• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA Bio Ekologi Owa Jawa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA Bio Ekologi Owa Jawa"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bio Ekologi Owa Jawa

2.1.1. Klasifikasi dan Taksonomi Owa Jawa

Terdapat sebelas jenis primata dari family Hylobatidae yang tersebar di Asia Tenggara, enam spesies diantaranya termasuk ke dalam Genus Hylobates, yaitu Hylobates agilis F. Cuivert 1821(ungko, dark head gibbon), H. klosii Miller 1903 (siamang kerdil, klossi gibbon), H. lar Linnaeus 1771 (ungko lengan putih, white handed gibbon), H. muelleri Martin 1841(kelawat, gray gibbon), H. Moloch Audebert 1797 (Owa Jawa, silvery gibbon), dan Hylobates pileatus Gray 1861. Dari keenam spesies ini hanya H. Pilleatus Gray yang penyebarannya tidak meliputi wilayah Indonesia (Geissman 2002, Mootnick 2006)

Berdasarkan Napier & Napier (1967), Owa Jawa (Hylobates molloch Audebert 1797), diklasifikasikan sebagai berikut:

Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Sub filum : Vertebrata Kelas : Mamalia Ordo : Primata Famili : Hylobatidae Genus : Hylobates

Spesies : Hylobates moloch Audebert (1797).

Owa Jawa dalam bahasa Inggris disebut javan gibbon atau silvery gibbon, sedangkan nama lokalnya adalah owa atau wau-wau kelabu. Arti kata hylobates menurut Nowak (1999) adalah penghuni pohon, oleh karena itu ketangkasan genus ini dikenal melebihi satwa lain pada saat bergerak dari satu pohon ke pohon lainnya.

(2)

6 2.1.2. Morfologi

Owa Jawa (H. moloch) adalah salah satu satwa primata yang termasuk dalam kelompok kera dengan ukuran tubuh yang kecil. Tungkai tangan lebih panjang dibandingkan dengan tungkai kaki, tidak berekor dan pada bagian pantat terdapat kulit tebal (ischial callosities) yang terpisah. Seluruh tubuh ditutupi oleh rambut dengan warna bervariasi dari hitam, abu-abu keperakan, coklat kemerahan dan coklat kekuningan. Bagian wajah, telapak tangan dan telapak kaki tidak berambut dan berwarna hitam (Napier & Napier 1967). Warna rambut Owa Jawa bersifat monokromatik artinya warna rambut dari bayi hingga dewasa tidak mengalami perubahan.

Gambar 2. Owa jawa (Hylobates moloch Audebert 1797)

Owa Jawa jantan dewasa memilki berat berkisar antara 4300–7928 gram sedangkan betina dewasa 4100–6800 gram. Panjang badan dan kepala berkisar antara 400–635 mm untuk jantan dewasa dan 403–635 mm untuk betina dewasa (Napier & Napier 1967). Menurut Supriatna & Wahyono (2000), berat tubuh jantan dewasa berkisar 4–8 kg dan betina dewasa antara 4–7 kg, panjang tubuh jantan dan betina dewasa berkisar antara 75–80 cm.

(3)

7

Tabel 1. Kategori tingkat umur pada kelompok Owa Jawa Kategori kelas umur Keterangan

Jantan dewasa (Adult male)

Betina dewasa (Adult female)

Berumur 9-33 tahun, ukuran badan besar, warna rambut abu-abu pucat, warna muka hitam dan terdapat rambut putih pada muka. Bunyi suara pendek dan keras, sering berada pada lingkaran terluar dari kelompoknya.

Kelenjar susu terlihat. Bunyi suara panjang dan monoton, sering terlihat menggendong bayi atau dekat dengan individu anak ketika belum masuk kedalam masa sapih.

Jantan remaja (Sub-adult male)

Betina remaja (Sub-adult female)

Beumur 4-9 tahun, ukuran badan sedang, warna rambut abu-abu, terdapat rambut hitam berbentuk segitiga di atas kepala. Scrotum mulai terlihat berwarna hitam dan sering memisahkan diri atau menjaga jarak dengan kelompoknya.

Kelenjar susu masih kecil, bunyi suara rendah dan sering berada dalam kelompoknya.

Anak (Juvenil)

Berumur 2-4 tahun, ukuran badan kecil, dapat berjalan sendiri, warna rambut abu-abu keputihan Bayi

(Infant)

Berumur 0-2 tahun, sering dalam gendongan induk betinanya dan warna rambut putih kekuning-kuningan

Sumber : Kappler (1981)

Owa Jawa memiliki gigi seri kecil dan sedikit ke depan, sehingga memudahkan untuk menggigit dan memotong makanan. Gigi taring panjang dan berbentuk seperti pedang yang berfungsi untuk mengigit dan mengupas makanan. Gigi geraham atas dan bawah untuk mengunyah makanan (Napier & Napier 1967).

2.1.3. Habitat dan Penyebaran

Owa Jawa dapat ditemukan pada beberapa habitat mulai dari garis pantai sampai dengan ketinggian 1.400–1.600 m dpl (Supriatna & Wahyono 2000). Jenis ini jarang ditemukan di hutan berketinggian lebih dari 1.500 mdpl karena umumnya vegetasi dan jenis tumbuhan pada daerah setinggi ini bukan merupakan sumber pakan Owa Jawa. Selain itu banyaknya lumut yang menutupi pepohonan di pegunungan menyulitkan pergerakan brakiasi Owa Jawa. Selain itu suhu pada ketinggian di atas 1.500 m dpl lebih rendah dibandingkan suhu di bawahnya sehingga tidak sesuai bagi Owa Jawa (Rowe 1996)

(4)

8

Owa Jawa merupakan genus Hylobates yang membutuhkan pepohonan besar dengan tajuk rapat dan memiliki percabangan yang tumbuh horizontal untuk membantu mereka dalam berpindah. Jenis ini juga merupakan satwa yang benar-benar hidup arboreal sehingga membutuhkan hutan dengan kanopi antar pohon yang berdekatan (Kappeler 1984).

Penyebaran Owa Jawa hanya terdapat di separuh Pulau Jawa ke arah barat. Wilayah sebaran Owa Jawa di Jawa Barat meliputi TN Gunung Gede Pangrango, TN Gunung Halimun-Salak, TN Ujung Kulon, TN Gunung Ciremai, CA Gunung Simpang, CA Leuweung Sancang, Hutan Lindung (HL) Gunung Papandayan, HL Gunung Wayang, HL Gunung Jayanti, dan HL Gunung Porang. Di Jawa Tengah, Owa Jawa dapat ditemukan di HL Gunung Slamet, HL Gunung Prahu dan HL Pegunungan Dieng (Supriatna & Wahyono 2000).

Gambar 3. Peta penyebaran Owa Jawa (Hylobates moloch) (Nijman 2001)

Supriatna dan Wahyono (2000) membedakan Owa Jawa menjadi dua subspesies, yaitu H. Moloch moloch yang memilki warna rambut lebih gelap, dan H. moloch pangoalsoni dengan rambut berwarna lebih terang. Pola penyebaran H. moloch moloch memiliki daerah sebaran di wilayah Jawa Barat sedangkan H. Moloch pangoalsoni di Jawa Tengah. Di Taman Nasional Ujung Kulon Owa Jawa bisa ditemukan didaerah Curug Cikacang dan Cikanolong (Rinaldi 1999). Daerah lain dari wilayah Gunung Honje yang bisa ditemukan owa adalah Cipunaga, Cihonje, Cinimbung, Cilimus, Cibiuk dan Ermokla (Atmoko et al. 2008)

(5)

9 2.1.4. Aktivitas Harian dan Perilaku Aktivitas dan Perilaku Berpindah

Pada saat melakukan aktivitas harian, Owa Jawa lebih bersifat arboreal dan jarang turun ke tanah. Pergerakan dari pohon ke pohon dilakukan dengan cara bergelayutan atau brankiasi. Pohon yang tinggi dapat digunakan untuk bergelayutan, berpindah tempat, tidur, menelisik (grooming) antara jantan dan betina atau antara induk betina dan anaknya serta mencari makan (Supriatna & Wahyono 2000).

Aktivitas dan Perilaku Makan

Aktivitas Owa Jawa dalam mencari makan dilakukan pada pagi hari dan setelah istirahat di siang hari sampai menjelang sore hari. Owa Jawa merupakan satwa frugivora yang memakan buah-buahan masak, kaya akan gula dan banyak mengandung air. Menurut Kappeler (1984), persentase jenis pakan yang dikonsumsi oleh Owa Jawa terdiri dari 61% buah, 38% daun dan 1% bunga. Karena bersifat monogami dan teritorial, maka Owa Jawa selalu bergerak bersama dengan kelompoknya dalam mencari makan dan dipimpin oleh betina dewasa (Sinaga, 2003). Jantan dewasa memiliki intensitas untuk melakukan aktivitas makan yang lebih rendah dibandingkan betina, hal ini berkaitan dengan peranan jantan untuk mempertahankan kelompok dari serangan predator (Campbell et al. 2007).

Menurut Kappeler (1981), saat melakukan aktivitas makan, Owa Jawa akan berdiam pada satu tempat dengan berbagai posisi seperti duduk, bergantung dan berdiri dengan satu atau dua tungkainya bebas untuk mengambil makanan. Ditambahkan oleh Chivers (1980), posisi tubuh saat beraktivitas dipengaruhi oleh faktor jenis pakan yang sedang dikonsumsi. Posisi bergantung dipilih Owa Jawa saat sedang mengkonsumsi buah-buahan, sedangkan duduk dilakukan saat sedang mengkonsumsi dedaunan.

Terdapat beberapa faktor yang menentukan perilaku makan Owa Jawa, antara lain adalah teknik makan, tempat dan ketinggian, komposisi pakan, bagian yang dimakan, variasi pakan, jumlah pakan serta pola pergerakan (Bismark, 1984).

(6)

10 Aktivitas dan Perilaku Sosial

Menurut McDonald (1993) bahwa perilaku sosial pada Owa Jawa meliputi aktivitas vokalisasi (bersuara), grooming (menelisik) dan bermain.

Aktivitas dan Perilaku Bersuara

Aktivitas Owa Jawa diawali dengan bersuara disertai pergerakan akrobatik sebelum mencari pakan (Rinaldi 1999). Pada pagi hari, Owa Jawa akan mengeluarkan suara berupa lengkingan nyaring yang disebut morning call, dengan durasi antara 10–30 menit. Suara Owa Jawa dapat diidentifikasi hingga radius 500–1.500 m. Suara yang dapat diidentifikasi adalah suara betina untuk menandai teritorinya, suara jantan ketika bertemu dengan kelompok lainnya, suara antar individu ketika terjadi konflik, dan suara anggota keluarga ketika melihat bahaya (Geissman et al. 2005). Perilaku bersuara pada Owa Jawa memiliki karakter khusus yang membedakan dengan family Hylobatidae lain, yaitu individu berperan lebih besar dalam penjagaan daerah jelajah. Hal tersebut ditunjukkan melalui alokasi penggunaan waktu bersuara Owa Jawa betina yang lebih besar dibandingkan jantan.

Aktivitas dan Perilaku Grooming (Menelisik)

Menurut Alexander (1974); Freeland (1976), beberapa sebab terjadinya grooming dalam kelompok primata adalah memelihara individu satwa dari gangguan parasit dan kotoran, selain itu pun aktivitas grooming ditunjukan untuk memelihara ketertarikan sosial antar individu dalam kelompok. Aktivitas ini umumnya meningkat disaat periode istirahat berlangsung.

Aktivitas dan Perilaku Bermain

Aktivitas dan perilaku bermain merupakan bagian dari upaya menghilangkan perasaan bosan oleh individu satwa dan mempererat ikatan sosial diantara individu dalam kelompok. Pada kelompok Hylobates lar di TN. Khao Yai, Thailand, aktivitas bermain mempunyai proporsi waktu 29% dari total waktu aktivitas sosial dan dilakukan oleh individu anak dan remaja (Bartlett 2003). Pada kelompok hutan Cikaniki, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, aktivitas bermain mempunyai proporsi waktu 15,09% dan berkutuan 16,98% (Ladjar 1996).

(7)

11 Aktivitas dan Perilaku Tidur dan Beristirahat

Pohon tidur adalah jenis pohon yang digunakan Owa Jawa sebagai tempat beristirahat, tidur dan tempat berlindung dari predator. Gibbon akan melakukan perpindahan pohon tidur secara berkala. Jantan dan betina tidur pada pohon yang berbeda. Pada saat berada di pohon tidur, gibbon tidak akan bersuara untuk menghindari bahaya (Islam & Feeroz 1992). Setelah melakukan jelajah harian, Owa Jawa akan kembali ke pohon tidur beberapa jam sebelum matahari terbenam, dan tinggal di pohon tersebut sampai kira-kira 14–17 jam. Biasanya betina dewasa dan bayi menuju pohon tidur terlebih dahulu, diikuti juvenil atau anak yang beranjak dewasa dan terakhir jantan dewasa.

Iskandar (2008) menyatakan bahwa di TN Gunung Gede Pangrango terdapat sekitar 17 jenis vegetasi yang merupakan tempat tidur Owa Jawa yang tergolong kedalam 7 famili. Pohon tidur Owa Jawa tersebut adalah teureup (Artocarpus elasticus), rasamala (Altingia excelsa), kondang (Ficus variegata), Afrika (Maesopsis eminii), dan manggong (Macaranga rhizinoides).

Pada umumnya vegetasi yang dimanfaatkan Owa Jawa sebagai pohon pakan dan pohon tidur adalah vegetasi tingkat pohon. Hal tersebut disebabkan pola hidup Owa Jawa yang bersifat arboreal dengan memanfaatkan strata pohon tengah dan atas (Iskandar 2007).

2.1.5. Pakan dan Pengkayaan Pakan

Pola makan primata umumnya dibagi kedalam tiga kategori berdasarkan kuantitas jenis pakan yang dikonsumsinya yaitu frugivorus (banyak memakan buah), folivorus (banyak memakan dedaunan) dan insectivorus (banyak memakan serangga) (NRC 2005, Rowe 1996).

Pohon tempat aktivitas Owa Jawa dapat dibedakan menjadi pohon pakan dan pohon tidur. Pohon pakan adalah jenis pohon yang dimanfaatkan Owa Jawa sebagai pakan. Bagian pohon yang biasanya dimanfaatkan adalah buah, daun, bunga dan hewan-hewan kecil (serangga, ulat, rayap). Kelompok gibbon pada umumnya mengonsumsi buah matang dalam proporsi yang tinggi. Presentase jenis pakan tertinggi adalah buah-buahan matang (61%), dedaunan (38%) dan bunga (1%) (Kappeler 1984).

(8)

12

Sekitar 44 jenis pohon pakan Owa Jawa yang terdapat di TN Gunung Gede Pangrango, yang merupakan anggota dari 24 famili. Pohon pakan tersebut adalah rasamala (Altingia excelsa), afrika (Maesopsis eminii), teureup (Artocarpus elasticus), saninten (Castanopsis argentea) dan puspa (Schima wallichii) (Iskandar 2008). Di Taman Nasional Ujung Kulon setidaknya terdapat 27 jenis tumbuhan sumber pakan bagi Owa Jawa (Rinaldi 1999). Bagian vegetasi yang dijadikan makanan Owa Jawa adalah daun muda, buah dan bunga.

Di penangkaran, pemberian pakan bergizi yang bervariasi dan cukup sesuai dengan karakteristik pakan Owa Jawa yang lebih frugivorus dan folivorus, dengan cara-cara berbeda penting untuk meningkatkan kualitas hidup satwa.

Pemberian berbagai jenis pakan yang beranekaragam jenisnya baik buah-buahan, daun, maupun serangga pada jenis-jenis primata bukan hanya memberikan pemenuhan akan kebutuhan makanan terkait rasa lapar namun juga memberikan manfaat lain dalam hal pemenuhan gizi yang amat dibutuhkan bagi aktivitas mereka.

Pengkayaan jenis pakan ini pun pada dasarnya merupakan salah satu cara atau strategi dalam pengeliminiran rasa bosan pada jenis pakan tertentu ketika jenis pakan tersebut diberikan secara terus menerus dan berulang-ulang dalam waktu yang terus menerus (setiap hari). Strategi pemberian pakan harus dibangun dengan mengedepankan faktor kesehatan dan mengelimir segala bentuk kontaminan yang mungkin masuk ketubuh satwa. Ketika satwa berada dalam kelompok maka strategi pemberian pakan ditunjukan agar seluruh individu memperoleh kesempatan makan tanpa harus terlalu dibatasi oleh adanya perbedaan struktur sosial (Keiley and Arthur 1995).

2.1.6. Kelompok Sosial dan Pengkayaan Sosial

Sebagaimana owa lainnya, Owa Jawa hidup berpasangan dalam sistem keluarga monogami. Dalam kelompok owa terdapat sepasang individu dewasa, termasuk satu bayi (infant) (0-2 atau 2,5 tahun), satu anak (juvenil) (2-4 tahun, pergerakan tetap dipantau induknya), satu remaja (adolescent) (4-6 tahun, ukuran tubuh tidak sama dengan individu dewasa), dan satu pra remaja (sub adult) (lebih dari 6 tahun, pertumbuhan lengkap tapi belum matang kelamin) (Leighton 1986). Individu yang sudah mulai dewasa dihalau dari koloni untuk membentuk koloni

(9)

13

baru dengan pasangannya (Supriatna & Wahyono 2000; Suyanto 2002).

Masa bunting antara 197-210 hari, dengan jarak kelahiran anak yang satu dengan yang lainnya berkisar 3-4 tahun, dan umumnya owa jawa dapat hidup hingga 35 tahun (Supriatna & Wahyono 2000; Suyanto 2002).

Terkait dengan manajeman penangkaran, pengkayaan berupa kelompok sosial untuk spesies primata adalah suatu hal yang penting. Mensosialisasikan satwa dengan sejenisnya atau tidak merupakan bagian dari perilaku berkelompok spesies primata. Secara umum primata sebagian besar hidup secara berkelompok, paling sedikit 2-3 individu hidup dalam kelompok yang dikenal sebagai keluarga. Pada umumnya kelompok ini merupakan kelompok primata monogamus (sistem kawin dengan satu jantan dan satu betina), di Indonesia sendiri jenis primata yang hidup dengan pola perkawinan ini adalah Owa Jawa.

Berbeda dengan Owa Jawa, terdapat jenis primata lain yang hidup dalam kelompok besar seperti bekantan, simpai dengan pola perkawinan harem (satu jantan dengan banyak betina) atau banyak jantan dengan banyak betina seperti pada Macaca fascicularis. Bentuk pengkayaan yang menempatkan individu-individu dalam satu kandang yang sama atau penempatan boneka indukan betina bagi bayi primata yang kehilangan induk betinanya merupakan suatu bentuk pengkayaan sosial yang dimaksudkan untuk menciptakan kondisi kandang yang hampir mirip dengan kondisi alaminya sehingga berbagai aktivitas sosial seperti bermain, kawin, memelihara dan meminta dipelihara termasuk didalamnya grooming dapat dilakukan oleh individu-individu dalam kelompok tersebut. 2.1.7. Status Konservasi

Owa Jawa berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 termasuk jenis satwa yang dilindungi. Dalam daftar Red List IUCN tahun 1999, Owa Jawa dikategorikan sebagai jenis kritis (Critically endangered). Mulai tahun 2000– 2004, Owa Jawa termasuk ke dalam salah satu dari 25 spesies primata yang paling terancam punah di dunia (Mittermier et al. 2007). Namun berdasarkan Red List IUCN tahun 2008, status Owa Jawa turun dari kritis menjadi terancam, hal ini dikarenakan dari penelitian terhadap populasi Owa Jawa di beberapa kawasan di Jawa Barat dan Jawa Tengah pada beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa populasi spesies tersebut masih lebih dari 4.000 individu (Supriatna 2000).

(10)

14

Konvensi CITES metetapkan Owa Jawa dalam daftar Appendiks I. Hal ini berarti bahwa jenis ini termasuk yang terancam punah sehingga perdagangan internasional untuk tujuan komersil tidak diperbolehkan.

2.2. Pengkayaan Lingkungan (Enrichment)

Pengayaan lingkungan merupakan metode untuk memberikan kondisi dan perlakuan tertentu yang sesuai dengan hidup alaminya. Proses pengayaan lingkungan bermaksud untuk menghindari satwa dari ancaman stres, kebosanan, kegelisahan dan perilaku menyimpang maupun meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan.

Beberapa jenis enrichment untuk satwa meliputi pengkayaan struktural, untuk memperbaiki susunan lingkungan kandang. Misalnya, pemberian kandang yang cukup luas supaya satwa dapat melakukan gerakan alami seperti lari atau terbang, dan tempat untuk berteduh. Pengkayaan obyek, dan obyek itu termasuk sesuatu yang dapat digunakan supaya mengurangi kebosanan dan menghindari perkembangan perilaku menyimpang. Kenyataannya, tidak dapat dilupakan bahwa satwa merasa bosan dan membutuhkan kegiatan yang merangsangnya melakukan perilaku alami, penambahan objek seperti penyediaan fitur tambahan untuk sarana memanjat, bermain dan fitur lainnya dibuat agar satwa berperilaku secara normal. Pengkayaan sosial, yaitu, mensosialisasikan satwa dengan sejenisnya atau tidak, hal ini dikarenakan tidak semua jenis satwa hidup berkelompok. Pengkayaan pakan, pemberian pakan bergizi yang bervariasi dan cukup yang disesuaikan dengan kondisi di alam, dengan cara-cara berbeda yang penting untuk meningkatkan kualitas hidup satwa.

2.2.1. Pengkayaan Struktural

Pada awal tahun 1960an, ukuran dan design kandang menjadi sesuatu yang amat penting, percobaan mengenai hal tersebut pertama kali dicobakan pada spesies Macaca. Rekomendasi penggunaan bahan stainless-steel merupakan hasil nyata dari percobaan ini. Kebanyakan fasilitas penelitian primata dalam hal perkandangannya dibangun atas kekhasan jenis primata yang dikelolanya. Pusat Primata California dan Oregon membuat suatu perkandangan luar (University of California1979) dengan lantai berupa koral (Alexander et al. 1969). Pada perkembangan selanjutnya sebuah badan yang dikenal sebagai National Institute

(11)

15

of Health (1985) membangun sebuah standarisasi terkait aspek perkandangan satwa primata dalam bentuk regulasi dan pedoman yaitu Animale Welfare Act (1985).

Dalam perencanaan perkandangan terdapat beberapa faktor penting yang harus dipertimbangkan yaitu :1) kandang harus dibuat sedemikian rupa dengan maksud untuk mendukung kenyamanan psikologis bagi satwa yang ada didalamnya; 2) kandang dibuat sesuai dengan ukuran satwa, perilaku sehingga satwa dapat tumbuh dengan normal dan kandang harus mampu mencegah adanya kemungkinan timbulnya penyakit; 3) kandang harus dilengkapi dengan sarana salinitas yang baik; 4) kandang dibuat sedemikian rupa sehingga memudahkan peneliti dan perawat satwa untuk mengelola satwa; 5) kandang dibuat berdasarkan standar baku yang telah direkomendasikan oleh Animal Welfare Act (1985).

Jenis kandang sangat ditentukan oleh berbagai faktor, yaitu : jenis satwa, jumlah individu, umur satwa, tujuan penelitian, keselamatan kerja pekerja, faktor keselamatan dan kesejahteraan satwa, kondisi iklim setempat, adapun terminologi yang umum digunakan dalam mengidentifikasi jenis kandang dapat dilihat pada Tabel 2.

Table 2. Terminologi penentu dalam mengidentifikasi jenis kandang

Basis Jenis kandang

Tipe kandang

Satu jantan/satu bentina Kandang individu Satu jantan/banyak betina Kandang harem Banyak jantan/banyak betina Kandang kelompok Lokasi kandang

Indoor Kandang individu/harem/kelompok

Outdoor Kandang koral/lapangan/pulau kecil

Indoor/outdoor Kandang rumput

Sumber : Bayne 1989; Bielitzki et al. 1990

Ukuran kandang individual ketika satwa dipisahkan dalam koloni atau dikenai perlakuan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 3. Ukuran kandang individual yang direkomendasikan untuk satwa primata Berat badan Luas alas minimal Tinggi minimal

< 1 kg 0,15 m2 50,8 cm

1 kg – 3 kg 0,28 m2 76,2 cm

3 kg – 15 kg 0,40 m2 76,2 cm

15 kg – 25 kg 0,74 m2 91,4 cm

> 25 kg 2,33 m2 213,4 cm

(12)

16

Ukuran kandang (housing) luar dibuat menyerupai habitat aslinya, berbagai bentuk pengkayaan seperti penyediaan pohon-pohon dan tali temali di dalam kandang untuk satwa arboreal, lantai tanah atau koral untuk satwa terestrial dibuat sedemikian rupa untuk menciptakan kenyamanan pada individu di dalam kandang. Pada Owa Jawa dapat dibuat kandang terbuka dengan tinggi minimum 4,5 m, disarankan 3m terakhir dari dinding atau pagar harus memungkinkan untuk tidak mungkin dipanjat, pagar atau dinding harus diperluas setidaknya 50cm di bawah tanah, fitur kandang ukuran: 30m x 7m.

Gambar 4. Contoh bentuk design kandang luar (housing) Owa Jawa di kebun binatang

2.2.2. Pengkayaan Objek

Perkandangan luar (housing) memerlukan fitur lainnya dalam bentuk objek yang memungkinkan satwa untuk bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya serta memungkinkan satwa terhindar dari rasa bosan. Fitur tambahan seperti sarana memanjat, bermain dan fitur lainnya dibuat agar satwa berperilaku secara normal. Penambahan fitur dibuat sedemikian rupa agar satwa dapat mengekspresikan berbagai aktivitasnya dengan tetap mengedepankan faktor keamanan satwa dan pekerja. Selain itu fitur tambahan berupa kompartemen yang berfungsi sebagai pemisah diperlukan pula sebagai sebuah cara untuk mengurangi

Kemiringan Penghubung Pintu Perencanaan Pohon Compartment

Akses masuk keeper

Area Pelayanan

Kandang Malam Kandang Perlakuan

(13)

17

kemungkinan agresi atau traumatik akibat agresi oleh individu lain. Penyediaan barang-barang seperti tongkat, bola, mainan plastik diketahui mampu mengurangi stres, timbulnya agresi dan traumatik pada satwa dalam kandang.

Fitur tambahan dapat dibuat sealami mungkin atau dengan modifikasi yang benar-benar tidak ditemui ketika satwa berada diluar habitat alaminya. Penyediaan fitur alami seperti kayu atau pohon-pohonan dalam kandang luar memungkinkan satwa untuk bereksplorasi dengan fitur tersebut. Fitur buatan yang bersifat artifisial dibuat dengan maksud menciptakan kesenangan pada satwa sehingga satwa terhindar dari rasa bosan, sebagai contoh adanya fitur seperti box kecil yang dimodifikasi sebagai tempat pakan memberikan manfaat dalam hal terciptanya kondisi satwa yang tetap mampu melakukan aktivitas mencari makan (foraging), selain itu penggunaan feeding puzzle atau mekanisme pemberian hadiah berupa makanan merupakan salah satu cara terbaik untuk menghindarkan satwa dari kebosanan (Bloom & Cook 1989)

2.3. Persiapan Pelepasliaran

Terancamnya kelestarian Owa Jawa (Hylobates moloch) menyebabkan satwa endemik tersebut memerlukan upaya konservasi yang bermanfaat bagi peningkatan jumlah populasinya di alam. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan melepasliarkan Owa Jawa yang telah melalui proses rehabilitasi ke habitat alaminya. Menurut Cyne (2004) rehabilitasi tidak dapat menggantikan proses pembelajaran seperti di alam, namun melalui rehabilitasi Owa Jawa dapat belajar berbagai kemampuan yang dibutuhkan untuk bertahan hidup di alam. Baker (2002) menyatakan bahwa terdapat dua strategi pelepasan satwa liar ke habitat alaminya (reintroduksi) yaitu soft release dan hard release. Strategi soft release atau uji coba pelepasan yang dilakukan dengan menempatkan satwa pada atau berdekatan dengan titik pelepasan dan memberikan post monitoring support sebagai slah satu upaya mendukung aklimatisasi satwa. Strategi hard-release dilakukan dengan menempatkan satwa di titik pelapasan tanpa disertai dengan post monitoring support.

Chebey (2004) menyatakan bahwa terdapat tiga kriteria keberhasilan rehabilitasi dan pelepasan Owa Jawa. Kriteria pertama yaitu satwa dapat hidup di habitat alami yang diindikasikan dengan kemampuan mencari dan menemukan

(14)

18

pakan. Kriteria kedua yaitu terjaganya ikatan antar pasangan yang ditandai dengan terjadinya kopulasi. Kriteria ketiga yaitu dihasilkannya keturunan yang mampu bertahan hidup. Tingkat keberhasilan pelepasan Hylobatidae yang telah dilakukan relatif rendah, yaitu hanya 11% dari 145 pelepasan. Fischer and Lindermayer (2000) melaporkan bahwa 87 pelepasan Hylobatidae yang telah dilakukan memiliki tingkat keberhasilan sebesar 25%. Tingkat keberhasilan yang rendah menunjukkan banyak individu yang tidak mampu bertahan hidup setelah pelepasliaran dilakukan. Menurut Cheyne (2004) tingkat keberhasilan rehabilitasi dan pelepasan owa yang rendah disebabkan satwa tidak memenuhi kriteria kesiapan perilaku pelepasan dan tidak dilakukannya post monitoring support.

Ravasi (2004) menyatakan bahwa rehabilitasi Hylobates lar (ungko lengan putih) di Thailand telah melakukan pelepasan satu kelompok ungko lengan putih yang terdiri atas 14 individu (reintroduksi) dalam rentan waktu 1993 hingga 1995. Berdasarkan post released monitoring diketahui bahwa satu individu mati dan 13 individu lainnya berpisah. Hasil serupa juga diperoleh saat melakukan post released monitoring terhadap sepuluh individu yang dilepaskan pada tahun 1996 hingga 2002, yaitu tiga individu dipindahkan dari lokasi pelepasan, tiga individu mati, dan empat individu berpisah. Ravasi (2004) dan Cheyne (2004) menyatakan bahwa ikatan pasangan yang kuat merupakan syarat utama bagi Owa yang dilepaskan. Oleh karena itu, harus dipastikan pasangan yang akan menjalani uji coba pelepasan harus dapat melakukan kopulasi.

Cheney (2004) juga menambahkan bahwa salah satu perencanaan menjelang pelepasan adalah memastikan pasangan yang akan dilepaskan telah memiliki kemampuan hidup. Hal tersebut dapat diketahui dengan mengetahui pemenuhan parameter kesiapan perilaku menjelang uji coba pelepasan.

Pusat penyelamatan dan Rehabilitasi Owa Jawa (Javan Gibbon Centre), telah berhasil melepasliarkan satu pasang Owa Jawa ke habitat alami di blok Hutan Patiwel, Taman Nasioanal Gunung Gede Pangrango pada awal Oktober 2009. Peristiwa tersebut merupakan palepaslliaran Owa Jawa rehabilitan yang pertama dilakukan. Informasi mengenai kehidupan Owa Jawa rehabilitan sangat dibutuhkan karena tidak ada referensi sebelumnya mengenai kehidupan Owa Jawa rehabilitan setelah dilepasliarkan.

Gambar

Gambar 2. Owa jawa (Hylobates moloch Audebert 1797)
Tabel 1. Kategori tingkat umur pada kelompok Owa Jawa  Kategori kelas umur  Keterangan
Gambar 3. Peta penyebaran Owa Jawa (Hylobates moloch) (Nijman 2001)

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk meningkatkan kompetensi para guru SD, khususnya yang sudah tersertifikasi sebagai tenaga pendidik profesional dalam menulis karya

Pendapat apapun yang disampaikan dalam laporan ini adalah untuk tujuan informasi saja dan dapat berubah tanpa pemberitahuan dan mungkin berbeda atau bertentangan dengan pendapat

Sewaktu lahan di bumi terus-menerus diperindah de- ngan gedung-gedung kudus yang diabdikan bagi Tuhan, adalah doa saya semoga kita akan melakukan bagian kita dalam membawa surga

::luas kelainan yang di lihat bisa dimana saja dalam luas kelainan yang di lihat bisa dimana saja dalam paru,luas kelainan tidak melebihi satu lobus,bisa paru,luas kelainan

Alat itu digunakan pada proses terakhir yaitu pada proses pengaduk telur omlet, dimana alat tersebut bekerja menggunakan sumber daya dari motor listrik yang menggerakkan

Hasil analisis regresi linier berganda secara bersama-sama menunjukan bahwa variabel Umur memiliki pengaruh positif dan signifikan, Pelatihan memiliki pengaruh

memahami kebutuhan dan memberikan pelayanan yang terbaik, serta pegawai memberikan perhatian secara tulus pada RSUD Bangil Kabupaten Pasuruan berpengaruh signifikan

7 Data Dokumentasi keadaan siswa tiga tahun terakhir SMP Negeri 1 Kedungwaru, 16 Mei