• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH TAKARAN PUPUK SP 36 TERHADAP BIBIT JELUTUNG (Dyera lowii Hook) DENGAN INOKULASI MIKORIZA PADA MEDIA GAMBUT (Effect of Dosage SP 36 Fertilizer for Seed Jelutung (Dyera lowii Hook) with Mycorrhizal Inoculation on Peet Soil)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH TAKARAN PUPUK SP 36 TERHADAP BIBIT JELUTUNG (Dyera lowii Hook) DENGAN INOKULASI MIKORIZA PADA MEDIA GAMBUT (Effect of Dosage SP 36 Fertilizer for Seed Jelutung (Dyera lowii Hook) with Mycorrhizal Inoculation on Peet Soil)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH TAKARAN PUPUK SP 36 TERHADAP BIBIT JELUTUNG (Dyera lowiiHook) DENGAN INOKULASI MIKORIZA

PADA MEDIA GAMBUT

(Effect of Dosage SP 36 Fertilizer for Seed Jelutung (Dyera lowiiHook) with Mycorrhizal Inoculation on Peet Soil)

Burhanuddin

Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Pontianak E-mail : hans_borneo@yahoo.co.id

ABSTRACT

A study on the influence of of SP 36 dosage on jelutung (D.lowii Hook) seeds with mycorrhizal inoculation in the peat soils was conducted in a greenhouse Soil Science Laboratory Faculty of Agriculture, is Gadjah Mada University for 5 months in 2010. Research purpose was to determine was the dosage of fertilizer SP 36 can enhance the growth of jelutung seedlings inoculated with arbuskular mycorrhizal fungi. Nursery experiments were conducted using Completely Randomized Factorial Design with three replications. Observations made on jelutung seedlings 14 weeks of age after weaning include: height, diameter, number of leaves, shoot dry weight, and P uptake of plants after harvest. A dosage of SP 36 fertilizer of 100 ppm resulted in and the best increase of jelutung seedling growth in the nursery.

Keyword: Peatlang, mycorrhiza, Dyera lowii Hook, and SP 36.

PENDAHULUAN

Hutan rawa gambut dikenal memiliki biodiversiti tinggi, baik flora maupun fauna. Keberadaan hutan rawa gambut akhir-akhir ini menyusut drastis karena kebakaran, kegiatan pembalakan secara ilegal serta konversi ke sektor pertanian dan perkebunan. Diperlukan usaha untuk merestorasi lahan gambut yang terdegradasi. Namun beberapa ken-dala yang dihadapi dalam pengembangan penanaman kembali lahan gambut adalah tingkat kesuburan tanah gambut yang rendah, pH tanah sangat masam, kapasitas tukar kation (KTK) tinggi dan kejenuhan basa rendah.

Weissenhorn et al., (1995) menyatakan suksesi yang dipercepat merupakan tantangan yang harus dijawab dalam restorasi lahan. Menurut Kimmin (1997), pada proses suksesi keberhasilan vegetasi dalam

mengkolonisasi status lahan dapat terjadi apabila telah terbentuk safe site

pada lahan tersebut. Safe site

merupakan suatu kondisi dimana sifat fisik, kimia dan biologi tanah dapat mendukung pertumbuhan vegetasi. Dengan demikian terbentuknya safe site akan mendukung berlangsungnya suksesi yang dipercepat dalam kegiatan restorasi lahan gambut.

Dalam kaitannya sifat biologi tanah pada pembentukan safe site,

maka perlu melibatkan peran mikroba tanah untuk meningkatkan pertumbuhan vegetasi. Salah satu mikroba tanah yang berasosiasi dengan akar tanaman adalah jamur mikoriza arbuskula (JMA). Asosiasi antara JMA dengan akar tanaman mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman sehingga dapat bertahan hidup pada kondisi cekaman lingkungan seperti lahan gambut. Peran JMA dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman

(2)

berkaitan dengan kemampuan JMA untuk menyediakan unsur fosfor dari tanah. Selain meningkatnya penyerapan fosfor menurut Bowen dan Smith (1981), penyerapan unsur lain juga meningkat terutama ion-ion kurang mobile seperti Cu2+, Zn2+, dan Aonium (NH4+). Faktor kritis lain dalam rehabilitasi lahan gambut dan merupakan salah satu kemampuan JMA adalah meningkatkan toleransi tanaman terhadap kekeringan. Selain berperan meningkat-kan pertumbuhan dan daya hidup tanaman melalui peningkatan penyerapan dan penyediaan nutrien dan air, JMA juga berperan dalam perbaikan sifat fisik tanah terutama dalam pembentukan agregat tanah dan perbaikan sifat biologi tanah terutama dalam peningkatan populasi mikroba tanah lain yang bermanfaat.

Penelitian yang mengungkap peranan JMA dalam meningkatkan pertumbuhan telah dilakukan pada berbagai tanaman hutan, yaitu pulai, bungur, mangium, dan sungkai (Martin

et al., 2004), Shorea balangeran

(Turjaman et al., 2007), ramin (Muin, 2003). Dengan demikian JMA sebagai salah satu komponen biologi tanah mempunyai kontribusi penting dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman di lahan gambut.

Dalam kegiatan restorasi lahan gambut terdegradasi, pemilihan jenis tumbuhan setempat yang terbukti cocok dengan tapak juga akan membantu terbentuknya safe site

sehingga men-dukung upaya mempercepat suksesi. Menurut Pfleger et al., (1994), pemilihan jenis tumbuhan yang adaptif pada lahan

setempat untuk revegetasi memainkan peran penting dalam modifikasi per-kembangan tanah. Selanjutnya Rillig dan Mummey (2006) menyatakan akar tumbuhan dan hifa JMA mempunyai peran dalam memacu agregasi tanah.

Jelutung (Dyera lowii Hook) merupakan salah satu jenis pohon endemik hutan rawa gambut. Jelutung juga termasuk ke dalam jenis pohon dwiguna, artinya pohon yang dapat menghasilkan kedua jenis komoditi hasil hutan yaitu komoditi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) berupa getah jelutung dan hasil hutan berupa komoditi kayu. Karena pohon jelutung termasuk jenis pohon dwiguna, maka sangat baik untuk dikembangkan di kawasan penyangga (buffer zone) sebagai tanaman konservasi dan sumber penambah penghasilan bagi masyarakat setempat. Pada jelutung (Dyera lowii Hook), penelitian JMA ini belum banyak dilakukan.

Tanah gambut dengan tingkat kemasaman tinggi, unsur-unsur hara esensial tidak tersedia terutama P, secara langsung menghambat pertumbuhan tanaman atau secara tidak langsung berpengaruh pada perkembangan dan fungsi asosiasi simbiotiknya dengan jasad lain (Radjagukguk, 2000). Dengan demikian dalam kegiatan restorasi lahan gambut, aplikasi JMA dan penanaman jelutung merupakan alternatif yang perlu dilakukan. Namun, kesuburan gambut di Indonesia secara umum adalah miskin (Radjagukguk, 1992; Djuwansah, 2000). Menurut Radjagukguk (1992), pH selalu dalam kisaran 3 – 4 dan unsur mineral utama terutama P rendah

(3)

dengan kejenuhan basa antara 5,4 – 13. Sedangkan menurut Subagyo (2000) kesuburan gambut yang rendah karena kandungan hara yang rendah dan reaksi tanah yang masam, sehingga secara tidak langsung menyebabkan pertumbuhan pohon menjadi lambat.

Perlu penambahan pupuk fosfat guna meningkatkan per-tumbuhan tanman di lahan gambut diantaranya dengan pupuk SP 36. Perlu dilakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui takaran pupuk Sp 36 yang dapat meningkatkan pertumbuhan semai jelutung dengan diinokulasi jamur mikoriza arbuskula.

METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini menggunakan ek-sperimen murni dengan rancangan perlakuan faktorial yang disusun dalam Rancangan Acak Lengkap. Perlakuan percobaan terdiri dari atas: a). Inokulasi mikoriza: ( M0 = tanpa inokulasi JMA dan M1 = diinokulasi JMA), b). Jenis pohon: ( J = jelutung (D.lowiiHook), c). Takaran pupuk SP 36: ( SP0 = 0 ppm (kontrol), SP1 = 25 ppm, SP2 = 50 ppm, SP3 = 75 ppm, SP4 = 100 ppm, SP5 = 125 ppm, SP6 = 150 ppm). Masing-masing perlakuan diinokulasi dengan satu jenis JMA dan kontrol tanpa inokulasi. Setiap kombinasi perlakuan diulang sebanyak 3 kali, maka jumlah seluruh kombinasi perlakuan ada : 2 x 1 x 7 x 3 = 42.

Penelitian ini menggunakan metode eksperimen murni untuk: (1) melihat hubungan sebab akibat yakni pengaruh takaran pemupukan SP 36 terhadap pertumbuhan jelutung yang diinokulasi JMA, (2) menggunakan

kontrol berupa semai jelutung yang ditanam tanpa inokulasi JMA dengan takaran pupuk SP 36 ; 0 ppm, 25 ppm, 50 ppm, 75 ppm, 100 ppm, 125 ppm, dan 150 ppm.

Benih jelutung dikecambahkan dalam bak kecambah yang berisi media gambut yang sudah steril. Setelah semai berumur satu bulan, dilakukan penyapih-an. Pupuk SP 36 diberikan sebelum pe-nanaman dengan takaran 0 ppm, 25 ppm, 50 ppm, 75 ppm, 100 ppm, 125 ppm, dan 150 ppm. Selanjutnya semai ditanam dalam kantong plastik hitam ukuran 1 kg yang telah diisi media gambut steril dan diberikan larutan pupuk basal yang diberikan dalam bentuk larutan yang terdiri dari 70 ppm NH4NO3, 35 ppm KH2PO4, 70 ppm K2SO4, 70 ppm CaCl2, 22 ppm CuSO4.5H2O, 5 ppm ZnSO4. 7H2O, 10 ppm MnSO4.7H2O, 0,33 ppm CoSO4.7H2O, 0,20 ppm NaMoO4.2H2O, dan 20 ppm MgSO4.7H2O (Pearson et al., 1994). Tanaman diinokulasi dengan JMA sebanyak 10 g/polybag dengan kerapatan spora 100-200 spora tiap 10 gram. Tanaman kontrol tidak diinokulasi JMA. Selama pertumbuhan tanaman, kelengas-an tanah dipertahankan pada kapasitas lapangan.

Tanaman ditumbuhkan selama 14 minggu setelah penyapihan di rumah kaca Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Data yang dikumpulkan terdiri dari tinggi (cm), diameter pangkal batang (mm), jumlah daun (helai), berat kering pucuk (g/tan), dan serapan hara P tanaman. Data tinggi, diameter, jumlah daun, berat kering pucuk tanaman dan serapan hara P tanaman

(4)

dianalisis menurut analisis keragaman (ANOVA) rancangan acak lengkap menggunakan metoda SAS X3.

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Tinggi semai

Perlakuan pemupukan SP 36 dan inokulasi dengan Glomus sp 3 berbeda

nyata terhadap peningkatan tinggi semai jelutung umur 14 minggu setelah penyapihan (Gambar 1) dibandingkan dengan takaran pupuk SP 36 yang sama tanpa inokulasi dengan Glomus

sp3.

Tinggi semai jelutung pada takaran pupuk 100 ppm berbeda nyata dibandingkan dengan tanaman kontrol. Peningkatan tinggi semai jelutung pada takaran pupuk SP 36 100 ppm sebesar 47,26 % dibandingkan dengan tanaman kontrol pada takaran pupuk SP 36 yang sama tanpa inokulasi dengan Glomus

sp 3. Tinggi semai jelutung pada takaran pupuk SP 36 150 ppm tanpa inokulasi jenis JMA memperlihatkan perbedaan yang nyata dibandingkan dengan yang diinokulasi dengan

Glomus sp 3. Tinggi semai jelutung pada takaran pupuk SP 36 150 ppm tanpa inokulasi jenis JMA sebesar

28,50 % dibandingkan dengan yang diinokulasi dengan Glomus sp 3. Pertumbuhan semai jelutung semakin meningkat dengan penambahan takaran pupuk SP 36 tanpa inokulasi jenis JMA. Sebaliknya dengan inokulasi Glomus sp 3 semai jelutung mencapai tinggi maksimal pada takaran pupuk SP 36 100 ppm dan mengalami penurunan pertumbuhan tinggi semai sampai pada takaran pupuk SP 36 150 ppm.

Hasil penelitian ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Trisilawati & Yusron (2009), bahwa tanaman

Pogostemon cablin yang dipupuk

Keterangan: Huruf yang sama pada histogram tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan taraf 5 persen. (Bars with the same letter are not significantly different based on Duncan's multiple range test (0,05))

Gambar 1. Pengaruh takaran pupuk SP 36 dan inokulasi JMA terhadap tinggi semai jelutung pada umur 14 minggu setelah penyapihan. (Effect of dosage SP 36 and AMF inoculation for height on jelutung at 14 weeks after weaning)

(5)

dengan 4 g P2O5 dan diinokulasi

Glomus sp mampu memacu

pertumbuhan tinggi tanaman. Menurut Cardoso et al., (2009) pertumbuhan pohon mangaba sangat tergantung pada inokulasi JMA, tetapi tanaman yang diinokulasi JMA tidak memberikan respon positif terhadap penambahan pupuk P diatas 50 ppm. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pohon mangaba lebih respon terhadap inokulasi JMA dari pada penambahan pupuk P.

2. Diameter semai

Semai jelutung dengan perlakuan pemupukan SP 36 dan inokulasi dengan Glomus sp 3 berbeda nyata terhadap peningkatan diameter umur 14 minggu setelah penyapihan (Gambar 2) dibandingkan dengan takaran pupuk SP 36 yang sama tanpa inokulasi dengan Glomus sp 3. Semai jelutung pada masing-masing takaran pupuk 50 ppm, 25 ppm, 150 ppm, 75 ppm, 125 ppm, 0 ppm, dan 100 ppm meningkatkan diameter semai berturut-turut sebesar 100,00 %, 110,66 %, 114,59 %, 116,50 %, 154,62 %, 183,00 %, dan 241,50 % dibandingkan dengan takaran pupuk SP 36 yang sama tanpa inokulasi dengan Glomus

sp 3. Pada umur semai 14 minggu setelah penyapihan (Gambar 2) memperlihatkan bahwa pada semai jelutung dengan perlakuan inokulasi

Glomussp 3 pada takaran pupuk SP 36 0 ppm dapat memacu pertumbuhan diameter semai setara dengan perlakuan pemupukan SP 36 pada takaran 150 ppm tanpa inokulasi dengan Glomus sp 3. Hal ini kemungkinan disebabkan pada takaran pupuk SP 36 150 ppm tersebut P sudah tersedia untuk pertumbuhan tanaman, sehingga asosiasi JMA bersifat parasit bagi tanaman.

Pada Gambar 2 tersebut terlihat bahwa pemberian pupuk SP 36 dapat meningkatkan peranan JMA dalam memacu pertumbuhan semai jelutung. Tanpa pemberian pupuk SP 36, diameter semai jelutung hanya 2,83 mm. Pemberian pupuk SP 36 sebanyak 25 ppm dapat meningkatkan diameter semai jelutung menjadi sebesar 3,17 mm. Takaran optimal pupuk SP 36 yang dapat diberikan pada semai jelutung yang terkolonisasi JMA adalah 100 ppm. Pada takaran 100 ppm pertumbuhan diameter semai jelutung terbesar 6,83 mm. Pemberian pupuk SP 36 sebanyak 150 ppm, pertumbuhan diameter semai jelutung yang terkolonisasi JMA mulai menurun. Pada takaran 150 ppm diameter semai perepat hanya 3,00 mm dan je-lutung hanya 5,00 mm. Inokulasi dengan JMA pada semai jelutung memperlihatkan pertumbuhan diameter lebih baik.

(6)

Gambar 2. Pengaruh takaran pupuk SP 36 dan inokulasi JMA terhadap diameter semai jelutung pada umur 14 minggu setelah penyapihan. (Effect of dosage SP 36 and AMF inoculation for diameters on jelutung at 14 weeks after weaning)

3. Jumlah daun

Perlakuan pemupukan SP 36 dan inokulasi dengan Glomus sp 3 berbeda nyata terhadap peningkatan jumlah daun semai jelutung umur 14 minggu

setelah penyapihan (Gambar 3) dibandingkan dengan takaran pupuk SP 36 yang sama tanpa inokulasi denganGlomussp 3.

Gambar 3. Pengaruh takaran pupuk SP 36 dan inokulasi JMA terhadap jumlah daun semai jelutung pada umur 14 minggu setelah penyapihan (Effect of dosage SP 36 and AMF inoculation for number of leave on jelutung at 14 weeks after weaning)

Semai jelutung pada masing-masing takaran pupuk 75 ppm, dan 100 ppm meningkatkan jumlah daun semai berturut-turut sebesar 74,02 %,

dan 81,33 % dibandingkan dengan takaran pupuk SP 36 yang sama tanpa inokulasi denganGlomussp 3.

Keterangan: Huruf yang sama pada histogram tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan taraf 5 persen. (Bars with the same letter are not significantly different based on Duncan's multiple range test (0,05))

Keterangan: Huruf yang sama pada histogram tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan taraf 5 persen. (Bars with the same letter are not significantly different based on Duncan's multiple range test (0,05))

(7)

Pada umur semai 14 minggu setelah penyapihan (Gambar 3) memperlihatkan bahwa semai jelutung dengan perlakuan inokulasi Glomus sp 3 pada takaran pupuk SP 36 0 ppm dapat meningkatkan pertumbuhan jumlah daun setara dengan perlakuan pemupukan SP 36 pada takaran 100 ppm tanpa inokulasi dengan Glomus

sp 3.

4. Berat kering pucuk tanaman Perbedaan tanggap berat kering pucuk semai jelutung terhadap masing-masing takaran pupuk SP 36 yang diinokulasi dengan Glomus sp 3 pada umur 14 minggu setelah penyapihan disajikan dalam Gambar 4. Perlakuan pemupukan SP 36 dan inokulasi dengan Glomus sp 3 berbeda nyata terhadap berat kering pucuk semai jelutung dibanding-kan dengan takaran pupuk SP 36 yang sama tanpa inokulasi denganGlomus sp 3.

Gambar 4. Pengaruh takaran pupuk SP 36 dan inokulasi JMA terhadap berat kering pucuk semai jelutung pada umur 14 minggu setelah penyapihan. (Effect of dosage SP 36 and AMF inoculation for shoot dry on jelutung at 14 weeks after weaning)

Semai jelutung masing-masing pada takaran pupuk 125 ppm, 50 ppm, 100 ppm, dan 75 ppm meningkatkan berat kering pucuk tanaman berturut-turut sebesar 70,00 %, 116,67 %, 233,01 %, dan 265,07 %. Semai jelutung dengan perlakuan inokulasi Glomus sp 3 pada takaran pupuk SP 36 0 ppm dapat meningkatkan berat kering pucuk tanaman setara dengan perlakuan pemupukan SP 36 pada takaran 100 ppm tanpa inokulasi dengan Glomus

sp 3. Berat kering pucuk tanaman jelutung yang dipupuk dengan pupuk

SP 36 pada takaran 150 ppm tanpa inokulasi dengan JMA cenderung lebih baik dibandingkan dengan diinokulasi JMA. Kebutuhan akan P oleh tanaman jelutung pada takaran pupuk 150 ppm sudah mencukupi melalui penyerapan oleh akar tanaman, inokulasi JMA pada jelutung kemungkinan bersifat parasit dan merugikan bagi tanaman. Asosiasi JMA dengan tanaman akan lebih baik pada kandungan hara P dalam tanah rendah.

Gambar 4 tersebut menunjukkan bahwa pemberian pupuk SP 36 dapat

Keterangan: Huruf yang sama pada histogram tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan taraf 5 persen. (Bars with the same letter are not significantly different based on Duncan's multiple range test (0,05))

(8)

meningkatkan peranan JMA dalam memacu pertumbuhan semai jelutung. Tanpa pemberian pupuk SP 36, berat kering pucuk semai jelutung hanya 0,77 gram. Memberikan pupuk SP 36 sebanyak 25 ppm dapat meningkatkan berat kering pucuk tanaman jelutung menjadi sebesar 1,60 gram. Takaran optimal pupuk SP 36 yang dapat diberikan pada jelutung yang terkolonisasi JMA adalah 100 ppm. Pada takaran 100 ppm berat kering pucuk tanaman jelutug terbesar yakni 3,53 gram. Memberikan pupuk SP 36 sebanyak 150 ppm, berat kering pucuk semai jelutung yang terkolonisasi JMA mulai menurun. Pada takaran 150 ppm berat kering pucuk semai jelutung hanya 2,03 gram. Inokulasi dengan JMA pada semai jelutung memperlihatkan berat kering pucuk tanaman lebih baik dibandingkan tanpa inokulasi JMA.

5. Serapan P tanaman

Perbedaan tanggap serapan P semai jelutung terhadap masing-masing takaran pupuk SP 36 yang diinokulasi dengan Glomus sp 3 pada umur 14 minggu setelah penyapihan disajikan dalam Gambar 5. Perlakuan pemupukan SP 36 dan inokulasi dengan Glomus sp 3 berbeda nyata terhadap serapan P tanaman semai jelutung dibandingkan dengan takaran pupuk SP 36 yang sama tanpa inokulasi dengan Glomus sp 3. Semai

jelutung pada masing-masing takaran pupuk 75 ppm, 100 ppm, dan 125 ppm meningkatkan serapan P tanaman semai berturut-turut sebesar 313,06 %, 342,99 %, dan 467,83 %. Semai jelutung dengan perlakuan inokulasi

Glomussp 3 pada takaran pupuk SP 36 0 ppm dapat meningkatkan serapan P tanaman setara dengan perlakuan pemupukan SP 36 pada takaran 100 ppm tanpa inokulasi dengan Glomus

sp 3.

Pada Gambar 34 tersebut memperlihatkan bahwa pemberian pupuk SP 36 dapat meningkatkan peranan JMA dalam memacu pertumbuhan semai jelutung. Tanpa pemberian pupuk SP 36, P yang diserap oleh semai jelutung yang terkolonisasi JMA hanya 2,42 mg. Memberikan pupuk SP 36 sebanyak 25 ppm pada semai jelutung dapat meningkatkan serapan P menjadi sebesar 5,32 mg. Takaran optimal pupuk SP 36 yang dapat diberikan pada semai jelutung yang terkolonisasi JMA adalah 100 ppm. Pada takaran 100 ppm unsur P yang terserap tanaman jelutung paling banyak yakni sebesar 13,92 mg. Memberikan pupuk SP 36 sebanyak 150 ppm, penyerapan P oleh semai jelutung yang terkolonisasi JMA menurun. Pada takaran 150 ppm P yang terserap oleh semai jelutung hanya 6,63 mg.

(9)

Hasil penelitian ini membuktikan bahwa semai jelutung meningkat pertumbuhannya dengan pemupukan SP 36 takaran 100 ppm yang diinokulasi dengan Glomus sp 3. Hal ini diduga sesuai dengan kriteria kimia tanah gambut dengan kandungan P tersedia tergolong sangat rendah, dengan penambahan pupuk SP 36 takaran 100 ppm sudah mampu menigkatkan pertumbuhan semai jelutung. Secara umum peningkatan per-tumbuhan akibat infeksi mikoriza ditemu-kan di tanah dengan konsentrasi P rendah (Marschner, 1986). Keuntungan dari ke-beradaan mikoriza yang telah banyak diketahui adalah meningkatkan serapan P oleh tanaman, walaupun sesungguhnya serapan unsur-unsur hara N, K dan air juga ikut meningkat. Berdasarkan sifat asosiasi antara JMA dengan tanaman, maka manfaat JMA ini akan secara nyata terlihat jika kondisi tanahnya miskin hara, sedangkan pada kondisi tanah yang subur, peran JMA tidak jelas (Benyamin, 2000).

Pembentukan JMA maksimum akan dicapai pada tanah yang kurang subur. Menurut Baon (1999), pembentukan mikorisa berbanding terbalik dengan kesuburan tanah, terutama dalam hu-bungannya dengan ketersediaan P, N dan K. Baik N maupun P bila terdapat dalam tingkat ketersediaan yang tinggi akan mengurangi kolonisasi JMA pada akar tanaman.

Dari beberapa hasil penelitian dilaporkan bahwa dilakukannya pe-mupukan P akan menurunkan derajat infeksi mikoriza. Kahiluoto (2000), melaporkan bahwa makin tinggi takaran pemupukan P pada tanaman jagung, makin sedikit infeksi mikoriza, begitu juga pada tanaman tomat, tembakau dan gandum. Selain pupuk P yang memberi pengaruh negatif terhadap infeksi mikoriza, pupuk N ternyata mempunyai pengaruh yang sama, tetapi pengaruh pemberian pupuk N lebih kecil dari pengaruh pemberian pupuk P. Namun demikian jika tanahnya sangat miskin P dan N,

Keterangan: Huruf yang sama pada histogram tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan taraf 5 persen. (Bars with the same letter are not significantly different based on Duncan's multiple range test (0,05))

Gambar 5. Pengaruh takaran pupuk SP 36 dan inokulasi JMA terhadap serapan P semai jelutung pada umur 14 minggu setelah penyapihan. (Effect of dosage SP 36 and AMF inoculation for P uptake on jelutung at 14 weeks after weaning).

(10)

pemberian pupuk P dan N dalam takaran rendah akan meningkatkan infeksi mikoriza serta dapat memperbaiki pertumbuhan tanaman inangnya. Menurut Schubert & Hayman (1978), pemberian pupuk P takaran 100 ppm meningkatkan infeksi mikoriza dan dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman inangnya, se-dangkan menurut Abbott & Robson (1978), takaran pupuk P tertinggi adalah 133 ppm dan menurut Amijee

et al., (1989) adalah 140 ppm.

6. Pengaruh takaran pupuk SP 36 terhadap tingkat ketergantungan jelutung pada inokulasi JMA

Memperhatikan pengaruh pupuk SP 36 terhadap pertumbuhan semai perepat dan jelutung yang sudah diinokulasi dengan Glomussp 3 seperti yang sudah dipaparkan di atas, maka perlu diketahui apakah pupuk SP 36 dapat menurunkan tingkat ketergantungan (RFMD) tanaman perepat dan jelutung seperti yang

tertera dalam Tabel 1.

Tabel 1. Rataan pengaruh takaran pupuk SP 36 dan inokulasi dengan Glomus sp 3 terhadap nilai persen infeksi, RFMD dan nilai kekokohan semai jelutung (The average effect of the dosage SP 36 and Glomus sp 3 inoculation of the value of percent infection, RFMD and the robustness of jelutung) Takaran pupuk Persen Infeksi (%) Tingkat Ketergantungan Nilai Kekokohan Semai SP 36 (%) 0 0 0 4,33 25 46,00 55,61 4,09 50 43,00 55,72 3,42 75 56,00 68,26 3,10 100 73,00 77,96 3,00 125 66,00 79,14 2,88 150 50,00 69,18 2,66

Nilai RFMD tanaman jelutung yang diinokulasi dengan jenis JMA dengan pemupukan SP 36 antara 55,61 % samapai dengan 79,14 % dengan nilai rata-rata 67,64 %. Ini berarti tingkat ketergantungan semai jelutung yang diinokulasi dengan JMA dan dengan pemupukan SP 36 adalah tergolonghighly dependent.

Kemampuan suatu tanaman me-nyerap fosfor dari P yang tidak tersedia, seringkali diduga menjadi faktor utama yang menyebabkan perbedaan tingkat ketergantungannya.

Menurut Ba et al., (2000) bahwa tingkat ketergantungan tanaman terhadap asosiasi JMA juga dipengaruhi oleh kondisi unsur P yang tersedia dalam tanah dan kandungan P yang terdapat dalam tanaman. Selain itu morfrologis sebagaimana sifat fisiologi akar bisa mempengaruhi nilai ketergantungan (Siddiqui et al., 2008). Oleh karena itu menurut Declerk (1995) morfologi perakaran seperti geometri akar, tingkat pertumbuhan akar, densitas dan panjang akar lateral seringkali digunakan sebagai indikator

(11)

untuk menentukan ketergantungan tanaman dengan mikoriza. Lebih lanjut menurut Marschner (1986), peningkatan pertumbuhan tanaman akibat asosiasi mikoriza ditemukan pada tanah dengan konsentrasi P yang rendah. Peningkatan kadar P tanah menurunkan tingkat kolonisasi akar oleh JMA. Kolonisasi akar lebih ditentukan oleh kadar hara yang terdapat di dalam akar dibandingkan dengan eksudat yang dikeluarkan akar (Marschner, 1986). Tumbuhan berakar kasar menunjukkan respon tinggi pada infeksi JMA. JMA mampu menyerap fosfor organik yang baru dimineralisasi (Paul & Clark, 1989.

Nilai kekokohan semai diperoleh dengan membandingkan pertumbuhan tinggi semai (cm) dengan pertumbuhan diameter semai (mm). Dengan demikian besar kecilnya nilai kekokohan semai dipengaruhi oleh pertumbuhan tinggi dan perkembangan diameter semai. Ke-kokohan semai menunjukkan kelayakan semai untuk ditanam ke lapangan (Roller, 1977). Lebih lanjut dijelaskan bahwa semai yang kokoh adalah semai yang memiliki keseimbangan yang lebih baik antara pertumbuhan tinggi dan dia-meternya. Nilai kekokohan semai yang baik berkisar antara nilai 4 sampai dengan 5. Namun dari hasil analisis statistik menunjukkan bahwa nilai kekokohan semai jelutung untuk semua perlakuan adalah di bawah nilai 5. Hasil penelitian pada semai jelutung yang dipupuk dengan SP 36 takaran 25 ppm memberikan nilai kekokohan semai sama dengan nilai standar yaitu 4,09, artinya tanaman sudah layak dipindah ke lapangan.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Pada percobaan hasil pengujian takaran pupuk SP 36 pada semai jelutung yang diinokulasi JMA jenisGlomussp 3 membuktikan bahwa takaran pupuk 100 ppm yang terbaik, kemudian diikuti takaran pupuk 125 ppm memacu pertumbuhan semai jelutung.

Saran

Secara umum dapat disarankan bahwa JMA jenis Glomus sp 3 yang dikombinasikan dengan pemberian pupuk SP 36 takaran 100 ppm dapat dimanfaatkan secara luas meningkatkan bibit jelutung (D.lowii

Hook) pada tanah gambut di persemaian.

Ucapan Terima Kasih

Ucapan terima kasih ditujukan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI), DEPDIKNAS atas bantuan dana penelitian melalui program penelitian Hibah Bersaing No. 2158/H22.13/PL/2010.

DAFTAR PUSTAKA

Abbott, L.K. and Robson, A.D. 1978. Growth of subterranean clover in relation to the formation of endomycorrhizas by introduced and indigenous fungi in a field soil. New Phytologist 81: 575-585

Amijee, F., Tinker, P.B. and Stribley, D.P. 1989. The development of endo-mycorrhizal root system. VII. A. A detailed study of effects of soil phosphorus on colonization. New Phytologist

(12)

Andriesse, J. P. 1988. Nature and Management of Tropical Peat Soils. Soil Resources, Management and Conservation Service. FAO Land and water Development Division. FAO, Rome. 165 hal.

Ba, AM., Plenchette C., Danthu P., Duponnois R., and Guissou T. 2000. Functional compatibility of two arbuscular mycorrhizae with thirteen fruit trees in Senegal. Agroforestry. Syst.

34:129-137.

Baon, JB. 1999. Pemanfaatan jamur mikoriza arbuskula sebagai pupuk hayati dibidang perkebunan. Work-shop Mikoriza oleh Asosiasi Mikoriza Indonesia. PAU Bio-teknologi IPB. Bogor.

Benyamin, L. 2000. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Bowen, G.D and Smith, S.E. 1981. The Effects of Mycorrhizas on Nitrogen Uptake by Plants. In F.E Clarks and T. Rosswall (Ed). Terresterial Nitrogen Cycles. Processes, Ecosystem Strategies and Manage-ment Impacts. Swedish National Science Research Council, Stockholm. Ecol. Bull.

Cardoso, JA., de Lemos., EEP., dos Santos, TMC., Caetano, LC., and Nogueira, MA. 2009. Mycor-rhizal dependency of mangaba tree under increaing phosphorus levels. Pesquisa Agropecuaria Brasileira. 43(7): 887-892. Declerck, S., Plenchette, C., and

Strullu, DG. 1995. Mycorrhizal deendency of banana (Musa acuminata, AAA group) cultivar.

Plant soil. 176:183-187.

Djuwansah, M. 2000. Some characteris-tics of tropical podzol in Kalimantan. Dalam Proceedings of the International Symposium on Tropical Peat Lands. Bogor, Indonesia 22-24 November 1999. The Indonesian Institute of Sciences, Bogor. Hal.33-40.

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Terjemahan. Badan LITBANG Kehutanan. Jakarta. Kahiluoto, H., Ketoja, E., and

Vestberg, M. 2000. Promotion of utilization of arbuscular mycorrhiza throught reduced fertilization. Bioassays in a growth chamber. Plant and siol. 227(1-2): 191-206.

Kimmin, J. P. 1997. Forest Ecology. Prentice-Hall, Inc. New Jersey. Marschner, H. 1986. Mineral

Nutrition in Higher Plants. Acad. Press Inc. London.

Martin,E., Syaiful,I dan Teten,R.S. 2004. Pengaruh Endomikoriza dan Media semai Terhadap pertumbuhan Pulai, Bungur, Mangium da Sungkai di Persemaian. BPPK DEP Kehutan-an. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. Vol 1. no 3. 87-131.

Muin. A. 2003. Penanaman ramin (Gonystylus bancanus Miq.Kurz) pada areal bekas tebangan dengan inokulasi CMA dan pemupukan fosfat alam terhadap bibit di persemaian. Laporan hasil penelitian hibah bersaing XI. Lemlit.(Tidak dipublikasi). Paul, E. A. and Clark, F. E. 1989. Soil

Microbiology and Biochemistry. Academic Press, Inc. San Diego, California.

(13)

Pearson, B.J.N., Abbott,L.K., & Jasper,D.A. 1994. Phosphorus, soluble carbohydrates and the competition between two arbuscular mycorrhizal fungi colonizing Trifolium. New Phytologist127: 101-106.

Pfleger, F.L., Stewart,E.L and Noyd,R.K 1994. Role VAM fungi in Mine land revegation. Dalam Pfleger, F. L dan R. G. Linderman. Penyunting. Mycorrhizae and Plant Health. The American Phytopatological Society. Minnesota.

Radjagukguk, B. 2000. Perubahan Sifat-sifat Fisik dan Kimia Tanah Gambut Akibat Reklamasi Lahan Gambut untuk Pertanian, dalam: Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. Yogyakarta. Vol. 2. No. 1. hal. 1 – 16.

Rillig, M. C., dan D. L. Mummey. 2006. Mycorrhizas and Soil Structure. New Phytologist. 171: 41-53.

Roller, J.K. 1977. Suggested minimum standard for containerized seedling in Novia scotia. Canadian Forestry Service Departement of Fisheries and Environment.Canada.

Schubert, A. and Hayman, D.S. 1978. Plant growth responses to vesicular-arbuscular

mycorrhizae. XVI. Effectivenes of different endophytes at different levels of soil phosphate.

New Phytologist103:79-80

Siddiqui, Z.A., Akhtar, M.S., and Futai, K. 2008. Mycorrhizae: Sustainable Agriculture and Forestry. Springer Science + Business Media B.V:3-34

Subagyo, H. 2000. Inventarisasi karak-teristik tanah gambut sebagai penunjang pengelolaan hutan produksi lestari. Dalam Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan Rawa Gambut dan Ekspose Hasil Penelitian di Hutan Lahan Basah di Balai Teknologi Reboisasi Banjar-baru; Banjarbaru 9 Maret 2000. PUSLITBANG Hutan dan Konser-vasi Alam Bogor. Hal: 126-137.

Trisilawati, O dan Yusron, M. 2009. Pengaruh pemupukan P terhadap produksi dan serapan P tanaman nilam (Pogostemon cablin).

Indo-nesian Medicinal and

Aromatic Crops Research

Institute.Bogor 13: 42-49.

Turjaman, M., Saito, H., Santoso, E., Susanto, A., Sampang, G., Limin, S.H., Shibuya, M., Takahashi, K., Tamai, Y., Osaki, M & Tawaraya, K. 2007. Effect of ectomycorrhizal fungi inoculated on Shorea balangeran

under field condition in peat-swamp forest. Dalam Proceeding International

Sym-posium and Workshop on

Tropical Peatland. Carbon-Climate-Human interaction-Carbon Pools, Fire, Mitigation, Restoration and Wise Use. Yogyakarta. Indonesia.

Weissenhorn, I.C., dan Levyal, J. B. 1995. Bioavailability of Heavy-metals and Abunace of Arbuscular Mycorrhizal (AM) in Soil Polluted by Atmospheric Deposition from a Smelter. Bio. Fertil. Soil. 19:22-2

Gambar

Gambar 1. Pengaruh takaran pupuk SP 36 dan inokulasi JMA terhadap tinggi semai jelutung pada umur 14 minggu setelah penyapihan
Gambar 2. Pengaruh takaran pupuk SP 36 dan inokulasi JMA terhadap diameter semai jelutung pada umur 14 minggu setelah penyapihan
Gambar 4 tersebut menunjukkan bahwa pemberian pupuk SP 36 dapatKeterangan: Hurufyang sama pada histogram tidak berbeda nyata berdasarkanuji jarak
Gambar 5. Pengaruh takaran pupuk SP 36 dan inokulasi JMA terhadap serapan P semai jelutung pada umur 14 minggu setelah penyapihan

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan yaitu mengenai pengaruh kesadaran wajib pajak, pelayanan fiskus, dan sanksi pajak terhadap kepatuhan

Perancangan sistem komunikasi ini dilakukan dengan mengirimkan data secara terus menerus untuk sistem autonomous dan mengirimkan data lokasi apabila sensor mendeteksi

Dimana kapal akan bergerak sesuai dengan garis yang telah ditentukan oleh user, pada penelitian ini juga akan digunakan pengolahan citra untuk mendapatkan lokasi

Pada mata kuliah yang diajarkan di perkuliahan teori, dalam hal ini SKI, Fisika, Mekatronika, dan juga Otomasi Industri, apakah mahasiswa sudah pernah diajarkan mengenai

Dalam hal penerapan sanksi pidana berupa kurungan badan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh Kapal Ikan Asing (KIA) di Wilayah Pengelolaan Perikanan

Adapun teknik dasar yang perlu dikuasai dalam permaian bola basket adalah : melempar bola (passing), menangkap bola (catcing), menggiring bola (dribbling), menembak bola

Tujuan kegiatan praktikum di laboratorium psikologi; (1) memberikan pelayanan yang mendukung kemampuan praktis melalui praktikum, pelatihan pada program studi psikologi dan

Konsep-konsep dasar tersebut seperti simbol-simbol unsur, rumus kimia suatu senyawa, pernyataan bahwa jumlah molekul dalam persamaan reaksi diwakili oleh koefisien reaksi serta