• Tidak ada hasil yang ditemukan

USUS HALUS TIKUS YANG DIBERI BAKTERI ASAM LAKTAT (BAL) DAN ENTEROPATHOGENIC ESCHERICHIA COLI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "USUS HALUS TIKUS YANG DIBERI BAKTERI ASAM LAKTAT (BAL) DAN ENTEROPATHOGENIC ESCHERICHIA COLI"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

DETEKSI SECARA IMUNOHISTOKIMIA IMUNOGLOBULIN

A (IgA) PADA USUS HALUS TIKUS YANG DIBERI BAKTERI

ASAM LAKTAT (BAL) DAN ENTEROPATHOGENIC

ESCHERICHIA COLI (EPEC)

YENI SETIORINI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Deteksi Secara Imunohistokimia Imunoglobulin A (IgA) pada Usus Halus Tikus yang Diberi Bakteri Asam Laktat (BAL) dan Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC) adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2012

Yeni Setiorini B04070047

(3)

ABSTRACT

YENI SETIORINI. Immunohistochemical Profile of Immunoglobulin A (IgA) in the Small Intestinal Rats-treated with Lactic Acid Bacteria (BAL) and Enterophatogenic Escherichia coli (EPEC). Under direction of TUTIK WRESDIYATI.

This study was conducted to evaluate the effect of Lactobacillus plantarum and Lactobacillus fermentum on the immunohistochemical profile of immunoglobulin A (IgA) and the intestinal mucosa thickness of Enteropathogenic E. coli (EPEC) treated rats. A total of 90 male Sparague Dawley rats were used in this study. They were divided into 6 groups: (1) negative control treated group, (2) Lactobacillus plantarum treated group, (3) Lactobacillus fermentum treated group, (4) Lactobacillus plantarum and EPEC treated group, (5) Lactobacillus fermentum and EPEC treated group, and (6) EPEC treated (positive control) group. The results showed that both Lactobacillus fermentum and Lactobacillus plantarum treatment for 2 to 3 weeks increased the thickness of rat’s mucosal small intestine. In the EPEC treated rats, either Lactobacillus fermentum and Lactobacillus plantarum treatment for 2 weeks increased the thickness of rat’s mucosal small intestine. Lactobacillus fermentum treatment for 2 weeks increased the content of IgA in rat’s mucosal small intestine at both conditions; with and without EPEC treatment. Lactobacillus plantarum treatment for 2 weeks only increased the content of IgA in rat’s duodenum and jejunum, while in the EPEC treated rats, Lactobacillus plantarum treatment for 2 weeks could maintained the content of IgA in rat’s mucosal small intestine. Lactobacillus fermentum gave better effect than Lactobacillus plantarum on increasing the content of IgA in rat’s small intestine.

(4)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(5)

DETEKSI SECARA IMUNOHISTOKIMIA IMUNOGLOBULIN

A (IgA) PADA USUS HALUS TIKUS YANG DIBERI BAKTERI

ASAM LAKTAT (BAL) DAN ENTEROPATHOGENIC

ESCHERICHIA COLI (EPEC)

YENI SETIORINI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(6)

Judul Skripsi : Deteksi Secara Imunohistokimia Imunoglobulin A (IgA) pada Usus Halus Tikus yang Diberi Bakteri Asam Laktat (BAL) dan Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC) Nama : Yeni Setiorini

NIM : B04070047

Disetujui

Prof. drh. Tutik Wresdiyati, Ph.D, PAVet Ketua

Diketahui

drh. Agus Setiyono, MS, Ph. D Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Brebes pada tanggal 11 Juni 1989 dari ayah Maskuri, S.Pd dan ibu Ina Munifah. Penulis merupakan putri kedua dari dua bersaudara.

Tahun 2007 penulis lulus SMA Negeri 1 Kec. Bumiayu dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis mendapatkan beasiswa Karya Salemba Empat (KSE) 2009/2010, 2010/2011, dan 2011/2012, serta mendapatkan bantuan biaya SPP dari Gelatin Plus. Penulis juga menjadi asisten praktikum mata kuliah Histologi Veteriner I, Histologi Veteriner II, Anatomi Veteriner II, dan Anatomi Topografi. Penulis juga aktif dalam organisasi FORSES IPB 2007-2009, DKM Al-Hurryah 2007-2008, FORMASIBUMI (Forum Mahasiswa Bumiayu), Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI) cabang IPB 2011, Manajemen VISI 1 (Veterinary Integrity and Skill Improvement 1) 2009-2010, dan Manajemen VISI 2 (Veterinary Integrity and Skill Improvement 2) 2009-2011.

(8)

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... PENDAHULUAN Latar Belakang ... Tujuan ... TINJAUAN PUSTAKA

Hewan Percobaan Tikus (Rattus norvegicus)... Usus Halus... Escherichia coli... Prebiotik dan Probiotik ... Imunoglobulin A ... Imunohistokimia ... Penelitian Sebelumnya... METODE PENELITIAN

Alur Penelitian ... Tempat dan Waktu Penelitian ... Alat dan Bahan Penelitian ... Prosedur Pelaksanaan ...

1. Kandang dan Perlengkapan ... 2. Ransum ... 3. Perlakuan Hewan Percobaan ... 4. Sampling Organ Usus Halus ... 5. Pemrosesan Jaringan ... 6. Pewarnaan ... 7. Analisis Data ... HASIL DAN PEMBAHASAN ... KESIMPULAN DAN SARAN ... DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ... xiii xiv xvi 1 3 4 6 8 11 13 15 16 18 19 19 20 20 20 20 21 21 22 23 25 56 57 64

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Gejala klinis, epidemiologi, dan faktor virulensi dari berbagai galur E. coli ... 2. Komposisi campuran ransum basal tikus... 3. Kelompok tikus perlakuan ... 4. Rata-rata tebal mukosa duodenum, jejunum, dan ileum pada

terminasi hari ke-8, hari ke-15, dan hari ke-22... 5. Kandungan imunoglobulin A (IgA) pada mukosa duodenum,

jejunum, dan ileum pada terminasi hari ke-8, hari ke-15, dan hari ke-22 ... 9 20 21 26 42

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Prosedur pembuatan sediaan...

2. Prosedur pewarnaan Hematoksilin-eosin (HE)... 3. Prosedur pewarnaan Imunoglobulin A (IgA) secara

imunohistokimia ... 4. Analisis statistika ketebalan mukosa duodenum (ANOVA)

pada terminasi hari ke-8 ...

5. Analisis statistika ketebalan mukosa jejunum (ANOVA) pada terminasi hari ke-8 ...

6. Analisis statistika ketebalan mukosa ileum (ANOVA) pada terminasi hari ke-8 ...

7. Analisis statistika ketebalan mukosa duodenum (ANOVA) pada terminasi hari ke-15 ...

8. Analisis statistika ketebalan mukosa jejunum (ANOVA) pada terminasi hari ke-15 ...

9. Analisis statistika ketebalan mukosa ileum (ANOVA) pada terminasi hari ke-15 ...

10.Analisis statistika ketebalan mukosa duodenum (ANOVA) pada terminasi hari ke-22 ... 11.Analisis statistika ketebalan mukosa jejunum (ANOVA) pada

terminasi hari ke-22 ... 12.Analisis statistika ketebalan mukosa ileum (ANOVA) pada

terminasi hari ke-22 ...

65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Saluran pencernaan merupakan organ yang aktif secara metabolis karena selalu

terekspos oleh berbagai macam zat selama proses mencerna makanan. Makanan

kemungkinan mengandung kontaminan yang merugikan saluran pencernaan. Dengan

demikian saluran pencernaan merupakan organ yang rentan terhadap gangguan.

Gangguan saluran pencernaan bervariasi dari yang ringan hingga yang berat dan

dapat menimbulkan kematian bila tidak ditangani dengan baik. Gangguan saluran

pencernaan dapat dicegah dengan menjaga keseimbangan mikroflora alami yang

terdapat pada saluran pencernaan. Saluran pencernaan orang dewasa mempunyai luas

permukaan sekitar 200 m

2

(Mayer 2003).

Saluran pencernaan juga berhubungan langsung dengan lingkungan luar,

sehingga dapat menjadi tempat keluar masuknya mikroorganisme patogen (Tamime

2005). Mikroorganisme patogen yang terdapat dalam saluran pencernaan secara

potensial dapat merusak mukosa saluran pencernaan (Sarkovic

et al

. 2005).

Enteropathogenic Escherichia coli

(EPEC) merupakan mikroorganisme patogen yang

melekat pada permukaan sel epitel usus dan dapat menyebabkan diare (Michail dan

Abernathy 2002). Diare didefinisikan sebagai buang air besar dengan kondisi feses

yang tidak berbentuk atau cair dengan frekuensi lebih dari 3 kali selama 24 jam.

WHO menyatakan ada sekitar 4 milyar kasus diare setiap tahun dengan tingkat

mortalitas 3-4 juta per tahun (Zein

et al.

2004).

Upaya yang dapat dilakukan masyarakat untuk mengurangi gangguan saluran

pencernaan diantaranya dengan mengonsumsi pangan fungsional. Salah satu pangan

fungsional yang berkhasiat pada saluran pencernaan dan diminati oleh masyarakat

adalah probiotik. Probiotik merupakan mikroorganisme hidup yang dapat

memberikan efek yang menguntungkan pada saluran pencernaan inang (Parassol

et

al

. 2005). Probiotik yang biasa digunakan pada produk pangan adalah bakteri asam

laktat (BAL), terutama galur

Lactobacillus

,

Bifidobacterium

, dan beberapa dari

Propionibacterium

(Collado

et al.

2007). Belakangan ini telah mulai dikembangkan

(12)

2

 

 

pakan hewan yang mengandung probiotik untuk meningkatkan kesehatan saluran

pencernaan.

Bakteri asam laktat mampu mengurangi gangguan saluran pencernaan, mampu

menstimulir pergerakan peristaltik di usus, sehingga transit feses akan lebih singkat,

serta mampu menghambat mikroorgnisme patogen sehingga dapat mencegah

terjadinya diare dan infeksi (Gill dan Guarner 2004). BAL juga dapat bersifat sebagai

imunomodulator untuk meningkatkan daya tahan tubuh (Erickson dan Hubbard

2000). Beberapa peneliti juga melaporkan bahwa mengkonsumsi BAL golongan

Lactobacillus

mampu meningkatkan sistem imun seluler dan humoral diantaranya

peningkatan populasi dan proliferasi sel limfosit, produksi sitokin interferon-

γ

(IFN-γ

), interleukin-12 (IL-12), IL-10, sel imun Th, serta imunoglobulin (Ig) A, IgE, IgG,

dan IgM (Gackowska

et al.

2006; Attaouri

et al.

2002).

Imunoglobulin A merupakan protein yang dihasilkan oleh sel limfosit B dan

merupakan imunoglobulin utama yang ditemukan pada mukosa, salah satunya adalah

pada mukosa saluran pencernaan. IgA pada saluran pencernaan berperan memblok

perlekatan mikroorganisme patogen pada sel epitel usus (Wilson 2005). Pada proses

eliminasi antigen yang terdapat pada mukosa saluran pencernaan, IgA tidak

mengundang timbulnya reaksi radang yang hebat karena berfungsi melindungi

mukosa yang lembut (Yamamato

et al

. 2004).

Kandungan IgA pada saluran pencernaan dapat dideteksi menggunakan metode

immunohistokimia. Prinsip imunohistokimia adalah adanya ikatan antigen-antibodi.

Immunohistokimia mampu mendeteksi suatu molekul yang ada pada jaringan dengan

menggunakan antibodi poliklonal atau antibodi monoklonal terhadap molekul yang

akan dideteksi (reaksi antigen-antibodi). Immunohistokimia mampu memberikan

hasil berupa gambaran secara kualitatif maupun kuantitatif berdasarkan intensitas

warna yang terbentuk seperti warna coklat (Sofian dan Kompono 2006).

Arief

et al.

(2008) telah menemukan 10 BAL isolat lokal yang diambil dari

daging sapi bangsa peranakan Ongol yang dijual di berbagai pasar tradisional di

daerah Bogor, Jawa Barat. BAL yang ditemukan ini sudah diuji secara

in vitro

mempunyai potensi sebagai probiotik. Probiotik lokal sangat diperlukan oleh

(13)

3

 

 

Indonesia untuk pengembangan pangan probiotik nasional. Isolat lokal mempunyai

keunggulan sangat

adaptable

dengan kondisi lingkungan Indonesia sehingga tidak

memerlukan rekayasa dan manipulasi sifat asli isolat tersebut (Farida 2006). Astawan

et al

. (2009) telah meneliti kemampuan bakterisidal dari 10 jenis isolat BAL terhadap

bakteri Enteropatogenik

E. coli

(EPEC) secara

in vitro

. Hasilnya didapatkan dua

spesies BAL yang mempunyai kemampuan terbaik dalam melawan EPEC, yaitu

Lactobacillus plantarum

dan

Lactobacillus fermentum

.

Penelitian ini dilakukan untuk menguji pengaruh bakteri asam laktat

L.

plantarum

dan

L. fermentum

secara

in vivo

menggunakan tikus percobaan

untuk

melihat sifat fungsionalnya sebagai bakteri asam laktat yang mampu menghambat

pertumbuhan bakteri Enteropatogenik

E. coli

(EPEC) dan sebagai imunomodulator

dalam meningkatkan produksi IgA. Pengaruh tersebut dilihat dari profil

imunohistokimia IgA dan histologi tebal mukosa pada usus halus tikus percobaan

yang dipapar bakteri Enteropathogenik

E. coli

(EPEC).

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa pengaruh pemberian bakteri asam

laktat

L. plantarum

dan

L. fermentum

terhadap profil imunohistokimia

Immunoglobulin A (IgA) dan histologi tebal mukosa pada usus halus tikus percobaan

yang dipapar bakteri Enteropathogenik

E. coli

(EPEC).

(14)

TINJAUAN PUSTAKA

Hewan Percobaan Tikus (Rattus norvegicus)

Hewan percobaan atau hewan laboratorium adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakan untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan laboratorik. Penggunaan hewan percobaan untuk penelitian banyak dilakukan di bidang fisiologi, farmakologi, biokimia, patologi, dan komparatif zoologi. Di bidang ilmu kedokteran selain untuk penelitian, hewan percobaan juga sering digunakan sebagai keperluan diagnostik. Berbagai jenis hewan yang umum digunakan sebagai hewan percobaan, yaitu mencit, tikus, marmut, kelinci, hamster, unggas, kambing, domba, sapi, kerbau, kuda, dan simpanse (Malole dan Pramono 1989).

Penggunaan hewan percobaan untuk pengujian secara in vivo biasanya menunjukkan hasil deviasi yang besar dibandingkan dengan percobaan in vitro, karena adanya variasi biologis. Supaya variasi tersebut minimal, hewan-hewan yang mempunyai spesies yang sama atau strain yang sama, usia yang sama, dan jenis kelamin yang sama, dipelihara pada kondisi yang sama pula (Malole dan Pramono 1989).

Hewan percobaan yang umum digunakan dalam penelitian ilmiah adalah tikus. Tikus (Rattus norvegicus) telah diketahui sifat-sifatnya secara sempurna, mudah dipelihara, dan merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk berbagai penelitian. Ciri-ciri morfologi Rattus norvegicus antara lain memiliki berat 150-600 gram, hidung tumpul dan badan besar dengan panjang 18-25 cm, kepala dan badan lebih pendek dari ekornya, serta telinga relatif kecil dan tidak lebih dari 20-23 mm (Depkes 2011).

Terdapat tiga galur atau varietas tikus yang memiliki kekhususan tertentu yang biasa digunakan sebagai hewan percobaan yaitu galur Sprague dawley berwarna albino putih, berkepala kecil dan ekornya lebih panjang dari badannya, galur Wistar ditandai dengan kepala besar dan ekor yang lebih pendek, dan galur Long evans yang lebih kecil daripada tikus putih dan memiliki warna hitam pada kepala dan tubuh bagian depan (Malole dan Pramono 1989). Tikus yang

(15)

5  

digunakan dalam penelitian adalah galur Sprague Dawley berjenis kelamin jantan berumur kurang lebih 2 bulan. Tikus Sprague Dawley dengan jenis kelamin betina tidak digunakan karena kondisi hormonal yang sangat berfluktuasi pada saat mulai beranjak dewasa, sehingga dikhawatirkan akan memberikan respon yang berbeda dan dapat mempengaruhi hasil penelitian (Kesenja 2005). Tikus putih galur ini mempunyai daya tahan terhadap penyakit dan cukup agresif dibandingkan dengan galur lainnya (Harkness dan Wagner 1983).

Menurut Besselsen (2004) dan Depkes (2011) taksonomi tikus adalah:

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Mamalia Subkelas : Theria Ordo : Rodensia Subordo : Sciurognathi Famili : Muridae Subfamili : Murinae Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus

Ada dua sifat utama yang membedakan tikus dengan hewan percobaan lainnya, yaitu tikus tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak lazim pada tempat bermuara esofagus ke dalam lambung sehingga mempermudah proses pencekokan perlakuan menggunakan sonde lambung, dan tidak mempunyai kandung empedu (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Selain itu, tikus hanya mempunyai kelenjar keringat di telapak kaki. Ekor tikus menjadi bagian badan yang paling penting untuk mengurangi panas tubuh. Mekanisme perlindungan lain adalah tikus akan mengeluarkan banyak ludah dan menutupi bulunya dengan ludah tersebut (Sirois 2005). Skematis sistem saluran pencernaan tikus dapat dilihat pada Gambar 1.

(16)

6  

Gambar 1 Sistem Saluran Pencernaan Tikus (Anonim 2010).

Pertumbuhan dan perkembangan tubuh tikus tergantung pada efisiensi makanan yang diberikan dan juga sangat dipengaruhi oleh metabolisme basal tubuh tikus itu sendiri (Robinson 1972). Beberapa faktor penting yang dapat meningkatkan metabolisme basal tubuh hewan adalah suhu lingkungan, jenis kelamin, umur, keadaan psikologis hewan, dan suhu badan (Ganong 1999).

Usus Halus

Usus halus terdiri dari duodenum, jejunum, dan ileum. Duodenum pada manusia memiliki panjang sekitar 25 cm terikat erat pada dinding dorsal abdomen dan sebagian besar terlatak retroperitoneal. Jalannya berbentuk seperti huruf C yang mengitari pankreas dan ujung distalnya menyatu dengan jejunum yang terikat pada dinding dorsal rongga melalui mesenterium. Jejunum dapat bergerak bebas pada mesenteriumnya dan merupakan dua-perlima bagian proksimal usus halus. Sedangkan ileum merupakan sisa tiga-perlimanya. Dinding usus halus terdiri atas empat lapis konsentris yaitu mukosa, submukosa, muskularis, dan serosa (Leeson et al. 1996) (Gambar 2).

Lapisan mukosa terdiri dari lamina epitel, lamina propia, dan muskularis mukosa. Bentuk mukosa tersusun dari tonjolan berbentuk jari yang disebut vili

(17)

7  

yang digunakan untuk memperluas permukaan. Pada permukaan epitel vili terdapat mikrovili yang dapat meningkatkan efisiensi penyerapan nutrisi. Pada usus halus juga terdapat sel goblet yang menghasilkan mukus sebagai pelindung mukosa usus (Colville dan Joanna 2002).

Membran mukosa adalah lingkungan yang unik dimana banyak spesies mikroorganisme yang berbeda dapat hidup dan berekspresi. Terdapat 1014 mikroorganisme dari 200 spesies, 40-50 genus hidup pada permukaan tersebut, dan 99% dari populasi mikroorganisme pada membran mukosa terjadi di bagian distal usus halus dan di bagian proksimal kolon (Herich dan Levkut 2002).

Membran mukosa dalam suatu tubuh berkontak langsung dengan lingkungan luar dan membran mukosa juga terkolonisasi oleh mikroorganisme yang berbeda dalam jumlah yang besar. Permukaan mukosa dilindungi oleh banyak mekanisme pertahanan yang memastikan perlindungan yang efektif dengan memproduksi imunoglobulin A (IgA), mukus, dan kriptoprotektif peptida. Mikroorganisme dapat mempengaruhi struktur mukosa, fungsi, dan perkembangan sistem imun (Herich dan Levkut 2002).

Gambar 2 Histologi usus halus yang menunjukkan vili dan lapisan mukosa (Sahaja 2008).

(18)

8  

Fungsional epitel usus tergantung pada populasi mikroorganisme di dalam usus, masuknya mikroorganisme patogen, penyusun yang merugikan dalam lumen usus, dan mukosa usus yang terpapar antigen. Secara fisiologis bahwa populasi mikroorganisme normal terdapat dalam usus. Pada manusia sehat, berisi 0-103 cfu/ml dalam perut, 0-105 cfu/ml pada jejunum, 103-109 cfu/ml pada ileum, dan 1010-1012 cfu/ml di usus (Hao dan Lee 2004).

Mikroorganisme usus berfungsi sebagai aktivitas metabolik yang mampu menyimpan energi dan nutrisi yang dibutuhkan oleh epitel usus, serta perlindungan terhadap serangan mikroorganisme yang merugikan. Mikroorganisme normal yang ada di saluran pencernaan dapat mencegah pertumbuhan yang berlebihan dari mikroorganisme patogen dalam saluran pencernaan (Harish dan Varghese 2006).

Kemampuan saluran pencernaan untuk mencerna makanan tergantung pada aktivitas mikroorganisme. Mikroorganisme indigenus suatu waktu akan menyebabkan infeksi pada saluran pencernaan (Berg 1996). Apabila aktivitas mikroorganisme dalam usus halus berubah akibat hadirnya mikroorganisme patogen seperti E. coli dan Sallmonela sp., sehingga proses pencernaan menjadi terganggu (Berg 1996). Hal ini karena keseimbangan jumlah dan jenis mikroorganisme pada usus halus sangat mempengaruhi kesehatan. Lactobacillus dan Bifidobacterium secara umum merupakan mikroorganisme nonpatogen yang secara alami ada di dalam usus (Weizman et al. 2005).

Escherichia coli

Suwito (2010) menglasifikasikan E. coli berdasarkan ciri khusus dari sifat-sifat virulensinya dan setiap kelompok menimbulkan penyakit melalui mekanisme yang berbeda, yaitu Enteropathogenik E. coli (EPEC), Enterotoksigenik E. coli (ETEC), Enterohemorrhagi E. coli (EHEC), Enteroagregative E. coli (EAEC), dan Enteroinvasif E. coli (EIEC). Perbedaan gejala klinis, epidemiologi, dan faktor virulensi di antara kelompok E. coli tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

(19)

9  

Tabel 1 Gejala klinis, epidemiologi, dan faktor virulensi dari berbagai galur E. coli (Suwito 2010)

Strain Gejala klinis Epidemiologi Faktor virulensi

EPEC Diare berair Pada anak-anak

Melekat pada mukosa usus dan

merusak vili-vili usus EHEC Diare berair, hemoragik kolitis, hemolitik uremik sindrom

Food born, water

borne Shiga like toxin

ETEC Diare berair Traveler diare

Pili, heat labile dan heat stable enterotoksin EAEC Diare berlendir Pada anak-anak Pili, sitotoksin

EIEC Disentri, diare

berair Food borne Seluler invasif Enterotoksin akan mempengaruhi sekresi cairan saluran pencernaan. Pada saluran pencernaan manusia, EPEC akan menyebakan atrofi dan nekrosis usus. Pada anak-anak, EPEC menyebabkan diare, sedangkan EHEC akan membentuk koloni pada saluran pencernaan sehingga mengakibatkan pendarahan dan terjadinya atrofi mikrovili sel-sel epitel usus (Suwito 2010; Clarke et al. 2002). EPEC melekat pada sel mukosa yang kecil dan menimbulkan kerusakan pada epitel melalui pembentukan mikrokoloni yang ditunjukkan dengan perlekatan yang terlokalisasi (Savkovic et al. 2005). Selain itu, pada dosis 105 – 1010 sel EPEC dapat menyebabkan diare yang durasinya kurang lebih lima hari (Janda dan Abbot 2006; Lodes et al. 2004).

EPEC adalah salah satu mikroorganisme patogen yang dapat menyebabkan lesi attaching dan effacing (A/E) pada sel usus. Ciri dari patogen A/E adalah terletak pada tumpuannya di permukaan sel epitel inang dan menyebabkan kerusakan pada mikrofili usus. EPEC melekat dan berkolonisasi pada epitel

(20)

10  

mukosa deodenum dan proksimal jejunum. EPEC menimbulkan kerusakan pada epitel jejunum melalui pembentukan mikrokoloni yang ditunjukkan dengan pelekatan yang terlokalisasi (Moat et al. 2002).

Infeksi EPEC pada sel epitel dapat dilihat pada Gambar 3. EPEC pada sel epitel membentuk perlekatan dan tidak memperlihatkan adanya lesio. Awal penyerangan EPEC pada sel epitel diperantarai adanya bundle-forming pilus (BFP) yang merupakan suatu fimbria tipe IV yang terlibat dalam virulensi, autoagregasi, dan perlekatan lokal bakteri ke sel inang (Blank dan Donnenberg 2001). Setelah perlekatan awal terjadi, mikrovili terganggu dan EPEC mengeluarkan beberapa faktor virulensi dan mensekresikan reseptor Tir (translicated intimin receptor) ke dalam sel inang. EPEC mengikat Tir melalui membran luar protein, intimin. Sinyal transduksi terjadi di dalam sel inang, termasuk aktivasi protein kinase C (PKC), inositol triphosphat (IP3), dan pelepasan Ca2+. Beberapa protein sitoskeleton termasuk aktin, menjadi tempat perlekatan EPEC. Akhirnya, terjadi penyusunan kembali sitoskeletal setelah Tir-intimin berikatan, dan menghasilkan formasi pedestal-like structure (Lu dan Walker 2001).

  Gambar 3 Infeksi EPEC pada sel epitel (Lu dan Walker 2001).

(21)

11  

Prebiotik dan Probiotik

Prebiotik merupakan pangan yang dapat memacu pertumbuhan bakteri probiotik, agar dapat diperoleh kondisi fisiologis dan metabolik yang dapat memberikan perlindungan pada saluran pencernaan, khususnya usus halus dan kolon (Zakaria 2003). Probiotik didefinisikan sebagai bakteri hidup yang diberikan sebagai suplemen makanan yang mempunyai pengaruh yang menguntungkan terhadap kesehatan, dengan memperbaiki keseimbangan mikroflora usus. Efek yang menguntungkan dari bakteri tersebut dapat mencegah dan mengobati kondisi patologik usus bila bakteri tersebut diberikan secara oral (Karuniawati 2010; Maurad dan Meriem 2008; Lisal 2005).

Karakteristik probiotik yang diinginkan dari satu strain spesifik adalah mempunyai kapasitas untuk bertahan hidup, melakukan kolonisasi dan metabolisme dalam saluran pencernaan, mampu mempertahankan keseimbangan mikroflora usus, mampu menstimulasi sistem imun, dan bersifat nonpatogen (Gibson dan Fuller 2000). Efikasi dari beberapa probiotik tergantung dari genus, spesies dan strain. Tidak semua bakteri tahan asam mempunyai efek probiotik. Probiotik multipel strain lebih efektif daripada single strain (Cornelius dan Van 2004).

Mekanisme probiotik bersaing dengan mikroorganisme patogen di dalam usus dapat dilihat pada Gambar 4. Probiotik dapat meningkatkan pertahanan dengan menduduki usus dalam jumlah besar dan beragam. Hal ini dapat mencegah kolonisasi mikroorganisme patogen, menghasilkan senyawa antimikroba, asam lemak jenuh, dan dimodifikasi dengan asam empedu yang dapat menciptakan lingkungan lumen yang kurang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme patogen, serta mampu merangsang sistem imun. Penyakit pada usus akan terjadi jika perkembangan mikrorganisme patogen yang terlalu banyak dan terganggunya sistem imun (Lu dan Walker 2001).

(22)

12  

Gambar 4 Mekanisme probiotik berkompetisi dengan bakteri patogen (Lu dan Walker 2001).

Salah satu jenis bakteri yang umum terdapat di daging adalah bakteri asam laktat (BAL). Arief et al. (2008) melaporkan bahwa BAL golongan Lactobacillus, Lactococcus, dan Streptococcus dari daging sapi bangsa Peranakan Ongol yang dijual di berbagai pasar tradisional daerah Bogor mampu bertahan pada kondisi saluran pencernaan seperti pH saluran pencernaan dan garam empedu, serta memiliki aktivitas antimikroba terhadap bakteri patogen. Kemampuan bakterisidal terhadap bakteri patogen ini disebabkan bakteri ini mampu menghasilkan senyawa bioaktif asam laktat, asam asetat, dan senyawa bakteriosin.

Bakteri asam laktat termasuk mikroorganisme probiotik yang berpengaruh positif terhadap mikroflora di saluran pencernaan. Bakteri asam laktat juga termasuk kelompok bakteri yang dapat mengeliminasi kerusakan pada saluran pencernaan dan beberapa gangguan pencernaan berupa inflamasi pada saluran pencernaan. Jika bakteri asam laktat mampu bertahan lama dalam usus maka akan menstimulir pergerakan peristaltik di usus, sehingga transit feses akan lebih singkat. Selain itu, bakteri asam laktat mampu menghambat bakteri patogen sehingga dapat mencegah terjadinya diare dan infeksi (Gill dan Guarner 2004). Bakteri asam laktat juga dapat bersifat sebagai imunomodulator untuk meningkatkan daya tahan tubuh (Erickson dan Hubbard 2000).

(23)

13  

Bakteri asam laktat mampu menstimulasi sistem imun karena adanya senyawa peptidoglikan dan lipopolisakarida dalam dinding sel (Surono 2004). Bakteri asam laktat juga merangsang aktivitas sel imun yang spesifik dan nonspesifik. Sistem imun spesifik dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu sistem imun spesifik humoral dan sistem imun spesifik seluler. Antibodi yang diproduksi dalam sel plasma mediasi dari sistem imun spesifik humoral. Sistem imun spesifik seluler dimediasi oleh limphosit T yang berproliferasi setelah kontak dengan antigen, produk sitokin, dan menyebabkan aktivitas pada sel kekebalan yang lain (Tizard 2000).

Bakteri asam laktat mampu meningkatkan sistem imun spesifik humoral. Berdasarkan penelitian bahwa produksi IgA akan meningkat jika mendapatkan bakteri asam laktat. Pemberian bakteri asam laktat golongan Lactobacillus dapat memberikan efek kesehatan bagi inang seperti mencegah terjadinya infeksi saluran pencernaan, meningkatkan respon imunlokal, dan meningkatkan produksi IgA. Produksi IgA kemudian disekresikan ke lumen usus untuk mencegah penempelan mikroorganisme patogen seperti, Salmonella typhimurium di mukosa usus (Isolauri 2001).

L. plantarum merupakan bakteri gram positif yang tidak patogen dan secara alami terdapat dalam saliva dan saluran pencernaan. L. plantarum merupakan bakteri asam laktat yang biasa digunakan dalam makanan fermentasi. L. plantarum mampu bertahan pada kondisi lambung (pH rendah) dan adanya garam empedu. L. plantarum juga mampu melindungi sel epitel usus terhadap induksi E. coli (Bixquert 2009). L. plantarum mampu tumbuh dengan baik pada pH 2-3 dan pada pH antara 4-6.5 terjadi peningkatan populasi (Anukam dan Koyama 2007). Sedangkan L. fermentum mampu tumbuh baik pada kisaran pH 2-3 dan garam empedu 0.2-3-1% (Klayraung et al. 2008).

Imunoglobulin A (IgA)

Sistem imunitas mukosa saluran pencernaan merupakan bagian sistem imunitas yang penting dan berlawanan sifatnya dari sistem imunitas sistemik. Sistem imunitas mukosa lebih bersifat menekan imunitas. Hal ini disebabkan oleh mukosa saluran pencernaan berhubungan langsung dengan lingkungan luar dan

(24)

14  

berhadapan dengan banyak antigen yang terdiri dari mikroorganisme patogen, antigen makanan, dan virus dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan sistem imunitas sistemik. Antigen-antigen tersebut dicegah agar tidak menempel mukosa saluran pencernaan dengan pengikatan oleh IgA, barier fisik dan kimiawi dengan enzim-enzim yang ada pada mukosa saluran pencernaan. Mamalia memproduksi IgA dan antibodi lain paling sedikit 80% pada semua sel plasma dan terlokalisasi pada lamina propria saluran pencernaan (Van et al. 2001).

Imunoglobulin A (IgA) merupakan protein yang dihasilkan oleh sel limfosit B dan merupakan immunoglobulin utama yang ditemukan pada mukosa. Limfosit B merupakan limfosit terbesar di temukan di lamina propria yang fungsi efektor utamanya adalah sekresi antibodi terutama IgA yang berperan mencegah perlekatan mikroba ke sel epitel usus (Wilson 2005). IgA terdapat di air liur, air mata, sekresi bronkus, mukosa hidung, cairan prostat, sekresi vagina, dan mukus dari usus halus sebagai pertahanan primer tubuh. Sekresi IgA tidak menimbulkan respon inflamasi sehingga sekresi IgA ideal untuk menjaga permukaan mukosa dari antigen dengan cara mencegah perlekatan antigen pada epitel (Surono 2004) dan berfungsi melindungi mukosa yang lembut (Yamamato et al. 2004).

Mekanisme pertahanan sistem imun adaptif di permukaan mukosa merupakan suatu sistem yang diperantarai antibodi IgA sekretori, kelas imunoglobulin predominan dalam sekresi eksternal manusia. Imunoglobulin ini tahan terhadap protease sehingga cocok berfungsi pada sekresi mukosa. Induksi IgA melawan patogen mukosa dan antigen protein terlarut bergantung pada sel T helper. Perubahan sel B menjadi sel B penghasil IgA dipengaruhi oleh TGF-β dan iterleukin (IL)10 bersama-sama dengan IL-4. Sel T di mukosa menghasilkan TGF-β, IL-10 dan IL-4 dalam jumlah yang banyak dan sel epitelial mukosa menghasilkan TGF-β dan IL-10. Hal tersebut dapat menjadi petunjuk bahwa maturasi sel B penghasil IgA melibatkan lingkungan mikro mukosa yaitu sel epitel dan limfosit T (Hamada et al. 2002).

(25)

15  

Imunohistokimia

Kandungan Imunoglobulin A (IgA) pada usus halus dapat dideteksi dengan menggunakan metode imunohistokimia (Wresdiyati et al. 2006; Ramos-Vara 2005). Imunohistokimia sebagai suatu metode untuk mendeteksi suatu molekul yang ada di jaringan dengan menggunakan antibodi poliklonal atau monoklonal terhadap molekul yang akan dideteksi (merupakan reaksi antigen-antibodi) dan dapat memberikan gambaran kualitatif dan kuantitatif dari intensitas warna yang terbentuk. Poliklonal antibodi memiliki affinitas dan reaktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan monoklonal antibodi, tetapi poliklonal antibodi kurang spesifik. Teknik imunohistokimia dapat digunakan untuk mempelajari distribusi enzim yang spesifik pada struktur sel intak (normal/lengkap), mendeteksi komponen sel, biomakromolekul seperti protein dan karbohidrat (Sofian dan Kampono 2006).

Prinsip dari teknik imunohistokimia adalah adanya ikatan antigen-antibodi yang digunakan untuk mendeteksi suatu molekul dalam jaringan. Teknik immunohistokimia ini menggunakan dua antibodi yaitu antibodi primer dan antibodi sekunder yang telah dikonjugasi dengan peroksidase. Pada jaringan, antibodi primer akan berikatan dengan antigen (molekul) jaringan yang dideteksi, dalam penelitian ini adalah IgA. Prinsip immunohistokimia dengan metode polimer peroksidase dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Prinsip teknik pewarnaan imunohistokimia (Wresdiyati et al. 2006). Jaringan usus halus

Antibodi sekunder (K1491) Antibodi primer (IgA) Antigen (IgA) Peroksidase

(26)

16  

Immunoglobulin A (IgA) yang terdapat pada mukosa usus halus dikenal sebagai antigen. Antibodi primer (anti IgA) berikatan dengan antigen (IgA), kemudian antibodi sekunder yang telah dikonjugasi peroksidase bereaksi dengan antibodi primer dan membentuk ikatan antigen-antibodi. Agar IgA dapat tervisualisasi, perlu dilabel menggunakan kromogen. Pada penelitian ini menggunakan kromogen DAB (Diaminobenzidine) yang dapat membentuk endapan warna coklat. DAB tidak larut dalam pelarut organik. Peroksidase yang terkonjugasi pada antibodi sekunder berfungsi untuk mengkatalis reaksi antara kromogen (DAB) dan hidrogen peroksida (H2O2) sehingga terbentuk endapan warna coklat. Warna coklat menunjukkan keberadaan IgA. Semakin tua intensitas dan semakin luas distribusi warna coklatnya maka semakin banyak kandungan IgA-nya. Couterstain menggunakan hematoksilin (biru) untuk membentuk kontras warna agar dapat menghindari kebingungan dengan endapan kromogen (Van 2002).

Penelitian Sebelumnya

Kriteria dasar yang ditetapkan oleh FAO/WHO (2002) serta kesepakatan internasional mengenai probiotik dipenuhi oleh suatu bakteri asam laktat jika akan digunakan sebagai probiotik, yaitu kemampuannya untuk bertahan pada kondisi lambung (pH rendah) dan adanya garam empedu, serta penghambat terhadap bakteri patogen. Arief et al. (2008) telah melakukan isolasi bakteri asam laktat golongan Lactobacillus, Lactococcus, dan Streptococcus dari daging sapi bangsa Peranakan Ongol yang dijual di berbagai pasar tradisional daerah Bogor. BAL tersebut selanjutnya diuji kemampuannya bertahan pada kondisi sesuai saluran pencernaan manusia antara lain, pH saluran pencernaan dan garam empedu, serta aktivitas antimikrobanya terhadap bakteri patogen. Hasil penelitian pendahuluan tersebut menunjukkan bahwa terdapat 10 jenis bakteri asam laktat isolat indigenus yang mempunyai kemampuan bertahan pada pH 2 dan pH usus yaitu pada nilai pH 7.2, serta pada kondisi garam empedu 0.5% sesuai dengan kondisi saluran pencernaan. Selain itu, bakteri asam laktat tersebut juga mempunyai aktivitas penghambat yang baik terhadap tiga jenis bakteri patogen yaitu Salmonella typimurium ATCC 14028, Escherichia coli ATCC 25922 (ETEC), serta Staphylococcus aureus ATCC 25923.

(27)

17  

Kesepuluh jenis BAL hasil seleksi awal Arief et al. (2008) tersebut adalah spesies Lactobacillus spp, Lactococcus spp, dan Streptococcus spp. BAL tersebut mempunyai kemampuan bakterisidal terhadap mikroba patogen karena kedua bakteri tersebut mampu menghasilkan senyawa bioaktif asam laktat, asam asetat, serta senyawa bakteriosin. Berdasarkan kriteria dasar probiotik yang dikeluarkan oleh FAO/WHO (2002), kesepuluh isolat indigenus bakteri asam laktat tersebut dapat dinyatakan sebagai probiotik.

Untuk mengetahui sifat fungsional lainnya, khususnya sebagai bakteri probiotik yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri enteropatogenik penyebab diare, maka kesepuluh isolat indigenus BAL tersebut perlu diuji kemampuannya. Kemampuan bakterisidal BAL terhadap bakteri enteropatogenik khususnya EPEC dapat dilakukan baik secara in vivo maupun in vitro. Pengujian secara in vivo pada hewan percobaan akan menunjukkan hasil yang mendekati kondisi kejadian sebenarnya baik pada hewan maupun manusia. Astawan et al. (2009) telah meneliti kemampuan bakterisidal dari 10 jenis isolat BAL terhadap bakteri Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC) secara in vitro. Hasilnya didapatkan dua spesies BAL yang mempunyai kemampuan terbaik dalam melawan EPEC, yaitu L. plantarum dan L. fermentum. Kedua bakteri asam laktat (BAL) inilah yang dipakai dalam penelitian ini.

     

(28)

METODE PENELITIAN

Alur penelitian yang akan dilakukan secara umum digambarkan dalam skema pada Gambar 6.

 

Gambar 6 Alur penelitian.

Pengujian probiotik secara in vivo pada tikus percobaan yang dibagi menjadi 6 kelompok perlakuan, sebagai berikut :

A. Kontrol negatif (ransum standar) B. BAL 1 (L. plantarum)

C. BAL 2 (L. fermentum)

D. BAL 1 (L. plantarum + EPEC) E. BAL 2 (L. fermentum + EPEC) F. Kontrol positif (EPEC)

Hari H0 H8 H15 H22 T1 T2 T3 Terminasi Cekok EPEC (D,E,F)

Cekok BAL (B,C,D,E)

Analisis tebal mukosa dan kandungan IgA pada usus

halus tikus percobaan 

Diketahui satu BAL probiotik terbaik dalam meningkatkan tebal mukosa dan kandungan IgA

(29)

19  

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA, kandang hewan SEAFAST Center dan Laboratorium Histologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, FKH, Institut Pertanian Bogor pada bulan Juli-Agustus 2009 dan dilanjutkan pada bulan Januari-Februari 2010.

Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan terdiri atas seperangkat alat bedah (gunting, pinset, alas bedah), pisau silet, gelas piala, erlenmeyer, botol sampel, kapas, kertas tissue, benang, alluminium foil, tissue basket, exhause fan, pipet tetes, pipet mohr, mikropipet, gelas ukur, cup embedding, objek glass, coverglass, inkubator, waterbath, mikrotom putar (rotatory microtom), tabung ependorf, kotak preparat, pensil, dan kamera.

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus putih Albino Norway Rats (Ratus norvegicus) galur Sprague Dawley umur 5-6 minggu sebanyak 90 ekor tikus (15 ekor tikus setiap kelompok perlakuan) berjenis kelamin jantan dengan berat badan berkisar antara 140-240 gram, bakteri asam laktat (BAL) indigenus isolat lokal yaitu Lactobacillus plantarum dan Lactobacillus fermentum, kultur bakteri Enteropathogenic E.coli (EPEC), ransum tikus percobaan, (kasein, minyak jagung, mineral mix, carboximethylcellulose, dan maizena), eter, organ usus halus tikus, NaCl fisiologis 0.9%, larutan fiksatif Bouin (asam pikrat jenuh, formalin, dan asam asetat glasial dengan perbandingan 15:5:1), alkohol 70%, 80%, 90%, 95%, dan 100%, xylol, parafin, akuades, pewarna Hematoksilin-Eosin, entelan, neophren in toluene 0.2%, Phosphate Buffered Saline (PBS), metanol, H2O2, serum normal, antibodi primer/monoklonal imunoglobulin A (IgA), antibodi sekunder Dako Envision Peroksidase System (K1491), larutan kromogen Diamino Benzidine (DAB), air bebas ion (MilliQ), kertas film, dan label.

(30)

20  

Prosedur pelaksanaan

1. Kandang dan perlengkapan

Kandang yang digunakan adalah kandang yang berukuran 17.5 x 23.75 x 17.5 cm, dengan jumlah sesuai dengan jumlah tikus yang digunakan. Kandang tersebut dari stainless steel. Kandang tikus berlokasi pada tempat yang bebas dari suara ribut, terjaga dari asap industri, dan polutan lainnya. Lantai kandang mudah dibersihkan dan disanitasi. Suhu optimum ruangan untuk tikus adalah 22-24oC dan kelembaban udara 50-60% dengan ventilasi yang cukup (namun tidak ada jendela yang terbuka).

2. Ransum

Komposisi ransum basal disusun berdasarkan standar AOAC (2005) (Arief et al. 2010) yaitu mengandung karbohidrat, protein, lemak, mineral, vitamin, dan air. Komposisi ransum untuk tikus percobaan adalah sebagai berikut :

Tabel 2 Komposisi campuran ransum basal tikus AOAC (2005) (Arief et al. 2010)

Bahan-bahan Jumlah (%)

Protein kasar X=1.60 x 100%N sample (10%port)

Minyak jagung [(8-X) x % ekstrak eter] / 100

Campuran mineral [(5-X) x kadar abu] / 100

Campuran vitamin 1

CMC [(1-X) x % kadar serat kasar] / 100

Air [(5-X) x % kadar air] / 100

Maizena Untuk membuat 100%

3. Perlakuan hewan percobaan

Tikus dibagi enam kelompok yang masing-masing kelompok diberi perlakuan yang berbeda-beda seperti pada Tabel 3. Semua tikus diberi air minum dan ransum standar ad libitum. Kultur L. plantarum dan L. fermentum yang digunakan sebanyak 1 ml dengan populasi 108 cfu/ml (Zoumpopolou et al. 2008), sedangkan kultur Enteropathogenic Escherichia coli yang digunakan sebanyak 1 ml dengan populasi 106 cfu/ml untuk satu kali cekok (Oyetayo 2004). L. plantarum, L.

(31)

21  

fermentum, dan EPEC diberikan pada tikus percobaan secara per oral menggunakan sonde.

Tabel 3 Kelompok tikus perlakuan

Kelompok tikus Perlakuan

A Tikus yang diberi ransum standar dan dicekok akuades mulai hari

ke-1 sampai hari ke-21 (kontrol negatif).

B Tikus yang diberi ransum standar dan dicekok L. plantarum mulai

dari hari ke-1 sampai hari ke-21.

C Tikus yang diberi ransum standar Pencekokan L. fermentum mulai

dari hari ke-1 sampai hari ke-21. D

Tikus yang diberi ransum standar dan dicekok L. plantarum hari ke-1

sampai hari ke-21 diselingi dengan pencekokan EPEC pada hari ke-8 sampai ke-14.

E

Tikus yang diberi ransum standar dan dicekok L. fermentum mulai

hari ke-1 sampai hari ke-21 diselingi dengan pencekokan EPEC pada hari ke-8 sampai ke-14.

F

Tikus yang diberi ransum standar dan dicekok akuades mulai hari ke-1 sampai hari ke-21, diselingi dengan pencekokan EPEC mulai hari ke-8 sampai hari ke-14.

4. Sampling organ usus halus

Proses terminasi (pengakhiran perlakuan) dan sampling organ usus halus dilakukan tiga kali yaitu pada hari ke-8 (T1), hari ke-15 (T2), dan hari ke-22 (T3). Saat tikus diterminasi, jaringan usus halus beserta lambungnya diambil kemudian dicuci dengan NaCl 0.9%. Jaringan lalu disimpan dan difiksasi selama 24 jam dalam larutan Bouin.

5. Pemrosesan jaringan

Potongan jaringan usus halus (duodenum, jejunum, dan ileum) yang telah difiksasi kemudian didehidrasi dengan alkohol bertingkat (70%, 80%, 90%, dan 95%) yang masing-masing selama 24 jam dan alkohol absolut (I, II, dan III) masing-masing selama 1 jam. Tahap berikutnya adalah infiltrasi parafin ke dalam jaringan dengan memasukkan sampel jaringan ke dalam parafin cair I, II, dan III masing-masing selama 1 jam dengan suhu 60oC. Setelah itu dilakukan penanaman organ dalam parafin (embedding), kemudian dibuat blok-blok jaringan sesuai ukuran organ. Blok jaringan dipotong setebal 4 µm dengan mikrotom. Hasil potongan direndam dalam akuades (suhu ruang), kemudian dimasukkan ke dalam

(32)

22  

akuades yang dipanaskan dalam waterbath (suhu 37oC). Selanjutnya jaringan diletakkan pada gelas objek dan dimasukkan ke dalam inkubator 40oC selama minimal 24 jam.

6. Pewarnaan

Sebelum tahap pewarnaan, dilakukan deparafinisasi dan rehidrasi dengan cara mencelupkan sediaan jaringan ke dalam xylol III, II, dan I masing-masing selama 5 menit dilanjutkan dengan alkohol absolut III, II, dan I, alkohol 95%, 90%, 80%, dan 70% masing-masing selama 3 menit. Dicuci dengan air kran selama 5 menit dilanjutkan dengan akuades.

Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE)

Pewarnaan jaringan diawali dengan pemberian hematoksilin selama 3 menit, lalu direndam dalam air kran selama 10 menit dan akuades selama 5 menit, dilanjutkan pewarnaan dengan Eosin selama 2 menit. Tahap pewarnaan diakhiri dengan dehidrasi pada alkohol bertingkat 70%, 80%, 90%, 95%, absolut I, II masing-masing beberapa detik, kemudian absolut III selama 1 menit. Lalu dilanjutkan dengan clearing pada xylol I, II selama beberapa detik dan xylol III selama satu menit, diakhiri dengan mounting (penutupan sediaan dengan coverglass) menggunakan entellan. Sediaan jaringan yang telah selesai diwarnai kemudian diamati dan dipotret.

Pewarnaan Imunohistokimia terhadap IgA

Pewarnaan jaringan secara imunohistokimia dilakukan dengan penghilangan enzim peroksidase endogen dengan cara mencelupkan sediaan ke dalam substrat metanol 30 mL yang telah ditambahkan hidrogen peroksida (H2O2) 0.3 mL selama 15 menit. Pencucian secara berurutan menggunakan akuades dan PBS masing-masing dua kali selama 10 menit. Sediaan jaringan kemudian diinkubasi di dalam serum normal (50-60 µl) selama 60 menit pada suhu 37oC. Dilanjutkan pencucian dengan PBS kembali selama tiga kali selama 5 menit. Sediaan jaringan kemudian diinkubasi di dalam antibodi primer IgA (50-60 µl) pada suhu 4oC selama satu malam.

(33)

23  

Setelah inkubasi, preparat dicuci dengan PBS sebanyak tiga kali masing-masing 10 menit. Selanjutkan preparat diinkubasi di dalam antibodi sekunder Dako Envision Peroksidase System (50-60 µl) selama 60 menit pada suhu 37oC pada kondisi gelap. Hasil reaksi antigen dengan antibodi divisualisasikan dengan menggunakan DAB (Diamino Benzidin) selama 30 menit (gelap) yang selanjutnya diberi counterstain hematoksilin. Setelah itu dilakukan dehidrasi pada alkohol bertingkat 70%, 80%, 90%, 95%, absolut I, II masing-masing beberapa detik, kemudian absolut III selama 1 menit. Lalu dilanjutkan dengan clearing pada xylol I, II selama beberapa detik dan xylol III selama satu menit, diakhiri dengan mounting. Setelah itu, preparat imunohistokimia siap untuk diamati di bawah mikroskop.

7. Analisis data

Analisis Tebal Mukosa Usus Halus

Hasil pewarnaan HE diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya terhadap gambaran umum histologi organ usus halus. Data yang diambil berupa tebal mukosa usus halus (duodenum, jejunum, dan ileum). Pengamatan histologi usus halus tikus percobaan dengan menghitung rata-rata tebal mukosa setiap 10 vili per preparat usus. Hasil pengukuran dianalisa secara statistik dengan rancangan acak lengkap ANOVA. Apabila ada yang berbeda nyata dilakukan uji lanjut Duncan. Tebal mukosa usus halus ditunjukkan dengan tanda ( ) pada Gambar 7.

Gambar 7 Vili usus halus dengan pewarnaan HE dengan tebal mukosa dari submukosa sampai ke ujung vili usus.

(34)

24  

Analisis imunohistokimia

Data yang diambil dari pewarnaan imunohistokimia adalah data kualitatif mengenai kandungan IgA pada jaringan usus halus yang didasarkan pada intensitas dan distribusi warna coklat yang dihasilkan dari pewarnaan IgA. Warna coklat merupakan reaksi positif (+) terhadap keberadaan IgA dan warna biru merupakan reaksi negatif (-) terhadap keberadaan IgA. Semakin banyak dan semakin tua warna coklat yang dihasilkan, berarti semakin banyak nilai (+) nya yang berarti semakin tinggi kandungan IgA nya.

Gambar

Gambar 1 Sistem Saluran Pencernaan Tikus (Anonim 2010).
Gambar 2   Histologi usus halus yang menunjukkan vili dan lapisan mukosa  (Sahaja 2008)
Tabel 1 Gejala klinis, epidemiologi, dan faktor virulensi dari berbagai galur E.
Gambar 4  Mekanisme probiotik berkompetisi dengan bakteri patogen (Lu dan    Walker 2001)
+6

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi berjudul ” Pengaruh Pemberian Propolis Terhadap Gambaran Histopatologi Hepar Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Dewasa Galur Sprague dawley Yang

PENGARUH INDUKSI PLUMBUM ASETAT TERHADAP MEMORI SPASIAL DAN INTAKE SUKROSA PADA TIKUS PUTIH JANTAN ( RATTUS NORVEGICUS ).. GALUR

Melalui penelitian ini, peneliti ingin melihat adakah perbedaan panjang serta berat tubuh fetus tikus putih ( Rattus norvegicus ) galur Sprague-Dawley yang diberikan asam folat

Apakah terdapat pengaruh peningkatan dosis pada efek protektif thymoquinone terhadap gambaran histopatologi hepar tikus putih ( Rattus norvegicus ) galur Sprague dawley

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah 25 ekor tikus putih jantan galur Sprague Dawley yang dibagi menjadi 5 kelompok uji, yaitu control positif, control

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman jenis dan m ektoparasit yang terdapat pada tikus putih ( Rattus norvegicus ) galur Sprague.. Dawley sebagai hewan

dibandingkan alkohol jenis lainnya terhadap gambaran hati tikus putih ( Rattus norvegicus ) galur Sprague dawley , dapat ditarik kesimpulan bahwa pada pemberian

3.7 Alur Penelitian Dibagi menjadi 5 kelompok dengan masing-masing 6 tikus 30 ekor tikus putih jantan Rattus norvegicus galur Sprague dawley Aklimatisasi selama 7 hari dengan