• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deteksi Secara Imunohistokimia Imunoglobulin A (IgA) pada Usus Halus Tikus yang Diberi Bakteri Asam Laktat (BAL) dan Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Deteksi Secara Imunohistokimia Imunoglobulin A (IgA) pada Usus Halus Tikus yang Diberi Bakteri Asam Laktat (BAL) dan Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC)"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

YENI SETIORINI. Immunohistochemical Profile of Immunoglobulin A (IgA) in the Small Intestinal Rats-treated with Lactic Acid Bacteria (BAL) and Enterophatogenic Escherichia coli (EPEC). Under direction of TUTIK WRESDIYATI.

This study was conducted to evaluate the effect of Lactobacillus plantarum and Lactobacillus fermentum on the immunohistochemical profile of immunoglobulin A (IgA) and the intestinal mucosa thickness of Enteropathogenic E. coli (EPEC) treated rats. A total of 90 male Sparague Dawley rats were used in this study. They were divided into 6 groups: (1) negative control treated group, (2) Lactobacillus plantarum treated group, (3) Lactobacillus fermentum treated group, (4) Lactobacillus plantarum and EPEC treated group, (5) Lactobacillus fermentum and EPEC treated group, and (6) EPEC treated (positive control) group. The results showed that both Lactobacillus fermentum and Lactobacillus plantarum treatment for 2 to 3 weeks increased the thickness of rat’s mucosal small intestine. In the EPEC treated rats, either Lactobacillus fermentum and Lactobacillus plantarum treatment for 2 weeks increased the thickness of rat’s mucosal small intestine. Lactobacillus fermentum treatment for 2 weeks increased the content of IgA in rat’s mucosal small intestine at both conditions; with and without EPEC treatment. Lactobacillus plantarum treatment for 2 weeks only increased the content of IgA in rat’s duodenum and jejunum, while in the EPEC treated rats, Lactobacillus plantarum treatment for 2 weeks could maintained the content of IgA in rat’s mucosal small intestine. Lactobacillus fermentum gave better effect than Lactobacillus plantarum on increasing the content of IgA in rat’s small intestine.

(2)

ESCHERICHIA COLI

(EPEC)

YENI SETIORINI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Deteksi Secara Imunohistokimia Imunoglobulin A (IgA) pada Usus Halus Tikus yang Diberi Bakteri Asam Laktat (BAL) dan Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC) adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2012

(4)

Enterophatogenic Escherichia coli (EPEC). Under direction of TUTIK WRESDIYATI.

This study was conducted to evaluate the effect of Lactobacillus plantarum and Lactobacillus fermentum on the immunohistochemical profile of immunoglobulin A (IgA) and the intestinal mucosa thickness of Enteropathogenic E. coli (EPEC) treated rats. A total of 90 male Sparague Dawley rats were used in this study. They were divided into 6 groups: (1) negative control treated group, (2) Lactobacillus plantarum treated group, (3) Lactobacillus fermentum treated group, (4) Lactobacillus plantarum and EPEC treated group, (5) Lactobacillus fermentum and EPEC treated group, and (6) EPEC treated (positive control) group. The results showed that both Lactobacillus fermentum and Lactobacillus plantarum treatment for 2 to 3 weeks increased the thickness of rat’s mucosal small intestine. In the EPEC treated rats, either Lactobacillus fermentum and Lactobacillus plantarum treatment for 2 weeks increased the thickness of rat’s mucosal small intestine. Lactobacillus fermentum treatment for 2 weeks increased the content of IgA in rat’s mucosal small intestine at both conditions; with and without EPEC treatment. Lactobacillus plantarum treatment for 2 weeks only increased the content of IgA in rat’s duodenum and jejunum, while in the EPEC treated rats, Lactobacillus plantarum treatment for 2 weeks could maintained the content of IgA in rat’s mucosal small intestine. Lactobacillus fermentum gave better effect than Lactobacillus plantarum on increasing the content of IgA in rat’s small intestine.

(5)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(6)

ESCHERICHIA COLI

(EPEC)

YENI SETIORINI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Judul Skripsi : Deteksi Secara Imunohistokimia Imunoglobulin A (IgA) pada Usus Halus Tikus yang Diberi Bakteri Asam Laktat (BAL) dan Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC) Nama : Yeni Setiorini

NIM : B04070047

Disetujui

Prof. drh. Tutik Wresdiyati, Ph.D, PAVet Ketua

Diketahui

drh. Agus Setiyono, MS, Ph. D Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

(8)

Penulis dilahirkan di Brebes pada tanggal 11 Juni 1989 dari ayah Maskuri, S.Pd dan ibu Ina Munifah. Penulis merupakan putri kedua dari dua bersaudara.

Tahun 2007 penulis lulus SMA Negeri 1 Kec. Bumiayu dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan.

(9)

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... PENDAHULUAN

Latar Belakang ... Tujuan ... TINJAUAN PUSTAKA

Hewan Percobaan Tikus (Rattus norvegicus)... Usus Halus... Escherichia coli... Prebiotik dan Probiotik ... Imunoglobulin A ... Imunohistokimia ... Penelitian Sebelumnya... METODE PENELITIAN

Alur Penelitian ... Tempat dan Waktu Penelitian ... Alat dan Bahan Penelitian ... Prosedur Pelaksanaan ...

(10)

Halaman 1. Gejala klinis, epidemiologi, dan faktor virulensi dari berbagai

galur E. coli ... 2. Komposisi campuran ransum basal tikus... 3. Kelompok tikus perlakuan ... 4. Rata-rata tebal mukosa duodenum, jejunum, dan ileum pada

terminasi hari ke-8, hari ke-15, dan hari ke-22... 5. Kandungan imunoglobulin A (IgA) pada mukosa duodenum,

jejunum, dan ileum pada terminasi hari ke-8, hari ke-15, dan hari ke-22 ...

9 20 21

26

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Prosedur pembuatan sediaan...

2. Prosedur pewarnaan Hematoksilin-eosin (HE)...

3. Prosedur pewarnaan Imunoglobulin A (IgA) secara imunohistokimia ...

4. Analisis statistika ketebalan mukosa duodenum (ANOVA) pada terminasi hari ke-8 ...

5. Analisis statistika ketebalan mukosa jejunum (ANOVA) pada terminasi hari ke-8 ...

6. Analisis statistika ketebalan mukosa ileum (ANOVA) pada terminasi hari ke-8 ...

7. Analisis statistika ketebalan mukosa duodenum (ANOVA) pada terminasi hari ke-15 ...

8. Analisis statistika ketebalan mukosa jejunum (ANOVA) pada terminasi hari ke-15 ...

9. Analisis statistika ketebalan mukosa ileum (ANOVA) pada terminasi hari ke-15 ...

10.Analisis statistika ketebalan mukosa duodenum (ANOVA) pada terminasi hari ke-22 ...

11.Analisis statistika ketebalan mukosa jejunum (ANOVA) pada terminasi hari ke-22 ...

12.Analisis statistika ketebalan mukosa ileum (ANOVA) pada terminasi hari ke-22 ...

65

66

67

68

69

70

71

72

73

74

75

(12)

Latar Belakang

Saluran pencernaan merupakan organ yang aktif secara metabolis karena selalu

terekspos oleh berbagai macam zat selama proses mencerna makanan. Makanan

kemungkinan mengandung kontaminan yang merugikan saluran pencernaan. Dengan

demikian saluran pencernaan merupakan organ yang rentan terhadap gangguan.

Gangguan saluran pencernaan bervariasi dari yang ringan hingga yang berat dan

dapat menimbulkan kematian bila tidak ditangani dengan baik. Gangguan saluran

pencernaan dapat dicegah dengan menjaga keseimbangan mikroflora alami yang

terdapat pada saluran pencernaan. Saluran pencernaan orang dewasa mempunyai luas

permukaan sekitar 200 m

2

(Mayer 2003).

Saluran pencernaan juga berhubungan langsung dengan lingkungan luar,

sehingga dapat menjadi tempat keluar masuknya mikroorganisme patogen (Tamime

2005). Mikroorganisme patogen yang terdapat dalam saluran pencernaan secara

potensial dapat merusak mukosa saluran pencernaan (Sarkovic

et al

. 2005).

Enteropathogenic Escherichia coli

(EPEC) merupakan mikroorganisme patogen yang

melekat pada permukaan sel epitel usus dan dapat menyebabkan diare (Michail dan

Abernathy 2002). Diare didefinisikan sebagai buang air besar dengan kondisi feses

yang tidak berbentuk atau cair dengan frekuensi lebih dari 3 kali selama 24 jam.

WHO menyatakan ada sekitar 4 milyar kasus diare setiap tahun dengan tingkat

mortalitas 3-4 juta per tahun (Zein

et al.

2004).

Upaya yang dapat dilakukan masyarakat untuk mengurangi gangguan saluran

pencernaan diantaranya dengan mengonsumsi pangan fungsional. Salah satu pangan

fungsional yang berkhasiat pada saluran pencernaan dan diminati oleh masyarakat

adalah probiotik. Probiotik merupakan mikroorganisme hidup yang dapat

memberikan efek yang menguntungkan pada saluran pencernaan inang (Parassol

et

al

. 2005). Probiotik yang biasa digunakan pada produk pangan adalah bakteri asam

laktat (BAL), terutama galur

Lactobacillus

,

Bifidobacterium

, dan beberapa dari

(13)

2

 

 

pakan hewan yang mengandung probiotik untuk meningkatkan kesehatan saluran

pencernaan.

Bakteri asam laktat mampu mengurangi gangguan saluran pencernaan, mampu

menstimulir pergerakan peristaltik di usus, sehingga transit feses akan lebih singkat,

serta mampu menghambat mikroorgnisme patogen sehingga dapat mencegah

terjadinya diare dan infeksi (Gill dan Guarner 2004). BAL juga dapat bersifat sebagai

imunomodulator untuk meningkatkan daya tahan tubuh (Erickson dan Hubbard

2000). Beberapa peneliti juga melaporkan bahwa mengkonsumsi BAL golongan

Lactobacillus

mampu meningkatkan sistem imun seluler dan humoral diantaranya

peningkatan populasi dan proliferasi sel limfosit, produksi sitokin interferon-

Ȗ

(IFN-Ȗ

), interleukin-12 (IL-12), IL-10, sel imun Th, serta imunoglobulin (Ig) A, IgE, IgG,

dan IgM (Gackowska

et al.

2006; Attaouri

et al.

2002).

Imunoglobulin A merupakan protein yang dihasilkan oleh sel limfosit B dan

merupakan imunoglobulin utama yang ditemukan pada mukosa, salah satunya adalah

pada mukosa saluran pencernaan. IgA pada saluran pencernaan berperan memblok

perlekatan mikroorganisme patogen pada sel epitel usus (Wilson 2005). Pada proses

eliminasi antigen yang terdapat pada mukosa saluran pencernaan, IgA tidak

mengundang timbulnya reaksi radang yang hebat karena berfungsi melindungi

mukosa yang lembut (Yamamato

et al

. 2004).

Kandungan IgA pada saluran pencernaan dapat dideteksi menggunakan metode

immunohistokimia. Prinsip imunohistokimia adalah adanya ikatan antigen-antibodi.

Immunohistokimia mampu mendeteksi suatu molekul yang ada pada jaringan dengan

menggunakan antibodi poliklonal atau antibodi monoklonal terhadap molekul yang

akan dideteksi (reaksi antigen-antibodi). Immunohistokimia mampu memberikan

hasil berupa gambaran secara kualitatif maupun kuantitatif berdasarkan intensitas

warna yang terbentuk seperti warna coklat (Sofian dan Kompono 2006).

Arief

et al.

(2008) telah menemukan 10 BAL isolat lokal yang diambil dari

daging sapi bangsa peranakan Ongol yang dijual di berbagai pasar tradisional di

daerah Bogor, Jawa Barat. BAL yang ditemukan ini sudah diuji secara

in vitro

(14)

 

Indonesia untuk pengembangan pangan probiotik nasional. Isolat lokal mempunyai

keunggulan sangat

adaptable

dengan kondisi lingkungan Indonesia sehingga tidak

memerlukan rekayasa dan manipulasi sifat asli isolat tersebut (Farida 2006). Astawan

et al

. (2009) telah meneliti kemampuan bakterisidal dari 10 jenis isolat BAL terhadap

bakteri Enteropatogenik

E. coli

(EPEC) secara

in vitro

. Hasilnya didapatkan dua

spesies BAL yang mempunyai kemampuan terbaik dalam melawan EPEC, yaitu

Lactobacillus plantarum

dan

Lactobacillus fermentum

.

Penelitian ini dilakukan untuk menguji pengaruh bakteri asam laktat

L.

plantarum

dan

L. fermentum

secara

in vivo

menggunakan tikus percobaan

untuk

melihat sifat fungsionalnya sebagai bakteri asam laktat yang mampu menghambat

pertumbuhan bakteri Enteropatogenik

E. coli

(EPEC) dan sebagai imunomodulator

dalam meningkatkan produksi IgA. Pengaruh tersebut dilihat dari profil

imunohistokimia IgA dan histologi tebal mukosa pada usus halus tikus percobaan

yang dipapar bakteri Enteropathogenik

E. coli

(EPEC).

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa pengaruh pemberian bakteri asam

laktat

L. plantarum

dan

L. fermentum

terhadap profil imunohistokimia

Immunoglobulin A (IgA) dan histologi tebal mukosa pada usus halus tikus percobaan

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Hewan Percobaan Tikus (Rattus norvegicus)

Hewan percobaan atau hewan laboratorium adalah hewan yang sengaja

dipelihara dan diternakan untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari

dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau

pengamatan laboratorik. Penggunaan hewan percobaan untuk penelitian banyak

dilakukan di bidang fisiologi, farmakologi, biokimia, patologi, dan komparatif

zoologi. Di bidang ilmu kedokteran selain untuk penelitian, hewan percobaan juga

sering digunakan sebagai keperluan diagnostik. Berbagai jenis hewan yang umum

digunakan sebagai hewan percobaan, yaitu mencit, tikus, marmut, kelinci,

hamster, unggas, kambing, domba, sapi, kerbau, kuda, dan simpanse (Malole dan

Pramono 1989).

Penggunaan hewan percobaan untuk pengujian secara in vivo biasanya menunjukkan hasil deviasi yang besar dibandingkan dengan percobaan in vitro, karena adanya variasi biologis. Supaya variasi tersebut minimal, hewan-hewan

yang mempunyai spesies yang sama atau strain yang sama, usia yang sama, dan

jenis kelamin yang sama, dipelihara pada kondisi yang sama pula (Malole dan

Pramono 1989).

Hewan percobaan yang umum digunakan dalam penelitian ilmiah adalah

tikus. Tikus (Rattus norvegicus) telah diketahui sifat-sifatnya secara sempurna, mudah dipelihara, dan merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk

berbagai penelitian. Ciri-ciri morfologi Rattus norvegicus antara lain memiliki berat 150-600 gram, hidung tumpul dan badan besar dengan panjang 18-25 cm,

kepala dan badan lebih pendek dari ekornya, serta telinga relatif kecil dan tidak

lebih dari 20-23 mm (Depkes 2011).

Terdapat tiga galur atau varietas tikus yang memiliki kekhususan tertentu

yang biasa digunakan sebagai hewan percobaan yaitu galur Sprague dawley berwarna albino putih, berkepala kecil dan ekornya lebih panjang dari badannya,

(16)

digunakan dalam penelitian adalah galur Sprague Dawley berjenis kelamin jantan berumur kurang lebih 2 bulan. Tikus Sprague Dawley dengan jenis kelamin betina tidak digunakan karena kondisi hormonal yang sangat berfluktuasi pada saat

mulai beranjak dewasa, sehingga dikhawatirkan akan memberikan respon yang

berbeda dan dapat mempengaruhi hasil penelitian (Kesenja 2005). Tikus putih

galur ini mempunyai daya tahan terhadap penyakit dan cukup agresif

dibandingkan dengan galur lainnya (Harkness dan Wagner 1983).

Menurut Besselsen (2004) dan Depkes (2011) taksonomi tikus adalah:

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Mamalia

Subkelas : Theria

Ordo : Rodensia

Subordo : Sciurognathi

Famili : Muridae

Subfamili : Murinae

Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus

Ada dua sifat utama yang membedakan tikus dengan hewan percobaan

lainnya, yaitu tikus tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak lazim

pada tempat bermuara esofagus ke dalam lambung sehingga mempermudah

proses pencekokan perlakuan menggunakan sonde lambung, dan tidak

mempunyai kandung empedu (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Selain itu, tikus

hanya mempunyai kelenjar keringat di telapak kaki. Ekor tikus menjadi bagian

badan yang paling penting untuk mengurangi panas tubuh. Mekanisme

perlindungan lain adalah tikus akan mengeluarkan banyak ludah dan menutupi

bulunya dengan ludah tersebut (Sirois 2005). Skematis sistem saluran pencernaan

(17)

6

 

Gambar 1 Sistem Saluran Pencernaan Tikus (Anonim 2010).

Pertumbuhan dan perkembangan tubuh tikus tergantung pada efisiensi

makanan yang diberikan dan juga sangat dipengaruhi oleh metabolisme basal

tubuh tikus itu sendiri (Robinson 1972). Beberapa faktor penting yang dapat

meningkatkan metabolisme basal tubuh hewan adalah suhu lingkungan, jenis

kelamin, umur, keadaan psikologis hewan, dan suhu badan (Ganong 1999).

Usus Halus

Usus halus terdiri dari duodenum, jejunum, dan ileum. Duodenum pada

manusia memiliki panjang sekitar 25 cm terikat erat pada dinding dorsal abdomen

dan sebagian besar terlatak retroperitoneal. Jalannya berbentuk seperti huruf C

yang mengitari pankreas dan ujung distalnya menyatu dengan jejunum yang

terikat pada dinding dorsal rongga melalui mesenterium. Jejunum dapat bergerak

bebas pada mesenteriumnya dan merupakan dua-perlima bagian proksimal usus

halus. Sedangkan ileum merupakan sisa tiga-perlimanya. Dinding usus halus

terdiri atas empat lapis konsentris yaitu mukosa, submukosa, muskularis, dan

serosa (Leeson et al. 1996) (Gambar 2).

Lapisan mukosa terdiri dari lamina epitel, lamina propia, dan muskularis

(18)

yang digunakan untuk memperluas permukaan. Pada permukaan epitel vili

terdapat mikrovili yang dapat meningkatkan efisiensi penyerapan nutrisi. Pada

usus halus juga terdapat sel goblet yang menghasilkan mukus sebagai pelindung

mukosa usus (Colville dan Joanna 2002).

Membran mukosa adalah lingkungan yang unik dimana banyak spesies

mikroorganisme yang berbeda dapat hidup dan berekspresi. Terdapat 1014 mikroorganisme dari 200 spesies, 40-50 genus hidup pada permukaan tersebut,

dan 99% dari populasi mikroorganisme pada membran mukosa terjadi di bagian

distal usus halus dan di bagian proksimal kolon (Herich dan Levkut 2002).

Membran mukosa dalam suatu tubuh berkontak langsung dengan lingkungan

luar dan membran mukosa juga terkolonisasi oleh mikroorganisme yang berbeda

dalam jumlah yang besar. Permukaan mukosa dilindungi oleh banyak mekanisme

pertahanan yang memastikan perlindungan yang efektif dengan memproduksi

imunoglobulin A (IgA), mukus, dan kriptoprotektif peptida. Mikroorganisme

dapat mempengaruhi struktur mukosa, fungsi, dan perkembangan sistem imun

(Herich dan Levkut 2002).

(19)

8

 

Fungsional epitel usus tergantung pada populasi mikroorganisme di dalam

usus, masuknya mikroorganisme patogen, penyusun yang merugikan dalam lumen

usus, dan mukosa usus yang terpapar antigen. Secara fisiologis bahwa populasi

mikroorganisme normal terdapat dalam usus. Pada manusia sehat, berisi 0-103 cfu/ml dalam perut, 0-105 cfu/ml pada jejunum, 103-109 cfu/ml pada ileum, dan 1010-1012 cfu/ml di usus (Hao dan Lee 2004).

Mikroorganisme usus berfungsi sebagai aktivitas metabolik yang mampu

menyimpan energi dan nutrisi yang dibutuhkan oleh epitel usus, serta

perlindungan terhadap serangan mikroorganisme yang merugikan.

Mikroorganisme normal yang ada di saluran pencernaan dapat mencegah

pertumbuhan yang berlebihan dari mikroorganisme patogen dalam saluran

pencernaan (Harish dan Varghese 2006).

Kemampuan saluran pencernaan untuk mencerna makanan tergantung pada

aktivitas mikroorganisme. Mikroorganisme indigenus suatu waktu akan

menyebabkan infeksi pada saluran pencernaan (Berg 1996). Apabila aktivitas

mikroorganisme dalam usus halus berubah akibat hadirnya mikroorganisme

patogen seperti E. coli dan Sallmonela sp., sehingga proses pencernaan menjadi terganggu (Berg 1996). Hal ini karena keseimbangan jumlah dan jenis

mikroorganisme pada usus halus sangat mempengaruhi kesehatan. Lactobacillus dan Bifidobacterium secara umum merupakan mikroorganisme nonpatogen yang secara alami ada di dalam usus (Weizman et al. 2005).

Escherichia coli

Suwito (2010) menglasifikasikan E. coli berdasarkan ciri khusus dari sifat-sifat virulensinya dan setiap kelompok menimbulkan penyakit melalui mekanisme

(20)

Tabel 1 Gejala klinis, epidemiologi, dan faktor virulensi dari berbagai galur E. coli (Suwito 2010)

Strain Gejala klinis Epidemiologi Faktor virulensi

EPEC Diare berair Pada anak-anak

Melekat pada

mukosa usus dan

merusak vili-vili

usus

EHEC

Diare berair,

hemoragik

kolitis,

hemolitik

uremik sindrom

Food born, water

borne Shiga like toxin

ETEC Diare berair Traveler diare

Pili, heat labile dan heat stable enterotoksin

EAEC Diare berlendir Pada anak-anak Pili, sitotoksin

EIEC Disentri, diare

berair Food borne Seluler invasif

Enterotoksin akan mempengaruhi sekresi cairan saluran pencernaan. Pada

saluran pencernaan manusia, EPEC akan menyebakan atrofi dan nekrosis usus.

Pada anak-anak, EPEC menyebabkan diare, sedangkan EHEC akan membentuk

koloni pada saluran pencernaan sehingga mengakibatkan pendarahan dan

terjadinya atrofi mikrovili sel-sel epitel usus (Suwito 2010; Clarke et al. 2002). EPEC melekat pada sel mukosa yang kecil dan menimbulkan kerusakan pada

epitel melalui pembentukan mikrokoloni yang ditunjukkan dengan perlekatan

yang terlokalisasi (Savkovic et al. 2005). Selain itu, pada dosis 105 – 1010 sel EPEC dapat menyebabkan diare yang durasinya kurang lebih lima hari (Janda dan

Abbot 2006; Lodes et al. 2004).

EPEC adalah salah satu mikroorganisme patogen yang dapat menyebabkan

lesi attaching dan effacing (A/E) pada sel usus. Ciri dari patogen A/E adalah terletak pada tumpuannya di permukaan sel epitel inang dan menyebabkan

(21)

10

 

mukosa deodenum dan proksimal jejunum. EPEC menimbulkan kerusakan pada

epitel jejunum melalui pembentukan mikrokoloni yang ditunjukkan dengan

pelekatan yang terlokalisasi (Moat et al. 2002).

Infeksi EPEC pada sel epitel dapat dilihat pada Gambar 3. EPEC pada sel

epitel membentuk perlekatan dan tidak memperlihatkan adanya lesio. Awal

penyerangan EPEC pada sel epitel diperantarai adanya bundle-forming pilus (BFP) yang merupakan suatu fimbria tipe IV yang terlibat dalam virulensi,

autoagregasi, dan perlekatan lokal bakteri ke sel inang (Blank dan Donnenberg

2001). Setelah perlekatan awal terjadi, mikrovili terganggu dan EPEC

mengeluarkan beberapa faktor virulensi dan mensekresikan reseptor Tir

(translicated intimin receptor) ke dalam sel inang. EPEC mengikat Tir melalui membran luar protein, intimin. Sinyal transduksi terjadi di dalam sel inang,

termasuk aktivasi protein kinase C (PKC), inositol triphosphat (IP3), dan

pelepasan Ca2+. Beberapa protein sitoskeleton termasuk aktin, menjadi tempat perlekatan EPEC. Akhirnya, terjadi penyusunan kembali sitoskeletal setelah

Tir-intimin berikatan, dan menghasilkan formasi pedestal-like structure (Lu dan Walker 2001).

(22)

Prebiotik dan Probiotik

Prebiotik merupakan pangan yang dapat memacu pertumbuhan bakteri

probiotik, agar dapat diperoleh kondisi fisiologis dan metabolik yang dapat

memberikan perlindungan pada saluran pencernaan, khususnya usus halus dan

kolon (Zakaria 2003). Probiotik didefinisikan sebagai bakteri hidup yang

diberikan sebagai suplemen makanan yang mempunyai pengaruh yang

menguntungkan terhadap kesehatan, dengan memperbaiki keseimbangan

mikroflora usus. Efek yang menguntungkan dari bakteri tersebut dapat mencegah

dan mengobati kondisi patologik usus bila bakteri tersebut diberikan secara oral

(Karuniawati 2010; Maurad dan Meriem 2008; Lisal 2005).

Karakteristik probiotik yang diinginkan dari satu strain spesifik adalah mempunyai kapasitas untuk bertahan hidup, melakukan kolonisasi dan

metabolisme dalam saluran pencernaan, mampu mempertahankan keseimbangan

mikroflora usus, mampu menstimulasi sistem imun, dan bersifat nonpatogen

(Gibson dan Fuller 2000). Efikasi dari beberapa probiotik tergantung dari genus,

spesies dan strain. Tidak semua bakteri tahan asam mempunyai efek probiotik. Probiotik multipel strain lebih efektif daripada single strain (Cornelius dan Van 2004).

Mekanisme probiotik bersaing dengan mikroorganisme patogen di dalam usus

dapat dilihat pada Gambar 4. Probiotik dapat meningkatkan pertahanan dengan

menduduki usus dalam jumlah besar dan beragam. Hal ini dapat mencegah

kolonisasi mikroorganisme patogen, menghasilkan senyawa antimikroba, asam

lemak jenuh, dan dimodifikasi dengan asam empedu yang dapat menciptakan

lingkungan lumen yang kurang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme patogen,

serta mampu merangsang sistem imun. Penyakit pada usus akan terjadi jika

perkembangan mikrorganisme patogen yang terlalu banyak dan terganggunya

(23)

12

 

Gambar 4 Mekanisme probiotik berkompetisi dengan bakteri patogen (Lu dan Walker 2001).

Salah satu jenis bakteri yang umum terdapat di daging adalah bakteri asam

laktat (BAL). Arief et al. (2008) melaporkan bahwa BAL golongan Lactobacillus, Lactococcus, dan Streptococcus dari daging sapi bangsa Peranakan Ongol yang dijual di berbagai pasar tradisional daerah Bogor mampu bertahan pada kondisi

saluran pencernaan seperti pH saluran pencernaan dan garam empedu, serta

memiliki aktivitas antimikroba terhadap bakteri patogen. Kemampuan bakterisidal

terhadap bakteri patogen ini disebabkan bakteri ini mampu menghasilkan senyawa

bioaktif asam laktat, asam asetat, dan senyawa bakteriosin.

Bakteri asam laktat termasuk mikroorganisme probiotik yang berpengaruh

positif terhadap mikroflora di saluran pencernaan. Bakteri asam laktat juga

termasuk kelompok bakteri yang dapat mengeliminasi kerusakan pada saluran

pencernaan dan beberapa gangguan pencernaan berupa inflamasi pada saluran

pencernaan. Jika bakteri asam laktat mampu bertahan lama dalam usus maka akan

menstimulir pergerakan peristaltik di usus, sehingga transit feses akan lebih

singkat. Selain itu, bakteri asam laktat mampu menghambat bakteri patogen

sehingga dapat mencegah terjadinya diare dan infeksi (Gill dan Guarner 2004).

Bakteri asam laktat juga dapat bersifat sebagai imunomodulator untuk

(24)

Bakteri asam laktat mampu menstimulasi sistem imun karena adanya senyawa

peptidoglikan dan lipopolisakarida dalam dinding sel (Surono 2004). Bakteri asam

laktat juga merangsang aktivitas sel imun yang spesifik dan nonspesifik. Sistem

imun spesifik dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu sistem imun spesifik

humoral dan sistem imun spesifik seluler. Antibodi yang diproduksi dalam sel

plasma mediasi dari sistem imun spesifik humoral. Sistem imun spesifik seluler

dimediasi oleh limphosit T yang berproliferasi setelah kontak dengan antigen,

produk sitokin, dan menyebabkan aktivitas pada sel kekebalan yang lain (Tizard

2000).

Bakteri asam laktat mampu meningkatkan sistem imun spesifik humoral.

Berdasarkan penelitian bahwa produksi IgA akan meningkat jika mendapatkan

bakteri asam laktat. Pemberian bakteri asam laktat golongan Lactobacillus dapat memberikan efek kesehatan bagi inang seperti mencegah terjadinya infeksi

saluran pencernaan, meningkatkan respon imunlokal, dan meningkatkan produksi

IgA. Produksi IgA kemudian disekresikan ke lumen usus untuk mencegah

penempelan mikroorganisme patogen seperti, Salmonella typhimurium di mukosa usus (Isolauri 2001).

L. plantarum merupakan bakteri gram positif yang tidak patogen dan secara alami terdapat dalam saliva dan saluran pencernaan. L. plantarum merupakan bakteri asam laktat yang biasa digunakan dalam makanan fermentasi. L. plantarum mampu bertahan pada kondisi lambung (pH rendah) dan adanya garam empedu. L. plantarum juga mampu melindungi sel epitel usus terhadap induksi E. coli (Bixquert 2009). L. plantarum mampu tumbuh dengan baik pada pH 2-3 dan pada pH antara 4-6.5 terjadi peningkatan populasi (Anukam dan

Koyama 2007). Sedangkan L. fermentum mampu tumbuh baik pada kisaran pH 2-3 dan garam empedu 0.2-3-1% (Klayraung et al. 2008).

Imunoglobulin A (IgA)

Sistem imunitas mukosa saluran pencernaan merupakan bagian sistem

imunitas yang penting dan berlawanan sifatnya dari sistem imunitas sistemik.

Sistem imunitas mukosa lebih bersifat menekan imunitas. Hal ini disebabkan oleh

(25)

14

 

berhadapan dengan banyak antigen yang terdiri dari mikroorganisme patogen,

antigen makanan, dan virus dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan sistem

imunitas sistemik. Antigen-antigen tersebut dicegah agar tidak menempel mukosa

saluran pencernaan dengan pengikatan oleh IgA, barier fisik dan kimiawi dengan

enzim-enzim yang ada pada mukosa saluran pencernaan. Mamalia memproduksi

IgA dan antibodi lain paling sedikit 80% pada semua sel plasma dan terlokalisasi

pada lamina propria saluran pencernaan (Van et al. 2001).

Imunoglobulin A (IgA) merupakan protein yang dihasilkan oleh sel limfosit B

dan merupakan immunoglobulin utama yang ditemukan pada mukosa. Limfosit B

merupakan limfosit terbesar di temukan di lamina propria yang fungsi efektor

utamanya adalah sekresi antibodi terutama IgA yang berperan mencegah

perlekatan mikroba ke sel epitel usus (Wilson 2005). IgA terdapat di air liur, air

mata, sekresi bronkus, mukosa hidung, cairan prostat, sekresi vagina, dan mukus

dari usus halus sebagai pertahanan primer tubuh. Sekresi IgA tidak menimbulkan

respon inflamasi sehingga sekresi IgA ideal untuk menjaga permukaan mukosa

dari antigen dengan cara mencegah perlekatan antigen pada epitel (Surono 2004)

dan berfungsi melindungi mukosa yang lembut (Yamamato et al. 2004).

Mekanisme pertahanan sistem imun adaptif di permukaan mukosa merupakan

suatu sistem yang diperantarai antibodi IgA sekretori, kelas imunoglobulin

predominan dalam sekresi eksternal manusia. Imunoglobulin ini tahan terhadap

protease sehingga cocok berfungsi pada sekresi mukosa. Induksi IgA melawan

patogen mukosa dan antigen protein terlarut bergantung pada sel T helper.

Perubahan sel B menjadi sel B penghasil IgA dipengaruhi oleh TGF-ȕ dan

iterleukin (IL)10 bersama-sama dengan IL-4. Sel T di mukosa menghasilkan

TGF-ȕ, IL-10 dan IL-4 dalam jumlah yang banyak dan sel epitelial mukosa

menghasilkan TGF-ȕ dan IL-10. Hal tersebut dapat menjadi petunjuk bahwa

maturasi sel B penghasil IgA melibatkan lingkungan mikro mukosa yaitu sel

(26)

Imunohistokimia

Kandungan Imunoglobulin A (IgA) pada usus halus dapat dideteksi dengan

menggunakan metode imunohistokimia (Wresdiyati et al. 2006; Ramos-Vara 2005). Imunohistokimia sebagai suatu metode untuk mendeteksi suatu molekul

yang ada di jaringan dengan menggunakan antibodi poliklonal atau monoklonal

terhadap molekul yang akan dideteksi (merupakan reaksi antigen-antibodi) dan

dapat memberikan gambaran kualitatif dan kuantitatif dari intensitas warna yang

terbentuk. Poliklonal antibodi memiliki affinitas dan reaktivitas yang lebih tinggi

dibandingkan dengan monoklonal antibodi, tetapi poliklonal antibodi kurang

spesifik. Teknik imunohistokimia dapat digunakan untuk mempelajari distribusi

enzim yang spesifik pada struktur sel intak (normal/lengkap), mendeteksi

komponen sel, biomakromolekul seperti protein dan karbohidrat (Sofian dan

Kampono 2006).

Prinsip dari teknik imunohistokimia adalah adanya ikatan antigen-antibodi

yang digunakan untuk mendeteksi suatu molekul dalam jaringan. Teknik

immunohistokimia ini menggunakan dua antibodi yaitu antibodi primer dan

antibodi sekunder yang telah dikonjugasi dengan peroksidase. Pada jaringan,

antibodi primer akan berikatan dengan antigen (molekul) jaringan yang dideteksi,

dalam penelitian ini adalah IgA. Prinsip immunohistokimia dengan metode

polimer peroksidase dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Prinsip teknik pewarnaan imunohistokimia (Wresdiyati et al. 2006). Jaringan usus halus

Antibodi sekunder (K1491) Antibodi primer

(IgA)

Antigen (IgA)

Peroksidase

(27)

16

 

Immunoglobulin A (IgA) yang terdapat pada mukosa usus halus dikenal

sebagai antigen. Antibodi primer (anti IgA) berikatan dengan antigen (IgA),

kemudian antibodi sekunder yang telah dikonjugasi peroksidase bereaksi dengan

antibodi primer dan membentuk ikatan antigen-antibodi. Agar IgA dapat

tervisualisasi, perlu dilabel menggunakan kromogen. Pada penelitian ini

menggunakan kromogen DAB (Diaminobenzidine) yang dapat membentuk

endapan warna coklat. DAB tidak larut dalam pelarut organik. Peroksidase yang

terkonjugasi pada antibodi sekunder berfungsi untuk mengkatalis reaksi antara

kromogen (DAB) dan hidrogen peroksida (H2O2) sehingga terbentuk endapan warna coklat. Warna coklat menunjukkan keberadaan IgA. Semakin tua intensitas

dan semakin luas distribusi warna coklatnya maka semakin banyak kandungan

IgA-nya. Couterstain menggunakan hematoksilin (biru) untuk membentuk kontras warna agar dapat menghindari kebingungan dengan endapan kromogen (Van

2002).

Penelitian Sebelumnya

Kriteria dasar yang ditetapkan oleh FAO/WHO (2002) serta kesepakatan

internasional mengenai probiotik dipenuhi oleh suatu bakteri asam laktat jika akan

digunakan sebagai probiotik, yaitu kemampuannya untuk bertahan pada kondisi

lambung (pH rendah) dan adanya garam empedu, serta penghambat terhadap

bakteri patogen. Arief et al. (2008) telah melakukan isolasi bakteri asam laktat golongan Lactobacillus, Lactococcus, dan Streptococcus dari daging sapi bangsa Peranakan Ongol yang dijual di berbagai pasar tradisional daerah Bogor. BAL

tersebut selanjutnya diuji kemampuannya bertahan pada kondisi sesuai saluran

pencernaan manusia antara lain, pH saluran pencernaan dan garam empedu, serta

aktivitas antimikrobanya terhadap bakteri patogen. Hasil penelitian pendahuluan

tersebut menunjukkan bahwa terdapat 10 jenis bakteri asam laktat isolat indigenus

yang mempunyai kemampuan bertahan pada pH 2 dan pH usus yaitu pada nilai

pH 7.2, serta pada kondisi garam empedu 0.5% sesuai dengan kondisi saluran

pencernaan. Selain itu, bakteri asam laktat tersebut juga mempunyai aktivitas

(28)

Kesepuluh jenis BAL hasil seleksi awal Arief et al. (2008) tersebut adalah spesies Lactobacillus spp, Lactococcus spp, dan Streptococcus spp. BAL tersebut mempunyai kemampuan bakterisidal terhadap mikroba patogen karena kedua

bakteri tersebut mampu menghasilkan senyawa bioaktif asam laktat, asam asetat,

serta senyawa bakteriosin. Berdasarkan kriteria dasar probiotik yang dikeluarkan

oleh FAO/WHO (2002), kesepuluh isolat indigenus bakteri asam laktat tersebut

dapat dinyatakan sebagai probiotik.

Untuk mengetahui sifat fungsional lainnya, khususnya sebagai bakteri

probiotik yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri enteropatogenik

penyebab diare, maka kesepuluh isolat indigenus BAL tersebut perlu diuji

kemampuannya. Kemampuan bakterisidal BAL terhadap bakteri enteropatogenik

khususnya EPEC dapat dilakukan baik secara in vivo maupun in vitro. Pengujian secara in vivo pada hewan percobaan akan menunjukkan hasil yang mendekati kondisi kejadian sebenarnya baik pada hewan maupun manusia. Astawan et al. (2009) telah meneliti kemampuan bakterisidal dari 10 jenis isolat BAL terhadap

bakteri Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC) secara in vitro. Hasilnya didapatkan dua spesies BAL yang mempunyai kemampuan terbaik dalam

melawan EPEC, yaitu L. plantarum dan L. fermentum. Kedua bakteri asam laktat (BAL) inilah yang dipakai dalam penelitian ini.

(29)

METODE PENELITIAN

Alur penelitian yang akan dilakukan secara umum digambarkan dalam skema pada Gambar 6.

 

Gambar 6 Alur penelitian.

Pengujian probiotik secara in vivo pada tikus percobaan yang dibagi menjadi 6 kelompok perlakuan, sebagai berikut :

A. Kontrol negatif (ransum standar) B. BAL 1 (L. plantarum)

C. BAL 2 (L. fermentum)

D. BAL 1 (L. plantarum + EPEC) E. BAL 2 (L. fermentum + EPEC) F. Kontrol positif (EPEC)

Hari H0 H8 H15 H22

T1 T2 T3

Terminasi

Cekok EPEC (D,E,F)

Cekok BAL (B,C,D,E)

Analisis tebal mukosa dan kandungan IgA pada usus

halus tikus percobaan 

Diketahui satu BAL probiotik terbaik dalam meningkatkan tebal mukosa dan kandungan IgA

(30)

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA, kandang hewan SEAFAST Center dan Laboratorium Histologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, FKH, Institut Pertanian Bogor pada bulan Juli-Agustus 2009 dan dilanjutkan pada bulan Januari-Februari 2010.

Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan terdiri atas seperangkat alat bedah (gunting, pinset, alas bedah), pisau silet, gelas piala, erlenmeyer, botol sampel, kapas, kertas tissue, benang, alluminium foil, tissue basket, exhause fan, pipet tetes, pipet mohr, mikropipet, gelas ukur, cup embedding, objek glass, coverglass, inkubator, waterbath, mikrotom putar (rotatory microtom), tabung ependorf, kotak preparat, pensil, dan kamera.

(31)

20

 

Prosedur pelaksanaan

1. Kandang dan perlengkapan

Kandang yang digunakan adalah kandang yang berukuran 17.5 x 23.75 x 17.5 cm, dengan jumlah sesuai dengan jumlah tikus yang digunakan. Kandang tersebut dari stainless steel. Kandang tikus berlokasi pada tempat yang bebas dari suara ribut, terjaga dari asap industri, dan polutan lainnya. Lantai kandang mudah dibersihkan dan disanitasi. Suhu optimum ruangan untuk tikus adalah 22-24oC dan kelembaban udara 50-60% dengan ventilasi yang cukup (namun tidak ada jendela yang terbuka).

2. Ransum

[image:31.612.103.513.389.544.2]

Komposisi ransum basal disusun berdasarkan standar AOAC (2005) (Arief et al. 2010) yaitu mengandung karbohidrat, protein, lemak, mineral, vitamin, dan air. Komposisi ransum untuk tikus percobaan adalah sebagai berikut :

Tabel 2 Komposisi campuran ransum basal tikus AOAC (2005) (Arief et al. 2010)

Bahan-bahan Jumlah (%)

Protein kasar X=1.60 x 100%N sample (10%port)

Minyak jagung [(8-X) x % ekstrak eter] / 100

Campuran mineral [(5-X) x kadar abu] / 100

Campuran vitamin 1

CMC [(1-X) x % kadar serat kasar] / 100

Air [(5-X) x % kadar air] / 100

Maizena Untuk membuat 100%

3. Perlakuan hewan percobaan

(32)
[image:32.612.114.520.152.358.2]

fermentum, dan EPEC diberikan pada tikus percobaan secara per oral menggunakan sonde.

Tabel 3 Kelompok tikus perlakuan

Kelompok tikus Perlakuan

A Tikus yang diberi ransum standar dan dicekok akuades mulai hari

ke-1 sampai hari ke-21 (kontrol negatif).

B Tikus yang diberi ransum standar dan dicekok L. plantarum mulai

dari hari ke-1 sampai hari ke-21.

C Tikus yang diberi ransum standar Pencekokan L. fermentum mulai

dari hari ke-1 sampai hari ke-21.

D

Tikus yang diberi ransum standar dan dicekok L. plantarum hari ke-1

sampai hari ke-21 diselingi dengan pencekokan EPEC pada hari ke-8 sampai ke-14.

E

Tikus yang diberi ransum standar dan dicekok L. fermentum mulai

hari ke-1 sampai hari ke-21 diselingi dengan pencekokan EPEC pada hari ke-8 sampai ke-14.

F

Tikus yang diberi ransum standar dan dicekok akuades mulai hari ke-1 sampai hari ke-21, diselingi dengan pencekokan EPEC mulai hari ke-8 sampai hari ke-14.

4. Sampling organ usus halus

Proses terminasi (pengakhiran perlakuan) dan sampling organ usus halus dilakukan tiga kali yaitu pada hari ke-8 (T1), hari ke-15 (T2), dan hari ke-22 (T3). Saat tikus diterminasi, jaringan usus halus beserta lambungnya diambil kemudian dicuci dengan NaCl 0.9%. Jaringan lalu disimpan dan difiksasi selama 24 jam dalam larutan Bouin.

5. Pemrosesan jaringan

(33)

22

 

akuades yang dipanaskan dalam waterbath (suhu 37oC). Selanjutnya jaringan diletakkan pada gelas objek dan dimasukkan ke dalam inkubator 40oC selama minimal 24 jam.

6. Pewarnaan

Sebelum tahap pewarnaan, dilakukan deparafinisasi dan rehidrasi dengan cara mencelupkan sediaan jaringan ke dalam xylol III, II, dan I masing-masing selama 5 menit dilanjutkan dengan alkohol absolut III, II, dan I, alkohol 95%, 90%, 80%, dan 70% masing-masing selama 3 menit. Dicuci dengan air kran selama 5 menit dilanjutkan dengan akuades.

Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE)

Pewarnaan jaringan diawali dengan pemberian hematoksilin selama 3 menit, lalu direndam dalam air kran selama 10 menit dan akuades selama 5 menit, dilanjutkan pewarnaan dengan Eosin selama 2 menit. Tahap pewarnaan diakhiri dengan dehidrasi pada alkohol bertingkat 70%, 80%, 90%, 95%, absolut I, II masing-masing beberapa detik, kemudian absolut III selama 1 menit. Lalu dilanjutkan dengan clearing pada xylol I, II selama beberapa detik dan xylol III selama satu menit, diakhiri dengan mounting (penutupan sediaan dengan coverglass) menggunakan entellan. Sediaan jaringan yang telah selesai diwarnai kemudian diamati dan dipotret.

Pewarnaan Imunohistokimia terhadap IgA

(34)

Setelah inkubasi, preparat dicuci dengan PBS sebanyak tiga kali masing-masing 10 menit. Selanjutkan preparat diinkubasi di dalam antibodi sekunder Dako Envision Peroksidase System (50-60 µl) selama 60 menit pada suhu 37oC pada kondisi gelap. Hasil reaksi antigen dengan antibodi divisualisasikan dengan menggunakan DAB (Diamino Benzidin) selama 30 menit (gelap) yang selanjutnya diberi counterstain hematoksilin. Setelah itu dilakukan dehidrasi pada alkohol bertingkat 70%, 80%, 90%, 95%, absolut I, II masing-masing beberapa detik, kemudian absolut III selama 1 menit. Lalu dilanjutkan dengan clearing pada xylol I, II selama beberapa detik dan xylol III selama satu menit, diakhiri dengan mounting. Setelah itu, preparat imunohistokimia siap untuk diamati di bawah mikroskop.

7. Analisis data

Analisis Tebal Mukosa Usus Halus

[image:34.612.224.412.526.666.2]

Hasil pewarnaan HE diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya terhadap gambaran umum histologi organ usus halus. Data yang diambil berupa tebal mukosa usus halus (duodenum, jejunum, dan ileum). Pengamatan histologi usus halus tikus percobaan dengan menghitung rata-rata tebal mukosa setiap 10 vili per preparat usus. Hasil pengukuran dianalisa secara statistik dengan rancangan acak lengkap ANOVA. Apabila ada yang berbeda nyata dilakukan uji lanjut Duncan. Tebal mukosa usus halus ditunjukkan dengan tanda ( ) pada Gambar 7.

(35)

24

 

Analisis imunohistokimia

Data yang diambil dari pewarnaan imunohistokimia adalah data kualitatif mengenai kandungan IgA pada jaringan usus halus yang didasarkan pada intensitas dan distribusi warna coklat yang dihasilkan dari pewarnaan IgA. Warna coklat merupakan reaksi positif (+) terhadap keberadaan IgA dan warna biru merupakan reaksi negatif (-) terhadap keberadaan IgA. Semakin banyak dan semakin tua warna coklat yang dihasilkan, berarti semakin banyak nilai (+) nya yang berarti semakin tinggi kandungan IgA nya.

(36)

Latar Belakang

Saluran pencernaan merupakan organ yang aktif secara metabolis karena selalu

terekspos oleh berbagai macam zat selama proses mencerna makanan. Makanan

kemungkinan mengandung kontaminan yang merugikan saluran pencernaan. Dengan

demikian saluran pencernaan merupakan organ yang rentan terhadap gangguan.

Gangguan saluran pencernaan bervariasi dari yang ringan hingga yang berat dan

dapat menimbulkan kematian bila tidak ditangani dengan baik. Gangguan saluran

pencernaan dapat dicegah dengan menjaga keseimbangan mikroflora alami yang

terdapat pada saluran pencernaan. Saluran pencernaan orang dewasa mempunyai luas

permukaan sekitar 200 m

2

(Mayer 2003).

Saluran pencernaan juga berhubungan langsung dengan lingkungan luar,

sehingga dapat menjadi tempat keluar masuknya mikroorganisme patogen (Tamime

2005). Mikroorganisme patogen yang terdapat dalam saluran pencernaan secara

potensial dapat merusak mukosa saluran pencernaan (Sarkovic

et al

. 2005).

Enteropathogenic Escherichia coli

(EPEC) merupakan mikroorganisme patogen yang

melekat pada permukaan sel epitel usus dan dapat menyebabkan diare (Michail dan

Abernathy 2002). Diare didefinisikan sebagai buang air besar dengan kondisi feses

yang tidak berbentuk atau cair dengan frekuensi lebih dari 3 kali selama 24 jam.

WHO menyatakan ada sekitar 4 milyar kasus diare setiap tahun dengan tingkat

mortalitas 3-4 juta per tahun (Zein

et al.

2004).

Upaya yang dapat dilakukan masyarakat untuk mengurangi gangguan saluran

pencernaan diantaranya dengan mengonsumsi pangan fungsional. Salah satu pangan

fungsional yang berkhasiat pada saluran pencernaan dan diminati oleh masyarakat

adalah probiotik. Probiotik merupakan mikroorganisme hidup yang dapat

memberikan efek yang menguntungkan pada saluran pencernaan inang (Parassol

et

al

. 2005). Probiotik yang biasa digunakan pada produk pangan adalah bakteri asam

laktat (BAL), terutama galur

Lactobacillus

,

Bifidobacterium

, dan beberapa dari

(37)

2

 

 

pakan hewan yang mengandung probiotik untuk meningkatkan kesehatan saluran

pencernaan.

Bakteri asam laktat mampu mengurangi gangguan saluran pencernaan, mampu

menstimulir pergerakan peristaltik di usus, sehingga transit feses akan lebih singkat,

serta mampu menghambat mikroorgnisme patogen sehingga dapat mencegah

terjadinya diare dan infeksi (Gill dan Guarner 2004). BAL juga dapat bersifat sebagai

imunomodulator untuk meningkatkan daya tahan tubuh (Erickson dan Hubbard

2000). Beberapa peneliti juga melaporkan bahwa mengkonsumsi BAL golongan

Lactobacillus

mampu meningkatkan sistem imun seluler dan humoral diantaranya

peningkatan populasi dan proliferasi sel limfosit, produksi sitokin interferon-

Ȗ

(IFN-Ȗ

), interleukin-12 (IL-12), IL-10, sel imun Th, serta imunoglobulin (Ig) A, IgE, IgG,

dan IgM (Gackowska

et al.

2006; Attaouri

et al.

2002).

Imunoglobulin A merupakan protein yang dihasilkan oleh sel limfosit B dan

merupakan imunoglobulin utama yang ditemukan pada mukosa, salah satunya adalah

pada mukosa saluran pencernaan. IgA pada saluran pencernaan berperan memblok

perlekatan mikroorganisme patogen pada sel epitel usus (Wilson 2005). Pada proses

eliminasi antigen yang terdapat pada mukosa saluran pencernaan, IgA tidak

mengundang timbulnya reaksi radang yang hebat karena berfungsi melindungi

mukosa yang lembut (Yamamato

et al

. 2004).

Kandungan IgA pada saluran pencernaan dapat dideteksi menggunakan metode

immunohistokimia. Prinsip imunohistokimia adalah adanya ikatan antigen-antibodi.

Immunohistokimia mampu mendeteksi suatu molekul yang ada pada jaringan dengan

menggunakan antibodi poliklonal atau antibodi monoklonal terhadap molekul yang

akan dideteksi (reaksi antigen-antibodi). Immunohistokimia mampu memberikan

hasil berupa gambaran secara kualitatif maupun kuantitatif berdasarkan intensitas

warna yang terbentuk seperti warna coklat (Sofian dan Kompono 2006).

Arief

et al.

(2008) telah menemukan 10 BAL isolat lokal yang diambil dari

daging sapi bangsa peranakan Ongol yang dijual di berbagai pasar tradisional di

daerah Bogor, Jawa Barat. BAL yang ditemukan ini sudah diuji secara

in vitro

(38)

 

Indonesia untuk pengembangan pangan probiotik nasional. Isolat lokal mempunyai

keunggulan sangat

adaptable

dengan kondisi lingkungan Indonesia sehingga tidak

memerlukan rekayasa dan manipulasi sifat asli isolat tersebut (Farida 2006). Astawan

et al

. (2009) telah meneliti kemampuan bakterisidal dari 10 jenis isolat BAL terhadap

bakteri Enteropatogenik

E. coli

(EPEC) secara

in vitro

. Hasilnya didapatkan dua

spesies BAL yang mempunyai kemampuan terbaik dalam melawan EPEC, yaitu

Lactobacillus plantarum

dan

Lactobacillus fermentum

.

Penelitian ini dilakukan untuk menguji pengaruh bakteri asam laktat

L.

plantarum

dan

L. fermentum

secara

in vivo

menggunakan tikus percobaan

untuk

melihat sifat fungsionalnya sebagai bakteri asam laktat yang mampu menghambat

pertumbuhan bakteri Enteropatogenik

E. coli

(EPEC) dan sebagai imunomodulator

dalam meningkatkan produksi IgA. Pengaruh tersebut dilihat dari profil

imunohistokimia IgA dan histologi tebal mukosa pada usus halus tikus percobaan

yang dipapar bakteri Enteropathogenik

E. coli

(EPEC).

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa pengaruh pemberian bakteri asam

laktat

L. plantarum

dan

L. fermentum

terhadap profil imunohistokimia

Immunoglobulin A (IgA) dan histologi tebal mukosa pada usus halus tikus percobaan

(39)

TINJAUAN PUSTAKA

Hewan Percobaan Tikus (Rattus norvegicus)

Hewan percobaan atau hewan laboratorium adalah hewan yang sengaja

dipelihara dan diternakan untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari

dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau

pengamatan laboratorik. Penggunaan hewan percobaan untuk penelitian banyak

dilakukan di bidang fisiologi, farmakologi, biokimia, patologi, dan komparatif

zoologi. Di bidang ilmu kedokteran selain untuk penelitian, hewan percobaan juga

sering digunakan sebagai keperluan diagnostik. Berbagai jenis hewan yang umum

digunakan sebagai hewan percobaan, yaitu mencit, tikus, marmut, kelinci,

hamster, unggas, kambing, domba, sapi, kerbau, kuda, dan simpanse (Malole dan

Pramono 1989).

Penggunaan hewan percobaan untuk pengujian secara in vivo biasanya menunjukkan hasil deviasi yang besar dibandingkan dengan percobaan in vitro, karena adanya variasi biologis. Supaya variasi tersebut minimal, hewan-hewan

yang mempunyai spesies yang sama atau strain yang sama, usia yang sama, dan

jenis kelamin yang sama, dipelihara pada kondisi yang sama pula (Malole dan

Pramono 1989).

Hewan percobaan yang umum digunakan dalam penelitian ilmiah adalah

tikus. Tikus (Rattus norvegicus) telah diketahui sifat-sifatnya secara sempurna, mudah dipelihara, dan merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk

berbagai penelitian. Ciri-ciri morfologi Rattus norvegicus antara lain memiliki berat 150-600 gram, hidung tumpul dan badan besar dengan panjang 18-25 cm,

kepala dan badan lebih pendek dari ekornya, serta telinga relatif kecil dan tidak

lebih dari 20-23 mm (Depkes 2011).

Terdapat tiga galur atau varietas tikus yang memiliki kekhususan tertentu

yang biasa digunakan sebagai hewan percobaan yaitu galur Sprague dawley berwarna albino putih, berkepala kecil dan ekornya lebih panjang dari badannya,

(40)

digunakan dalam penelitian adalah galur Sprague Dawley berjenis kelamin jantan berumur kurang lebih 2 bulan. Tikus Sprague Dawley dengan jenis kelamin betina tidak digunakan karena kondisi hormonal yang sangat berfluktuasi pada saat

mulai beranjak dewasa, sehingga dikhawatirkan akan memberikan respon yang

berbeda dan dapat mempengaruhi hasil penelitian (Kesenja 2005). Tikus putih

galur ini mempunyai daya tahan terhadap penyakit dan cukup agresif

dibandingkan dengan galur lainnya (Harkness dan Wagner 1983).

Menurut Besselsen (2004) dan Depkes (2011) taksonomi tikus adalah:

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Mamalia

Subkelas : Theria

Ordo : Rodensia

Subordo : Sciurognathi

Famili : Muridae

Subfamili : Murinae

Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus

Ada dua sifat utama yang membedakan tikus dengan hewan percobaan

lainnya, yaitu tikus tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak lazim

pada tempat bermuara esofagus ke dalam lambung sehingga mempermudah

proses pencekokan perlakuan menggunakan sonde lambung, dan tidak

mempunyai kandung empedu (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Selain itu, tikus

hanya mempunyai kelenjar keringat di telapak kaki. Ekor tikus menjadi bagian

badan yang paling penting untuk mengurangi panas tubuh. Mekanisme

perlindungan lain adalah tikus akan mengeluarkan banyak ludah dan menutupi

bulunya dengan ludah tersebut (Sirois 2005). Skematis sistem saluran pencernaan

(41)

6

[image:41.612.191.474.80.314.2]

 

Gambar 1 Sistem Saluran Pencernaan Tikus (Anonim 2010).

Pertumbuhan dan perkembangan tubuh tikus tergantung pada efisiensi

makanan yang diberikan dan juga sangat dipengaruhi oleh metabolisme basal

tubuh tikus itu sendiri (Robinson 1972). Beberapa faktor penting yang dapat

meningkatkan metabolisme basal tubuh hewan adalah suhu lingkungan, jenis

kelamin, umur, keadaan psikologis hewan, dan suhu badan (Ganong 1999).

Usus Halus

Usus halus terdiri dari duodenum, jejunum, dan ileum. Duodenum pada

manusia memiliki panjang sekitar 25 cm terikat erat pada dinding dorsal abdomen

dan sebagian besar terlatak retroperitoneal. Jalannya berbentuk seperti huruf C

yang mengitari pankreas dan ujung distalnya menyatu dengan jejunum yang

terikat pada dinding dorsal rongga melalui mesenterium. Jejunum dapat bergerak

bebas pada mesenteriumnya dan merupakan dua-perlima bagian proksimal usus

halus. Sedangkan ileum merupakan sisa tiga-perlimanya. Dinding usus halus

terdiri atas empat lapis konsentris yaitu mukosa, submukosa, muskularis, dan

serosa (Leeson et al. 1996) (Gambar 2).

Lapisan mukosa terdiri dari lamina epitel, lamina propia, dan muskularis

(42)

yang digunakan untuk memperluas permukaan. Pada permukaan epitel vili

terdapat mikrovili yang dapat meningkatkan efisiensi penyerapan nutrisi. Pada

usus halus juga terdapat sel goblet yang menghasilkan mukus sebagai pelindung

mukosa usus (Colville dan Joanna 2002).

Membran mukosa adalah lingkungan yang unik dimana banyak spesies

mikroorganisme yang berbeda dapat hidup dan berekspresi. Terdapat 1014 mikroorganisme dari 200 spesies, 40-50 genus hidup pada permukaan tersebut,

dan 99% dari populasi mikroorganisme pada membran mukosa terjadi di bagian

distal usus halus dan di bagian proksimal kolon (Herich dan Levkut 2002).

Membran mukosa dalam suatu tubuh berkontak langsung dengan lingkungan

luar dan membran mukosa juga terkolonisasi oleh mikroorganisme yang berbeda

dalam jumlah yang besar. Permukaan mukosa dilindungi oleh banyak mekanisme

pertahanan yang memastikan perlindungan yang efektif dengan memproduksi

imunoglobulin A (IgA), mukus, dan kriptoprotektif peptida. Mikroorganisme

dapat mempengaruhi struktur mukosa, fungsi, dan perkembangan sistem imun

(Herich dan Levkut 2002).

[image:42.612.135.503.412.643.2]
(43)

8

 

Fungsional epitel usus tergantung pada populasi mikroorganisme di dalam

usus, masuknya mikroorganisme patogen, penyusun yang merugikan dalam lumen

usus, dan mukosa usus yang terpapar antigen. Secara fisiologis bahwa populasi

mikroorganisme normal terdapat dalam usus. Pada manusia sehat, berisi 0-103 cfu/ml dalam perut, 0-105 cfu/ml pada jejunum, 103-109 cfu/ml pada ileum, dan 1010-1012 cfu/ml di usus (Hao dan Lee 2004).

Mikroorganisme usus berfungsi sebagai aktivitas metabolik yang mampu

menyimpan energi dan nutrisi yang dibutuhkan oleh epitel usus, serta

perlindungan terhadap serangan mikroorganisme yang merugikan.

Mikroorganisme normal yang ada di saluran pencernaan dapat mencegah

pertumbuhan yang berlebihan dari mikroorganisme patogen dalam saluran

pencernaan (Harish dan Varghese 2006).

Kemampuan saluran pencernaan untuk mencerna makanan tergantung pada

aktivitas mikroorganisme. Mikroorganisme indigenus suatu waktu akan

menyebabkan infeksi pada saluran pencernaan (Berg 1996). Apabila aktivitas

mikroorganisme dalam usus halus berubah akibat hadirnya mikroorganisme

patogen seperti E. coli dan Sallmonela sp., sehingga proses pencernaan menjadi terganggu (Berg 1996). Hal ini karena keseimbangan jumlah dan jenis

mikroorganisme pada usus halus sangat mempengaruhi kesehatan. Lactobacillus dan Bifidobacterium secara umum merupakan mikroorganisme nonpatogen yang secara alami ada di dalam usus (Weizman et al. 2005).

Escherichia coli

Suwito (2010) menglasifikasikan E. coli berdasarkan ciri khusus dari sifat-sifat virulensinya dan setiap kelompok menimbulkan penyakit melalui mekanisme

(44)

Tabel 1 Gejala klinis, epidemiologi, dan faktor virulensi dari berbagai galur E. coli (Suwito 2010)

Strain Gejala klinis Epidemiologi Faktor virulensi

EPEC Diare berair Pada anak-anak

Melekat pada

mukosa usus dan

merusak vili-vili

usus

EHEC

Diare berair,

hemoragik

kolitis,

hemolitik

uremik sindrom

Food born, water

borne Shiga like toxin

ETEC Diare berair Traveler diare

Pili, heat labile dan heat stable enterotoksin

EAEC Diare berlendir Pada anak-anak Pili, sitotoksin

EIEC Disentri, diare

berair Food borne Seluler invasif

Enterotoksin akan mempengaruhi sekresi cairan saluran pencernaan. Pada

saluran pencernaan manusia, EPEC akan menyebakan atrofi dan nekrosis usus.

Pada anak-anak, EPEC menyebabkan diare, sedangkan EHEC akan membentuk

koloni pada saluran pencernaan sehingga mengakibatkan pendarahan dan

terjadinya atrofi mikrovili sel-sel epitel usus (Suwito 2010; Clarke et al. 2002). EPEC melekat pada sel mukosa yang kecil dan menimbulkan kerusakan pada

epitel melalui pembentukan mikrokoloni yang ditunjukkan dengan perlekatan

yang terlokalisasi (Savkovic et al. 2005). Selain itu, pada dosis 105 – 1010 sel EPEC dapat menyebabkan diare yang durasinya kurang lebih lima hari (Janda dan

Abbot 2006; Lodes et al. 2004).

EPEC adalah salah satu mikroorganisme patogen yang dapat menyebabkan

lesi attaching dan effacing (A/E) pada sel usus. Ciri dari patogen A/E adalah terletak pada tumpuannya di permukaan sel epitel inang dan menyebabkan

(45)

10

 

mukosa deodenum dan proksimal jejunum. EPEC menimbulkan kerusakan pada

epitel jejunum melalui pembentukan mikrokoloni yang ditunjukkan dengan

pelekatan yang terlokalisasi (Moat et al. 2002).

Infeksi EPEC pada sel epitel dapat dilihat pada Gambar 3. EPEC pada sel

epitel membentuk perlekatan dan tidak memperlihatkan adanya lesio. Awal

penyerangan EPEC pada sel epitel diperantarai adanya bundle-forming pilus (BFP) yang merupakan suatu fimbria tipe IV yang terlibat dalam virulensi,

autoagregasi, dan perlekatan lokal bakteri ke sel inang (Blank dan Donnenberg

2001). Setelah perlekatan awal terjadi, mikrovili terganggu dan EPEC

mengeluarkan beberapa faktor virulensi dan mensekresikan reseptor Tir

(translicated intimin receptor) ke dalam sel inang. EPEC mengikat Tir melalui membran luar protein, intimin. Sinyal transduksi terjadi di dalam sel inang,

termasuk aktivasi protein kinase C (PKC), inositol triphosphat (IP3), dan

pelepasan Ca2+. Beberapa protein sitoskeleton termasuk aktin, menjadi tempat perlekatan EPEC. Akhirnya, terjadi penyusunan kembali sitoskeletal setelah

Tir-intimin berikatan, dan menghasilkan formasi pedestal-like structure (Lu dan Walker 2001).

[image:45.612.205.449.435.603.2]
(46)

Prebiotik dan Probiotik

Prebiotik merupakan pangan yang dapat memacu pertumbuhan bakteri

probiotik, agar dapat diperoleh kondisi fisiologis dan metabolik yang dapat

memberikan perlindungan pada saluran pencernaan, khususnya usus halus dan

kolon (Zakaria 2003). Probiotik didefinisikan sebagai bakteri hidup yang

diberikan sebagai suplemen makanan yang mempunyai pengaruh yang

menguntungkan terhadap kesehatan, dengan memperbaiki keseimbangan

mikroflora usus. Efek yang menguntungkan dari bakteri tersebut dapat mencegah

dan mengobati kondisi patologik usus bila bakteri tersebut diberikan secara oral

(Karuniawati 2010; Maurad dan Meriem 2008; Lisal 2005).

Karakteristik probiotik yang diinginkan dari satu strain spesifik adalah mempunyai kapasitas untuk bertahan hidup, melakukan kolonisasi dan

metabolisme dalam saluran pencernaan, mampu mempertahankan keseimbangan

mikroflora usus, mampu menstimulasi sistem imun, dan bersifat nonpatogen

(Gibson dan Fuller 2000). Efikasi dari beberapa probiotik tergantung dari genus,

spesies dan strain. Tidak semua bakteri tahan asam mempunyai efek probiotik. Probiotik multipel strain lebih efektif daripada single strain (Cornelius dan Van 2004).

Mekanisme probiotik bersaing dengan mikroorganisme patogen di dalam usus

dapat dilihat pada Gambar 4. Probiotik dapat meningkatkan pertahanan dengan

menduduki usus dalam jumlah besar dan beragam. Hal ini dapat mencegah

kolonisasi mikroorganisme patogen, menghasilkan senyawa antimikroba, asam

lemak jenuh, dan dimodifikasi dengan asam empedu yang dapat menciptakan

lingkungan lumen yang kurang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme patogen,

serta mampu merangsang sistem imun. Penyakit pada usus akan terjadi jika

perkembangan mikrorganisme patogen yang terlalu banyak dan terganggunya

(47)

12

[image:47.612.192.465.84.302.2]

 

Gambar 4 Mekanisme probiotik berkompetisi dengan bakteri patogen (Lu dan Walker 2001).

Salah satu jenis bakteri yang umum terdapat di daging adalah bakteri asam

laktat (BAL). Arief et al. (2008) melaporkan bahwa BAL golongan Lactobacillus, Lactococcus, dan Streptococcus dari daging sapi bangsa Peranakan Ongol yang dijual di berbagai pasar tradisional daerah Bogor mampu bertahan pada kondisi

saluran pencernaan seperti pH saluran pencernaan dan garam empedu, serta

memiliki aktivitas antimikroba terhadap bakteri patogen. Kemampuan bakterisidal

terhadap bakteri patogen ini disebabkan bakteri ini mampu menghasilkan senyawa

bioaktif asam laktat, asam asetat, dan senyawa bakteriosin.

Bakteri asam laktat termasuk mikroorganisme probiotik yang berpengaruh

positif terhadap mikroflora di saluran pencernaan. Bakteri asam laktat juga

termasuk kelompok bakteri yang dapat mengeliminasi kerusakan pada saluran

pencernaan dan beberapa gangguan pencernaan berupa inflamasi pada saluran

pencernaan. Jika bakteri asam laktat mampu bertahan lama dalam usus maka akan

menstimulir pergerakan peristaltik di usus, sehingga transit feses akan lebih

singkat. Selain itu, bakteri asam laktat mampu menghambat bakteri patogen

sehingga dapat mencegah terjadinya diare dan infeksi (Gill dan Guarner 2004).

Bakteri asam laktat juga dapat bersifat sebagai imunomodulator untuk

(48)

Bakteri asam laktat mampu menstimulasi sistem imun karena adanya senyawa

peptidoglikan dan lipopolisakarida dalam dinding sel (Surono 2004). Bakteri asam

laktat juga merangsang aktivitas sel imun yang spesifik dan nonspesifik. Sistem

imun spesifik dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu sistem imun spesifik

humoral dan sistem imun spesifik seluler. Antibodi yang diproduksi dalam sel

plasma mediasi dari sistem imun spesifik humoral. Sistem imun spesifik seluler

dimediasi oleh limphosit T yang berproliferasi setelah kontak dengan antigen,

produk sitokin, dan menyebabkan aktivitas pada sel kekebalan yang lain (Tizard

2000).

Bakteri asam laktat mampu meningkatkan sistem imun spesifik humoral.

Berdasarkan penelitian bahwa produksi IgA akan meningkat jika mendapatkan

bakteri asam laktat. Pemberian bakteri asam laktat golongan Lactobacillus dapat memberikan efek kesehatan bagi inang seperti mencegah terjadinya infeksi

saluran pencernaan, meningkatkan respon imunlokal, dan meningkatkan produksi

IgA. Produksi IgA kemudian disekresikan ke lumen usus untuk mencegah

penempelan mikroorganisme patogen seperti, Salmonella typhimurium di mukosa usus (Isolauri 2001).

L. plantarum merupakan bakteri gram positif yang tidak patogen dan secara alami terdapat dalam saliva dan saluran pencernaan. L. plantarum merupakan bakteri asam laktat yang biasa digunakan dalam makanan fermentasi. L. plantarum mampu bertahan pada kondisi lambung (pH rendah) dan adanya garam empedu. L. plantarum juga mampu melindungi sel epitel usus terhadap induksi E. coli (Bixquert 2009). L. plantarum mampu tumbuh dengan baik pada pH 2-3 dan pada pH antara 4-6.5 terjadi peningkatan populasi (Anukam dan

Koyama 2007). Sedangkan L. fermentum mampu tumbuh baik pada kisaran pH 2-3 dan garam empedu 0.2-3-1% (Klayraung et al. 2008).

Imunoglobulin A (IgA)

Sistem imunitas mukosa saluran pencernaan merupakan bagian sistem

imunitas yang penting dan berlawanan sifatnya dari sistem imunitas sistemik.

Sistem imunitas mukosa lebih bersifat menekan imunitas. Hal ini disebabkan oleh

(49)

14

 

berhadapan dengan banyak antigen yang terdiri dari mikroorganisme patogen,

antigen makanan, dan virus dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan sistem

imunitas sistemik. Antigen-antigen tersebut dicegah agar tidak menempel mukosa

saluran pencernaan dengan pengikatan oleh IgA, barier fisik dan kimiawi dengan

enzim-enzim yang ada pada mukosa saluran pencernaan. Mamalia memproduksi

IgA dan antibodi lain paling sedikit 80% pada semua sel plasma dan terlokalisasi

pada lamina propria saluran pencernaan (Van et al. 2001).

Imunoglobulin A (IgA) merupakan protein yang dihasilkan oleh sel limfosit B

dan merupakan immunoglobulin utama yang ditemukan pada mukosa. Limfosit B

merupakan limfosit terbesar di temukan di lamina propria yang fungsi efektor

utamanya adalah sekresi antibodi terutama IgA yang berperan mencegah

perlekatan mikroba ke sel epitel usus (Wilson 2005). IgA terdapat di air liur, air

mata, sekresi bronkus, mukosa hidung, cairan prostat, sekresi vagina, dan mukus

dari usus halus sebagai pertahanan primer tubuh. Sekresi IgA tidak menimbulkan

respon inflamasi sehingga sekresi IgA ideal untuk menjaga permukaan mukosa

dari antigen dengan cara mencegah perlekatan antigen pada epitel (Surono 2004)

dan berfungsi melindungi mukosa yang lembut (Yamamato et al. 2004).

Mekanisme pertahanan sistem imun adaptif di permukaan mukosa merupakan

suatu sistem yang diperantarai antibodi IgA sekretori, kelas imunoglobulin

predominan dalam sekresi eksternal manusia. Imunoglobulin ini tahan terhadap

protease sehingga cocok berfungsi pada sekresi mukosa. Induksi IgA melawan

patogen mukosa dan antigen protein terlarut bergantung pada sel T helper.

Perubahan sel B menjadi sel B penghasil IgA dipengaruhi oleh TGF-ȕ dan

iterleukin (IL)10 bersama-sama dengan IL-4. Sel T di mukosa menghasilkan

TGF-ȕ, IL-10 dan IL-4 dalam jumlah yang banyak dan sel epitelial mukosa

menghasilkan TGF-ȕ dan IL-10. Hal tersebut dapat menjadi petunjuk bahwa

maturasi sel B penghasil IgA melibatkan lingkungan mikro mukosa yaitu sel

Gambar

Gambar 1 Sistem Saluran Pencernaan Tikus (Anonim 2010).
Gambar 2  Histologi usus halus yang menunjukkan vili dan lapisan mukosa
Gambar 3 Infeksi EPEC pada sel epitel  (Lu dan Walker 2001).
Gambar 4  Mekanisme probiotik berkompetisi dengan bakteri patogen (Lu dan   Walker 2001)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Saran atau rekomendasi yang peneliti berikan yaitu sebaiknya agar laporan ini dibuat dan dianalisa secara maksimal oleh manajemen, sebagai alat bantu dalam

Pengaturan hukum tentang keabsahan kesepakatan yang dilakukan melalui surat elektronik (e-mail) di Indonesia tidak secara khusus diatur di dalam Kitab Undang-Undang

mengidentifikasi bidang gelincir longsoran pada GORR ( Gorontalo Outer Ring Road ) dengan menggunakan metode geologi lapangan dan analisis stereografi.. Luaran dari

Munculnya kerajaan Sriwijaya ; Kerajaan Kediri Kerajaan Kediri Kerajaan Singosari Kerajaan Singosari Kerajaan Majapahit Kerajaan Majapahit Kerajaan Malaka* Kerajaan

rawat gabung, (2) perawat perlu memiliki pengetahuan yang tinggi tentang pengertian, tujuan, manfaat, dan kegiatan- kegiatan rawat gabung, (3) perawat perlu

Penelitian Menggambar tapak dengan empertimban gkan kebutuhan pencahayaan, penghawaan alami Dapat membuat denah tugas proyek; ruang- ruang terbentuk efisien sesuai

Grafik energi interaksi antara segmen dimer kitin..vitamin C konfigurasi 1 terhadap variasi jarak menunjukkan pada jarak terdekat 1,0 Å terjadi tolak menolak yang sangat

Pelaksanaan penyusunan konsep kebijakan yang diperlukan dalam rangka pengkoordinasian perumusan kebijakan Pemerintah Daerah yang berkenaan dengan pengendalian