• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENETAPAN HAKIM DALAM PENGANGKATAN ANAK BAGI YANG BERAGAMA ISLAM (Studi Putusan di Pengadilan Negeri Salatiga dan Pengadilan Agama Salatiga) - Test Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENETAPAN HAKIM DALAM PENGANGKATAN ANAK BAGI YANG BERAGAMA ISLAM (Studi Putusan di Pengadilan Negeri Salatiga dan Pengadilan Agama Salatiga) - Test Repository"

Copied!
207
0
0

Teks penuh

(1)

i

SKRIPSI

Disusun Guna Memenuhi Syarat Tugas Akhir Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I)

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) SALATIGA

Oleh :

Eti Fatmawati 21107019

JURUSAN SYARIAH

PROGRAM STUDI AHWAH AL SYAKHSHIYYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

(2)
(3)
(4)
(5)

v

Motto

Hidup yang tak menghasilkan apa-apa berarti hidup tiada guna.

Persembahan

1. Untuk Alm Bapakku yang selalu mendo’akanku. Terima

kasih Pak atas jasa-jasanya selama ini hingga aku bisa menyelesaikan pendidikan sampai saat ini.

2. Untuk ibukku tercinta paling aku sayang yang selalu

mencurahkan do’anya. Yang selalu mendukungku.

Senantiasa mendampingiku apapun suasananya.

Terimakasih buk karena do’a restu buklah aku bisa sampai

saat ini.

3. Untuk bapakku sekarang, Pak Sugiyanto selaku pelatihku. Terima kasih Pak, karena Pae telah ikhlas mengasuhku, untuk menjadikan atlet.

4. Untuk sahabatku ( Rika dan Feby ) yang telah memberi keceriaan padaku.

5. Untuk teman-teman seperjuangan Ahs. 07. Semangat . . . !!! Semoga kita semua diberi keberhailan. Amin . . . .

6. Untuk ibu Luffiana Zahriani MH, selaku pembimbing skripsiku.

7. Untuk ibu Evi Ariyani MH yang telah memberi masukan-masukan skripsiku dan sering ngajak pulang bareng.

8. Untuk segenap pihak yang telah membantuk skripsiku.

(6)

vi

limpahan rahmat dan karunia-Nya yang diberikan kepada kita semua sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat di dalam skripsi ini Penulis menyadari terselesaikannya skripsi ini juga berkat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga Dr. Imam Sutomo, M.Ag. 2. Ketua Jurusan Syari’ah Drs. Mubasirun, M.Ag

3. Ketua Jurusan Program Studi Ahwal Al Syakhshiyyah Ilyya Muhsin, SHI. M.Si

4. Ketua Pengadilan Negeri Salatiga Sigit Sutriono, SH, M.HUM 5. Ketua Pengadilan Agama Salatiga Drs. Umar Muchlis 6. Ibu Lutfiana Zahriani M.H selaku dosen pembimbing 7. Segenap dosen jurusan syariah

8. Ibu yang ada di rumah

9. Bapak Sugiyoto selaku pelatih lari 10.Teman-teman Ahs. 07

11.Semua pihak yang telah rela membantuku demi terselesaikannya skripsi yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu.

(7)

vii

Ahwal Al Syakhsiyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing : Lutfiana Zahriani MH.

Kata kunci : Pengangkatan anak bagi yang beragama Islam.

Pengangkatan anak merupakan upaya yang dilakukan manusia untuk mendapatkan anak, bagi yang belum memiliki keturunan upaya yang dilakukan untuk mengangkat anak harus melalui lembaga pengadilan. Tetapi dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 perubahan atas undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama, bahwa pengadilan agama diberi kewenangan untuk memeriksa dan mengadili permohonan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam. tetapi dalam SEMA No 6 Tahun 1983 tentang penyempurnaan SEMA No 2 Tahun 1979 tentang pengangkatan anak mengatur prosedur hukum mengajukan permohonan pengesahan dan /atau permohonan pengangkatan anak antara WNI – WNI, WNI – WNA, memeriksa dan mengadilinya oleh Pengadilan yaitu tetap dalam pilihan hukum Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama. Maka dari itu pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah 1. Bagaimana prosedur pengangkatan anak pada Pengadilan Negeri Salatiga dan Pengadilan Agama Salatiga dalam penetapan pengangkatan anak yang beragama Islam? 2. Apa dasar hukum hakim Pengadilan Negeri Salatiga dan Pengadilan Agama Salatiga dalam penetapan pengangkatan anak yang beragama Islam ? 3. Apakah pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Salatiga dan Pengadilan Agama Salatiga dalam penetapan pengangkatan anak bagi yang beragama Islam ? 4. Bagaimana ketentuan Pengadilan Negeri Salatiga dan Pengadilan Agama Salatiga dalam penetapan pengangkatan anak bagi yang beragama Islam ?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut menggunakan jenis penelitian yuridis normatif yaitu dengan mengacu pada bahan pustaka dan data yang nyata yang menggambarkan situasi dan kejadian tentang pengangkatan anak. dengan sifat penelitian deskriptif analitis yang menggambarkan tentang manusia dan gejala lainnya, melakui pendekatan kualitatif serta melakukan penelitian dengan terjun langsung dilapangan yakni di Pengadilan Negeri Salatiga dan Pengadilan Agama Salatiga. KemudiaN dilengkapi dengan data-data yang menunjang terselesaikannya skripsi ini.

(8)

viii

baik, pemohon sayang dan perhatian terhadap anak tersebut. Ketentuan penetapan pengangkatan anak bagi yang beragama Islam di Pengadilan Negeri Salatiga dan Pengadilan Agama Salatiga diantaranya : mengenai kedudukan anak angkat, hak kewarisan dan motivasi pengangkatan anak.

(9)

ix

Pengesahan Keaslian ... iii

Lembar Pengesahan ... iv

Motto dan Persembahan ... v

Kata Pengantar ... vi

Abstrak ... vii

Daftar Isi ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Metodologi Penelititan ... 8

F. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II KONSEP TENTANG PENGANGKATAN ANAK DAN PROSEDUR PENGANGKATAN ANAK MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ... 19

A. Pengertian Dan Tinjauan Umum Mengenai Beberapa Istilah Anak Angkat ... 19

B. Dasar Hukum Pengangkatan Anak ... 23

C. Prosedur dan Acara Pemeriksaan Permohonan Pengangkatan anak dalam SEMA No 6 Tahun 1983 yang secara teknis ada penyempurnaan SEMA No 2 Tahun 1979 ... 25

D. Motivasi Pengangkatan Anak ... 36

E. Hak-Hak dan Kewajiban Anak Angkat ... 38

(10)

x

J. Penentuan Nasab terhadap Anak Angkat ... 59

BAB III GAMBARAN UMUM PENGADILAN NEGERI SALATIGA DAN PENGADILAN AGAMA SALATIGA DALAM PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN NEGERI SALATIGA DAN PENGADILAN AGAMA SALATIGA ... 64

A. Gambaran Umum Tentang Pengadilan Negeri Salatiga dan

Pengadilan Agama Salatiga... 64 B. Prosedur Beracara di Pengadilan Negeri Salatiga dan Pengadilan

Agama Salatiga dalam perkara permohon ... 81 C. Penetapan Pengangkatan Anak di Pengadilan Negeri

Salatiga dan Pengadilan Agama Salatiga bagi yang beragama

Islam ... 86 D. Penetapan Prosedur Pengangkatan Anak Di Pengadilan Negeri

Salatiga Dengan Pengadilan Agama Salatiga Bagi Yang Beragama Islam ... 92 E. Penetapan Permohonan Pengangkatan Anak Di Pengadilan Negeri

Salatiga Dengan Pengadilan Agama Salatiga Bagi Yang Beragama Islam ... 101

BAB IV PROSEDUR PENGANGKATAN ANAK, DASAR HUKUM,

PERTIMBANGAN HAKIM DAN PERBEDAAN KETENTUAN

PENGADILAN NEGERI SALATIGA DAN PENGADILAN AGAMA SALATIGA DALAM PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK BAGI YANG BERAGAMA ISLAM ... 146

A. Prosedur Penetapan Pengangkatan Anak di Pengadilan Negeri Salatiga dan Pengadilan Agama Salatiga bagi yang beragama

(11)

xi

Pengadilan Agama Salatiga Dalam Penetapan Pengangkatan

Anak Bagi Yang Beragama Islam ... 151

D. Ketentuan Pengadilan Negeri Salatiga dan Pengadilan Agama Salatiga dalam Penetapan pengangkatan anak bagi yang beragama Islam ... 155

BAB V PENUTUP ... 160

A. Kesimpulan ... 160

B. Saran ... 162 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(12)

1 A. Latar Belakang

Keinginan untuk mempunyai anak adalah naluri manusiawi dan alamiah. Akan tetapi kadang-kadang naluri ini terbentur pada takdir Ilahi, dimana kehendak mempunyai anak tidak tercapai. Artinya tidak semua manusia yang ingin memiliki anak dapat tercapai keinginannya tersebut, karena Tuhan berkehendak lain. Hak asasi manusia merupakan bagian yang termuat Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserkatan Bangsa-Bangsa tentang hak-hak anak. Dilihat dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara anak adalah pewaris dan sekaligus potret masa depan bangsa di masa datang, generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

Pada umumnya manusia tidak puas dengan apa yang dialaminya, sehingga berbagai usaha dilakukan untuk memenuhi kepuasan atau kebutuhan tersebut. Dalam hal ini salah satu upaya yang dilakukan banyak orang untuk mendapatkan anak, salah satunya dengan cara mengangkat anak.

(13)

kedudukan anak angkat, Islam dan Undang-Undang memiliki aturan yang berbeda sehingga hak anak angkat dalam pandangan Islam dan Undang-Undang berbeda. Secara historis, pengangkatan anak (adopsi) sudah dikenal dan berkembang sebelum kerasulan Nabi Muhammad SAW. Istilah pengangkatan anak dikenal dengan At-Tabanni dan sudah ditradisikan secara turun-temurun. Secara faktual diakui bahwa pengangkatan anak telah menjadi adat kebiasaan masyarakat muslim di Indonesia dan telah merambah dalam praktik melalui lembaga peradilan agama, maka sebelum terbentuknya Undang-Undang yang mengatur secara khusus, Presiden Republik Indonesia telah mengeluarkan keputusan nomor 36 Tahun 1990 Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak) serta pengesahan kesejahteraan anak dari hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggungjawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasar putusan pengadilan.

Masih berkaitan dengan persoalan pengangkatan anak bahwa definisi anak angkat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, “Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, bahkan anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan kekayaan harta benda lainnya. Karena dalam diri anak melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dilindungi dan dijunjung tinggi“.

(14)

pengangkatan anak yang dilakukan melalui pengadilan tersebut telah berkembang baik dilingkungan Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama.

Untuk mewujudkan tercapainya peradilan yang mewujudkan tercapainya keadilan, maka masing-masing badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung mempunyai kewenangan mengadili perkara guna menegakkan hukum dan keadilan sebagai berikut.

 Peradilan umum berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

 Peradilan Agama berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 Peradilan militer berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 Peradilan tata usaha Negara berwenang memeriksa, mengadili memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(15)

mencakup segala bentuk tindak pidana, kecuali tindak pidana militer yang merupakan kewenangan peradilan militer. Sedangkan dalam perkara perdata, pengadilan negeri berwenang mengadili perkara perdata secara umum, kecuali perkara perdata tertentu yang merupakan kewenangan pengadilan agama.

Kewenangan pengadilan negeri mengadili perkara perdata mencakup perkara perdata dalan bentuk gugatan dan perkara permohonan. Perkara perdata gugatan adalah perkara yang mengandung sengketa antara dua pihak atau lebih yang disebut Penggugat dan tergugat. Sedangkan perkara permohonan adalah perkara yang tidak mengandung sengketa dan hanya ada satu pihak, yang disebut pemohon. Perkara yang tidak mengandung sengketa disebut juga dengan perkara volunter, sedangkan perkara yang mengandung sengketa disebut perkara contensius.

Pengangkatan anak terbagi dalam dua pengertian, yaitu: pertama, pengangkatan anak dalam arti luas. Ini menimbulkan hubungan nasab sehingga ada hak dan kewajiban selayaknya antara anak sendiri terhadap orang tua sendiri. kedua, ialah pengangkatan anak dalam arti terbatas. yakni pengangkatan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri dan hubungan antara anak yang diangkat dan orang tua yang mengangkat hanya terbatas pada hubungan sosial saja.(Soeroso R, 2001 : 176)

(16)

permohonan yang sering diajukan ke pengadilan adalah permohonan pengesahan pengangkatan anak. Pada awalnya, lembaga peradilan yang berwenang memeriksa permohonan pengangkatan anak adalah pengadilan negeri. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 2006 perubahan Atas Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pengadilan agama diberi kewenangan untuk memeriksa dan mengadili permohonan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam. Dengan adanya Undang-Undang tersebut, kewenangan mengadili permohonan pengangkatan anak bagi pemohon beragama Islam beralih dari pengadilan negeri ke pengadilan agama, namun pengadilan negeri masih menerima dan mengadili permohonan pengangkatan anak bagi pemohon beragama Islam. Hal ini menimbulkan permasalahan tentang kewenangan pengadilan negeri terhadap permohonan pengangkatan anak yang diajukan oleh pemohon beragama Islam setelah berlakunya Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 2006.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis menyusun skripsi dengan judul “Penetapan Hakim Dalam Pengangkatan Anak Bagi Yang Beragama Islam (studi kasus di Pengadilan Negeri Salatiga dan

(17)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi pokok permasalahan kajian penulis skripsi adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana prosedur penetapan pengangkatan anak Pengadilan Negeri Salatiga dan Pengadilan Agama Salatiga bagi yang beragama Islam?

2. Apa dasar hukum hakim Pengadilan Negeri Salatiga dan Pengadilan Agama Salatiga dalam penetapan pengangkatan anak bagi yang beragama Islam?

3. Bagaimana pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Salatiga dan Pengadilan Agama Salatiga dalam penetapan pengangkatan anak bagi yang beragama Islam?

4. Apakah ketentuan Pengadilan Negeri Salatiga dan Pengadilan Agama Salatiga Dalam Penetapan Pengangkatan Anak Bagi Yang Beragama Islam?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang telah dikemukan diatas, maka tujuan utama penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui prosedur Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama Salatiga dalam pengangkatan anak bagi yang beragama Islam.

(18)

3. Untuk mengetahui pertimbangan hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama Salatiga dalam penetapan pengangkatan anak yang diajukan oleh pemohon beragama Islam.

4. Untuk mengetahui Ketentuan Pengadilan Negeri Salatiga dan Pengadilan Agama Salatiga Dalam Penetapan Pengangkatan Anak Bagi Yang Beragama Islam.

D. Manfaat Penelitian

Setiap penelitian mempunyai manfaat karena menghasilkan informasi yang aktual dan akurat sehingga dapat digunakan untuk menjawab dan memecahkan permasalahan dalam penelitian baik secara teoritis maupun praktis. Manfaat teoritis yaitu sebagai langkah pengembangan ilmu lebih lanjut dan manfaat berwujud kegiatan yang nyata yang dapat diaplikasikan oleh pihak-pihak yang terkait.

Dilihat dari dua sudut pandang di atas, manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya masukan bagi teori hukum syariah terutama dalam memutuskan perkara pengangkatan anak pada Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama Salatiga.

(19)

2. Manfaat Praktis a. Bagi Peneliti

Diharapkan dengan peneltian ini dapat meningkatkan wawasan serta pengetahuan khususnya putusan perkara pengangkatan anak pada Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama Salatiga.

b. Bagi Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama Salatiga diharapkan hasil penelitian ini dapat berguna sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam menyusun berbagai kebijakan yang berkaitan dengan kompensasi, kesempatan pengembangan karir, komunikasi dan partisipasi pekerja di waktu mendatang dalam hubunganya dengan perwujudan perkara pengangkatan anak dalam memperlancar pencapaian tujuan Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama Salatiga.

E. Metodologi Penelitian

Dalam suatu penelitian diperlukan suatu data yang dapat menunjang penyelesaian penelitian itu sendiri, sehingga dapat memperoleh hasil penelitian yang dapat dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan, oleh karena itu diperlukan suatu metode tertentu. Metode adalah suatu sarana pokok pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, oleh karena suatu penelitian bertujuan untuk mengungkap kebenaran secara sistematis, metodologis, konsisten dengan mengadakan analisa dan konstruksi.

(20)

Maka metode penelitian adalah cara yang teratur dan berpikir secara runtut dan baik dengan menggunakan metode ilmiah yang bertujuan untuk menemukan, mengembangkan dan guna menguji kebenaran maupun ketidakbenaran dari suatu pengetahuan, gejala atau hipotesa. Adapun metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah pendekatan yang terkait dengan masalah secara sistematik dan akurat mengenai bahan pustaka atau data yang nyata, serta data yang menggambarkan situasi atau kejadian tentang pengangkatan anak di Pengadilan Negeri Salatiga dan Pengadilan Agama Salatiga. 2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang penulis disusun adalah termasuk penelitian yang bersifat deskriptif analistis. Penelitian deskriptif analistis menurut Soerjono Soekanto adalah suatu penelitian yang dimaksud untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksudnya adalah terutama mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka penyusunan kerangka baru. (Soejono Soekanto, 2001 : 10).

(21)

analisa dan interpretasi data yang pada akhirnya dapat diambil kesimpulan-kesimpulan yang dapat didasarkan penelitian data itu.

3. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis pendekatan kualitatif, yaitu pendekatan yang digunakan oleh peneliti dengan mendasarkan pada data-data yang dinyatakan informan secara lisan atau tulisan, dan juga perilaku yang nyata, diteliti dan dipelajari sebagai suatu yang utuh. (Soejono Soekanto, 2001 : 250).

4. Lokasi Penelitian

Untuk memperoleh data-data yang diperlukan, maka penulis melakukan penelitian dengan mengambil lokasi pengadilan agama dan pengadilan negeri salatiga dengan pertimbangan bahwa di Pengadian Negeri dan Pengadilan Agama Salatiga tersedia data yang berkaitan dengan tema penelitian.

5. Jenis dan Sumber Data

Secara umum, maka di dalam penelitian biasanya dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Yang diperoleh dari masyarakat dinamakan data primer, sedangkan yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimnya dinamakan data sekunder. (Soejono Soekanto, 2001 : 51).

(22)

a. Data Primer

Adalah sejumlah keterangan atau fakta yang diperoleh secara langsung dengan melakukan wawancara pada Hakim Pengadilan Negeri Salatiga dan Hakim Pengadilan Agama Salatiga, dan penetapan hakim tentang pengangkatan anak di Pengadilan Negeri Salatiga dan Pengadilan Agama Salatiga bagi yang beragama Islam.

b. Data Sekunder

Adalah sejumlah keterangan atau fakta yang diperoleh secara tidak langsung, tetapi melalui penelitian kepustakaan.

1) Bahan Hukum Primer

Yaitu norma atau kaidah dasar, peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini yang menjadi bahan hukum primer adalah lain :

a) Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 2006 b) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 c) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 d) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979

e) Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979 tertanggal 7 April 1979.

f) Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 6 Tahun 1983.

(23)

i) Beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung dan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

(Soimin, 2004 : 28) 2) Bahan Hukum Sekunder

Yaitu hasil karya dari kalangan hukum, hasil-hasil penelitian, artikel koran dan internet serta bahan lain yang berkaitan dengan pokok bahasan.

3) Bahan Hukum Tersier atau Penunjang

Yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya bahan dari media internet, kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif dan sebagainya. (Soerjono Soekanto, 2001 : 52).

6. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam suatu penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam penulisan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :

a) Data Primer

(24)

Pengadilan Negeri Salatiga dan Pengadilan Agama Salatiga bagi yang beragama Islam.

b) Data Sekunder

Untuk memperoleh data sekunder adalah dengan penelitian atau kepustakaan atau library research guna memperoleh bahan-bahan hukum.

c) Observasi

Tahap observasi yang terfokus, yaitu mulai menyempitkan data atau informasi yang diperlukan sehingga peneliti dapat menemukan pola-pola perilaku dan hubungan yang terus menerus terjadi. Salah satu peranan pokok dalam melakukan observasi ialah untuk menemukan interaksi yang kompleks dengan latar belakang sosial yang alami. Tujuan observasi adalah mendeskripsikan aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas-aktivitas.

Untuk memperoleh data observasi maka penulis melakukan pengamatan secara langsung disertai pencatatan pada bagian-bagian yang ada pada pengangkatan anak melalui Pengadilan Negeri dan Pengedilan Agama Salatiga.

d) Dokumentasi

(25)

atau informasi maka penulis mencari sumber-sumber referensi buku, serta media internet yang lebih lengkap dalam rangka mendeskripsikan data dan informasi sehingga akan memudahkan dalam proses analisis. 7. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. (Lexy J Maleong, 2002: 103). Penulis menggunakan model analisis interaktif (interaktif model of analysis), yaitu data yang dikumpulkan akan dianalisa melalui 3 tahap, yaitu mereduksi data, menyajikan data, dan menarik kesimpulan. Dalam model ini dilakukan suatu proses siklus antar tahap-tahap, sehingga data yang terkumpul akan berhubungan dengan satu sama lain dan benar-benar data yang mendukung penyusunan laporan penelitian. (HB. Sutopo, 2002 : 35). Tiga tahap tersebut adalah :

a) Reduksi Data

(26)

b) Pengumpulan Data

Penelitian data yang dilakukan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan penelitian yang umum di gunakan dalam suatu penelitian adalah : observasi, wawancara dan kuisioner. (Usman dan Setiady Akbar : 2000:20)

c) Penyajian Data

Sekumpulan informasi yang memungkinkan kesimpulan riset dapat dilaksanakan (HB. Sutopo, 2002 : 36).

d) Menarik Kesimpulan

Setelah memahami arti dari berbagai hal yang meliputi berbagai hal yang ditemui dengan melakukan pencatatan-pencacatan peraturan, pernyataan-pernyataan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat, akhirnya peneliti menarik kesimpulan. (HB. Sutopo, 2002 : 37).

(27)

F. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai sistematika penulisan skripsi yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan ilmiah, maka penulis menyiapkan suatu sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum terbagi dalam 5 (lima) bab yang saling berkaitan dan berhubungan. Sistematika dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan metode penelitian.

BAB II : KONSEP TENTANG PENGANGKATAN ANAK DAN

PROSEDUR PENGANGKATAN ANAK MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

(28)

BAB III : GAMBARAN UMUM, PROSEDUR BERACARA DAN PROSEDUR PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK

DI PENGADILAN NEGERI SALATIGA DAN

PENGADILAN AGAMA SALATIGA BAGI YANG BERAGAMA ISLAM

Bab ini akan diuraikan mengenai gambaran umum Pengadilan Negeri Salatiga dan Pengadilan Agama Salatiga, prosedur beracara di Pengadilan Negeri Salatiga dan Pengadilan Agama Salatiga, prosedur penetapan pengangkatan anak di Pengadilan Negeri Salatiga dan Pengadilan Agama Salatiga bagi yang beragama Islam, Penetapan Permohonan Penetapan anak Pengadilan Negeri Salatiga dan Pengadilan Agama Salatiga bagi yang beragama Islam, analisis penetapan pengangkatan anak di Pengadilan Negeri Salatiga dan Pengadilan Agama Salatiga. Prosedur dasar dari Pengangkatan Pengadilan Negeri Salatiga dan Pengadilan Agama Salatiga.

BAB IV : PROSEDUR PENGANGKATAN ANAK, DASAR

HUKUM, PERTIMBANGAN HAKIM DAN

PERBEDAAN KETENTUAN PENGADILAN

NEGERI SALATIGA DAN PENGADILAN AGAMA

SALATIGA DALAM PENETAPAN

PENGANGKATAN ANAK BAGI YANG

BERAGAMA ISLAM

(29)

Salatiga dalam penetapan pengangkatan anak bagi yang beragama Islam, Pertimbangan Hakim pengadilan Agama Salatiga dalam penetapan pengangkatan anak bagi yang beragama Islam, Perbedaan ketentuan Pengadilan Negeri Salatiga dan Pengadilan Agama Salatiga dalam penetapan pengangkatan anak bagi yang beragama Islam.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi kesimpulan dan saran

DAFTAR PUSTAKA

(30)

19

PERUNDANG-UNDANGAN

A. Pengertian Dan Tinjauan Umum Mengenai Beberapa Istilah Anak Angkat. Sebuah kajian akademik dan kajian yuridis pertama-tama harus menemukan konsep definitif dalam kaitannya tentang anak angkat dan pengangkatan anak, berikutnya asas dan tujuan pengangkatan anak, apa saja hak-hak dan kewajiban anak yang harus mendapat perhatian orang tua, kewajiban dan tanggung jawab terhadap masa depan anak, kedudukan, perwalian terhadap anak angkat, penyelenggaraan perlindungan terhadap anak angkat, dan ketentuan pidana kejahatan terhadap anak angkat. Hal ini dapat kita petik beberapa ketentuan di dalam, Hukum pengangkatan anak yang didalamnya melindungi kehidupan anak. Perlindungan terhadap anak angkat akan memiliki payung hukum yang utuh untuk menjamin masa depan anak angkat agar lebih baik.

(31)

pengangkatan anak di atur dalam Pasal 1 yang dapat ditemukannya beberapa istilah dimaksud, anak itu dapat dikategorikan sebagai anak yang berstatus terlantar, anak yang menyandang cacat, anak yang memiliki keunggulan, anak angkat anak asuh. Masing-masing istilah tersebut telah diberikan pengertiannya secara definitif.

Sedangkan anak angkat diberikan definisi sebagai berikut, anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggungjawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan Republik Indonesia,

(Kamil, 2008:100).

Fuad Muhammad Fachruddin memberikan definisi anak angkat yang berbeda dengan definisi tersebut, yaitu anak angkat dalam konteksi adopsi adalah seorang anak dari seorang ibu dan bapak yang diambil oleh manusia lain untuk dijadikan sebagai anak sendiri. Anak angkat tersebut mengambil nama orang tua angkatnya yang baru dan terputuslah hubungan nasab dengan orang tua.

(Fachruddin, 1991: 41).

(32)

zaman dahulu dari keinginan masyarakat Indonesia yang belum dikarunia anak telah melakukan pengangkatan anak dengan cara dan motivasi yang berbeda-beda, sesuai dengan sistem hukum adat dan perasaan hukum yang hidup serta berkembang di daerah yang bersangkutan. Pemerintah melalui Menteri Sosial menyatakan bahwa, dalam ini kenyataan kehidupan sosial tidak semua orang tua mempunyai kesanggupan dan kemampuan penuh untuk memenuhi kebutuhan pokok anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak. Kenyataan yang demikian mengakibatkan anak menjadi terlantar baik secara rohani, jasmani, maupun sosial.

Di samping itu, meskipun peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengangkatan anak belum mencukupi, telah ada garis asas hukum bahwa "Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya bahkan Pasal 22AB (Algemene Bepalingen van wetgeving vor Indonesia) secara tegas menentukan bahwa hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alas an bahwa peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut untuk dihukum karena menolak mengadili.

(Kamil, 2005 : 9).

(33)

kemampuan untuk menangkap sinyal nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagai hukum rill yang oleh hakim dapat digali sebagai bahan ramuan untuk menciptakan hukum yurisprudensi dalam menangani kasus yang hukum tertulisnya belum mencukupi seperti hukum pengangkatan anak di Indonesia. Temuan hukum oleh hakim (yurisprudensi) tersebut, ke depannya akan menjadi sumber hukum dalam praktik peradilan.

Hukum pengangkatan Pengangkatan dalam hukum adat juga menjelaskan beberapa aspek hukum seperti hukum Islam serta memiliki segi persamaan dengan hukum adopsi yang dikenal dalam hukum barat yaitu masuknya anak dalam keluarga orang tua yang mengangkatnya dan terputusnya hubungan keluarga dengan keluarga atau orang tua kandung anak angkat. Perbedaan dalam hukum adat disyaratkannya suatu imbalan sebagai pengganti kepada orang tua kandung anak angkat biasanya berupa benda-benda yang dikeramatkan atau dipandang memiliki kekuatan magic.

(34)

B. Dasar Hukum Pengangkatan Anak

Pengamatan Mahkamah Agung menghasilkan kesimpulan bahwa permohonan pengesahan dan/atau pengangkatan anak yang telah diajukan ke Pengadilan Negeri tampak kian bertambah, baik yang merupakan permohonan khusus pengesahan/pengangkatan anak yang menunjukkan adanya perubahan, pergeseran, dan variasi-variasi pada motivasinya.

Keadaan tersebut merupakan gambaran bahwa kebutuhan masyarakat tentang pengangkatan anak di tengah-tengah masyarakat makin bertambah dan dirasakan bahwa untuk memperoleh jaminan kepastian hukum hanya didapat setelah memperoleh putusan pengadilan. Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama dalam menjalankan tugas pokok kekuasaan kehakiman, menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya, antara lain permohonan pengesahan atau pengangkatan anak, harus mengacu kepada hukum terapannya. Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa Mahkamah Agung sendiri sebagai penanggung jawab atas pembinaan teknis peradilan mengakui bahwa peraturan perundang-undangan dalam bidang pengangkatan anak Warga Negara Indonesia, terutama pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing ternyata tidak mencukupi, namun ada beberapa peraturan hukum yang dapat dijadikan rujukan bagi hakim dalam menjalankan tugas pokok kekuasaan kehakiman tentang pengangkatan anak, misalnya:

(35)

1. Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 2006 yang berlaku mulai tanggal 21 Maret 2006, Pengadilan Agama memiliki kewenangan absolut untuk menerima, memeriksa, dan mengadili perkara permohonan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam.

2. Undang-Undang nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa anak adalah tunas potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peras stategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.

3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang konvensi ILO nomor 182, bahwa pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dan undang-undang.

4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Keputusan Presiden RI tentang Anak

5. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979 tertanggal 7 April 1979, tentang Pengangkatan Anak yang mengatur prosedur hukum mengajukan permohonan pengesahan dan/atau permohonan pengangkatan anak, memeriksa dan mengadilinya oleh pengadilan.

(36)

7. Staatsblad 1917 Nomor 129, Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 mengatur masalah adopsi yang merupakan kelengkapan dari KUHPerdata/BW yang ada, dan khusus berlaku bagi golongan masyarakat keturunan Tionghoa. 8. Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang

Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak, yang mulai berlaku sejak tanggal 14 Juni 1984.

9. Beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung dan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yang dalam praktik peradilan telah diikuti oleh hakim-hakim berikutnya dalam memutuskan atau menetapkan perkara yang sama, secara berulang-ulang, dalam waktu yang lama sampai sekarang.

C. Prosedur dan Acara Pemeriksaan Permohonan Pengangkatan Anak Dalam SEMA No. 6 Tahun 1983 yang secara teknis ada penyempurnaan SEMA No. 2 Tahun 1979.

(37)

yang mengatur prosedur dan syarat-syarat pengajuan permohonan pengangkatan anak.

Di samping Hukum Acara Perdata yang berlaku, prosedur dan syarat-syarat pengangkatan anak secara teknis telah diatur dalam SEMA No. 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan SEMA No. 2 Tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak. Prosedur pengangkatan anak baik antar-WNI, ataupun antar-WNI dan WNA akan diuraikan dalam pembaha.san selanjutnya.

(Kamil, 2008 : 58).

1. Prosedur Permohonan dan Persyaratan Pengangkatan Anak Antar-Warga Negara Indonesia (WNI) keputusan Menteri Sosial RI No 41/HUK/KEP/VII/1984 mengatur tentang syarat-syarat calon orang tua angkat bagi pengangkatan anak warga negara Indonesia (WNI). Yang berada dalam organisasi sosial yaitu :

a. Berstatus kawin dengan berumur 25 tahun maksimal 45 tahun

b. Selisih umur calon antara calon orang tua angkat dengan anak angkat minimal 20 tahun.

c. Pada saat mengajukan permohonan sekurang-kurangnya sudah kawin 5 tahun, dengan mengutamakan keadaan:

1) tidak mungkin mempunyai anak (surat keterangan dokter kebidanan, dokter ahli)

2) belum mempunyai anak

(38)

4) mempunyai anak angkat seorang dan tidak mempunyai anak kandung

d. Dalam keadaan mampu ekonomi berdasarkan surat keterangan pejabat yang berwenang serendah-rendahnya lurah atau kepala desa setempat e. Berkelakuan baik berdasarkan keterangan polisi Republik Indonesia f. Dalam keadaan sehat jasmani dan rohani berdasarkan surat keterangan

dokter pemerintah

g. Mengajukan pernyataan bahwa pengangkatan anak semata-mata untuk kepentingan kesejahteraan anak.

2. Syarat-Syarat Pengangkatan Anak Warga Negara Indonesia Kepada Warga Negara Asing dalam Surat Edaran Mahkahmah Agung No 6 Tahun 1983.

a. Pengangkatan anak Warga Negara Asing harus dilakukan melalui suatu yayasan sosial yang memiliki izin dari departemen sosial bahwa yayasan tersebut telah diizinkan bergerak dibidang kegiatan pengangkatan anak, sehingga pengangkatan anak Warga Negara Asing yang lagsung dilakukan antara orangtua kandung anak Warga Negara Asing dengan calon orang tua angkat Warga Negara Indonesia (private adoption) tidak diperbolehkan.

(39)

Surat Edaran Mahkamah Agung No 6 tahun 1983 mengatur syarat calon orang tua angkat bagi anak antar negara:

a. Berstatus kawin dan berumur minimal 25 tahun atau maksimal 45 tahun

b. Pada saat mengajukan permohonan sekurang-kurangnya sudah kawin 5 tahun, dengan mengutamakan keadaan:

1) Tidak mungkin mempunyai anak (surat keterangan dokter kebidanan, dokter ahli)

2) Belum mempunyai anak

3) Mempunyai anak kandung seorang

4) Mempunyai anak angkat seorang dan tidak mempunyai anak kandung

5) Dalam keadaan mampu ekonomi berdasarkan surat keterangan pejabat yang berwenang serendah-rendahnya lurah atau kepala desa setempat.

6) Berkelakuan baik berdasarkan keterangan Polisi Republik Indonesia.

7) Dalam keadaan sehat jasmani dan rohani berdasarkan surat keterangan dokter pemerintah

(40)

Prosedur menerima, memeriksa dan mengadili perkara permohonan pengangkatan anak antar-WNI harus diperhatikan tahapan-tahapan dan persyaratan sebagai berikut:

a. Syarat dan Bentuk Surat Permohonan

1) Sifat surat permohonan bersifat voluntair.

2) Permohonan pengangkatan anak hanya dapat diterima apabila ternyata telah ada urgensi yang memadai, misalnya ada ketentuan undang-undangnya.

3) Permohonan pengangkatan anak dapat dilakukan secara lisan atau tertulis berdasarkan ketentuan hukum acara yang berlaku.

4) Surat permohonan pengangkatan anak dapat ditanda tangani oleh pemohon sendiri, atau oleh kuasa hukumnya.

5) Surat permohonan pengangkatan anak ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri atau Ketua Pengadilan Agama. Pemohon yang beragama Islam yang bermaksud mengajukan permohonan pengangkatan anak berdasarkan Hukum Islam, maka permohonannya diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal pemohon.

b. Isi Surat Permohonan Pengangkatan Anak

(41)

2) Harus diuraikan secara jelas bahwa permohonan pengangkatan anak, terutama didorong oleh motivasi untuk kebaikan dan/atau kepentingan calon anak angkat, didukung dengan uraian yang memberikan kesan bahwa. Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia calon orang tua angkat benar-benar memiliki kemampuan dari berbagai aspek bagi masa depan anak angkat menjadi lebih baik.

3) Isi petitum permohonan pengangkatan anak bersifat tunggal, yaitu hanya memohon "agar anak bernama A dketapkan sebagai anak angkat dari B." Tanpa ditambahkan permintaan lain, seperti: "agar anak bernama A dketapkan sebagai ahli waris dari si B."

c. Syarat-syarat Permohonan Pengangkatan Anak Antar-WNI

1) Syarat bagi calon orang tua angkat/pemohon, berlaku ketentuan sebagai berikut:

a) Pengangkatan anak yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dengan orang tua angkat (private adoption) diperbolehkan.

b) Pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang yang tidak terikat dalam perkawinan sah/belum menikah (single parent adoption) diperbolehkan.

(42)

2) Syarat bagi calon anak angkat

a) Dalam hal calon anak angkat berada dalam asuhan suatu yayasan sosial harus dilampirkan surat izin tertulis Menteri Sosial bahwa yayasan yang bersangkutan telah diizinkan bergerak di bidang kegiatan anak.

b) Calon anak angkat yang berada dalam asuhan yayasan sosial, maka harus mempunyai izin tertulis dari Menteri Sosial atau pejabat yang ditunjuk bahwa anak tersebut diizinkan untuk diserahkan sebagai anak angkat.

(Undang-undang Republik Indonesia, Nomor. 23 Tahun 2002, Pasal 39 Ayat (3). "SEMA Nomor. 6 Tahun 1983. Jakarta : Kencana).

3. Prosedur Permohonan dan Persyaratan Pengangkatan Anak WNA oleh Orang Tua Angkat WNI (Intercountry Adoption)

a. Syarat dan Bentuk Surat Permohonan Pengangkatan Anak WNA 1) Surat permohonan bersifat voluntair.

2) Permohonan pengangkatan anak hanya dapat diterima apabila ternyata telah ada urgensi yang memadai, misalnya ada ketentuan undang-undangnya.

3) Permohonan pengangkatan anak dapat dilakukan secara lisan atau tertulis berdasarkan ketentuan hukum acara yang berlaku.

(43)

5) Surat permohonan pengangkatan anak ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri atau Ketua Pengadilan Agama yang mewilayahi domisili anak WNA yang akan diangkat.

Pemohon yang beragama Islam yang bermaksud mengajukan permohonan pengangkatan anak berdasarkan Hukum Islam, maka permohonannya diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal anak WNA yang akan diangkat.

b. Isi Surat Permohonan Pengangkatan Anak WNA

1) Bagian dasar hukum permohonan pengangkatan anak, harus secara jelas diuraikan motivasi yang mendorong niat untuk mengajukan permohonan pengangkatan anak.

2) Harus diuraikan secara jelas bahwa permohonan pengangkatan anak, terutama didorong oleh motivasi untuk kebaikan dan/atau kepentingan calon anak angkat WNA Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia yang bersangkutan, didukung dengan uraian yang memberikan kesan bahwa calon orang tua angkat benar-benar memiliki kemampuan dari berbagai aspek bagi masa depan anak angkat menjadi lebih baik.

(44)

c. Syarat-syarat Permohonan Pengangkatan Anak WNA

1) Syarat bagi calon orang tua angkat WNI/pemohon, berlaku ketentuan sebagai berikut:

a) Pengangkatan anak WNA harus dilakukan melalui suatu yayasan sosial yang memiliki izin dari Departemen Sosial bahwa yayasan tersebut telah diizinkan bergerak di bidang kegiatan pengangkatan anak, sehingga pengangkatan anak WNA yang berlangsung dilakukan antara orang tua angkat WNI dengan orang tua kandungnya WNA (private adoption) tidak diperbolehkan.

b) Pengangkatan anak WNA oleh seorang WNI yang tidak terikat dalam perkawinan sah/belum menikah (single parent adoption) tidak diperbolehkan.

c) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.

2) Syarat bagi Colon Anak Angkat WNA

a) Usia anak angkat harus mencapai 5 tahun.

b) Disertai penjelasan tertulis dari Menteri Sosial atau Pejabat yang ditunjuk bahwa calon anak angkat WNA yang bersangkutan diizinkan untuk diangkat sebagai anak angkat oleh calon orang tua WNI yang bersangkutan.

(45)

a. Syarat dan Bentuk Surat Permohonan Pengangkatan Anak WNI 1) Surat permohonan bersifat voluntair.

2) Permohonan seperti ini dapat dilakukan secara lisan sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri/ Pengadilan Agama. Permohonan juga dapat diajukan secara tertulis.

3) Permohonan pengangkatan anak hanya dapat diterima apabila ternyata telah ada urgensi yang memadai, misalnya ada ketentuan undang-undangnya.

4) Surat permohonan pengangkatan anak dapat ditanda- tangani oleh pemohon sendiri atau oleh kuasa hukumnya. Dalam hal didampingi/dibantu kuasanya, calon orang tua angkat tetap harus hadir dalam pemeriksaan di persidangan.

5) Surat permohonan pengangkatan anak ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri atau Ketua Pengadilan Agama yang mewilayahi domisili anak WNI yang akan diangkat.

Pemohon yang beragama Islam yang bermaksud mengajukan permohonan pengangkatan anak berdasarkan Hukum islam maka permohonannya diajukan kepada pengadilan agama yang mewilayahi tempat tinggal anak WNI yang akan diangkat

b. Isi Surat Permohonan Pengangkatan Anak WNI

(46)

2) Harus diuraikan secara jelas bahwa permohonan pengangkatan anak, terutama didorong oleh motivasi untuk kebaikan dan/atau kepentingan calon anak angkat WNI yang bersangkutan, didukung dengan uraian yang memberikan kesan bahwa calon orang tua angkat benar-benar memiliki kemampuan dari berbagai aspek bagi masa depan anak angkat menjadi lebih baik.

3) Isi petitum permohonan pengangkatan anak bersifat tunggal, yaitu hanya memohon "agar anak bernama A ditetapkan sebagai anak angkat dari B." Tanpa ditambahkan permintaan lain, seperti: "agar anak bernama A ditetapkan sebagai ahli waris dari si B."

c. Syarat-syarat Permohonan Pengangkatan Anak WNI oleh Orang Tua Angkat WNA

1) Syarat bagi calon orang tua angkat WNA/pemohon, berlaku ketentuan sebagai berikut:

a) Harus telah berdomisili dan bekerja tetap di Indonesia sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun.

b) Harus disertai izin tertulis Menteri Sosial atau Pejabat yang ditunjuk bahwa calon orang tua angkat WNA memperoleh izin untuk mengajukan permohonan pengangkatan anak seorang Warga Negara Indonesia.

(47)

kegiatan pengangkatan anak, sehingga pengangkatan anak WNI yang langsung dilakukan antara orang tua kandung WNI dan calon orang tua angkat WNA (private adoption) tidak diperbolehkan.

d) Pengangkatan anak WNI oleh seorang WNA yang tidak terikat dalam perkawinan sah/belum menikah (single parent adoption) tidak diperbolehkan.

e) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.

2) Syarat bagi calon anak angkat WNA yang diangkat

a) Usia calon anak angkat harus belum mencapai umur 5 tahun. b) Disertai penjelasan tertulis dari Menteri Sosial atau Pejabat

yang ditunjuk bahwa calon anak angkat WNI yang bersangkutan diizinkan untuk diangkat sebagai anak angkat oleh calon orang tua angkat WNA yang bersangkutan.

(Kamil, 2008 : 59-65)

D. Motivasi Pengangkatan Anak

(48)
(49)

Pengangkatan anak juga mungkin terjadi dilakukan oleh warga Negara Asing terhadap anak-anak Indonesia, hal ini memerlukan adanya ketentuan hukum yang jelas terhadap pengangkatan anak antarwarga negara. Pasal 39 angka 4 UU No. 23/2002 menyatakan bahwa pengangkatan anak oleh Warga Negara Asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Dalam hal asal-usul anak yang akan diangkat tersebut tidak diketahui, misalnya anak itu dibuang oleh ibunya di tempat pembuangan sampah atau di pinggir jalan lalu ditemukan oleh seseorang, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat, yaitu agama penduduk di sekitar tempat pembuangan bayi tersebut.

Kaitannya dengan bimbingan dan pengawasan terhadap anak angkat, Pasal 41 UU No. 23/2002 menegaskan bahwa pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak, yang detailnya akan diatur dengan peraturan pemerintah.

(Kamil, 2008 : 68).

E. Hak-hak dan Kewajiban Anak Angkat

(50)

amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat hak-hak sebagai anak dan harkat serta martabat sebagai manusia seutuhnya, melekat hak-hak yang perlu dihormati dan dijunjung tinggi oleh orang tua angkatnya dan masyarakat pada umumnya, hak-hak anak angkat dimaksud antara lain.

1. berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;

2. berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan; 3. berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi

sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua; 4. berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang

tuanya sendiri;

5. dalam hal karena sesuatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar, maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 6. berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan

kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial;

(51)

8. khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus;

9. setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan;

10.setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi perkembangan diri;

11.setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial;

12.setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dan perlakuan:

a. diskriminasi;

b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. penelantaran;

d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e. ketidakadilan, dan

f. perlakuan salah lainnya.

(52)

13.setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir;

14.setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari: a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik;

b. pelibatan dalam sengketa bersenjata; c. pelibatan dalam kerusuhan sosial;

d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsure kekerasan; dan e. pelibatan dalam peperangan.

15.setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir;

16.setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk:

a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;

b. memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan

(53)

17.setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.

18.setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.

Di samping hak-hak yang dijamin oleh undang-undang tersebut, anak-anak dan/atau termasuk anak-anak angkat memiliki kewajiban-kewajiban sebagai kewajiban asasi yang juga harus dilaksanakan oleh seorang anak, yaitu bahwa setiap anak berkewajiban untuk:

a. menghormati orang tua, wali, dan guru;

b. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; c. mencintai tanah air, bangsa, dan Negara

d. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan e. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

(Kamil, 2008 : 68-71)

F. Perwalian Anak Angkat

(54)

pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.

Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia Bertitik tolak dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa perwalian terhadap anak angkat telah beralih dari orang tua kandungnya kepada orang tua angkatnya. Jadi orang tua angkat memiliki hak dan bertanggung jawab perwalian terhadap anak angkatnya, termasuk perwalian terhadap harta kekayaan. Oleh karena itu, apabila anak angkat telah dewasa, maka orang tua angkat wajib memberikan pertanggungjawaban atas pengelolaan harta kekayaan anak angkatnya tersebut. Pasal 33 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa:

1. Dalam hal orang tua anak tidak cakap melakukan perbuatan hukum, atau tidak diketahui tempat tinggal atau keberadaannya, maka seseorang atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai wali dari anak yang bersangkutan.

2. Untuk menjadi wali anak yang berada di bawah perwalian- nya, dilakukan melalui penetapan pengadilan.

3. Wali yang ditunjuk sebagai wali seseorang anak, agamanya harus sama dengan agama yang dianut anak.

4. Untuk kepentingan anak, wali tersebut, wajib mengelola harta milik anak yang bersangkutan.

(55)

penetapan pengadilan tersebut, dapat mewakili anak untuk melakukan perbuatan hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak. Dalam hal anak belum mendapat penetapan pengadilan mengenai wali, maka harta kekayaan anak tersebut dapat diurus oleh balai harta peninggalan atau lembaga lain yang mempunyai kewenangan untuk itu. Balai harta peninggalan atau lembaga lain yang mempunyai kewenangan, bertindak sebagai wali pengawas untuk mewakili kepentingan anak. Pengurus harta anak tersebut harus mendapat penetapan pengadilan.

Dalam hal wali yang ditunjuk ternyata di kemudian hari tidak cakap melakukan perbuatan hukum atau menyalahgunakan kekuasaannya sebagai wali, maka status perwaliannya dicabut dan ditunjuk orang lain sebagai wali melalui penetapan pengadilan. Dalam hal wali meninggal dunia, ditunjuk orang lain sebagai wali melalui penetapan pengadilan. (Kamil, 2008 : 73-75).

G. Pengasuhan dan Pengangkatan Anak

(56)

(Kamus besar bahasa Indonesia, 1997 : 43).

Dalam undang-undang perlindungan anak tepatnya pada Pasal 37 sampai dengan Pasal 41 telah diatur beberapa ketentuan tentang pengasuhan dan pengangkatan anak. Pengasuhan anak ditujukan kepada anak yang orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anaknya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial. Pengasuhan anak tersebut, dilakukan oleh lembaga yang mempunyai kewenangan untuk Hukum Perlindungon dan Pengangkatan Anak di Indonesia itu. Dalam hal lembaga berdasarkan agama, maka anak yang diasuh harus yang seagama dengan agama yang menjadi landasan lembaga yang bersangkutan. Dalam hal pengasuhan anak dilakukan oleh lembaga yang tidak berlandaskan agama, maka pelaksanaan pengasuhan anak harus memperhatikan agama yang dianut anak yang bersangkutan. Pengasuhan anak oleh lembaga dapat dilakukan di dalam atau di luar Panti Sosial. Perseorangan yang ingin berpartisipasi dapat melalui lembaga-lembaga tersebut di atas.

(57)

cikal bakal dari lahirnya lembaga pengangkatan anak yang memiliki sifat yang lebih substantif dan luas bagi masa depan anak. Oleh karena itu, dalam Undang-Undang Perlindungan Anak secara khusus mengatur ketentuan-ketentuan khusus bagi anak angkat guna menghindari penyalahgunaan dan penyelewengan terhadap "Prosedur tentang permohonan pengasuhan dan/atau pengangkatan anak akan diuraikan di bawah. "Lembaga atau perorangan yang melakukan kegiatan pengasuhan tersebut, disebut orang tua asuh. Di Indonesia telah dibentuk apa yang disebut Gerakan Orang Tua Asuh (GNOTA) yang bertujuan untuk membantu anak-anak yang kurang mampu dalam biaya pendidikan anak yang diangkatnya. Ketentuan-ketentuan ini diatur pada pasal 39 sampai dengan Pasal 41, bahwa:

1. pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

2. pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya;

3. calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat;

4. pengangkatan anak oleh Warga Negara Asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir;

(58)

6. orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya;

7. pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya, dilakukan dengan memerhatikan kesiapan anak yang bersangkutan;

8. pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak;

(Kamil, 2008 : 75-77).

H. Penyelenggaraan Perlindungan terhadap Anak Angkat

Penyelenggaraan perlindungan terhadap anak angkat meliputi berbagai aspek kehidupan dengan mengacu kepada hak-hak asasi anak yang melekat padanya sejak anak itu dilahirkan, meliputi:

1. perlindungan terhadap agama; 2. perlindungan terhadap kesehatan; 3. perlindungan terhadap pendidikan; 4. perlindungan terhadap hak sosial;

5. perlindungan yang sifatnya khusus/eksepsional;

(59)

Pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan. Penyediaan fasilitas dan penyelenggaraan upaya kesehatan secara komprehensif tersebut harus didukung oleh peran serta masyarakat. Upaya kesehatan yang komprehensif tersebut, meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, baik untuk pelayanan kesehatan dasar maupun rujukan. Upaya kesehatan yang komprehensif tersebut, diselenggarakan secara cuma-cuma bagi keluarga yang tidak mampu.

Pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut, disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Orang tua dan keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan anak dan merawat anak sejak dalam kandungan. Dalam hal orang tua dan keluarga yang tidak mampu melaksanakan tanggung jawab menjaga kesehatan dan merawat anak sejak dalam kandungan, maka pemerintah wajib memenuhinya. Kewajiban pemerintah tersebut, pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib mengusahakan agar anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan/atau menimbulkan kecacatan.

(60)

1. pengambilan organ tubuh anak dan/atau jaringan tubuh anak tanpa memerhatikan kesehatan anak;

2. jual beli organ dan/atau jaringan tubuh anak; dan

3. penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian tanpa seizin orang tua dan tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak. (kamil : 2008 : 79).

Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak. Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan. Pendidikan anak diarahkan kepada:

1. pengembangan sikap dan kemampuan kepribadian anak, bakat, kemampuan mental dan fisik sampai mencapai potensi mereka yang optimal;

2. pengembangan penghormatan atas hak asasi manusia dan kebebasan asasi;

3. pengembangan rasa hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa dan nilai-nilainya sendiri, nilai-nilai nasional di mana anak bertempat tinggal, dari mana anak berasal, dan peradaban-peradaban yang berbeda-beda dari peradaban sendiri;

4. persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggungjawab; dan 5. pengembangan rasa hormat dan cinta terhadap lingkungan hidup.

(61)

Anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa. Anak yang memiliki keunggulan diberikan kesempatan dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan khusus.

Pemerintah bertanggungjawab untuk memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga tidak mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil. Pertanggungjawaban pemerintah tersebut, termasuk pula mendorong masyarakat untuk berperan aktif. (kamil : 2008 : 80).

Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya. Dalam aspek sosial, pemerintah wajib menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga. Penyelenggaraan pemeliharaan dapat dilakukan oleh lembaga masyarakat. Untuk menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar, lembaga pemerintah dan lembaga masyarakat dapat mengadakan kerja sama dengan berbagai pihak yang terkait. Dalam hal penyelenggaraan pemeliharaan dan perawatan anak tersebut, pengawasannya dilakukan oleh Menteri Sosial. (kamil : 2008 : 80).

(62)

1. berpartisipasi;

2. bebas menyatakan pendapat dan berpikir sesuai dengan hati nurani dan agamanya;

3. bebas menerima informasi lisan atau tertulis sesuai dengan tahapan usia dan perkembangan anak;

4. bebas berserikat dan berkumpul;

5. bebas beristirahat, bermain, berekreasi, berkreasi, dan berkarya seni budaya; dan

6. memperoleh sarana bermain yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan. (kamil : 2008 : 80-81).

Upaya-upaya tersebut, dikembangkan dan disesuaikan dengan usia, tingkat kemampuan anak, dan lingkungannya agar tidak menghambat dan mengganggu perkembangan anak.

Dalam hal anak terlantar karena suatu sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya, maka lembaga-lembaga tersebut di atas, keluarga, atau pejabat yang berwenang dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk menetapkan anak sebagai anak terlantar. Penetapan pengadilan sekaligus menetapkan tempat penampungan, pemeliharaan, dan perawatan anak terlantar yang bersangkutan, dan pemerintah atau lembaga yang diberi wewenang wajib menyediakan tempatnya.

(63)

rtiendapat perlindungan khusus. Dalam hal ini pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Anak dalam situasi darurat terdiri atas:

1. anak yang menjadi pengungsi; 2. anak korban kerusuhan;

3. anak korban bencana alam; dan 4. anak dalam situasi konflik bersenjata.

(kamil : 2008 : 82).

Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi pengungsi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum humaniter. Sedangkan perlindungan khusus bagi anak korban kerusuhan, korban bencana, dan anak dalam situasi konflik bersenjata dilaksanakan melalui:

(64)

2. pemenuhan kebutuhan khusus bagi anak yang menyandang cacat dan anak yang mengalami gangguan psikososial. (kamil : 2008 : 82)

Setiap orang dilarang merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer dan/atau lainnya dan membiarkan anak tanpa perlindungan jiwa. Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum meliputi:

1. perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;

2. penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini; 3. penyediaan sarana dan prasarana khusus;

4. penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak; 5. pemantauan dan pencatatan terus-menerus terhadap perkembangan anak

yang berhadapan dengan hukum;

6. pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi. Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana, dilaksanakan melalui:

a. upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga; b. upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa

(65)

c. pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; dan

d. pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara. (kamil : 2008 : 83)

Perlindungan khusus bagi anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, dilakukan melalui penyediaan prasarana dan sarana untuk dapat menikmati budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya, dan menggunakan bahasanya. Setiap orang dilarang menghalang-halangi anak dari kelompok minoritas dan terisolasi untuk menikmati budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya, serta menggunakan bahasanya sendiri tanpa mengabaikan akses pembangunan masyarakat dan budaya. (kamil : 2008 : 83).

Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat, dan perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual tersebut dilakukan melalui:

1. penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;

2. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan

(66)

(kamil : 2008 : 84).

Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak tersebut. Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), dan terlibat dalam produksi dan distribusinya, dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. Setiap orang dilarang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi dan distribusi napza. Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan anak, dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, atau perdagangan. Perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan tersebut di atas meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual dilakukan melalui upaya: 1. penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan

yang melindungi anak korban tindak kekerasan; dan 2. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi.

(kamil : 2008 : 84).

(67)

Perlindungan khusus bagi anak yang menyandang cacat, dilakukan melalui upaya:

1. perlakuan anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak anak; 2. pemenuhan kebutuhan-kebutuhan khusus;

3. memperoleh perlakuan yang sama dengan anak lainnya untuk mencapai integrasi sosial sepenuh mungkin dan pengembangan individu.

(kamil : 2008 : 85).

Setiap orang dilarang memperlakukan anak dengan mengabaikan pandangan mereka secara diskriminatif, termasuk labelisasi dan penyetaraan dalam pendidikan bagi anak-anak yang menyandang cacat. Perlindungan khusus bagi anak korban perlakuan salah dan penelantaran, dilakukan melalui pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah, dan penelantaran. (Kamil, 2008 : 85).

I. Pencatatan Anak Angkat dalam Catatan Sipil

Gambar

Tabel  3.1 Wilayah yang menjadi kewenangan Pengadilan Negeri Salatiga
Gambar 3.1 Struktur Organisasi Pengadilan Negeri Salatiga
Tabel 3.3 Pejabat Struktural Pengadilan Negeri Salatiga Tahun 2012
Gambar. 3.2 Struktur Organisasi Pengadilan Agama Salatiga

Referensi

Dokumen terkait

Osteoarthritis merupakan gangguan pada satu sendi atau lebih, bersifat lokal, progresif dan degeneratif yang ditandai dengan perubahan patologis pada struktur sendi

Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh penggunaan model LCM (Learning Cycle Model) dengan Inkuiri Terbimbing (IT) dan Inkuiri Bebas Termodifikasi (IBT),

Praktik mengajar yang dimaksud adalah praktik mengajar di lapangan maupun di dalam kelas dan mengajar siswa secara langsung. Praktik mengajar dilapangan dan didalam

Dari hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa terdapat peningkatan hasil belajar fisika peserta didik kelas VIII2 SMP Negeri 2 Sungguminasa Kabupaten Gowa

Penelitian ini ditujukan untuk mengkaji dampak dari citra merek yang dirasakan, efek langsung dan tidak langsung (mediator dan efek moderator) keterlibatan produk dan produk

Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan, perilaku cyberbullying pada remaja dilakukan dengan mengunggah postingan, memberikan komentar, ataupun mengirim

Kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan stategis organisasi, kepuasan publik, dan memberikan kontribusi ekonomi (Amstrong

Jadi merek adalah tanda yang dapat digunakan untuk membedakan antara barang atau jasa yang satu dengan yang lain. Sehingga konsumen akan dapat membedakan