• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN TEMATIK INTEGRATIF EKSTERNAL DAN INTERNAL DI MADRASAH IBTIDAIYAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN TEMATIK INTEGRATIF EKSTERNAL DAN INTERNAL DI MADRASAH IBTIDAIYAH"

Copied!
212
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN TEMATIK INTEGRATIF EKSTERNAL DAN INTERNAL

DI MADRASAH IBTIDAIYAH Oleh : Fatchurrohman, M.Pd Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) menemukan jaringan tema pembelajaran tematik integratif eksternal di Madrasah Ibtidaiyah; 2) menemukan jaringan tema pembelajaran tematik integratif internal di Madrasah Ibtidaiyah; 3) merumuskan model RPP tematik integratif internal dan eksternal di Madrasah Ibtidaiyah; 4) mengetahui efektivitas pembelajaran tematik integratif internal dan eksternal di Madrasah Ibtidaiyah.

Riset ini menggunakan pendekatan kualitatif jenis Research and Development (R&D), yaitu jenis riset yang dilakukan dengan mengembangkan model yang sudah ada untuk menghasil model baru yang dianggap lebih efektif Tahapan kerja dalam R&D ini mengikuti model yang dikembangkan oleh Dick & Lau Cerey.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa : 1 ) penyebaran KD pada sub-sub mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di Madrasah Ibtidaiyah tidak dapat masuk pada setiap tema pembelajaran yang disusun oleh Kementerian Pendidikan Nasional karena squance bahasan pada mata pelajaran PAI di Madrasah Ibtidaiyah berbeda dengan squance yang ada pada mata pelajaran yang tercakup dalam tema-tema pembelajaran mata pelajaran lainnya; 2) penyusunan jaringan tema integratif internal masih sulit dilakukan karena masing-masing sub mapel PAI memiliki hirarchis pembahasan keilmuan yang berbeda dengan sub mapel PAI lainnya, sehingga kalau dipaksakan justru tidak nyambung; 3) dalam penyusunan RPP temaik integratif eksternal ini yang perlu diperhatikan adalah pada bagian metode dan penilaian, di mana metode pembelajaran PAI menuntut metode pembelajaran yang menekankan pada pembentukan akhlaq al karimah, sedangkan evaluai pembelajarannya lebih ditekankan pada penilaian aspek afektif bukan sekedar kognitif; 4) uji coba terbatas, di kelas IV MI Mangunsari Kota Salatiga menunjukkan bahwa guru kelas merasa nyaman dan cocok mengajar dengan model tersebut karena tidak harus melakukan pergantian jam pelajaran dari tema biasa ke pembelajaran PAI. Peserta didik juga senang mengikuti pembelajaran tersebut, sedangkan dilihat dari hasil evaluasinya menunjukkan hasil yang baik.

(2)

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN

TEMATIK INTEGRATIF EKSTERNAL DAN INTERNAL

DI MADRASAH IBTIDAIYAH

Disusun Oleh :

Fatchurrohman, M.Pd

NIP. 197103092000031001

PUSAT PENELITIAN DAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT (P3M) SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA

(3)

KATA PENGANTAR

ميحرلا نمحرلا للها مسب

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah mencurahkan rahmat-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik tanpa ada halangan yang berarti.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini dapat terselesaikan dengan baik karena dukungan berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu perkenankanlah kami menyampaikan rasa terima kasih kepada : 1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd selaku Ketua STAIN Salatiga

2. Bapak Mufiq, M.Phil selaku Kepala P3M STAIN Salatiga 3. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd selaku konsultan penelitian

4. Bapak Agus Rahmat Yuwanta, S.Pd selaku Kepala MI Mangunsari, Salatiga 5. Ibu Khoriyatun Nikmah, S.Pd.I dan Ibu Dra. Nurul Aini, guru kelas IV

Madrasah Ibtidaiyah Mangunsari Salatiga

6. Seluruh informan yang telah memberikan informasi dan data apa adanya yang kami perlukan dalam rangka kegiatan penelitian ini.

Akhirnya, kami berharap semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak yang mempunyai kepedulian terhadap peningkatan kualitas pendidikan, terutama di Madrasah.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

(4)

DAFTAR ISI

1. Integrasi Interkoneksi ……….. 7

2. Pembelajaran Tematik Integratif ………. 9

3. Pendekatan Saintifik ……… 46

4. Penilaian Otentik ………. 57

D. Teknik Pengumpulan Data ………. 84

E. Teknik Analisis Data ………. 85

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………….. 86

A. Deskripsi Lokasi ...………... 86

B. Paparan Data dan Pembahasan ... 94

1. Tematik Integratif Eksternal ... 94

2. Tematik Integratif Internal di Madrasah ... 181

(5)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejalan dengan perubahan Kurikulum Pendidikan Nasional tahun 2013, membawa konskwensi berbagai perubahan dalam dunia pendidikan di Indonesia, khususnya dalam pembelajaran di kelas. Kalau Kurikulum sebelumnya (2006) dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) lebih menekankan pada perluasan otoritas sekolah (guru) untuk mengembangkan Kurikulum sesuai dengan keadaan sekolahnya dengan tambahan penekanan pada pendidikan karakter (character education), pendidikan nilai (values education); sedangkan Kurikulum 2013 ini adalah based competence yang menekankan scientific approach dalam pembelajaran dan dikembangkannya model pembelajaran tematik integratif untuk pendidikan tingkat dasar.

(6)

perspectif karena penyelesaian masalah melalui satu sudut pandang ternyata menghasilkan keputusan yagn kurang arif dan bijak.

Kalau dikontekskan di Madrasah Ibtidaiyah, maka sebenarnya model pembelajaran tematik integratif tesebut belum memadai, mengingat struktur kurikulum di Madrasah Ibtidaiyah terdiri dari mata pelajaran umum dan agama yang jumlahnya sama banyak. Pembelajaran tematik integratif yang ada sekarang baru mengintegrasikan mata pelajaran-mata pelajaran umum saja, sementara mata pelajaran agama berlum termasuk. Di sisi lain, panduan pembelajaran agama yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan belum dikembangkan secara tematik namun masih pokok bahasan-pokok bahasan. Jika demikian, maka kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tentang pembelajaran tematik integratif di tingkat pendidikan dasar kurang memadai karena hanya mengintegrasikan mata pelajaran umum dengan mata pelajaran umum; padahal di Madrasah Ibtidaiyah ada mata pelajaran umum dan agama.

(7)

dan agama di Madrasah Ibtidaiyah, namun jika keduanya „dilebur‟ maka yang

diperlukan adalah pengembangan pembelajaran integratif eksternal. Menurut Husni Rahim (2001:141), pengintegrasian bidang mapel agama dan umum tersebut di Madrasah mampu memberikan nuansa IPTEK yang agamis dan performa agama yang akademis yang mewujud dalam perilaku peserta didik sebagai wujud penghayatan terhadap Keagungan Allah SWT. Dengan bahasa lain, John F. Haught (2004:10) menyatakan bahwa peleburan antara sains dan agama merupakan upaya manusia untuk menemukan kesatua pemahaman terhadap dunia.

Pengembangan pembelajaran integrtif internal dan eksternal ini sangat diperlukan di Madrasah Ibtidaiyah dalam rangka mewujudkan kesatuan keilmuan yang selama ini dianggap terpecah, yaitu ilmu agama dan ilmu umum, sehingga dapat meluruskan cara pandang sebagian masyarakat muslim yang masih dikhotomik terhadap ilmu; sedangkan secara ekstern, penyatuan kajian keilmuan integratif ini diperlukan dalam rangka memperkuat „daya

saing‟ generasi muslim dengan yang lainnya dalam percaturan global. Selain

itu, dalam pertemuan Asosiasi PGMI Nasional pada tanggal 20-22 September 2013 di Hotel Royal Orchid Garden Kota Batu Malang, dimunculkan gagasan kemungkinan perlunya dikembangkan pembelajaran tematik integratif internal dan eksternal di Madrasah Ibtidaiyah.

B. Objective

(8)

melalui scientific approach agar selanjutnya dapat dijadikan acuan bagi para pengelola dalam mengembangkan pembelajaran di Madrasah Ibtidaiyah.

Dalam hal ini ada beberapa persoalan yang dijawab melalui kajian ini: 1. Bagaimana jaringan tema pembelajarantematik integratif eksternal (mapel

agama dan umum) di Madrasah Ibtidaiyah?

2. Bagaimana jaringan tema pembelajaran tematik integratif internal (Fiqh, Tarih, Aqidah, Akhlaq dan al Qur‟an Hadits) di Madrasah Ibtidaiyah? 3. Bagaimana model RPP tematik integratif internal dan eksternal di

Madrasah Ibtidaiyah?

4. Bagaimana efektivitas pembelajaran tematik integratif internal dan eksternal di Madrasah Ibtidaiyah dengan menggunakan pendekatan saintifik?

C. Signifikansi 1. Bagi Madrasah

(9)

2. Bagi STAIN

Kajian pengembangan pembelajaran tematik integratif internal dan eksternal di Madrasah Ibtidaiyah sangat relevan dengan dinamika STAIN Salatiga saat ini yang sedang melakukan „pemekaran‟ kajian keilmuan,

dari satu faculty menjadi beberapa faculty, dari satu rumpun keilmuan ke beberapa rumpun keilmuan. Kajian pengembangan eksperimentatif yang melibatkan berbagai rumpun keilmuan ini merupakan bentuk nyata dari pemekaran kajian keilmuan tersebut.

3. Bagi Kementerian Agama

(10)
(11)

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Kajian Teori

1. Integrasi Interkoneksi

Integrsi interkoneksi merupakan upaya mempertemukan antara ilmu-ilmu agama (Islam) dan ilmu-ilmu umum (sain-teknologi-sosial humaniora). Interaksi antara ketiga disiplin ilmu tersebut akan saling memperkuat satu dan lainnya, sehingga bangunan keilmuan masing-masing akan semakin kokoh (Fandy Saputra, 2013:1). Fenomena alam yang terangkum dalam ilmu umum dapat ditemukan rujukannya di dalam ilmu agama yang bersumber dari al Qur‟an, dan berita-berita yang termaktub dalam al Qur‟an dapat dijumpai di alam yang dijelaskan

dengan science dan humaniora.

(12)

(Sumber : diadopsi dari http://isic-suka.blogspot.com/2013/01pengertian-integrasi-interkoneksi.html, diakses tanggal 21 Maret 2014 pukul 20.00 WIB)

Menurut Amin Abdullah (2013:11), dalam integrasi intekoneksi ini masing-masing disiplin keilmuan masih tetap dapat menjaga identitas dan eksistensinya sendiri-sendiri, namun terbuka untuk berdialog dan berkomunikasi dengan disiplin keilmuan lain. Tidak hanya berdialog secara internal (dalam satu rumpun keilmuan), namun juga secara eksternal (antar rumpun keilmuan). Ilmu agama dan ilmu umum tidak bisa saling menutup diri dari kontak antar satu dan lainnya, karena kontak dan berkomunikasi dengan disiplin keilmuan lain justru akan menjadi kekuatan yang sinergis antar keduanya.

Dalam perspektif teologis, menurut Hasan Hanfi (dalam Abdurrahman Mas‟ud, 2002:45), Islam agama religion of nature yang

memandang integral antara ilmu agama dan ilmu alam, tidak ada pemisahan. Semakin jauh para ilmuwan mendalami sain maka akan memperoleh wisdom berupa philosophic perennis yang dalam filsafat sering disebut dengan transcendence. Ilmu agama tidak bertentangan dengan science karena ilmu agama terlahir dengan rasio dan rasio bekeja dengan tata logika ilmiah.

(13)

Interpretasi Interpretasi

SAIN ILMU AGAMA

2. Pembelajaran Tematik Integratif a. Pengertian

Istilah pembelajaran tematik sering disamakan dengan istilah pembelajaran terpadu, sehinga dalam beberapa literatur para ahli pendidikan sering menggunakan istilah keduanya secara interchangeable.

Pembelajaran tematik integratif adalah pembelajaran yang menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran untuk mengembangkan aspek afektif, kongnitif, dan psikomotorik peserta didik agar dapat memberikan pembelajaran yang bermakna. Istilah tematik digunakan karena pembelajaran tersebut menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran, sedangkan istilah integratif merujuk pada pengembangan seluruh totalitas diri anak yang mencakup aspek afektif, kognitif, dan psikomotorik.

Menurut Humpreys (dalam Trianto, 2010:79), pembelajaran terpadu atau tematik adalah studi di mana peserta didik diberi kesempatan untuk

Kebenaran Hakiki (Allah SWT)

Fenomena Kauniyah Alam Semesta

Manusia Hewan-Tumbuhan

Fenomena Naqliyah (Wahyu)

Al Qur’an

(14)

mengeksplorasi pengetahuan mereka dalam berbagai mata pelajaran yang berkaitan dan menjadi lingkungan mereka sebagai sumber belajar. Keterkaitan tersebut dapat dilihat dari aspek studi Matematika, Bahasa, Ilmu Alam, Ilmu Sosial, Musik, Keterampilan, Olah raga, dan lainnya.

Istilah pembelajaran tematik terkadang juga dimaknai sebagai pendekatan dalam pembelajaran (thematic approach), yaitu “...a way of teaching and learning in such a way that many areas of the curriculum are integrated and connected within a theme. It allows learning to be less fragmented and more natural…”. Pendekatan tematik adalah suatu cara belajar mengajar yang dilakukan dengan cara beberapa tema dalam kurikulum diintegrasikan dan dihubungkan dengan suatu tema. Hal ini untuk mengurangi pemisahan antara materi pelajaran dan pembelajaran lebih alami karena memanfaatkan alam sekitar sebagai sumber belajar. b. Rasional

Ada dua alasan yang mendasari dikembangkannya model pembelajaran tematik integratif, yaitu karakteristik peserta didik dan alasan teoritik.

1) Karakteristik anak usia SD/MI

Pada masa sekolah dasar ini, karakteristik anak dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pada masa usia 6 – 7 tahun dan 8 – 10 tahun. Adapun karakteristik masing-masing fase tersebut adalah sebagai berikut.

a) Karakter anak usia 6 – 7 tahun

(15)

Kedua hal tersebut perlu dipahami setiap pendidik yang berhadapan dengannya agar dapat memperlakukannya secara tepat.

(1) Ciri-ciri jasmani

Ciri-ciri jasmani peserta didik kelas usia 6 – 7 tahun adalah: (a) kordinator otot-otot kecilnya bertambah, meskipun kadang-kadang terasa janggal; (b) masa pertumbuhannya lebih lambat, anak perempuan cenderung lebih cepat dibandingkan dengan anak laki-laki; (c) tidak bisa diam, selalu bergerak; (d) senang membuat sesuatu

(2) Ciri-ciri mental

Ciri-ciri mental anak usia 6 – 7 tahun atau kelas rendah SD/MI adalah: (a) selalu ingin belajar; (b) menanyakan berbagai hal; (c) konsep yang dimiliki masih dalam jangka waktu terbatas; (d) memiliki berbagai variasi dalam membaca; (e) cenderung fokus hanya pada satu atau dua hal dari isi cerita atau pengalaman yang dialaminya; (f) jangka perhatian terbatas, antara tujuh sampai sepuluh menit; (g) proses berpikirnya dalam

b) Karakter anak usia 8 – 10 tahun. (1) Ciri-ciri fisik

(16)

olah raga dalam tim dan kegiatan-kegiatan atletik lainnya; (e) mengikuti kata hati

(2) Ciri-ciri mental kognitif

Ciri-ciri mental kognitif meliputi: (a) selalu ingin belajar hal-hal yang baru; (b) kemampuan untuk memahami pandangan orang lain mulai berkembang; (c) mulai mengenal perasaan malu dalam situasi-situasi tertentu;(d) pemahaman konsep berkembang berdasarkan lingkungan sekitarnya; (e) keterampilan menulis dan berbahasa terus berkembang; (f) dapat memahami lebih dari seluruh gambar yang ada; (g) sangat kreatif dan senang menemukan hal-hal yang baru; (h) sangat ingin tahu berbagai hal; (i) mudah mengingat; (j) mengetahui tentang konsep benar dan salah

(3) Ciri-ciri sosial emosional

(17)

(j) selera humor berkembang; (k) mengalami rangkaian emosi : takut – merasa bersalah – marah dan seterusnya; (l) mengetahui peristiwa yang terjadi di sekitarnya, meskipun secara emosional belum cukup dewasa untuk mengatasi akibat-akibatnya (Antony dalam Trianto, 2010:19)

Anak pada usia 6 – 10 tahun pada umumnya berada pada rentangan usia dini yang masih melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan (holistic) sehingga pembelajarannya masih mengandalkan pada benda-benda dan pengalaman empirik yang dialaminya.

Berkait dengan perkembangan kognitif anak, Jean Piaget (Jeanne, 2011:29) mengemukakan empat tahap perkembangan kognitif individu, yaitu tahap sensori motorik, praoperasional, operasional konkrit, dan operasional formal. Masing-masing tahapan perkembangan kognitif anak tersebut tersebut dapat dirangkum dalam tabel berikut.

Tahapan Usia Gambaran Kemampuan

Sensorimotor Sejak lahir – 2 tahun Skematanya sebagian besar didasarkan pada persepsi dan perilakunya. Khususnya pada tahap awal, anak-anak tidak dapat memahami sesuatu yang baru yang tiba-tiba ada di depannya, dan mereka fokus dengan apa yang sedang ia kerjakan dan lihat pada saat itu.

(18)

adalah sebagian dari

perwujudan simbol

kemampuan berpikir mereka, kini mereka dapat memahami dan mengucapkan akan sesuatu yang ada di depannya secara mendadak. Namun mereka belum mampu mengajukan alasan yang logis sebagaimana cara yang dilakukan orang dewasa. Mampu menambah kosa kata dengan cepat dan mulai mengenal kalimat berstruktur. Mampu berpikir logis setelah usia 4 tahun dan mulai mengenal prinsip-prinsip logika

Operasi konkrit Usia 6 atau 7 – 11 atau 12 tahun

Mulai muncul berpikir logis seperti orang dewasa namun masih terbatas dalam memberikan alasan yang konkrit, situasi kehidupan nyata. Mengakui bahwa pemikirannya dan perasaannya berbeda dengan orang lain, namun dalam kenyataannya belum mampu menunjukkan perilaku pengakuan.

Operasi formal Usia 11 atau 12 tahun – dewasa

Sudah mampu menggunakan proses berpikir logis untuk mengemukakan ide-ide yang abstrak baik dalam situasi nyata maupun objek yang konkrit. Beberapa kemampuan

mulai muncul yang

merupakan dasar untuk

dikembangkan dalam

(19)

Perkembangan setiap individu melalui tahapan-tahapan tersebut, dan tidak ada individu yang melewatinya. Tiap tahap ditandai dengan munculnya kemampuan-kemampuan intelektual baru yang memungkinkan individu memahami realitas dengan cara yang semakin kompleks. Kecepatan perkembangan masing-masing individu tergantung pada tingkat keaktifan anak dalam memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Hal ini berarti bahwa lingkungan anak sangat menentukan proses perkembangan kognitif anak.

(20)

berkembang. Guru dapat menciptakan situasi yang tidak seimbang dan nantinya dapat menimbulkan anak untuk bertanya karena keingintahuannya (Trianto, 2010:16).

Pada tahap operasional konkrit (6 atau 7 – 11 atau 12 tahun), Piaget mengatakan bahwa proses kemampuan berpikir mereka mulai terorganisir menjadi suatu sistem yang lebih luas, mereka mulai mampu berpikir realistik, logik, mampu share dengan yang lain dan lebih mencerminkan pendapat pribadi dari pada kenyataan yang sesungguhnya. Mereka juga suka memamerkan kemampuan mereka seperti membuat kelompok-kelompok inklusif (Jeanne, 2011:31). Operasi adalah hubungan-hubungan logis antara konsep-konsep atau skema-skema, sedangkan operasi konkrit adalah aktivitas mental yang difokuskan pada objek-objek dan peristiwa nyata dalam kehidupan sehari-hari yang terukur (Desmita, 2010:156).

(21)

disengaja untuk mengingat kembali memori yang dimiliki (Desmita, 2010:158).

Menurut Matlin (Desmita, 2010:159-160), ada empat memory strategy yang penting, yaitu rehearsal, organization, imagery dan retrieval. Rehearsal (pengulangan) adalah strategi meningkatkan memori dengan cara mengulangi berkali-kali informasi setelah informasi tersebut diterima. Organization (organisasi) merupakan cara membangkitkan memori dengan melakukan pengkategorian dan pengelompokan sesuai dengan kemiripan karakteristik. Imagery (perbandingan) merupakan tipe dari karakteristik pembayangan individu melalui pembandingan. Yuille dan Catchpole menyatakan bahwa memori anak-anak kelas satu sekolah dasar meningkat setelah mereka dilatih membentuk perbandingan interaktif. Retrieval (pemunculan kembali) adalah proses mengeluarkan atau mengangkat informasi dari memori anak dengan isyarat. Keberhasilan penerapan memory strategy tersebut akan dipengaruhi oleh faktor usia, sikap, motivasi kesehatan, dan pengetahuan anak sebelumnya.

(22)

dan variabel, mengukur variabel secara bermakna, dapat memahami dan mencatat data pada tabel, membentuk dan memahami hubungan sederhana, menggunakan apa yang mereka ketahui untuk membuat inferensi langsung dan prediksi serta menggeneralisasi suatu gejala dari pengalaman yang mereka jumpai (Depdiknas, 2002:11). Namun demikian, walaupun individu pada fase operasional konkrit ini mampu menujukkan beberapa kemampuan berpikir logisnya, perkemangan kognitif mereka belum sempurna. Dia masih mengalami kesulitan dalam memahami ide-ide abstrak (Jeanne, 2011:32).

Piaget yakin bahwa pengalan-pengalaman inderawi dan manipulasi lingkungan penting bagi terjadinya perubahan perkembangan. Selain itu, ia juga berkeyakinan bahwa interaksi sosial dengan teman sebaya, khususnya berargumentasi, berdiskusi, membantu memperjelas pemikiran yang pada akhirnya dapat membuat pemikiran itu menjadi semakin logis. (Trianto, 2010:17)

c. Landasan Teoritik

(23)

1) Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget

Dalam pandangan Piaget, anak memiliki cara tersendiri dalam menginterpretasikan dan beradaptasi dengan lingkungannya. Setiap anak memiliki struktur kognitif yang berbeda-beda dalam memahami lingkungan sekitarnya. Pemahaman individu terhadap objek di lingkungan sekitar melalui proses asimilasi (menghubungkan pengetahuan tentang objek dengan konsep yang sudah ada dalam pikiran) dan akomodasi (proses pemanfaatan konsep dalam pikiran untuk memahami objek). Jika keduanya dapat berlangsung terus menerus maka akan terjadi keseimbangan (equilibration) antara konsep lama dan pemahaman yang baru (Gredler, 1991:311)

Piaget mengemukakan tahapan-tahapan perkembangan kognitif pada individu. Pada anak usia sekolah dasar, tahap perkembangan kognitif berada pada operasi konkrit. Perilaku belajar yang muncul pada fase tersebut adalah: 1) mulai memandang realitas secara objektif; 2) mulai berpikir oprasional untuk mengklasifikasikan objek-objek yang ada di sekitarnya; 3) mulai menggunakan prinsip-prinsip logika ilmiah yang sederhana; 4) memahami konsep volume, substansi, zat cair, padat, panjang, lebar, luas, berat.

(24)

benda-benda konkrit yang ada di sekitarnya yang dapat dilihat, diraba, dicium, didengar. Integratif berarti pembelajaran disajikan dalam satu keutuhan, tidak dipisah-pisah dalam berbagai disiplin ilmu. Hirarkhis berarti anak belajar mengikuti alur-alur yang bertahap, dari yang mudah menuju yang sulit, dari yang sederhana menuju yang kompleks. Oleh karenanya dalam menyusun materi untuk anak usia sekolah dasar harus memperhatikan urutan logis, keterkaitan antar materi, keluasan dan kedalamannya.

2) Teori Belajar Konstruktivisme

Dalam pandangan konstruktivisme, pengetahuan merupakan hasil dari konstruk kognitif dalam diri individu. Pengetahuan tidak dapat terlepas dari subjek yang bersangkutan. Pengetahuan merupakan konstruk manusia melalui pengalaman yang dimilikinya. Pengetahuan akan selalu berkaitan dengan pengalaman yang dimilikinya akan kehidupan di dunia, namun bukan dunia itu sendiri. Oleh karenanya, tanpa pengalaman seseorang tidak akan memiliki pengetahuan (Sriyanti, dkk.,, 2009:71).

(25)

pesrta didik dalam proses menemukan (inquiry) pengetahuan, mempraktikkan ide-ide mereka sendiri dan memberi kesempatan peserta didik untuk mengembangkan strategi pembelajarannya sendiri. Guru hanya menunjukkan jalan berpikir yang benar dan mempersilakan para peserta didik untuk menapakinya agar mencapai tangga berpikir yang tinggi.

Kaum konstrtuktivis berpandangan bahwa satu-satunya media yang tersedia bagi individu untuk mengetahui dan mengembangkan pengetahuan pada diri individu adalah inderanya. Individu dapat berinteraksi denga lingkungannya melalui inderanya, melihat, mencium, mendengar, menjamah dan merasakannya. Interaksi individu melalui inderanya dengan dunianya akan membentuk pengetahuan pada masing-masing individu.

Menurut Suparno (dalam Triyanto, 2010:111), dalam konteks pembelajaran, ada beberapa prinsip pembelajaran yang disarikan dari pandangan para konstruktivis yaitu:

a) pengetahuan dibangun sendiri oleh peserta didik melalui keaktivannya

b) dalam proses kegiatan pembelajaran, kegiatan ditekankan pada peserta didik

c) guru mengajar hakekatnya adalah membantu peserta didik dalam menemukan pengetahuan

(26)

e) kurikulum didesain yang sedemikian rupa yang memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada peserta didik untuk berpartisipasi aktif

f) peran guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran 3) Teori Belajar Vigotsky

Menurut Vigotsky (Trianto, 2010:112), pembelajaran akan terjadi apabila peserta didik bekerja atau mengerjakan tugas-tugas yang belum pernah dipelajari namun masih dalam radius kemampuannya yang disebut zone of proximal development, yaitu perkembangan individu di atas sedikit dari saat ini. Ketika seorang guru memberi tugas kepada peserta didik, pastikan peserta didik telah memiliki bekal pengetahuan sebagai prasarat untuk dapat menyelesaikan tugas tersebut. Vigotsky meyakini bahwa kemampuan mental individu yang lebih tinggi akan muncul melalui interaksi atau percakapan antar individu.

(27)

4) Teori Belajar Bandura

Teori belajar yang dikemukakan oleh Bandura sering dikenal dengan teori imitasi, yaitu perilaku individu terbentuk melalui proses peniruan terhada perilaku orang lain yang kemudian dimantapkan dengan cara menghubungkan peniruan tersebut dengan pengalaman dirinya. Proses belajar dalam pandangan teori Bandura terjadi melalui beberapa cara, yaitu imitasi, identifikasi dan belajar model, yaitu orang yang ditiru dan diikuti perilakunya (Sriyanti, dkk.,, 2009:104)

(28)

termotivasi untuk menirunya. Dalam konteks pembelajaran di kelas, guru harus mampu memberi motivasi melalui pujian, hadian atau nilai. 5) Teori Belajar Bruner

Teori belajar Bruner dikenal dengan teori belajar inquiry, yaitu model pembelajaran yang menekankan pemahaman tentang ide kunci materi pembelajaran dari suatu materi ajar yang sedang dipelajari, pentingnya belajar aktif sebagai dasar untuk memahami materi yang sebenarnya. Menurut Bruner, belajar akan lebih bermakna bagi peserta didik jika mereka mampu memusatkan perhatiannya pada struktur materi yang dipelajari. Untuk memperoleh struktur informasi, peserta didik harus aktif dalam mengidentifikasi sendiri prinsip-prinsip kunci dari pada hanya sekedar menerima pejelasan dari guru (Trianto, 2010:115).

Aplikasi konsep Bruner ini dalam pembelajaran menurut Woolfolk adalah: 1) memberikan contoh yang berbeda dengan contoh dari materi yang baru saja diajarkan; 2) membantu peserta didik mencari hubungan antar konsep; 3) mengajukan pertanyaan kreatif dan memberikan kesempatan yang luas kepada peserta didik untuk menemukan jawabannya; 4) mendorong peserta didik untuk membuat dugaan yang bersifat intuitif..

d. Karakteristik

(29)

integratif itu sendiri. Karakteristik tersebut adalah: 1) berpusat pada peserta didik; 2) memberikan pengalaman langsung; 3) tidak terjadi pemisahan mata pelajaran; 4) menyajikan konsep yang terpadu dari berbagai mata pelajaran; 5) bersifat fleksibel; 6) proses pembelajaran mudah disesuaikan dengan minat dan kebutuhan peserta didik; 7) menggunakan prinsip pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.

Pembelajaran tematik integratif menjadikan peserta didik sebagai pusat segalanya, artinya berbagai keputusan yang diambil guru terkait dengan pembelajaran, misalnya pemilihan media, metode, organisasi materi, organisasi kegiatan pembelajaran, bahasa pengantar yang digunakan harus didasarkan pada keadaan dan untuk peserta didik. Dalam hal demikian, guru adalah sebagai pelayan (servant) bagi pemenuhan kebutuhan petumbuhan dan perkembangan peserta didik.

(30)

peserta didik agar mereka mengkonstruk sendiri pengetahuan mereka melalui sentuhan pengalaman di dunia nyata.

Pengalaman langsung peserta didik di lapangan tersebut dapat berupa pengalaman untuk mengenali dan memecahkan masalah sosial atu lingkungan yang terjadi di sekitarnya. Dalam hal ini, guru menuntun peserta didik untuk belajar menyelesaikan masalah melalui sudut pandang yang beragam, misalnya sudut pandang ilmu alam, ilmu sosial, ilmu agama dan lainnya. Dengan cara demikian, peserta didik akan terbiasa memandang dan menyelesaikan berbagai persoalannya dengan multi perspective. Cara demikian secara otomatis tidak memecah-mecah atau mengkotak-kotakkan keilmuan (materi ajar) secara ketat, karena pada kenyataan hidup, individu selalu menggunakan berbagai ilmu pengetahuan yang dimilikinya untuk menyelesaikan masalah secara bersamaan.

(31)

daya dukung pembelajaran di sekolah; d) kebermaknaan atau kemanfaatan materi pembelajaran bagi peserta didik.

Dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran bersama peserta didik, guru senantiasa menekankan pembelajaran aktif yang menyenangkan. Pembelajaran aktif dilakukan oleh guru dengan cara melibatkan seluruh indera didik dalam kegiatan pembelajaran, baik pendengaran, penglihatan, kinestetik dan aktivitas pikiran. Kegiatan pembelajaran aktif juga dicapai melalui keaktivan individual dan kerja kolektif.

(32)

e. Prinsip-prinsip dasar

Dalam mengembangkan pembelajaran tematik integratif di kelas, ada beberapa prinsip dasar yang mesti diperhatikan yaitu: 1) bersifat kontekstual atau terintegrasi dengan lingkungan; 2) bentuk belajar dirancang agar siswa menemukan tema; dan 3) efisiensi (Yuswadiwijaya, 2013:2). Masing-masing prinsip dapat diuraikan sebagai berikut.

1) Bersifat kontekstual atau terintegrasi dengan lingkungan.

Pembelajaran yang dilakukan perlu dikemas dalam suatu format keterkaitan, maksudnya pembahasan suatu topik dikaitkan dengan kondisi yang dihadapi siswa atau ketika siswa menemukan masalah dan memecahkan masalah yang nyata dihadapi siswa dalam kehidupan sehari-hari dikaitkan dengan topik yang dibahas.

2) Bentuk belajar harus dirancang agar siswa menemukan tema. Agar siswa bekerja secara sungguh-sungguh untuk menemukan tema pembelajaran yang riil sekaligus mengaplikasikannya. Dalam melakukan pembelajaran tematik siswa didorong untuk mampu menemukan tema-tema yang benar-benar sesuai dengan kondisi siswa, lingkungan atau pengalaman yang dialami siswa.

3) Efisiensi

(33)

f. Implikasi

Implikasi penerapan pembelajaran tematik integrarif dirasakan oleh seluruh komponen pokok dalam aktivitas pendidikan baik terhadap guru, peserta didik, sumber dan media belajar, sarana prasarana, maupun pengaturan ruang kelas. Masing-masing harus dikondisikan dalam keadaan yang semestinya, agar pembelajaran tematik integratif dapat mencapai tujuannya secara maksimal.

1) Implikasi terhadap guru

Guru harus kreatif baik dalam menyiapkan kegiatan/pengalaman belajar bagi anak, juga dalam memilih kompetensi dari berbagai mata pelajaran dan mengaturnya agar pembelajaran menjadi lebih bermakna, menarik, menyenangkan dan utuh

2) Implikasi terhadap peserta didik

Beberapa implikasi pembelajaran tematik integratif pada peserta didik adalah:

a) Peserta didik harus siap mengikuti kegiatan pembelajaran yang dalam pelaksanaannya dimungkinkan untuk bekerja baik secara individual, pasangan, kelompok kecil ataupun klasikal.

b) Bervariasi secara aktif misalnya melakukan diskusi kelompok, mengadakan penelitian sederhana, dan pemecahan masalah

3) Implikasi terhadap sarana prasarana, sumber, dan media pembelajaran

(34)

a) Memerlukan berbagai sarana dan prasarana belajar.

Untuk dapat mengembangkan pembelajaran tematik integratif secara optimal diperlukan kecukupan sarana dan prasarana pembelajara. Tanpa dukungan sarana dan prasana yang cukup, maka guru juga akan mengalami kesulian dalam mengajar.

Jika sekolah tidak mampu memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana pembelajaran, maka guru dapat memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran alam yang ada diluar kelas, misalnya lingkungan, kebun sekolah, taman sekolah, fasilitas umum seperti kantor kelurahan, pasar, tempat ibadah, pabrik, super market dan sarana lain yang relevan dengan tema pembelajaran.

Dalam memanfaatkan sarana pembelajaran di luar kelas, yang terpenting dilakukan guru adalah kerja sama dengan pihak-pihak terkait. Sekolah perlu mengembangkan kemitraan yang lebih luas dengan berbagai pihak yang memiliki daya dukung terhadap kegiatan pembelajaran di sekolah, baik langsung maupun tak langsung.

b) Memanfaatkan berbagai sumber belajar

(35)

Dalam mengambil sumber belajar, guru harus mengeksplore sumber belajar sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber agar memperkaya informasi yang akan dihadirkan dalam pembelajaran di kelas. Selama ini terkadang guru masih tepaku pada sumber belajar dari buku teks, padahal informasi di dalamnya sangat singkat dan terbatas.

Dalam pembelajaran tematik integratif diperlukan kreativitas dan keberanian guru untuk „keluar kelas‟ bersama peserta didik untuk

menemukan dan mengkaji sumber belajar yang primer atau otentik, yaitu sumber belajar yang berupa benda atau keadaan yang senyatanya, bukan hasil kajian orang atas benda atau keadaan tersebut. Misalnya : masyarakat, lingkungan alam dan sejenisnya.

Guru harus berupaya untuk meminimalisir penggunaan buku tesk sebagai sumber belajar, karena buku tersebut dapat dikategorikan sebagai sumber sekunder. Kalaupun guru masih menggunakan buku teks sebagai sumber belajar, maka buku teks harus ditempatkan sebagai doxa yang memiliki kebenaran sementara. Dengan demikian, guru bersama peserta didik masih memiliki peluang untuk mengkritisi dan mengoreksi kebenaran isi buku tersebut berdasar penemuan terbaru atas kebenaran yang tercantum di dalamnya.

(36)

memungkinkan peserta didik melihat, mendengar, merasakan keadaan yang senyatanya. Cara demikian untuk mengantarkan peserta didik memiliki pengetahuan yang otektik, original.

Jika guru mengalami kesulitan dalam menemukan benda nyata maka urutan prioritas pemilihan media pembelajaran adalah: 1) benda nyata; 2) benda mitasi, tiruan, miniatur; 3) film slide; 4) gambar. Guru harus berusaha untuk dapat menghadirkan media sesuai dengan urutan prioritas tersebut.

Selain memperhatikan urutan prioritas tersebut, guru juga harus menghadirkan media yang variatif dalam kegiatan pembelajarn sesuai dengan tema pembelajaran. Variasi penggunaan media pembelajaran ini dapat berfungsi untuk: 1) memotivasi peserta didik untuk terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran; 2) memperluas wawasan peserta didik terhadap konten materi ajar; 3) melatih peserta didik untuk selalu kreatif; 4) memperdalam pemahaman peserta didik terhadap materi pembelajaran.

d) Masih dapat menggunakan buku ajar yang sudah ada saat ini untuk masing-masing mata pelajaran dan dimungkinkan pula untuk menggunakan buku suplemen khusus yang memuat bahan ajar yang terintegrasi.

4) Implikasi terhadap pengaturan ruang kelas

(37)

a) Ruang kelas perlu ditata disesuaikan dengan tema yang sedang dilaksanakan.

Pengembangan pembelajaran tematik integrtif menuntut dinamika penataan ruang kelas. Ada dua cara menata ruang kelas: 1) kelas ditata sedemikian rupa setiap pertemuan sesuai dengan tema pembelajaran; 2) kelas dibuat tematik, kelas ditata secara permanen sesuai dengan tema-tema pembelajaran. Tentunya kedua model penataan kelas tersebut memiliki kelebihan dan kurangan.

Dalam menata ruang kelas yang paling penting adalah disesuai dengan tema pembelajaran, kemampuan dan keadaan lingkungan sekolah.

b) Susunan bangku peserta didik dapat berubah-ubah disesuaikan dengan keperluan pembelajaran yang sedang berlangsung.

Pengubahan susunan bangku tempat duduk peserta didik ini dimaksudkan agar peserta didik dapat melakukan aktivitas secara leluasa sesuai dengan tema pembelajaran.

c) Peserta didik tidak selalu duduk di kursi tetapi dapat duduk di tikar/karpet

d) Kegiatan hendaknya bervariasi dan dapat dilaksanakan baik di dalam kelas maupun di luar kelas

e) Dinding kelas dapat dimanfaatkan untuk memajang hasil karya peserta didik dan dimanfaatkan sebagai sumber belajar

(38)

5) Implikasi terhadap pemilihan metode

Pembelajaran dilakukan dengan menggunakan berbagai variasi metode yang menyenangkan. Satu hal yang pelu diperhatikan dalam pemilihan dan pengembangan metode pembelajaran adalah guru harus memilih metode pembelajaran yang memungkinkan keterlibatan penuh peserta didik dalam pembelajaran agar mereka mampu menemukan dan mengkonstruk sendiri pengetahuannya menjadi pengetahuan yang bermakna.

Dalam hal ini, kita tidak bisa menyebut nama metode pembelajaran karena pada hakekatnya metode pembelajaran tersebut memiliki karakteristik masing-masing dan efektivitasnya sangat tergantung pada pemakai. Metode apapun dapat dipakai dalam pembelajaran tematik integratif, yang penting bagaimana dengan metode tersebut peserta didik dapat mengkonstruk pengetahuannya melalui kegiatan ilmiah dalam suasana yang fun.

(39)

Sebagai guru harus mampu menempatkan pemahaman secara proporsional tentang metode pembelajaran. Satu pernyataan yang perlu dipahami adalah bahwa tidak ada metode pembelajaran yang terbaik atau terjelek; baik dan tidaknya metode tergantung ketepatan penggunaannya.

g. Model Pembelajaran Tematik Integratif

Menurut Fogarty (Trianto, 2010:41) ada sepuluh model pembelajaran terpadu, yaitu: (1) the fragmented model (model tergambarkan); (2) the connected model (model terhubung); (3) the nested model (model tersarang; (4) the sequenced model (model terurut); (5) the shared model (model terbagi); (6) the webbed model (model terjaring); (7) the threaded model (model tertali); (8) the integrated model (model terpadu); (9) the immersed model (model terbenam); (10) the networked model (model jaringan). Masing-masing model tersebut dapat diuraikan secara singkat dalam tabel berikut.

Nama Model Deskripsi Kelebihan Kelemahan

(40)
(41)

jenis kecerdasan,

Dari kesepuluh model pembelajaran integratif tersebut, ada tiga model yang tepat kalau diterapkan dalam konteks pembelajaran persekolahan tingkat dasar, yaitu connected model, webbed model, dan integrated model.

1) Model Keterhubungan (connected model)

(42)

keterampilan ke keterampilan yang lain, satu model ke model yang lain dalam satu bidang studi. Dalam model pembelajaran keterhubungan, kata kuncinya adalah adanya upaya untuk menghubungkan bidang kajian dalam satu disiplin ilmu tertentu, sehingga pembelajaran lebih bermakna. Dengan kata lain bahwa pembelajaran integratif model connected adalah pembelajaran yang dilakukan dengan mengaitkan satu topik dengan topik berikutnya, mengaitkan satu konsep dengan konsep lainnya, mengaitkan satu tugas dengan tugas lainnya dalam satu bidang studi. (Sukayati, 2004:5).

Kimia Fisika Biologi

Gambar : Diagram Peta Keterhubungan

Kelebihan model connected ini adalah: (1) dengan penghubungan inter bidang studi, peserta didik diharapkan memiliki wawasan yang luas sebagaimana bidang studi yang fokus pada suatu bidang kajian tertentu; (2) peserta didik dapat mengembangkan konsep-konsep kunci secara berkelanjutan, sehingga internalisasi pengetahuan pada diri peserta didik akan semakin kuat; (3) menghubungkan ide-ide dalam suatu bidang studi memungkinkan peserta didik mampu mengkaji, mengkonseptualisasikan, memperbaiki, dan mengasimilasi ide-ide kreatif dalam memecahkan suatu masalah (Trianto, 2010:46).

(43)

untuk membentuk team teaching, sehingga isi materi ajar tetap terfokus tanpa merentangkan konsep-konsep antar bidang studi; (3) dalam memadukan ide-ide pada satu bidang studi, maka upaya untuk menghubungkan antar bidang studi menjadi terabaikan (Trianto, 2010:47)

2) Model Jaring laba-laba (Webbed model)

Model pembelajaran integratif jaring laba-laba pada dasarnya merupakan pembelajaran terpadu. Model ini dikembangkan mulai dari penentuan tema yang dipilih antara guru dan peserta didik, atau antara guru dengan guru. Setelah tema disepakati kemudian dikembangkan ke dalam sub-sub tema dengan memperhatikan kaitannya dengan bidang studi yang lain. Dari sub-sub tema ini kemudian dikembangkan ke dalam berbagai aktivitas pembelajaran (Sukayati, 2004:5).

Gambar : Diagram Peta Webbed

(44)

kegiatan-kegiatan dan ide-ide terkait. Sedangkan kelemahannya adalah: (1) terkadang sulit untuk menentukan tema; (2) cenderung untuk merumuskan tema-tema yang dangkal; (3) dalam kegiatan pembelajaran, terkadang guru lebih memusatkan pada kegiatan dari pada pengembangan konsep konten materi ajarnya (Trianto, 2010:48). 3) Model Keterpaduan (Integrated model)

Model integrated ini menggunakan pendekatan antar mata pelajaran, dimana model ini dilakukan dengan menggabungkan beberapa mata pelajaran dengan menetapkan prioritas kurikulum dan menemukan keterampilan, sikap dan konsep yang tumpah tindih dalam beberapa mata pelajaran (Sukayati, 2004:5).

Langkah awal yang dilakukan jika mengikuti model ini adalah mula-mula guru menyeleksi keterampilan, sikap dan konsep-konsep yang tumpang tindih antar beberapa mata pelajaran yang diajarkan dalam satu semester, misalnya IPA, Bahasa Indonesia, IPS, Matematika dan lain-lain. Selanjutnya dipilih beberapa keterampilan, sikap dan konsep yang tumpang tindih tersebut yang memiliki keterhubungan erat kemudian dicarikan tema yang dapat mewadahi beberapa konsep yang tumpah tindih tersebut untuk dijadikan sebagai tema pembelajaran.

(45)

Kelebihan dari model integrated ini adalah: (1) memungkinkan terjadinya pemahaman antar bidang studi, karena dengan memfokuskan pada isi pelajaran, strategi berpikir, keterampilan sosial dan ide-ide penemuan lain – satu pelajaran dapat mencakup banyak dimensi – pembelajaran akan semakin kaya dan berkembang; (2) memotivasi peserta didik dalam belajar; (3) memberikan perhatian pada berbagai bidang yang penting dalam satu waktu, tidak memerlukan penambahan waktu untuk bekerja dengan guru lain, guru tidak perlu mengulang kembali materi yang dianggap tumpang tindih sehingga pembelajaran tercapai secara efektif dan efisien. Sedangkan kelemahan dari model ini adalah: (1) guru dipaksa harus mengausai konsep, sikap, keterampilan yang diprioritaskan menjadi tema pembelajaran pada saat itu; (2) terkadang sulit menerapkan model integrasi secara penuh; (3) diperlukan tim antar bidang studi, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan; (4) menuntut adanya keragaman sumber belajar (Trianto, 2010:51)

h. Menentukan Jaringan Tema 1) Hakekat jaringan tema

(46)

Jaringan tema ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam pengembangan pembelajaran tematik integratif. Jaringan tema dapat disebut sebagai basis dan muara dalam pembelajaran tematik; disebut sebagai basis karena dalam pengembangan pembelajaran tematik integratif harus didasarkan pada jaringan tema yang sudah ada; sedangkan sebagai muara karena melalui pembelajaran tematik integratif ini diharapkan peserta didik mampu berpikir integratif dalam menyelesaikan berbagai persoalan.

2) Teknik membuat jaringan tema

Dalam menentukan jaringan tema ada beberapa langkah kerja yang harus dilakukan, yaitu menentukan tema, menginventarisasi materi yang masuk dalam tema, mengelompokkan materi ke dalam rumpun mata pelajaran, menghubungkan materi dengan tema (Trianto, 2010:150)

a) Menentukan tema

Dalam menentukan tema ada dua cara, yaitu :

(1) Cara induktif, yaitu dengan cara mempelajari kompetensi yang ada pada masing-masing mata pelajaran kemudian menentukan tema yang sesuai dengan tuntutan kompetensi tersebut.

(47)

Dalam menentukan tema ini, ada beberapa prinsip yang harus dipegangi guru, yaitu: a) memperhatikan keadaan lingkungan terdekat peserta didik; b) tema disusun dengan memperhatikan squance materi ajar, yaitu dari yang mudah ke yang sulit, dari yang sederhana menuju yang kompleks, dari yang konkrit menuju ke yang abstrak; c) tema yang dipilih harus memungkinkan terjadinya proses berpikir peserta didik; d) ruang lingkup tema yang dipilih harus disesuaikan dengan minat, kebutuhan, dan tingkat berpikir peserta didik.

b) Menginventarisasi materi yang sesuai dengan tema yang sudah ditentukan.

c) Mengelompokkan materi-materi yang sudah diinventarisir ke dalam rumpun mata pelajarannya masing-masing. Hal demikian dimaksudkan untuk mempermudah keterkaitan antar tema masing-masing mata pelajaran.

d) Menghubungkan materi-materi yang telah dikelompokkan dalam rumpun mata pelajaran dengan tema.

(48)

a) Minat peserta didik pada kegiatan yang menarik dapat dijadikan kriteria tema, seperti hari libur. Kegiatan hari libur sangat menyenangkan bagi peserta didik misalnya bermemain bola, pergi ke sawah, berkebun, dan sebagainya.

b) Minat guru yang berhubungan dengan kegiatan sekolah, peserta didik atau proses pembelajaran yang disesuaikan dengan tingkat pemahaman peseta didik. misalnya tentang tema koperasi sekolah. c) Kebutuhan siswa-siswi, yaitu sesuatu yang dibutuhkan peserta didik

yang berupa penjelasan, nasehat. Misalnya sekarang sering terjadi perkelahian antar pelajar; maka para peserta didik membutuhkan penjelasan, nasehat yang dapat menjauhkan mereka dari perkelahian antar pelajar, mereka perlu pemecahan atau jalan keluar, mereka diajak berdiskusi dalam mencari pemecahan soal perkelahian antar pelajar. Dengan demikian, perkelahian pelajar dapat dijadikan sebagai tema pembelajaran (Ahmad Nursobah, 2012:2).

3) Kriteria jaringan tema

Untuk membuat jaringan tema yang baik, ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan, yaitu simpel, sinkron, logis, mudah dipahami, dan terpadu (Trianto, 2010:151)

a) Simpel

(49)

simpel, tidak berbelit-belit, menggunakan kata-kata atau kalimat lugas, dan sederhana yang mampu menggambarkan keterkaitan antara materi yang terjaring dengan tema tersebut.

b) Sinkron

Jaringan tema meliputi mencakup dua hal pokok, yaitu tema pengikat dan materi terkait yang dianggap tercakup di dalamnya. Jaringan tema yang baik menuntut adanya sinkronisasi antara tema dan materi-materi ajar yang terkait.

c) Logis

Selanjutnya, setelah terjadi sinkronisasi antara tema dan materi-materi yang terkait tentunya jaringan tersebut logis. Maksudnya bahwa materi-materi ajar yang terjaring dalam tema tersebut memang benar-benar memiliki keterkaitan erat sehingga materi tersebut tidak masuk ke tema lain.

d) Mudah dipahami

(50)

e) Terpadu

Jaringan tema yang dibuat menggambarkan keterpaduan antar materi-materi yang ada dengan tema yang dipilih. Keterpaduan ini dapat dilihat dari kesamaan substansi antar materi yang satu dengan materi yang lain.

3. Pendekatan saintifik (scientific approach) a. Pengertian

Pembelajaran dengan pendekatan saintifik merupakan proses pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa agar peserta didik secara aktif mampu mengkonstruk konsep, hukum atau prinsip melalui lima tahap kegiatan pokok, yaitu mengamati (observing), menanya (questioning), melakukan/ mencoba (experimenting), menghubungkan/ mengasosiasi (asociating), dan mengkomunikasikan (communicating). Tahapan-tahapan tersebut merupakan bagian dari kegiatan ilmiah yang harus dilakukan dalam upaya mencari jawaban atas masalah atau menemukan kebenaran. Melalui kegiatan-kegiatan tersebut peserta didik akan dilatih untuk mengidentifikasi untuk menemukan masalah, merumuskan masalah, mengajukan atau merumuskan hipotesis, mengumpulkan data dengan berbagai teknik, menganalisis data, menarik kesimpulan dan mengomunikasikan konsep, hukum atau prinsip yang ditemukan.

(51)

bergantung pada informasi searah dari guru. Oleh karena itu kondisi pembelajaran harus diciptakan yang mampu mendorong peserta didik dalam mencari tahu tentang suatu informasi (materi ajar) dari berbagai sumber belajar melalui observasi, dan bukan hanya diberi tahu. Penerapan pendekatan saintifik dalam pembelajaran melibatkan keterampilan proses seperti mengamati, mengklasifikasi, mengukur, meramalkan, menjelaskan, dan menyimpulkan.

Dalam melaksanakan proses-proses tersebut, guru harus mampu menuntun dan mengarahkan peserta didik dalam mengembangkan rasa keingintahuannya terhadap sesuatu. diperlukan. Dalam kondisi demikian, guru lebih berperan sebagai fasilitator dan mediator bagi peserta didik dalam menemukan jawaban atas berbagai keingintahuannya tersebut.

b. Kriteria pembelajaran saintifik

Ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan guru dalam mengembangkan pembelajaran saintifik di sekolah agar berhasil. Kriteria ini sangat diperlukan guna membedakan antar model pembelajaran saintifik dengan model pembelajaran yang lain. Beberapa kriteria pembelajaran saintifik yang dimaksud adalah:

(52)

2) Penjelasan dari guru, respon dari peserta didik, dan interaksi edukatif antara guru dan peserta didik dikembangkan dengan mengedepankan prinsip objektivitas dan ilmiah, bukan didasarkan atas prasangka yang subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis.

3) Kegiatan pembelajaran dilakukan dengan menciptakan suasana yang mendorong dan menginspirasi peserta didik untuk berpikir kritis, analistis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan materi pembelajaran dalam realitas kehidupan sehari-hari.

4) Suasana pembelajaran didesain sedemikian rupa, sehingga mampu mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu sama lain dari materi pembelajaran. Berpikir hipotetik adalah cara berpikir dengan menghubungkan berbagai ide dan pemikiran untuk menganalisis dan memecahkan masalah yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari; menyusun rencana pemecahan masalah, mencoba melakukan pemecahan masalah dan menguji kembali secara sistematis pemecahan masalah.

(53)

6) Materi pembelajaran yang dikembangkan berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah akademik.

7) Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas

Tujuan pembelajaran perlu dirumuskan secara jelas, menggunakan kata atau kalimat yang mudah dipahami semua orang. Tujuan pembelajaran harus operasional, teramati dan terukur agar memudahkan dalam mengukur tingkat keberhasilannya.

8) Metode pembelajaran dikembangkan dengan mengedepankan learning by fun.

Metode pembelajaran yang menyenangkan dimaksudkan untuk menjadikan pembelajaran sebagai forum yang menarik dan menyenangkan. Dalam beberapa literatur psikologi disebutkan bahwa pembelajaran yang menyenangkan akan memungkinkan peserta didik mampu berkonsetrasi lebih lama dalam mengikuti pembelajaran karena adanya aktivasi otak kiri dan otak kanan. Selain itu, informasi yang diterima individu dalam suasana yang menyenangkan akan cepat terserap dan kuat tersimpan dalam memori individu.

c. Prinsip-prinsip pembelajaran saintifik

(54)

1) Pembelajaran berpusat pada peserta didik (child centered oriented) Istilah child centered oriented sebenarnya sudah lama terdengar dalam perbincangan berbagai model pembelajaran, namun satu hal yang perlu ditekankan adalah bagaimana prinsip tersebut dapat benar-benar dilakukan guru dalam proses pembelajaran. Peserta didik adalah sentral dan orientasi, yaitu segala keputusan guru terkait dengan pembelajaran harus didasarkan pada keadaan riil peserta didik, dan kegiatan pembelajaran yang dirancang dan dikembangkan guru di kelas adalah dalam rangka mengantarkan peserta didik pada pencapaian kompetensi yang telah ditetapkan. 2) Pembelajaran membentuk students’ self concept

Pembelajaran yang dikembangkan guru harus mampu membentuk konsep diri pada pesera didik, yaitu peserta didik memiliki konsep yang positif terhadap dirinya sendiri sebagai individu yang memiliki kemampuan yang „luar biasa‟ yang dapat berbuat,

(55)

3) Pembelajaran terhindar dari verbalisme

Pembelajaran saintifik diarahkan untuk membentuk diri peserta didik menjadi insan akademik melalui pengamatan dan percobaan. Pengmatan dan percobaan yang dilakukan guru bersama peserta didik memungkinkan peserta didik memiliki pengetahuan tentang sesuatu secara langsung melalui inderanya, melalui pembuktian ilmiah dan tidak hanya kata-kata tentang kebenaran dari orang lain. 4) Pembelajaran memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk

mengasimilasi dan mengakomodasi konsep, hukum, dan prinsip. Hal tersebut akan tercapai melalui kegiatan pembelajaran yang selalu mengajak peserta didik untuk melakukan, mempraktikkan, mengeksplorasi dan melakukan experimen.

5) Pembelajaran mendorong terjadinya peningkatan kemampuan berpikir peserta didik.

Kemampuan berpikir peserta didik akan meningkat manakala guru mampu memfasilitasi aktivitas berpikir peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Guru dapat mengembangkan pembelajaran kontekstual, problem based learning, problem possing, problem solving, inquiry approach, dan sejenisnya.

6) Pembelajaran meningkatkan motivasi belajar peserta didik dan motivasi mengajar guru.

(56)

pembelajaran. Instink rasa ingin tahu peserta didik yang sedang muncul harus difasilitasi melalui kegiatan pembelajaran yang memungkinkan peserta didik menemukan jawaban atas berbagai pertanyaan yang ada pada dirinya tentang realitas.

7) Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk melatih kemampuan dalam komunikasi.

Kemampuan berkomunikasi merupakan perwujudan dari tingkat pemahaman peserta didik terhadap materi pembelajarn sekaligu untuk mengembangkan sikap keberanian dan tanggung jawab pesera didik. Kemampuan berkomunikasi dapat dikembangkan guru melalui komunikasi lisan dan tertulis, sehingga setiap kegiatan pembelajaran peserta didik diberi kesempatan untuk mengkomunikasikan pemahamannya atas materi ajar.

8) Adanya proses validasi terhadap konsep, hukum, dan prinsip yang dikonstruksi peserta didik dalam struktur kognitifnya.

(57)

d. Langkah-langkah pembelajaran saintifik

Pelaksanaan pendekatan saintifik di kelas sebagai bagian utama dalam pembelajaran tematik integratif harus mampu menyentuh tiga domain kompetensi dalam diri individu, yaitu afektif, psikomotor, dan kognitif. Ketiga hal tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak boleh terpisahkan dalam pengembangannya melalui pendidikan di sekolah. Melalui pengembangan integratif tersebut, peserta didik diharapkan menjadi manusia total yang kreatif, inovatif, dan produktif.

Gambar : performa peserta didik yang total integratif

Dalam Permendikbud Nomor 81A/2013 dijelaskan bahwa dalam pelaksanaan pendekatan saintifik, kegiatan belajar mengajar dikembangkan melalui lima kegiatan utama, yaitu mengamati, menanya, melakukan/ mencoba/ mengumpulkan informasi/ mengeksplorasi, mengasosiasi/ mengolah informasi dan mengkomunikasikan. Lima kegiatan tersebut merupakan aktivitas pokok dalam aktivitas ilmiah dan dilakukan secara berurutan.

(58)

Kegiatan yang pertama adalah mengamati, meliputi aktivitas membaca, mendengar, menyimak, melihat (tanpa atau dengan alat). Kompetensi yang ingin dikembangkan melalui kegiatan mengamati adalah untuk melatih kesungguhan, ketelitian, mencari informasi. Kegiatan menanya meliputi aktivitas mengajukan pertanyaan tentang informasi yang tidak dipahami dari apa yang diamati atau pertanyaan untuk mendapatkan informasi tambahan tentang apa yang diamati (dimulai dari pertanyaan faktual sampai ke pertanyaan yang bersifat hipotetik). Kompetensi yang akan dikembangkan melalui kegiatan menanya adalah mengembangkan kreativitas, rasa ingin tahu, kemampuan merumuskan pertanyaan untuk membentuk pikiran kritis yang perlu untuk hidup cerdas dan belajar sepanjang hayat.

(59)

mengumpulkan informasi melalui berbagai cara yang dipelajari, mengembangkan kebiasaan belajar dan belajar sepanjang hayat. Kegiatan mengasosiasi atau mengolah informasi meliputi aktivitas mengolah informasi yang sudah dikumpulkan baik terbatas dari hasil kegiatan mengumpulkan atau eksperimen maupun hasil dari kegiatan mengamati dan kegiatan mengumpulkan informasi dan pengolahan informasi yang dikumpulkan dari yang bersifat menambah keluasan dan kedalaman sampai kepada pengolahan informasi yang bersifat mencari solusi dari berbagai sumber yang memiliki pendapat yang berbeda sampai kepada yang bertentangan. Kompetensi yang ingin dikembangkan melalui kegiatan asosiasi ini adalah mengembangkan sikap jujur, teliti, disiplin, taat aturan, kerja keras, kemampuan menerapkan prosedur dan kemampuan berpikir induktif serta deduktif dalam menyimpulkan.

Kegiatan yang kelima adalah mengkomunikasikan yang meliputi aktivitas menyampaikan hasil pengamatan, kesimpulan berdasarkan hasil analisis secara lisan, tertulis, atau media lainnya. Kompetensi yang ingin dikembangkan adalah mengembangkan sikap jujur, teliti, toleransi, kemampuan berpikir sistematis, mengungkapkan pendapat dengan singkat dan jelas, dan mengembangkan kemampuan berbahasa yang baik dan benar.

(60)

macam yaitu kegiatan awal, kegiatan inti dan kegiatan penutup. Adapun langkah kegiatan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

1) Kegiatan Pendahuluan

Kegiatan pendahuluan bertujuan untuk menciptakan suasana awal pembelajaran yang efektif yang memungkinkan peserta didik dapat mengikuti proses pembelajaran dengan baik. Sebagai contoh ketika memulai pembelajaran, guru menyapa anak dengan nada bersemangat dan gembira (mengucapkan salam), mengecek kehadiran para peserta didik dan menanyakan ketidakhadiran peserta didik apabila ada yang tidak hadir.

2) Kegiatan Inti

Kegiatan inti dalam pembelajaran adalah suatu proses pembentukan pengalaman dan kemampuan peserta didik secara terprogram yang dilaksanakan dalam durasi waktu tertentu. Kegiatan inti dalam metode saintifik ditujukan untuk terkonstruksinya konsep, hukum atau prinsip oleh peserta didik dengan bantuan dari guru melalaui langkah-langkah kegiatan yang diberikan di muka.

3) Kegiatan Penutup

(61)

kebenaran konsep, hukum atau prinsip yang telah dikonstruk oleh peserta didik.

Dalam pendekatan saintifik, teknik penilaian yang dilakukan meliputi penilaian proses, penilaian hasil (product) dan penilaian sikap. Penilaian proses atau keterampilan, dilakukan melalui observasi saat siswa bekerja kelompok, bekerja individu, berdiskusi, presentasi dengan menggunakan lembar observasi kinerja; penilaian hasil (product) dapat dilakukan secara tes tertulis dengan tujuan untuk mengetahui pemahaman konsep, prinsip, dan hukum yang disampaikan dalam kegitan pembelajaran; sedangkan penilaian sikap dilakukan melalui observasi saat peserta didik bekerja kelompok, bekerja individu, berdiskusi, saat presentasi dengan menggunakan lembar observasi sikap.

4. Penilaian Otentik (authentic assessment) a. Pengertian

(62)

Menurut Jon Mueller penilaian otentik adalah bentuk penilaian yang meminta para siswanya untuk menampilkan tugas pada situasi yang sesungguhnya, mendemonstrasikan penerapan keterampilan dan pengetahuan esensial yang bermakna. Pendapat serupa dikemukakan oleh Richard J. Stiggins, sementara Stiggins mengemukakan bahwa penilaian otentik adalah menekankan penguasaan penerapan keterampilan dan kompetensi spesifik. (performance assessments call upon the examinee to demonstrate specific skills and competencies, that is, to apply the skills and knowledge they have mastered). Grant Wiggins (dalam Nuryani, tt:2), menekankan perlunya kinerja ditampilkan secara efektif dan kreatif, tugas yang diberikan dapat berupa pengulangan tugas atau masalah yang serupa dengan masalah yang dihadapi orang dewasa, baik sebagai warganegara, konsumen, atau professional di bidangnya. “...engaging and worthy problems or questions of importance, in which students must use knowledge to fashion performance effectively and creatively. The tasks are either replic as of or analogous to the kinds of problems faced by adult citizens and consumers or professionals in the field”.

(63)

evaluasi, sedangkan istilah authentic merupakan sinonim dari kata asli, nyata, sungguh-sungguh, sebenar-benarnya.

(64)

akan lebih baik kalau peserta didik mendemonstrasikan secara langsung penerapan pengetahuan dan keterampilannya (Nuryani, tt:4)

Penilaian otentik memiliki relevansi kuat terhadap pendekatan ilmiah dalam pembelajaran sesuai dengan tuntutan Kurikulum 2013. Penilaian tersebut mampu menggambarkan peningkatan hasil belajar peserta didik, baik dalam rangka mengobservasi, menalar, mencoba, membangun jejaring, dan lain-lain. Penilaian otentik cenderung fokus pada tugas-tugas kompleks atau kontekstual, memungkinkan peserta didik untuk menunjukkan kompetensi mereka dalam pengaturan yang lebih otentik. Penilaian otentik sangat relevan dengan pendekatan tematik terpadu dalam pembejajaran, khususnya jenjang sekolah dasar atau untuk mata pelajaran yang sesuai.

Sebagaimana disebutkan di atas, penilaian otentik sering dipertentangkan dengan penilaian yang menggunakan standar tes berbasis norma, pilihan ganda, benar-salah, menjodohkan atau membuat jawaban singkat, essay (uraian). Tentu saja jenis penilaian seperti ini tidak lantas dihilangkan dalam proses pembelajaran, karena masing-masing jenis tes memiliki skop penggunaan yang berbeda-beda.

(65)

diminta untuk merefleksikan dan mengevaluasi kinerja mereka sendiri dalam rangka meningkatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang tujuan pembelajaran serta mendorong kemampuan belajar yang lebih tinggi.

Pada penilaian otentik guru menerapkan kriteria yang berkaitan dengan konstruksi pengetahuan, kajian keilmuan, dan pengalaman yang diperoleh dari luar sekolah. Penilaian otentik mencoba menggabungkan kegiatan guru mengajar, kegiatan belajar peserta didik, motivasi dan keterlibatan peserta didik, serta keterampilan belajar. Karena penilaian itu merupakan bagian dari proses pembelajaran, guru dan peserta didik berbagi pemahaman tentang kriteria kinerja.

Konstruksi sikap, keterampilan, dan pengetahuan dicapai melalui penyelesaian tugas dimana peserta didik telah memainkan peran aktif dan kreatif. Keterlibatan peserta didik dalam melaksanakan tugas sangat bermakna bagi perkembangan pribadi mereka. Dalam pembelajaran otentik, peserta didik diminta mengumpulkan informasi dengan pendekatan scientific, memahami aneka fenomena atau gejala dan hubungannya satu sama lain secara mendalam, serta mengaitkan apa yang dipelajari dengan dunia nyata yang ada di luar sekolah.

(66)

pengetahuan apa yang sudah atau belum dimiliki oleh peserta didik, bagaimana mereka menerapkan pengetahuannya, dalam hal apa mereka sudah atau belum mampu menerapkan perolehan belajar, dan sebagainya. Atas dasar itu, guru dapat mengidentifikasi materi apa yang sudah layak dilanjutkan dan untuk materi apa pula kegiatan remedial harus dilakukan.

b. Penilaiandan pembelajaran otentik

Penilaian otentik mengharuskan pembelajaran yang otentik (authentic lerning) pula, yaitu belajar melalui kegiatan yang mencerminkan tugas dan pemecahan masalah yang diperlukan dalam kehidupan nyata di luar sekolah. Dalam pembelajaran otentik ini berarti peserta didik bersama guru melakukan aktivitas untuk menemukan menemukan sesuatu dan merasakan sendiri, dan oleh karenanya guru mengembangkan inquiry discovery learning. Peserta didik merasakan, menemukan sendiri dan membuktikan sendiri, tidak hanya menerima informasi tentang suatu kebenaran atas hasil riset orang lain.

(67)

Penilaian otentik mendorong peserta didik mengkonstruksi, mengorganisasi, menganalisis, mensintesis, menafsirkan, menjelaskan, dan mengevaluasi informasi untuk kemudian mengubahnya menjadi pengetahuan baru. Pada pembelajaran otentik, guru harus menjadi “guru otentik.” Peran guru bukan hanya pada proses pembelajaran, melainkan juga pada penilaian. Guru otentik adalah guru yang mengajak peserta didiknya untuk menemukan dan membangun pengetahuannya sendiri melalui riset dan experimen, bukan hanya menginformasikan pengetahuan kepada peserta didik semata.

Untuk bisa melaksanakan pembelajaran otentik, guru harus memenuhi kriteria tertentu:

1) Mengetahui bagaimana menilai kekuatan dan kelemahan peserta didik serta desain pembelajaran.

Guru adalah sosok yang diasumsikan paling tahu tentang keadaan peserta didiknya, kelebihan dan kelemahannya. Pengetahuan guru akan keadaan peserta didik yang sebenarnya tersebut merupakan modal dasar bagi penyusunan desain pembelajaran yang akan dikembangkan. Desain pembelajaran yang disusun berdasarkan keadaan peserta didik yang sebenarnya, memungkinkan peserta didik akan belajar sesuai dengan keadaan dirinya.

(68)

mengajukan pertanyaan dan menyediakan sumber daya memadai bagi peserta didik untuk melakukan akuisisi pengetahuan.

Kemampuan guru dalam membimbing peserta didik sangat diperlukan agar peserta didik terselesaikan masalahnya dan mereka dapat mengembangkan diri sesuai dengan potensi yang dibawa. Dalam kegiatan pendidikan, minimal guru memiliki tiga peran, yaitu sebagai pengajar, pembimbing, dan pelatih. Guru sebagai pengajar bertugas mengembangkan kemampuan intelektual peserta didik; sebagai pembimbing guru bertugas membimbing peserta didik dalam mengembangkan aspek afektif, perilaku, kepribadian dan pengembangan dirinya; sebagai pelatih guru bertugas mengembangkan aspek skill motorik peserta didik. Ketiga peran terebut terintegrasi selalu melekat dalam pribadi guru dalam melaksanakan tugas kependidikan untuk membentuk peserta didik yang total melalui upaya yang terintegrasi pula.

Untuk dapat melaksanakan tugas membimbing secara baik maka guru harus mengetahui keadaan peserta didik yang sebenarnya dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang cara membimbing peserta didik.

Gambar

Gambar : Diagram Peta Keterhubungan
Gambar : Diagram Peta Webbed
Gambar : performa peserta didik yang total integratif
gambar gambar
+2

Referensi

Dokumen terkait

Setelah dilakukan penelitian, pengolahan data dan pembahasan tentang hubungan antara pendampingan suami terhadap tingkat kecemasan ibu pada fase aktif kala I proses

Berdasarkan hasil analisis Location Quotient (LQ) dan Shift Share Esteban Marquillas (SSEM) wilayah tertinggal di Provinsi Jawa Timur diperoleh simpulan

Kimura, dkk [10] meneliti lebih detil pengaruh proses paramater pengelasan (tekanan pengelasan) pada kecepatan putar 1650 rpm, terhadap fenomena proses

Proses belajar mengajar yang dilaksanakan di SMP N 11 Semarang sudah dapat dikatakan PAKEM (Pola Aktif Kreatif dan Menyenangkan) khususnya mata pelajaran seni budaya,

Zirconia merupakan bahan keramik yang mempunyai sifat mekanis baik dan banyak digunakan sebagai media untuk meningkatkan ketangguhan retak bahan keramik lain diantaranya

Ibu Rachmanida Nuzrina, S.Gz, M.Gizi, selaku pembimbing I yang juga telah membantu dan membimbing saya dalam menyusun skripsi ini.. Ibu Mertien Sa’pang, S.Gz, M.Si ,

Hubungan antara kemampuan memori konsep struktur atom dengan hasil belajar siswa pada materi ikatan kimia kelas X IPA 5 SMA Terpadu Wira Bhakti Gorontalo

Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Think Pair Share berbantuan audio visual berpengaruh terhadap kompetensi pengetahuan IPS siswa