (mm/bulan);

Jika X < dari 30 rumusnya adalah

Cheff = 0,75 . X ...(5)

Untuk pengolahan dan analisis neraca air dasarian digunakan Metode Thornthwaite dan Mather dalam Purnomo (2007) dengan langkah – langkah sebagai berikut :

1. Mengisi kolom curah hujan (CH) rata-rata bulanan; 2. Mengisi kolom evapotranspirasi potensial (ETo).

3. Mengisi kolom Koefisien Tanaman (Kc) yang didapat dari Doorenboss dan Kassam (1979)

4. Mengisi kolom ETc yang merupakan hasil perkalian antara Kc dan ETo, ETc merupakan kebutuhan air konsumtif untuk tanaman pada masa pertumbuhan hingga panen. Rumus ETc = ETo . Kc

5. Mengisi kolom Curah hujan efektif yang merupakan hasil kali curah hujan total setiap dasarian dikalikan keefektifan (%).

(37)

KSa-ETc. Bila curah hujan efektif (Ksa) lebih tinggi dibanding (ETc) maka air yang dibutuhkan untuk fase pertumbuhan terpenuhi, begitu pula sebaliknya.

7. Selanjutnya dilakukan analisis waktu tanam yang tepat dengan membandingkan antara ketersediaan air (KSa) tanaman dan kebutuhan air (ETc) tanaman, dengan membuat grafik hubungan keduanya.

Untuk menghindari kesalahan dalam perhitungan ETo, maka untuk perhitungan ini digunakan program perhitungan dengan menggunakan Microsoft Excel agar diperolah perhitungan yang lebih teliti ( Lampiran 4 ).

4.6.3. Penentuan Waktu Tanam

Berdasarkan penghitungan diatas dapat ditentukan persediaan air (KSa) yang dapat memenuhi kebutuhan air (ETc) tanaman kedelai selama masa pertumbuhannya. Penentuan waktu tanam yang tepat adalah waktu dimana selama masa pertumbuhannya terpenuhi kebutuhan airnya, sedangkan waktu tanam yang tidak tepat adalah persediaan air tidak dapat memenuhi kebutuhan air tanaman selama masa pertumbuhannya.

(38)

38 5.1 Hasil Survei di Daerah Penelitian.

Hasil survei di tempat penelitian adalah petani bertanam kedelai hanya sekali dalam setahun yakni pada awal bulan Desember saja. Petani bertanam kedelai berdasarkan pengalaman turun temurun, varietas yang ditanam adalah varietas wilis, dan hasil panen kurang dari yang diinginkan petani. Hasil panen kedelai 7,1 kwintal/ha, dibanding tahun 2012 terjadi penurunan 0,9 kwintal/ha, (Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Buleleng), luas lahan pertanian di daerah Kubutambahan juga semakin sempit dikarenakan banyak dibangun rumah-rumah dan hotel-hotel, waktu tanam tanaman kedelai yang dilakukan awal bulan Desember dan dipanen bulan Pebruari.

5.2 Curah Hujan

Curah hujan di Kubutambahan memiliki pola monsoon (Gambar 5.1) dengan curah hujan tertinggi jatuh pada bulan Pebruari sebesar 376 mm. Bulan paling kering tanpa ada turun hujan jatuh pada bulan September. Sehingga dapat dinyatakan bahwa curah hujan maksimum di Kubutambahan jatuh pada bulan Pebruari dan minimumnya terjadi pada bulan September pada setiap tahunnya. Sedangkan rata-rata total curah hujan dalam setahun di Kubutambahan 1313 mm.

Aldrian, (2011) menyatakan bahwa bila suatu daerah sudah terjadi curah hujan 150 mm per bulan atau 50 mm per dasarian maka daerah tersebut telah memasuki

(39)

musim hujan, sebaliknya jika daerah tersebut sudah terjadi curah hujan  150 mm per bulan atau 50 mm per dasarian, maka daerah tersebut telah memasuki musim kemarau. Berdasarkan acuan pendapat ini maka daerah Kubutambahan periode musimnya dapat diketahui.

Rata-rata curah hujan  150 mm/bulan di Kubutambahan terjadi antara bulan Desember hingga Maret pada semua dasarian, sehingga pada periode tersebut di daerah Kubutambahan akan mengalami musim hujan. Sedangkan rata-rata curah hujan  150 mm/bulan terjadi pada bulan April hingga Nopember, Sehingga pada periode ini, daerah Kubutambahan mengalami musim kemarau.

(40)

5.3. Suhu

Daerah Kubutambahan tidak terdapat pengamatan suhu udara, sementara dalam perhitungan Evapotranspirasi Potensial (ETo) dengan metoda Thornthwaite memerlukan input data rata-rata suhu udara. Sehingga untuk membangkitkan data suhu di Kubutambahan digunakan metoda Barry & Chorley tentang penurunan suhu udara terhadap peningkatan ketinggian (Purnomo, 2007). Tabel 5.1. adalah hasil data suhu udara di Kubutambahan (50 meter dpl) yang dibangkitkan dari data suhu acuan pada Stasiun Ngurah Rai (3 meter dpl) dapat dilihat pada lampiran 3. Suhu udara rata-rata maksimum periode I tahun 1981 – 1995 jatuh pada bulan Desember, sementara suhu udara rata-rata minimum jatuh pada bulan Juli. Suhu udara rata-rata maksimum periode II tahun 1996 – 2010 jatuh bulan Pebruari, sementara suhu udara rata - rata minimum jatuh bulan Agustus.

Tabel 5.1 Konversi Suhu Udara Kubutambahan (0C)

Tahun/Bulan Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des Periode I 1981-1995 27,7 27,8 27,7 27,7 27,2 26,6 26,0 26,0 26,5 27,2 27,9 27,9 selisih dpl 47 47 47 47 47 47 47 47 47 47 47 47 suhu konversi 27,4 27,5 27,4 27,4 26,9 26,3 25,7 25,7 26,2 26,9 27,6 27,6 Periode II 1996-2010 27,2 27,9 27,6 27,5 27,1 26,6 26,1 25,9 26,4 26,8 27,5 27,7 selisih dpl 47 47 47 47 47 47 47 47 47 47 47 47 suhu konversi 26,9 27,6 27,3 27,2 26,8 26,3 25,8 25,6 26,0 26,5 27,2 27,4

5.4 Evapotranspirasi potensial (ETo)

Setelah dihitung berdasarkan data iklim yang tersedia, diperoleh nilai evapotranspirasi potensial (ETo) didaerah Kubutambahan dari bulan Januari sampai Desember yang disajikan pada Tabel 5.2, sedangkan data perhitungan selengkapnya disajikan pada Lampiran 4.

(41)

Tabel 5.2. Tabel ETo Periode I dan Periode II (mm/hr)

Sts / Periode Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des Kubutambahan Periode I (1981-1995) Kubutambahan Periode I (1996-2010) 5,4 5,2 5,3 5,1 5,0 4,5 4,2 3,8 3,9 4,2 4,9 5,3 5,5 5,0 5,6 5,2 5,1 4,7 4,3 3,7 3,9 4,3 5,1 5,6

5.5 Penghitungan Nilai Koefisien Tanaman (Kc).

Koefisien tanaman (Kc) pada Penelitian ini, nilai koefisien tanaman (Kc) kedelai belum menggunakan hasil penelitian setempat, hal ini disebabkan karena penelitian mengenai koefisien tanaman pada lokasi penelitian belum ada.

Suroso, (2008) menyatakan nilai koefisien tanaman kedelai direkomendasikan oleh kritera perencanaan irigasi seperti terlihat pada Tabel 5.3. yang disesuaikan dengan umur tanaman. Nilai koefisien tanaman kedelai diperhitungkan setiap setengah bulan, tetapi disesuaikan penghitungan setiap dasarian atau 10 harian disajikan dalam Tabel 5.4.

Tabel 5.3 Koefisien Tanaman (kc) tanaman Palawija Setengah

Kedelai Jagung Kac.tanah Bawang Buncis

bulan ke 1 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 2 0,75 0,59 0,51 0,51 0,64 3 0,8 0,96 0,66 0,69 0,89 4 1,05 1,05 0,85 0,9 0,95 5 0,8 1,02 0,95 0,95 0,88 6 0,45 0,95 0,95 7 0,55 8 0,55

(42)

Tabel 5.4 Penyesuaian nilai Kc terhadap stadia tumbuh kedelai (dasarian)

Setengah

kedelai sepuluh kedelai

bulan ke hari ke 1 15 0.5 1 10 0.50 2 15 0.75 2 10 0.63 3 15 0.8 3 10 0.75 4 15 1.05 4 10 0.80 5 15 0.8 5 10 0.93 6 15 0.45 6 10 1.05 7 7 10 0.80 8 8 10 0.63 9 9 10 0.45

Hasil penyesuaian nilai Kc pada Tabel 5.4 diatas kemudian dihitung dalam setahun dua kali tanam, perkiraan waktu tanam kedelai dalam penelitian ini adalah awal Nopember sampai panen yakni akhir bulan Januari. Perhitungan Kc disajikan dalam Lampiran 5.

5.6 Penghitungan Kebutuhan Air Tanaman (ETc)

Kebutuhan air tanaman (ETc) diperoleh dengan cara mengalikan nilai evapotranspirasi potensial (ETo) dengan nilai koefisien tanaman (Kc) (Doorenbos dan Pruitt, 1979). Sesuai dengan rumus (2), untuk menghitung kebutuhan air tanaman kedelai diperlukan data nilai koefisien tanaman kedelai (Kc) yang di peroleh dari Doorenbos dan Kassam (1979) dan telah disesuaikan dengan umur tanaman kedelai 90 hari. Hasil perhitungan lengkap dari kebutuhan air tanaman kedelai di daerah Kubutambahan ini disajikan pada Lampiran 6 dan 7.

Penanaman kedelai diasumsikan di Kubutambahan dilakukan sebanyak setahun dua kali yaitu pada awal musim hujan dan akhir musim hujan, disajikan pada Tabel 5.5 dan Tabel 5.6.

(43)

Tabel 5.5 Kebutuhan Air Tanaman (ETc) Periode Penanaman I Tahun 1981-1995

Bulan/ Hari ETo Kc ETc / Bulan/ Hari ETo Kc ETc /

Dasarian hari dasarian Dasarian hari dasarian

Nop I 10 5,4 0,50 2,7 26,8 Des I 10 5,3 0,50 2,6 26,3 Nop II 10 5,4 0,63 3,4 33,5 Des II 10 5,3 0,63 3,3 32,8 Nop III 10 5,4 0,75 4,0 40,2 Des III 11 5,3 0,75 3,9 43,3 Des I 10 5,3 0,80 4,2 42,0 Jan I 10 5,2 0,80 4,1 41,4 Des II 10 5,3 0,93 4,9 48,6 Jan II 10 5,2 0,93 4,8 47,8 Des III 11 5,3 1,05 5,5 60,6 Jan III 11 5,2 1,05 5,4 59,7 Jan I 10 5,2 0,80 4,1 41,4 Peb I 10 5,3 0,80 4,2 42,0 Jan II 10 5,2 0,63 3,2 32,3 Peb II 10 5,3 0,63 3,3 32,8 Jan III 11 5,2 0,45 2,3 25,6 Peb III 8 5,3 0,45 2,4 18,9

total 351,1 total 345,0

Bulan/ Hari ETo Kc ETc / Bulan/ Hari ETo Kc ETc /

Dasarian hari dasarian Dasarian hari dasarian

Nop II 10 5,4 0,50 2,7 26,8 Des II 10 5,3 0,50 2,6 26,3 Nop III 10 5,4 0,63 3,4 33,5 Des III 11 5,3 0,63 3,3 36,1 Des I 10 5,3 0,75 3,9 39,4 Jan I 10 5,2 0,75 3,9 38,8 Des II 10 5,3 0,80 4,2 42,0 Jan II 10 5,2 0,80 4,1 41,4 Des III 10 5,3 0,93 4,9 48,6 Jan III 11 5,2 0,93 4,8 52,6 Jan I 10 5,2 1,05 5,4 54,3 Peb I 10 5,3 1,05 5,5 55,1 Jan II 10 5,2 0,80 4,1 41,4 Peb II 10 5,3 0,80 4,2 42,0 Jan III 11 5,2 0,63 3,2 35,6 Peb III 8 5,3 0,63 3,3 26,3 Peb I 10 5,3 0,45 2,4 23,6 Mar I 10 5,0 0,45 2,2 22,4

total 345,1 total 340,9

Bulan/ Hari ETo Kc ETc / Bulan/ Hari ETo Kc ETc /

Dasarian hari dasarian Dasarian hari dasarian

Nop III 10 5,4 0,50 2,7 26,8 Des III 11 5,3 0,50 2,6 26,3 Des I 10 5,3 0,63 3,3 32,8 Jan I 10 5,2 0,63 3,2 32,3 Des II 10 5,3 0,75 3,9 39,4 Jan II 10 5,2 0,75 3,9 38,8 Des III 11 5,3 0,80 4,2 46,2 Jan III 11 5,2 0,80 4,1 45,5 Jan I 10 5,2 0,93 4,8 47,8 Peb I 10 5,3 0,93 4,9 48,6 Jan II 10 5,2 1,05 5,4 54,3 Peb II 10 5,3 1,05 5,5 55,1 Jan III 11 5,2 0,80 4,1 45,5 Peb III 8 5,3 0,80 4,2 33,6 Peb I 10 5,3 0,63 3,3 32,8 Mar I 10 5,0 0,63 3,1 31,1 Peb II 10 5,3 0,45 2,4 23,6 Mar II 10 5,0 0,45 2,2 22,4

(44)

Hasil perhitungan diatas (tabel 5.5) menunjukkan bahwa kedelai yang ditanam pada Nop I – Des III masing-masing kebutuhan airnya adalah 351,1 mm, 345,1 mm, 349,3 mm, 345,0 mm, 340,9 mm, 333,6 mm.

. Kebutuhan air tanaman kedelai periode I tahun 1981-1995 tertinggi adalah jatuh pada Nopember dasarian I dan kebutuhan air tanaman kedelai terendah adalah pada Desember dasarian III.

Tabel 5.6 Kebutuhan Air Tanaman (ETc) Periode Penanaman II Tahun 1981-1995

Bulan/ Hari ETo Kc Bulan/ Hari ETo Kc

Dasarian hari dasarian Dasarian hari dasarian

Mar I 10,0 5,0 0,5 2,5 24,9 Apr I 10,0 4,9 0,5 2,4 24,3 Mar II 10,0 5,0 0,6 3,1 31,1 Apr II 10,0 4,9 0,6 3,0 30,4 Mar III 11,0 5,0 0,8 3,7 41,0 Apr III 10,0 4,9 0,8 3,6 36,5 Apr I 10,0 4,9 0,8 3,9 38,9 Mei I 10,0 4,5 0,8 3,6 35,7 Apr II 10,0 4,9 0,9 4,5 45,0 Mei II 10,0 4,5 0,9 4,1 41,3 Apr III 10,0 4,9 1,1 5,1 51,1 Mei III 11,0 4,5 1,1 4,7 51,6 Mei I 10,0 4,5 0,8 3,6 35,7 Jun I 10,0 4,1 0,8 3,3 33,2 Mei II 10,0 4,5 0,6 2,8 27,9 Jun II 10,0 4,1 0,6 2,6 25,9 Mei III 11,0 4,5 0,5 2,0 22,1 Jun III 10,0 4,1 0,5 1,9 18,7

total 317,7 total 297,6

Bulan/ Hari ETo Kc Bulan/ Hari ETo Kc

Dasarian hari dasarian Dasarian hari dasarian

Mar II 10,0 5,0 0,5 2,5 24,9 Apr II 10,0 4,9 0,5 2,4 24,3 Mar III 11,0 5,0 0,6 3,1 34,2 Apr III 10,0 4,9 0,6 3,0 30,4 Apr I 10,0 4,9 0,8 3,6 36,5 Mei I 10,0 4,5 0,8 3,4 33,5 Apr II 10,0 4,9 0,8 3,9 38,9 Mei II 10,0 4,5 0,8 3,6 35,7 Apr III 10,0 4,9 0,9 4,5 45,0 Mei III 11,0 4,5 0,9 4,1 45,5 Mei I 10,0 4,5 1,1 4,7 46,9 Jun I 10,0 4,1 1,1 4,4 43,6 Mei II 10,0 4,5 0,8 3,6 35,7 Jun II 10,0 4,1 0,8 3,3 33,2 Mei III 11,0 4,5 0,6 2,8 30,7 Jun III 10,0 4,1 0,6 2,6 25,9 Jun I 10,0 4,1 0,5 1,9 18,7 Jul I 10,0 3,9 0,5 1,7 17,4

total 311,5 total 289,5

ETc / ETc /

ETc / ETc /

(45)

Lanjutan Tabel 5.6 Kebutuhan Air Tanaman (ETc) Periode Penanaman II 1981-1995

Bulan/ Hari ETo Kc Bulan/ Hari ETo Kc

Dasarian hari dasarian Dasarian hari dasarian

Mar III 11,0 5,0 0,5 2,5 27,4 Apr III 10,0 4,9 0,5 2,4 24,3 Apr I 10,0 3,8 0,6 2,4 23,7 Mei I 10,0 4,5 0,6 2,8 27,9 Apr II 10,0 3,8 0,8 2,8 28,4 Mei II 10,0 4,5 0,8 3,4 33,5 Apr III 10,0 3,8 0,8 3,0 30,3 Mei III 11,0 4,5 0,8 3,6 39,3 Mei I 10,0 4,1 0,9 3,8 38,2 Jun I 10,0 4,1 0,9 3,8 38,4 Mei II 10,0 4,1 1,1 4,3 43,4 Jun II 10,0 4,1 1,1 4,4 43,6 Mei III 11,0 4,1 0,8 3,3 36,4 Jun III 10,0 4,1 0,8 3,3 33,2 Jun I 10,0 4,9 0,6 3,1 30,6 Jul I 10,0 3,9 0,6 2,4 24,2 Jun II 10,0 4,9 0,5 2,2 22,0 Jul II 10,0 3,9 0,5 1,7 17,4

total 280,4 total 281,7

ETc / ETc /

Hasil perhitungan diatas (Tabel 5.6) menunjukkan bahwa kedelai yang ditanam pada Mar I – Apr III masing-masing kebutuhan airnya adalah 317,7 mm, 311,5 mm, 280,4 mm, 297,6 mm, 289,5 mm, 281,7 mm. Kebutuhan air tanaman kedelai tertinggi adalah pada Maret dasarian I dan kebutuhan air tanaman kedelai terendah adalah pada Maret dasarian III.

Periode II Tahun 1996-2010 juga dilakukan analisis seperti periode sebelumnya, disajikan pada tabel 5.7. Periode penanaman kedua atau penanaman pada akhir musim hujan antara bulan Maret dan bulan April disajikan pada Tabel 5.8.

Hasil perhitungan (Tabel 5.7) menunjukkan bahwa kedelai yang ditanam pada Nop I – Des III masing-masing kebutuhan airnya adalah 334,6 mm, 329,7 mm, 335,4 mm, 322,1 mm, 332,2 mm, 329,9 mm. Kebutuhan air tanaman kedelai tertinggi adalah pada Nopember dasarian III dan kebutuhan air tanaman kedelai terendah adalah pada Desember dasarian II.

(46)

Tabel 5.7 Kebutuhan Air Tanaman (ETc) Periode Penanaman I Tahun 1996-2010 Bulan/ Hari ETo Kc ETc / Bulan/ Hari ETo Kc ETc /

Dasarian hari dasarian Dasarian hari dasarian

Nop I 10 5,1 0,5 2,5 25,4 Des I 10 5,1 0,50 2,5 25,4 Nop II 10 5,1 0,6 3,2 31,8 Des II 10 5,1 0,63 3,2 31,8 Nop III 10 5,1 0,8 3,8 38,1 Des III 11 5,1 0,75 3,8 41,9 Des I 10 5,1 0,8 4,1 40,7 Jan I 10 3,9 0,80 3,1 31,2 Des II 10 5,1 0,9 4,7 47,0 Jan II 10 4,8 0,93 4,5 44,7 Des III 11 5,1 1,1 5,3 58,7 Jan III 11 4,8 1,05 5,1 55,9 Jan I 10 4,8 0,8 3,9 38,7 Peb I 10 4,8 0,80 3,9 38,7 Jan II 10 4,8 0,6 3,0 30,2 Peb II 10 5,3 0,63 3,3 33,3 Jan III 11 4,8 0,5 2,2 23,9 Peb III 8 5,3 0,45 2,4 19,2

total 334,6 total 322,1

Bulan/ Hari ETo Kc ETc / Bulan/ Hari ETo Kc ETc /

Dasarian hari dasarian Dasarian hari dasarian

Nop II 10 5,1 0,5 2,5 25,4 Des II 10 5,1 0,5 2,5 25,4 Nop III 10 5,1 0,6 3,2 31,8 Des III 11 5,1 0,6 3,2 35,0 Des I 10 5,1 0,8 3,8 38,1 Jan I 10 4,8 0,8 3,6 36,3 Des II 10 5,1 0,8 4,1 40,7 Jan II 10 4,8 0,8 3,9 38,7 Des III 10 5,1 0,9 4,7 47,0 Jan III 11 4,8 0,9 4,5 49,2 Jan I 10 4,8 1,1 5,1 50,8 Peb I 10 5,3 1,1 5,6 56,0 Jan II 10 4,8 0,8 3,9 38,7 Peb II 10 5,3 0,8 4,3 42,6 Jan III 11 4,8 0,6 3,0 33,2 Peb III 8 5,3 0,6 3,3 26,7 Peb I 10 5,3 0,5 2,4 24,0 Mar I 10 5,0 0,5 2,2 22,4

total 329,7 total 332,2

Bulan/ Hari ETo Kc ETc / Bulan/ Hari ETo Kc ETc /

Dasarian hari dasarian Dasarian hari dasarian

Nop III 10 5,1 0,5 2,5 25,4 Des III 11 5,1 0,50 2,5 28,0 Des I 10 5,1 0,6 3,2 31,8 Jan I 10 4,8 0,63 3,0 30,2 Des II 10 5,1 0,8 3,8 38,1 Jan II 10 4,8 0,75 3,6 36,3 Des III 11 5,1 0,8 4,1 44,7 Jan III 11 4,8 0,80 3,9 42,6 Jan I 10 4,8 0,9 4,5 44,7 Peb I 10 5,3 0,93 4,9 49,3 Jan II 10 4,8 1,1 5,1 50,8 Peb II 10 5,3 1,05 5,6 56,0 Jan III 11 4,8 0,8 3,9 42,6 Peb III 8 5,3 0,80 4,3 34,1 Peb I 10 5,3 0,6 3,3 33,3 Mar I 10 5,0 0,63 3,1 31,1 Peb II 10 5,3 0,5 2,4 24,0 Mar II 10 5,0 0,45 2,2 22,4

total 335,4 total 329,9

Gambar

Tabel 2.2 Koefisien Tanaman (Kc) tanaman Kedelai Stadia pertumbuhan kedelai Lama (hari) Kc
Gambar 3.1 Diagram kerangka berpikirLahan kering di daerah
Gambar 3.2. Kerangka Konsep
Gambar 5.1. Pola curah hujan di Kubutambahan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Vacutainer adalah tabung reaksi hampa udara yang terbuat dari kaca atau plastik, apabila dilekatkan pada jarum, darah akan mengalir masuk ke dalam tabung dan

Hasil tersebut menerangkan terdapat 2 sektor ekonomi yang mendapatkan kelas tipologi I yang termasuk sektor istimewa yaitu sektor konstruksi dan sektor jasa kesehatan dan

Pada periode Januari hingga Juni 2015, Singapura menjadi penyumbang wisman terbesar Great ini dengan kontribusi sebesar 56,65% dan diikuti oleh Malaysia yang memberikan

Kurang lebih 1 minggu selama di rawat di RSJ ERBA Palembang, pasien berubah curiga bahwa sekarang mantan suami pasien sudah beristri lagi, anak-anak tidak menjenguknya

Arah Kebijakan : Peningkatan Kualitas Layanan Kesehatan Dan Budaya Sehat Masyarakat - Belum terpenuhinya Standar RS Kelas B Non Pendidikan Khususnya SDM, dan

Berdasarkan hasil penelitian variabel lingkungan belajar pada masing- masing indikator maka dapat diurutkan jawaban tertinggi sampai terendah yaitu pertama adalah

Segenap dosen Prodi DIII Kebidanan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Ponorogo yang telah memberikan saran kepada peneliti dalam menyelesaikan Karya Tulis

berdasarkan Formulir ini (&#34; REKENING &#34;), termasuk tapi tidak terbatas untuk mendebet, memindahbukukan dana dari REKENING, meminta data, mutasi, dan keterangan lainnya