BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekuan otot (spasme) tanpa disertai gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan oleh kuman clostridium tetani, tetapi akibat toksin (tetanospasmin) yang dihasilkan kuman. Tetanus adalah penyakit infeksi yang ditandai oleh kekakuan dan kejang otot, tanpa disertai gangguan kesadaran, sebagai akibat dari toksin kuman clostredium tetani.
Penyakit ini tersebar di seluruh dunia, terutama pada daerah resiko tinggi dengan cakupan imunisasi DPT yang rendah. Reservoir utama kuman ini adalah tanah yang mengandung kototran ternak sehingga resiko penyakit ini di daerah peternakan sangat tinggi. Spora kuman clostridium tetani yang tahan kering dapat bertebaran dimana – mana.
Kuman Clostridium tetani tersebar luas daerah, terutama tanah garapan, dan dujumpai pula pada tinja manusia dan hewan. Perawatan luka yang kurang baik di samping penggunaan jarum suntik yang tidak steril (misalnya pada pecanda narkotik) merupakan beberapa faktor yang sering dijumpai sebagai pencetus timbulnya tetanus. Tetanus dapat menyerang semua golongan umur, mulai dari bayi (tetanus neonatorum), dewasa muda (biasanya pecandu narkotika) sampai orang – orang tua. Dari Program Nasional Surveillance Tetanus di Amerika Serikat diketahui rata – rata usia pasien tetanus dewasa berkisar 50-57 tahun.
Berdasar tingkat kejadian (epidemiologi) tersebut maka kelompok tertarik untuk membahas Asuhan Keperawatan pada tetanus.
1.2 Runusan Masalah
Dari latar belakang di atas, terdapat rumusam masalah sebagai berikut : 1. Apa pengertian dari tetanus ?
2. Apakah etiologi atau penyebab dari tetanus ?
3. Bagaimana anatomi dan fisiologi dari clostridium tetani?
4. Bagaimana WOC atau patofisiologi dari tetanus ?
5. Bagaimana manifestasi klinis dari tetanus ? 6. Apa pemeriksaan penunjang dari tetanus ?
7. Apa pengobatan dari tetanus ? 8. Apa pencegahan dari tetanus ?
9. Apa saja komplikasi dari tetanus ?
10. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien tetanus ?
11. Bagaimana kasus keperawatan pada klien tetanus ?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini diantaranya sebagai berikut:
1. Untuk menjelaskan apa pengertian dari tetanus.
2. Untuk menjelaskan etiologi atau penyebab dari tetanus.
3. Untuk menjelaskan anatomi dan fisiologi dari clostridium tetani. 4. Untuk menjelaskan WOC atau patofisiologi dari tetanus.
5. Untuk menjelaskan manifestasi klinis dari tetanus. 6. Untuk menjelaskan pemeriksaan penunjang dari tetanus.
7. Untuk menjelaskan pengobatan dari tetanus. 8. Untuk menjelaskan pencegahan dari tetanus.
9. Untuk menjelaskan komplikasi dari tetanus.
10. Untuk menjelaskan asuhan keperawatan pada klien tetanus. 11. Untuk menjelaskan pembahasan kasus pada klien tetanus.
BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Definisi
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa disertai ganguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung., tetapi sebagai dampak eksotoksin (tetanoplasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion sambungan sumsum tulang belakang, sambungan neuro muscular (neuro muscular jungtion) dan saraf autonom. (Sumarmo, 2002)
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. (Ismanoe, 2009:2911)
Gangguan neurologis tetanus disebabkan oleh tetanoplasmin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Kuman ini mengeluarkan toxin yang bersifat neurotoksik (tetanoplasmin) yang menyebabkan kejang otot dan saraf perifer setempat. Termasuk bakteri gram positif. Bentuk : batang, terdapat : ditanah, kotoran manusia dan binatang(khususnya kuda) sebagai spora, instrument lain. Sopra bersifat dorman dapat bertahan bertahun – tahun (>40tahun).
Clostridium tetani yang sering kali tempat masuk kuman sukar diketahui tetapi suasana anaerob seperti pada luka tusuk, luka kotor, adanya benda asing dalam luka yang menyembuh, otitis media dan caries gigi, menunjang berkembang biaknya kuman yang menghasilkan endotoksin.
Port of entry tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun dapat diduga melalui :
a. Luka tususk, gigitan binatang, luka bakar
b. Luka operasi yang tidak dirawat dan dibersihkan dengan baik c. OMP, caries gigi
d. Pemotongan tali pusat yang tidak steril e. Penjahitan luka robek yang tidak steril
f. Pengisapan lender harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen
2.3 Anatomi dan fisiologi dari Clostridium Tetani
Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang, ramping berukuran 2-5 x 0,4-0,5 milimikron. Kuman ini berspora termasuk golongan Gram Positiif dan hidupnya anaerob. Spora dewasa mempunyai bagian yang berbentuk bulay yang letaknya diujung, penabuh genderang (drum stick). Kuman mengeluarkan toksin yang bersifat neurotoksik. Toksin ini (tetanospasmin) mula – mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf perifer setempat. Toksin ini labil pada
pemanasan, pada suhu 65oc akan hancur dalam 5menit. Disamping itu dikenal pula tetanolisin yang bersifat hemolisis, yang perannya kurang berarti dalam proses penyakit.
2.4 Patofisiologi
Penyakit tetanus terjadi dengan cara Clostridium tetani. Bakteri ini tubuh melalui lka pada tubuh seperti luka tertusuk paku, pecahan kaca, atau kaleng, luka tembak, luka bakar, dan pada bayi dapat melalui tali pusat. Organism mengeluarkan dua toksin yaitu tetanospasmin / neurotoksin yang merupakan toksin kuat, dapat menyebabkan ketegangan otot dan mempengaruhi sistem saraf pusat serta tetanolysin yang merupakan toksin sekunder. Etotoksin yang dihasilkan akan mencapai sistem saraf pusat yang melewati akson neuro atau sistem vaskuler. Kuman ini menjadi terikat pada satu saraf atau jaringan saraf dan tidak dapat lagi dinetralkan oleh antitoksik spesifik. Namun, toksin yang bebas dalam peredaran darah sangat mudah dinetralkan oleh antitoksin. (Zulkoni, 2011:167)
Penyakit tetanus biasanya terjadi setelah tubuh terluka dan kebanyakan luka tusuk yang dalam misalnya tertusuk paku, pecahan kaca, terkena kaleng, atau luka yang menjadi kotor, karena terjatuh di tempat yang kotor dan terluka atau kecelakaan dan timbul luka yang tertutup debu / kotoran juga luka bakar dan patah tulang terbuka. Luka yang kotor / tertutup memungkinkan keadaan anaerob yang ideal untuk pertumbuhan Clostridium tetani. Sebagai porte d’entrée lainnya dapat juga luka gores yang ringan kemudian menjadi bernanah, gigi berlobang dikorek dengan benda yang kotor atau otitis media purulen (OMP) yang dibersihkan dengan kain yang kotor. Masa inkubasi tetanus berkisar antara 2 -14 hari. Prognosis penyakit ini sangat buruk bila OMP dan luka pada kulit kepala.
Toksin tersebut bersifat seperti antigen, sangat mudah diikat oleh jaringan saraf dan bila dalam keadaan terikat tidak dapat lagi dinetralkan oleh antitoksin spesifik. Tetapi toksin yang bebas dalam peredaran darah sangat mudah
dinetralkan oleh antitoksin. Hal ini untuk pencegahan dan pengobatan penyakit tetanus ini.(Arif Muttaqin, 2008)
2.5 Manifestasi Klinis
Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama) rata – rata 7-10 hari dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala pertama dengan spasme pertama) bervariasi antara 1-7 hari. Minggu pertama : regiditas, spasme otot. Gangguan ototnomik biasanya dimulai beberapa hari setelah spasme dan bertahan sampai 1-2 minggu tetapi kekakuan tetap bertahan lebih lama. Pemulihan bisa memerlukan waktu 4 minggu. (Sudoyo Aru,dkk 2009).
Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin bertambah terutama pada rahang dan leher. Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan :
a. Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot – otot mastikatoris
b. Kaku kuduk sampai epistotonus (karena ketegangan otot – otot erector trunki)
c. Ketengan otot dinding perut
d. Kejang tonik terutama bila dirangsang karena toksin terdapat di komuanterior
e. Risus sardonikus karena spasme otot muka (alis tertarik ke atas), sudut mulut tertarik ke luar dank e bawah bibir tertekan kuat pada gigi.
f. Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri anggota badan sering merupakan gejala dini
g. Spasme yang khas yaitu badan kaku dengan epistotonus, ekstremitas inferior dalam keadaan ekstensi, lengan kaku dan tangan mengepal kuat. Keadaan tetap sadar. Spasme mula – mula intermitten diselingi disertai rasa nyeri. Kadang – kadang terjadi perdarahan intramusculus karena kontraksi yang kuat.
h. Asfiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot pernapasan dan laring. Retensi urine dapat terjadi karena spasme otot urethral. Fraktur kolumna vertebralis dapat pula terjadi karena kontraksi otot yang sangat kuat
i. Panas biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir
j. Biasanya terdapat pada leukositosis ringan dan kadang –kadang peninggian tekanan cairan otak.
Tetanus berdasarkan bentuk klinis dibagi menjadi yaitu : (Sudoyo Aru,dkk 2009)
a. Tetanus General : yang merupakan bentuk paling sering, spasme otot, kaku kuduk, nyeri tenggorokan, kesulitan membuka mulut, rahang terkunci (trismus), disfagia. Timbul kejang menimbulkan aduksi lengan dan ekstensi ekstremitas bagian bawah. Pada mulanya, spasme berlangsung beberapa detik sampai beberapa menit dan terpisah oleh periode relaksasi.
b. Tetanus Neonatorum : biasa terjadi dalam bentuk general dan fatal apabila tidak ditangani, terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang tidak imunisasi secara adekuat, rigiditas, sulit menelan, ASI, iritabilitas,spasme.
c. Tetanus Local : biasanya ditandai dengan otot terasa sakit, lalu timbul rebiditas dan spasme pada bagian paroksimal luar. Gejala itu dapat menetap dalam beberapa minggu dan menghilang tanpa suele.
d. Tetanus Sefalik / segal: varian tetanus local yang jarang terjadi. Masa inkubasi 1-2 hari terjadi sesudah otitis media atau luka kepala dan muka. Paling menonjol adalah disfungsi saraf III,IV,VII,IX dan XI tersering saraf otak VII diikuti tetanus umum
Klasifikasi beratnya tetanus oleh Albert : (Sudoyo Aru,dkk 2009)
a. Derajat I (ringan) : trismus (kekakuan otot mengunyah) ringan sampai sedang, spastisitas general, tanpa gangguan pernapasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia.
b. Derajat II (sedang) : trismus sedang, rigiditas yang Nampak jelas, spasme singkat ringan sampai sedang, gangguan pernapasan sedang RR≥30 x/menit, disfagia ringan
c. Derajat III (berat) : trismus berat, spastisitas generaisata, spasme reflek berkepanjangan, RR≥40 x/menit, serangan apnea, disfagia berat, takikardia
≥120
d. Derajat IV (sangat berat) : derajat tiga dengan gangguan otomik berat melibatkan system kardiovaskuler. Hipotensi berat dan takikardia terjadi berselingan dengan hipotensi dan bradikardia, salah satunya dapat menetap.
2.6 Pemeriksaan Penunjang
a. EKG : interval CT memanjang karena segment ST. Bentuk takikardia ventrikuler (Torsaderde pointers)
b. Pada tetanus kadar serum 5-6 mg/al atau 1,2-1,5 mmol/L atau lebih rendah kadar fosfat dalam serum meningkat.
c. Sinar X tulang tampak peningkatan denitas foto Rontgen pada jaringan subkutan atau basas ganglia otak menunjukkan klasifikasi.
d. Skull Ray : untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi
e. EEG : Teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh untuk mengetahui focus aktivitas kejang, hasinya biasanya normal.
f. Darah
a) Glukosa Darah : Hipoglikemia merupaka predisposisi kejang
b) BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
c) Elektrolit : Na, K
Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang Kalium (N : 3,80 – 5,00 meq/dl)
Natrium (N 135-144 meq/dl)
2.7 Pengobatan
a. Umum
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan peredaran toksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pernafasan sampai pulih :
a) Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa: membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik), membuang benda asing dalam luka serta kompres dengan H2O2. Dalam hal ini, penatalaksanaan terhadap luka tersebut dilakukan 1-2 jam setelah ATS dan pemberian antibiotika. Sekitar luka disuntik ATS.
Pemberian ATS (anti tetanus)
ATS profilaksis diberikan untuk (luka yang kemungkinan terdapat Clostridium:luka paku berkarat), luka yang besar, luka yang terlambat dirawat, luka tembak, luka yang terdapat di region leher dan muka, dan luka – luka tusuk atau gigitan yang dalam), yaitu sebanyak 1500 IU – 4500 IU.
ATS terapi sebanyak >1000 IU, ATS ini tidak berfungsi membunuh kuman tetanus tetapi untuk menetralisis eksotoksin yang dikeluarkan clostridium tetani disekitar luka yang kemudian menyebar melalui sirkulasi menuju otak. Untuk terapi, pemberian ATS melalui 3 cara yaitu :
a. Disuntik disekitar luka 10.000 IU (1ampul)
b. IV 200.000 IU (10 ampul lengan kanan dan 10 ampul lengan kiri) c. IM di region gluteal 10.000 IU
b) Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan personde atau parenteral
c) Isolasi untuk menghindari rangsangan luar seperti suara dan tindakan terhadap penderita
d) Oksigen, pernafasan buatan dan trachostomi bila perlu
e) Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit
b. Obat – obatan a) Antibiotika
Diberikan parenteral Peniciline 1,2 juta unit/hari selama 10 hari, IM. Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit/KgBB/12jam secara IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitive terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40 mg/KgBB/24jam, tetapi dosis tidak melebihi 2gram dan diberikan dalam dosis terbagi (4dosis). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000 unit/KgBB/ 24jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari. Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetative dari C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya.
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin (TIG) dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM, tidak boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung anti complementary aggregates of globulin, yang mana ini dapat mencetuskan reaksi alergi yang serius. Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus antitoksin, yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya adalah : 20.000 U dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaCl fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan secara IM pada daerah pada sebelah luar.
c) Tetanus Toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama, dilakukan bersamaan dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan secara IM. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai. Berikut ini, tabel di bawah memperlihatkan petunjuk pencegahan terhadap tetanus pada keadaan luka.
Riwayat Imunisasi
Luka bersih, Kecil Luka Lainnya
(dosis) Tet.Toksoid (TT) Antoksin Tet.Toksoid (TT) Antitoksin Tidak diketahui Ya Tidak Ya Ya 0-1 Ya Tidak Ya Ya 2 Ya Tidak Ya Tidak*
3 atau lebih Tidak** Tidak Tidak** Tidak*
* : Kecuali luka >24jam
*** : Kecuali bila imunisasi terakhir >5tahun (8,16) d) Antikonvulsan
Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang kronik yang hebat, muscular dan laryngeal spasme beserta komplikasinya. Dengan penggunaan obat-obatan sedasi / muscle relaxans, diharapkan kejang dapat diatasi. Antikonvulsan yang digunakan dapat dilihat pada tabel dibawah:
Jenis Obat Dosis Efek Samping
Diazepam 0,5 – 1,0 mg/kg
Berat badan/4jam (IM)
Stupor, koma
Meprobamat 300 – 400 mg/4jam (IM) Tidak ada
Klorpromasin 25 – 75 mg/4jam (IM) Hipotensi
Fenobarbital 50 – 100 mg/4jam (IM) Depresi pernapasan
2.8 Pencegahan
Pencegahan sangat penting, mengigat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal. Untuk pencegahan meliputi :
a. Imunisasi aktif
Imunisasi dengan toksoid tetanus merupakan salah satu pencegahan yang sangat efektif. Angka kegagalannya relative rendah. Toksoid tetanus pertama kali diproduksi pada tahun 1924. Imunisasi toksoid tetanus digunakan secara luas pada militer selama Perang Dunia II. Terdapat dua jenis toksoid tetanus yang tersedia –adsorbed (aluminium salt precipitated) toxoid dan fluid toxoid.
Toksoid tetanus tersedia dalam kemasan antigen tunggal, atau dikombinasi dengan toksoid difteri sebagai DT atau dengan toksoid difteri dan vaksin pertusis aselular sebagai DPT. Kombinasi toksoid difteri dan tetanus (DT) yang mengandung 10 -12 Lf dapat diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi terhadap vaksin pertusis. Jenis imunisasi tergantung dari
golongan umur dan jenis kelamin. Untuk mencegah tetanus neonatorum, salah satu pencegahan adalah dengan pemberian imunisasi TT pada wanita usia subur (WUS). Oleh karena itu, setiap WUS yang berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan harus selalu ditanyakan status imunisasi TT harus diberi imunisasi TT minimal 2 kali dengan jadwal sebagai berikut : Dosis pertama diberikan segera pada saat WUS kontak dengan pelayanan kesehatan atau sedini mungkin saat yang bersangkutan hamil, dosis kedua diberikan 4minggu setelah dosis pertama. Dosis ketiga dapat diberikan 6 – 12 bulan stelah dosis kedua atau setiap saat pada kehamilan berikutnya. Dosis tambahan sebanyak dua dosis dengan interval satu tahun dapat diberikan pada saat kehamilan berikutnya. Total 5 dosis TT yang diterima oleh WUS akan memberikan perlindungan seumur hidup. WUS yang riwayat imunisasinya telah memperoleh 3 – 4 dosis DPT/DaPT pada waktu anak – anak, cukup diberikan 2 dosis TT pada saat kehamilan pertama, ini akan member perlindungan terhadap seluruh bayi yang akan dilahirkan (Depkes RI, 2009)
Vaksin Usia / Waktu
2 bln 4 bln 6 bln 18 bln 5 thn 12 thn Vaksin dasar DPT DPT DPT V a k s i n booster DPT DPT dT Vaksin untuk w a n i t a h a m i l / WUS TT1 TT2 TT 3
Efektivitas vaksin tetanus tidak pernah diuji dalam penelitian. Kesimpulan bahwa kadar antitoksin bersifat protektif setelah diberikan toksoid tetanus yang lengkap terlihat manfaatnya secara klinis hingga 100%, jarang ditemukan kasus tetanus pada orang yang telah diimunisasi secara lengkap dalam waktu 10 tahun setelah dosis terakhir. Pada beberapa orang
imunitasdapat terjadi seumur hidup atau sebagian besar orang memiliki kadar antitoksin yang minimal setelah 10 tahun. Akibatnya, diperlukan imunisasi ulangan (booster) yang rutin dilakukan setiap 10 tahun (CDC Tetanus).
Oleh karena itu, peranan pencegahan dengan imunisasi sangatlah penting. Pada penelitian di Amerika Serikat, ditemukan bahwa kasus tetanus hanya terjadi pada anak-anak yang tidak diimunisasi karena orang tua menolak memberikan vaksinnya. Ibu yang mendapat TT 2 atau 3 dosis ternyata memberikan proteksi yang baik terhadap bayi baru lahir dari tetanus neonatal. Kadar rata – rata antitoksin 0,01 AU/ml pada ibu cukup untuk member proteksi terhadap bayinya (Fair E, dkk, 2005)
b. Perawatan Luka
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama padaluka tusuk, luka kotor atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Perawatan luka dilakukan guna untum mencegah timbulnya jaringan anaerob. Jaringan nekrotik dan benda asing harus dibuang. Untuk pencegahan kasus tetanus neonatorumsangat bergantung pada penghindaran persalinan yang tidak aman, aborsi serta perawatan tali pusat selain dari imunisasi (Roper, 2007)
Pada perawatan tali pusat, penting diperhatikan hal – hal berikut ini : 1. Jangan membungkus punting tali pusat / mengoleskan cairan / bahan
apapun ke dalam punting tali pusat
2. Mengoleskan alcohol / poridon iodine masih diperkenankan tetapi tidak dikompreskan karena menyebabkan tali pusat lembab (Depkes RI, 2008) c. Pemberian ATS dan HTIG profilaksis
Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (<6jam) dan harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif. Dosis ATS profilaksis 3000 IU. HTIG juga diberikan sebagai profilaksis luka. Dosis untuk anak <7 tahun : 4UI/kg IM dosis tunggal, sedangkan dosis untuk anak ≥7 tahun : 250
UI/kg IM dosis tunggal. (Sumarsono, 2008)
2.9 Komplikasi
Komplikasi – komplikasi tetanus (Sudoyo Aru, dkk 2009)
Sistem Komplikasi
Jalan nafas Aspirasi
Laringospasme / obstruksi*
Obstruksi berkaitan dengan sedative*
Respirasi Apnea
Hipoksia
Gagal nafas tipe 1 (atelektasis, aspirasi, pneumonia) Gagal nafas tipe 2 (spasme laryngeal, spasme trunkal berkepanjangan, sedasi berlebihan)
ARDS
Komplikasi bantuan ventilasi berkepanjangan (seperti pneumonia)
Komplikasi trakeostomi (seperti stenosis trakea)
Kardiovaskular Takikardia, hipertensi, iskemia Hipotensi, bradikardia
Takiaritmia, bradiaritmia Asistol
Gagal jantung
Ginjal Gagal ginjal curah tinggi* (high output renal failure) Gagal ginjal oliguria
Gastrointestinal Stasis gaster Ileus
Diare Perdarahan
Lain - lain Penurunan berat badan Tromboembolus
Sepsis dengan gagal organ multiple Fraktur vertebra selama spasme Rupture tendon akibat spasme Ket : *Komplikasi yang menganjam jiwa
Tetanus Skor (Philips):
Tolak Ukur Nilai
Masa inkubasi <48 jam 2-5 hari 6-10 hari 11-14 hari >14 hari 5 4 3 2 1
Local infeksi Internal / umbilical
Leher, kepala, dinding tubuh Ekstremitas proksimal Ekstremitas distal Tidak diketahui 5 4 3 2 1
Imunisasi Tidak ada
Mungkin ada / ibu mendapat >10 tahun yang lalu
<10 tahun Proteksi lengkap 10 8 4 2 0 Faktor yang memberatkan
Penyakit atau trauma yang membahayakan jiwa
Keadaan yang tidak langsung membahayakan jiwa
Keadaan yang tidak membahayakan jiwa Trauma atau penyakit jiwa
A.S.A** derajat 10 8 4 2 1
Ket : ** system penilaian untuk menentukan resiko penyulit. (American Society of Anesthesiologist)
Grade : Ringan 3-7, Sedang 8-12, Berat >12
2.10 Asuhan Keperawatan Teori 1. Pengkajian
A. Data Subyektif a) Biodata / Identitas
Biodata klien mencakup nama, umur, jenis kelamin, agama, suku / bangsa, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, alamat
b) Keluhan utama
Keluhan utama yang sering menjadi alas an klien atau orang tua membawa anaknya untuk meminta pertolongan kesehatan adalah panas badan tinggi, kejang dan penurunan tingkat kesadaran.
c) Riwayat Penyakit (Darto Suharso, 2009)
Riwayat penyakit yang diderita sekarang tanpa kejang ditanyakan :
1) Apakah disertai demam ?
Dengan mengetahui ada tidaknya demam yang menyertai kejang, maka diketahui apakah infeksi. Infeksi memegang peranan dalam terjadinya bangkitan kejang. Jarak antara timbulnya kejang dengan demam.
2) Lama serangan
Lama bangkitan kejang kita dapat mengetahui kemungkinan respon terhadap prognosa dan pengobatan
3) Pola serangan
a. Perlu diusahakan agar diperoleh gambaran lengkap mengenai pola serangan apakah bersifat umum, fokal, tonik, klonik?
b. Apakah serangan berupa kontraksi sejenak tanpa hilang kesadaran seperti epilepsy mioklonik?
c. Apakah serangan berupa tonus otot hilang sejenak disertai gangguan kesadaran seperti epilepsy akinetik?
d. Apakah serangan dengan kepala dan tubuh mengadakan fleksi sementara tangan naik sepanjang kepala, seperti pada spasme infantile?
e. Pada kejang demam sederhana kejang ini bersifat umum.
4) Frekuensi serangan
a. Apakah penderita mengalami kejang sebelumnya, umur berapa kejang terjadi untuk pertama kali, dan berapa frekuensi kejang per tahun. Prognosa makin kurang baik apabila kejang timbul pertama kali pada umur muda dan bangkitan kejang sering timbul.
5) Keadaan sebelum, selama dan sesudah serangan
a. Sebelum kejang perlu ditanyakan adakah rangsangan tertentu yang dapat menimbulkan kejang, misalnya lapar, lelah, muntah, sakit kepala dan lain-lain
Sesudah kejang perlu ditanyakan apakah penderita segera sadar, tertidur, kesadaran menurun, ada paralise dan sebagainya?
6) Riwayat penyakit sekarang yang menyertai
Apakah muntah, diare, trauma kepala, gagap bicara(khususnya pada penderita epilepsy), gagal ginjal, kelainan jantung, DHF, ISPA, OMA, morbili, dan lain – lain
d) Riwayat Penyakit Dahulu
a. Sebelum menderita mengalami serangan kejang ini ditanyakan apakah penderita pernah mengalami kejang sebelumnya, umur berapa saat kejang terjadi untuk pertama kali ?
b. Apakah ada riwayat trauma kepala, luka tusuk, luka kotor, adanya benda asing dalam luka yang menyembuh, otitis media,dan caries gigi, menunjang berkembang biaknya kuman yang menghasilkan endotoksin.
e) Riwayat Kesehatan Keluarga
Kebiasaan perawatan luka dengan menggunakan bahan yang kurang aspetik
f) Riwayat Social
Hubungan interaksi dengan keluarga dan pekerjaannya
g) Pola Kebiasaan Dan Fungsi Kesehatan
Pola kebiasaan dan fungsi ini meliputi :
a. Pola persepsi dan tata laksanaan hidup sehat
1. Gaya hidup yang berkaitan dengan kesehatan, pengetahuan tentang kesehatan, pencegahan dan kepatuhan pada setiap perawatan dan tindakan medis?
2. bagaimana pandangan terhadap penyakit yang diderita, pelayanan kesehatan yang diberikan, tindakan apabila ada anggota keluarga yang sakit, penggunaan obat – obatan pertolongan pertama.
b. Pola nutisi
1. Untuk mengetahui asupan kebutuhan gizi. Ditayakan bagaimana kualitas dan kuantitas dari makanan yang dikonsumsi olek px?
2. Makanan apa saja yang disukaidan yang tidak? Bagaimana selera makan anak? Berapa kali minum, jenis, dan jumlah per hari ?
c. Pola eliminasi
1. BAK : ditanyakan frekuensinya, jumlahnya, secara makroskopis ditanyakan bagaimana warna, bau, dan apakah terdapat darah? Serta ditanyakan apakah disertai nyeri saat kencing.
2. BAB : ditanyakan kapan waktu BAB, teratur atau tidak? bagaimana konsistensinya lunak, keras, cair atau berlendir?
d. Pola tidur / istirahat
Bangun tidur jam berapa? Kebiasaan sebelum tidur, bagaimana dengan tidur siang?
B. Data Obyektif
a) Pemeriksaan Umum (Corry S, 2008)
Pertama kali perhatikan keadaan umum vital : tingkat kesadaran, tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu. Pada kejang demam sederhana akan didapatkan suhu tinggi sedangkan kesadaran setelah kejang akan kembali normal seperti sebelum kejang kelainan neurologi.
b) Pemeriksaan Fisik
a. B1 (Breathing)
Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak napas, penggunaan oto bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan yang sering didapatkan pada klien tetanus yand disertai adanya ketidakefektifan bersihan jalan nafas. Palpasi thorak didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi secret dan kemampuan batuk yang menurun
b. B2 (Blood)
Pengkajian pada system kardiovaskuler didapatkan syok hipovolemik yang sering terjadi pada klien tetanus. TD biasanya normal, peningkatan heart rate, adanya anemis karena hancurnya eritrosit
Pengkajian B3 merupakan pemeriksaan focus dan lebih dibandingkan pengkajian pada system lainnnya
a) Tingkat kesadaran
Kesadaran klien biasanya composmentis. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien tetanus mengalami penurunan pada tingkat letardi, stupor, dan semikomatosa. Apabila klien sudah mengalami koma makan pemilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan b) Fungsi serebri
Status mental: observasi penampilan klien dan tingkah lauknya, nilai gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah dan aktivitas motorik yang pada klien tetanus tahap lanjut biasanya status mental klien mengalami perubahan c) Pemeriksaan saraf cranial
Saraf I. Biasanya pada klien tetanus tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak ada kelainan
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal
Saraf III, IV, dan VI. Dengan alas an yang tidak diketahui, klien tetanus mengeluh mengalami fotofobia atau sensitive yang berlebihan terhadap cahay. Respons kejang umum akibat stimulus rangsang cahay perlu diperhatikan perawat untuk memberikan intervensi menurunkan stimulasi cahaya tersebut
Saraf V. Refleks masester meningkat. Mulut mencucu seperti mulut ikan (ini adalah gejala khas tetanus)
wajah simetris
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tulu persepsi
Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik,kesukaran membuka mulut (trismus)
Saraf XI. Didapatkan kaku kuduk. Ketegangan otot rahang dan leher (mendadak)
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan normal.
d) Sistem motorik
Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi pada tetanus tahap lanjut mengalami perubahan.
e) Pemeriksaan reflex
Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau peristeum derajat reflex pada respons normal.
f) Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, Tic, dan distonia. Pada keadaan tertentu klien biasanya mengalami kejang umum, terutama pada anak dengan tetanus disertai peningkatan suhu tubuh yang tinggi. Kejang berhubungan dengan sekunder akibat area fokal kortikal yang peka.
g) Sistem sensorik
Pemeriksaan sensorik pada tetanus biasanya didapatkan perasaan raba normal, perasaan nyeri normal.
Perasaan suhu normal, tidak ada perasaan abnormal di permukaan tubuh, Perasaan proprioseptif normal dan perasaan diskriminatif normal.
d. B4 (Bladder)
Penurunan volume haluaran urine berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal. adanya retensi urine karena kejang umum. Pada klien yang sering kejang sebaiknya pengeluaran urine dengan menggunakan kateter.
e. B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asalm lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien tetanus menurun karena anoreksia dan adanya kejang, kaku dinding perut (perut papan) merupakan tanda khas pada tetanus. Adanya spasme otot menyebabkan kesulitan BAB.
f. B6 (Bone)
Adanya kejang umum sehingga mengganggu mobilitas klien dan menurunkan aktivitas sehari – hari. perlu dikaji apabila klien mengalam patah tulang terbuka yang memungkinkan port de entrée kuman clostridium tetani,
sehingga memerlukan perawatan luka yang optimal. Adanya kejang memberikan risiko pada fraktur vertebra pada bayi, ketegangan, dan spasme otot pada abdomen
2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan terkumpulnya liur di dalam rongga mulut (adanya spasme pada otot faring)
b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otot – otot pernafasan
c. Hipertermi berhubungan dengan efek toksin (bakterimia)
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan menelan, keadaan kejang abdomen, trismus.
e. Resiko cedera berhubungan dengan serangan kejang berulang
f. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan adanya kejang berulang
g. Ansietas berhubungan dengan prognosis penyakit, kemungkinan kejang berulang
3. Intervensi Keperawatan Diagnosa
Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi Keperawatan
Ketidakefek-tifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan terkumpulnya liur di dalam rongga mulut (adanya spasme pada otot faring)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan
ketidakefektifan bersihan jalan nafas teratasi dengan kriteria hasil: a. T i d a k t e r j a d i aspirasi b. B u n y i n a p a s terdengar bersih c. R o n g g a m u l u t
bebas dari sumbatan
1. Manajemen jalan nafas a. Berikan udara / oksigen yang telah dihumidifikas i ( dilembabka n) sesuai dengan kebijakan institusi b. Lakukan atau bantu dalam terapi aerosol, nebulizer ultrasonik, dan perawatan paru lainnya sesuai dengan kebijakan dan protokol institusi c. Atur posisi pasien memungkink an untuk pengem-bangan maksimal rongga dada (misalnya bagian kepala tempat tidur di tinggikan 45o kecuali ada kontra indikasi) 2. Pengisapan jalan napas a. Tentukan kebutuhan pengisapan oral atau trakea b. Pantau status oksigen pasien
Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otot – otot pernafasan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan
ketidakefektifan pola nafas teratasi dengan kriteria hasil:
a. Mendemontrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dypneu (mampu
mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan muah, tidak ada pursed lips)
b. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak terasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal)
c. Tanda – tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernafasan) 1. Managemen Jalan Napas a. Buka jalan napas, gunakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu b. Posisikan pasien untuk memaksima l-kan ventilasi c. Identifikasi pasien perlunya pemasa-ngan alat jalan nafas buatan d. Lakukan fisioterapi dada bila perlu e. Keluarkan secret dengan batuk atau suction 2. Pemantauan Pernapasan a. Pantau kecepatan, irama, kedalaman dan upaya pernapasan b. Perhatikan pergerakan dada, amati kesimetrisa n, penggunaan otot-otot bantu c. Pantau pernapasan yang berbunyi,
Hipertermi berhubungan dengan efek toksin (bakterimia)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan hipertermi teratasi dengan kriteria hasil:
a. Suhu tubuh dalam rentang normal b. Nadi dan RR
dalam rentang normal c. T i d a k a d a
perubahan warna kulit dan tidak ada pusing
1. T e r a p i demam a. Pantau aktivitas kejang b. Pantau hidrasi (misalnya turgor kulit, kelembapan membrane mukosa) c. Lepaskan pakaian yang berlebihan dan tutupi pasien dengan selimut aja 2. Kewaspadaan hipertermia maligna a. Pantau tanda hipertermia maligna (misalnya demam, takipnea, aritmia, perubahan tekanan darah, bercak pada kulit, kekakuan dan berkeringat banyak) 3. R e g u l a s i suhu a. Berikan obat antipiretik, jika perlu b. Gunakan matras dingin dan mandi air hangat untuk mengatasi gangguan suhu tubuh, jika perlu c. Pantau
Ketidakseimban-gan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan menelan, keadaan kejang abdomen, trismus
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh teratasi dengan kriteria hasil: a. Tidak terjadi dehidrasi b. Tidak terjadi penurunan BB c. Tidak menunjukkan tanda – tanda malnutrisi 1. Manajemen nutrisi. a. Ketahui makanan kesukaan pasien b. Pantau kandungan nutrisi dan kalori pada cacatan pasien. c. Timbang pasien pada interval yang tepat x 2. Manejemen cairan/elektrolit. a. Berikan pasien minuman dan kedupan bergizi, tinggi protein, tinggi kalori yang siap dikonsumsi, bila memungkinkan . 1. Untuk membantu atau menyediakan asupan makanan dan cairan diet seimbang 2. Untuk mengatur perubahan kadar cairan dan elekrolit
Resiko cedera berhubungan dengan serangan kejang berulang
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan resiko cedera teratasi dengan kriteria hasil:
a. Klien tidak ada c e d e r a a k i b a t serangan kejang b. Klien ridur dengan
t e m p a t t i d u r pengaman c. T i d a k t e r j a d i serangan kejang ulang d. Suhu 36 – 37,5oC, Nadi 60 – 80 x/ menit, Respirasi 16 – 20 x/menit e. K e s a d a r a n composmentis 1. Manajemen lingkungan a. Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien b. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien, sesuai dengan kondisi fisik dan fungsi kognitif pasien dan riwayat penyakit terdahulu pasien c. Menghindari lingkungan yang ebrbahaya (misalnya memindahkan perabotan) d. Memasang
side rall tempat tidur
e.
Menyediakan tempat tidur yang aman dan bersih f. Menempatkan saklar lampu ditempat yang mudah terjangkau g. Membatasi pengunjung h. Menganjurkan keluarga untuk menemani pasien i. Mongontrol lingkungan dari kebisingan j. Memindahkan barang-barang yang dapat
Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan adanya kejang berulang
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan gangguan mobilitas fisik teratasi dengan _riteria hasil:
a. Klien meningkat dalam aktivitas fisik b. Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas c. Menverbalisasikan perasaan dalam m e n i n g k a t k a n k e k u a t a n d a n k e m a m p u a n berpindah d. M e m p e r a g a k a n penggunaan alat e. B a n t u u n t u k mobilisasi (walker) 1. T e r a p i l a t i h a n fi s i k : Ambulasi a. Monitoring vital sign sebelum / sesudah latihan dan lihat respon pasien saat latihan b. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan c. Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah terhadap cedera d. Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang teknik ambulasi e. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi f. Berikan alat
bantu jika klien memerlukan g. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan 1. Meningkatkan dan membantu dalam berjalan untuk mempertahan-kan atau mengembali-kan fungsi fungsi tubuh autonom dan pemulihan dari kondisi sakit atau cedera.
Ansietas berhubungan dengan prognosis penyakit, kemungkinan kejang berulang
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan ansietas teratasi dengan kriteria hasil: a. Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas b. Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan teknik untuk mengontrol cemas
c. Vital sign dalam batas normal d. Postur tubuh,
ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivitas menunjukkan berkurangnya kecemasan 1. P e n u r u n a n Ansietas a. G u n a k a n pendekatan y a n g m e n e n a n g -kan b. N y a t a k a n dengan jelas h a r a p a n t e r h a d a p p e l a k u pasien c. Jelaskas semua prosedur da apa yang dirasakan selama prosedur d. Pahami prespektif pasien terhadap situasi stress e. Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut f. Identifikasi tingkat kecemasan g. Bantu pasien untuk mengungkap kan perasaan, ketakutan, persepsi h. Intruksikan pasien menggunaka n teknik relaksasi i. Berikan untuk mengurangi kecemasan 1. Untuk meminimalka n kekhawatiran, ketakutan, prasangka, atau perasaan tidak tenang yang berhubungan dengan sumber bahaya yang diantisipasi dan tidak jelas
BAB III APLIKASI KASUS 3.1 Pengkajian
a. Identitas / Biodata Klien
Nama : Ny. F
Umur : 46 tahun
Alamat : Jln. Kertosari 14, Sby
Jenis Kelamin : P
Agama : Islam
Warga Negara : Indonesia Diagnosa Medis : Tetanus
Tanggal MRS : 02 Mei 2016 jam : 07.00 Tanggal Pengkajian : 02 Mei 2016 jam 07.15
Penagnggung Jawab
Nama : Tn. H
Alamat : Jln Kertosari 14,Sby
Hub. Dengan Klien : Ayah
b. Keluhan Utama
Kejang
c. Riwayat Kesehatan Sekarang
Px datang ke rumah sakit dengan keluhan kejang, keluarga px mengatakan px kejang sejak 2bulan yang lalu, kejang dirasakan semakin hebat sejak seminggu terakhir. Berdasarkan keterangan keluarga, 3tahun yang lalu px pernah mengalami luka robek di kakinya karena terkena patahan kayu yang tajam
d. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Keluarga px mengatakan bahwa 3tahun yang lalu px pernah mempunyai luka robek akibat terkena patahan kayu.
e. Riwayat Kesehatan Keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita tetanus.
f. Keadaan Lingkungan
Px bertempat di daerah yang kurang bersih
Suhu : 38OC Nadi :116 x/menit Tekanan Darah :120/90 mmHg RR :26 x/menit BB :52 kg TB : 160 cm h. Analisa Data
No. Data Etiologi Masalah
1. DS :
a. Px sering mengeluh pening diikuti dengan kejang – kejang DO :
a. Px sering terlihat kejang oleh keluarga
Toksin Proliferasi clostridium tetani ke pembuluh darah Toksin dari clostridium tetani menyebar ke system saraf di otak melalui
pembuluh darah Toksin menimbulkan reaksi di system saraf di otak Kejang Kejang 2. DS : a. Px mengeluh batuk DO : a. Ronkhi
b. Batuk tidak efektif disertai sputum atau lender
c. Hasil lab menunjukkan AGD abnormal (asidosis respiratorik)
Spasme otot faring Akumulasi sputum
Trakea ronkhi
Bersihan jalan nafas tidak
3. DS :
a. Px sesak nafas DO :
a. RR 26 x/menit
b. Ada retraksi dinding dada
c. Ada pernafasan cuping hidung
Kekakuan otot faring Sesak nafas
Pola nafas tidak efektif
3.2 Diagnosa Keperawatan
a. Kejang berhubungan dengan penyebaran toksic clostridium tetani di system saraf di otak
b. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sputum c. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat
spasme otot pernafasan
3.3 Intervensi Keperawatan No Diagnosa Tujuan dan
Kriteria Hasil
1. Kejang berhubungan dengan penyebaran toksik clostridium tetani di system saraf di otak Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan kejang teratasi dengan kriteria hasil: a. Frekuensi kejang berkurang b. Px lebih tenang Mandiri : a. Anjurkan keluarga agar menahan tubuh px saat kejang b. Anjurkan keluarga untuk memasang sendok ke mulut px saat px kejang c. Kaji stimulus kejang d. Pertahankan bedrest total selama fase akut Kolaborasi : a. Memberikan obat anti kejang kepada px a. Agar px tidak terjatuh dari tempat tidur saat px mengalami kejang b. Melindungi px agar tidak menggigit lidahnya sendiri saat terjadi kejang c. Obat anti kejang dapat membantu px untuk segera lepas dari masa kejangnya dan menenang-kan px
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sputum Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan bersihan jalan nafas teratasi dengan kriteria hasil: a. AGD normal b. Tidak ada suara ronkhi c. Tidak ada sputum 1. Manajemen jalan napas a. Bebaskan jalan nafas dengan memberikan posisi kepala ekstensi b. Lakukan pemeriksaan fisik khususnya auskultasi tiap 2-4jam sekali c. Lakukan suction 2. Pengisapan jalan napas a. Catat jenis dan jumlah sekret yang dikumpul-kan b. Jelaskan penggunaan yang benar peralatan pendukung (misalnya oksigen, mesin penghisap, spirometer, inhaler, dan intermittent positive pressure breathing (IPPB) c. Instruksikan kepada pasien tentang batuk dan teknik napas dalam untuk memudahkan pengeluaran secret d. Ajarkan pasien dan keluarga
3. Pola nafas tidak efektif berhubun-gan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otot pernafasan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan pola nafas tidak efektif teratasi dengan kriteria hasil: 1. Tidak ada sesak nafas 2. RR dalam rentang normal 3. Tidak ada retraksi dinding dada 4. Tidak ada pernafasan cuping hidung 1. P e m a n t a u a n Pernapasan a. Monitor irama nafas dan RR b. Berikan posisi semi fowler c. Observasi tanda dan gejala sianosis d. Pantau kecepatan, irama, kedalaman dan upaya pernapasan e. Perhatikan pergerakan dada, amati kesimetrisan, penggunaan otot-otot bantu f. Pantau pernapasan yang berbunyi, seperti men-dengkur dll g. Pantau pola pernapasan h. Pantau peningkatan kegelisahan,a nsietas dan lapar udara. 1. Adanya kelainan pada pernafasan dapat dilihat dari frekuensi, jenis, pernafasan, kemampuan dan irama nafas 3.4 Implementasi Keperawatan
1. 02 Mei 2016 07.20 07.30 08.00 09.00 10.00 11.00
a) Bina Hubungan Saling Percaya
b) Mengkaji stimulus kejang c) Menganjurkan keluarga
agar menahan tubuh px saat kejang
d) Memberikan obat anti kejang kepada px
e) Menganjurkan keluarga untuk memasang sendok ke mulut px saat px kejang f) Pertahankan bedrest total
selama fase akut
Silvia 2. 14.00 15.00 15.30 16.00 16.20 16.50 17.10
a) Bebaskan jalan nafas dengan memberikan posisi kepala ekstensi
b) Melakukan pemeriksaan fisik khususnya auskultasi tiap 2-4jam sekali
c) Melakukan suction
d) Menjelaskan penggunaan yang benar peralatan
pendukung (misalnya oksigen, mesin penghisap, spirometer, inhaler dll) e) Instruksikan kepada
pasien tentang batuk dan teknik napas dalam untuk memudahkan pengeluaran secret
f) Mencatat jenis dan jumlah sekret yang dikumpulkan
g) Mengajarkan pasien dan keluarga tentang makna perubahan pada sputum seperti warna, kateter, jumlah dan bau
3. 03 Mei 2016 07.00 07.30 08.00 09.00 10.00 10.20 10.30 11.00
a) Memberikan posisi semi fowler
b) Memonitor irama nafas dan RR
c) Memperhatikan pergerakan dada, amati kesimetrisan, penggunaan otot-otot bantu
d) Mengobservasi tanda dan gejala sianosis
e) Memantau pola pernapasan
f) Memantau kecepatan, irama, kedalaman dan upaya pernapasan
g) Pantau pernapasan yang berbunyi, seperti men-dengkur dll h) Pantau peningkatan kegelisahan,ansietas dan lapar udara. Salwa 3.5 Evaluasi Keperawatan
No Tanggal / Waktu Evaluasi TTD
1. 02 Mei 2016
15.00
S :
a. Px / keluarga mengatakan kalau px tampak lebih tenang b. Frekuensi kejang berkurang O :
a. Frekuensi kejang px tampak berkurang
b. Keluarga mampu mengatasi px saat kejang
A : Intervensi tercapai sebagian a. Menganjurkan keluarga agar
menahan tubuh px saat kejang
b.M e n g a n j u r k a n k e l u a rg a untuk memasang sendok ke mulut px saat px kejang c. Pertahankan bedrest total
selama fase akut P : Intervensi dimonitoring
2. 02 Mei 2016 21.00
S :
a. Px mengatakan telah bernafas dengan normal
O :
a. Px tampak tidak terdengar lagi nafas ronkhi
b. Bernafas dalam batas normal A : Intervensi tercapai sebagian
a. Bebaskan jalan nafas dengan memberikan posisi kepala ekstensi
b. Instruksikan kepada pasien tentang batuk dan teknik napas dalam untuk
memudahkan pengeluaran secret
c. Mengajarkan pasien dan keluarga tentang makna perubahan pada sputum seperti warna, kateter, jumlah dan bau P : Intervensi dimonitoring Nanda 3. 03 Mei 2016 15.00 S :
a. Px mengatakan nafas kembali normal dan teratur
O :
a. Px tidak sesak nafas lagi b. RR dalam rentang normal c. Tidak ada retraksi dinding
dada
d. Tidak ada pernafasan cuping hidung
A : Intervensi teratasi sebagian a. Memberikan posisi semi
fowler b. Pantau peningkatan kegelisahan,ansietas dan lapar udara. P : Interven dimonitoring Salwa
BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani.
Clostridium tetani yang sering kali tempat masuk kuman sukar diketahui tetapi suasana anaerob seperti pada luka tusuk, luka kotor, adanya benda asing dalam luka yang menyembuh, otitis media dan caries gigi, menunjang berkembang biaknya kuman yang menghasilkan endotoksin
Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin bertambah terutama pada rahang dan leher. Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan :Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot – otot mastikatoris, Kaku kuduk sampai epistotonus (karena ketegangan otot – otot erector trunki), Ketengan otot dinding perut, Kejang tonik terutama bila dirangsang karena toksin terdapat di komuanterior, dll.
Penatalaksanaan pada klien dengan tetanus ada 2 macam yaitu farmakologi dan non farmakologi. Komplikasi penyakit tetatnus antara lain : Spasme otot faring yang menyebabkan terkumpulnya air liur (saliva) di rongga mulut. Hal ini memungkinkan terjadinya aspirasi sehingga dapat terjadi pneumonia aspirasi, asfiksia dan atelektasis karena obstruksi secret.
Daftar Pustaka
An, Sudoyo w,dkk. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Doengoes,E.M. 2009. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC Fair, dkk. 2005. Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC
Kusuma, Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc. Yogyakarta : MediAction
Muttaqin, arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika
Sudarth. 2005. Keperawatan Medical Bedah Edisi 8 vol 2. Jakarta : EGC
Wilkinson, Judith. 2009. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 9. Jakarta : EGC