• Tidak ada hasil yang ditemukan

RINGKASAN. PEMODELAN SPASIAL EKOLOGIS ZONA INTI TAMAN NASIONAL (Studi Kasus Taman Nasional Bogani Nani Wartabone) Provinsi Gorontalo-Sulawesi Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RINGKASAN. PEMODELAN SPASIAL EKOLOGIS ZONA INTI TAMAN NASIONAL (Studi Kasus Taman Nasional Bogani Nani Wartabone) Provinsi Gorontalo-Sulawesi Utara"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

PEMODELAN SPASIAL EKOLOGIS ZONA INTI

TAMAN NASIONAL

(Studi Kasus Taman Nasional Bogani Nani Wartabone)

Provinsi Gorontalo-Sulawesi Utara

RINGKASAN

Oleh: NAWIR N. SUNE 08/278445/SGE/00162 PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS GEOGRAFI UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA 2012

(2)

RINGKASAN

A. LATAR BELAKANG DAN PERMASALAHAN PENELITIAN

Taman nasional dan kawasan konservasi lainnya merupakan aset umum yang ditetapkan pemerintah dengan tujuan untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan. Taman nasional secara khusus ditetapkan untuk pelestarian tempat dengan perwakilan ekosistem tertentu dan melindungi jenis- jenis tumbuhan dan hewan yang unik dan khas untuk daerah tertentu.

Suatu kawasan ditunjuk sebagai taman nasional apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut: 1) mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami; 2) memiliki sumberdaya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami; 3) memiliki satu atau berbagai ekosistem yang masih utuh; 4) memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam; dan 5) merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan dan zona lain yang karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri, (PP No. 68 tahun 1998 pasal 31 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam).

Salah satu Kawasan suaka alam di Indonesia yang ditetapkan menjadi taman nasional adalah Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, yang ditetapkan melalui SK Menteri Kehutanan No.731/Kpts-II/91 status kawasan tersebut dikukuhkan/ditetapkan sebagai Kawasan konservasi dengan luas 287.115 ha. Kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone secara geografis terletak di 2 (dua) wilayah provinsi yaitu Provinsi Gorontalo dan Provinsi Sulawesi Utara, dan dibagi atas tiga wilayah pengelolaan yaitu Duloduo, Maelang dan Limboto.

Kawasan Taman Nasionsl Bogani Nani Wartabone (TNBNW) merupakan hutan hujan tropika pengunungan, kondisinya dipengaruhi oleh berbagai faktor

(3)

antara lain faktor biologis, fisik, sosial ekonomi dan budaya. Sebagai suatu ekosistem, taman nasional mempunyai banyak manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat sekitar baik langsung maupun tidak langsung, antara lain berupa penyediaan sumber air, pengaturan sistem hidro-orologis, bahan bakar, jasa wisata, budaya dan lainnya.

Kondisi Taman Nasional ini termasuk kekhasan, kelangkaan dan fungsi ekologis serta sosial dan ekonomis mendapat ancaman akibat penambangan tanpa izin (PETI), perubahan penggunaan lahan akibat perambahan hutan, peladangan dan pemukiman yang jika dibiarkan secara terus menerus berlangsung akan menyebabkan penyusutan luasan dan fungsi kawasan yang pada gilirannya menjadi ancaman bagi keanekaragaman hayati pada kawasan tersebut. Oleh karenanya penataan secara menyeluruh komprehensif sangatlah penting demi menjaga keutuhan dan kelestarian kawasan tersebut melalui zonasi.

Penetapan zona tersebut didasarkan pada kriteria sebagai pertimbangan untuk masing-masing zona melalui aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Dalam Permenhut No.P. 56 tahun 2006 tentang Zona Dalam Kawasan Taman Nasional terdiri dari: Zona inti; Zona rimba; Zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan, Zona pemanfaatan; dan Zona lain, antara lain: Zona tradisional; Zona rehabilitasi; Zona religi, budaya dan sejarah; serta Zona khusus.

Zona inti suatu taman nasional adalah bagian dari taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota ataupun fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia yang mutlak dilindungi, berfungsi untuk perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas, dengan memenuhi kriteria sebagai berikut: 1) mempunyai keanekaragaman spesies tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; 2) mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya yang merupakan ciri khas ekosistem dalam kawasan taman nasional yang kondisi fisiknya masih asli dan belum diganggu oleh manusia; 3) mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisik yang masih asli dan /atau belum diganggu manusia; 4) mempunyai luasan yang cukup dan bentuk

(4)

tertentu yang cukup untuk menjamin kelangsungan hidup jenis-jenis tertentu untuk menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami; 5) mempunyai cirri khas potensi dan /atau merupakan contoh yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi; 6) mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa liar beserta ekosistemnya yang langka yang keberadaannya terancam punah; 7) merupakan habitat satwa dan atau tumbuhan tertentu yang prioritas dan khas/endemik; 8) merupakan tempat aktivitas satwa migran. (Permenhut No. 56 tahun 2006).

Mengingat pentingnya zona inti dalam suatu taman nasional, olehnya itu penetapan zonasinya harus sangat hati-hati dan harus mengakomodir bukan hanya kepentingan ekologis tetapi juga perlu diperhatikan aspek lainnya yang secara komprehensip mempengaruhi penetapan tersebut, yang pada gilirannya akan mempengaruhi pengambilan keputusan dalam menentukan delineasi zona suatu kawasan taman nasional khususnya zona inti.

Permasalahan yang mendasar dalam kawasan taman nasional Taman Nasional Bogani Nani Wartabone khususnya zona inti adalah: (1) batas antara zona inti dengan zonasi lainya secara fisik tidak secara tegas di peta maupun di lapangan, karena parameter atau kriteria yang digunakan dalam penentuan batas delineasi/ spidolisasi kawasan secara fisik sulit dibedakan di lapangan; (2) ketidak jelasan tata batas antara zona inti dengan zona lainnya yang sangat imajiner di lapangan berakibat pada pemanfaatan lainnya oleh masyarakat sudah sampai pada kawasan zona inti, antara lain pemanfaatan penambangan tanpa izin (PETI) oleh masyarakat yang hal ini akan mengganggu proses ekologis secara alami; (3) di bagian utara dan selatan zona inti, tidak dibatasi dengan zona penyangga (buffer zone), sehingga sangat resisten terhadap ancaman langsung pada kerusakan zona

inti. Hal ini nampak pada beberapa bagian kawasan zona inti taman nasional sudah mulai dimanfaatkan untuk penggunaan lahan lainnya; (4) kriteria penetapan zona inti sesuai Permenhut No. 56 tahun 2006, belum mengakomodir karakteritik biofisik lahan, antara lain ketinggian tempat, kemiringan lereng dan yang lainnya,

(5)

yang secara operasional dapat digunakan sebagai acuan dalam mendeliniasi zona inti secara spasial di peta dan mengenalinya di lapangan; (5) kriteria penetapan kawasan yang ada terkesan harus dilakukan survei lapangan secara terestrerial pada seluruh kawasan konservasi taman nasional, yang pada gilirannya sangat membutuhkan waktu, tenaga dan biaya yang relatif cukup banyak. Untuk itu perlu dicarikan solusi penetapan parameter dan metode yang lebih operasional, efektif, efisien dan aplikatif untuk memodifikasi kriteria yang telah digunakan dalam penetapan zonasi kawasan.

Untuk menjawab berbagai permasalahan yang dikemukakan di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Kriteria dan indikator apa saja sebagai penentu zona inti kawasan taman nasional yang lebih efektif melalui pendekatan simulasi model spasial ekosistem bentang lahan.

2. Bagaimana kondisi ekologis Zona Inti Taman Nasional Bogani Nani Wartabone khususnya dalam kaitannya dengan pengelolaan dan pelestarian sumberdaya alam berkelanjutan.

3. Bagaimana penentuan model zona inti taman nasional yang lebih efektif melalui pendekatan spasial ekologis dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis.

B. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN a. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan, maka tujuan penelitian ini adalah :

1. menyusun kriteria dan indikator sebagai penentuan model zona inti kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone melalui pendekatan spasial ekosistem bentang lahan.

2. mengkaji kondisi ekologis zona inti Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dalam kaitannya dengan pengelolaan dan pelestarian sumberdaya alam berkelanjutan.

3. menyusun model zona inti melalui pendekatan spasial ekologis dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis.

(6)

b. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. sebagai pengembangan disiplin ilmu Geografi dengan menggunakan pendekatan spasial ekologis yang ditetapkan atas dasar potensi sumberdaya alam kawasan serta kebutuhan pengembangan dan kehidupan manusia. Konsep yang dihasilkan dari penelitian ini dapat diterapkan pada berbagai kawasan taman nasional yang memiliki kondisi fisik, biologis dan sosial ekonomi yang relatif sama, dengan modifisikasi disesuaikan dengan kondisi setempat.

2. sebagai pedoman bagi para perencana dan pengelola lingkungan suatu zona taman nasional, agar secara konsisten melaksanakan kegiatan konservasi sumberdaya alam.

3. sebagai masukan untuk menyempurnakan aturan perundang-undangan tentang pengelolaan taman nasional.

C. METODE PENELITIAN

Penelitian ini bersifat pengembangan aplikasi data spasial untuk penataan kawasan hutan menggunakan metode survei dalam hal pengumpulan dan analisis data. Pemodelan zona inti taman nasional dilakukan dengan cara integrasi analisis data penginderaan jauh dengan SIG, dalam penentuan zona inti taman nasional. Parameter geofisik dilakukan dengan pendekatan parametrik dan non parametrik, sedangkan dalam menentukan parameter biotik dilakukan dengan pendekatan satuan lahan.

a. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Taman Nasional Bogani Nani Wartabone yang terletak di dua provinsi yaitu Provinsi Gorontalo dan Provinsi Sulawesi Utara, yang terbagi dalam tiga wilayah pengelolaan yaitu Duloduo, Maelang dan Limboto.

(7)

b. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah zona inti taman nasional didasarkan pada tujuh kriteria, yaitu 1) bagian taman nasional yang mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa berserta ekosistemnya, 2) mewakili formasi biota tertentu dan unit-unit penyusunannya yang merupakan ciri khas ekosistem dalam kawasan taman nasional yang kondisi fisiknya masih asli dan belum digangu oleh manusia, 3) mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisik yang masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia, 4) mempunyai luasan yang cukup dan bentuk tertentu yang cukup untuk menjamin kelangsungan hidup jenis-jenis tertentu untuk menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami, 5) mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan contoh yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi, 6) mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa liar beserta ekosistemnya yang langka yang keberadaannya terancam punah, 7) merupakan habitat satwa atau tumbuhan tertentu yang memiliki prioritas dan khas/endemik, 7) merupakan tempat aktivitas satwa imigrasi.

Indikator variabel dari penetapan ketujuh kriteria di atas adalah 1) parameter derajat keanekaragaman yang tinggi, 2) terdapat terdapat tumbuhan dan atau satwa langkah/endemik, 3) ketinggian tempat dpal, 4) kemiringan lereng, 5) kerapatan vegetasi, 6) penutupan/penggunaan lahan, 7) bentuklahan, dan 8) jenis tanah.

c. Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpul meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang dikumpul berdasarkan pengamatan langsung di lapangan sesuai dengan kebutuhan, meliputi derajat keanekaragaman hayati, keberadaan flora dan atau fauna langkah/endemik, ketinggian tempat dpal, kemiringan lereng, kerapatan vegetasi, penutupan/ penggunaan lahan, bentuklahan, dan iklim mikro. Data sekunder sebagai pendukung data primer berupa penelurusan kepustakaan, baik dari perpustakaan, hasil pertemuan ilmiah

(8)

atau seminar maupun internet, juga menyiapkan rencana pengadaan peta-peta baik peta dasar dan peta jenis tanah, citra satelit digital, laporan-laporan, data sekunder, data dan alat lainnya yang digunakan.

Parameter aspek geofisik lahan yang diperoleh dari data primer dengan cara dilakukan melalui hasil interpretasi citra satelit berupa ketinggian tempat dpal, kemiringan lereng, kerapatan vegetasi, bentuklahan, penutupan lahan/ penggunaan lahan, sedangkan parameter iklim mikro diperoleh melalui data loger yang terpasang di lokasi penelitian.

Parameter biotik meliputi struktur vegetasi, derajat keaneragaman hayati dan pengamatan flora dan atau fauna langlah/endemik. Pengamatan struktur vegetasi dilakukan pada setiap petak ukur adalah struktur vegetasi secara vertikal mulai dari tingkat semai, pancang, tiang dan pohon. Parameter yang diamati dan dicatat pada vegetasi tingkat pohon meliputi jenis tanaman, jumlah individu setiap jenis tanaman, diameter tajuk, tinggi pohon bebas cabang dan keliling batang. Pengukuran struktur vegetasi mengacu pada kriteria yang disampaikan oleh Soerianegara dan Indrawan (2005) sebagai berikut:

1) Pohon (Trees) adalah tanaman dengan dia meter batang setinggi dada lebih

dari 20 cm (keliling batang lebih dari 62,8 cm), tinggi tanaman ± 130 cm. 2) Tiang (Poles) adalah tanaman dengan diameter batang setinggi dada antara 10

cm sampai dengan 20 cm (keliling batang ≥ 31,4 – 62,8 cm)

3) Sapihan (Sapling) adalah tanaman dengan diameter sampai dengan 10 cm dan

tinggi tanaman lebih dari 150 cm.

4) Semai (Seedling) adalah tanaman yang mempunyai tinggi sampai dengan 150

cm.

Data flora diperoleh dengan cara analisis vegetasi menggunakan metode analisis strip sampling (jalur petak) dengan skema seperti Gambar 1.

(9)

Gambar 1. Jalur dan petak ukur

Keterangan : T: Trees, P: Poles, Sp: Sapling dan Sd: Seedling

Sampel plot atau petak ukur menggunakan bentuk bujur sangkar dengan mempertimbangkan resolusi spasial dari citra yang digunakan. Sesuai dengan ketentuan Direktorat Inventarisasi dan Perencanaan Kehutanan tahun 1967 (Soerianegara dan Indrawan, 2005) dimodifikasi dikemukakan bahwa untuk mengetahui potensi vegetasi tingkat pohon dengan petak ukur bujur sangkar berukuran 30 m x 30 m, selanjutnya di dalam petak ukur tersebut dibuat petak ukur masing-masing berukuran 10 m x 10 m untuk potensi vegetasi tingkat tiang (poles), berukuran 5 m x 5 m untuk mengetahui potensi vegetasi tingkat panjang

(saplings) dan berukuran 2 m x 2 m untuk mengetahui potensi vegetasi tingkat

semai (seedlings).

d. Penentuan Sampel penelitian

Populasi daerah penelitian adalah seluruh kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone seluas 287.115 ha. Sampel diperlukan untuk uji medan dan kerja lapangan serta untuk menguji hasil interpretasi dan melengkapi data yang tidak dapat diperoleh dari citra satelit maupun dari data sekunder.

Penentuan atau pengambilan sampel didasarkan pada karakteristik fisik lahan yang merupakan hasil analisis dan interpretasi citra satelit maupun satuan lahan dari hasil overlai parameter bentuklahan dan jenis tanah. Alasan mengapa menggunakan dua parameter tersebut dalam penentuan sampel pada satuan

(10)

lahan?. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa dari plot-plot sampel hasil penelitian dan pemetaan Soerjani (1995) dan Simbala (2007), Martin et al.

(2001) flora bahkan fauna unik, langkah dan atau endemik banyak ditemukakan pada bentuklahan vulkanik dan jenis tanah dengan faktor pembatas tertentu, antara lain misalnya jenis tanah andosol, podsolik, grumusol dan lainnya. Alasan lain adalah bentuklahan juga sudah mewakili ketinggian dan relief. Hasil overlai parameter bentuklahan dan jenis tanah di wilayah studi menghasilkan 70 satuan lahan yang dapat dikelompokkan kedalam 21 satuan lahan.

Penentuan titik sampel di lapangan dilakukan dengan menggunakan metode Stratified random sampling atau sampel secara acak berstrata.

Pertimbangan yang diambil dalam penentuan lokasi sampel adalah sukar atau mudahnya dikenali suatu obyek pada saat interpretasi, tingkat kesulitan dan keterjangkauan dalam mencapai lokasi sampel yang ditetapkan. Dalam penentuan plot sampel pada setiap satuan lahan tetap memperhatikan penutupan lahan berupa lahan hutan kering primer dan sebaran luasan pada setiap satuan lahan. Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut, maka ditetapkan jumlah plot sampel atau petak ukur adalah sejumlah 5 titik sampel untuk flora pada satuan lahan V1PO, V1RE, V1AL, V1GR dan F2AL, sedangkan sampel fauna dilakukan, pada saat ditemukakannya fauna langkah/ endemik waktu melakukan plot sampel flora. Total jumlah sampel baik flora maupun fauna sejumlah 13 titik sampel dengan masing-masingnya adalah 5 (lima) titik sampel untuk flora dan fauna ditemukan pada 8 (delapan) titik sampel berdasarkan koordinat yang ada di lapangan.

e. Analisis Data

1. Analsis Data Geofisik

Analisis data dilakukan terhadap parameter-parameter geofisik yang terdiri dari ketinggian tempat dpal, kemiringan lereng, kerapatan vegetasi, bentuklahan, penutupan/ penggunaan lahan dan iklim mikro. Berikut akan diuraikan parameter-parameter dimaksud.

(11)

1.1 Analisis Parameter Keinggian Tempat dpal, Kemiringan Lereng dan Kerapatan Vegetasi.

Pendekatan yang digunakan dalam menganalisis tiga parameter ketinggian dpal, kemiringan lereng dan kerapatan vegetasi dengan cara melakukan analisis data berdasarkan parameter-parameter nilai numerik piksel yang dihasilkan dari rekaman data penginderaan jauh. Untuk mendapatkan data parameter ketinggian dan kemiringan lereng yang lebih akurat dengan tingkat validitas yang tinggi, maka data yang dihasilkan dari ke dua parameter yang dianalisis berdasarkan nilai piksel data penginderaan jauh tersebut, dielaborasi dan dicocokkan dengan data sekunder yang diperoleh dari beberapa data hasil penelitian pada lokasi Taman Nasional Bogani Nani Wartabone tentang hubungan antara parameter ketinggian dan kemiringan lereng dengan keberadaan flora dan atau fauna langka/endemik, sehingga data hasil analisis dan data lapangan parameter ketinggian dan kemiringan lereng akan saling memperkuat.

Nilai piksel hasil rekaman citra penginderaan jauh, akan menyebar sesuai dengan karakteristik bentang lahan dan obyek yang terdapat di lokasi penelitian. Sebaran nilai piksel tersebut akan dikelompokkan berdasarkan batas delineasi zona inti dan non zona inti penetapan taman nasional eksisting. Pengelompokan atau pemisahan nilai piksel pada zona inti dan non inti, mempunyai nilai piksel minimum dan maksimum untuk masing-masing parameter dan sangat tergantung dari karakteristik wilayah atau obyeknya.

1.2 Analisis Parameter Bentuklahan

Analisis parameter bentuklahan dengan melakukan interpretasi citra Landsat 7 ETM wilayah penelitian secara visual dengan teknik digitasi layar terhadap data penginderaan jauh. Kunci interpreasi bentuklahan didaskan pada bentuk atau relief, densiti, dan lokasi. Interpretasi dilakukan dengan merujuk pada klasifikasi relief digunakan untuk membedakan klasifikasi bentuklahan. berdasarkan klasifiaksi relief (Van Zuidam, 1983)

Selain itu cara pengklasifikasian kelas bentuklahan juga mengacu pada bentukan asalnya seperti vulkanik yang terbentuk dari proses vulkan, denudasional,

(12)

solusional, fluvial dan yang lainnya. Dalam menentukan bentukan asalnya sendiri, dapat dilihat dari pola aliran, relief, kelurusan, serta tutupan lahan.

1.3 Analisis Parameter Penutupan Lahan

Penutupan lahan merupakan salah satu parameter masukan dalam pemodelan ekosistem bentanglahan karena perubahan penutupan lahan yang sebelumnya alami menjadi tersentuh manusia akan mengusik dan mengubah ekosistem daerah tersebut sehingga diperlukannya penutupan lahan terkini untuk membatasinya. Pembuatan kelas penutupan/ penggunaan lahan didapat dari interpretasi visual citra penginderaan jauh dengan menggunakan klasifikasi penutupan lahan yang dikeluarkan oleh Badan Standarisasi Nasional tahun 2010 yaitu klasifikasi hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, permukiman, sawah, lahan terbuka, tubuh air. Penutupan lahan ini masih belum mengalami perusakan oleh manusia sehingga ekosistem alami atau terklasifikasi hutan lahan kering primer diberi skor 1, dan penutupan lahan selain kelas tersebut, diberikan skor 0 karena sudah ada aktivitas manuasia atau tidak alami lagi.

1.4 Analisis Parameter Iklim Mikro

Data perimer yang dihasilkan dari pengukuran iklim mikro di lapangan di tabulasi dan dikonversi satuannya dan dianalisis sehingga menghasilkan grafik yang bisa menggambarkan iklim mikro baik di zona inti, di luar zona inti taman nasional dan di luar taman nasional. Analisis yang dilakukan atas data-data iklim mikro dideskripsikan dalam bentuk grafik yang bisa menggambarkan hal-hal sebagai berikut a) bagaimana keterkaitan suhu,kelembapan dengan curah hujan pada zona inti taman nasional dan suhu,kelembapan dengan curah hujan di luar zona inti tetapi masih di dalam taman nasional dan suhu,kelembapan dengan curah hujan di luar taman nasional, b) bagaimana fluktuasi suhu dan kelembapan dikaitkan dengan struktur vegetasi hutan pada zona inti taman nasional, dan c). bagaimana rezimnya iklim mikro taman nasional.

(13)

2. Analisis data Biotik

Analisis data tentang variabel keanekaragaman hayati dan keberadaan flora dan atau fauna langkah/endemik, dengan cara menghitung kerapatan (K), frekuensi (F) dan Indeks Nilai Penting (INP) semua tingkat pertumbuhan penyusun hutan di kawasan taman nasional dianalisis dengan menghitung kerapatan relatif, dan dominasi relatif dengan persamaan Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974) berikut:

a. Kerapatan suatu jenis (K)

contoh petak Luas jenis suatu individu K =

      ... (3.1)

b. Kerapatan relatif suatu jenis (KR)

% 100 x jenis seluruh K jenis suatu K KR=       ... (3.2) 

c. Frekuensi suatu jenis (F)

contoh petak Sub Seluruh jenis suatu ditemukan petak Sub F

=      ... (3.3) 

d. Frekuensi relatif suatu jenis (KR)

% 100 x jenis seluruh F jenis suatu F FR=        ... .... (3.4) 

e. Dominansi suatu jenis (D)

contoh petak Luas jenis suatu dasar bidang Luas D=        ... (3.5) 

f. Dominansi relatif suatu jenis (DR)

% 100 x jenis seluruh D jenis suatu D DR=        ... (3.6)

g. Indeks Nilai Penting (INP)

DR FR KR

INP (%) = + +        ... (3.7)  3. Analisis Model Spasial Ekologis Zona Inti Taman Nasional

(14)

Model spasial ekologis zona inti taman nasional merupakan model yang diperoleh dari beberapa parameter biogeofisik. Parameter biogeofisik dimaksud adalah ketinggian tempat, kemiringan lereng, kerapatan vegetasi, bentuklahan, penutupan/ penggunaan lahan, jenis tanah, iklim mikro dan zona biotik yang diperoleh dari keanekaragaman hayati dan sebaran flora dan atau fauna langkah/endemik.

Hasil analisis dari masing-masing parameter yang telah diuraikan di atas digunakan sebagai data masukkan dalam simulasi model ekosistem bentang lahan, yang data masing-masing parameter terlebih dahulu diberi skor yang sama untuk nilai karakteristik data yang sama. Skor yang ditetapkan untuk semua parameter geofisik adalah skor 1 (satu) untuk nilai yang tertinggi pada setiap parameter dan skor 0 (nol) untuk nilai parameter yang terrendah.

Skenario atau Simulasi model dengan menggunakan berbagai parameter-parameter biogeofisik di atas, diperoleh Model ekosistem bentanglahan model A, ekosistem bentanglahan Model B, ekosistem bentanglahan C dan ekosistem bentanglahan D.

Dalam proses pemodelan data spasial, menggunakan 4 skenario yaitu:

1. Jika Model A = f(E,S,BL,PL,Jt,B) merupakan hasil pemodelan ekosistem

bentang lahan dengan data masukannya adalah parameter ketinggian tempat (E), kemiringan lereng (S), bentuklahan (BL), penutupan/penggunaan lahan (PL), jenis tanah (Jt) dan dikontrol oleh parameter biotik (B) menggunakan formulasi: (“SKOR_DEM” = 1 OR “SKOR_LRNG” = 1) AND (“SKOR_BL = 1 OR “SKOR_TANAH” = 1 OR “SKOR_PL” = 1) AND “SKOR_TOTAL” >= 4.

2. Jika Model B = f(E,Kv,BL,Jt,B) merupakan hasil pemodelan ekosistem

bentang lahan dengan data masukannya parameter ketinggian tempat dpal (E), kerapatan vegetasi (Kv), bentuklahan (BL), jenis tanah (Jt) dan dikontrol oleh parameter biotik (B) menggunakan formulasi: (“SKOR_KRPTN” = 1 OR “SKOR_LRNG” = 1) AND ( “SKOR_BL” = 1 OR “SKR_TANAH” = 1 ) AND “SKOR_TOTAL” >= 3.

(15)

3. Jika Model C = f(S,Kv,BL,Jt,B) merupakan hasil pemodelan ekosistem

bentang lahan dengan data masukannya parameter kemiringan lereng (S), kerapatan vegetasi (Kv), bentuklahan (BL) , jenis tanah (Jt) dan dikontrol oleh parameter biotik (B) menggunakan formulasi: (SKOR_KRPTN” = 1 OR SKOR_LRNG” = 1) AND (“ SKOR_BL = 1 OR “SKOR_TANAH = 1 ) AND “SKOR_TOTAL” >= 3.

4. Jika Model D = f(E,S,Kv,BL,Jt,B) merupakan hasil pemodelan ekosistem

bentang lahan dengan data masukannya parameter ketinggian tempat dpal (E), kemiringan lereng (S), kerapatan vegetasi (Kv), bentuklahan (BL) , jenis tanah (Jt) dan dikontrol oleh parameter biotik (B) menggunakan formulasi: (“SKOR_DEM” = 1 OR “SKOR_LRNG” = 1 OR ”SKOR_KRPTN” = 1 ) AND (“SKOR_BL” = 1 OR “SKOR_TANAH” = 1) AND “SKOR_TOTAL” >= 4.

Dalam menentukan model mana yang dipilih dari keempat hasil pemetaan model A, B ,C, dan D di atas sebagai model spasial ekosistem bentang lahan terpilih, dilakukan optimasi dengan jarak dari permukiman dan verifikasi dengan cara melakukan analisis visualisasi hasil pemetaan, dan menghitung luasan yang saling bertampalan antara zona inti model dan zona inti penetapan taman nasional eksisting dan membandingkan total luasan zona inti model yang dihasilkan dengan luasan zona inti eksisting taman nsional. Kriteria dan indikator penetapan zona inti model divalidasi dengan menggunakan tabel dua dimensi terhadap parameter-parameter biogeofisik yang digunakan sebagai data masukan dalam proses pemodelan termasuk indikator iklim mikro dan jarak dari permukiman dengan kriteria-kriteria penetapan zona inti taman nasional sesuai perundang-undangan, sehingga diperoleh indikator-indikator biogeofisik apa saja yang menjadi penentu model spasial ekologis zona inti taman nasional.

4. Verifikasi, Optimasi dan Validasi Model Spasil Ekologis Zona Inti

Model spasial ekologis zona inti taman nasional diperoleh dari hasil

simulasi melalui 4 (empat) skenario model ekosistem bentang lahan yang disusun berdasarkan parameter ketinggian tempat , kemiringan lereng, kerapatan

(16)

vegetasi, bentuklahan, penutupan/ penggunaan lahan, jenis tanah, dan iklim mikro divalidasi dan dikontrol dengan parameter biotik yang diperoleh dari derajat keanekaragam hayati, keberadaan flora dan atau fauna langkah/endemik.

Perbedaan parameter yang digunakan untuk tiap model akan berguna untuk mencari parameter mana yang cocok dan secara visual mendekati atau menyerupai bentuk delineasi peta zona inti penetapan (eksisting) dari keempat

model ekosistem bentang lahan yaitu ekosistem bentang lahan model A, model B, model C dan ekosistem bentang lahan model D.

Keempat ekosistem bentang lahan tersebut dilakukan verifikasi, optimasi dengan jarak dari permukiman penduduk dengan batas terluar zona inti model (± 2 km) sebagai buffer dan validasi model yang dimaksudkan untuk mengetahui

tingkat pemenuhan indikator model yang dihasilkan dari segi: 1) luasan zona inti model yang dihasilkan dibandingkan dengan luasan zona inti eksisting; 2) luasan yang yang saling bertampalan antara zona inti model dengan zona inti eksisting; 3) visualisasi kenampakan sebaran piksel hasil pemodelan; dan 4) indikator-indikator yang diperoleh dengan merujuk pada kriteria penentuan zona inti taman nasional sesuai perundang-undangan.

D. HASIL PENELITIAN,PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN 1. Kriteria dan Indikator Penentu Model Zona Inti Taman Nasional

Dalam penyusunan zonasi taman nasional termasuk zona inti taman nasional di Indonesia merujuk pada delapan kriteria yang ditetapkan sesuai perundang-undangan, sementara ke delapan kriteria yang merupakan parameter biotik tersebut kalau diterapkan di TNBNW untuk membatasi zonasi khususnya zona inti dengan zona lainnya akan mengalami kesulitan di lapangan sehubungan dengan wilayahnya sangat luas. Untuk menyederhanakan kriteria-kriteria tersebut, dicoba dilakukan pendekatan dengan beberapa parameter geofisik dengan tetap memperhatikan parameter biotik sebagai indikatornya, agar lebih implementatif, mudah dan jelas untuk membatasinya di peta dan mengenalinya di lapangan. Parameter biogeofisik yang digunakan dalam mensimulasikan model spasial

(17)

ekosistem bentang lahan adalah parameter ketinggian tempat, kemiringan lereng, bentuklahan, kerapatan, vegetasi, penutupan/ penggunaan lahan, jenis tanah, iklim mikro dan parameter biotik.

Simulasi atau skenario pemodelan yang dibuat menggunakan analisis data parameter geofisik yang diperoleh dari data penginderaan jauh dan parameter biotik yang diperoleh dari survei lapangan diproses dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis menghasilkan empat skenario model berikut ini:

Ekosistem Bentang Lahan Model A merupakan salah satu alternatif hasil

pemodelan spasial zona inti taman nasional dengan parameter data masukannya adalah ketinggian tempat, kemiringan lereng, bentuklahan, jenis tanah, penutupan/ penggunaan lahan, dan dikontrol oleh parameter biotik menggunakan formula matematis: ("SKOR_DEM" = 1 OR "SKOR_LRNG" = 1) AND ( "SKOR_BL" = 1 OR "SKOR_TANAH" = 1 OR "SKOR_PL" = 1) AND "SKOR_TOTAL" >= 4 diperoleh bahwa diindikasikan sebagai zona inti model sebesar 204.903,29 ha atau 69,45 % dari total luas taman nasional, sedangkan seluas 90.153,19 ha atau 30,55 % dari total luas taman nasional yang dapat diindikasikan sebagai non zona inti model. Total Luasan zona inti model yang dihasilkan dari skenario zona ekosistem bentang lahan model A tersebut, bila dibandingkan dengan total luas zona inti penetapan taman nasional eksisting

sebesar 180.737,86 ha atau 61 %, maka perbedaan keduanya hanya terdapat selisih lebih kurang 24.165,75 ha atau 8,19 %. Artinya luas zona hasil pemodelan yang terindikasi menjadi zona inti model lebih luas 8,19 % dibandingkan dengan luas zona inti eksisting taman nasional. secara visualisai kenampakan dari peta hasil analisis zona ekosistim bentang lahan model A, memperlihatkan pola persebaran piksel yang mengelompok, kompak dan sangat kontras antara piksel yang terdapat pada zona ekosistem bentang lahan dengan non zona ekosistem bentang lahan hasil pemodelan, sehingga hal ini memudahkan dalam merezoning kembali kedua batas tersebut. Kenampakan atau visualisasi pola penyebaran piksel yang terdapat pada peta zona ekosistem

(18)

bentang lahan model A hasil pemodelan, secara teknis akan memudahkan dalam mengotimasi kembali peta zona ekosistem model A.

Perbandingan luasan skenario hasil pemodelan ekosistem bentang lahan model A dibandingkan dengan zona inti eksisting taman nasional, terdapat pertampalan antara keduanya sebesar 89,84 %.

Ekosistem Bentang Lahan Model B merupakan salah satu alternatif hasil

pemodelan spasial zona inti taman nasional dengan parameter data masukannya adalah ketinggian tempat, kerapatan vegetasi, bentuklahan, bentuklahan jenis tanah dan dikontrol oleh parameter biotik menggunakan formula matematis: ("SKOR_KRPTN" = 1 OR "SKOR_LRNG" = 1) AND ("SKOR_BL" = 1 OR "SKOR_TANAH" = 1) AND "SKOR_TOTAL" >= 3.

Luasan hasil skenario zona ekosistem bentang lahan model B yang dapat diindikasikan sebagai zona inti model sebesar 199. 503,05 atau 67,62 % dari total luas taman nasional, sedangkan seluas 95.553,43 ha atau 32,38 % dari total luas taman nasional yang dapat diindikasikan sebagai non zona inti model. Total Luasan zona inti model yang dihasilkan dari skenario zona ekosistem bentang lahan model B tersebut, bila dibandingkan dengan total luas zona inti penetapan taman nasional eksisting sebesar 180.737,86 ha atau 61 %, maka perbedaan

keduanya hanya terdapat selisih lebih kurang 18.765,49 ha atau 6,36 %. Artinya luas zona hasil pemodelan yang terindikasi menjadi zona inti model lebih luas 6,36 % dibandingkan dengan luas zona inti eksisting taman nasional.

Besarnya luasan yang saling bertampalan antara zona ekosistem bentang lahan model B dengan zona inti eksisting adalah 156.059,79 ha atau 86,35 % dari total

luas total zona inti eksisting.

Ekosistem Bentang Lahan Model C merupakan salah satu alternatif hasil

pemodelan spasial zona inti taman nasional dengan parameter data masukannya adalah kemiringan lereng, kerapatan vegetasi, bentuklahan, jenis tanah dan dikontrol oleh parameter biotik menggunakan formula matematis: ("SKOR_KRPTN" = 1 OR "SKOR_LRNG" = 1) AND ("SKOR_BL" = 1 OR "SKOR_TANAH" = 1) AND "SKOR_TOTAL" >= 3. Secara visualisai

(19)

kenampakan dari peta hasil analisis zona ekosistem bentang lahan model C yang merupakan kombinasi empat parameter biogeofisik memperlihatkan pola persebaran piksel yang kurang kompak, kurang mengelompok dan kurang kontras antara piksel yang terdapat pada zona ekosistem bentang lahan model dengan non zona non ekosistem bentang lahan hasil pemodelan, sehingga hal ini akan menyulitkan dalam merezoning kembali kedua batas tersebut.

Luasan hasil skenario zona ekosistem bentang lahan model C yang dapat diindikasikan sebagai zona inti model sebesar 202. 478,26 atau 68,62 % dari total luas taman nasional, sedangkan seluas 92.578,22 ha atau 31,38 % dari total luas taman nasional yang dapat diindikasikan sebagai non zona inti model. Total Luasan zona inti model yang dihasilkan dari skenario zona ekosistem bentang lahan model C tersebut, bila dibandingkan dengan total luas zona inti penetapan taman nasional eksisting sebesar 180.737,86 ha atau 61 %, maka perbedaan

keduanya hanya terdapat selisih lebih kurang 21.740,70 ha atau 7,37 % luasannya dibandingkan dengan luas zona inti eksisting taman nasional. Persebaran piksel

zonasi model lebih banyak terdapat diluar zona inti eksisting taman nasional.

Besarnya luasan yang saling bertampalan antara zona ekosistem bentang lahan model B dengan zona inti eksisting adalah 150.068,08 atau 83,03 % dari total

luas total zona inti eksisting.

Ekosistem Bentang Lahan Model D merupakan salah satu alternatif hasil

pemodelan spasial zona inti taman nasional dengan data masukannya adalah parameter ketinggian tempat, kemiringan lereng, kerapatan vegetasi, bentuklahan, jenis tanah dan dikontrol oleh parameter biotik menggunakan formula matematis: ("SKOR_DEM" = 1 OR "SKOR_LRNG" = 1 OR “SKOR_KRPTN = 1) AND ("SKOR_BL" = 1 OR "SKOR_TANAH" = 1) AND "SKOR_TOTAL" >= 4. Secara visualisai kenampakan dari peta hasil analisis zona inti model D, memperlihatkan bahwa walaupun pola penyebaran pikselnya mengelompok, tetapi degradasi perbedaan warna antara kelas piksel yang terdapat pada zona ekosistem bentang lahan model yang diindikasikan sebagai zona inti model dengan piksel yang diindikasikan sebagai non zona inti model kurang kontras,

(20)

sehingga kenampakan secara visual pada peta tersebut dapat menyulitkan dalam merezoning kembali batas kedua kelas.

Luasan hasil skenario zona ekosistem bentang lahan model C yang dapat diindikasikan sebagai zona inti model sebesar 191.114,02 atau 64,77 % dari total luas taman nasional, sedangkan seluas 103.942,46 ha atau 35,23 % dari total luas taman nasional yang dapat diindikasikan sebagai non zona inti model. Total Luasan zona inti model yang dihasilkan dari skenario zona ekosistem bentang lahan model C tersebut, bila dibandingkan dengan total luas zona inti penetapan taman nasional eksisting sebesar 180.737,86 ha atau 61 %, maka perbedaan  keduanya hanya terdapat selisih  lebih kurang 10.376,46 ha atau 3,52 %. Artinya  luas zona hasil pemodelan yang terindikasi menjadi zona inti model lebih besar  3.52% luasannya dibandingkan dengan luas zona inti eksisting taman nasional.

Luasan yang saling bertampalan antara zona ekosistem bentang lahan model D dengan zona inti eksisting taman nasional sebesar 136.349,81 ha atau 75,44 %

dari total zona inti eksisting taman nasional. Diverifikasi terhadap visualisasi kenampakan pada peta sebaran piksel di kedua model zona ekosistem bentang lahan yang dihasilkan, maka sebaran piksel pada zona ekosistim bentang lahan model A, memperlihatkan pola persebaran piksel yang mengelompok, kompak dan sangat kontras dibandingkan dengan sebaran piksel yang terdapat pada zona ekosistem bentang lahan model D. Visualisasi kenampakan sebaran piksel ini akan memudahkan dalam merezoning kembali kedua batas yang dikategorikan sebagai zona inti dan non zona inti model. Kenampakan atau visualisasi pola penyebaran piksel yang terdapat pada peta zona ekosistem bentang lahan pada kedua model tersebut, maka zona ekosistem bentang lahan model A yang dipilih sebagai zona ekosistem hasil pemodelan, karena secara teknis berdasarkan hasil verifikasi baik terhadap luasan maupun kenampakan visualisasi peta, memudahkan dalam mengotimasi untuk dijadikan model spasial zona inti taman nasional.

Model terpilih yaitu zona ekosistem bentang lahan model A, bila divalidasi dengan kriteria penetapan zona inti taman nasional yang terdapat

(21)

pada Permenhut No. P.56 tahun 2006, maka tersusunlah kriteria dan indikator sebagai penentu model zona inti taman nasional ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kriteria dan Indikator Penentu Model Zona Inti Taman Nasional

No. Kriteria Indikator

1 mempunyai keanakaragaman jenis tumbuhan dan

satwa beserta ekosistemnya 1) derajat keanekaragaman tinggi 2) terdapat tumbuhan dan satwa Langka

2 mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya yang merupakan ciri khas ekosistem dalam kawasan taman nasional yang kondisi fisiknya masih asli dan belum diganggu oleh manusia

1) penutupan lahan hutan lahan kering primer

2) Iklim mikro, 3) ketinggian tempat 4) bentuklahan 3 mempunyai kondisi alam, baik biota maupun

fisiknya yang masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia

1) penutupan lahan hutan lahan kering primer

2) Jaraknya dari permukiman 4 mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu

yang cukup untuk menjamin kelangsungan hidup jenis-jenis tertentu untuk menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami,

1) bentuklahan 2) kemiringan lereng

3) penutupan lahan hutan lahan kering primer

4) Jenis tanah 5 mempunyai ciri khas potensinya dan dapat

merupakan contoh yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi

1) penutupan lahan hutan lahan kering primer

2) terdapat tumbuhan atau satwa yang langka/ endemik 6 mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa

liar beserta ekosistemnva yang langka yang keberadaanya terancam punah

1) habitat flora dan atau fauna yang dilindungi, langka/ endemik

7 merupakan habitat satwa dan atau tumbuhan

tertentu yang prioritas dan khas/ endemic 1) terdapat tumbuhan atau satwa yang langka/ endemik 2) bentuklahan

3) jenis tanah

8 merupakan tempat aktivitas bagi satwa migran 1) penutupan lahan hutan lahan kering primer

2) bentuklahan

Tabel 1 memperlihatkan indikator-indikator yang dapat digunakan dalam pemodelan spasial ekologis zona inti taman nasional. Bila ditelaah lebih lanjut maka terdapat lima parameter utama yang menjadi indikator penentu model zona inti taman nasional yaitu ketinggian tempat dpal, kemiringan lereng, penutupan lahan/ penggunaan lahan, bentuklahan, dan parameter biotik (derjat keanekaragaman hayati dan keberadaan flora dan atau fauna unik, langkah/endemik), sedangkan indikator lainnya yang bukan merupkan indikator

(22)

utama tetapi dapat bersama-sama memberi kontribusi dalam mengoptimasi model adalah jaraknya dari permukiman penduduk dan iklim mikro.

2. Kajian Spasial Ekologis Zona Inti Taman Nasional a. Keanekaragaman Hayati di Lokasi Hutan Tumpa Kiri

Keanekaragaman hayati paha lokasi Hutan Tumpa Kiri dapat direfresentasikan oleh struktur vegetasi, domonasi vegetasi, tingkat keberadaan flora dan atau fauna yang langkah/ endemik. Dalam konteks struktur vegetasi di lokasi ini masih tergolong sangat baik. Struktur vegetasi yang dominan adalah pada strata B dan C berupa tumbuhan nantu (Palaquium obtusifolium: sapot),

pomosion (Polyathia: Annon), pakoba (Eugenia aquea burnf; Myrt.), pala hutan

(Myrystica fatren houtz var ; Myrist.), sedangkan pada strata A adalah nantu

(Palaquium obtusifolium: sapot), Kadondong (Chrysophyllum lanceolatum BL;

Sapot.), gora dan pulutan (Artocarpus teysmannii Miq; Morac.), nunuk/ beringin

(Ficus benyamina; Morac.).

Vegetasi yang dominan pada strata A adalah ogusip (Letsia Sp.; Laurac.), pakoba

(Eugenia aquea burnf.;Myrtac.), pamosian (Polyathia;Annon.), dan tumbawa

(Dysoxyllum coriostaehym Miq ; Melix.). Vegetasi di strata B dan C (pohon kecil)

didominasi oleh pinang hitam (Pinanga caesia ; Arecac.), pala hutan (Myrystica

fatua ; Myrist.) yang merupakan spesies endemik Sulawesi (Whitmore, et al.,

1989). Tumbuhan lain yang berasal dari suku yang sama dan banyak ditemukan adalah rotan (Calamus spp.). Dari lima jenis rotan yang ditemukan, tiga jenis

rotan mendominasi lokasi penelitian, yaitu rotan umbul (Calamus symphicupus),

rotan bukutinggi (Calamus ornatus var.celebicus), dan rotan batang (Calamus zollingeri Becc.).

Tingkat kerapatan vegetasi pada lokasi ini tergolong rapat sampai sangat rapat. Rata-rata tingkat kerapatan vegetasi didominasi oleh vegetasi sangat rapat. Hasil analisis menunjukkan bahwa kerapatan vegetasinya adalah sangat rapat (96,70 %). Artinya hal ini mengindikasikan kondisi vegetasi pada lokasi ini masih sangat baik.

(23)

Keanekaragaman bentuk menunjukkan bahwa vegetasi berhabitus pohon berjumlah 51 jenis, vegetasi berhabitus tiang 51 jenis, vegetasi berhabitus pancang berjumlah 45 jenis dan vegetasi berhabitus semai berjumlah 71 jenis. Tingkat keanekaragaman hayati pada lokasi Hutan Tumpa Kiri ditemukan sebanyak 125 jenis flora, 19 jenis diantaranya merupakan flora endemik.

Tumbuhan/langkah/ endemik yang ditemukan di lokasi ini antara lain adalah pisek (Aglaia minahassae KDS; Meliac.), pinang yaki (Areca vestiaria;

Palmac.), aren (Arenga pinnata; Arec.), rotan (Calamus ornatus; Arec.), rotan

bukutinggi (Calamus Sp.; Arec.), bitaula (Callopyllum saulari; Clusiac.), bitaula

lalho (Callopyllum sp.; Guttiac.), heade (Diospyros celebica bakh; Eben.),

cempaka (Ememillia ovalis dandy; Mag.), tulupenu (Ficus minahassae miq.;

Morac.), pala hutan (Knema celebica; Myristic.), palem landak (Oncosperma

harrindum; Arec.), linggua (Pterocymbium Sp.; Stercul.), dan linggua

(Pterocymbium indica; Fabac.),

b. Keanekaragaman Hayati di Lokasi Hutan Lingguwa

Vegetasi yang dominan di Hutan Lingguwa pada stara A adalah ogusip (Letsia Sp.; Laurac.), pakoba (Eugenia aquea burnf.;Myrtac.), nantu (Palaquium

obtusifolium;Sapot.), pala hutan (Knema Selebica; Myristic.) dan rambutan

(Nephelium lappacum L ; Sapind.). Pada strata B dan C, kapuk hutan

(Gosampinus heptaphylla backh ; Bomb.), eboni hitam (Diospyros ebenum koen;

Ebenac.), bugis/nai (Koordersidendron pinnatum ; Clusiac.), mapangi (Panggium

edule reinw; Plac.). dan, pinang yaki (Areca vestiaria; Palm.), pamosian

(Polyathia;Annon.) yang mendominasi.

Tingkat kerapatan vegetasi pada lokasi Hutan Lingguwa. adalah sangat rapat (94,37 %). Artinya hal ini mengindikasikan kondisi vegetasi pada lokasi ini sangat baik. Keanekaragaman bentuk hidup menunjukkan bahwa vegetasi berhabitus pohon berjumlah 50 jenis, vegetasi berhabitus tiang 45 jenis, vegetasi berhabitus pancang berjumlah 40 jenis dan vegetasi berhabitus semai berjumlah

(24)

66 jenis. Tingkat keanekaragaman hayati pada lokasi hutan Lingguwa ditemukan sebanyak 126 jenis flora, 17 jenis diantaranya adalah flora endemik.

Tujuh belas jenis tumbuhan endemik yang ditemukan dilokasi ini antara lain adalah pisek (Aglaia minahassae KDS; Meliac.), pinang yaki (Areca

vestiaria; Palmac.), aren (Arenga pinnata; Arec.), rotan umbul (Calamus

symhicuplus; Arec.),heade (Diospyros celebica bakh; Eben.), wasian (Ememillia

celebica dandy; Mag), cempaka (Ememillia ovalis dandy; Mag.), pala hutan

(Knema celebica; Myristic.), woka (Livistonya rotundifolia; Arec.), palem landak

(Oncosperma harrindum; Arec.), pondang (Pandanus sp.; Pandan.), linggua

(Pterocymbium Sp.; Stercul.), meranti (Shorea sp.; Dipteroc.).

Hasil analisis vegetasi dominan dan nilai INP menunjukkan bahwa vegetasi tingkat pohon didominasi oleh nantu (Palaquium obtusifolium;Sapot.)

dengan INP sebesar (16,58), rambutan (Nephellium lappacum L; Sapind.) dengan

INP (15,39), dan pala hutan (Knema Selebica; Myristic.) dengan INP (14,81).

Vegetasi tingkat tiang didominasi oleh kapuk hutan (Gosampinus heptaphylla

bakh; Bombac.) dengan INP (19,00), eboni hitam (Diospyros ebenum koen;

Ebenac.) dengan INP (15,81), bugis/nai (Koordersidendron pinnatum; Clusiac.)

dengan INP (13,99), mapangi (Panggium edule reinw; Plac.) dengan INP (12,64).

Vegetasi tingkat Pancang didominasi oleh pinang yaki (Areca vestiaria; Palmac.)

dengan INP (24,53), batungale (Aglaia argentes; Meliac.) dengan INP (18,76),

dan karikis (Mimosops elengi L; Sapot.) dengan INP (15,75), dan vegetasi tingkat

semai didominasi oleh pinang yaki Areca vestiaria; Palmac.) dengan INP (11,26),

toketutu (Canarium asperum Bent Var.; Buser.) dengan INP (10,42) dan nantu

(Palaculum obtusifolium burck ; Sapot.).

c. Keanekaragaman Hayati Hutan Motomboto

Di lokasi Motomboto vegetasi tergolong baik dengan struktur vegetasinya menunjukkan bahwa vegetasi yang dominan pada stara A adalah kayu botungale

(Aglaia argentes BL; Morac), tomboyouan (Kjellbergiodendron; Myristic.) dan

beringin (Ficus benyamina; Morac.). Pada strata B dan C, mataputi (Macaranga sp.; Euphorb.), tolotio (Drypetes glokosa Pax.;Euphorb.), meranti (Shorea

(25)

Rata-rata tingkat kerapatan vegetasi dilokasi ini hampir sama dengan tingkat kerapatan vegetasi pada lokasi Motomboto kerapatan vegetasinya adalah sangat rapat (93,64 %). Artinya hal ini mengindikasikan kondisi vegetasi pada lokasi ini masih sangat baik.

Tingkat keanekaragaman hayati pada lokasi Hutan Motomboto, ditemukan sejumlah 122 jenis flora, 23 diantaranya endemik. Vegetasi berhabitus pohon berjumlah 40 jenis, vegetasi berhabitus tiang 49 jenis, vegetasi berhabitus pancang berjumlah 49 jenis dan vegetasi berhabitus semai berjumlah 61 jenis.

Vegetasi tingkat pohon didominasi oleh botungale (Aglaia argentes BL;

Morac.) dengan INP (24,74), tomboyouan (Kjellbergiodendron; Myristic.)

dengan INP (20,35), beringin (Ficus benyamina; Morac.) dengan INP

(17,09).Vegetasi tingkat Tiang didominasi oleh mataputi (Macaranga sp.;

Euphorb.) dengan INP (22,63), tolotio (Drypetes glokosa Pax. f.;Euphorb.)

dengan INP (17,97), dan meranti (Shorea sp.;Dipteroc.) dengan INP (16,86).

Vegetasi tingkat Pancang didominasi oleh rotan (Calamus ornatus; Arec.)

dengan INP (21,76), woka (Livistonia rotundifolia; Arec.) dengan INP (18,27)

dan bolahu (Smilax Sp.;Smilac.) dengan INP (17,91). Tingkat semai didominasi

oleh pinang hitam (Pinanga sp; Arec.) dengan INP (14,87), topuo (Elastostema sp; Urtic.) dengan INP (14,46), dan aren (Arengasp.; Arec.) denganINP (11,59).

Tumbuhan endemik yang ditemukan antara lain adalah pisek (Aglaia minahassae KDS; Meliac.), pinang Yaki (Areca vestiaria; Palmac.), aren (Arenga

pinnata; Arec.), rotan umbul (Calamus symhicuplus; Arec.), bitaula

(Calophyllum), Palem sarai (Caryoto mitis), heade (Diospyros celebica bakh;

Eben.), cempaka (Ememillia ovalis dandy; Mag.), tulupenu (Ficus minahassae),

mamundung (Gracinia sp; Guttic.), pala hutan (Knema celebica; Myristic.), woka

(Livistonya rotundifolia; Arec.), palem landak (Oncosperma harrindum; Arec.),

pondang (Pandanus sp.; Pandan.), wanga (Pigafeta elata; Arec.), linggua sp.;Dipteroc.), rotan (Calamus ornatus; Arec.), dan woka (Livistonia rotundifolia; Arec.) yang mendominasi.

(26)

(Pterocymbium ), bayur (Pterospermum celebicum miq; Sterc.), dan meranti

(Shorea sp.; Dipteroc.).

d. Keanekaragaman Hayati Hutan Maleo Tua

Struktur vegetasi yang dominan pada stara A adalah bayur (Pterosfermum celebicum Miq; Sterc.), kayu maumar (Nuclea Celebica; Rubiac.) , dan beringin

Ficus benyamina; Morac.). Pada strata B dan C, didominasi oleh Macaranga

hispida Mucll; Euph/waneran, Mimusops elengi L;Sapot/karikis, hulalu (Garcinia dulcis kurz; Gutt), dan tuis (Homstedia Sp;Zingeb.).

Rata-rata tingkat kerapatan vegetasi dilokasi ini agak bervariasi dari agak jarang, rapat sampai dengan sangat rapat. Hasil pemotretan untuk tingkat kerapatan (82,29 %). Artinya hal ini mengindikasikan kondisi vegetasi pada lokasi ini sudah mulai rusak diakibatkan oleh penambangan tanpa izin, utamanya vegetasi tingkat semai yang rusak karena pembuatan galian lubang-lubang untuk penambangan.

Keanekaragaman Bentuk Hidup di Lokasi Penelitian Hutan Maleo Tua, menunjukakan bahwa vegetasi berhabitus pohon berjumlah 33 jenis, vegetasi berhabitus tiang 37 jenis, vegetasi berhabitus pancang berjumlah 31 jenis dan vegetasi berhabitus semai berjumlah 32 jenis. Tingkat keanekaragaman hayati pada lokasi Hutan Maleo Tua ditemukan sebanyak 98 jenis flora, 7 jenis diantaranya termasuk flora endemik.

Ke tujuh jenis flora endemik dimaksud adalah aren (Arenga pinnata;

Arec.), rotan (Calamus ornatus; Arec.), pala hutan (Knema celebica; Myristic.),

woka (Livistonya rotundifolia; Arec.), pondang (Pandanus sp.; Pandan.), talas

(Remusatia vivipara ; Arec.) dan bayur (Pterosfermum celebicum Miq; Sterc.).

Vegetasi tingkat pohon didominasi oleh kayu maumar (Nauclea celebica;

Rubiac) dengan indeks nilai penting (26,03), bayur (Pterosfermum celebicum

Miq; Sterc.) yang memiliki indeks nilai penting (14,34), dan beringin (Ficus

benyamina; Morac) dengan indeks nilai penting (14,01). Vegetasi tingkat tiang

(27)

38,46,karikis (Mimusops elengi L;Sapot) dengan INP = 26,17, dan bayur

(Pterosfermum celebicum Miq; Sterc.) dengan INP = 24,51. Vegetasi tingkat

pancang didominasi oleh hulalu (Garcinia dulcis kurz; Gutt), dengan INP = 26,04,

rotan batang (Calamus Zollingeri Becc; Areca.) dengan INP = 22,96, tuis

(Homstedia Sp;Zingeb. .)dengan INP = 16,49, dan vegetasi tingkat semai

didominasi oleh bulahu (Smilax sp; Smilac.) dengan INP = 36,12, rotan (Calamus

Sp.; Arec.) dengan INP = 20,05, dan nantu (Palaqulum obtusifolium burck;

Sapot.) dengan INP = 15,78.

e. Keanekaragaman Hayati Hutan Damahu

Kondisi vegetasi di Lokasi ini tergolong cukup baik dengan struktur vegetasi yang dominan pada strata A adalah kayu tolotio (Drypetes globasa pax

et hoffm; Euph.), maumar (Nauclea celebica; Rub.), nantu (Palaquium

obtusifolium burck; Sapot.), dan beringin (Ficus benyamina ; Morac.) Pada strata

B dan C, masih didominasi oleh tolotio (Drypetes globasa pax et hoffm.; Euph.) ,

malahengo (Eugenia sp.; Myrt.), laka (Myristica philippinensis; Gutt.), lekita batu

(Cryptocarya; Laur.), dan batungale (Pometia pinnata Forts; Sapind).

Kerapatan vegetasinya dalam kategori rapat dengan tingkat kerapatan (85,47 %). Selama perjalan menuju lokasi plot ditemukkan sudah mulai banyak vegetasi dengan tingkat kerapatan kurang dan sedang. Hal ini mengindikasikan kondisi vegetasi pada lokasi ini sudah mulai terganggu .

Keanekaragaman bentuk hidup dilokasi Hutan Damahu bahwa vegetasi berhabitus pohon berjumlah 36 jenis, vegetasi berhabitus tiang berjumlah 37 jenis, vegetasi berhabitus pancang berjumlah 34 jenis dan vegetasi berhabitus semai berjumlah 43 jenis. Tingkat keanekaragaman hayati pada lokasi hutan Damahu ditemukan sebanyak 102 jenis flora, 11 jenis diantaranya merupakan flora endemik.

Berdasarkan inventarisasi petak-petak ukur di lima lokasi di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, ditemukan sebanyak 241 jenis flora yang tergolong dalam 63 marga dan 86 suku. Dari jumlah tersebut diantaranya

(28)

terdapat 29 jenis flora endemik.

Pengamatan fauna dilakukan pada 8 titik pada saat menuju ke titik sampel dalam rangka pengambilan sampel flora dan juga dilakukan untuk mengetahui habitat fauna endemik yang terancam punah yaitu maleo. Spesies ini sangat menderita dikarenakan pengambilan telurnya yang tidak terkontrol dan perusakan area peneluran serta habitat sekitarnya, menyebabkan beberapa area bertelur sebelumnya kini ditinggalkan. Di bagian timur taman nasional penyebaran burung maleo ada dibeberapa tempat yaitu di Tumokang, Tambunan, Tapa Togop, Maura Pusian dan Bakan Kabupaten Bolaang Mongondow, sedang di bagian barat taman nasional berada di lokasi Hungayonaa Kabupaten Bone Bolango.

Jenis fauna endemik yang terancam kepunahannya adalah babirusa dan anoa. Ancaman sangat besar bagi babi rusa pada area sebelah timur taman nasional karena binatang ini menjadi buruan untuk dimakan, sedangkan di bagian barat taman nasional hanya sedikit diburu. Hal ini dikarenakan keterpencilan dan sulitnya akses ke hutan Pinogu, ditambah dengan kepercayaan penduduk desa serta tabu secara sosial mengenai memakan hewan ini. Tekanan utama terhadap spesies ini bisa mungkin adalah hilangnya habitat karena kecenderungannya berada diarea rendah dekat sungai sedangkan area ini merupakan incaran petani setempat untuk dibuka menjadi lahan pertanian walaupun masih dalam skala kecil, tapi cukup berarti bagi babirusa. Selama melakukan penelitian baik di lokasi Hutan Motomboto maupun di Hutan Lingguwa tidak menemukan secara langsung binatang ini tetapi ditemukan banyak bekas galian tanah yang mengindikasikan bahwa ada aktivitas yang dilakukan babi rusa ditempat tersebut.

Ancaman utama bagi spesies Anoa adalah perburuan dengan cara memasang perangkap dan jerat dalam hutan atau memburu hewan dengan anjing dan tombak pada area yang lebih terpencil dibatasi oleh lokasi alam yang ekstrim. Jejak kaki anoa ditemukan disaat melakukan plot sampel di Hutan Tumpa Kiri. Hasil penelitian Kobandaha (1997) bahwa anoa di sekitar Gunung Poniki Toraut masih cukup banyak, hal ini dibuktikan dengan ditemukannya secara langsung satu ekor dan banyaknya jejak kaki dan bekas ketoran anowa di lokasi tersebut.

(29)

Jenis-jenis primata yang sering dijumpai dan mengolompok baik dibagian timur maupun barat taman nasional pada saat melakukan plot sampel di Hutan Motomboto dan Hutan Tumpa Kiri adalah Yaki. Binatang ini merupakan binatang

pemakan buah, di samping juga serangga. Buah yang paling digemarinya adalah dari jenis-jenis beringin (Ficus benjamina), rao (Dracontomeolon dao), dan

kananga (Cananga odorata). Di bagian hutan yang lebih bersemak, mereka

makan banyak buah sirih (Piper aduncum) dan serangga (seperti jangkrik dan

kumbang).

Jenis fauna endemik lainnya seperti rangkong keberadaan ditemukakan pada saat menuju ke lima lokasi sampel. Hal ini mengindikasikan bahwa jenis burung ini masih sangat banyak keberadaannya dalam Kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, karena jenis pohon sebagai tempat mencari makan seperti beringin (Ficus sp), matoa (Pometia pinnata), kedondong hutan (Spandias

pinnata), dao (Dracontomelon dao), kenari hutan (Canarium, sp), gora hutan

(Eugenia sp), boniok (Diospyros pilosantera), barambaulu (Celtis philippinensis),

dan pala hutan daun kecil (Knema sp) masih sangat melimpah.

Jenis-jenis mamalia yang ditemukan dalam populasi tinggi: anoa besar

(Bubalus depressicornis), anoa kecil (Bubalus quarlesi), dan babirusa

(Babirousa babirusa). Jenis-jenis primata yang sering dijumpai dalam

mengelompok antara lain : Macaca nigra; M. Nigriscens; M. Hecki. Sedangkan

jenis-jenis lain yang umum ditemukan adalah: tupai (Prosciurs sp); tarsius

(Tarsius spectrum); palm civet (Macrogalidia muschenbroekl) dan kuskus

(Phalanger sp). Beberapa ragam jenis kelelawar juga ditemukan dan salah satu

jenis di antaranya diduga sebagai jenis endemik Sulawesi.

Selain fauna khas/ endemik yang disebutkan di atas, masih ada jenis lainnya yang khas/endemik antara lain seperti kelelawar bone, tangkasi, musang sulawesi, dan kupu-kupu, sesuai hasil penelitian dan informasi dari Balai Taman

(30)

Nasional Bogani Nani Wartabone keberadaannya cukup banyak di kawasan taman nasional.

3 Model Spasial Ekologis Zona Inti Taman Nasional

Hasil simulasi melalui 4 (empat) skenario model ekologis bentang lahan yang disusun berdasarkan parameter ketinggian tempat dpal, kemiringan lereng, kerapatan vegetasi, bentuklahan, penutupan/ penggunaan lahan, jenis tanah, iklim mikro, dan zona biotik yang diperoleh dari derajat keanekaragam hayati, keberadaan flora dan atau fauna langkah/endemik, diperoleh salah satu model ekosistem bentang lahan yang benar-benar representatif dan unggul dibanding model-model yang lainnya. Model yang dimaksud adalah model ekosistem bentang lahan model A.

Model ekosistem bentang lahan model A ini adalah merupakan kombinasi dari parameter ketinggian tempat dpal, kemiringan lereng, penutupan/ penggunaan lahan, bentuklahan, dan parameter biotik yang merupakan representasi dari derajat keanekaragaman hayati dan keberadaan flora dan atau fauna endemik. Model ekosistem bentang lahan tersebut setelah dilakukan verifikasi, optimasi dan validasi model dari segi: 1) luasan zona inti model yang dihasilkan dibandingkan dengan luasan zona inti eksisting lebih luas; 2) luasan yang yang saling bertampalan antara zona inti model dengan zona inti eksisting lebih kurang 85%; 3) visualisasi kenampakan piksel hasil pemodelan lebih mudah dalam merezoning kembali; dan 4) indikator-indikator yang diperoleh dari model ini dapat mewakili kriteria penentuan zona inti taman nasional sesuai aturan perundang-undangan, menghasilkan model spasial ekologis zona inti taman nasional dengan formula matematis: Z(I) = f(E,S,PL,BL, Jt, B),

dimana: Z(I) = zona inti model yang dihasilkan; E = ketinggian; S = kemiringan lereng; PL = Penutupan/penggunaan lahan; L = Bentuklahan; Jt= jenis tanah; dan B = Biotik .

Hasil analisis peta model spasial ekosistem bentang lahan model A yang terpilih dan dilakukan aglomerasi terhadap peta tersebut diperoleh bahwa luasan zona inti yang dihasilkan dari pemodelan spasial ekologis sebesar 204.903,29 ha atau

(31)

69,45 % dari total luas Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, sedangkan luasan non zona inti 94.154,154,47 ha atau 30,55 % dari total luas TNBNW yang dihasilkan dari pemodelan ini bila dibandingkan dengan luasan zona inti eksisting taman nasional yang hanya sebesar 180.737,93 ha atau 61 % dari total luas Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, maka terjadi peningkatan luas zona inti taman nasional sebesar 24,165,75 ha atau 8,19 %.

E. KESIMPULAN , SARAN DAN REKOMENDASI

2. Pada kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, ditemukan sebanyak 241 jenis yang tergolong dalam 63 marga dan 86 suku, dimana 29 jenis diantaranya merupakan flora endemik. Hasil ini kalau dibandingkan dengan penelitian sebelumnya pada lokasi yang sama, dimulai dari tahun 1995 (523 jenis), tahun 2007 (301 jenis) dan tahun 2008 (251 jenis), maka keanekaragaman flora di kawasan zona inti TNBNW ada kecenderungan menurun tetapi tingkat keanekaragamannya masih cukup tinggi, dan perlu 1. Model zona Inti Z(I) yang dihasilkan merupakan formulasi parameter

biogeofisik yang meliputi ketinggian tempat (E), kemiringan lereng (S), penutupan/ penggunaan lahan (PL), bentuklahan (BL) dan jenis tanah (Jt) yang dilengkapi dengan parameter biotik (B) berupa keanekaragaman hayati dan keberadaan flora dan atau fauna langka /endemik, paling cocok digunakan dalam pemodelan zona inti taman nasional dengan hubungan fungsional dari formulasi Z(I) = f(E,S,PL,BL,Jt,B). Komponen geofisik berupa ketinggian, kemiringan lereng, penutupan/penggunaan lahan, bentuklahan, dan jenis tanah, merupakan komponen ekosistem bentang lahan sebagai syarat dan tempat hidup habitat flora dan atau fauna langka/ endemik yang menempati ekosistem bentang lahan yang sesuai dengan persyaratan hidupnya pada kawasan tersebut, sehingga hal ini dapat menunjang pengelolaan kawasan dan pelestarian sumberdaya alam yang berkelanjutan.

a) Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:

(32)

b) Saran

Berdasarkan pembahasan hasil penelitian, maka dapat diberikan saran-saran yang bermanfaat bagi penelitian lanjutan, sebagai berikut:

4. Dengan memperhatikan parameter geofisik (ketinggian, lereng, penutupan lahan, bentuklahan dan jenis tanah) yang dikontrol oleh parameter biotik, maka luas zona inti hasil pemodelan memiliki kesamaan luasan sebesar 162.370,80 ha atau 89,84 % dengan zona inti hasil penetapan sesuai perundang-undangan. Terdapat perbedaan luas zona inti hasil pemodelan dengan zona inti eksisting sesuai perundang-undangan, yaitu luas zona inti

hasil pemodelan sebesar 204.903,29 ha atau 69,45 %, lebih luas bila dibandingkan dengan luas zona inti penetapan sesuai perundang- undangan yang hanya sebesar 180.737,86 ha atau 61 % dari total luas TNBNW. Beda keduanya dapat dimasukkan menjadi bagian integral zona inti. Dengan demikian, maka penetapan zona inti menurut undang-undang dapat direvisi agar fungsi perlindungan flora/ fauna dalam kawasan tersebut lebih optimal. 3. keanekaragaman hayati pada zona inti model taman nasional ditemukan

bahwa terdapat 125 jenis flora di Hutan Tumpa Kiri dan 19 jenis diantaranya merupakan flora endemik, di Hutan Lingguwa ditemukan 126 jenis flora dan 17 diantaranya merupakan flora endemik, di Hutan Motomboto ditemukan 122 jenis flora dan 23 jenis diantaranya merupakan flora endemik, di Hutan Maleo Tua ditemukan 98 jenis flora dan 7 jenis diantaranya merupakan flora endemik, serta di Hutan Damahu ditemukan sebanyak 102 jenis flora, 11 diantaranya merupakan flora endemik.

mendapat perhatian. Kecenderungan menurunnya jumlah jenis flora tersebut disebabkan antara lain karena masuknya intervensi manusia terhadap kawasan taman nasional berupa penambangan tanpa izin (PETI) dan perambahan hutan. Hal ini terbukti bahwa di kedua lokasi penelitian yaitu Hutan Maleo Tua dan Hutan Damahu yang secara fisik, keduanya sudah terdapat aktivitas manusia.

(33)

1. model yang diperoleh dari formulasi empat parameter geofisik dan parameter biotik perlu diuji coba lebih lanjut terhadap penentuan zona inti pada lokasi taman nasional lainnya.

2. karena terindikasi tren perkembangan jumlah keanekaragaman hayati di kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone ada kecenderungan mulai menurun, sementara tingkat keanekaragaman hayati masih tetap tinggi. Untuk mengetahui kebenaran hal tersebut perlu dilakukan penelitian lanjutan di luar konteks penelitian ini.

3. untuk menjamin keberlangsungan proses ekologis flora/ fauna secara alami dan akan menunjang pengelolaan yang efektif di dalam zona inti, maka perlu diperkuat dengan buffer zone berupa zona rimba sebelum masuk ke batas

zona inti, terkecuali untuk batas zona inti yang berbatasan langsung dengan punggung gunung.

c) Rekomendasi

Untuk menjaga keutuhan dan kelestarian fauna yang akan dan hampir punah pada taman nasional khususnya di zona inti dan taman nasional secara umum, perlu dibuatkan koridor yang menghubungkan zona inti yang ada dibagian timur taman nasional tepatnya di enclave Matayangan yang selama ini terpisah

dengan zona inti taman nasional lainnya sehingga keberlangsungan kehidupan fauna endemik dan terancam punah seperti Maleo di lokasi tersebut masih tetap terjaga.

(34)

DAFTAR PUSTAKA

Adiprasetyo, T., Eriyanto, E. Noor, dan F. Sofyan, 2009. Sikap Masyarakat Lokal Terhadap Konservasi dan Taman Nasional Sebagai Pendukung Keputusan dalam Pengelolaan Taman Nasional Kerinci Seblat. Jurnal Bumi Lestari, Volume 9, hal. 173-186.

Alikodra, HS, 1990. Pengololan Satwa Liar, Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat Institut Pertanian Bogor.

Arief, A., 1994. Hutan: Hakikat dan Pengaruhnya terhadAp Lingkungan,

Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia.

Aronoff, S., 1993. Geographic Information System: A Management Perspective. Ottawa: WDL Publication. Canada.

Awang, S.A., 2005. Negara, Masyarakat dan Deforestasi. (Konstruksi Sosial

Atas Pengetahuan dan Perlawanan Petani Terhadap Kebijakan Pemerintah) Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Baruadi, M., Ramli, U., Asda, R., Amir, H., Karmin B., Sunarto, K., Marike, M. dan Novri, K., 2006, Studi Rona Awal Kegiatan Pertambangan di Bone Bolango. ,Kerjasama LEMLIT UNG dan PLH ITB.

Danoedoro, P.,1996. Pengolahan Citra Digital, Teori dan Aplikasi dalam Penginderaan Jauh. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada,

Yogyakarta.

Ester, J.E., 1992. Remote Sensing and GIS Integration: Research Needs,

status and trends. ITC Jurnal. 1992-1.

Fauzi, R., dan S.Anna. 2005. Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan Untuk Analisis Kebijakan . PT. Gramedia Pustaka Utama.,

Jakarta.

Gunawan, Agus P.K., Ibnu M., 2008. Keanekaragaman Mamalia Besar Berdasarkan Ketinggian Tempat Di Taman Nasional Gunung Ciremai.

Jurnal Biologi Indonesia. 4(5): 321-324.

Gunawan, T., Sigit,H.M., 2004. Pemanfaatan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Untuk Mendukung Inventarisasi dan Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Di Kabupaten Gresik Dengan Pendekatan Survei Cepat Terintegrasi. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Hartono, 2012. Pengideraan Jauh dan Aplikasinya Untuk Sumberdaya dan Lingkungan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu

(35)

Hastuti, D., 2010. Kajian Klasifikasi Ekosistem Sebagai Dasar Pengelolaan Taman Nasional Gunung Merbabu. Disertasi: Program Pasca Sarjana

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Indiyanto, 2006. Ekologi Hutan, PT. Bumi Aksara,Jakarta

[IUCN] International Union for Conservastion of Nature and Natural Resources. 2002. Local Community and Protected Areas. Parks

12(2):5-15

[IUCN] International Union for Conservastion and Natural Resources. 1994.

Guidelines for Protected Area Management Categories. WCMC-IUCN

Gland: Switzerland and Cambridge.

Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No. 28/Kps/Um Tahun 2008. Tentang Penetapan Zonasi Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.

Keputusan Menteri Kehutanan No. 731/Kpts/II Tahun 1991. Tentang Perubahan Fungsi Suaka Marga satwa Dumoga, Suaka Marga satwa Bone dan Cagar Alam Bulawa menjadi Kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.

Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 452/Kpts/II Tahun 1999. Tentang Penetapan Kawasan Hutan dan Perairan Di Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Utara.

Keputusan Menteri Kehutanan No. 325/Menhut/II Tahun 2010. Tentang Penunjukan Kawasan Hutan Provinsi Gorontalo.

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: P.56/Menhut-II tahun 2006. Tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional.

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 837 tahun 1980. Tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung.

Kobandaha, M., Sanusi A., Olo, G., Samsuriati, Martinus, T., dan Ramli, G., 1997. Laporan Hasil Inventarisasi Populasi Satwa Anoa di Kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone: Proyek Pengembangan

TNBNW.

Lee, R.J., Riley, J., dan Tenguh, H. ,2000. Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Sulawesi Utara, Indonesia. Survei Biologi dan Rekomendasi Pengelolaan. WCS-Laporan Akhir untuk KPA.

Lee, R.J., Riley, J., Merrill R., 2001. Keanekaragaman Hayati dan Konservasi di Sulawesi bagian Utara. Kerjasama NRM dan WCS

Indonesia Program,Jakarta

   

Gambar

Gambar 1. Jalur dan petak ukur
Tabel 1. Kriteria dan Indikator Penentu Model Zona Inti Taman Nasional

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Berbeda dengan penelitian ini, layanan penguasaan konten diberikan untuk meningkatkan kecerdasan interpersonal siswa di mana tidak hanya keterampilan komunikasi saja

Masalah – masalah tersebut di atas juga dibuktikan dengan kajian hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Pautina (2012) yang menjelaskan bahwa siswa yang

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut; (1) Corporate Social Responsibility memiliki hubungan yang sangat kuat, searah dan signifikan

Suatu aset keuangan (atau mana yang berlaku, bagian dari aset keuangan atau bagian dari kelompok aset keuangan yang sejenis) dihentikan pengakuannya pada saat:

Bila pekerja menggunakan kacamata bifokal biasa yang dirancang untuk melihat objek yang dekat (30 cm) dengan bagian bawah kacamata, maka harus mendongak ke atas dan sedikit

Dari teori tersebut dapat diasumsikan bahwa pemanfaatan pelayanan poli gigi di Puskesmas dipengaruhi oleh baik buruknya persepsi masyarakat atau pasien terhadap jasa pelayanan

(2012), Hubungan Kejadian Keberadaan Tempat Perindukan Nyamuk Aedes aegypti dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Tiga Kelurahan Endemis Kota Palangkaraya, Jurnal

Judul skripsi : jelas tidaknya mahasiswa mengemukakan kandungan variable penelitian, baik variable bebas maupun variable terikat, dimana lokasi atau institusi atau area