• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK SENSORIS TEMPE KORO GLINDING (Phaseolus lunatus) PADA BERBAGAI WAKTU FERMENTASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KARAKTERISTIK SENSORIS TEMPE KORO GLINDING (Phaseolus lunatus) PADA BERBAGAI WAKTU FERMENTASI"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

794 KARAKTERISTIK SENSORIS TEMPE KORO GLINDING (Phaseolus lunatus)

PADA BERBAGAI WAKTU FERMENTASI

Dian Rachmawanti Affandi1), Bambang Sigit Amanto1), Dwi Ishartani1), Syifa Nurani1)

1

Prodi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian UNS

Abstrak

Koro glinding adalah salah satu jenis kacang-kacangan yang mudah tumbuh di lahan marjinal. Kelemahannya adalah mengandung senyawa antigizi dan racun. Fermentasi menjadi tempe diharapkan mampu menurunkan senyawa tersebut dan mengubahnya menjadi makanan dengan karakteristik sensoris yang baik. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh variasi lama fermentasi terhadap karakteristik sensoris tempe koro glinding tanpa kulit dan dengan kulit. Perlakuan yang diberikan dalam penelitian ini adalah variasi lama fermentasi yaitu 36 jam, 42 jam dan 48 jam..

Hasil penelitian menunjukkan semakin lama waktu fermentasi cenderung menurunkan tingkat kesukaan panelis terhadap kenampakan, aroma, flavor, aftertaste, tekstur, dan overall tempe koro glinding tanpa kulit serta menurunkan tingkat kesukaan terhadap flavor, aftertaste, dan overall tempe koro glinding dengan kulit. Lama fermentasi 36 jam menghasilan karakteristik sensoris terbaik pada kedua jenis tempe.

Kata Kunci: Koro glinding, tempe, lama fermentasi, karakteristik

Pendahuluan

Kebutuhan kedelai nasional tahun 2012 sebesar 2,4 ton, angka tersebut tercukupi dengan 70% impor (1,25 juta) dan sisanya produksi dalam negeri (Ozal, 2012). Harga kedelai cenderung fluktuatif yaitu pada awal tahun 2012 sebesar Rp 5.500/kg, pada awal 2013 mencapai Rp 6.800/kg (Anonim, 2013), dan harga kedelai impor tahun 2014 berkisar antara Rp 8.500-10.000, sedangkan kedelai lokal mencapai Rp 12.000 di pasar daerah Surakarta.

Koro-koroan merupakan salah satu alternatif bahan baku tempe karena mudah ditanam di lahan marjinal dan banyak ditanam di Indonesia. Tempe koro benguk (Mucuna pruriens) (Rachmawanti dan Anam, 2008) dan tempe koro babi (Vicia faba L.) (Rachmawanti et al., 2010) telah ditelilti. Cao et al. (2009) melaporkan bahwa kulit leguminosa kaya akan komponen fenolik yang berperan sebagai antioksidan. Kulit biji pada kedelai mengandung protein 11,45-12,44 %, serat kasar 34,74-42,29%, lemak kasar 2,67-4,03%, metionin 0,4% dan lisin 0,2% (Suci et al.., 1995). Penambahan kulit biji pada dendeng tempe koro benguk meningkatkan kandungan serat pangan Zahroh (2012).

Karakteristik sensoris tempe koro yang pernah dibuat, menyerupai tempe kedelai sehingga dapat diterima oleh panelis. Koro glinding (Phasealus lunatus) juga berpotensi menjadi alternatif pengganti kedelai. Koro tersebut cukup banyak di sekitar Surakarta,

(2)

795 namun pemanfaatannya masih belum optimal sehingga layak jika dikembangkan lebih lanjut. Beberapa perlakuan Pendahuluan dan proses fermentasi terbukti dapat menurunkan kandungan asam fitat dan HCN secara signifikan pada pembuatan tempe koro benguk (Rachmawanti dan Anam, 2008).

Dalam penelitian ini ada dua eksperimen pembuatan tempe koro glinding yaitu dengan kulit dan tanpa kulit dengan variasi lama fermentasi. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh lama fermentasi terhadap karakteristik sensoris tempe koro glinding serta menentukan waktu fermentasi paling efektif

Metodologi Bahan

Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan tempe koro glinding diperoleh dari petani di Wonogiri yang merupakan petani binaan LSM Gita Pertiwi. Bahan pembantu yang digunakan adalah ragi tempe “RAPRIMA”, plastik PE (Poly Ethylen) “Tomat” dan air bersih. Penelitian Pendahuluan

Penelitian Pendahuluan dilakukan untuk menentukan rentang lama fermentasi tempe koro glinding dengan karakteristik fisik yang baik. Berdasarkan penelitian Sutardi (1990), Nurrahman et.al. (2012), Rachmawanti et.al (2010), dilakukan penelitian Pendahuluan pembuatan tempe koro glinding tanpa kulit dan dengan kulit dengan percobaan lama waktu fermentasi 24, 30, 36, 42 dan 48 jam. Dari penelitian Pendahuluan didapatkan waktu fermentasi yang menghasilkan tempe yang layak dilihat dari kenampakan (dipilih yang banyak miselianya dan sudah kompak) adalah 36, 42, dan 48 jam.

Pembuatan Tempe

Pembuatan tempe mengacu pada metode Rachmawanti dan Anam (2008) dengan modifikasi. Setelah dicuci, koro glinding direndam dalam air selama 12 jam kemudian direbus selama 60 menit. Setelah dingin, kulit koro glinding dikelupas. Kulit yang digunakan untuk pembuatan tempe sebanyak 50% dari total berat kulit yang dihasilkan Zahroh (2012), dicampurkan dengan biji yang telah direbus. Biji dan kulit kemudian direndam kembali selama 24 jam, kemudian dikukus dengan api sedang. Lalu biji dan kulit ditiriskan dan didinginkan dalam suhu kamar dan udara terbuka. Ragi tempe diinokulasikan kemudian dibungkus dengan plastik PE yang diberi lubang. Fermentasi dilakukan pada suhu ruang dengan lama fermentasi sesuai dengan hasil dari penelitian Pendahuluan.

Analisis

Analisis terhadap tempe yang dilakukan adalah analisis sensoris terhadap tempe goring tanpa bumbu dengan metode skoring dan ranking (Kartika dkk, 1988). Data dari

(3)

796 analisis sensoris dianalisis dengan one way ANOVA, dilanjutkan dengan DMRT jika ada beda nyata (α 5%).

Hasil dan Pembahasan

Karakteristik Sensoris Tempe Koro Glinding Tanpa Kulit

Semakin lama waktu fermentasi maka tingkat kesukaan terhadap kenampakan tempe koro glinding goreng tanpa kulit semakin turun (Tabel 1). Miselia tempe fermentasi 36 dan 42 jam berwarna putih bersih, merata dan kompak. Pada fermentasi 48 jam warna miselianya menjadi putih agak kekuningan, sedikit menyusut serta warna biji agak gelap. Ketika digoreng, warna tempe fermentasi 48 jam lebih kecoklatan dibanding tempe fermentasi 36 dan 42 jam.

Aroma, flavor dan aftertaste tempe koro glinding tanpa kulit fermentasi 36 jam palig disukai di antara tempe lain. Terdapat kecenderungan penurunan tingkat kesukaan terhadap aroma, flavor, dan aftertaste tempe dengan semakin lama waktu fermentasi (Tabel 1). Adanya perubahan kimia pada biji koro glinding diduga mempengaruhi aroma dan flavor tempe. Menurut Karmini (1996), perubahan tersebut terjadi karena substrat biji (protein, lemak, karbohidrat dan senyawa-senyawa lainnya) didekomposisi menjadi molekul-molekul yang lebih kecil oleh enzim-enzim yang dihasilkan kapang. Semakin lama waktu fermentasi, semakin banyak substrat yang terdegradasi. Pada fermentasi 42 dan 48 jam keluar aroma menyengat berupa aroma asam dan amonia terutama pada tempe fermentasi 48 jam, sedangkan tempe fermentasi 36 jam masih beraroma khas tempe. Berdasarkan Jelen et al. (2013), tempe kedelai yang difermentasi selama 1 hari memiliki aroma yang tidak terlalu menyengat dan semakin menyengat hingga hari kelima. Aftertaste tempe berupa rasa pahit. Asam amino arginin, lisin dan prolin hasil degradasi protein dilaporkan menyumbangkan aftertaste pahit pada tempe (Lane and Nurstein, 2002 dalam Susi, 2012).

Tempe koro glinding tanpa kulit fermentasi 36 dan 42 jam mempunyai tingkat kesukaan terhadap tekstur yang sama tapi lebih tinggi dari tempe fermentasi 48 jam. Semakin lama fermentasi miselia akan semakin lebat (kompak), namun tekstur biji akan semakin empuk karena semakin banyak komponen yang dirombak oleh kapang (Rachmawanti et al., 2010) dan air sebagai hasil dari metabolisme juga semakin bertambah. Bertambahnya kadar air tempe seiring bertambahnya waktu fermentasi menyebabkan tempe menjadi lebih lembek dan menyebabkan tekstur menjadi kurang renyah setelah digoreng.

Tempe koro glinding tanpa kulit fermentasi 36 jam secara keseluruhan (overall) paling disukai karena unggul pada parameter aroma, flavor dan aftertaste. Berdasarkan penilaian panelis, tempe koro glinding tanpa kulit fermentasi 36 jam memiliki karakteristik atribut

(4)

797 kenampakan yang menarik, aroma dan flavor khas tempe, aftertaste pahit yang tidak terlalu kuat, dan tekstur yang kompak.

Tabel 1 Skor Tingkat Kesukaan Tempe Koro Glinding Tanpa Kulit dan Dengan Kulit Lama

Fermentasi

Parameter

Kenampakan Aroma Flavor Aftertaste Tekstur Overall* Tanpa Kulit 36 jam 3,67b 4,10b 3,73b 3,60b 3,53b 1,33a 42 jam 3,60b 3,23a 2,90a 2,63a 3,40ab 2,20b 48 jam 2,90a 3,23a 2,60a 2,50a 3,03a 2,47b Dengan Kulit 36 jam 3,17a 3,67a 3,73b 3,73c 3,50a 1,67a 42 jam 2,87a 3,60a 3,57b 3,27b 3,47a 2,00ab 48 jam 2,80a 3,40a 2,93a 2,83a 3,20a 2,33b

Keterangan: Notasi yang sama menunjukkan tidak beda nyata pada α 5%.

Skala nilai :1 = sangat tidak suka, 2 = tidak suka, 3 = netral, 4 = suka, 5 = sangat suka. *) uji ranking dengan urutan ranking 1-3 : semakin besar nilai, kesukaan menurun.

Karakteristik Sensoris Tempe Koro Glinding dengan Kulit

Variasi lama fermentasi tidak berpengaruh terhadap tingkat kesukaan pada kenampakan, aroma, dan tekstur tempe koro glinding dengan kulit (Tabel 1). Semakin lama fermentasi massa miselia semakin padat namun warna biji koro semakin gelap dan warna lebih kecokelatan setelah proses penggorengan. Kulit biji pada tempe menyebabkan kenampakan tempe tidak terlalu disukai oleh panelis. Jelen et al. (2013) menyatakan terdapat beberapa grup yang menyusun aroma tempe diantaranya komponen nitrogen, 2-asetil-1-pirolin, pirazin, dan aldehid. Komponen aldehid meningkat secara signifikan setelah proses penggorengan. Selama proses fermentasi, Karmini (1996) melaporkan bahwa aktivitas protease kapang terus meningkat, sehingga terbentuk amonia ketika protein habis, menyebabkan aroma yang menyengat pada tempe yang over-fermented. Lama fermentasi 36 jam cukup efektif menghasilkan tempe dengan tekstur yang disukai. Penambahan 50% (b/b) kulit menambah kerenyahan setelah tempe koro glinding digoreng.

Fermentasi 48 jam menghasilkan tempe yang kurang disukai flavornya (Tabel 1). Pada waktu tersebut flavor sudah banyak mengalami perubahan (over fermented) terutama karena degradasi protein menghasilkan amonia. Nurrahman (2012) menyatakan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap flavor tempe kedelai hitam meningkat pada sampel lama fermentasi 30 dan 36 jam namun turun pada tempe fermentasi 42 jam. Semakin lama waktu fermentasi tingkat kesukaan pada flavor cenderung turun. Senyawa mikromolekul hasil degradasi Rhizopus sp. menghasilkan flavor spesifik yang terbentuk dalam tempe.

(5)

798 Aftertaste tempe fermentasi 36 jam paling disukai (Tabel 1). Semakin lama fermentasi, tingkat kesukaan panelis terhadap aftertaste tempe menurun karena muncul rasa pahit.. Menurut Isherlianti et al. (2012), terdapat asam - asam amino yang menimbulkan rasa pahit seperti lisin, arginin, prolin, fenilalanin, dan valin. Asam amino lisin merupakan asam amino yang memiliki rasa paling pahit. Semakin lama waktu fermentasi, aftertaste yang muncul akan semakin kuat..

Secara overall, tempe koro glinding dengan kulit fermentasi 36 jam cenderung paling disukai karena aftertaste-nya paling disukai. Tempe koro glinding dengan kulit memiliki keunggulan pada atribut aroma dan flavor yang lebih gurih serta tekstur yang lebih renyah karena adanya penambahan kulit. Tempe koro glinding dengan kulit memiliki sedikit kelemahan pada atribut kenampakan karena kulit yang terihat jelas dan warna kulit yang menjadi lebih gelap setelah digoreng. Namun hal tersebut tetap dapat diterima oleh panelis. Kesimpulan

Variasi lama fermentasi selama 36, 42 dan 48 jam memberikan pengaruh terhadap tingkat kesukaan kenampakan, aroma, flavor, aftertaste, dan tekstur tempe koro glinding tanpa kulit serta flavor dan aftertaste pada tempe koro glinding dengan kulit. Semakin lama waktu fermentasi, tingkat kesukaan pada semua parameter cenderung semakin menurun. Waktu 36 jam merupakan waktu fermentasi yang efektif.

Daftar Pustaka

Anonim. 2013. Harga Kedelai Stabil di Awal Tahun.

http://ews.kemendag.go.id/berita/NewsDetail.aspx?v_berita=3371.Diakses pada 12 Januari 2013.

Cao, Jay J.; Brian R. Gregoire; Xiaoming Sheng; Juan P. Liuzzi. 2010. Pinto Bean Hull Extract Supplementation Favorably Affects Markers of Bone Metabolism and Bone Structure In Mice. Food Research International 43 (2010) 560–566.

Isherlianti, Desi Silvia; Roekistiningsih; Amalia Ruhana. 2012. Pengaruh Formulasi Tepung Ubi Jalar dan Tepung Tempe terhadap Mutu Gizi, Mutu Organoleptik, dan Mutu Fisik pada Flakes. Universitas Brawijaya. Malang.

Jelen, Henryk; Małgorzata Majcher; Alexandra Ginja; Maciej Kuligowski. 2013. Determination of compounds responsible for tempeh aroma. Food Chemistry 141 (2013) 459–465.

Karmini, Mien; Djoko Sutopo; Hermana. 1996. Aktivitas Enzim Hodrolitik kapang Rhizopus sp. pada Proses Fermentasi Tempe.Penelitian Gizi dan Makanan,(19)1996:93-100. Karyadi, Darwin dan Widjaja Lukito. 2000. Functional Food and Contemporary

Nutrition-Health Paradigm: Tempeh and Its Potential Beneficial Effects in Disease Prevention and Treatment. NutritionVolume 16, Numbers 7/8, 2000.

Lane, M.J. and H.E. Nurstein and. 2002. The variety of odors produced in Maillard model systems and how they are influenced by reaction conditions, in Maillard Reaction and

(6)

799 Food and Nutrition. Dalam Susi, S. 2012. Komposisi Kimia dan Asam Amino pada Tempe Kacang Nagara (Vigna unguiculata ssp. Cylindrica). Agroscientiae, Vol. 19, No. 1, April.

Nurrahman; Mary Astuti; Suparmo; M. Soesatyo. 2012. Pertumbuhan Jamur, Sifat Organoleptik dan Aktivitas Antioksidan Tempe Kedelai Hitam dengan Berbagai Jenis Inokulum. AGRITECH, Vol. 32, No. 1, Februari.

Ozal, Dimas. 2012. Perbedaan Kedelai Lokal dengan Impor. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/. Diakses pada 12 Januari 2013.

Rachmawanti, Dian dan Choirul Anam. 2008. Kajian Kadar Asam Fitat, Asam Sianida dan Kadar Protein selama Pembuatan Tempe Koro Benguk (Mucuna pruriens) dengan Variasi Pengecilan Ukuran dan Lama Fermentasi. DIPA LPPM Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Rachmawanti, Dian; Sri Handajani; Rohula Utami. 2010. Kajian Kandungan Protein, Senyawa Antinutrisi, dan sifat sensoris Tempe Koro Babi (Vicia faba L.) dengan Variasi Pengecilan Ukuran. Jurnal Teknologi Hasil Pertanian, Vol. III, No. 2 Agustus 2010.

Suci, D.M, D.Parwiastuti, L. Herawati dan H.Setiyanto. 1995. Evaluasi Penggunaan Kulit Ari Kedelai Terhadap Performans dan Cholesterol Serta Lemak Karkas Ayam Broiler. Med pet Vol. 24 No. 3

Sutardi. 1990. Perubahan Kandungan Asam Fitat dan Aktivitas fitase pada Pembuatan, Penyimpanan dan Pemasakn Tempe. Agritech, Vol. 12, No. 1.

Zahroh, Lulis Almunifa. 2012. Kajian Karakteristik Fisiko-Kimia dan Sensoris Dendeng Nabati Ready to Eat dengan Penggunaan Tempe Koro Benguk (Mucuna Pruriens) Tanpa Kulit Biji dan dengan Kulit Biji Serta Variasi Konsentrasi Tepung Tapioka. Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Gambar

Tabel 1  Skor Tingkat Kesukaan Tempe Koro Glinding Tanpa Kulit dan Dengan Kulit  Lama

Referensi

Dokumen terkait

Analisis univariat dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi dan Data dalam menentukan Tingkatan Nyeri pada kala I Persalianan, Sebelum dan Setelah dilakukan Intervensi Massage

(Eds), Academic Press, London. Sudarto & B nur 2008 Biodiversitas ikan pelangi asal indonesia bagian timur dalam Suryadi H.A, Hanafi, A.H kristanti, Chumaidi A, mustafa, Imron,

vi LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

Several studies have reported on the use of social media for language learning purposes; it helps create a good learning climate outside the classroom (Warner, 2017);

Hasil penelitian tetang strategi untuk mengembangkan Lembaga Pendidikan Ketrampilan (LPK) ”Kartika” Banjarnegara dengan menggunakan analisis SWOT diawali dengan kekuatan,

Universitas kuliner ini memiliki fasilitas yang lengkap dan kompak sehingga di site yang besar jumlah fasilitas yang ideal dapat tercapai, memiliki sistem ME ( mekanikal elektrikal

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk menggambarkan dan mengetahui bagaimana pelaksanaan model Paradigma Pedagogi Reflektif sebagai upaya meningkatkan sikap kedisiplinan