• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN KONSTITUSIONAL KOMISI YUDISIAL SEBAGAI LEMBAGA NEGARA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA. Oleh : Nuraini, SH.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN KONSTITUSIONAL KOMISI YUDISIAL SEBAGAI LEMBAGA NEGARA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA. Oleh : Nuraini, SH."

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN KONSTITUSIONAL KOMISI YUDISIAL SEBAGAI LEMBAGA NEGARA

DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA Oleh : Nuraini, SH., MH1

Abstract

The Judicial Commission is a state agency that was formed after the 1945 amendment to the Constitution. The existence of this Judicial Commission was instituted by Law Number 22 Year 2004 concerning Judicial Commission. The role of the Judicial Commission which is quite strategic in particular constitutional structure: create an independent judicial power over the nomination of Supreme Court justices, and judges to supervise a transparent and participatory in order to maintain and uphold the honor, dignity, and the behavior of judges. The existence of the Judicial Commission in the future to get the proportions because after the Judicial Commission under the 1945 amendments are still in existence under the shadow of the supremacy of the Supreme Court and the Constitutional Court, especially related to the construction and the legal system. In addition, nominating all the good justices to the Supreme Court justices in the Constitutional Court and all through a single door that the Judicial Commission.

Key Note :Position and Authority

A. Pendahuluan

Hasil perubahan UUD 1945 melahirkan bangunan kelembagaan negara yang satu sama lain dalam posisi setara dengan saling melakukan kontrol (cheks and balances), mewujudkan supremasi hukum dan keadilan serta menjamin dan melindungi hak asasi manusia. Kesetaraan dan ketersediaan saling kontrol inilah prinsip dari sebuah negara demokrasi dan negara hukum. Salah satu hasil amandemen UUD 1945 itu adalah pembentukan lembaga negara baru yang disebut Komisi Yudisial [selanjutnya disebut KY].

Pembentukan KY merupakan salah satu wujud nyata dari perlunya keseimbangan dan kontrol di antara lembaga-lembaga negara. Pembentukan KY merupakan penegasan terhadap prinsip negara hukum dan perlunya perlindungan hak asasi (hak

(2)

konstitusional) yang telah dijamin konstitusi. Selain itu, pembentukan KY dimaksudkan sebagai sarana penyelesaian problem yang terjadi dalam praktik ketatanegaraan yang sebelumnya tidak ditentukan. Dalam konteks dunia, keberadaan KY merupakan salah satu hasil perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul pada abad ke-20.

Secara khusus keberadaan KY diatur dalam Pasal 24B UUD 1945.Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial menjabarkan ketentuan tersebut di atas. Dalam kedudukan demikian, KY diberi kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004, yaitu: (1) Mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR; dan (2) Menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.

Dalam melaksanakan wewenang tersebut, KY mempunyai tugas, antara lain: (1) melakukan pendafataran calon hakim agung; (2) melakukan seleksi calon hakim agung; (3) menetapkan hakim agung; dan (4) mengajukan calon hakim agung ke DPR.2 Sedangkan dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim, KY mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim.3

Kritikan yang sering ditujukan kepadakonstruksi hukum tentang eksistensi KYtersebut adalah:

(1) KY hanya memiliki wewenang sebatasmengusulkan. Dalam keadaan demikianKY tidak memiliki wewenang samasekali seandainya usulan tersebut tidakdiindahkan oleh lembaga negara laindalam hal ini DPR;

(2) Dalam hal pengawasan terhadap kinerjahakim apakah tidak akan terjadi tumpangtindih dengan pengawasan yangdilakukan oleh lembaga MahkamahAgung atau Mahkamah Konstitusisendiri; (3) Bagaimana bentuk instrumen yangdijadikan untuk melakukan

pengawasan,siapa yang menjadi subjek pengawasan,dan apa yang dijadikan objek pengawasan?

Rumusan Pasal 24B UUD 1945 pasca amandemen juncto Pasal 13 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial tersebut di atas, dinilai sangat melemahkan posisi KY, dan tidak sesuai dengan gagasan awal pembentukan KY dalam rangka melaksanakan sistemcheck and balance.

Ditengah ketidak jelasan kewenangan KY selaku lembaga negara yang berkedudukan sebagai checks and balance, eksistensi KY sebagai lembaga negara menjadi semakin tumpul dan mandul ketika

2Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. 3Pasal 20 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

(3)

fungsi pengawasan KY terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim, berdasarkanjudisial reviewdieleminasi.

Seperti diketahui Mahkamah Konstitusi [selanjutnya disebut MK]dalam putusan uji materiil Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang diajukan oleh 31 Hakim Agung, menghilangkan ketentuan yang mengatur tentang fungsi pengawasan KY. Dalam Putusan MK No. 005/PUU-IV/2006 soal uji meteriil yang dibacakan oleh delapan hakim konstitusi di Gedung MK, Jakarta Rabu 23 Agustus 2006 – pertimbangan hukum MK menyatakan:

Bahwa pasal-pasal dalam UU Komisi Yudisial yang mengatur fungsi pengawasan terbukti menimbulkan ketidakpastian hukum. UU Komisi Yudisial terbukti tidak rinci mengatur tentang prosedur pengawasan, tidak jelas dan tidak tegas menentukan siapa subjek yang mengawasi, apa objek yang diawasi, instrumen apa yang digunakan serta bagaimana proses pengawasan itu dilaksanakan. Fungsi KY untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim yang seharusnya hanya memberikan sebagian kewenangan pengawasan etik kepada KY, secara sadar atau tidak, telah ditafsirkan dan dipraktekan oleh KY sebagai pengawasan teknis yudisial dengan cara memeriksa putusan. Berdasarkan pertimbangan hukum MKtersebut, membuat lima pasal dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang mengatur tentang fungsi pengawasan KY, yaitu Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) huruf e, Pasal 22 ayat (5), dan Pasal 23 ayat (2), (3), dan (5), oleh MK dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dengan dieliminasinya fungsi pengawasan KY terhadap perilaku hakim tersebut, timbullah pertanyaan:

(1) Dengan dieleminasinya fungsi pegawasan KY, lalu lembaga mana yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan eksternal terhadap perilaku hakim?;

(2) Lalu bagaimana keberadaan KY selaku lembaga yang memiliki kedudukan sebagaicheks and balance?

(4)

Menanggapi putusan MK tersebut, Ketua Komisi III DPR RI Trimedya Panjaitan4 menyayangkan, karena pada dasarnya KY dibentuk dalam rangka pengawasan eksternal terhadap kinerja hakim seluruh Indonesia. Ketua Komisi III DPR RI selanjutnya mengharapkan, bahwa putusan MK yang membatalkan kewenangan pengawasan KY tersebut harus menjadi pelajaran bagi DPR, agar program pembuatan UU ke depan, harus mengacu pada UUD 1945. Dengan demikian, tidak muncul lagi UU yang secara materiil bertentangan dengan konstitusi dan UUD. Untuk itu perlu kajian mendalam dari sudut sosiologis, yuridis, dan antropologis.

Sementara itu Sahetapy berpendapat, bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghilangkan fungsi pengawasan Komisi Yudisial atas hakim, membuat fungsi lembaga tersebut menjadi tumpul dan sistem check and balance antarlembaga tinggi negara jadi terganggu. Selanjutnya dikatakan, bahwa pengebirian fungsi KY oleh Keputusan MK tersebut, merupakan sebuah gangguan sistem saling membatasi kewenangan (check and balance) antara lembaga tinggi negara. Maka perlu ditempuh langkah-langkah, yaitu:

Pertama, untuk itu kondisi kekosongan kewenangan tersebut perlu di atasi segera dengan penerbitan Perpu; Kedua, DPR segera melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004; Ketiga, DPR secara proaktif memprioritaskan kekosongan kewenangan lembaga yang berfungsi mengawasi dunia peradilan di Indonesia.5

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan isu sentral, Apakah Kedudukan dan Kewenangan konstitusional KY sebagai Lembaga Negara telah sesuai dengan gagasan pembentukan KY dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia?

B. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945

Dalam perjalanannya sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan yang sangat mendasar sejak adanya amandemen UUD 1945 yang dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat [selanjutnya disebut MPR] pada tahun 1999 hingga 2002. Perubahan tersebut dilatarbelakangi adanya kehendak untuk membangun pemerintahan yang demokratis denganchecks and balances

yang setara dan seimbang di antara cabang-cabang kekuasaan,

4 Hukum Kriminal Tata Negara Perlu Perpu untuk Isi Peran KY, Antara, Selasa 29

Agustus 2006.

(5)

mewujudkan supremasi hukum dan keadilan, serta menjamin dan melindungi hak asasi manusia.6

Bentuk nyata dari perubahan mendasar hasil amandemen UUD 1945 adalah perbedaan yang subtansial tentang kelembagaan negara menurut UUD 1945 Hasil Amandemen dengan UUD 1945, terutama yang menyangkut lembaga negara, kedudukan, tugas, wewenang, hubungan kerja dan cara kerja lembaga yang bersangkutan.

Berkaitan dengan kelembagaan negara, perubahan pertama UUD 1945 memuat pengendalian kekuasaan Presiden dan tugas serta wewenang Dewan Perwakilan Rakyat [selanjutnya disebut DPR] dan Presiden dalam hal pembentukan undang-undang. Perubahan kedua UUD 1945 menata ulang keanggotaan, fungsi, hak, maupun cara pengisiannya. Perubahan ketiga, membahas ulang kedudukan dan kekuasaan MPR, jabatan Presiden yang berkaitan dengan tata cara pemilihan dan pemilihan secara langsung, pembentukan lembaga negara baru meliputi Mahkamah Konstitusi [MK], Dewan Perwakilan Daerah [DPD], dan Komisi Yudisial [KY] serta pengaturan tambahan Badan Periksa Keuangan [BPK]. Dan perubahan keempat UUD 1945, meliputi keanggotaan MPR, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahap kedua dan kemungkinan Presiden/Wakil Presiden berhalangan tetap, serta kewenangan Presiden.

UUD 1945 hasil amandemen menetapkan 4 (empat) kekuasaan dan 1 (satu) komisi dengan 8 (delapan) lembaga negara sebagai berikut:

1) Kekuasaan Eksaminatif (Inspektif), yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);

2) Kekuasaan Legislatif, yaitu: Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang tersusun atas: (1) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); dan (2) Dewan Perwakilan Daerah (DPD);

3) Kekuasaan Pemerintahan Negara (Eksekutif), yaitu Presiden, dan Wakil Presiden;

4) Kekuasaan Kehakiman (Yudisial), meliputi: (1) Mahkamah Agung (MA); (2) Mahkamah Konstitusi (MK);

5) Komisi Yudisial (KY).

C. Kedudukan, Tugas dan Wewenang Komisi Yudisial 1. Kedudukan Komisi Yudisial

Menurut Philipus M. Hadjon, makna kedudukan suatu lembaga negara dapat dilihat dari dua sisi, yaitu: pertama, suatu

6Mahkamah Konstitusi, Cetak Biru: Membangun Mahkamah Konstitusi sebagai Institusi

(6)

posisi dengan posisi lembaga yang lain, dan kedua, kedudukan diartikan sebagai posisi yang didasarkan pada fungsi utamanya.7

Dengan makna kedudukan dari dua sisi tersebut Ketetapan MPR No. VI/MPR/1973 juncto Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 membedakan dua kelompok Lembaga Negara menurut UUD 1945, yaitu Lembaga Tertinggi Negara, MPR dan Lembaga Tinggi Negara yang terdiri atas: Presiden, DPA, DPR, BPK, dan Mahkamah Agung. Namun berdasarkan ketentuan UUD 1945 pasca amandemen tidak lagi dikenal pembagian dalam kelompok Lembaga Tertinggi Negara dan Lembaga Tinggi Negara pola

Ketetapan MPR No. VI/MPR/1973 juncto KetetapanMPR No.

III/MPR/1978.8

Keberadaan lembaga Komisi Yudisial dalam sistem kelembagaan negara Republik Indonesia merupakan lembaga negara (constitusional organ) karena kewenangan Komisi Yudisial diberikan langsung oleh UUD.Komisi Yudisial adalah dewan yang terdiri atas seorang ketua, seorang wakil ketua yang merangkap anggota dan tujuh orang anggota. Keanggotaan terdiri atas unsur mantan hakim, praktisi hukum, akademisi, dan anggota masyarakat. Ketua dan wakil ketua dipilih dari dan oleh anggota Komisi Yudisial.

Mereka diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan DPR, untuk masa jabatan 5 tahun dan setelahnya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. Untuksetiap lowongan keanggotaan KY, oleh DPR diusulkan 3 orang.Pasal 26 Undang-Undang Komisi Yudisial, menentukan bahwa untuk dapat menjadi anggota KY harus memenuhi persyaratan:(1) Warga negara Indonesia; (2) Bertaqwa kepada Tuhan YME; (3) Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 68 (enam puluh delapan) tahun; (4) Mempunyai pengalaman di bidang hukum paling singkat 15 (lima belas) tahun; (5) Memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela;(6) Sehat jasmani dan rohani; (7) Tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana kejahatan; dan (8) Melaporkan daftar kekayaan.

Proses pemberhentian dengan hormat keanggotaan Komisi Yudisial dari jabatannya dilakukan presiden atas usul Komisi Yudisial apabila: (1) meninggal dunia; (2) permintaan sendiri; (3) sakit jasmani atau rohani terus menerus; atau (4) berakhir masa

7 Philipus M. Hadjon, “Eksistensi, Kedudukan dan Fungsi MPR sebagai Lembaga

Negara”, Makalah Seminar Peranan MPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pascaamandemen UUD 1945. Kerja sama MPRRI dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 20 Desember 2004, hal. 3.

(7)

jabatannya.9 Sedangkan pemberhentian tidak dengan hormat keanggotaan Komisi Yudisial dari jabatannya dilakukan oleh Presiden dengan persetujuan DPR, atas usul Komisi Yudisial karena: (1) melanggar sumpah jabatan; (2) dijatuhi hukuman pidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; (3) melakukan perbuatan tercela; (4) terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya; atau (5) melanggar larangan rangkap jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan.10

Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya Komisi Yudisial dibantu oleh Sekretariat Jenderal yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal yang dijabat oleh pegawai negeri sipil. Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial mempunyai tugas memberikan dukungan teknis administratif.

2. Kewenangan dan Fungsi Komisi Yudisial

Pada hakekatnya, fungsi utama Komisi Yudisial adalah mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan hakim agung serta pengawasan terhadap hakim yang transparan dan partisipatif guna menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta menjaga perilaku hakim. Dengan fungsi dan wewenang tersebut, keberadaan Komisi Yudisial memiliki arti

penting dan peranan strategis dalam perkembangan

ketatanegaraan dewasa ini karena segala ketentuan atau kebijakan yang dibuat penyelenggara negara dapat diukur dalam kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Sebagai lembaga negara yang bersifat mandiri dalam tugasnya Komisi Yudisial sebagaimana telah ditentukan dalam UUD, kewenangan Komisi Yudisial juga diberikan dan diatur dalam UUD. Kewenangan yang mengeksklusifkan dan membedakan Komisi Yudisial dari lembaga-lembaga lain. Wewenang Komisi Yudisial secara khusus diatur dalam Pasal 24B UUD 1945 pasca amandemen juncto Pasal 23 UU Komisi Yudisial yaitu: (1) mengusulkan pengangkatan hakim agung; dan (2) mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Mengusulkan Pengangkatan Calon Hakim Agung

9Pasal 32 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

(8)

Sesuai dengan sebutannya sebagai hakim agung, maka persyaratan keanggotaannya harus benar-benar memenuhi syarat yang ideal tentang kualifikasi hakim yang benar-benar diagungkan.11 Mengingat kompleksitasnya persyaratan, maka proses rekrutmen hakim agung harus dilakukan secara selektif.

Berdasarkan UUD 1945 pra amandemen mekanisme usulan, pencalonan dan seleksi hakim agung semata-mata dilakukan oleh Presiden, Presiden selaku Kepala Negara. Melihat kenyataan tersebut Jimly Asshiddiqie mengatakan, bahwa karena Mahkamah Agung itu mencerminkan prinsip kedaulatan hukum, pencalonan keanggotaannya jangan diserahkan secara ekslusif hanya kepada satu lembaga, karena hal itu mempengaruhi kemandirian kekuasaan kehakiman.12

Konstruksi hukum pascaamandemen UUD 1945

menentukan bahwa pengusulan calon hakim agung dilakukan oleh suatu lembaga negara yaitu Komisi Yudisial. Dalam melaksanakan kewenangan mengusulkan pengangkatan hakim agung Komisi Yudisial memiliki tugas: (1) melakukan pendaftaran calon Hakim Agung; (2) melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung; (3) menetapkan calon Hakim Agung; dan (4) mengajukan calon Hakim Agung ke DPR.13

Berdasarkan konstruksi tersebut timbul beberapa pertanyaan antara lain: Siapa yang dapat mengajukan menjadi calon hakim agung? Apa yang menjadi persyaratan untuk menjadi calon hakim agung? Kapan KY melakukan pendaftaran, seleksi dan penetapan calon hakim agung? Di dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 secara jelas diatur, bahwa yang dapat mengajukan calon hakim agung kepada KY antara lain: MA, Pemerintah, dan Masyarakat. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan, bahwa calon hakim agung dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu: Hakim Karir dan Hakim Non-Karir. Ini membuka kesempatan bilamana dibutuhkan, maka dapat dicalonkan menjadi Hakim Agung tidak berdasarkan sistem karir kepada Komisi Yudisial. Ada perbedaan persyaratan seseorang yang dapat dicalonkan menjadi hakim agung antara hakim karir dan hakim non-karir. Pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung menentukan, bahwa untuk dapat diangkat menjadi hakim agung seorang calon yang berasal dari hakim karir harus memenuhi persyaratan antara

11

Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2005, hal. 224.

12Ibid.

(9)

lain: (1) Warga Negara Indonesia, (2) Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (3) berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum, (4) berusia sekurang-kurangnya 50 tahun, (5) sehat jasmani dan rohani, dan (6) berpengalaman sekurang-kurangnya 20 (dua puluh tahun) menjadi hakim termasuk sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun menjadi hakim tinggi. Adapun calon yang berasal dari hakim non-karir, selain kelima persyaratan pertama, maka ia harus berpengalaman dalam profesi hukum dan/atau akademisi hukum sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun; berijazah magister dalam ilmu hukum; dan tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

Menjaga dan Menegakkan Kehormatan, Keluhuran Martabat, serta Perilaku Hakim

Dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas para hakim, perlu diatur adanya dua jenis pengawasan, yaitu: Pertama, pengawasan internal yang dilakukan oleh Badan Pengawas pada Mahkamah Agung. Pengawasan internal ini berfungsi pengawasan terhadap pelaksanaan tugas-tugas peradilan di semua tingkatan dan di seluruh wilayah hukum peradilan Republik Indonesia.

Kedua, pengawasan eksternal yang dilakukan oleh komisi independen yaitu Komisi Yudisial. Keberadaan pengawas eksternal ini penting agar proses pengawasan dapat benar-benar bertindak objektif untuk kepentingan pengembangan sistem peradilan yang bersih, efektif, dan efisien.

Menurut Jimly Asshiddiqie, agar Komisi Yudisial dalam melaksanakan kewenangan menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim Komisi Yudisial memiliki tugas melakukan pengawasan. Terhadap pelaksanaan pengawasan ini Komisi Yudisial dapat: (1) menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim; (2) meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim; (3) melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim; (4) memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim; dan (5) membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.14

(10)

Apabila dugaan Komisi Yudisial terhadap terbukti, artinya perilaku hakim benar-benar menyimpang dari peraturan perundang-undangan maka Komisi Yudisial dapat mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan

Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi.15 Usul

penjatuhan sanksi dapat berupa: teguran tertulis; pemberhentian sementara; atau pemberhentian yang bersifat mengikat.

Selain sebagaimana yang telah diuraikan di atas Komisi Yudisial dapat mengusulkan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi untuk memberikan penghargaan kepada hakim atas prestasi dan jasanya dalam menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta menjaga perilaku hakim.

D. Penutup

Komisi Yudisialsebagai lembaga baru berdasarkan UUD1945 hasil amandemen memiliki peran yangcukup strategis dalam strukturketatanegaraan terutama: mewujudkankekuasaan kehakiman

yang merdeka melaluipencalonan hakim agung; dan

melakukanpengawasan terhadap hakim yang transparandan

partisipatif guna menjaga danmenegakkan kehormatan,

keluhuranmartabat, serta perilaku hakim.

Berkaitan dengan hal tersebut keberadaan Komisi Yudisial ke depan perlu mendapat proporsinya karena bagaimanapun juga Komisi Yudisial menurut UUD 1945 hasil amandemen keberadaannya masih di bawah bayang-bayang supremasi Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, terutama berkaitan dengan konstruksi dan sistem hukum yang berlaku.

E. Daftar Pustaka

Hukum Kriminal – Tata Negara Perlu Perpu untuk Isi Peran KY. Antara, Selasa 29 Agustus 2006.

Jimly Asshiddiqie. 2005. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945. FH UII Press, Yogyakarta.

Mahkamah Konstitusi. 2004. Cetak Biru: Membangun Mahkamah Konstitusi sebagai Institusi Peradilan Konstitusi yang Modern dan terpercaya. Mahkamah Konstitusi, Jakarta.

Philipus M. Hadjon. “Eksistensi, Kedudukan dan Fungsi MPR sebagai Lembaga Negara”, Makalah Seminar Peranan MPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pascaamandemen UUD 1945. Kerja sama

(11)

MPRRI dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 20 Desember 2004.

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Hasil Amandemen. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

(LNRI Tahun 2003 No. 98, TLNRI No. 4316).

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (LNRI Tahun 2004 No. 8, TLNRI No. 4358).

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung (LNRI Tahun 2004 No. 9, TLNRI No. 4359).

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (LNRI Tahun 2004 No. 89, TLNRI No. 4415).

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 tentang Uji Materiil Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

Referensi

Dokumen terkait

masalah Saya punya banyak objek yang bisa diamati, (guru memperlihatkan beberapa objek pengamatan) Guru memandu peserta belajar live untuk bisa membuat pertanyaan berdasarkan benda

perpustakaan UNM, yang berisi: Penerapan fungsi teknologi informasi di perpustakaan Universitas Negeri Makassar, hubungan teknologi informasi terhadap layanan

pembunuhan sangat nampak dalam alat bukti petunjuk, baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah

[r]

Vision1 channel ini memiliki pola siaran yang lebih rumit dikarenakan kebanyakan program nya adalah program yang dibeli dari luar negeri dan acara nya live

Analisis Shift Share menunjukkan dari tahun 2001-2010, Kabupaten Jember berspesialisasi pada sektor yang sama dengan sektor yang tumbuh cepat di perekonomian Provinsi

Umumnya kepala silinder dibuat dari bahan alumunium paduan dengan sirip-sirip pendinginan, serta pada sekeliling ruang bakarnya di lengkapi dengan SQUISH AREA

Jelas disini hukum uruf diambil bagi melaksanakan zakat emas perhiasan yang mana ia dikategorikan sebagai permasalahan terbaru dalam kalangan masyarakat Islam. URUF DARI