• Tidak ada hasil yang ditemukan

Arena Produksi Budaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Arena Produksi Budaya"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

ARENA PRODUKSI BUDAYA Pengantar

Dalam penelitian ini fokus penelitian yang bisa diamati adalah kelompok orang-orang yang berpengaruh pada perubahan desain batik, khususnya gaya keratonan Yogyakarta. Penelitian ini merupakan sebuah proses yang berkesinambungan sejak awal hingga akhir, hingga bisa dimunculkan model atau pola yang bisa dirumuskan. Melalui proses induktif yang bisa berupa ucapanucapan, perilaku subyek penelitian maupun situasi lapangan penelitian, diharapkan terumuskan konsep maupun teori.

Saya membuat analisis berdasar temuan-temuan penelitian tentang habitus sebagai keseluruhan pengetahuan yang berhubungan dengan lingkungan di mana batik lahir dan berkembang. Diamati pula posisi para agen di medan pertarungan ‘pasar’ . Apa saja jenis-jenis kapital ekonomi, budaya dan simbolik yang dimiliki, dicari dan diperjuangkan untuk meneguhkan posisi dalam arena. Bagaimana bentukbentuk praksis, strategi dan relasi-relasi dalam arena produksi budaya dan arena kekuasaan, juga trayektori para agen dalam arena produksi budaya., hingga terbaca polanya. Untuk memahami arena produksi budaya secara keseluruhan, saya merasa perlu untuk mengamati struktur arena.

Untuk itu saya menggunakan kerangka pemikiran Pierre Bordieu dalam “Outline of a Theory of Practice” (1977), “Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste” (1984) dan “The Field of Cultural Production” (1993). Juga karena saat ini orientasi budaya tak hanya bersifat regional atau nasional, tetapi meluas ke global dengan serangkaian nilai dan norma baru, dan di saat lokalitas-lokalitas saling berupaya untuk me’redefinisi’ diri, menentukan bentuk-bentuk kebudayaan baru dan untuk melihat bagaimana identitas kebudayaan mereposisi diri, saya menggunakan kerangka pemikiran Arjun Appadurai dalam “Modernity at Large” (2000) dan “Disjuncture and Difference in the Global Cultural Economy” di dalam The Anthropology of Globalization (2002)

Saya merasa perlu untuk memperjelas landasan pemikiran Bordieu dan Appadurai yang akan berguna saat membuat analisis tentang struktur arena, di mana letak posisi-posisi yang diduduki oleh para produsen yaitu para penggarap batik, juga yang diduduki oleh kekuatan-kekuatan yang menentukan otorisasi dan legitimasi, yaitu pengakuan yang membuat produk budaya itu sah menjadi suatu produk budaya. Dengan landasan pemikiran tersebut saya membuat analisis posisi-posisi di dalam arena kekuasaan yang lebih luas. Secara menyeluruh mencoba untuk melihat kesatuan kondisi sosial yang meliputi produksi, sirkulasi dan konsumsi batik keratonan sebagai suatu ‘dagangan’ simbolik.)

1) Kerangka Pemikiran 1.1) Pierre Bourdieu

Dalam upaya mencari relasi antara struktur obyektif yaitu kebudayaan1 dan agen yaitu individu,

Pierre Bourdieu memproposisikan sebuah teori bagi analisis dialektik kehidupan praksis2). Dua alat

1 Kumpulan pengetahuan yang membangun relasi-relasi sosial obyektif---yang terinternalisasi dandisosialisasikan sejak dini----, seperti kemampuan bahasa atau ekonomi yang bisa membentuk

(menstruktur) praksis dan representasinya yaitu pengetahuan primer, baik praktis maupun tasit (yang tak terucapkan) dari dunia sehari-hari yang kita kenal (lihat Bourdieu, 1977:3)

2 Saya menggunakan kata ‘praksis’ dan bukan ‘praktik’ (yang bisa bermakna tindakan saja) sebagaiterjemahan dari pratique, karena konsep praksis bila dikaitkan dengan konsep habitus, kapital dan

ranah (field)mengandung keberagaman dimensi yang tidak linier, selalu dinamis dan fluktuatif tergantung dari kepentingan dan kekuasaan pelaku.

(2)

konseptual yang digunakan oleh Bourdieu adalah habitus dan arena yang ditopang oleh konsep tentang kekuatan simbolik, strategi dan perjuangan untuk mencapai kekuasaan simbolik dan material melalui beragam kapital yaitu ekonomi, budaya dan simbolik. Formula yang menurut Bourdieu ‘non-linier’ menggantikan relasi yang sederhana antara individu dan struktur dengan relasi-relasi yang dikonstruksikan antara habitus dan arena hingga tercapai: (Habitus X Kapital) + Arena = Praksis (Bourdieu, 1984: 101).

Habitus

Akar kata habitus merujuk pada praksis, sistem dan aturan yang diambil oleh ‘habit’, kebiasaan yang berawal dari rumah tangga sebagai habitus primer yang dimodifikasi dan dibangun oleh pergerakan individual melalui pendidikan, pekerjaan dan lingkungan sosial lainnya menjadi habitus sekunder atau tertier. Hal tersebut membentuk cara untuk memahami dan menghadapi dunia yang dimiliki oleh seseorang melalui pengalaman hidupnya, menyangkut posisi sosial seseorang, dan yang paling penting adalah merujuk pada lingkungan tempat kita tumbuh.(Bourdieu, 1984:466) Secara harfiah, habitus adalah kata Latin yang merujuk pada ‘habitual’, kebiasaan atau kondisi-kondisi tipikal, penampilan, terutama tampilan tubuh. Bagi Bourdieu, habitus adalah sistem skema generatif yang diperoleh dan secara obyektif disesuaikan pada kondisi-kondisi partikular tempat ia berada: “The habitus is a system of durable, transposable dispositions which functions as the generative basis of structured, objectively unified practices” (Bourdieu 1977: 72). Habitus adalah

51), dalam pengantar Outline of a Theory of Practice (1977), terjemahan dari Esquisse d’une theorie de la pratique (1972) menghindari terjemahan harafiah untuk bisa menangkap esensi argumentasi Bourdieu, utamanya konsep-konsep pratique (practical logic) dan kapital simbolik (lihat

Nice,1977:vii)

∼Richard Jenkins dalam Pierre Bourdieu, Key Sociologist (1996) melihat fokus Bourdieu adalah dunia sosial pratique dengan keberagaman rubrik antara lain interaksi sosial, keseharian dan perilaku sosial hingga lebih tepat bila disebut sebagai ‘practical logic’ (lihat Jenkins,1996:69-70) ∼Haryatmoko dalam “Landasan Teoritis Gerakan Sosial Menurut Pierre Bourdieu”, (BASIS , 2003: 52) membahas konsep habitus Bourdieu sebagai kerangka penafsiran individu untuk memahami realitas dan memiliki dimensi prakseologis (arah orientasi sosial) yang mampu mengatasi dikotomi: individu - masyarakat, agen - struktur sosial, kebebasan - determinisme. Bourdieu melihat habitus sebagai sumber penggerak tindakan, pemikiran dan representasi melalui logika praksis yaitu strategi pelaku-pelaku sosial dalam lingkup sosial yang tidak setara, konfliktual dan berdimensi jamak (lihat Haryatmoko, 2003: 8-11).

∼Bachtiar Alam dalam “Antropologi dan Civil Society: Pendekatan Teori Kebudayaan”, Antropologi Indonesia (XXIII, 1999) melihat konsep ‘praksis’ Bourdieu dibedakan dari konsep ‘ tindakan’ Weber yang diwarisi oleh pendekatan interpretif Geertz (1973). Dalam sosiologi Weber, konsep tindakan dilihat sebagai cerminan ide-ide yang merupakan kumpulan pengetahuan yang diwariskan atau dilestarikan dalam kebudayaan si pelaku, hingga tindakan dipengaruhi oleh kekuatan yang berada di luar diri pelaku. Sedang konsep praksis menekankan hubungan timbal-balik antara pelaku dan struktur obyektif atau kebudayaan (Bourdieu, 1977:83) yang senantiasa bersifat ‘cair’, dinamis dan sementara karena bergantung pada praksis para pelakunya yang berada pada konteks sosial tertentu, suatu bentuk konstruksi sosial yang berkaitan dengan ‘kepentingan’ maupun kekuasaan pelaku (lihat Alam, 1999:7)

(3)

sebuah sistem disposisi3) yang ‘ durable’ juga ‘transposable’yaitu memiliki kemampuan untuk

bertahan lama juga berubah-ubah atau berpindahpindah.

Habitus menghasilkan dan dihasilkan oleh kehidupan sosial: di satu pihak, ia merupakan ‘struktur yang menstruktur’ (structuring structures), struktur yang menstruktur kehidupan sosial, di lain pihak ia merupakan ‘struktur yang terstruktur’ (structured structures), distrukturisasi oleh dunia sosial (Bourdieu, 1977:72) Disposisi-disposisi, yaitu kompetensi dan kecenderungan- kecenderungan yang direpresentasikan oleh habitus disebut ‘durable’ , berlangsung lama karena telah menyatu dengan tubuh sepanjang usia agen, hingga tak lagi ‘disadari’. Habitus juga ‘transposable’ dalam artian mampu menggerakkan beragam dan berlipat-ganda kegiatan maupun persepsi dalam arena-arena ( yang bisa berbeda dari tempatnya semula diperoleh) dan merupakan ‘ structured structures’ atau struktur-struktur yang terstruktur’ yang merangkum kondisi-kondisi sosial obyektif yang terekam olehnya. Disposisi habitus adalah ‘ structuring structures’ berkat kemampuannya untuk membangun praksis yang disesuaikan dengan situasi-situasi tertentu (Bourdieu, 1977:72-78) Habitus sebagai sense pratique, sebuah ‘kesadaran praksis’ yang merupakan serangkaian disposisi yang mampu menggerakkan persepsi dan tindakan adalah buah dari suatu proses inculcation---- pembatinan atau perekaman yang membekas dalam benak akibat anjuran berulang-ulang dan terus menerus---- yang berlangsung lama, berawal dari sejak kanak-kanak melalui lingkungan keluarga juga melalui lingkungan pendidikan maupun institusi non-formal tumbuh menjadi suatu yang dianggap alamiah dan dengan sendirinya dianggap wajar (Bourdieu, 1990 : 53-54 ; 1993: 5). Perekaman atau ‘pembatinan’ kondisi-kondisi sosial obyektif oleh habitus membuahkan kemiripan habitus antar agen yang berasal dari kelas sosial yang sama dan dengan demikian Bourdieu, berdasar penelitian empiriknya dalam Distinction (1984) mampu berbicara secara statistik mengenai ‘habitus kelas’ yang membangun preferensi-preferensi yang senada dalam cakupan kegiatan kebudayaan yang luas.

Dalam Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste yang didasari pada dua penelitian di tahun 1963 dan 1967-8, dengan sampel 1217 orang di Paris, Lille dan sebuah kota kecil provinsial, kuesioner) diawali dengan pertanyaan tentang usia, gender dan okupasi ----di sini ditekankan ‘be as precise as possible’--- yang bertujuan untuk mengungkapkan preferensi responden terhadap area-area kultural seperti pilihan perlengkapan rumah tangga, genre film, acara makan malam, musik dan lukisan apa yang digemari. Juga pewawancara diminta untuk mengisi checklist, daftar isian secara pribadi bagaimana tampilan fisik dan cara berbicara subyek pengamatan, hingga bisa dibangun suatu gambaran tentang ‘taste’, selera dari responden, sebuah potret yang bila digabung dengan yang lainnya dan digolong-golongkan dalam sub-grup berdasarkan okupasi, bisa digunakan untuk membangun sebuah skema tentang pilihan gaya hidup dan relasinya dengan posisi kelas.

Disposisi-disposisi yang membentuk habitus dalam waktu yang cukup lama itu hanya bisa dimaknai dalam artian berfungsi dan sah keberadaannya di dalam sebuah ‘field of forces’ , arena pertarungan yang bisa disebut sebagai arena kekuatan-kekuatan yang dinamis tempat beragam potensi dimungkinkan hadir di dalamnya. Itulah sebabnya beberapa tindakan bisa memiliki makna dan nilai yang berbeda bila berada dalam arena yang berbeda, dalam konfigurasi berbeda atau dalam sektor yang berseberangan dalam arena yang sama (Bordieu, 1984:94)

3 Pilihan kata disposisi (disposition) mampu mengekspresikan konsep habitus ----yang didefinisikansebagai suatu sistem disposisi---- sebagai hasil dari tindakan yang terorganisasi, berarti dekat dengan

pengertian struktur; juga menandakan ‘ a way of being’, ‘a habitual state’, bentuk keberadaan dan kebiasaan (tubuh), dan khususnya merupakan predisposisi, kecenderungan (yang mengarah) dan alamiah (lihat Bourdieu, 1977: 214)

(4)

Habitus terdiri dari selain pengetahuan individual juga bagaimana ia memahami dunianya, menyumbang pada realita dunianya. Singkatnya, habitus adalah mindset seseorang yang disesuaikan dengan kondisi-kondisi tertentu yang dihadapinya. Pengetahuan individual memiliki kekuatan konstitutif (membangun yang esensial) dan bukan sekedar refleksi dari dunia nyata. Karenanya habitus tak pernah ‘fixed’ atau statis, baik menurut waktu bagi individual maupun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bila posisi dalam arena berubah, begitu pula disposisi yang membentuk habitus. (Bourdieu, 1984: 467).

Kapital

Bourdieu mengumpamakan kehidupan bagaikan sebuah ‘game’, permainan yang menggunakan ‘kapital’ sebagai ‘duit’ modalnya. Seorang ‘agen’ atau pemain bisa memiliki dua kapital atau modal, bisa juga hanya satu atau tidak sama sekali. Jalin-menjalin yang kompleks antara dua kekuatan modal ---- yang bisa berfluktuasi, berlebihan atau berubah arah --- bisa menentukan ‘kesempatan hidup’ agen tersebut. Bila Marxisme klasik melihat kapital dari segi ekonomis semata, Bourdieu memperluas konsepnya untuk memasukkan unsur kebudayaan. Dalam skemanya, kapital ekonomi memang masih menjadi kekuatan sosial sentral yang mampu mendorong perbedaan kelas; namun modal kapital budaya juga memiliki peran besar dalam permainan hidup (Bourdieu,1977:178) Bagi Bourdieu, definisi kapital bisa memiliki cakupan yang luas, dari yang material dan memiliki nilai simbolik, hingga yang ‘tak tersentuh’ namun secara budaya dianggap memiliki atribut-atribut signifikan seperti prestise, status dan otoritas, dianggap sebagai kapital simbolik, sedang kapital budaya didefinisikan sebagai pola-pola yang dilandasi selera dan konsumsi budaya. Karenanya, capital merupakan relasi atau hubungan sosial dalam satu sistem pertukaran, dan ini berlaku untuk semua benda, material maupun simbolik, tanpa perbedaan, yang merepresentasikan diri sebagai sesuatu yang ‘langka’ dan layak untuk dicari, dikejar dalam satu bentuk formasi sosial tertentu, antara lain kehormatan dan distingsi (Bourdieu, 1977:178).

Sebagai energi sosial yang membuahkan hasil dalam arena produksi budaya, tempat produksi dan reproduksi, kapital simbolik merujuk pada tingkat akumulasi prestise, kesucian (consecration) dan kehormatan (honour) yang didasari oleh dialektika antara pengetahuan (connaissance) dan pengakuan (reconnaissance) sedang kapital budaya menyangkut segala bentuk pengetahuan tentang kebudayaan, kompetensi atau disposisi ( Bourdieu, 1990: 22,111 ). Dalam Distinction (1984), tempat Bourdieu mengelaborasi konsep kapitalnya, kapital budaya dijabarkan sebagai sebuah bentuk pengetahuan, sebuah kode yang di’internalisasi’ atau perolehan kognitif yang melengkapi agen sosial dengan rasa empati, apresiasi atau kompetensi menguraikan (dalam artian memahami) relasi-relasi budaya berikut artefak- artefak budaya. Kapasitas untuk melihat (voir) adalah satu bentuk fungsi dari pengetahuan (savoir), konsep kata-kata yang mampu menamai apa yang terlihat, yaitu persepsi. (Bourdieu, 1984:2)

Untuk memasuki arena dan mampu ‘bermain’ dalam pertarungan kekuatan di dalamnya, seseorang harus memiliki habitus yang mengarahkannya untuk bisa berjaga-jaga atau beradaptasi sebelum ia memasuki arena tersebut dan bukan yang lainnya. Ia harus memiliki paling tidak pengetahuan minimum dan ketrampilan juga ‘talent’ , talenta untuk bisa diterima sebagai seorang pemain yang memiliki legitimasi. Berarti ia harus berupaya menggunakan seluruh pengetahuan, ketrampilan dan talentanya dengan cara yang se’menguntung’kan mungkin. Untuk berhasil, ia harus menginvestasikan seluruh kapital yang dimilikinya agar bisa memperoleh manfaat yang paling besar atau ‘keuntungan’ dari upayanya berpartisipasi dalam arena (Bourdieu, 1977:179-183). Kapital karenanya harus berada di dalam arena untuk memaknainya.

(5)

Agen-agen tidak bergerak dalam kehampaan, namun dalam situasi-situasi sosial nyata yang ditata dan dikuasai oleh relasi-relasi sosial obyektif7). Untuk menjelaskannya, Bourdieu mengembangkan

konsep arena (Perancis: champ; Inggris: field). Konsep arena merupakan metafora yang digunakan oleh Bourdieu untuk menggambarkan ‘field of forces’, arena kekuatan-kekuatan yang dinamis tempat beragam potensi dimungkinkan hadir di dalamnya4). Strategi dan trayektori5) adalah dua

konsep utama yang digunakan Bourdieu dalam teorinya tentang arena. Strategi bisa difahami sebagai praksis dengan orientasi spesifik tertentu. Sebagai produk dari habitus, strategi merupakan disposisi yang berada di bawah kesadaran dan bergantung pada posisi yang ditempati oleh agen dalam arena, juga bergantung pada permasalahan apa yang mendasari konfrontasi. Itulah yang ‘membangun’ bentuk pertarungan dan orientasi arah penyelesaiannya. Sedang trayektori bisa dilihat sebagai sesuatu yang merupakan hasil dari pergulatan dan perjuangan untuk mencapai kapital simbolik dalam arena pertarungan, dan bisa diamati melalui jaringan relasi ekonomi, budaya dan sosial (Bourdieu, 1984: 109-110).

Trayektori digunakan Bourdieu saat membicarakan posisi para parvenus (orang-orang kaya baru) dan orang-orang déclassé (yang tersingkirkan dari lingkungannya terdahulu). Orang-orang ini berasal dari origin sosial yang berbeda dari kelompok di arena tempat mereka kini berada. Para parvenus dan déclassé dipastikan tiba melalui rute atau trayektori yang berbeda dari yang lain. (Bourdieu, 1984: 109-110). Setiap arena, baik budaya, politik, ekonomi dan lainnya merupakan arena yang relatif otonom namun homologus (memiliki kesamaan struktur). Struktur arena untuk setiap saat tertentu ditentukan oleh relasi-relasi antara posisi-posisi para agen yang berada di dalam arena, karenanya arena adalah sebuah konsep yang dinamis, setiap perubahan dalam posisi agen akan membuahkan perubahan struktur arena (Bourdieu, 1993:44).

Habitus, Kapital, Arena dan Praksis

Praksis digambarkan oleh Bourdieu sebagai ‘the dialectic of the internalization of externality and the externalization of internality’6)yaitu sebuah dialektika internalisasi dari eksternalitas dan

eksternalisasi dari internalitas. Sederhananya, suatu bentuk inkorporasi sekaligus obyektifikasi (Bourdieu, 1977:72) Dalam analisis sosial tentang selera, habitus adalah upaya Bourdieu untuk 4 Istilah ‘arena’ lebih tepat dari lapangan karena juga merupakan sebuah arena pertarungan merebutkekuasaan di antara kekuatan-kekuatan tersebut. Pertarungan tersebut dilihat sebagai bisa

mentransformasi atau mempertahankan arena kekuatan. Posisi ditentukan oleh alokasi atas kapital tertentu bagi aktor yang berada di dalam arena tersebut. Posisi-posisi yang dicapai dapat berinteraksi dengan habitus untuk membentuk beragam postur (prises de position) yang memiliki efek independen pada ‘ position taking’ di dalam arena tersebut. Dinamika arena didasari pada pertarungan perebutan posisi dalam arena. (lihat Bourdieu, 1984: 244-246)

5 Bourdieu memperkenalkan istilah trajectory----jalur melengkung dari sebuah proyektil--- saatmembicarakan posisi para parvenus, orang-orang kaya baru dan para déclassé, yang tersingkirkan

dari lingkungannya terdahulu. (lihat Bourdieu, 1984: 109-110)

6 Bourdieu mengutip Jean-Paul Sartre dalam “Being and Nothingness” tentang kematian dankebangkitan kemerdekaan (death and resurrection of freedom) yang memunculkan “eksternalisasi

dari internalitas” dan “internalisasi dari eksternalitas”. Wacana dialektika tersebut menunjukkan bandul yang terus bergerak antara ‘di dalam diri’ (in-itself) dan ‘untuk diri’ (for-itself), antara materialitas dan praksis (lihat Bourdieu, 1977: 75-76)

(6)

mengakui adanya kondisi-kondisi sosial untuk terbentuknya selera, namun juga masih menyisakan ruang untuk ‘agen’ manusia. Meskipun dalam logika praksis yang dilahirkan habitus dan membentuk selera dideterminasi oleh perangkat kondisi material tertentu, namun praksis individual merupakan strategi dalam situasi-situasi yang hasilnya belumlah pasti, karena dihadapkan oleh strategi dari individu-individu lainnya. Karenanya, meski habitus bisa menjadi sebuah kerangka tindakan, ia tidaklah statis dan dapat dibentuk oleh interaksi dari strategi-strategi yang diambil oleh berbagai kelompok sosial. (Bourdieu, 1977: 81-83).

Dalam perspektif Bourdieu, potensi ‘interplay’, saling jalin-menjalin hubungan timbal-balik antara agen, si pelaku dan ‘struktur objektif’ atau ‘kebudayaan’ sangat dinamis dan tidak sederhana. Peranan habitus sebagai kognisi yang memandu seseorang untuk melakukan sesuatu tidaklah linier, bergantung pada kapital yang dimiliki atau dikejar dan arena tempat dia berada atau yang dituju.

1.2) Arjun Appadurai

Kini pada masyarakat yang berubah, nilai-nilai apa yang menjadi referensi? Bila orientasi kini tak hanya bersifat regional atau nasional, tetapi meluas ke global dengan serangkaian nilai dan norma baru, bagaimana pengaruhnya pada produk budaya lokal? Di saat lokalitas-lokalitas saling berupaya untuk me’redefinisi’ dan menentukan bentuk-bentuk kebudayaan baru, bagaimana mereka mereposisi diri ?

Dalam Modernity at Large (2000), tentang modernitas ‘yang mengembara’7

11) Arjun Appadurai

sadar akan betapa sulitnya menangkap dan menggambarkan modernitas. Modernitas baginya adalah dualitas yang menyatakan keberadaan sekaligus hasrat bagi penerapannya yang universal. Inti dari Modernity at Large (2000) adalah rupture, ‘robek’nya pemaknaan umum ( tenor) tentang hubungan antar sosial pada tiga dasawarsa terakhir abad ke 20. Ada dua hal utama penyebab yang saling berjalin yaitu media dan migrasi dan keduanya menyatu dalam work of imagination, karya imajinasi sebagai cirri pembentuk subyektivitas modern. Media elektronik mampu mentransformasi arena mediasi massa, dengan kemampuannya untuk menawarkan sumber-sumber baru dan disiplin baru yang bisa mengkonstruksikan citra diri dan dunia dalam imajinasi. Selain itu, mediasi unsur penentu lainnya adalah migrasi atau ‘gerak’. Dalam sejarah manusia, bukanlah hal baru terjadinya migrasi besar-besaran secara sukarela maupun secara paksa, namun bila dipadankan dengan derasnya arus citra-citra8) yang digerakkan oleh media massa dan

sensasi-sensasinya, maka dunia dipenuhi oleh ketidak-stabilan dalam produksi subyektivitas modern, maka kita melihat hadirnya citra-citra yang ‘bergerak’ bertemu dengan pemirsa yang telah

7 at large’ bermakna bebas; berada di mana-mana secara acak;tanpa tujuan tertentu (Oxford , 2000)

8 Saya menterjemahkan images sebagai ‘citra-citra’ untuk membedakannya dari ‘gambar’ karenasifatnya yang virtual dan mengandung sensasi yang menggugah imajinasi. Dalam istilah Appadurai:

“Imagination has become a collective social fact, and this in turn, is the basis of the plurality of imagined worlds”,imajinasi telah menjadi fakta sosial kolektif dan inilah dasar dari pluralitas duniadunia imajinasi (lihat Appadurai, 2000:5)

(7)

‘terdeteritorialisasi’9) Hal ini membentuk ruang-ruang yang ter’diaspora’10), fenomena-fenomena

yang menantang teori-teori yang masih bergantung pada menonjolnya nation-state, negara sebagai penentu utama dalam perubahan sosial. (Appadurai, 2000:2-4).

Mediasi secara elektronik dan migrasi massal menandai dunia masa kini bukan saja secara teknis sebagai kekuatan-kekuatan baru tapi juga mampu mendorong, bahkan memaksa daya imajinasi. Ciri dari mobilitas events dan para pemirsanya yang bermigrasi membentuk inti hubungan antara globalisasi dan modernitas. Manusia-manusia dalam dunia kontemporer kini bergerak berpindah tak hanya dari desa ke kota, dalam ikatan batas (boundaries) nasional tapi juga antar nasional atau trans-nasional.(Appadurai, 2000:4)

Appadurai mendeskripsikan pergerakan global manusia tersebut sebagai bagian dari ‘global ethnoscape’ yaitu suatu lansekap terdiri dari manusia-manusia yang membentuk dunia-dunia kita berada yang bergerak : kaum turis, imigran, pengungsi, yang terasingkan (exiles), buruh pekerja, juga kelompok maupun manusia- manusia yang bergerak yang membentuk wajah baru dunia (Appadurai, 2002: 50-56). Dengan memberikan tekanan pada dimensi kebudayaan maka kebudayaan tidak hanya dilihat sebagai properti milik individu atau kelompok dan menjadikannya lebih sebagai alat yang berguna untuk membicarakan diferensiasi terutama pada identitas kelompok yang begitu beragam. Dalam hal ini tekanan adalah pada bentuk keberbedaan kebudayaan yang selain mengekspresikan juga menjadi dasar identitas kelompok ( Appadurai, 2000:12-13).

Modernitas dengan demikian dipostulasikan oleh Appadurai sebagai suatu dinamika sistem kebudayaan global yang digerakkan oleh relasi-relasi di dalam beragam arus gerak manusia yang membangun konstelasi kejadian-kejadian partikular dan bentuk-bentuk sosial yang ‘context-dependent’, bergantung pada konteks secara radikal (Appadurai, 2002: 60). Bila pada di masa lampau kemampuan untuk membingkai kembali kehidupan sosial dihadirkan lewat mitologi dalam berbagai bentuk yang imajinatif dan bentuk-bentuk ekpresinya menjadi basis dari sebuah dialog yang kompleks antara imajinasi dan ritual, Appadurai mencatat ada tiga hal yang membedakan dunia pasca-elektronik tempat imajinasi memegan peran yang signifikan: Pertama, imajinasi tak lagi berada di ruang-ruang ekspresif yang khusus seperti seni, mitologi dan ritual, tapi telah menjadi bagian dari kerja mental seharihari dan memasuki logika kehidupan sehari-hari, tempat ia tersimpan. Fakta ini lebih dipertegas dengan kontekstualisasi gerak dan media. Kini menjadi semakin mungkin untuk membayangkan hidup dan bekerja di luar tempat kita dilahirkan. Lebih nyata lagi mereka yang terseret masuk ke dalam ‘setting’ , tatanan baru yaitu kamp- kamp pengungsi, tempat para pengungsi harus bergerak dan menyeret serta imajinasi mereka agar bisa 9 Lihat juga “Dari Bounded System ke Borderless Society: Krisis Metode Antropologi dalamMemahami Masyarakat Masa Kini”, Irwan Abdullah (1999) tentang bagaimana kebudayaan agraris

mulai dipertanyakan oleh kekuatan di luar dirinya, akibat: a) tekanan mekanisme pasar yang memperluas jaringan sosial, interaksi dan orientasi, b) integrasi pasar yang mengikat penduduk pada tatanan yang lebih luas hingga batas-batas etnis lokal mengabur dan c) ekspansi pasar yang membuat orientasi tak hanya lokal atau nasional tapi meluas ke global dengan serangkaian nilai dan norma baru yang kesemuanya menghasilkan ‘deteritorialisasi budaya’ (lihatAbdullah, 1999: 11-18)

10 Bagaimana buruh migran Turki di Jerman menonton film-film Turki di pemukiman di Jerman,imigran Korea di Philadelphia menonton Olimpiade 1988 dipancarkan dari Seoul, dan pengemudi

taksi Pakistani di Chicago mendengarkan kaset ceramah agama hasil rekaman masjid-masjid di Pakistan menunjukkan citra-citra yang bergerak bertumbukan dengan pemirsa yang

(8)

bertahan di situ. Semuanya menjadi diaspora-diaspora11) harapan, teror dan

keputus-asaan( Appadurai, 2000: 6)

Diaspora-diaspora ‘baru’ yang memiliki kemampuan untuk menggerakkan ingatan memori, harapan dan hasrat menjadi mitografi, dengan membangun imajinasi ke dalam kehidupan orang kebanyakan, dan inilah yang membedakannya dari disiplin mite12) dan ritual didalam pengertian

yang klasik Mitografi memiliki kemampuan menggerakkan habitus menjadi improvisasi gerak cepat bagi banyak orang dengan melahirkan imaji-imaji, naskah-naskah, model-model dan narasinarasi baru melalui mediasi massa, bukan sekedar lawan dari kenyataan sehari-hari. (Appadurai, 2000:6) Kedua, ada perbedaan antara imajinasi dan fantasi. Bila ide tentang fantasi berkonotasi terpisah dari proyek dan aksi tindakan, maka imajinasi memiliki unsur proyektif, sebagai ‘prelude’ awal dari sesuatu ekspresi, estetik maupun tidak. Dan bila imajinasi tersebut kolektif bentuknya, ia bisa menjadi penggerak tindakan. Ada kecenderungan kini ‘pelahapan’13) media massa di seluruh dunia

untuk memprovokasi resistensi, ironi dan selektivitas kemudian menumbuhkan ‘agency’, pembentukan aktor, dari para teroris yang membentuk diri mereka (modeling) untuk bersikap seperti Rambo, hingga budaya T- shirt14) , musik rap dan seterusnya, kesemuanya menunjukkan

bagaimana imaji-imaji yang berasal dari media begitu cepat ‘masuk’ ke dalam repertoar lokal untuk diolah dan muncul dalam bentuk resistensi, ironi, atau malah menjadi bentuk humor. Bisa dikatakan bahwa di mana ada ‘pelahapan’ maka di situ ada penikmatan, dan di mana ada penikmatan, di situ ada agency, pembentukan aktor. ( Appadurai, 2000: 7).

Perbedaan ketiga adalah imaginasi dalam bentuknya yang kolektif bisa menjadi panggung bagi tindakan, bukan tempat pelarian. Imaginasi adalah milik dari kelompok-kelompok masyarakat. Di sini peran dari media massa amat penting, karena ,melalui pembacaan kolektif, kritik dan penikmatannya, terbangunlah sebuah ‘community of sentiment’ , komunitas yang berimajinasi tentang sesuatu dan kemudian merasakannya bersama yang disebut Appadurai sebagai “moving from shared imagination to collective action”, bergerak dari imaginasi bersama menjadi kegiatan bersama atau kolektif. Solidaritas yang terbentuk tersebut seringkali sifatnya transnasional bahkan pasca-nasional, beroperasi melampaui batas-batas negara (Appadurai, 2000:8)

Antropologi adalah sebuah arsip dari aktualitas hidup, lived actualities. Sebagai sebuah arsip, ia mengingatkan orang bahwa dalam setiap similaritas (persamaan) tersimpan lebih dari satu 11 Diaspora semula bermakna penyebaran orang-orang Yahudi ke tanah-tanah kaum ‘gentile’, nonYahudi. Istilah ini digunakan Appadurai karena mengandung unsur keputus-asaan sekaligus harapan

12 Mite (dari muthos, bahasa Yunani untuk ‘cerita’) adalah penuturan (narasi) fiktif yang menyangkutperorangan atau kejadian tentang dunia alam atau sejarah dari satu kebudayaan tertentu. Mite juga

merupakan perwujudan identitas kelompok ( “The Dictionary of Anthropology”, 2000, Thomas Barfield,ed)

13Istilah ini saya anggap lebih tepat untuk terjemahan kata consumption yang digunakan Appaduraidari pada sekedar ‘konsumsi’

(9)

deferens (keberbedaan), dan similaritas maupun diferens saling menutupi satu sama lain. Karena itu globalisasi bukanlah sebuah homogenisasi budaya (Appadurai, 2000:11). Ada dimensi budaya dari globalisasi. Sengaja memilih bentuk adjektif, yaitu kata ’kebudayaan’ dari pada kata benda ‘budaya’ yang berimplikasi sebagai obyek, benda atau substansi, menjadi bagian dari ‘biologisme’, termasuk juga ras, seperti pengertian antropologis di masa lampau yang justru ingin dihindari. Budaya yang terasosiasi dengan substansi lebih menyembunyikan dari pada menampakkan, sementara kata sifat kebudayaan mampu menampakkan wilayah di mana terjadi perbedaan-perbedaan, kontras-kontras dan perbandingan. Karenanya sisi adjektif dari kebudayaan membuatnya menjadi ‘context-sensitive’ , peka terhadap konteks dan ‘contrast centered’, menekankan kontras (Appadurai, 2000: 13).

Dalam relasinya dengan identitas kelompok, kebudayaan menjadi penanda perbedaan-perbedaan yang telah dimobilisasi untuk mengartikulasikan batasan (boundary) dari perbedaan tersebut. Menjawab tantangan boundary maintenance, pelanggengan batasan, kebudayaan adalah identitas kelompok yang dibentuk antara lain oleh perbedaan-perbedaan. Kebudayaan tak hanya menekankan pada kepemilikan atas atribut-atribut tertentu seperti material, linguistik atau teritorial, namun juga kesadaran akan atribut tersebut dan naturalisasinya menjadi penting bagi identitas kelompok (Appadurai, 2000: 13-14).

Masalah interaksi global adalah tegangan tarik- menarik antara homogenisasi dan heterogenisasi budaya. Globalisasi sebenarnya juga historikal, tidak merata dan juga melokalisasi proses, karenanya bukanlah berimplikasi homogenisasi juga ‘Amerikanisasi’, karena masyarakat yang berbeda mengapropriasi15) material modernitas secara berbeda-beda pula. Bila genealogi dari

bentuk-bentuk budaya adalah tentang bagaimana bentuk sirkulasi mereka antar daerah, maka sejarah bentuk-bentuk tersebut adalah bagaimana domestikasinya berlangsung menjadi local practice , praktik lokal.(Appadurai, 2000: 17) Dengan memberikan tekanan pada dimensionalitas kebudayaan dan bukannya subtansialitasnya saja, hal tersebut memungkinkan pemikiran kebudayaan tidak sebagai properti milik individu atau kelompok dan menjadikannya lebih sebagai alat yang berguna untuk membicarakan diferensiasi terutama pada identitas kelompok yang begitu beragam. Bentuk-bentuk diferens budaya selain mengekspresikan juga menjadi dasar mobilisasi identitas kelompok (Appadurai, 2000:14).

2) Analisis Arena Produksi Budaya Batik Keratonan Yogyakarta

Untuk memahami arena produksi budaya, saya merasa perlu untuk mengamati struktur arena, di mana letak posisi-posisi yang diduduki oleh para produsen yaitu para penggarap batik, juga yang diduduki oleh kekuatan-kekuatan yang menentukan konsekrasi16) dan legitimasi yang membuat

produk budaya itu sah menjadi suatu produk budaya, juga analisis posisi-posisi di dalam arena kekuasaan yang lebih luas. Secara menyeluruh merupakan kesatuan kondisi sosial yang meliputi produksi, sirkulasi dan konsumsi ‘dagangan’ simbolik.

Dengan demikian perlu dibahas dahulu bagaimana para agen membangun kekuatan dengan membentuk distingsi dan kaitannya dengan selera kelas. Juga siapa saja yang memiliki otoritas

untuk legitimasi produk budaya dan apa yang dimaksud dengan pasar dagangan simbolik.

Dalam analisis ini diupayakan agar terangkum tiga realita sosial: (1) keberadaan posisi arena budaya dalam arena kekuasaan: bagaimana relasi-relasi kekuasaan yang dominan, dalam kata lain elit penguasa (2) struktur arena budaya, yaitu struktur posisi-posisi yang diduduki para agen yang saling memperebutkan legitimasi dalam arena dan bagaimana karakteristik agen-agen 15Mengambil dan menggunakan sebagai milik sendiri (Oxford Dictionary of Current English, 2000)

(10)

tersebut (3) habitus para produsen baik yang merupakan disposisi-disposisi yang terstruktur (structured) maupun menstruktur (structuring) yang menggerakkan praksis.

2.1) Distingsi17) dan Selera Kelas

Habitus menghasilkan sebuah sistem klasifikasi yang memungkinkannya untuk mengidentifikasi pilihan-pilihan ‘gaya hidup’ yang spesifik dan hubungannya dengan posisi kelas, dan kemampuan ini membuatnya memiliki kapasitas untuk membeda-bedakan dan mengapresiasi praktik-praktik dan produk yang disebut ‘taste’ atau ‘selera’ yang sesungguhnya merepresentasikan dunia sosial, tempat ruang gaya hidup terbentuk. Selera adalah suatu disposisi yang mampu membedakan sekaligus mengapresiasi, dengan kata lain suatu bentuk kemampuan untuk menentukan dan memberi ‘tanda batas keberbedaan’ melalui sebuah proses distingsi. Selera merupakan kemampuan praktis untuk meraba atau naluri tentang apa yang akan terjadi, yang akan menimpa individu yang menduduki suatu posisi tertentu dalam ruang sosial.

Selera berfungsi sebagai semacam orientasi sosial, ‘ a sense of one’s place’, yang menunjukkan di mana seharusnya seseorang berada. Karena itu agen-agen sosial selain menjadi produsen tindakan-tindakan yang bisa diklasifikasi, mereka juga memproduksi klasifikasi yang mereka sendiri juga terklasifikasi di dalamnya18). Bila arena produksi budaya adalah ‘field of forces’, arena

kekuatan-kekuatan yang dinamis di mana beragam potensi dimungkinkan hadir di dalamnya dan pertarungan tersebut dilihat sebagai bisa mentransformasi atau mempertahankan arena kekuatan, maka ‘taste’ atau ‘selera’ berada di jantung pertarungan simbolik tersebut yang berdasar pada life style, gaya hidup para agen Hal tersebut diperjelas Bourdieu dalam Distinction,1984, Bab III: “Class Tastes and Lifestyles” yang menyatakan bahwa ‘the new bourgeoisie’19), para borjuis baru

adalah inisiator perubahan etika ‘ekonomi baru’ demi kelangsungan hidupnya. Logika baru ekonomi telah membuang jauh etika asketisme seperti abstinence, puasa menghindari keduniawian dengan berhemat, menabung dengan penuh perhitungan, dan sebaliknya justru merangkul moralitas hedonistik dari konsumsi yang didasari oleh credit, spending and enjoyment, hutang, belanja dan Penikmatan Juru bicara untuk gaya hidup semacam itu adalah para penjaja benda-benda dan jasa simbolik seperti para jurnalis, dunia penerbitan dan sinema, dunia fesyen dan iklan, dunia desain dan pengembangan properti. Melalui anjuran-anjuran yang terus menerus mengiklankan gaya hidup sebagai ‘model’ atau panutan, para penentu ‘selera baru’ memunculkan moralitas seni pengkonsumsian, pembelanjaan dan penikmatan.Mereka inilah the new cultural intermediaries, para perantara kebudayaan baru, para produser dan penjaja ‘dagangan budaya’ karena melalui merekalah batasbatas area kebudayaan yang semula tertutup bisa diakses dan menjadi milik public (Bourdieu, 1993:75).

3.2) Otoritas dan Legitimasi

Kekhususan ekonomi arena budaya didasari oleh satu bentuk khusus belief, ‘kepercayaan’ menyangkut apa saja yang bisa disebut sebagai karya budaya, misalnya karya sastra atau karya 17 Saya memilih penggunaan kata ‘distingsi’ sebagai terjemahan dari distinction yang bermakna lebihdari sekedar ‘keberbedaan’ atau ‘yang menonjol’ karena ada unsur ‘keunggulan’ yang hanya bisa

dimiliki oleh mereka yang memenangkan suatu pertarungan

18 Lihat juga Distinction,Bourdieu, 1984: 466-467

19Bourgeoisie (Perancis), bourgeois (Inggris) adalah mereka yang berasal dari kelas menengah dalammasyarakat atau yang mengambil tampilan kelas menengah (Oxford Dictionary of Current English,

(11)

seni sekaligus nilai estetika maupun nilai sosialnya. Dalam dunia ‘kepercayaan’ tersebut orang harus memperhitungkan tak hanya produksi material namun juga produksi simbolik karya, yaitu produksi dari nilai karya tersebut, dan itu berarti pula, produksi ‘kepercayaan tentang nilai’ karya tersebut. Dan hal tersebut termasuk pengakuan tentang fungsi dari para mediator, perantara seperti para kritikus, ‘pedagang budaya’ dan seterusnya sebagai produsen makna dan nilai karya. Alih-alih sebagai contoh dari kreativitas atau kemampuan individual, setiap karya adalah ekspresi dari arena secara keseluruhan20

.

Arena produksi budaya terstruktur sebagai oposisi antara arena produksi seni terbatas (seni ‘adiluhung’, musik klasik, sastra ‘serius’) dan arena produksi dalam skala besar ( budaya masal atau ‘popular’). Dalam arena produksi terbatas, taruhan kompetisi antar agen sebagian besar sifatnya simbolik yang menyangkut prestise, konsekrasi juga selebritas artistik (artistic celebrity). Keuntungan ekonomis biasanya ‘tak diakui’, paling tidak oleh sang seniman, hingga hirarki otoritas didasarkan pada bentuk keuntungan simbolik lainnya, yaitu suatu ‘ profit of disinterestedness’, keuntungan diperoleh dari (seakan-akan) tanpa pamrih, atau keuntungan dengan menyatakan diri sendiri ( bisa juga agar terlihat) sebagai orang yang tidak mengejar keuntungan. Satu-satunya kapital yang berguna dan efektif adalah kapital yang sah yang disebut ‘prestise’ atau ‘otoritas’, yang bisa dikembalikan menjadi kapital simbolik (Bourdieu, 1993:15).

3.3) Pasar Dagangan Simbolik)

Karya-karya yang diproduksi dalam ranah produksi terbatas disebut ‘murni’, ‘abstrak’ dan ‘esoterik’) karena karya-karya tersebut mensyaratkan bagi penerimanya untuk memiliki disposisi (kompetensi) estetik tertentu dalam hubungannya dengan prinsip-prinsip produksinya. Lebih jelasnya, dalam istilah Bourdieu: ” karya seni hanya punya arti dan menimbulkan minat bagi mereka yang memiliki kompetensi budaya, penguasaan akan kode-kodenya, tempat karya tersebut

terekam dan tercatat.” (Bourdieu, 1984:2)

Karya-karya tersebut juga membutuhkan pendekatan-pendekatan khusus, karena strukturnya yang kompleks, dan terus menerus menyiratkan referensi tacit (tak terucapkan) pada sejarah struktur-struktur sebelumnya, dan hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki penguasaan teoritis maupun praktis dari kode-kode yang khusus yang telah diperhalus, juga kode dari kode-kode tersebut (Bourdieu, 1993:120)

PERAN AGEN PERUBAHAN dalam ARENA PRODUKSI BATIK

KERATONAN YOGYAKARTA

1) Dinamika Arena

Untuk bisa membuat analisis dan pemetaan arena, saya mencoba melihat realita yang membentuknya yaitu: bagaimana posisi-posisi dalam arena produksi budaya ---yaitu produksi batik keratonan Yogyakarta---- dan relasinya dengan kekuasaan yang dominan, dalam kata lain kelas penguasa. Perlu juga dibaca bagaimana struktur arena budaya tersebut: bagaimana hubungan antar para agen yang saling memperebutkan legitimasi dalam arena juga bagaimana bentuk dan asalmuasal21) habitus para agen dengan segala karakter disposisi mereka dan

20 Distinction, A Social Critique of The Judgement of Taste (1984) adalah satu bentuk sanggahanBourdieu terhadap teori tentang selera dari filsuf Immanuel Kant, Critique of Judgment (1790) yang

dianggap sebagai awal dari teori tentang selera (khususnya tentang keindahan) yang menekankan pada ‘kenikmatan’ yang refleksif, tak ada hubungannya dengan dunia obyektif dan karenanya bebas nilai, dan universal. Distinction --- yang seringkali juga disebut anti-Kantian--- adalah jawaban ilmiah Bourdieu dengan mengamati struktur kelas-kelas sosial, mencari basis sistem-sistem klasifikasi

(12)

bagaimana trayektori mereka yang menempati berbagai tipe posisi di dalam arena produksi budaya.

Hubungan-hubungan yang terus menerus ‘dipelihara’ oleh para produsen dagangan simbolik dengan produsen lainnya, amat tergantung pada posisi apa yang diduduki dalam arena produksi juga sirkulasi dari dagangan simbolik. Hanya dengan menyadari di mana posisi masing-masinglah para produsen dagangan simbolik itu bisa membuat pertimbangan dan strategi yaitu: bagaimana bisa ‘mendobrak’nya. Dalam arena produksi batik gaya keratonan Yogyakarta, bagaimana peran aristokrasi dan keraton pada saat ini ? Apakah telah terjadi erosi dominasi dan legitimasi ? Siapa saja yang saat ini memiliki kekuatan atau otoritas untuk memberikan konsekrasi yaitu menentukan apa-apa yang diunggulkan atau pantas untuk dihormati dan apa-apa yang dianggap sah dan karena itu legitimate , memiliki legitimasi ?

Bila kemampuan habitus untuk membeda-bedakan dan mengapresiasi praktik-praktik dan produk yang disebut selera sesungguhnya merepresentasikan dunia sosial, tempat ruang gaya hidup terbentuk, bagaimana bentuk-bentuk habitus para agen yang menempati berbagai tipe posisi di dalam arena produksi budaya ? Akhirnya, bila struktur obyektif pun selalu bergerak dan aktif, dan arena produksi budaya pun menuntut para agen untuk bergerak aktif pula, bagaimana strategi mereka dan ‘peta’ kekuatan masing-masing saat ini? Untuk mendapatkan jawabannya, perlu dilihat struktur arena hingga terbaca dinamika arena, kemampuan agen dan kontekstualisasi selera saat ini.

2) Struktur Arena

Temuan penelitian menunjukkan bahwa dalam arena produksi batik keratonan Yogyakarta, pertaruhan terletak pada akumulasi berbagai kapital baik kapital ekonomi, kapital budaya juga kapital simbolik sebagai sarana memperoleh keuntungan yang akan menjamin dominasi, untuk merepresentasikan diri, karenanya kapital harus dijaga agar selalu menjadi sesuatu yang ‘langka’ dan layak untuk dicari, dikejar dalam satu bentuk formasi sosial tertentu, antara lain sebagai bentuk kehormatan dan distingsi (keberbedaan dan keunggulan). Batik keratonan Yogyakarta, sebagai hasil produksi budaya yang terbatas dan spesifik itu, dalam kenyataannya dikuasai dan ditentukan besaran volume kapital simbolik, budaya maupun ekonomi yang dimiliki, juga terdapat oposisi dalam kepemilikan kapital: mereka yang mapan dan belum, pemain lama dan baru, distingsi dan peniruan, produk lama dan mutakhir dan seterusnya yang bisa digunakan untuk ‘membaca’ posisi masing-masing.

Dari hasil temuan etnografis saya membuat analisis bentuk-bentuk habitus para agen yang menempati berbagai tipe posisi di dalam arena produksi budaya. Dalam struktur obyektif yang selalu bergerak dan aktif, maka arena produksi budaya pun menuntut para agen untuk bergerak aktif pula, dan dalam upaya masing-masing untuk selalu mampu bertahan, terbaca bagaimana bentuk-bentuk strategi mereka. Bisa dibaca bagaimana mempertahankan kapital ekonomi, kapital budaya juga kapital simbolik yang dimiliki, apa saja yang dikejar dan dicari dan bagaimana jaringan hubungan-hubungan yang merupakan sumber daya yang berguna dalam penentuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial.

Referensi

Dokumen terkait

• Riset keperawatan adalah untuk mencari kebenaran yang sistematis pada tingkat praktik, pendidikan, dan administrasi keperawatan. • Riset diawali dengan adanya masalah yang

Beberapa faktor caregiver yang berhubungan dengan kekambuhan pasien skizofrenia adalah dukungan keluarga, pengetahuan tentang pengobatan skizofrenia, peristiwa kehidupan yang

Hasil penelitian menunjukan dari aspek context program, regrouping sangat dibutuhkan sekolah, dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan, dari aspek input program,

Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun

Persentase kebutuhan dosen akan aplikasi yang dapat membantu merancang dan mengelola content dari situs web pribadinya Persentase dosen yang memerlukan aplikasi untuk

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa IPAL Sanimas di Kampung Sangkrah mampu mengatasi masalah sanitasi lingkungan yang buruk dengan cara: (1) membuat saluran pembuangan

Degenerasi bengkak keruh dapat terjadi seperti dalam penelitian Khayyat & Abou-zaid yang memperlihatkan gambaran degenerasi bengkak keruh pada tikus yang

Pada Gambar 4.12 menunjukkan bahwa kapasitas discharging yang dihasilkan dengan beban atau arus konstan 25µA memiliki nilai yang lebih besar dibanding saat