• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah ROTD.pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Makalah ROTD.pdf"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

DISUSUN OLEH : KELOMPOK II

KELAS B

FAISAH REZKY ALIMUDDIN

ANDI REZKIANI BETA ASIAH HAFID

DEWI PURWANINGSIH VEFRI

MUHAMMAD ACHSAN FIMELY

IBRAZA SAKTI

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2013

(2)

BAB II : PEMBAHASAN ... 5 Definisi ... 5 Uraian ... 6 Penggolongan ... 8 Epidemiologi... 10 Identifikasi ... 11

Hubungan Reaksi dengan Obat yang Dicurigai ... 16

Kriteria untuk Mengidentifikasi ROTD ... 18

Tinjauan Reaksi Obat yang Merugikan ... 23

Pencegahan dan Penatalaksanaan ROTD ... 29

Peranan Apoteker ... 37

Pengadaan suatu Program Surveilan ROTD ... 38

Perbandingan Berbagai Metode ... 39

Pembenaran suatu Program ROTD ... 40

Ciri Program ROTD ... 42

Manfaat Program Pemantauan Dan Pelaporan ROTD ... 43

Penyakit yang Diimbas Obat dan Studi Kasus ... 45

BAB III : PENUTUP ... 57

Kesimpulan ... 57

Saran ... 57

(3)

BAB I PENDAHULUAN

Reaksi obat yang tidak dikehendaki atau Drug related problems merupakan suatu kejadian yang tidak diharapkan dari pengalaman pasien akibat terapi obat potensial mengganggu keberhasilan terapi yang diharapkan. Saat pasien menjalani suatu pengobatan, beberapa memperoleh hasil yang tepat atau berhasil menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Namun tidak sedikit yang gagal dalam menjalani terapi, sehingga mengakibatkan biaya pengobatan semakin mahal dan berujung pada kematian.

Reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD) sering kali

menyebabkan hambatan-hambatan dalam pelaksanaan layanan

kesehatan (health care). Morbiditas dan mortalitas karena penggunaan obat merupakan masalah nyata yang sedang dihadapi farmasis klinis saat ini. Telah diperkiraan bahwa 41% pasien yang menggunakan obat-obat yang diterapkan pertama kali akan mengalami reaksi efek samping obat.

Dalam penelitian di Norwegia mengenai perbandingan DRPs di kelompok pasien yang berbeda (dari instalasi kardiologi, geriatri, respiratori dan reumatologi) diperoleh data bahwa kasus DRPs terjadi dengan rata-rata kejadian di tiap instalasi yang berbeda. Sebanyak 1,9% dilaporkan dari instalasi kardiologi; 2,0% berasal dari instalasi geriatrics; 2,1% dari instalasi pengobatan respiratori dan 2,3% berasal dari instalasi rheumatology. DRPs yang paling sering ditemukan dalam kelompok

(4)

pasien adalah dosis yang non optimal (kardiologi, respiratori dan geriatrik) dan membutuhkan obat tambahan (rheumatology).

Reaksi merugikan dapat membatasi potensi terapi suatu obat. Suatu pengertian yang lebih baik dari keseimbangan antara manfaat relatif terhadap resiko obat, memungkinkan klinisis membuat keputusan terapi yang lebih baik.

Masalah reaksi obat yang merugikan dalam klinik tidak dapat dikesampingkan begitu saja, oleh karena kemungkinan dampak negatif yang terjadi, misalnya kegagalan pengobatan, timbulnya keluhan penderitaan atau penyakit baru karena obat (drug-induced disease atau iatrogenic disease), yang semula tidak diderita oleh pasien, pembiayaan yang harus ditanggung sehubungan dengan kegagalan terapi, memberatnya penyakit atau timbulnya penyakit baru (dampak ekonomik).

Interaksi dapat membawa dampak yang merugikan kalau terjadinya interaksi tersebut sampai tidak dikenali sehingga tidak dapat dilakukan upaya-upaya optimalisasi. Secara ringkas dampak negatif dari interaksi ini kemungkinan akan timbul terjadinya efek samping dan tidak tercapainya efek terapetik yang diinginkan.

Kepedulian akan hal ini sebenarnya telah ada sejak berabad-abad yang lalu. Hipporrates, pada tahun 400 SM, telah mengingatkan bahwa adanya bahaya yang menyertai banyak obatan dan sebaiknya obat-obatan tidak diresepkan kecuali kalau pasien telah diperiksa secara

(5)

lengkap. Bagaimanapun, penyelidikan terhadap ROTD tidak menjadi biasa hingga abad ke-20.

Pada tahun 1956 dipasarkan obat talidomid, dalam naskah-naskah promosinya dicantumkan bahwa talidomid diklaim sebagai obat ‘yang sangat aman’. Lima tahun kemudian obat tersebut ditarik dari pasaran dan lebih dari 8000 bayi di 46 negara telah lahir dengan kecacatan. Kasus tragis ini telah berperan sebagai pemacu di dalam pendirian lembaga pengawas obat-obatan diseluruh dunia. Di antara lembaga-lembaga tersebut yang pertama didirikan adalah Medicines Control Agency (MCA) di inggris, Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat dan kemudian termasuk Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) di Indonesia. Tujuan utama organisasi-organisasi ini adalah untuk mengevaluasi secara terus-menerus semua obat baru yang belum beredar maupun yang sudah beredar di masyarakat.

Namun, selengkap apa pun metode yang digunakan untuk mengevaluasi obat yang beredar, lembaga-lembaga ini tidak dapat mencegah setiap kejadian ROTD. Uji klinis (clinical trials) yang dilakukan sebelum obat-obatan beredar sering kali masih mempunyai kekurangan-kekurangan di dalam ukuran, masa uji dan populasi pasiennya yang tidak mengungkapkan semua kemungkinan reaksi efek samping suatu obat. Oleh karena itu, tenaga kesehatan (dokter, apotek, perawat) mempunyai peranan penting dalam pencegahan dan penanganan ROTD di dalam praktik sehari-hari.

(6)

ROTD dapat terjadi setiap waktu obat digunakan. Untuk memastikan apakah gejala seorang pasien adalah berkaitan dengan obat, apoteker yang terlibat dalam pemantauan ROTD harus mempunyai pengetahuan patofisiologi, uji laboratorium, dan farmakoterapi. Selain itu, apoteker harus mampu memperoleh informasi secara langsung dari pasien, dari dokter pasien, keluarga, dan dari kartu pengobatan pasien.

Jika suatu ROTD dicurigai, apoteker perlu memahami farmakologi, interaksi, dan efek samping obat yang dicurigai. Informasi ini akan memungkinkan apoteker membuat suatu keputusan terapi yang rasional tentang pengkajian, signifikansi, dan manajemen ROTD.

ROTD adalah penyebab kesakitan dan kematian yang signifikan. Namun, diperkirakan bahwa paling sedikit setengah dari semua ROTD dapat dihindari. Hal ini menyajikan suatu tantangan yang besar kepada semua pelaku pelayanan kesehatan, untuk menyempurrnakan perawatan kesehatan dengan memberikan manfaat terapi obat modern sementara berusaha mengurangi resiko.

Apoteker berada dalam suatu posisi yang unggul untuk memenuhi tantangan ini, disebabkan kedalaman pengetahuan mereka pada bidang farmakologi, farmakoterapi, farmakokinetik, toksikologi, dan peranan mereka dalam menyeleksi, mendispensing, dan memantau terapi obat. Tujuan dari banyak kegiatan farmasi klinik sekarang ini adalah mencegah ROTD, untuk memaksimalkan terapi obat.

(7)

BAB II PEMBAHASAN II. 1 Defenisi

Obat merupakan suatu bahan atau paduan bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menetapkan diagnosis, mencegah, mengurangkan, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka, atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan untuk memperelok atau memperindah badan atau bagian badan manusia. Masalah-masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat (Drug Related Problem) salah satunya berkaitan dengan penggunaan reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD).

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mendefenisikan ROTD sebagai respon terhadap suatu obat yang berbahaya dan tidak diharapkan serta terjadi pada dosis lazim yang dipakai oleh manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis, dan terapi. Perlu digarisbawahi bahwa ROTD terjadi pada dosis normal, bukan karena kelebihan dosis ataupun toksisitas , maupun penyalahgunaan obat.

Menurut Karch dan Lasagna, Reaksi Obat Tidak Dikehendaki (ROTD) didefenisikan sebagai respon terhadap suatu obat yang berbahaya dan tidak dimaksudkan atau terjadi pada dosis yang digunakan pada manusia untuk profilaksis, diagnosis, atau terapi, tidak termasuk gagal mencapai kegunaan yang dimaksudkan.

(8)

Adapun menurut Food and Drug Administration, ROTD adalah setiap kejadian merugikan yang berkaitan dengan penggunaan suatu obat pada manusia. Apakah dianggap atau tidak berkaitan dengan obat termasuk hal berikut :Suatu kejadian merugikan yang terjadi pada waktu penggunaan suatu obat dalam praktik profesional , kejadian merugikan yang terjadi lewat dosis obat, apakah kecelakaan atau disengaja, kejadian merugikan yang terjadi dari penyalahgunaan obat, kejadian merugikan yang terjadi dari penghentian obat dan setiap kegagalan signifikan dari kerja farmakologis yang diharapkan.

II. 2 Uraian ROTD

Dalam abad terakhir banyak kemajuan telah dibuat untuk

menemukan, menguji, dan memasarkan obat-obatan yang

menyembuhkan penyakit dan meredakan kesakitan. Meskipun setiap upaya telah dilakukan oleh Industri Farmasi dan lembaga pengawasan pemerintah terhadap keamanan dan keefektifan obat yang dipasarkan, semua obat mempunyai kemungkinan menyebabkan kerugian/kerusakan dalam individu yang rentan. Semua yang memanufaktur, mendispensing, menulis, mengawasi, dan menggunakan obat mempunyai tanggungjawab untuk memastikan penggunaan yang tepat dan mengurangi kemungkinan penyakit yang diimbas oleh obat.

ROTD dapat berentang dari reaksi relatif minor sampai reaksi hebat bergantung pada ROTD yang toksisitasnya dapat atau tidak diperkirakan , digolongkan dalam Tipe A, Tipe B, Tipe C, Tipe D, atau Tipe E.

(9)

Reaksi Tipe A mencakup kerja farmakologis primer atau sekunder yang berlebihan atau perluasan yang tidak diharapkan dari kerja obat seperti diuretik mengimbas hipokalemia atau Propranolol mengimbas Pemblok Jantung. Reaksi ini sering kali bergantung dosis atau mungkin disebabkan oleh suatu penyakit bersamaan, Interaksi obat-obat, atau obat-makanan. Reaksi Tipe A bertanggungjawab atas 70-80 % dari ROTD

dan jarang mengancam kehidupan. Walaupun mereka dapat

mengakibatkan ketidakmampuan (cacat) yang signifikan pada pasien. Reaksi yang diketahui dan dapat dicegah ini sering memberikan ini sering memberikan respon terhadap perubahan dalam dosis atau jadwal pemberian serta menunjukkan kesempatan terbesar untuk mengurangi kesakitan dan kematian. Reaksi Tipe A dapat terjadi pada setiap orang.

Reaksi Tipe B termasuk reaksi idiosinkratik dan reaksi imunologik atau reaksi alergi. Reaksi alergik mencakup berbagai tipe berikut: Tipe 1 Anafilaktik (Reaksi alergi mendadak bersifat sistemik) atau segera (hipersensitivitas), Tipe II sitotoksik, Tipe III Penyakit serum, Tipe IV Alergik tertunda. Contoh dari suatu reaksi Idiosinkratik termasuk anemia Aplastik (Kerusakan sumsum tulang menyebabkan berkurangnya sel darah merah) dengan Kloramfenikol atau gejala Stevens-Johnshon dengan fenitoin. Berbagai reaksi tersebut adalah jarang , tidak dapat diperkirakan dan kemungkinan besar serius (berat). Reaksi itu bukan perluasan dari kerja farmakologis obat dan umumnya tidak bergantung

(10)

pada dosis dan rute pemberian. Reaksi tipe B hanya terjadi pada beberapa orang.

Reaksi Tipe C (berkelanjutan) disebabkan karena penggunaan obat yang lama misalnya analgesik, nefropati, dan diskinesia tardif. Reaksi Tipe D adalah reaksi tertunda, misalnya teratogenesis dan karsinogenesis. Reaksi Tipe E, penghentian penggunaan misalnya timbul kembali karena ketidakcukupan adrenokortikal.

Beberapa golongan obat tertentu secara rutin berhubungan dengan ROM. Dalam studi ditemukan bahwa digoksin, asetosal, warfarin, dan prednison adalah beberapa zat yang paling sering berkaitan dengan ROTD.

II. 3 Penggolongan ROTD

Reaksi obat yang tidak diinginkan pada umumnya dibagi menjadi dua kelompok utama yaitu reaksi tipe A dan tipe B. Reaksi tipe A (Augmented) merupakan reaksi yang muncul secara berlebihan di mana reaksi ini terkait dengan dosis obat yang diminum. Sedangkan reaksi tipe B (Bizarre) merupakan reaksi yang aneh dan tidak terkait sama sekali dengan dosis.

Reaksi tipe A

Reaksi tipe A merupakan aksi farmakologis yang normal tetapi meningkat. Reaksi ini kemudian dapat dibagi lagi menjadi reaksi yang dihasilkan dari aksi farmakologis primer atau sekunder. Bradikardi karena pemakaian penghambat adrenoseptor beta (Beta blocker) adalah Contoh

(11)

reaksi karena aksi farmakologis primer, sedangkan timbulnya mulut kering

karena pemakaian antidepresi trisiklik merupakan contoh aksi

farmakologis sekunder yang disebabkan aktivitas antimuskarinik. Reaksi tipe A dapat diramalkan dari farmakologi obat yang telah diketahui. Reaksi umumnya tergantung pada dosis. Frekuensi terjadinya cukup sering, namun jarang sekali menimbulkan efek yang serius.

Melalui pengurangan dosis biasanya sudah dapat menghilangkan ROTD, Karena reaksi ini sering terjadi maka ROTD tersebut juga sering dijumpai selama masa uji klinis. Namun adanya efek yang tertunda maka beberapa reaksi tidak akan muncul sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun setelah dipasarkan. Hal ini terjadi dengan ROTD yang muncul pada pemakaian jangka panjang kontrasepsi kombinasi oral.

Reaksi tipe B

Keanehan yang terjadi pada reaksi tipe B ini tidak berhubungan dengan farmakologi obat pada umumnya, misalkan hemolisis dengan metildopa atau trombositopenia dengan penghambat ACE (Angiotensin-Converting Enzyme inhibitors). Reaksi ini terjadi tanpa terkait dengan dosis, namun berkaitan dengan sistem metabolisme obat dan sistem imun tubuh penderita. Reaksi ini lebih jarang di badingkan reaksi tipe A. Namun sering kali menimbulkan efek yang lebih serius dan bahkan mematikan. Reaksi seperti ini sangat sulit untuk bisa diramalkan dan hanya terjadi pada individu yang rentan terhadap reaksi tersebut. Kebanyakan informasi yang ada didapatkan dari kegiatan “Pharmacovilagilance"

(12)

Contoh yang umum terjadi adalah syok anafilaksis setelah pemakaian antibiotika. Contoh lainnya adalah hipertermia ganas setelah pemberian anestesi, anemia aplastik karena pemakaian kloramfenikol. Reaksi tipe B ini hanya bisa dengan jalan menghentikan pemberian obat kepada pasiennya.

Tabel ciri-ciri ROTD tipe A dan B

Tipe A Tipe B

Dapat diramalkan (dari

pengetahuan farmakologisnya)

Tidak dapat diramalkan (dari pengetahuan farmakologisnya)

Tergantung dosis Jarang tergantung dosis

Morbiditas tinggi Morbiditas rendah

Mortalitas rendah Mortalitas tinggi

Dapat ditangani dengan pengurangan dosis

Dapat ditangani hanya dengan penghentian pengobatan

Angka kejadian tinggi Angka kejadian rendah

II. 4 Epidemiologi

Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengamati kejadian pada ROTD pada pasien yang menjalani pengobatan. Secara rata-rata telah ditemukan bahwa 5% pasien yang masuk rumah sakit adalah karena ROTD. Disamping itu pada pasien yang dirawat dirumah sakit , 10-20% diantaranya mengalami ROTD selama menjalani perawatan. Akibatnya dari mengalami ROTD tersebut maka sekitar 50% dari pasien ini akan tinggal lebih lama di rumah sakit.

(13)

Namun sangat sulit untuk memperkirakan secara tepat kejadian yang benar-benar merupakan ROTD. Hal ini disebabkan adanya perbedaan dalam pendeteksian dan pemantauannya serta adanya efek-efek subjektif seperti mual dan sakit kepala.

II. 5 Identifikasi ROTD

Hal yang perlu diperhatikan dalam mengidentifikasi ROTD ini adalah bahwa sering kali sulit untuk membuktikan suatu obat mempunyai hubungan penyebab dengan gejala yang dialami pasien. Sering kali ROTD tampak seperti penyakit yang lain dan banyak gejala yang terkait dengan ROTD muncul pada pasien yang sehat. Namun adanya dugaan bahwa suatu obat menyebabkan ROTD telah cukup untuk melakukan suatu tindakan.

Beberapa pasien mungkin dapat membedakan sendiri suatu ROTD dari gejala-gejala lain yang mereka alami. Namun di dalam mengidentifikasikan apakah gejala tersebut termasuk ROTD atau bukan merupakan keterampilan yang perlu dimiliki oleh farmasis. Kumpulan beberapa informasi yang relevan berkaitan dengan gejala tersebut penting untuk mengambil kesimpulan yang tepat. Bagian berikut ini akan mempertimbangkan informasi apa yang diperlukan dan bagaimana menggunakannya dalam mengembangkan sebuah kesimpulan tentnag gejala yang tampak.

Perkembangan yang pesat dalam penemuan, penelitian dan produksi obat untuk diagnosis, pengobatan, maupun pencegahan telah

(14)

menimbulkan berbagai reaksi obat yang tidak diinginkan (ROTD) yang disebut reaksi adversi. Reaksi tersebut tidak saja menimbulkan persoalan baru di samping penyakit dasarnya, tetapi kadang-kadang dapat membawa maut. Hiperkalemia, intoksikasi digitalis, keracunan aminofilin, dan reaksi anafilaktik merupakan contoh ROTD yang potensial sangat berbahaya. Gatal karena alergi obat, dan efek mengantuk antihistamin merupakan contoh lain reaksi ROTD obat yang ringan. Karena pada umumnya adversi obat dan pada khususnya alergi obat sering terjadi dalam klinik, pengetahuan mengenai diagnosis, penatalaksanaan dan pencegahan masalah tersebut amat penting untuk diketahui.

II. 5. 1 Faktor-Faktor yang mempengaruhi ROTD

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya reaksi obat yang tidak dinginkan yaitu: polifarmasi, jenis kelamin, kondisi penyakit yang di derita, usia, ras, dan poliformisa genetika.

1. Polifarmasi

Kejadian-kejadian ROTD tampak muncul secara eksponensial jika jumlah obat yang digunakan juga bertambah banyak. Peresepan (prescribing) semacam ini sering terjadi pada penderita lanjut usia atau pada penderita yang mengalami beberapa penyakit sekaligus. Kedua kelompok penderita ini sangat berisiko untuk mengalami ROTD tertentu.

(15)

2. Jenis Kelamin

Reaksi obat yang tidak dikehendaki lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria. Namun belum ada penjelasan tentang mengapa hal ini bisa terjadi. Contoh dalam praktik dapat dilihat bahwa wanita lebih cenderung mengalami ROTD akibat digoksin, kaptopril.

3. Kondisi penyakit yang di derita

Adanya penyakit lain yang menyertai dapat mempengaruhi respons obat dan munculnya ROTD secara bermakna melalui perubahan proses farmakokinetika atau kepekaan jaringan. Penderita yang mengalami gangguan fungsi ginjal dan hati akan mengalami risiko ROTD yang lebih tinggi dari obat – obat yang dieliminasi melalui rute ini. Keadaan hamil dan melahirkan sering kali juga mempengaruhi respon obat. Penyakit lain juga mempengaruhi penderita terhadap terjadinya ROTD, misalnya penderita yang positif mengidap HIV atau AIDS yang menggunakan kotrimoksazol. Penderita yang berada dalam keadaan sakit kritis juga akan berbeda dalam menangani obat yang ada dalam tubuhnya.

Penyakit dapat mengubah fungsi normal tubuh dan sebagai akibatnya farmakokinetik dan farmakodinamik banyak obat juga mengalami perubahan. Variasi perbedaan dalam respon farmakologi dapat disebabkan oleh perubahan eliminasi atau metabolisme obat atau dipengaruhi oleh status patologik lain. Perubahan patologik dalam tubuh dapat menyebabkan sistem organ tertentu menjadi lebih sensitif

(16)

terhadap kerja farmakologi suatu obat. Misalnya suatu obat antimuskarinik dapat ditoleransi baik oleh laiki-laki muda sehat, tetapi dapat menyebabkan retensi (penimbunan) urin dalam seorang laki-laki tua dengan hipertropi prostatik (pembesaran prostat).

4. Usia

Pasien lanjut usia akan lebih sering mengalami ROTD dibandingkan pasien yang lebih muda. Hal ini dimungkinkan antara lain karena pasien lanjut usia lebih sering mendapatkan terapi obat. Namum, hal ini satu satunya penyebab. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya ROTD pada lanjut usia adalah perubahan farmakokinetika: absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat, yang faktor-faktor tersebut sangat tergantung pada kondisi organ-organ tubuh penderita. Neonatus, khususnya yang prematur, juga beresiko lebih tinggi untuk mengalami ROTD. Pada tahap neonatus ini enzim-enzim yang terlibat dalam metabolisme dan distribusi obat masih belum berkembang sempurna. Oleh karena itu obat–obat dengan indeks terapi sempit perlu digunakan dengan lebih berhati-hati. Obat-obat lain yang berbahaya bagi neonatus termasuk morfin, kloramfenikol, golongan barbiturat, dan sulfonamida. 5. Ras dan polimorfisa genetika

Faktor keturunan telah ditunjukkan mempengaruhi individu terhadap peningkatan toksisitas obat, seperti suksinilkolin, isoniazid, inhibitor MAO dan obat-obat lain. Pasien beragam dalam kemampuan mereka untuk membiotransformasi obat-obat ini, dan ini dapat mengakibatkan

(17)

peningkatan konsentrasi serum dengan akibat toksisitas. Kekurangan glukosa 6-fosfat dehidrogenase (G6PD) adalah contoh lain dari peranan pengaruh genetik pada kesakitan yang diimbas obat. Pasien dengan jumlah enzim yang kurang ini, dapat mengalami anemia hemolitik (rentang hidup eritrosit pendek) yang amat sangat pada pemaparan obat oksidan, seperti dapsone, sulfapiridin atau primakuin. Banyak ROTD yang semula diduga sebagai ROTD tipe B ternyata disebabkan faktor genetik. Perbedaan ras dan genetik mungkin dapat mempengaruhi proses pengobatan di dalam tubuh. Sebagai contoh, perbedaan secara genetik tampak dalam laju metabolisme pada banyak obat sehingga meskipun obat diberikan dengan dosis yang sama dalam mg/kg akan menghasilkan variasi kadar yang sangat besar di dalam plasma pada pasien yang berbeda. Beberapa jenis ras juga akan mempunyai resiko untuk mengalami ROTD yang lebih besar dibanding dengan ras yang lain. Misalnya orang Amerika (yang berasal dari Afrika) dan orang Mediteranean mempunyai resiko terjadinya hemolisis yang lebih tinggi bila menggunakan obat-obatan golongan sulfon (misalnya dapson), 4-kuinolon (siprofloksasin, ofloksasin, asam nalidiksat), antimalaria (primakuin, kuinin) dan aspirin. Hal ini disebabkan lebih banyak orang dari golongan ras tersebut mengalami defisiensi enzim glukosa-6-fosfatdehidrogenase (G6PD).

(18)

II. 6 Hubungan Reaksi dengan Obat yang Dicurigai (Derajat Kepastian)

Guna menetapkan kemungkinan reaksi yang dicurigai dan disebabkan oleh suatu obat tertentu, adalah mungkin berguna menetapkan suatu dengan kepastian berdasarkan pedoman. Karch dan Lasgna membagi atas lima derajat kepastian, yaitu:

1. Pasti (Definite)

- Hubungan sementara yang jelas antara pemberian obat dan reaksi.

Urutan waktu pemberian obat dan terjadinya reaksi adalah wajar.

- Adanya penegasan laboratorium dan/atau

- Kejadian berhenti dengan menghentikan obat

- Kejadian kembali, dengan pemberian obat itu kembali

- Kejadian itu berkaitan dengan apa yang diketahui tentang obat.

ROTD pasti adalah suatu reaksi yang mengikuti rentetan sementara yang wajar dari pemberian obat atau konsentrasi obat telah ditetapkan dalam cairan tubuh atau jaringan; yang mengikuti suatu pola respons dan diketahui dari obat yang dicurigai; dan yang telah ditegaskan dengan perbaikan setelah penghentian obat (tarik tantangan/ dechallenge) dan timbulnya kembali reaksi dengan pemaparan/ pemberian obat (tantang kembali/ rechallenge)

2. Dapat Mungkin (Probable)

- Urutan waktu pemberian dan terjadinya reaksi adalah wajar

(19)

- Perbaikan setelah penghentian obat jika tidak ada obat lain yang dihentikan

- Tidak secara wajar diterangkan oleh penyakit pasien

- Suatu reaksi yang tidak biasa dari obat dengan tidak hadirnya faktor

lain

ROTD yang dapat mungkin (possible) adalah suatu reaksi yang mengikuti rentetan sementara yang wajar dari pemberian obat, yang mengikuti suatu pola respons yang diketahui dari obat yang dicurigai; yang dipastikan dengan penghentian obat (dechallenge), dan yang tidak dapat diterangkan dengan layak oleh karakteristik yang diketahui dari status klinik pasien.

3. Mungkin (Possible)

- Urutan waktu pemberian dan terjadinya reaksi adalah wajar

- Berkaitan dengan apa yang diketahui dari obat itu

- Dapat merupakan akibat penyakit pasien atau terapi lain

- Sembuh setelah penghentian obat

- Hubungan sementara antara pemberian obat dan reaksi tidak jelas

ROTD yang mungkin adalah suatu reaksi yang mengikuti suatu pola respons yang diketahui dari obat yang dicurigai, tetapi yang telah dihasilkan oleh status klinik pasien atau cara lain dari terapi yang diberikan pada pasien.

(20)

4. Bersyarat (Conditional) ROTD bersyarat adalah :

- Suatu reaksi yang mengikuti rentetan sementara yang wajar dari

pemberian obat

- Suatu reaksi yang tidak mengikuti pola respons yang telah diketahui

dari obat yang dicurigai

- Namun, tidak dapat dijelaskan dengan layak oleh karakteristik yang

diketahui dari status klinik pasien

Kategori ini digunakan untuk mencegah hilangnya reaksi yang dicurigai terdahulu dan membantu mengidentifikasi ROTD yang baru. 5. Sangsi/ Ragu-Ragu (Doubtful)

ROTD yang meragukan ialah setiap reaksi yang tidak memenuhi kriteria tersebut di atas.

II. 7 Kriteria Untuk Mengidentifikasi ROTD

Begitu ada gejala yang diduga sebagai ROTD, rincian tentang pengobatan pasien perlu juga dimiliki termasuk obat bebas dan obat bebas terbatas (over-the-counter) serta obat tradisional, jadi tidak hanya obat–obatan yang diresepkan oleh dokter saja. Ketika menanggapi gejala yang disampaikan oleh pasien terdapat beberapa hal yang dapat dinyatakan dengan tujuan untuk mengindentifikasi apakah terdapat reaksi yang berkaitan dengan kemungkinan adanya ROTD. Hal hal tersebut adalah waktu, dosis, sifat permaalahan, pengalaman, penghentian/ keterulangan.

(21)

1. Waktu

Kapan kejadian ROTD tersebut muncul? Apakah terjadi sesaat setelah minum obat ataukah berselang dalam waktu yang lama? Apakah reaksi tersebut terkait dengan pemakaian obat? Relative mudah untuk mengenali suatu ROTD yang terjadi segaera setelah pemakaian obat. Namun, bila telah berlangsung beberapa minggu, hubungan antara suatu obat dan ROTD menjadi lebih sulit ditentukan. Banyak reaksi terjadi diawal masa pengobatan, misalnya anafilaksis reaksi yang terjadi karena kecacatan enzim genetik, bahkan terjadi pada pemberian dosis pertama. Kemungkinan lain, suatu reaksi penting dapat berkembang dengan tanpa diduga dan bebahaya dalam periode

pengobatan yang panjang (misal katarak yang disebabkan

kortikosteroid, fibrosis retroperitoneal dari metisergid). Reaksi lainnya (missal peritonitis, sklerosing karena pemakaian praktolol). Hanya akan muncul dalam waktu yang lama setelah pemakaian obat yang dihentikan. Beberapa reaksi (missal kanker, retinopati klorokuin dan fibrosis retroperitoneal) dapat muncul beberapa bulan atau tahun setelah terpapar obat. Pada beberapa kasus, dimungkinkan bahwa timbulnya ROTD terjadi setelah pemakaian obat tersebut dihentikan, seperti pada gejala putus obat bensodiazepin (bensodiazepin with drawel syndrome). Gejala putus obat ini dapat terjadi setiap saat sampai dengan tiga minggu setelah penghentian bensodiazepin bermasa kerja lama (long acting), namun biasa juga terjadi beberapa

(22)

jam bila menggunakan bensodiazepin bermasa kerja singkat (sort acting). Gejala putus obat ditandai dengan insonmnia, anseitas, kehilangan nafsu makan dan penurunan berat badan, tremor, berkeringat, telinga mendengung dan gangguan perpesi. Beberapa gejala dapat berlangsung sampai beberap minggu atau bulan setelah penghentian bensodiazepin.

2. Dosis

Dosis yang diberikan untuk sebagian besar menentukan apakah seorang pasien akan mengalami toksisitas. Bagaimana seorang pasien tertentu mengabsorbsi, memetabolisme, dan mengekskresi suatu obat (farmakokinetik) adalah faktor penentu utama yang lain dari efek yang dihasilkan. Perubahan dalam proses ini dapat menyebabkan konsentrasi tinggi yang abnormal pada obat, pada tempat reseptor dan mengakibatkan efek yang berlebihan. Misalnya, jika seseorang memberikan dosis normal dari antibiotik aminoglikosida pada seorang pasien dengan laju filtrasi glomerulus yang telah berkurang, maka ada kemungkinan bahwa akumulasi obat akan terjadi dengan akibat toksisitas ginjal. Apakah dosis yang diberikan kepada pasien dengan kondisi tertentu terlalu besar? Dalam hal ini sebagai contoh adalah pasien lanjut usia yang mengalami gangguan eliminasi obat. Dapat juga terjadi bahwa pemakaian obat yang kedua akan meningkatkan kadar obat pertama dalam didalam darah, misalnya pada teofilin yang dipakai bersama simetidin, yang merupakan penghambat enzim. Metabolisme

(23)

teofilin akan dihambat oleh simetidin sehingga kadar teofilin dalam darah akan meningkat dan akhirnya muncul ROTD yang disebabkan oleh teofilin.

3. Sifat Permasalahan

Apakah ciri-ciri reaksi yang diduga sebagai ROTD tersebut sama dengan sifat farmakologi obatnya? Hal ini akan membantu kita didalam mengidentifikasi sebagai ROTD tipe A.

4. Pengalaman

Apakah reaksi yang muncul tersebut mirip dengan reaksi yang pernah dilaporkan dipustaka? Pustaka yang dapat dijadikan sebagai acuan antara lain Meyler’Slide Effects of Drugs ,British National Formulary : The Drug Complete Reference, AHFS Drug Information. Tentu saja tidak semua ROTD akan tercatat dalam pustaka dan sangat dimungkinkan akan muncul suatu reaksi yang baru atau belum dilaporkan. Oleh karena itu sebagai seorang farmasis anda harus siap untuk menghadapi dan mengatasinya bila terjadi dalam praktik. Disamping itu bila dijumpai suatu ROTD yang baru muncul atau ROTD berkaitan dengan obat yang baru dipasarkan diharapkan untuk dilaporkan kepada lembaga terkait, seperti Badan POM. Selain itu penting juga untuk memperhatikan tempat-tempat yang sering mengalami ROTD sejumlah gambar telah tersedia sebagai panduan cepat untuk melihat lokasi terjadinya ROTD dan obat-obatan yang menjadi penyebabnya.

(24)

5. Penghentian/ Keterulangan ( “ dechallenge/ rechallenge “ )

Apa yang terjadi apabila pemakaian obat dihentikan? Bagaimana jika disuatu hari kelak obat yang menimbulkan ROTD tersebut digunakan kembali, apakah reaksinya muncul kembali?. Apabila gejala ROTD berhenti setelah pemakaian obat dihentikan dan terjadi kembali pada pemakaian obat berikutnya, maka dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan penyebab timbulnya ROTD tersebut. Namun, tidak semua ROTD akan berhenti seketika setelah pemakaian obat dihentikan dan beberapa reaksi mungkin tidak dapat berubah (irreversible).

Setelah informasi-informasi diatas terkumpul, maka diperlukan suatu metode yang rasional untuk dapat menetapkan suatu kesimpulan tentang kemungkinan adanya suatu ROTD. Salah satu pendekatan yang sistematis adalah dengan menggunakan Alogaritma.

Sebagai contoh dalam menggunakan Alogaritma, misalkan seorang pasien mengeluh tentang dyspepsia. Pasien tersebut telah minum Ibuprofen selama setahun dan gejala dyspepsia hanya muncul setelah Ibuprofen diminum. Dimulai dari pertanyaan yang pertama pada Alogaritma, tampak bahwa gejala yang muncul terkait dengan waktu pemakaian obat. Kedua, pada saat pengobatan dihentikan gejalanya juga hilang. Ketiga, gejalanya berkurang pada masa penghentian pemakaian obat.

Dari tahap keempat dan kelima dapat dipastikan bahwa gejala muncul kembali pada penggunaan obat selanjutnya. Dapat disimpulkan

(25)

bahwa terdapat hubungan penyebab yang sangat tinggi antara pemakaian obat dan gejala yang muncul.

Algoritma yang dipakai oleh Farmasis Food and drug Administration AS untuk mengidentifikasi ROTD.

II. 8 Tinjauan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki

Tidak ada mawar terapi yang tidak mempunyai duri. Duri obat modern adalah reaksi merugikan. Pembuatan keputusan terapi adalah peranan menyeimbangkan manfaat yang mungkin dari obat modern, versus bahaya yang mungkin yang dapat disebabkannya. Untuk

(26)

mengevaluasi secara tepat rasio manfaat terhadap resiko ini, semua manfaat dan semua resiko harus dikaji. Untuk alasan ini, praktisi klinik harus secara terus-menerus mengevaluasi pasien terhadap duri terapi. II. 8. 1 Akibat ROTD

Telah dibuktikan ialah meningkatnya kesakitan dan kematian. Pasien yang mengalami ROTD juga menderita akibat ekonomi yang disebabkan masuk rumah sakit, meningkatnya waktu tinggal di rumah sakit dan pengobatan komplikasi.

ROTD yang terjadi dapat memperburuk penyakit dasar yang akan diobati, menambah permasalahan baru dan bahkan kematian. Keracunan dan syok anafilaktik merupakan contoh ROTD yang berat yang dapat menyebabkan kematian, sedangkan sebagai contoh yang ringan adalah rasa gatal dan mengantuk. Jenis ROTD sangatlah banyak, dari yang dapat diperkirakan akan timbul sampai yang tidak kita perkirakan yang potensial membahayakan keselamatan jiwa pasien.

ROTD dapat digolongkan atas beberapa subgolongan, yaitu (1) Reaksi yang terjadi dengan frekuensi yang cukup, seperti diharapkan, di antisipasi, dan barang kali dapat dicegah; (2) Reaksi yang terjadi sangat jarang dan diketahui sebagai idiosinkratik atau reaksi hipersensitivitas dan (3) Reaksi yang sebelumnya belum diuraikan. Jelas golongan terakhir perlu didokumentasikan dan dilaporkan sebagai kontribusi pada pemahaman obat.

(27)

II. 8. 2 Kebutuhan untuk Pemantauan Terus Menerus

Banyak klinisis menganggap bahwa keamanan dan efikasi dari semua obat baru telah ditetapkan sebelum persetujuan Badan POM untuk dipasarkan, tetapi kebanyakan obat disetujui untuk dipasarkan setelah studi fase III yang terbatas dalam ukuran populasi (biasanya antara 700 dan 3000 pasien). Hanya reaksi yang paling umum akan terdeteksi dalam ukuran sampel ini; sedang ROTD yang tidak umum atau jarang akan lewat tidak terdeteksi. Studi fase III biasanya tidak menyertakan pasien dengan penyakit atau obat lain, durasi jangka pendek (biasanya satu sampai dua tahun), dan tidak secara lengkap, merefleksikan bagaimana obat akan digunakan dalam praktek klinik. Juga, apabila obat yang telah disetujui digunakan untuk indikasi baru dalam populasi pasien yang berbeda, ROTD yang belum dilaporkan sebelumnya dapat terjadi. Tikrinafen dan benoksaprofen adalah contoh obat yang ditarik dari perdagangan setelah persetujuan FDA, sebab ROTD terdeteksi setelah digunakan dalam suatu populasi umum.

II. 8. 3 Pelaporan Spontan

Untuk alasan tersebut di atas, diperlukan surveilan obat pascapemasaran obat terus menerus setelah suatu obat disetujui untuk penggunaan dalam populasi umum. Diharapkan agar praktisi individual mengkaji penggunaan obat guna mendeteksi, pengkajian, dan pelaporan ROTD. Pelaporan individu secara spontan sering kali menyiagakan semua ROTD yang secara klinik penting, tetapi tidak dilaporkan. Pelaporan

(28)

spontan dapat menggiring ke studi yang lebih rinci untuk menetapkan kejadian, mekanisme, dan signifikansi suatu ROTD tertentu.

Sistem pelaporan spontan adalah system pelaporan formal yang dirancang untuk mencatat, mengolah, dan menganalisis terjadinya reaksi obat yang tidak diinginkan. Sistem ini pada umumnya dipakai untuk mengidentifikasi munculnya reaksi-reaksi yang baru muncul. Apabila hanya seorang saja yang mengamati ROTD terkait dengan pemakaian obat tertentu, maka reaksi yang diamatinya tersebut bisa saja kurang dapat dipertimbangkan. Namun, jika beberapa pelapor melaporkan reaksi yang sama kepada suatu pusat yang menampung pelaporan ROTD, maka reaksi tersebut dapat dijadikan pertimbangan akan tingkat keseriusannya.

Terdapat beberapa alasan mengapa reaksi obat yang tidak diinginkan perlu dilaporkan, antara lain pada saat obat berada pada fase uji klinis, jumlah subjek yang dilibatkan dalam penelitian tersebut terlalu kecil dibandingkan dengan jumlah calon pemakai obat tersebut di kemudian hari setelah dipasarkan sehingga masih memungkinkan untuk timbulnya reaksi yang tidak terdeteksi selama uji klinis dilakukan. Sebagai subjek penelitian yang dilibatkan umumnya adalah subjek normal, sedangkan golongan-golongan tertentu seperti anak-anak, wanita hamil, lanjut usia, pasien dengan kondisi komplikasi tidak pernah dilibatkan dalam uji klinis tersebut. Di samping itu perlu juga diwaspadai munculnya ROTD yang tertunda setelah pemakaian obat.

(29)

Pelaporan spontan dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu dilaporkan sebagai artikel dalam suatu jurnal, dilaporkan ke produsennya, dilaporkan secara lokal ditiap-tiap rumah sakit. Di Indonesia telah dibuat metode pelaporan melalui formulir Monitoring Efek Samping Obat yang dikelola oleh BPOM.

Tujuan utama MESO adalah untuk mengetahui sedini mungkin setiap kemungkinan timbulnya efek obat yang tidak diinginkan yang terjadi di Indonesia untuk mencegah meluasnya kejadian efek samping serupa. Cara pelaksanaan MESO di Indonesia adalah dengan cara pelaporan sukarela (voluntary reporting), dengan menggunakan formulir pelaporan (form kuning) yang disebarluaskan kepada para pelapor (tenaga kesehatan). Setiap pelaporan akan dievaluasi dan dianalisa oleh Panitia MESO Nasional, kemudian diteruskan ke Pusat Kolaborasi Internasional WHO mengenai MESO serta memberikan umpan balik kepada pelapor.

Masalah klasik yang sering kali dihadapi dalam pelaporan spontan ini adalah rendahnya jumlah laporan kejadian ROTD yang terkumpul (under reporting). Di Negara maju seperti Inggris, untuk reaksi yang serius hanya 10% saja yang dilaporkan kepada Committee on Safety of Medicines dan untuk ROTD yang ringan hanya 2-4% yang dilaporkan. Hal ini disebabkan sistem pelaporan yang dilakukan di Inggris (‘yellow card system’) sukarela berdasarkan kesadaran tenaga kesehatan yang melaporkan. Pelaporan yang sukarela ini sama halnya yang terjadi di Indonesia. Masalah under reporting ini akan sangat kecil kemungkinan

(30)

terjadinya di negara-negara yang mewajibkan melaporkan setiap ROTD yang dijumpai dalam praktek, seperti yang terjadi di Perancis, Norwegia, dan Swedia.

Masalah under reporting ini menyebabkan tidak tersedianya data tentang jumlah pasien sebenarnya yang mengalami reaksi tertentu, di samping itu juga tidak dapat diketahui jumlah pasien yang menggunakan atau telah terpapar suatu obat tertentu. Tanpa data tersebut maka akan sangat sulit untuk menentukan tingkat kejadian suatu reaksi yang diduga sebagai penyebab ROTD tersebut.

Untuk meminimalkan terjadinya under reporting tersebut dapat dilakukan sistem pelaporan lokal sebagai alternatif, terutama di rumah sakit. Sistem pelaporan ini sebaiknya dikoordinir oleh farmasis yang bekerja di instalasi farmasi, namun akan lebih tepat lagi bila ditangani oleh farmasis yang bekerja di pusat informasi obat. Dengan sistem pelaporan secara local ini diharapkan agar tenaga kesehatan menjadi lebih terdorong untuk melaporkan ROTD yang dijumpai pada pasiennya. Metode yang dapat dipilih untuk melaporkan adalah dengan melalui formulir atau lewat jaringan telepon yang ada di rumah sakit tersebut.

Tabel Informasi yang perlu terdapat dalam formulir lokal

• Nama pasien

• Nomor rekam medik

• Ruangan dan nomor tempat tidur

• Obat yang diduga sebagai penyebab ROTD

• Rincian ROTD yang diduga

• Nama pelapor

• Staus pelapor (dokter, farmasis, perawat, dll)

(31)

Keuntungan sistem pelaporan lokal ini antara lain dapat memacu tenaga kesehatan yang ada di rumah sakit untuk selalu melaporkan ROTD, pelaksanaannya tidak terlalu rumit, berkesinambungan, hasil laporan dapat diolah untuk dievaluasi bagi kepentingan rumah sakit dan dapat dipublikasikan sebagai peringatan bagi tenaga kesehatan yang lainnya.

Untuk melaksanakan pelaporan lokal ini diperlukan beberapa perangkat, seperti formulir pelaporan bila menggunakan metode formulir, tim investigasi ROTD, tim penilai ROTD, laporan rutin. Di samping itu diperlukan adanya sosialisasi dan komitmen untuk berlangsungnya sistem ini. Di Inggris sekarang farmasis juga didorong untuk melaporkan kejadian ROTD yang diduga karena penggunaan obat, baik yang diresepkan maupun yang dibeli ‘over-the-counter’, baik obat konvensional maupun obat herbal atau tradisional.

II. 9 Pencegahan dan Penatalaksanaan ROTD

Saat ini sangat banyak pilihan obat yang tersedia untuk efek farmakologik yang sama. Masing-masing obat mempunyai keunggulan dan kekurangan masing-masing, baik dari segi manfaat maupun kemungkinan efek sampingnya. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah, jangan terlalu terpaku pada obat baru, di mana efek-efek samping yang jarang namun fatal kemungkinan besar belum ditemukan. Sangat bermanfaat untuk selalu mengikuti evaluasi mengenai manfaat dan risiko obat, dari berbagai pustaka maupun dari pertemuan-pertemuan ilmiah.

(32)

Selain itu penguasaan terhadap efek samping yang paling sering dijumpai atau paling dikenal dari suatu obat akan sangat bermanfaat dalam melakukan evaluasi pengobatan.

Upaya pencegahan

1. Antisipasi dengan pemantauan pasien

Sebenarnya, lebih diinginkan untuk mencegah atau meminimalkan akibat suatu ROTD. Hal ini dilakukan dengan mengkaji pasien dan mengantisipasi ROTD yang mungkin dapat terjadi dalam pasien. Misalnya, beberapa obat tertentu menyebabkan anemia hemolitik pada pasien yang kekurangan glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD). Pasien dengan risiko tinggi untuk kondisi ini perlu ditapis untuk kerja G6PD sebelum pemberian suatu obat yang kemungkinan besar menyebabkan ROTD.

2. Antisipasi pengurangan dosis

Pengurangan dosis sebelum memulai terapi perlu diantisipasi untuk pasien tertentu. Misalnya, pasien dengan fungsi ginjal yang rusak, baik disebabkan penyakit ataupun karena usia lanjut, harus menerima dosis yang dikurangi dari tiap obat yang diekskresi tidak berubah dalam urin. Pengurangan dosis obat yang dikeluarkan melalui ginjal dan

didasarkan perkiraan bersihan kreatinin, dimaksudkan untuk

mencegah atau meminimalkan ROTD yang berkaitan dengan obat tersebut.

(33)

3. Pemantauan kadar serum obat

Banyak ROTD dikaitkan dengan kadar serum obat. Contoh, obat-obat

ini adalah teofilin, antikonvulsan, antiaritmia, asetosal, dan

aminoglikosida. Pemantauan yang tepat kadar serum menggunakan asas farmakokinetik dasar akan mencegah banyak ROTD yang disebabkan oleh kadar di luar rentang terapi.

4. Pemantauan kerja farmakologi

ROTD berkaitan dengan banyak obat. ROTD dapat memperpanjang sifat farmakologi obat-obat tersebut. Misalnya, diuretika diberikan untuk meningkatkan pengeluaran garam dan air, tetapi dapat menyebabkan kehabisan elektrolit dan dehidrasi. Warfarin diberikan sebagai suatu antikoagulan, tetapi dapat menyebabkan pendarahan. Pencegahan efek toksis demikian mencakup penetapan titik akhir terapi dan seleksi teknik, serta frekuensi pemantauan yang tepat guna memastikan bahwa titik akhir tidak dilewati.

Kunci untuk pencegahan dan meminimalkan ROTD umum atau yang dapat diramalkan adalah antisipasi. Seperti yang diuraikan, banyak ROTD dapat dicegah jika sebelum memulai terapi, pasien individu dievaluasi terhadap perkembangan yang mungkin dari suatu ROTD selama terapi. Berdasarkan informasi khusus pasien dan pengetahuan yang cermat dari obat, titik akhir dan teknik pemantauan yang tepat dapat diseleksi sebelum pasien menerima obat.

(34)

Sebagai tenaga profesional terakhir sebelum obat diserahkan kepada pasien, sangatlah jelas diperlukan diketahui bahwa farmasis mempunyai peranan yang penting dalam mencegah terjadinya ROTD. Untuk itu diperlukan suatu pendekatan yang dapat dipakai untuk memeriksa secara teliti resep obat yang akan digunakan pasien serta bagaimana menanggapi gejala-gejala yang dikeluhkan pasien.

Sebagai salah satu contoh dalam mencegah terjadinya ROTD adalah menghentikan pemberian penghambat adrenoseptor-beta (beta bloker) bagi penderita asma karena dapat memperburuk asmanya atau memberikan konseling agar pasien yang menggunakan obat-obat AINS agar diminum setelah makan untuk mencegah iritasi pada saluran cerna.

Model Pemeriksaan Resep

• Memeriksa keabsahan resep

• Peninjauan resep-status penyakit

• Adakah obat-obat yang memerlukan perhatian khusus

• Apakah obat sesuai dengan kelompok pasien ini

• Masalah klinis-kemungkinan terjadinya ROTD, interaksi

• Diskusi dengan dokter atau tenaga medis lainnya

(35)

British National Formulary mendiskripsikan beberapa cara mencegah reaksi yang tidak diinginkan:

a. Jangan menggunakan obat bila tidak diindikasikan dengan jelas. Jika pasien sedang hamil, jangan gunakan obat kecuali benar-benar diperlukan.

b. Alergi dan idiosinkrasi merupakan penyebab penting ROTD. Tanyakan apakah pasien pernah mengalami reaksi sebelumnya. c. Tanyakan jika pasien sedang menggunakan obat-obatan lainnya

termasuk obat yang dipakai sebagai swamedikasi; hal ini dapat menimbulkan interaksi obat.

d. Usia dan penyakit hati atau ginjal dapat mengubah metabolisme dan ekskresi obat, sehingga dosis yang lebih kecil diperlukan. Faktor genetik mungkin juga berpengaruh pada variasi dalam metabolisme, khususnya isoniazid dan antidepresan trisiklis.

e. Resepkan obat sesedikit mungkin dan berikan petunjuk yang jelas kepada pasien lanjut usia dan pasien yang kurang memahami petunjuk yang rumit.

f. Jika memungkinkan gunakan obat yang sudah dikenal. Dan menggunakan suatu obat baru perlu waspada akan timbulnya ROTD atau kejadian yang tidak diharapkan.

g. Jika kemungkinan terjadinya ROTD yang serius, pasien perlu diperingatkan.

(36)

Penatalaksanaan

Sekarang ini hanya sedikit alat yang dapat membantu evaluasi dan penatalaksanaan pasien dengan reaksi akibat obat. Alat tersebut belum ada karena keterbatasan pengetahuan mengenai patofisiologi dan factor predisposisi timbulnya kebanyakan reaksi tersebut. Meski dengan segala keterbatasan pasien tetap harus dapat ditangani. Pendekatan terhadap pasien alergi obat harus secara metodologis. Pertama hubungannya dengan obat harus dapat dibuktikan. Setelah hal tersebut dapat dibuktikan, tipe reaksi harus dapat ditentukan sebisa mungkin. Untuk reaksi tipe A, modifikasi dosis sebelum diberikan merupakan satu-satunya hal yang perlu dikerjakan. Toksisitas, serta efek samping dan efek sekunder dapat membaik dengan menurunkan dosis obat. Untuk reaksi tipe B, obat masih dapat diberikan kembali bila reaksi sebelumnya ringan (tinnitus pada pemberian aspirin). Untuk reaksi idiosinkrasi, kewaspadaan yang lebih perlu dipertimbangkan. Pada reaksi yang berat atau mengancam nyawa penderita, obat tersebut tidak boleh diberikan kembali. Pada reaksi yang tidak terlalu berat, tes provokasi dapat dipertimbangkan.

Untuk reaksi tipe B, penatalaksanaannya tergantung dari mekanisme yang mendasari timbulnya reaksi. Bila tes konfirmasi tersedia dan telah divalidasi, tes tersebut harus digunakan untuk menentukan status alergi pasien (tes untuk IgE spesifik penisilin dengan Pre-Pen dan determinan campuran minor). Bila tes tersebut tidak tersedia dan pada kebanyakan kasus memang tidak ada, beberapa pendekatan dapat

(37)

dilakukan. Pendekatan yang paling mudah adalah dengan menghindari obat bila obat alternative tersedia. Bila obat alternative tidak ada, challenge test bertahap dapat dikerjakan bila reaksi yang timbul sebelumnya bukan merupakan reaksi yang diperantarai IgE dan tidak merupakan reaksi yang berat dan membahayakan nyawa penderita. Bila reaksi yang sebelumnya timbul merupakan reaksi yang diperantarai IgE, desensitisasi harus dikerjakan.

1. Avoidance (menghindari paparan)

Merupakan panduan umum, diamana kita harus menghindari penggunaan obat yang telah diketahui menyebabkan reaksi alergi pada pasien, kecuali bila obat tersebut sangat dibutuhkan dan tidak ada obat lain yang dapat menggantikannya.

2. Premedikasi

a. Penggunaan antihistamin H1 sebagai pencegahan tidak dianjurkan, karena tidak dapat mencegah terjadinya syok anafilaktik dan dapat mengaburkan gejala awal alergi obat.

b. Antihistamin H1 yang dikombinasikan dengan steroid telah dibuktikan dapat menurunkan reaksi akibat media kontras radiografi.

3. Desensitisasi

a. Desensitisasi harus dipertimbangkan pada pasien yang pernah mengalami reaksi yang diperantarai IgE terhadap penisilin dan

(38)

memerlukan penisilin untuk terapi infeksi yang berat seperti endokarditis bakterial dan meningitis.

b. Beberapa protocol telah dikemukakan dengan jalur oral maupun parenteral

c. Harus dikerajakan dengan pengawasan khusus dari seorang spesialis.

d. Pemberian secara oral lebih disukai karena lebih kecil kemungkinannya untuk menimbulkan reaksi yang mengancam nyawa.

e. Desensitisasi juga dapat dikerjakan untuk pasien yang memerlukan sulfonamida dan sephalosporin.

Mariyono HH, SuryanaKetut. Adverse Drug Reaction.J PenyDalam, Volume 9 Nomor 2. Mei 2008. hal. 164-72

(39)

II.10. Pengadaan suatu Program Surveilan ROTD

Standar yang ditetapkan rumah sakit dapat digunakan apoteker untuk meningkatkan keterlibatannya dalam suatu program pendeteksian ROTD. Apoteker yang ingin memulai atau menerapkan suatu program ROTD, dapat mengusulkan beberapa metode yang berbeda kepada PFT. Usulan ini mencakup pelaporan sukarela oleh praktisi individu, mengkaji kartu pengobatan pasien, surveilan obat individu dan surveilan unit pasien.

• Pelaporan sukarela

Sistem pelaporan sukarela menggunakan formulir yang tersedia di unit perawwat atau tersedia atas permintaan IFRS. Formulir dapat disediakan oleh badan POM atau formulir yang didesain oleh rumah sakit itu sendiri. Praktisi individu yang harus mencurigai ROTD, meminta formulir, mengisinya dan mengirimkannya ke IFRS.

• Pengkajian kartu pengobatan pasien secara retrospektif

Berbagai metode pengkajian kartu pengobatan pasien telah digunakan. Salah satunya dengan nomor acak dari semua kartu, dikaji untuk ROTD. Hal ini merupakan suatu usul dengan hasil yang rendah karena kebanyakan pasien yang dikaji akan tidak mengalami ROTD. Suatu hasil yang lebih tinggi dapat diperoleh dengan bekerja sama dengan bagian rekaman medik, untuk mengidentifikasi pasien dengan suatu diagnosis akhir dari penyakit yang diimbas obat.

(40)

• Surveilan prospektif dengan audit

Metode surveilan individu, suatu obat tertentu dipantau pada semua pasien. Teknik ini dapat digunakan untuk memantau indikasi yang sebenarnya, seleksi pasien untuk penggunaan dan juga dosis serta ROTD. Kerangka waktunya adalah prospektif dan memungkinkan validasi yang memadai dari suatu ROTD.

• Surveilan prospektif dengan unit pasien

Pada metode ini, suatu unit pasien tertentu atau beberapa unit pasien tertentu dipilih untuk disurvei. Apoteker mengkaji tiap diagnosis dan terapi obat pasien serta bertanggung jawab untuk pemantauan kemajuan dan hasil (outcome) dari rencana pengobatan individu. Surveilan ini dapat dilakukan bersamaan dengan kunjungan ke ruang atau terlepas dari kunjungan ke ruang. Hal ini memungkinkan apoteker untuk mengajukan kecurigaan pada penyakit yang diimbas obat dalam suatu diagnosis pasien.

II. 11. Perbandingan berbagai metode

Tidak ada satu sistem sederhana yang akan mendeteksi semua ROTD. Sementara itu, teknik pemantauan dekat adalah sangat efektif, tetapi menghabiskan waktu, sedang sistem pelaporan sukarela memerlukan sedikit waktu, tetapi tidak efektif. Keefektifan setiap program ROTD bergantung pada seorang individu yang sangat mencurigai obat sebagai suatu penyebab penyakit. Individu ini harus mau dan mampu mengadakan pembuktian ROTD yang memadai. Apoteker secara khas

(41)

memenuhi syarat untuk memenuhi peranan ini. Suatu program yang efektif dapat menggabung beberapa strategi yang diusulkan.

Tabel 1. Perbandingan Sistem Pelaporan ROTD

Jenis Sistem Keuntungan Keterbatasan

• Sukarela • Pengkajian kartu pengobatan retrospektif: - Acak - Selektif • Prospektif: Audit Unit pasien Tidak mahal Tidak mahal Tidak mahal Keabsahan memadai Absah, pencegahan Jarang digunakan Hasil rendah Mengidentifikasi hanya ROTD yang dicurigai Lingkup terbatas Sulit mensurvei seluruh pasien

II. 12. Pembenaran suatu program ROTD

Pengadaan suatu program ROTD dapat dibenarkan dengan 3 alasan:

• Standar untuk akreditasi rumah sakit

Setiap RS harus mempunyai suatu program ROTD untuk memperoleh akreditasi. Program ini dapat digunakan dalam mengkaji dan meningkatkan mutu pelayanan. Jika ROTD yang dapat diramalkan dan dapat dicegah, sering kali terjadi suatu program edukasi dapat diadakan untuk meningkatkan mutu penulisan resep. Revisi formularium diperlukan untuk menghapus obat yang lebih lama serta dapat diganti oleh zat yang lebih efektif dan kurang toksis.

(42)

• Edukasi

Program ROTD juga dapat digunakan untuk edukasi. Dipimpin oleh seorang individu yang mempunyai kecurigaan tinggi pada penyakit yang diimbas obat. Program ROTD akan meningkatkan tingkat kewaspadaan terhadap efek yang berkaitan dengan obat berbasis RS keseluruhan.

• Peningkatan (penyempurnaan) pelayanan pasien

Suatu program ROTD yang intensif dapat dibenarkan berdasarkan peningkatan pelayanan pasien yang sekarang dan apsien yang akan datang. Pemantauan prospektif untuk mencegah ROTD telah menunjukkan pengurangan kejadian ROTD dan pengurangan waktu tinggal di RS. Akibatnya, pelayanan pasien individu ditingkatkan. II. 13. Ciri program ROTD

Suatu program pemantauan dan pelaporan ROTD minimal harus mencakup ciri-ciri sebagai berikut:

1. Program harus mengadakan:

a. Suatu sistem surveilan yang terus-menerus dan concurrent (selama terapi obat) didasarkan pada pelaporan ROTD yang dicurigai oleh apoteker, dokter, perawat atau pasien

b. Suatu sistem surveilan concurrent (berbarengan selama

penggunaan terapi obat) atau prospektif (sebelum terapi obat) untuk obat atau pasien dengan suatu resiko tinggi untuk ROTD

(43)

c. Suatu sistem surveilan concurrent memantau penggunaan berbagai obat “penelusur (tracer)” yang digunakan mengobati ROTD yang biasa (misalnya, order untuk dosis segera dari antihistamin, epinefrin dan kortikosteroid)

2. Dokter penulis resep harus diberi tahu tentang ROTD yang dicurigai 3. Informasi tentang ROTD yang dicurigai harus dilaporkan kepada IFRS

untuk pengumpulan dan analisis data yang lengkap, mencakup nama pasien, sejarah medik, dan pengobatan pasien, suatu uraian dari ROTD yang dicurigai, rentetan kejadian sementara, setiap pengobatan penyembuhan yang diperlukan dan akibatnya

4. Penyebab dari setiap ROTD yang dicurigai harus dievaluasi berdasarkan sejarah medik dan pengobatan pasien, keadan yang merugikan, akibat penarikan tantangan (dechallenge) dan tantang kembali (rechallenge) (jika ada), etiologi alternatif dan suatu kajian pustaka.

5. Suatu uraian tiap ROTD yang dicurigai dan akibatnya harus disokumentasikan dalam rekaman medik pasien.

6. ROTD yang serius atau yang tidak, diharapkan harus dilaporkan pada Badan POM dan pemanufaktur obat tersebut.

7. Semua laporan ROTD harus dikaji dan dievaluasi PFT

8. Informasi laporan ROTD harus disebarkan kepada anggota staf profesional pelayanan kesehatan untuk maksud edukasi. Kerahasiaan pasien harus dilindungi

(44)

9. Temuan dari suatu program pemantauan dan pelaporan ROTD harus digabung ke dalam kegiatan jaminan mutu RS yang terus-menerus. II.14. Manfaat program pemantauan dan pelaporan ROTD

Suatu program pemantauan dan pelaporan ROTD yang terus-menerus dapat membantu untuk:

1. Memberikan suatu ukuran mutu pelayanan farmasi melalui identifikasi ROTD yang dapat dicegah dan surveilan antisipatori untuk obata atau apsien beresiko tinggi

2. Penyempurnaan kegiatan dan upaya manajemen resiko RS untuk meminimalkan tuntutan ganti rugi

3. Mengkaji keamanan terapi obat, terutama obat baru 4. Mengukur laju kejadian ROTD sepanjang waktu

5. Memberi edukasi bagi profesional kesehatan tentang efek obat dan meningkatkan kewaspadaan mereka berkenaan dengan ROTD 6. Menyediakan berbagai temuan penapisan jaminan mutu untuk

digunakan dalam program EPO.

Sepanjang waktu, suatu program pemantauan dan pelaporan ROTD yang terus-menerus, dapat membantu untuk mengukur dampak ekonomi dari ROTD yang dicegah, sebagaimana diwujudkan melalui

pengurangan hospitalisasi, pengurangan penggunaan obat,

penggunaan obat yang efisien dan ekonomis, serta peminimalan tuntutan ganti rugi RS.

(45)

II. 15 Peranan Apoteker

II. 15. 1 Tanggung Jawab Memberi Pelayanan Profesional

Apoteker berada pada persimpangan jalan dari terapi obat dan mereka mempunyai tanggung jawab untuk memberikan pelayanan profesional kepada pasien penerima obat yang ditulis dokter dan juga kepada pasien pengobatan sendiri dengan obat tanpa resep. Tidak ada orang lain yang dilatih serupa, untuk mengetahui kerja, interaksi, efek samping, dan bahan-bahan untuk rentang pengobatan yang begitu luas. Peranan apoteker berlanjut untuk mengubah dan dalam banyak rumah sakit, apoteker mempunyai pengaruh yang besar pada seleksi obat dan pemberian obat. Melalui perkembangan dan penerapan sistem penghantaran obat yang disempurnakan pada pelayanan farmakokinetik, apoteker telah membuat kemajuan pesat dalam mengurangi kesalahan obat dan pencegahan ROTD.

II. 15. 2 Evaluasi Obat Baru

Di berbagai rumah sakit banyak apoteker berpartisipasi langsung dalam mengevaluasi obat baru untuk memastikan bahwa zat yang paling efektif dan paling murah tercantum dalam formularium rumah sakit. Apoteker yang telah praktik di rumah sakit, bertanggung jawab untuk mengadakan prosedur terdokumentasi untuk perekaman dan pelaporan ROTD.

(46)

II. 15. 3 Edukasi Masyarakat

Apoteker diminta secara meningkat untuk mengambil peranan yang lebih aktif dalam edukasi masyarakat, mengenai penggunaan obat yang aman dan efektif. Tanggung jawab yang baru ini akan dilakukan melalui komunikasi verbal yang meningkat dan juga melalui materi tertulis, dibantu dengan komputer. Selain itu, diharapkan juga bahwa perangkat lunak komputer baru akan tersedia, guna menapis regimen pasien untuk interaksi obat-obat, obat-makanan, dan obat-penyakit yang mungkin juga dapat diharapkan bahwa apoteker berpengetahuan dalam bidang ROTD akan memiliki peluang yang luas, untuk berpartisipasi dalam program surveilan pascapemasaran dan pemantauan untuk pencegahan penyakit yang diimbas obat.

II. 15. 4 Kepemimpinan

Apoteker harus menggunakan kepemimpinan dalam pengadaan, pemeliharaan, dan evaluasi terus-menerus program ROTD serta harus memperoleh pengesahan formal atau persetujuan terhadap program demikian, melalui PFT, komite medik, dan pimpinan rumah sakit.

II. 15. 5 Kemudahan

Apoteker harus memberi kemudahan dalam : 1. Menganalisa setiap ROTD

2. Mengidentifikasi obat dan pasien beresiko tinggi

3. Mengadakan kebijakan dan prosedur untuk program pemantauan serta pelaporan ROTD.

(47)

4. Menguraikan tanggung jawab dan interaksi apoteker, dokter, perawat, profesional kesehatan lain, serta manajer risiko dalam program ROTD 5. Menggunakan program ROTD untuk maksud edukasi.

6. Mengembangkan, memelihara, dan mengevaluasi rekaman ROTD dalam rumah sakit.

7. Penyebaran dan penggunaan informasi yang diperoleh melalui program ROTD.

8. Melaporkan pada Badan POM, ROTD yang serius, dan tidak diharapkan.

II. 16 Penyakit Yang Diimbas Obat dan Studi Kasus II. 16. 1 Reaksi Dermatologi

Disebabkan terapi obat sangat beragam dalam tempat, luas, dan keparahannya. Reaksi ini dapat terjadi secara akut atau terjadi secara berangsur-angsur, hilang dengan cepat atau lambat setelah penghentian zat yang bertanggung jawab atau dapat terjadi pada pasien yang sebelumnya telah menggunakan obat secara kesulitan. Reaksi dari suatu obat dapat dimulai sebagai ruam pada salah satu tangan atau kaki, tetapi dapat pula menyebar dengan cepat ke seluruh tubuh termasuk selaput lender separti pada sindrom Stevens Johnson.

Kira-kira sepertiga dari semua reaksi obat merugikan yang dilaporkan, melibatkan kulit dan kebanyakkan terjadi dalam bentuk campak (morbiliform) urticarial vesicobullous (rasa gatal, bintik merah dan menggelembung) dan pemunculan maculopapular (noda/bintik). Penelitian

(48)

berbasis rumah sakit tentang reaksi dermatologik, mengungkapkan bahwa obat pengganggu yang paling umum adalah alopurinol, ampisillin, penicillin G, penisillin semi sintetik lain, sefalosporin, sulfonamida, klindamisin, oksitrifilin, fenitoin, reserpin, dan vinkristin. Tambahan pada jenis alergi pada reaksi kulit yang umum, sering dilaporkan adalah alopecia (hilangnya rambut atau botak) dan hirsutims (tumbuhnya rambut pada tempat dan dalam jumlah yang tidak biasa)

a. Erythema multiforme (EM) dapat terjadi dalam banyak bentuk, tetapi umumnya dikarakteristikkan oleh bintik merah dan pembengkakan yang terbanyak secara perifer. Lesi atau luka cenderung muncul selama suatu periode waktu beberapa hari, biasanya sebagai cincin kecil eritema yang menjadi sedikit meluas. Terjadi paling umum permukaan punggung, tangan dan kaki, tetapi dapat pula pada tempat lain. Penyebab diantaranya adalah sulfonamida, penicillin, fenilbutazon, barbiturate, tetrasiklin, kloramfenikol, furosemida, izoniasid, fenitoin dan karbamazepin.

b. Toxic epidermal necrolysis (TEN) jarang terjadi dan kadang-kadang penyakit ini menyebabkna kematian. TEN awalnya dikarakterisasikan oleh daerah eritema (merah) yang luas, melibatkan banyak permukaan kulit diikuti dengan timbulnya lepuh lembek seperti kulit luka bakar. Obat yang berkaitan timbulnya penyakit ini mencakup fenilbutazon,

penicillin, fenolftalein, sulfonamide, alopurinol, kloramfenikol,

(49)

c. Sindrom Steven Johnson adalah suatu jenis bullous erythema multiforme yang hebat. Sindrom ini biasanya melibatkan selaput lendir disamping pada tempat yang diuraikan pada EM. Kulit menjadi hemoragi dan luka mata yng serius juga umum. Sulfonamide, fenitoin, penisilin, klorpropamid, alopurinol, fenobarbital, dan fenoftalein adalah yang umum penyebab dari kondisi ini.

d. Exfoliative dermatitis dikarakterisasi dengan kemerahan seluruh kulit (erytroderma) diikuti dengan sisik dan terkelupas. Obat penyebab kondisi ini antara lain, fenitoin, griseofulvin, fenilbutasn, sulfonamida, simetidin, kaptopril, zat pemblok reseptor beta, sefalosporin, dll.

e. Hirsutism atau hypertrichosis, walaupun kondisi yang tidak mengancam kehidupan, dapat merusak secara psikologis. Hirsutism sering terjadi selama pemberian kortikosteroid sistemik dan dari terapi fenitoin jangka panjang. Zat lain yang berkaitan dengan tumbuhnya rambut mencakup diazoxida, asetazolamida, kontraseptif oral, tamoxifen dan minoxidil. II. 16. 2 Penyakit Hati

Berbagai obat yang dapat mengakibatkan luka/ kesakitan pada hati, telah digolongkan sebagai senyawa yang mempunyai efek toksik intrinsik pada hepatosit (sel hati) atau obat-obat yang mampu mengakibatkan kerusakan hati melalui reaksi hipersensitivitas. Golongan pertama obat-obat yang mengakibatkan kerusakan hati sebagai efek dari struktur kimianya, menyebabkan efek pada sel hati yang dapat diramalkan dan bergantung dosis atau gangguan khusus pada metabolisme.

(50)

Hepatotoksin dalam kategori ini mencakup asetaminofen, metotreksat, isoniasida, tetrasiklin, hidralazin, besi dan asetosal.

Reaksi obat jenis hipersensitivitas dapat disertai manifestasi alergi lain, seperti ruam (kulit merah), artralgia (sakit sendi), demam, dan eosinofilia. Reaksi jenis ini dibagi pada umumnya menjadi radang hati dan kolestatik (penghentian aliran empedu), tetapi yang sering adalah histopatologi campuran. Reaksi obat jenis hipersensitivitas hati jenis kolestatik sering dikaitkan dengan fenotiasin.

II. 16. 3 Penyakit Saluran Cerna

ROTD saluran cerna merupakan 20-40% dari semua reaksi terhadap obat yang dilaporkan. Kebanyakan reaksi yang melibatkan sistem organ ini, seperti anorexia (hilangnya nafsu makan), mual, muntah, dan konstipasi (sembelit).

Beberapa obat yang paling umum menyebabkan reaksi mual dan muntah adalah kalium klorida, heparin, dokusat dan suspensi alumunium serta magnesium hidroksida. Dysgeusia (perubahan sensasi rasa), kerusakan ini telah diketahui dalam pasien yang menggunakan penisilamin, terapi levadopa, litium karbonat, metronidazol, dan kaptopril juga dapat efek merugikan ini.

ROTD paling signifikan secara klinik mempengaruhi saluran cerna bagian atas adalah akibat dari penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid. Diare dan kolitis (radang usus besar) yang diimbas antibiotik telah menjadi

(51)

perhatian penting dalam terapi antibiotik. Diantaranya lonkomisin, klindamisin, kloramfenikol dll.

II. 16. 4 Gangguan Hematologik

Anemia aplastik (cacat anemia) adalah gangguan darah yang diimbas obat yang paling serius, dan telah diperkirakan bahwa obatlah yang bertanggung jawab penyebab hampir setengah dari semua kasus anemia aplastik. Kemajuan yang paling signifikan dalam pengobatan anemia aplastik adalah transpalasi sumsum tulang. Manifestasi klinik yang pertama dari anemia aplastik, biasanya biasanya berkaitan dengan hemoragi (pendarahan) (ecchymoses = noda keungu-unguan karena aliran darah kekulit; epistaxis = perdarahan pada hidung; petechiae = noktah kecil perdarahan dalam kulit). Banyak obat yang bergantung pada dosis, dapat menyebabkan supresi (penghambatan) pada kegiatan sumsum tulang atau aplasia yang bergantung dosis seperti kasus dengan obat sitotoksik.

Thrombocytopenia (sejumlah kecil platelet secara abnormal dalam sirkulasi darah; platelet = bentuk lempeng disk dalam darah) adalah akibat dari mekanisme supresi sumsum tulang dan destruksi platelet periferik.

Obat-obat sitotoksik, disebabkan efek farmakologik yang diketahui menyebabkan sepresi sum-sum tulang megakariosit (sel darah besar dengan satu inti, biasanya berada dalam sumsum tulang) disamping unsur sumsum tulang lainnya. Obat-obat lain yang mempunyai efek supresi

(52)

sumsum tulang dalam individu tertentu adalah antikonvulsan, kloramfenikol, sulfonamida dan fenotiazin.

Destruksi platelet periferik adalah akibat dari mekanisme imunologik dan antibodi ditujukan melawan kompleks obat platelet antigen. Kompleks imun melekat pada tempat tertentu pada platelet, mengimbas dekstruksi fiksasi pelengkap, aglutinasi, dan dekstruksi platelet. Kuinin dan Kuinidin menunjukkan penyebab trombositopenia oleh mekanisme imunologik ini. Obat lain yang dianggap bekerja dalam cara

mencakup asetazolamid, hidroklorotiazid, digitoksin, metildopa,

meprobamat, karbamazepin , garam emas, asetosal dan sefalotin.

Anemia hemolitik (hemolytik = destruksi sel darah menyebabkan pembebasan hemoglobin) yang diimbas obat juga dapat timbul dari berbagai mekanisme. Berbagai obat yang dapat mempercepat hemolisis adalah adalah kuinin, kuinidin, asetosal, fenasetin, sulfonamida, primakuin, nitrofurantoin dan isosorbidedinitrat.

Banyak obat terutama zat sitotoksik seperti aminopterin, 6-mercaptopurin dan 5-fluorouracil mempunyai kemampuan menyebabkan anemia megaloblastik sebagai akibat dari kekurangan sintetis DNA

karena ketersediaan menurun dari vitamin B12 atau asam folat.

Obat-obat lain yang digunakan secra umum seperti fenitoin, trimetropim, triamteran, isoniazid, fenobarbital, dan kntrasepsi oral mengandung estrogen serta progesterone dalam kombinasi dapat menyebabkan keadaan hematologik ini.

Gambar

Tabel     Informasi yang perlu terdapat dalam formulir lokal
Tabel 1. Perbandingan Sistem Pelaporan ROTD

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Maka dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan berarti bahwa variabel independen (suku bunga kredit, inflasi, nilai tukar dan variabel krisis glo- bal) secara bersama-sama

Ini harus diapresiasi bahwa sementara tujuan-tujuan Islam, di satu pihak, tidak dapat direalisasikan tanpa memungkinkan sistem keuangan dan perbankan untuk

Maeda, “Alkylperoxyl radical-scavenging activity of various flavonoids and other phenolic compounds: implications for the anti- tumor-promoter effect of vegetables,” Journal

[r]

Teknik pembiusan dengan penyuntikkan obat yang dapat menyebabkan pasien mengantuk, tetapi masih memiliki respon normal terhadap rangsangan verbal dan tetap dapat mempertahankan

Tipe paling umum dari mesin ini adalah mesin pembakaran dalam putaran empat stroke yang membakar bensin. Pembakaran dimulai oleh sistem ignisi yang membakaran spark

Ada hubungan kejadian anemia saat kehamilan trimester IIIdengan kejadian perdarahan postpartum primer,dimana kejadian perdarahan postpartum primer 3,03 kali lebih