SKRIPSI
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BAWANG
MERAH (Allium ascalonicum L) TERHADAP
GAMBARAN HISTOPATOLOGI HEPAR
TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) YANG
DIINDUKSI ALOKSAN
Oleh:
NI KOMANG APRILINA WIDI SUPUTRI NIM 061111059
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Lembar Pengesahan
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI
HEPAR TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) YANG DIINDUKSI ALOKSAN
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan
Pada
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga
Oleh:
Ni Komang Aprilina Widi Suputri 061111059
Menyetujui Komisi Pembimbing
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi berjudul:
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BAWANG MERAH
(
Allium ascalonicum L
) TERHADAP GAMBARAN
HISTOPATOLOGI HEPAR TIKUS PUTIH
(
Rattus norvegicus
) YANG DIINDUKSI
ALOKSAN
tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya
atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Surabaya, 10 Agustus 2015
Telah dinilai pada Seminar Hasil Penelitian Tanggal: 8 Juli 2015
KOMISI PENILAI SEMINAR HASIL PENELITIAN
Ketua : Chairul Anwar, drh., M.S. Sekertaris : Dr. Tutik Juniastuti, drh., M.Kes.
Anggota : Lianny Nangoi, drh., M.S.
Pembimbing Utama : Ajik Azmijah, drh., S.U.
Telah diuji pada
Tanggal: 7 Agustus 2015
KOMISI PENGUJI SKRIPSI
Ketua : Chairul Anwar, drh., M.S. Anggota : Dr. Tutik Juniastuti, drh., M.Kes.
Lianny Nangoi, drh., M.S. Ajik Azmijah, drh., S.U. Retno Bijanti, drh., M.S.
Surabaya, 10 Agustus 2015 Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Airlangga Dekan,
THE EFFECT OF GIVING SHALLOT EXTRACT (Allium ascalonicum L)
TO HISTOPATHOLOGICAL FEATURE OF RAT (Rattus norvegicus)
LIVER INDUCED BY ALLOXAN
Ni Komang Aprilina Widi Suputri
ABSTRACT
This study was aimed to know the effect of giving shallot extract (Allium ascalonicum L) to histopathological feature of rat (Rattus norvegicus) liver induced by alloxan. Alloxan were intraperitoneally injected 120 mg/KgBW (single dose). A total of twenty male wistar rats of three months old were used in study. The rats were devided into five groups. 1) negative control group (K-) treated by CMC Na 0.5 %, 2) positive control group (K+) treated by metformin 45 mg/KgBW as a standard drug, 3) extract of Allium ascalonicum 250 mg/KgBW (P1), 4) extract of Allium ascalonicum 500 mg/KgBW (P2), 5) extract of Allium ascalonicum 750 mg/KgBW (P3). Rats were treated for 14 days. The data of this study were analyze by Kruskal Wallis Test, then it continued by Mann-Whitney Test. The result of this study is Allium ascalonicum can improve histopathological feature of rats liver incuced by alloxan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas asung kerta wara nugraha Nya sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian dan menyelesaikan skripsi yang berjudul Pengaruh Pemberian
Ekstrak Bawang Merah (Allium ascalonicum L) Terhadap Gambaran
Histopatologi Hepar Tikus Putih (Rattus Norvegicus) Yang Diinduksi
Aloksan.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih kepada: Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Prof. Hj.
Romziah Sidik, Ph.D., drh. Atas kesempatan untuk mengikuti pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.
Ajik Azmijah, drh., S.U., selaku pembimbing pertama dan Retno Bijanti, drh., M.S., selaku pembimbing serta, atas saran dan bimbingannya baik tenaga, waktu, pikiran, doa, kesabaran dan perhatian untuk penulis sehingga dapat
menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini.
Komisi penguji, Chairul Anwar, drh., M.S., selaku ketua penguji, Dr. Tutik
Juniastuti, drh., M.Kes., selaku sekertaris penguji, dan Lianny Nangoi, drh., M.S., selaku anggota penguji, atas saran dan masukan yang telah diberikan.
Retno Bijanti, drh., selaku dosen wali yang telah memberikan banyak
Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga atas wawasan ilmu yang diberikan kepada penulis selama mengikuti pendidikan di
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.
Orang tua penulis, bapak I Wayan Widiadnya dan ibu Ni Ketut Parningsih, yang selalu memberikan cinta dan dukungan, terimakasih atas segala doa, cinta ,
perhatian, semangat, motivasi, yang tak ternilai oleh apapun. Terimakasih atas kasih sayang sepanjang masa kalian sehingga penulis mampu sampai ke titik ini.
Teruntuk kakak Niluh Apriliyanti, kakak Ni Made Septina, adik Kadek Ramawan, keponakan yang paling lucu Sena dan Radha penulis ucapkan terimakasih atas segala doa, dukungan, canda, tawa yang selalu hadir dalam
kebersamaan.
Untuk orang yang special Made Mahaguna Putra yang selalu ada saat
penulis membutuhkan bantuan dalam keadaan apapun, terima kasih atas segala doa, cinta dan motivasi yang sangat besar.
Sahabat – sahabat Black dahlia yang tak henti-hentinya memotivasi penulis
hingga di titik ini : Granita, Tanti, Wenika, Pipit, Yovita, Faulanni, Risky, Jimmy, Ghozi, dan Nimas. Teman-teman kelas A angkatan 2011, terima kasih untuk
kalian semua yang selalu mendukung dan mendoakan saya. Angkatan 2011 dan seluruh teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih atas dukungan, doa, serta semangat yang tak terhingga.
Terakhir penulis hendak menyapa setiap nama yang tidak dapat penulis cantumkan satu per satu, terima kasih atas doa yang senantiasa mengalir tanpa
sepengetahuan penulis. Terima kasih sebanyak-banyaknya kepada orang yang turut bersuka cita atas keberhasilan penulis menyelesaikan skripsi ini.
Penulis sepenuhnya menyadari masih banyak terdapat kekurangan,
mengingat terbatasnya pengetahuan dan kemampuan yang penulis miliki. Oleh karenanya, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.
Akhirnya penulis hanya mampu berharap, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Salam sukses !
Surabaya, 10 Agustus 2015
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
HALAMAN PERNYATAAN... iii
HALAMAN IDENTITAS ... iv
2.1 Tinjauan Tentang Bawang Merah ... 7
2.1.1 Klasifikasi dan morfologi bawang merah ... 7
2.1.2 Manfaat bawang merah ... 8
2.2Tinjauan Tentang Hiperglikemia ... 9
2.3Tinjauan Tentang Diabetes Mellitus ... 9
2.3.1 Definisi diabetes mellitus ... 9
2.3.2 Klasifikasi diabetes mellitus ... 10
2.3.3 Gejala diabetes mellitus ... 10
2.3.4 Diagnosa diabetes mellitus... 11
2.3.5 Terapi diabetes mellitus ... 11
2.4 Tinjauan Tentang Aloksan ... 12
2.6Tinjauan Organ Hepar ... 14
2.6.1 Anatomi hepar ... 14
2.6.2 Histologi hepar ... 14
2.6.3 Fungsi hepar ... 16
2.6.4 Patologi hepar ... 17
2.7 Tinjauan Tentang Tikus Putih ... 19
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.1 Kadar glukosa darah normal, prediabetes dan diabetes mellitus ... 11
3.1 Skoring penilaian derajat histopatologi sel hepar ... 28
4.1 Nilai median degenerasi sel hepar ... 32
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Bawang merah ... 7
2.2 Struktur kimia aloksan ... 13
2.3 Histologi hepar normal... 15
4.1 Histopatologi degenerasi sel hepar tikus perlakuan K- ... 33
4.2 Histopatologi degenerasi sel hepar tikus perlakuan K+, P1, P2, P3 . 34 4.3 Histopatologi nekrosis sel hepar tikus perlakuan K- ... 36
4.4 Histopatologi nekrosis sel hepar tikus perlakuan K+, P1, P2, P3 ... 37
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Prosedur pembuatan preparat jaringan hepar ... 53
2. Kadar glukosa darah tikus putih sebelum diinduksi aloksan ... 56
3. Kadar glukosa darah tikus putih 4 hari setelah diinduksi aloksan ... 57
4. Kadar glukosa darah tikus putih setelah diterapi selama 14 hari ... 58
5. Hasil skoring degenerasi sel hepar ... 59
6.Data statistik degenerasi sel hepar ... 60
7. Hasil skoring nekrosis sel hepar... 62
8. Data statistik nekrosis sel hepar ... 63
9. Konversi perhitungan dosis berbagai jenis hewan dan manusia ... 71
10. Perhitungan dosis ... 72
SINGKATAN DAN ARTI LAMBANG
β = Beta
ATP = Adenosin triphospat BNF = Buffer Neutral Formalin CCI4 = Carbontetrachlorida
CMC Na = Carboxymethylcelluloce Natrium
HE = Haematoxylin Eosin
IDDM = Insulin Dependent Diabetes Mellitus NIDDM = Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus
RPM = Rotation Per Minute
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit degeneratif yang terus bertambah jumlahnya di Indonesia. Meningkatnya prevalensi penyakit ini
disebabkan oleh perubahan gaya hidup dan pola makan masyarakat. Diabetes mellitus (DM) terjadi akibat menurunnya fungsi pankreas untuk memproduksi
insulin atau reseptor insulin tidak peka sehingga terjadi gangguan metabolisme, dimana glukosa tidak diubah menjadi glikogen dan glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel sehingga glukosa darah meningkat (Setiawan dkk., 2011). Manifestasi
klinis mencakup gangguan metabolisme lipid, karbohidrat, dan protein yang kemudian akan merangsang kondisi hiperglikemia. Lalu kondisi hiperglikemia
tersebut akan berkembang menjadi diabetes mellitus (Nugroho, 2006).
Gejala yang ditimbulkan pada penderita diabetes mellitus yaitu poliuria (sering buang air kecil), polidipsia (sering merasa haus), polifagia (sering merasa
lapar), dan penurunan berat badan (BB) yang cepat dan tidak diketahui penyebabnya. Keluhan lain yang timbul dapat berupa lemah badan, parestesi,
gatal, mata kabur, gairah seks menurun, dan luka yang sukar sembuh (Setiawan dkk., 2011).
Dalam penanggulangan diabetes, obat antidiabetes oral mungkin berguna
untuk penderita yang alergi terhadap insulin atau yang tidak menggunakan suntikan insulin. Sementara penggunaannya harus dipahami, agar ada kesesuaian
para ahli mengembangkan sistem pengobatan tradisional untuk penyakit diabetes mellitus yang relatif aman dengan menggunakan bahan asal tanaman herbal
(Studiawan dan Santosa, 2005).
Salah satu tanaman yang bisa dimanfaatkan sebagai alternatif adalah bawang merah (Allium ascalonicum L). Bawang merah merupakan salah satu
jenis tanaman yang banyak dikonsumsi manusia (Irfan, 2013). Sebagai bahan obat, bawang merah dapat digunakan untuk menurunkan kadar gula serta
kolesterol. Selain itu, bawang merah juga dapat digunakan sebagai obat penyakit diabetes mellitus (Samadi dan Cahyono, 2005). Kandungan flavonoid yang dominan di dalam umbi bawang merah terutama quercetin, diduga memiliki efek
hipoglikemik dan bermanfaat bagi penderita diabetes mellitus (Azuma et al., 2007).
Penelitian ini menggunakan aloksan untuk menginduksi kondisi diabetes mellitus pada hewan coba. Pemberian aloksan dapat meningkatkan kadar glukosa darah sehingga menyebabkan terganggunya produksi insulin karena rusaknya sel
β pankreas. Terganggunya pemasukan glukosa ke dalam sel mengakibatkan kadar glukosa di dalam darah tinggi (Prabowo, 1997). Kondisi hiperglikemia ini dapat
menyebabkan terjadinya stress oksidatif dari beberapa organ antara lain hepar, jantung, otak, serta otot rangka (Widowati, 2008).
Hepar adalah organ yang potensial mengalami kerusakan karena
merupakan organ pertama setelah saluran pencernaan yang terpapar oleh bahan yang bersifat toksik. Proses metabolisme oleh hepar akan mendetoksifikasi bahan
gambaran histopatologi hepar sangat penting untuk mengetahui perubahan sel hepar yang terjadi.
Dari keterangan di atas mendorong peneliti untuk mengadakan penelitian dengan tujuan mengetahui pengaruh pemberian ekstrak bawang merah (Allium
ascalonicum L) terhadap gambaran histopatologi hepar tikus putih (Rattus
norvegicus) yang diinduksi aloksan.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah pemberian ekstrak bawang merah (Allium ascalonicum L) dapat memperbaiki gambaran histopatologi hepar tikus putih (Rattus norvegicus) yang
diinduksi aloksan ?
1.3 Landasan Teori
Pada penderita diabetes mellitus (DM) tubuh kekurangan insulin atau tubuh sedikit menghasilkan insulin (DM tipe 1) atau insulin tetap dihasilkan
dalam jumlah yang normal (DM tipe 2), namun insulin yang ada tidak bekerja dengan baik atau terjadi resistensi insulin karena reseptor insulin pada membran
sel berkurang atau strukturnya berubah. Kondisi ini menyebabkan glukosa yang masuk ke dalam sel berkurang. Akibatnya, sel kekurangan glukosa sehingga
kemungkinan tidak terjadi penimbunan glikogen. Sebaliknya, akan terjadi
mobilisasi cadangan glikogen di hepar maupun di otot untuk dikatabolisme menghasilkan glukosa dan dilepas ke pembuluh darah sehingga menyebabkan
Kondisi hiperglikemia ini dapat menyebabkan terjadinya stress oksidatif dari beberapa organ antara lain hepar, jantung, otak, serta otot rangka (Widowati,
2008). Stress oksidatif dapat menyebabkan terjadinya reaksi metabolisme lipid, protein termasuk enzim, yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan oksidatif, apabila hal ini berlanjut maka dapat menyebabkan terjadinya kerusakan dan
kematian sel hepar (Mahdi dkk., 2007).
Keadaan hepar pada kondisi diabetes mellitus akan mengalami degenerasi
dan kongesti. Degenerasi ditunjukkan dengan adanya sel hepar berwarna lebih gelap dan mengalami pembengkakan. Hal ini disebabkan oleh peningkatan degradasi glikogen dan glukoneogenesis karena pemanfaatan glukosa terhambat
(Hussain dkk., 2008). Penderita diabetes mellitus juga mudah mengalami kondisi hyperlipidemia. Gangguan metabolisme lipid menyebabkan adanya kelainan pada
hepar dengan pembentukan radikal bebas, sehingga mengoksidasi lipid dan protein yang dapat berakibat terjadinya kerusakan pada hepar (Ardiani et al., 2011). Pada tikus putih yang mengalami kondisi diabetes mellitus juga didapati
kerusakan hepar berupa nekrosis. Hal itu ditunjukkan dengan kondisi jarak nukleus menjadi berjauhan, batas antar sel menjadi tidak jelas, hepatosit menjadi
tidak teratur, mengecilnya inti sel dan rusaknya membran plasma (Kresnamurti dan Agnes, 2011).
Menurut Kumalaningsih (2007), dalam keadaan normal, pembentukan
radikal bebas akan diikuti oleh pembentukan antioksidan dalam tubuh sehingga terjadi keseimbangan antara radikal bebas dan antioksidan. Keadaan suatu
menyebabkan terjadinya stress oksidatif. Langkah yang paling tepat untuk mengurangi stress oksidatif adalah dengan mengurangi radikal bebas atau
mengoptimalkan pertahanan tubuh dengan memperbanyak antioksidan.
Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menetralkan atau menangkap radikal bebas dan melindungi jaringan biologis dari kerusakan akibat radikal
bebas. Antioksidan berperan untuk memperbaiki sel hepar yang rusak akibat radikal bebas, memperbaiki sel β pankreas yang rusak sehingga dapat
meningkatkan sekresi insulin pada penderita diabetes mellitus, dan mencegah terjadinya komplikasi diabetes mellitus (Algameta, 2009).
Senyawa yang termasuk golongan polifenol selain mempunyai aktivitas
sebagai antioksidan juga memiliki fungsi biologis yang lain seperti memperbaiki metabolisme glukosa (Suarsana dkk., 2010).
Bawang merah sangat bermanfaat untuk kesehatan tubuh karena kaya akan kandungan antioksidan. Kadar flavonoid yang tinggi pada umbi bawang merah menjadikan bawang merah sebagai antioksidan yang baik untuk menghambat
radikal bebas. Bawang merah diyakini mengandung komponen kimia yang mempunyai efek antiinflamasi, antikolesterol, antikanker, dan antioksidan seperti
quercetin (Galeone et al., 2006). Terdapat penelitian yang melaporkan bahwa bawang merah mengandung quercetin dalam kadar yang tinggi, saponin, isorhamnetin dan glikosida (Fattoruso et al., 2002). Kebanyakan tumbuhan yang
Begitu pula dengan bawang merah, kandungan flavonoid yang dominan di dalam umbi bawang merah terutama quercetin, diduga memiliki efek
hipoglikemik dan bermanfaat bagi penderita diabetes mellitus (Azuma et all., 2007).
Menurut Atsushi et al., (2008), Nuraliev dan Avezov (1992) bahwa
quercetin juga memiliki efek penghambatan terhadap degradasi glikogen di hepar. Hambatan degradasi glikogen secara langsung akan mengurangi pelepasan
glukosa di hepar sehingga dapat menurunkan kadar glukosa darah.
1.4 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak bawang merah (Allium
ascalonicum L) terhadap gambaran histopatologi hepar tikus putih (Rattus norvegicus) yang diinduksi aloksan.
1.5 Manfaat Penelitian
Memberikan informasi kepada masyarakat tentang khasiat ekstrak bawang merah (Allium ascalonicum L) yang dapat digunakan sebagai pencegah kerusakan
hepar akibat induksi aloksan.
1.6 Hipotesis penelitian
Pemberian ekstrak bawang merah (Allium ascalonicum L) dapat
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Tentang Bawang Merah
2.1.1 Klasifikasi dan morfologi bawang merah
Menurut (Samadi dan Cahyono, 2005) tanaman bawang merah (Allium
Ascalonicum L) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Class : Monocotyledonae
Ordo : Liliales
Family : Liliaceae
Genus : Allium
Spesies :Allium Ascalonicum L
Bawang merah (Allium Ascalonicum L) merupakan salah satu anggota dari familia Liliaceae. Tanaman ini merupakan tanaman semusim dan memiliki umbi
yang berlapis. Bawang merah mempunyai akar serabut, dengan daun berbentuk silinder berongga. Umbi terbentuk dari pangkal daun yang bersatu dan membentuk batang yang berubah bentuk dan fungsi, membesar dan membentuk
umbi berlapis. Umbi bawang merah terbentuk dari lapisan-lapisan daun yang membesar dan bersatu. Umbi bawang merah bukan merupakan umbi sejati seperti
kentang atau talas (Rukmana, 1994).
2.1.2 Manfaat bawang merah
Bawang merah adalah jenis tanaman sayuran yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia. Selain dipakai sebagai bahan untuk bumbu masakan,
bawang merah juga sering digunakan sebagai bahan obat untuk penyakit tertentu dan juga dikenal sebagai tanaman rempah dan obat. Sebagai bahan obat, bawang merah dapat menyembuhkan luka luar maupun dalam contohnya penyakit maag,
masuk angin, dan menurunkan kadar gula serta kolesterol. Selain itu, bawang merah juga dapat digunakan sebagai obat penyakit kencing manis atau diabetes
mellitus. Sebagai obat, bawang merah dapat diberikan dalam bentuk mentah dan utuh, artinya tidak dicampur dengan bahan lain atau dalam bentuk olahan seperti
ekstrak tepung, minyak atsiri ataupun sari bawang (Samadi dan Cahyono, 2005).
Terdapat penelitian yang melaporkan bahwa bawang merah mengandung quercetin dalam kadar yang tinggi, saponin, isorhamnetin dan glikosida (Fattoruso
antidiabetes (Kim et al., 2006). Begitu pula dengan bawang merah, kandungan flavonoid yang dominan di dalam umbi bawang merah terutama quercetin, diduga
memiliki efek hipoglikemik dan bermanfaat bagi penderita diabetes mellitus (Azuma et al., 2007).
2.2 Tinjauan Tentang Hiperglikemia
Hiperglikemia merupakan suatu keadaan meningkatnya kadar glukosa
darah melebihi normal. Hal ini karena defisiensi insulin akibat kerusakan sel β pankreas dan atau terjadi resistensi insulin pada hepar dan otot. Hiperglikemia kronik pada penyakit diabetes mellitus memiliki peranan penting terhadap
kerusakan berbagai organ, termasuk jantung, mata, tulang, ginjal, saraf dan sistem vaskular, yang pada akhirnya menimbulkan komplikasi diabetes mellitus (Apriani
dkk., 2011). Terjadinya degenerasi sel β pankreas menyebabkan produksi insulin terganggu sehingga terjadi defisiensi insulin. Penurunan hormon insulin menyebabkan seluruh glukosa yang dikonsumsi tubuh tidak dapat diproses secara
sempurna, akibatnya kadar glukosa dalam tubuh meningkat (Greenspan, 1998).
2.3 Tinjauan Tentang Diabetes Mellitus
2.3.1 Definisi diabetes mellitus
Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu penyakit yang disebabkan akibat
menurunnya fungsi pankreas untuk memproduksi insulin atau reseptor insulin tidak peka sehingga terjadi gangguan metabolisme. Glukosa tidak diubah menjadi
2.3.2 Klasifikasi diabetes mellitus
Secara umum diabetes mellitus dibagi menjadi : 1) Diabetes mellitus tipe I
(IDDM = Insulin Dependent Diabetes Mellitus). Pada DM tipe I, sel β pankreas yang menghasilkan insulin mengalami kerusakan. Akibatnya, sel β langerhans pada pankreas tidak dapat mensekresi insulin. Kerusakan pada sel β langerhans
disebabkan oleh peradangan pada pankreas (pankreatitis) yang dapat disebabkan oleh infeksi virus (Wijayakusuma, 2004). 2) Diabetes mellitus tipe II (NIDDM =
Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus). Pada DM tipe II, sel β pankreas tidak rusak walaupun mungkin hanya terdapat sedikit sel yang normal sehingga masih bisa mensekresi insulin tetapi dalam jumlah kecil. Merupakan penyakit yang
diwariskan (Wijayakusuma, 2004).
2.3.3. Gejala diabetes mellitus
Gejala pada penderita diabetes mellitus menurut (Wijayakusuma, 2004) antara lain: 1) Lemah dan berat badan turun. Gejala awal berat badan turun dalam waktu yang relatif singkat dan merasa lemah. Disebabkan glukosa yang
merupakan sumber energi dan tenaga tidak dapat masuk ke dalam sel. 2) Poliuria (banyak kencing). Kadar glukosa darah yang berlebihan akan dikeluarkan melalui
urin. Akibat tingginya kadar glukosa darah, maka timbul rasa ingin buang air dan volume urin banyak. 3) Polidipsia (banyak minum). Makin banyak urin yang dikeluarkan, tubuh makin kekurangan air. Akibatnya timbul rasa haus dan sering
minum. 4) Polifagia (banyak makan). Kadar glukosa yang tidak masuk ke dalam sel menyebabkan timbul rangsangan ke otak untuk mengirim pesan rasa lapar,
urin dapat menyebabkan iritasi pada daerah genital akibat infeksi jamur. 6) Lensa mata berubah. Bentuk lensa mata sedikit berubah dan mengaburkan penglihatan
untuk sementara waktu. 7) Luka sulit sembuh. Jika terjadi luka maka sangat sulit untuk sembuh. Hal ini berhubungan dengan sistem kekebalan tubuh penderita diabetes yang menurun.
2.3.4 Diagnosa diabetes mellitus
Apabila penderita telah menunjukkan gejala diabetes mellitus yang khas
yaitu poliuria dan hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu diperiksa > 200 mg/dl telah cukup untuk menegakkan diagnosis diabetes mellitus. Hasil pemerikaan kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dl juga dapat digunakan sebagai
patokan diagnosis diabetes mellitus (Ratimanjari, 2011). (Tabel 2.1)
Tabel 2.1 Kadar glukosa darah normal, prediabetes, dan diabetes mellitus
Kelompok Glukosa darah puasa
(mg/dl) setelah makan (mg/dl) Glukosa darah 2 jam
Normal < 100 < 140
Pradiabetes 100-125 140-199
Diabetes mellitus > 126 > 200
Sumber : (Dipiro et al., 2005)
2.3.5 Terapi diabetes mellitus
Terapi merupakan suatu hal yang sangat penting dalam penanganan suatu penyakit. Tujuan terapi adalah untuk menjaga kadar glukosa darah tetap normal.
Berikut contoh terapi yang dapat dilakukan pada kasus diabetes mellitus antara lain : 1) Terapi diet. Diet yang dianjurkan adalah diet dengan kadar protein tinggi
karbohidrat membuat kadar glukosa dalam darah tetap normal (Anderson et al., 2001). 2) Terapi insulin. Insulin membantu memindahkan glukosa dari darah ke
dalam sel sehingga sel dapat memanfaatkan untuk membentuk energi. Pemberian insulin pada hewan penderita dapat dilakukan dua kali sehari (Horn and Mitten, 2000).
2.4 Tinjauan Tentang Aloksan
Aloksan (C4H2N2O4) merupakan suatu senyawa kimia bersifat hidrofilik yang tidak stabil dan toksik terhadap hepar dan ginjal. Waktu paruh aloksan pada pH 7,4 dengan suhu 37˚C adalah 1,5 menit dan lebih lama pada suhu yang lebih
rendah (Szkudelski, 2001). Sebagai diabetogenik pada hewan coba, pemberian aloksan dapat digunakan secara intravena, intraperitoneal, dan subkutan
(Nugroho, 2006). Pemberian aloksan disarankan dilakukan pada periode puasa (Frode and Madeiros, 2008). Aloksan bersifat diabetogen, secara toksik merusak sel β dari pulau langerhans pada pankreas yang mensekresi hormon insulin
(Suharmiati, 2003). Aloksan bekerja merusak sel β pankreas melalui pembentukan oksigen reaktif. Pembentukan oksigen reaktif diawali dengan proses reduksi
aloksan. Reduksi aloksan menghasilkan asam dialurat disertai adanya oksigen radikal yang kemudian berubah menjadi hydrogen peroksida (H2O2). Target dari oksigen reaktif tersebut adalah DNA dari sel β langerhans dan kerusakan DNA
Gambar 2.2 Struktur Kimia Aloksan (Nugroho, 2006)
2.5 Tinjauan Tentang Metformin
Metformin adalah obat oral anti hiperglikemia golongan biguanida. Metformin bekerja mengurangi kadar glukosa darah dengan menghambat
produksi glukosa hepatik (dengan jalan mengurangi glikogenolisis dan glukoneogenesis) dan mengurangi resistensi insulin terutama di hepar dan rangka
otot (Maric, 2010). Metformin memiliki waktu paruh 1,5-3 jam dan tidak terikat pada protein plasma, tidak dimetabolisme, dan diekskresikan oleh organ ginjal sebagai senyawa aktif (Katzung, 2002).
Metformin memiliki keuntungan yang melebihi insulin dan sulfonilurea, yaitu metformin merupakan suatu agen hemat insulin, tidak menyebabkan
hipoglikemia, dan tidak meningkatkan berat badan karena agen ini bersifat menekan nafsu makan sehingga berat badan tidak meningkat dan dapat diberikan kepada penderita diabetes mellitus dengan obesitas. Metformin juga merupakan
alkoholisme, penyakit hati, atau predisposisi untuk terjadinya anoksia jaringan karena pemberian metformin dengan adanya penyakit tersebut dapat
menyebabkan terjadinya peningkatan resiko asidosis laktat yang akan berakibat fatal apabila tidak segera ditangani (Katzung, 2002 ; Raja, 2008).
2.6 Tinjauan Organ Hepar
2.6.1 Anatomi hepar
Hepar merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh, merupakan organ lunak yang lentur dan terletak oleh struktur sekitarnya. Hepar memiliki permukaan superior yang cembung dan terletak dibawah bagian kanan dan sebagian di bawah
kiri diafragma (Price dan Wilson, 2006).
Hepar mempunyai 2 lobus utama, yaitu lobus kanan dan kiri. Lobus kanan
dibagi menjadi segmen anterior dan posterior oleh fissure segmentalis dextra yang tidak terlihat dari luar. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh ligament falsiformis yang terlihat dari luar. Lobus dextra terletak di regio
hipokondrium kanan lebih besar dibandingkan lobus sinistra, sedangkan lobus sinistra terletak di region epigastrik dan hipokondrium kiri (Snell, 2006).
2.6.2. Histologi hepar
Lobulus hepar membentuk bagian terbesar dari substansi hepar. Pada daerah ini terdapat beberapa saluran disebut daerah portal, yang terdiri dari
cabang arteri hepatika, cabang vena porta, dan duktus biliaris, serta pembuluh limfe yang berada diantara jaringan ikat interlobularis. Lobulus hepar secara
dengan ukuran yang bervariasi (Fawcett, 2002). Pada potongan melintang, lobulus hepar terdiri dari deretan sel parenkim hepar yang tersusun radier yang saling
berhubungan dan bercabang membentuk anyaman tiga dimensi dengan pusat pembuluh kecil ditengahnya yaitu vena sentralis, dan dipisahkan oleh celah yang disebut sinusoid hepar (Nurdjaman dkk., 2001). Sinusoid hepar merupakan
cabang vena porta dan arteri hepatica yang merupakan kapiler diantara lempengan sel hepar (Bijanti, 2011).
Sel-sel hepar (hepatosit) tersusun berderet secara radier dalam lobulus hepar. Sel-sel hepar ini berbentuk polyhedral dengan ukuran yang berbeda-beda (Kusuma, 2010).
2.6.3 Fungsi hepar
Hepar mempunyai fungsi yang sangat komplek. Fungsi sirkulasi dari hepar
adalah mengalirkan darah dari vena porta ke sistem sirkulasi, aktifitas dari Retikulum Endoplasmik Sel (RES) dalam mekanisme pertahanan dan sebagai penyimpan darah atau sebagai pengatur jumlah darah (Bevelander dan Ramaley,
1998).
Beberapa fungsi lain dari hepar menurut Junquiera et al., (1995); Fox,
(1999); Guyton et al., (2006); Boyer et al., (2006); dan Kuntz and Kuntz, (2008) yang penting dan perlu diketahui yaitu : 1) Fungsi detoksifikasi. Detoksifikasi dilakukan oleh enzim melalui proses oksidasi, reduksi, hidrolisis, atau konjugasi
terhadap berbagai substansi yang dianggap dapat membahayakan tubuh. Substansi tersebut akan diubah menjadi zat yang secara fisiologis tidak berbahaya. Fungsi
ini berlaku untuk berbagai agen asing, baik endogen maupun eksogen bahkan terhadap bahan obat dan logam berat. 2) Fungsi Sekresi Empedu. Hepar mensekresi empedu yang dihasilkan oleh hepatosit ke dalam saluran pencernaan.
Sekresi empedu sangat diperlukan untuk membantu mencerna makanan, mengekskresikan zat lain yang tidak diperlukan oleh tubuh dan membawa
bilirubin. 3) Fungsi Hematologi. Pada masa embrio, pembentukan komponen darah terjadi di hepar. Fungsi ini berangsur akan berkurang sejalan dengan bertambahnya umur dan aktifnya sumsum tulang sebagai proses homopoesis.
Setelah dewasa, hepar akan menjadi tempat pembentukan fibrinogen, prothrombin, dan heparin yang berperan dalam proses pembekuan darah. 4)
karbohidrat, lemak, protein, dan steroid. Fungsi lain hepar adalah menyimpan vitamin yang larut dalam lemak, mineral, memproduksi senyawa yang berperan
pada proses koagulasi darah dan ekskresi bahan obat serta hormon. 5) Fungsi Proteksi. Hepar memiliki fungsi penting dalam hal pertahanan tubuh. Fungsi ini dilakukan oleh sel kuppfer, yaitu sel yang sangat fagositik sehingga mengangkut
99% atau lebih bakteri yang berada dalam aliran vena porta sebelum sampai ke sinusoid. Jumlah sel kuppfer dalam sinusoid akan meningkat apabila terjadi
peningkatan jumlah mikroorganisme di dalam tubuh.
2.6.4 Patologi hepar
Hepar merupakan organ yang terlibat dalam metabolisme zat makanan
serta sebagian besar obat dan toksikan. Oleh karena itu hepar merupakan organ yang paling sering mengalami kerusakan karena salah satu fungsi hepar sebagai
detoksifikasi (Maharani, 2007). Bentuk toksin yang menginduksi lesi pada hepar berbeda tergantung dari tipe, dosis, dan lamanya paparan begitu juga faktor lainnya seperti logam, mineral, dan zat kimia lain yang terabsorpsi masuk menuju
portal darah yang ditransportasikan ke hepar (Thomson, 2001).
Beberapa jenis kerusakan hepar yang dapat terjadi antara lain : 1)
Degenerasi. Kerusakan sel (degenerasi) akibat gangguan zat yang bersifat toksik dapat menyebabkan sel hepar mengalami pembengkakan, sehingga tampak rongga-rongga yang melebar. Degenerasi pada sel hepar ini disebabkan oleh
gangguan pada membran sel akibat dari denaturasi protein yang terjadi karena sebagian besar komponen membran sel adalah protein (Susantoputro, 2011).
sebagai contoh berupa vakuolisasi dan inclusion bodies. Degenerasi pada sitoplasma berupa degenerasi melemak yang terlihat ukuran sel membesar, inti sel
terdesak ke tepi dan vakuola lemak tampak kosong, sedangkan degenerasi hidropik terlihat ukuran sel membesar akibat akumulasi cairan pada sitoplasma namun inti sel normal (Sarjadi, 2003). 2) Nekrosis. Nekrosis adalah kematian sel
hepar. Inti sel yang mati dapat terlihat lebih kecil, kromatin dan serabut retikuler menjadi berlipat-lipat. Inti tampak lebih padat dan gelap (piknotik) yang dapat
hancur atau pecah menjadi beberapa segmen (karioreksis) dan kemudian inti sel tidak tampak karena telah mengalami lisis sempurna (kariolisis). Sel hepar yang mengalami nekrosis dapat meliputi daerah yang luas atau daerah yang kecil.
Berdasarkan lokasi dan luas nekrosis dapat dibedakan sebagai berikut : Nekrosis fokal, adalah kematian sel atau kelompok kecil sel dalam satu lobus. Nekrosis
zonal, adalah kerusakan sel hepar pada satu lobus. Nekrosis massif, yaitu kerusakan sel hepar pada daerah yang luas (Kasno, 2003). Berdasarkan bentuknya nekrosis dapat digolongkan menjadi nekrosis koagulatif, nekrosis liquefaktif dan
nekrosis kaseosa. Nekrosis koagulatif terjadi akibat hilangnya fungsi sel secara mendadak yang diakibatkan hambatan kerja sebagian besar enzim. Nekrosis
liquefaktif terjadi karena pencairan jaringan akibat enzim hidrolitik yang dilepaskan oleh sel yang mati, sedangkan nekrosis kaseosa merupakan bentuk campuran dari liquefaktif dan koagulatif (Sarjadi, 2003). 3) Inflamasi. Peradangan
atau inflamasi merupakan suatu perlawanan tubuh terhadap semua bentuk ancaman. Peradangan juga dapat didefinisikan sebagai reaksi pertahanan diri
pembuangan agen penyerang, penghancuran jaringan nekrosis dan perbaikan pada jaringan yang rusak (Robbins dan Kumar, 2001). Inflamasi terbagi menjadi dua,
yaitu inflamasi akut dan inflamasi kronik. Inflamasi akut adalah radang yang berlangsung relatif singkat, dari beberapa menit sampai beberapa hari, ditandai dengan eksudasi cairan protein plasma serta akumulasi leukosit neutrofilik yang
menonjol. Sedangkan inflamasi kronik berlangsung lebih lama (beberapa hari hingga beberapa tahun) dan ditandai khas dengan adanya limfosit dan makrofag
disertai dengan proliferasi pembuluh darah (Susantoputro, 2011). 4) Fibrosis. Fibrosis hepar merupakan hasil dari respon penyembuhan luka terhadap lesi berulang. Jika hepar terpapar jejas terus menerus, akhirnya proses regenerasi
gagal terjadi, selanjutnya sel hepar akan digantikan oleh protein matriks ekstraseluler, termasuk kolagen fibrilar. Distribusi materi fibrosis ini tergantung
penyebab jejasnya. Apabila penyakit hepar fibrotik berlanjut, progresi penyakit berlangsung dari berkas kolagen berlanjut menjadi sirosis (Andhika, 2009).
2.7 Tinjauan Tentang Tikus Putih
Klasifikasi tikus putih sebagai berikut : Phylum : Chordata
Spesies : Rattus norvegicus (Boolootion,1991)
anatomi yang tidak lazim di tempat esophagus bermuara ke dalam lambung dan tidak memiliki kantung empedu (Kusumawati, 2004).
Kadar glukosa darah pada tikus tergantung pada jenis makanan yang dikonsumsi dan waktu sejak makan terakhir (Rachael, 2010). Kadar glukosa darah puasa pada tikus antara 50-109 mg/dl (Wulandari, 2010), sedangkan kadar
BAB 3 MATERI DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Februari – Maret 2015 pada empat lokasi yaitu di Laboratorium Hewan Coba, Departemen Kedokteran Dasar
Fakultas Kedokteran Hewan, pembuatan preparat histopatologi hepar tikus putih
(Rattus norvegicus) di Gedung Diagnostic Center RSUD Dr.Soetomo Surabaya, serta pengamatan dan skoring preparat histopatologi di Departemen Patologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.
3.2 Rancangan Penelitian
Rancangan percobaan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL). Hal tersebut dikarenakan semua kondisi lingkungan dan umur tikus putih dibuat homogen dan perlakuan sampel dilakukan secara acak. Dalam rancangan percobaan yang digunakan hanya terdapat satu
sumber keragaman yakni pengaruh perlakuan, sehingga hasil perbedaan antar perlakuan hanya disebabkan pengaruh perlakuan (Kusriningrum, 2008).
3.3 Variabel penelitian
Adapun klasifikasi variabel penelitian ini adalah sebagai berikut :
Variabel terkendali :umur, berat badan, pakan, jenis kelamin tikus putih (Rattus norvegicus), waktu pemberian ekstrak
bawang merah.
3.4 Materi Penelitian
3.4.1 Bahan penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak bawang merah
(Allium Ascallonicum), aloksan, metformin, CMC Na 0,5%, pakan ayam, aquadest, air minum, sekam untuk alas kandang, alkohol 70%.
3.4.2 Instrumen penelitian
Instumen yang digunakan pada penelitian ini adalah lima buah kandang plastik polipropilen berukuran 40 cm x 60 cm dengan tutup anyaman kawat, alat
penimbang berat badan, tempat pakan, botol air minum, alat pengukur glukosa darah merk EasyTouch, strip glucometer, alat suntik, sonde lambung, sarung tangan, kapas, toples, kertas label, alat tulis, dan alat dokumentasi. Pembuatan
ekstrak bawang merah diperlukan gelas ukur, baskom plastik, timbangan, blender, saringan, spatula, corong Buchner, pompa hisap, rotavapour, labu pisah, kertas
saring, dan lemari pendingin. Pemeriksaan histopatologi diperlukan optilab, dan mikroskop.
3.4.3 Populasi dan sampel
Hewan coba yang digunakan pada penelitian ini yaitu 20 ekor tikus putih
Tikus putih diadaptasikan terlebih dahulu selama satu minggu. Sebelum percobaan, tikus putih dipuasakan selama 10 jam dengan tetap diberikan air
minum.
Besarnya ulangan pada setiap perlakuan pada penelitian ini berdasarkan rumus Federer (1963) dalam Kusriningrum (2010) :
Keterangan :
t = banyaknya perlakuan n = banyaknya ulangan
Maka banyaknya ulangan pada penelitian ini adalah : 5 (n – 1) ≥ 15
5n – 5 ≥ 15
n ≥ (15 + 5) / 5
n ≥ 4
3.5 Metode Penelitian
3.5.1 Persiapan hewan coba
Hewan coba berupa tikus putih (Rattus norvegicus) jantan dengan berat badan 150-200 gram, berumur tiga bulan, dan berjumlah 20 ekor dimasukkan ke
dalam lima buah kandang berukuran 40 cm x 60 cm. Tiap kandang diisi empat ekor tikus putih yang di pilih secara acak. Tikus putih diadaptasikan selama satu
berpengaruh pada metabolisme tubuh dan dapat mengganggu penelitian karena berada di lingkungan yang baru. Tikus putih yang digunakan dalam penelitian ini
harus sehat dengan tanda-tanda bulu normal, warna putih bersih, mata jernih, tingkah laku normal dan tidak terdapat kelainan atau cacat tubuh. Selama diadaptasikan tikus putih diberi pakan ayam dan minum ad libitum.
3.5.2 Pembuatan ekstrak bawang merah
Sebanyak 8000 gram bawang merah dikupas dan diiris tipis lalu di
keringkan dengan cara diangin-anginkan dalam suhu kamar sampai menjadi simplisia. Simplisia merupakan bahan baku alamiah yang digunakan untuk membuat ramuan obat tradisional yang belum mengalami pengolahan apapun
kecuali proses pengeringan. Simplisia bawang merah dihaluskan dengan cara digiling menjadi serbuk. Serbuk yang diperoleh kemudian diekstrasi dengan cara
maserasi dengan merendam pada pelarut etanol 96%, kemudian disaring hingga menghasilkan filtrat. Filtrat lalu di ekstraksi dalam rotavapour pada suhu 50˚C dengan kecepatan 40 rpm, hingga diperoleh ekstrak bawang merah yang kental
dan berwarna coklat kehitaman. Hasil ekstrak tersebut diencerkan dengan menggunakan CMC Na 0,5% kemudian dilakukan perhitungan sesuai dosis pada
setiap perlakuan.
3.5.3 Penetapan dosis ekstrak bawang merah
Penetapan dosis ekstrak Bawang Merah (Allium ascalonicum) pada
penelitian ini berdasarkan pada penelitian sebelumnya. Pada penelitian Aryanti dan Linda (2010) didapatkan dosis efektif untuk menurunkan kadar glukosa darah
pemberian glukosa untuk membuat kondisi hiperglikemia, yang selanjutnya dosis efektif ini akan dijadikan sebagai acuan dosis tengah.
Dengan pertimbangan pada penelitian Aryanti dan Linda (2010) bahwa aloksan memiliki kenaikan kadar glukosa darah yang lebih tinggi daripada glukosa, maka dosis tengah yang akan digunakan pada penelitian ini dinaikkan
menjadi 500 mg/kg BB, untuk dosis terendah diambil 250 mg/kg BB dan dosis tertinggi diambil 750 mg/kg BB. Dengan demikian dosis pemberian ekstrak
bawang merah pada penelitian ini adalah 250 mg/ kg BB, 500 mg/kg BB dan 750 mg/ kg BB.
3.5.4 Penetapan dosis aloksan
Menurut (Nugroho, 2006) tikus hiperglikemik dapat dihasilkan dengan menginjeksikan aloksan dengan dosis 120 – 150 mg/kg BB secara intraperitonial.
Sehingga dosis aloksan yang diperlukan untuk satu ekor tikus putih dengan berat badan 150 gram adalah :
x 120 mg/kg BB = 18 mg/150 gram BB 3.5.5 Penentuan Dosis Metformin
Dosis metformin yang lazim digunakan untuk menimbulkan efek hipogligemik terhadap kadar glukosa darah berdasarkan literatur adalah 500 mg –
Dosis metformin = Dosis teoritis x faktor konversi tikus = 500 mg x 0,018
= 9 mg/ 200 gram BB atau 45 mg/kg BB
3.5.6 Pengukuran kadar glukosa darah
Pengukuran kadar glukosa darah pada tikus putih (Rattus norvegicus)
dilakukan dengan menggunakan alat glucometer merk EasyTouch. Cara pengambilan darah yaitu bersihkan ekor dengan kapas yang diberi air agar
kotoran yang melekat hilang, lalu bersihkan kembali dengan alkohol 70%. Pangkal ekor ditusuk dengan jarum kecil, darah yang keluar kemudian disentuhkan pada strip glukometer. Kadar glukosa darah akan terbaca di layar
setelah 10 detik dan dinyatakan dalam mg/dl. Pengukuran kadar glukosa darah tikus di ukur sebelum perlakuan dan empat hari setelah pemberian aloksan.
3.5.7 Perlakuan
Penelitian ini dilakukan secara in vivo terhadap 20 ekor tikus putih jantan galur wistar yang dibagi menjadi lima kelompok perlakuan, tiap kelompok berisi
empat ekor tikus putih. Perlakuan terdiri dari K-, K+, P1, P2, P3.
Pada hari pertama seluruh tikus putih diukur kadar glukosa darahnya untuk
memastikan kadar glukosa darah normal. Selanjutnya seluruh tikus putih diinduksi aloksan dosis 18 mg / 150 gram BB secara intraperitoneal. Pemberian aloksan dilakukan satu kali pada hari pertama perlakuan. Setelah empat hari dari
proses induksi aloksan (untuk mendapatkan kenaikan kadar glukosa darah konstan) kemudian diukur kembali kadar glukosa darahnya. Setelah terjadi
pada kelompok K+ diberikan metformin dosis 45 mg/kg BB, sedangkan kelompok P1, P2, P3 diberikan ekstrak bawang merah dengan dosis 250 mg/kg
BB, 500 mg/kg BB, 750 mg/kg BB. Pada penelitian Martia (2015) pemberian terapi selama 14 hari dengan penggunaan metformin dan ekstrak air Cynodon
dactylon dapat memberikan efek terapi yang baik, dan selanjutnya dijadikan sebagai acuan lama pemberian terapi selama 14 hari.
Perlakuan pada hewan coba dilakukan sebagai berikut :
K- : Kontrol negatif diinduksi aloksan 18 mg/ 150 gram BB (satu kali injeksi intraperitoneal) dan pemberian larutan CMC Na 0,5% (peroral) selama 14 hari
K+ : Kontrol positif diinduksi aloksan 18 mg/ 150 gram BB (satu kali injeksi intraperitoneal) dan pemberian metformin 45 mg/kg BB
(peroral) selama 14 hari
P1 : Perlakuan 1 diinduksi aloksan 18 mg/ 150 gram BB (satu kali injeksi intraperitoneal) dan pemberian ekstrak bawang merah
dengan dosis 250 mg/kg BB (peroral) selama 14 hari
P2 : Perlakuan 2 diinduksi aloksan 18 mg/ 150 gram BB (satu kali
injeksi intraperitoneal) dan pemberian ekstrak bawang merah dengan dosis 500 mg/kg BB (peroral) selama 14 hari
P3 : Perlakuan 3 diinduksi aloksan 18 mg/ 150 gram BB (satu kali
3.6 Prosedur Pengambilan Data
3.6.1 Pembuatan preparat histopatologi
Setelah dilakukan perlakuan pada tikus putih tahap selanjutnya dilakukan euthanasia. Euthanasia dilakukan dengan menggunakan chloroform, kemudian dilakukan pembedahan terhadap tikus putih untuk diambil organ hepar.
Hepar yang telah diambil lalu di fiksasi pada suatu tempat yang berisi larutan BNF 10%. Setelah itu, dilakukan pembuatan preparat histopatologi
menggunakan pewarnaan Haematoxylin Eosin (HE). Pembuatan preparat histopatologi dilakukan di Gedung Diagnostic Center RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
3.6.2 Pemeriksaan preparat histopatologi
Pemeriksaan preparat histopatologi hepar menggunakan mikroskop.
Pemeriksaan di bawah mikroskop menggunakan perbesaran 400 kali terhadap lima lapangan pandang yang berbeda untuk tiap slide. Kriteria penilaian untuk mengetahui seberapa berat perubahan histopatologi hepar tikus putih pada tiap
preparat menggunakan metode scoring Brunt (2000). (Tabel 3.1).
Tabel 3.1 Skoring penilaian derajat histopatologi sel hepar (Brunt et al., 2000)
Degenarasi Nekrosis
None 0 0
Minimal (0-25%) 1 1
Mild (25-50%) 2 2
Moderate (50-75%) 3 3
3.7 Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil skoring gambaran histopatologi hepar
dianalisa dengan uji Kruskall-Walis dan bila terdapat perbedaan yang nyata diantara kelompok perlakuan (p<0,05), maka dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney (Daniel, 1991). Analisis statistika dilakukan dengan menggunakan
3.8Diagram Alur Penelitian
20 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) jantan diadaptasikan selama 1 minggu
Dipuasakan 10 jam, pengukuran kadar glukosa darah untuk memastikan kadar glukosa darah tikus putih normal
K+
K- P1 P2 P3
Diinduksi aloksan 18 mg / 150 gram BB satu kali (intraperitoneal) sebanyak 0,5 ml
BAB 4 HASIL PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan 20 ekor tikus putih yang dibagi menjadi lima kelompok perlakuan dengan empat ulangan. Sebelum dibagi menjadi kelompok perlakuan, semua tikus putih diinduksi aloksan dengan dosis 18 mg/ 150 gram BB
secara intraperitoneal.
Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah tikus putih yang diinduksi aloksan
18 mg/ 150 gram BB secara intraperitoneal menunjukkan peningkatan kadar glukosa darah melebihi kisaran normal yang signifikan. Pemeriksaan kadar glukosa darah tikus putih menggunakan alat glukometer merk EasyTouch.
Setelah terjadi kondisi hiperglikemia, kelompok K- diterapi dengan CMC Na 0,5 % sebanyak 0,5 ml dengan pemberian satu kali sehari selama 14 hari
secara peroral. Untuk kelompok K+ diterapi dengan metformin dengan dosis 45 mg/kg BB dengan pemberian satu kali sehari selama 14 hari secara peroral, sedangkan pada kelompok P1, P2, dan P3 diterapi dengan ekstrak bawang merah
dengan dosis 250 mg/kg BB (P1), 500 mg/kg BB (P2), dan 750 mg/kg BB (P3) dengan pemberian satu kali sehari selama 14 hari secara peroral.
Hasil yang didapat dari penelitian ini ditentukan melalui pengamatan terjadinya degenerasi dan nekrosis pada sel hepar tikus putih. Kemudian hasil yang diperoleh diolah dengan program SPSS for Windows 20 menggunakan uji
4.1 Degenerasi sel hepar
Hasil pengamatan mikroskopis degenerasi sel hepar tikus putih
menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok perlakuan (p>0,05). Hasil analis statistik pengamatan degenerasi sel hepar dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1. Nilai median degenerasi sel hepar
Perlakuan Median
K- 2.8000ª
K+ 2.0000ª
P1 2.4000ª
P2 2.3000ª
P3 2.1000ª
Keterangan : a superskrip yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok perlakuan (p>0,05).
Pada kelompok K- yang diberi perlakuan aloksan dan CMC Na 0,5%
terjadi degenerasi paling parah (2.8000), jika dibandingkan dengan kelompok K+ yang diberi perlakuan aloksan dan metformin 45 mg/kg BB terjadi degenerasi
dengan nilai (2.0000). Kelompok P1, P2 dan P3 yang diberi perlakuan aloksan dan ekstrak bawang merah 250mg/ kg BB, 500mg/kg BB dan 750mg/kg BB menunjukkan hasil statistik degenerasi dengan nilai median (2.4000), (2.3000)
dan (2.1000).
Gambaran histopatologi sel hepar tikus yang mengalami degenerasi dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 4.1 Histopatologi degenerasi sel hepar tikus perlakuan K-. (1) Sel hepar
normal. (2) Sel hepar yang mengalami degenerasi terlihat mengalami pembengkakan sehingga tampak rongga yang melebar (Pewarnaan HE; pembesaran 400x).
K-
Gambar 4.2 Histopatologi degenerasi sel hepar tikus perlakuan K+, P1, P2, P3.
(2) Sel hepar yang mengalami degenerasi terlihat mengalami pembengkakan sehingga tampak rongga yang melebar (Pewarnaan HE; pembesaran 400x).
K+
P2
P3
P1
2
2
2
4.2 Nekrosis sel hepar
Hasil pengamatan mikroskopis nekrosis sel hepar tikus putih menunjukkan
terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok perlakuan (p<0,05). Hasil analis statistik pengamatan nekrosis sel hepar dapat dilihat pada tabel 4.2.
Tabel 4.2 Nilai median nekrosis sel hepar
Perlakuan Median
K- 1.6000ª
K+ 1.4000ª
P1 1.3000ª
P2 1.0000ᵇ
P3 1.0000ᵇ
Keterangan : a dan b superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada tahap kepercayaan (p<0,05).
Analis statistik terjadinya nekrosis sel hepar pada kelompok K-, K+, dan P1 tidak terdapat perbedaan yang nyata pada ketiga perlakuan tersebut. Pada
kelompok P2 dan P3 juga tidak terdapat perbedaan yang nyata. Akan tetapi, pada kelompok perlakuan K-, K+, dan P1 menunjukkan hasil yang berbeda nyata bila
Gambaran histopatologi sel hepar tikus yang mengalami nekrosis dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 4.3 Histopatologi nekrosis sel hepar tikus perlakuan K-. (1) Sel hepar
normal. (2) Sel hepar mengalami nekrosis berupa piknotik. (3) Inti sel hepar mengalami karioreksis. (4) Inti sel hepar mengalami kariolisis. (Pewarnaan HE; pembesaran 400x).
K-1 2
3
Gambar 4.4 Histopatologi nekrosis sel hepar tikus perlakuan K+, P1, P2, P3.
(1)Inti sel hepar normal. (4) Inti sel hepar mengalami karyolisis. (Pewarnaan HE; pembesaran 400x).
K+
P1
P3
1
1
1 4
4
P2
1 4
BAB 5 PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh pemberian ekstrak bawang merah (Allium ascalonicum L) terhadap gambaran histopatologi hepar tikus putih (Rattus norvegicus) yang diinduksi aloksan. Hasil statistik terjadinya
degenerasi sel hepar menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata, sedangkan terjadinya nekrosis sel hepar terdapat perbedaan yang nyata pada tiap
perlakuan. Hal ini cukup membuktikan bahwa ekstrak bawang merah berperan cukup baik dalam memperbaiki kerusakan sel hepar akibat induksi aloksan.
Pemberian aloksan dapat meningkatkan kadar glukosa darah tikus putih
sehingga menyebabkan terganggunya produksi insulin karena rusaknya sel β pankreas. Senyawa ini dapat masuk dengan cepat ke dalam sel β pankreas dan
mengalami reduksi menjadi asam dialurat yang kemudian akan teroksidasi kembali menjadi aloksan yang menghasilkan siklus redoks dengan hasil akhir senyawa radikal peroksida. Senyawa radikal peroksida ini akan mengalami proses
dismutase menjadi hidrogen peroksida. Hidrogen peroksida bersama dengan Fe²+
akan membentuk senyawa radikal hidroksil (OHˉ) yang reaktif sehingga dapat menimbulkan kerusakan pada sel β pankreas. Terganggunya pemasukan glukosa
ke dalam sel mengakibatkan kadar glukosa dalam darah tinggi (Prabowo, 1997). Kondisi hiperglikemia ini dapat menyebabkan terjadinya stress oksidatif dari beberapa organ antara lain hepar, jantung, otak, serta otot rangka (Widowati,
apabila hal ini berlanjut maka dapat menyebabkan terjadinya kerusakan dan kematian sel hepar (Mahdi dkk., 2007).
Organ hepar berfungsi dalam proses biotransformasi dan detoksifikasi substansi endogen dan eksogen yang masuk kedalam tubuh, serta berfungsi untuk menyaring darah dari berbagai organ yang mengandung sari makanan, obat,
toksikan dan bakteri. Keadaan diabetes akan mempengaruhi terjadinya perubahan morfologi sel dari organ hepar (Kusuma, 2014).
5.1 Degenerasi sel hepar
Degenerasi adalah suatu keadaan penurunan perubahan biokimia intraselular disertai perubahan morfologis akibat jejas nonfatal pada sel atau
sebagai reaksi sel terhadap jejas yang masih reversible terjadi proses penimbunan (storage) atau akumulasi cairan atau zat lain dalam organel sel (Arimbi dkk,
2013).
Berdasarkan hasil analisis statistik dengan uji Kruskal Wallis menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata tiap kelompok perlakuan
(p>0,05). Pada perlakuan K- (2.8000) menunjukkan gambaran degenerasi yang paling parah jika dibandingkan dengan perlakuan K+ (2.0000), hal ini jelas terjadi
karena pada perlakuan K(-) tidak diberikan terapi dan hanya diberikan CMC Na 0,5 % yang tidak memberikan efek terapi pada hepar, sedangkan pada perlakuan K+ diberikan terapi dengan obat metformin dosis 45 mg/kg BB. Metformin
(dengan jalan mengurangi glikogenolisis dan glukoneogenesis) dan mengurangi resistensi insulin terutama di hepar dan rangka otot (Maric, 2010).
Pada kelompok P1, P2, dan P3 yang diterapi dengan ekstrak bawang merah dosis 250 mg/kg BB, 500 mg/kg BB, 750 mg/kg BB menunjukkan hasil statistik nilai median (2.4000), (2.3000) dan (2.1000). Data tersebut menunjukkan
bahwa terjadi penurunan jumlah nilai rerata degenerasi sel hepar jika dibandingkan dengan kelompok perlakuan K- yang hanya diberi CMC Na 0,5%.
Hal ini berarti bahwa ekstrak bawang merah dapat menjadi salah satu referensi alternatif terapi untuk memperbaiki gambaran histopatologi hepar yang diinduksi aloksan.
Bawang merah sangat bermanfaat untuk kesehatan tubuh karena kaya akan kandungan antioksidan. Kadar flavonoid yang tinggi pada umbi bawang merah
menjadikan bawang merah sebagai antioksidan yang baik untuk menghambat radikal bebas. Kemampuan bawang merah sebagai antioksidan dapat dilihat dari beberapa penelitian. Penelitian pada hewan coba yang dipapar CCI4
memperlihatkan bahwa hewan coba yang diberi bawang merah menunjukkan pengurangan jumlah peroksida lipid hepar dan membaiknya jumlah glutation
hepar. Daya antioksidan ini juga dibuktikan secara in vitro, dengan membebani sel darah merah domba dengan TBHP (Sadikin, 2003).
Bawang merah diyakini mengandung komponen kimia yang mempunyai
efek antiinflamasi, antikolesterol, antikanker, dan antioksidan seperti quersetin (Galeone et al., 2006). Terdapat penelitian yang melaporkan bahwa bawang
glikosida (Fattoruso et al., 2002). Kebanyakan tumbuhan yang mengandung senyawa bioaktif seperti glikosida, alkaloid, terpenoid, flavonoid, dan ceratenoid
mempunyai aktivitas antidiabetes (Kim et al., 2006).
5.2 Nekrosis sel hepar
Nekrosis adalah kematian sel hepar. Inti sel yang mati dapat terlihat lebih
kecil, kromatin dan serabut retikuler menjadi berlipat-lipat. Inti tampak lebih padat dan gelap (piknotik) yang dapat hancur atau pecah menjadi beberapa
segmen (karioreksis) dan kemudian inti sel tidak tampak karena telah mengalami lisis sempurna (kariolisis) (Kasno, 2003).
Mekanisme terjadinya nekrosis terjadi pada saat jaringan mengalami
hipoksia atau masuknya benda asing yang dianggap racun maka mitokondria akan mengalami luka sehingga mengakibatkan ATP turun dan pomp Na+ dan K+
terganggu. Na+ masuk sel yang mengakibatkan lisosom pecah, mengeluarkan enzim hidrolitik sehingga melarutkan sel (Robbins dan Kumar, 1995).
Berdasarkan hasil analisis statistik dengan uji Kruskal Wallis menunjukkan
terdapat perbedaan yang nyata tiap kelompok perlakuan (p<0,05) dan dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney. Pada kelompokK- (CMC Na 0,5%), K+ (metformin
45 mg/kg BB), dan P1 (ekstrak bawang merah 250 mg/kg BB) tidak terdapat perbedaan yang nyata pada ketiga perlakuan tersebut. Pada kelompok P2 dan P3 juga tidak terdapat perbedaan yang nyata. Akan tetapi, pada kelompok perlakuan
pada tiap perlakuan kemungkinan dipengaruhi oleh jumlah konsentrasi yang berbeda pada tiap dosis pemberian terapi.
Kerusakan hepatosit diawali dengan perubahan permeabilitas membran yang diikuti dengan kematian sel (nekrosis). Peningkatan enzim dalam darah disebabkan oleh kerusakan hepar yang parah dan disertai nekrosis, sehingga
enzim dari mitokondria juga ikut keluar sel (Panjaitan, 2007).
Bawang merah kaya akan kandungan antioksidan. Kadar flavonoid yang
tinggi pada umbi bawang merah menjadikan bawang merah sebagai antioksidan yang baik untuk menghambat radikal bebas (Sadikin, 2003). Oleh karena itu, kerusakan pada sel hepar yang terjadi dapat dicegah dan diperbaiki dengan adanya
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa pemberian ekstrak bawang merah (Allium ascalonicum L) dapat memperbaiki
gambaran histopatologi hepar tikus putih (Rattus norvegicus) yang diinduksi aloksan.
6.2 Saran
Saran yang dapat disampaikan dari penelitian ini adalah :
1. Ekstrak bawang merah (Allium ascalonicum L) dapat dipertimbangkan dan
dikembangkan untuk digunakan sebagai obat alternatif kerusakan hepar akibat induksi aloksan.
2. Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk mengetahui uji keamanan dari pemberian konsentrasi ekstrak bawang merah (Allium ascalonicum L) pada berbagai dosis dan kondisi.
DAFTAR PUSTAKA
Algameta, D.E. 2009. Uji Aktivitas Antioksidan Tablet Effervescent Dewandaru (Eugenia uniflora L.) dan Sambiloto (Andrographis paniculata) pada Tikus yang Dibebani Glukosa [Skripsi]. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Anderson, F.G., Pazak H, Hodgkins E, Ballam J, Laflamme D. 2001. Use of a High-protein Diet in the Management of Feline Diabetes Mellitus. Veterinary therapeutics. 2(3): 238-246.
Andhika, O.A. 2009. Fibrosis Hati. JKM. 8(2) : 198-210.
Apriani, N., Suhartono, E., Izaak, Z.A. 2011. Korelasi Kadar Glukosa Darah dengan Kadar Advanced Oxidation Protein Products (AOPP) Tulang pada Tikus Putih Model Hiperglikemia. 11(1) : 48-55.
Ardiani, F.W, Lestariani, E., Wuriyati. 2011. Ekstrak Air Daun Ceplikan (Ruellia tuberusa L) Berpengaruh Terhadap Kadar SGOT, SGPT, Dan Gambaran Histologis Hepar Tikus Diabetes Mellitus. Jurnal Gizi Klinik Indonesia. (8):99-105.
Arimbi, Ajik, A., Roesno, D., Hani, P., Thomas, V., Djoko, L. 2013. Buku Ajar Patologi Umum Veteriner. Airlangga University Press. Surabaya.
Aryanti, D dan Linda R. 2010. Pengaruh Ekstrak Etanol 70% Bawang Merah (Allium cepa L.) Terhadap Kadar Glukosa Darah Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan yang Dibebani Glukosa. Universitas Islam Indonesia. 2(4).
Atsushi, K., Yuka, M., Jo, Y., Isao, A., Alison, A.W., Robert, J.N. 2008. Protective Effect of Dietary Chamomile Tea on Diabetic Complications. J Agric Food Chem. 56 : 8206-11.
Azuma, K., Minami, Y., Ippoushi, K., dan Terao, J. 2007. Lowering Effects of Onion Intake on Oxidative Stress Biomarkers in Streptozotocin-Induced Diabetic Rats. J.Clin Biochem Nutr. 40 : 131-140.
Bijanti, R. 2011. Buku Ajar Patologi Klinik Veteriner : Pemeriksaan dan Gangguan Fungsi Hati. Airlangga University Press. 71-85.
Boolootion, R.A. 1991. Zoologi. Macmillan Publishing Co. Inc New York. Collier Macmilla Publisher London.
Boyer, T.D., T.L. Wright and M.P. Manns. 2006. Hepatology : A Textbook of Liver Disease. 5th Ed. Elsevier Inc. Canada. 3-21.
Brunt, E.M. 2000. Grading and Staging the Histopathological Lesions of Chronic Hepatitis: The Knodell Histology Activity Index and Beyond. Hepathology. 31(1) : 241-246.
Daniel, W.W. 1991. Statistik Non Parametrik Terapan. Alih Bahasa : Alex Tri Kantjono. Penerbit PT. Gramedia. Jakarta. 272-275.
Dipiro, J.T., Talbert, L.R., Yess, C.G., Matzke, R.G., Wells, G.B., Posey, M.L.2005. Pharmacotherapy : A Patophysiologic Approch. Edisi 6. Mc graw hill. New York. 7(6) : 13-347.
Fattorusso, E., Lorizzi, M., Lanzotti, V., Taglialatela, S.O. 2002. Chemical Composition of Shallot (Allium ascalonicum Hort). Journal of Agricultural and Food Chemistry. 50(20): 5686-5690.
Fawcett, W.D. 2002. Buku Ajar Histology. Edisi 12. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 583-599.
Fox, S.I. 1999. Liver, Gallbladder and Pancreas. In Human Physiology. 6th Ed. Mc Graws-Hills. Boston. 580-585.
Frode, T.S and Medeiros, Y.S. 2008. Animals Models to Test Drugs with Potential Antidiabetic Activity. Journal of Ethnopharmacology. 115:173-183.
Galeone, C., Pelucchi, C., Levi, F., Negri, E., Franceschi, S., Talamini, R., Giacosa, A. dan La Vecchia, C. 2006. Onion and Garlic Use and Human Cancer. Am J Clin Nutr. 84 : 1027-1032.
Greenspan, F.S., MD. 1998. Endokrinologi Dasar dan Klinik. Edisi 4. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.755.
Guyton, A.C. and J.E. Hall. 2006. Textbook of Medical Physiology. 11th Ed. W B Saunders Co. Philadhelpia. 859-864.
Handajani, F. 2008. Pengaruh Pemberian Ekstrak Buah Merah (Pandanus conoideus Iam) Pada Kadar SGPT Dan SGOT Tikus Putih (Rattus norvegicus) Yang Diinduksi Parasetamol Dosis Tinggi Tunggal. Penelitian Eksperimental Laboratoris.
Horn, B. and Mitten, R.W. 2000. Evaluation of an Insulin Zinc Suspension for Control of Naturally Occurring Diabetes Mellitus in Dogs. Australian Veterinary Journal. 78(12) : 831-4.
Hussain, S.M., Abdul, B., Bhagat, R.C., Darzi, M.M., Abdul, W.S. 2008. Biochemical and Histomorphological Study of Streptozotocin-Induced Diabetes Mellitus in Rabbits. Pakistan Journal of Nutrition. 7(2):359-364.
Irfan, M. 2013. Respon Bawang Merah (Allium ascalonicum L) Terhadap Zat Pengatur Tumbuh dan Unsur Hara. Jurnal Agroteknologi. 3(2) : 35-40.
Junqueira, L.C., J. Carniero and R.o. Kelley. 1995. Glands Associated with the Digestive Tract, in Basic Histology. 8th Ed. Appleton & Lange. London. 306-319.
Kasno, P.A. 2003. Patologi Hepar dan Saluran Empedu Ekstrak Hepatik. Semarang. Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Katzung, B.G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi II. Salemba Medika. Jakarta. 671-678.
Katzung, B.G. 2007. Basic and Clinical Pharmacology (10th ed). The MCGraw-Hill Companies, Inc. Boston. 648-701.
Kim, J.S., Ju, J.B., Choi, C.W. dan Kim, S.C. 2006. Hypoglycemic and Antihyperlipidemic Effect of Four Korean Medicinal Plants in Alloxan Induced Diabetic Rats. Biochem and Biotech. (2):154-160.
Krisnamurti, A., dan A.S. Husin. 2011. Reduction Of Blood Glucose Levels Of Ethanolic Extract Of Bungur (Lagerstroemia speciosa L. pers) Leaves in Alloxan Induced Diabetic Rats. The 2nd International Conference on Pharmacy and Advance Pharmaceutical Sciences. (1):144-147.
Kuntz, B. and H.D. Kuntz. 2008. Hepatology Textbook and Atlas. 3rd Ed. Springer Medizin Verlag Heidelberg. Germany. 16-77.
Kusriningrum, R.S. 2010. Perancangan Percobaan. Edisi ke-2. Airlangga University Press. Surabaya. 15.
Kusuma, K.A. 2014. Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Daun Angsana (Pterocarpus indicus Willd) Dan Metformin Terhadap Histopatologi Sel Hepar Tikus Diabetes Yang Diinduksi Aloksan [Skripsi]. Fakultas Farmasi. Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya.
Kusuma, W. 2010. Efek Ekstrak Daun Kemangi (Ocimum sanctum L.) Terhadap Kerusakan Hepatosit Mencit Akibat Minyak Sawit dengan Pemanasan Berulang [Skripsi]. Universitas Sebelas Maret. 14-17
Kusumawati, D. 2004. Bersahabat Dengan Hewan Coba. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya.
Lenze, S. 2008. The Mechanism of Alloxan and Streptozotocin Induced Diabetes. Diabetologia. 51 : 216-226.
Maharani, P. 2007. Histopatologi Organ Hati dan Mata Pada Tikus Penderita Diabetes Mellitus Eksperimental [skripsi]. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. 13-14.
Mahdi, C. Aulaniam. Widodo, M.A. Sumarno. 2007. Yogurt Sebagai Detoksikan yang Efektif terhadap Toksisitas Formalin yang Terpapar dalam Makanan. S3 Biomedik program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya. Malang.
Maric, A. 2010. Metformin More than ‘Gold Standard’ in the Treatment of Type 2 Diabetes Mellitus. Diabetologia Croatica. 39 : 96.
Martia, R.T. 2015. Gambaran Histopatologi Pankreas dan Kadar Glukosa Darah Mencit Model Diabetes yang Diterapi Ekstrak Air Cynodon dactylon Fraksi Non-Polisakarida [Skripsi]. Universitas Airlangga Surabaya.
Nugroho, A.E. 2006. Hewan Percobaan Diabetes Mellitus : Patologi dan Mekanisme Anti Diabetogenik. Biodiversitas 7 (4) : 378 – 382.