BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
2.1. Tinjauan Pustaka
2.1.1. Bambu
2.1.1.1. Umum
Bambu merupakan rumput raksasa dari keluarga Bambusoideae. Diperkirakan ada 60-90 generasi dari bambu, mencakup sekitar 1100-1500 spesies dan juga sekitar 600 spesies botani bambu yang berbeda di dunia. Bambu terutama tumbuh di daerah tropis dan sub - tropis di Asia, Latin Amerika dan Afrika. Bambu adalah sumber daya serbaguna dengan kekuatan tinggi untuk rasio berat dan kemudahan dalam bekerja dengan alat-alat sederhana. (Jigar K. Sevalia, et.all., 2013) [26]. Bambu dapat menjadi alternatif pengganti tulangan baja yang harganya relatif mahal (Marsudi, et.all., 2014) [18]. Pemilihan penggunaan bambu sebagai alternatif tulangan pada beton didasarkan pada pertimbangan bahwa bambu memiliki nilai kuat tarik yang cukup tinggi. Kuat tarik tersebut terdapat pada bagian kulit bambu. Selain itu sifat bambu yang ringan akan memberikan keuntungan atau nilai tambah dalam hal ketahanan terhadap gempa, karena penggunaan tulangan bambu akan membuat berat konstruksi semakin kecil.
Bambu merupakan salah satu bahan bangunan yang tertua yang digunakan manusia tropik. Bambu juga merupakan bahan bangunan yang sangat terkenal di Indonesia khususnya bagi masyarakat pedesaan. Hal ini disebabkan karena bambu mudah diperoleh, harganya relatif murah dan secara teknis relatif mudah dikerjakan oleh tenaga kurang terampil. Selain itu bambu juga memiliki sifat kuat tarik yang cukup besar dan cukup elastis sehingga cocok untuk digunakan sebagai tulangan alternatif untuk daerah pedalaman bila tulangan besi tidak tersedia atau harganya sangat mahal (Abdurahman c,1994 dalam Widjaya et al, 1994).
Nilai kuat tekan pada bambu lebih kecil jika dibandingkan dengan kuat tariknya. Sehingga bambu cocok jika digunakan sebagai material penahan gaya tarik. Kuat
lentur bambu pun dipengaruhi oleh cara pengawetannya. Bambu yang diawetkan cenderung akan memiliki kuat lentur yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan bambu yang tidak melalui proses pengawetan (Fikremariam Megistu dalam Jigar K, 2013) [26].
Dalam penggunaanya sebagai salah satu material konstruksi, tidak sembarang bambu dapat digunakan. Hanya bambu dengan kualitas sesuai spesifikasi yang dapat digunakan sebagai material konstruksi. Bambu yang akan digunakan sebaiknya sudah mencapai umur 3-4 tahun. Penggunaan bambu pada usia ini melalui pertimbangan bahwa bambu telah mencapai kekuatan yang maksimum. Bambu pun memiliki jenis yang bermacam macam yang dapat digunakan, tetapi hanya empat macam yang dirasa penting dan dapat digunakan di Indonesia yaitu bambu Petung, bambu Wulung, bambu Tali, bambu Duri (Frick, 2004, dalam Agus Setiya Budi, 2013) [25].
Janssen, JAA (1988) dalam Morisco (1999) [20] memberikan rekomendasi tentang
keunggulan bambu sebagai berikut :
a. Bambu dapat tumbuh sangat cepat dan dapat dibudidayakan secara cepat serta
modal dapat diputar berkesinambungan.
b. Bambu mempunyai sifat-sifat mekanika yang baik.
c. Pengerjaan bambu hanya membutuhkan peralatan yang sederhana.
d. Kulit luar bambu mengandung banyak silika yang membuat bambu
terlindungi
Jansen (2000) melakukan penelitian perbandingan penggunaan bambu dan baja
sebagai tulangan di dalam balok beton. Hasilnya cukup memuaskan, yaitu momen lentur pada balok beton bertulang bambu adalah 78 % jika dibamdingkan balok
dengan tulangan baja. Sedangkan Pathurrahman dan Kusuma (2003) [22]
menyatakan bahwa bambu memiliki peluang untuk digunakan sebagai sebagai tulangan balok beton, khususnya untuk struktur sederhana. Khosrow Gavami
(2004) [10] menyatakan, tulangan bambu dapat menggantikan tulangan baja secara
memuaskan dan telah diaplikasikan di dalam beberapa konstruksi bangunan. Dan
pengganti tulangan, terlebih di negara yang material baja sangat terbatas dan penggunaan beton tanpa tulangan biasa digunakan.
Pada penelitian sebelumnya telah diperlihatkan perbandingan kuat tarik yang dilakukan antara bambu Petung, bambu Ori, dan besi baja. Di dalam percobaan tersebut diperlihatkan bahwa bambu Petung memiliki tegangan leleh yang tinggi
yaitu 3000 kg/m2. Dengan tegangan leleh besi baja yang hanya 2400 kg/m2 maka
dapat dikatakan kuat tarik bambu Petung lebih besar dari kuat tarik besi baja (Morisco, 1999, dalam Agus Setiya Budi, 2013) [25]. Hasil uji dapat dilihat pada gambar 2.1. berikut:
Gambar 2.1. Diagram Tegangan - Regangan Bambu dan Baja (Sumber: Morisco, 1999) [20]
Selain keunggulan yang telah disebutkan, terdapat kelemahan bambu yang perlu mendapatkan perlakuan khusus. Menurut Ramana Reddyhave bambu merupakan material yang mudah mengalami penyusutan, untuk menanggulangi permasalahan tersebut diperlukan treatment khusus dengan mengoleskan cairan waterproofing
atau lapisan anti air sehingga kemungkinan susut bambu dapat diminimalisir (Nirav B dan Jigar K, 2013) [26]
Secara umum batang bambu terbagi atas dua bagian yaitu:
a. Nodia
Nodia atau ruas bambu merupakan bagian terlemah terhadap gaya tarik sejajar sumbu batang bambu, karena pada bagian ini sebagian serat bambu berbelok, sehingga gaya tarik yang bekerja tidak lagi sejajar semua serat.
b. Internodia
Internodia adalah daerah yang diapit antara dua nodia, panjang internodia ditentukan oleh jenis bambunya dan umur ruasnya.
Berikut ini adalah bagian-bagian bambu ditinjau dari potongan melintangnya:
a. Kulit luar
Kulit luar adalah bagian terluar dari bambu, biasanya berwarna hijau, kuning, atau hitam tergantung jenis bambu dan usianya. Bagian ini memiliki sifat yang keras dan kaku. Berdasarkan karakteristik tersebut dapat diketahui bahwa bagian bambu ini adalah bagian yang paling cocok digunakan.
b. Bambu bagian luar
Bagian ini terletak diantara kulit luar dan bagian tengah. Bambu bagian luar ini memiliki sifat kaku dan keras.
c. Bagian tengah
Bagian tengah bambu terletak dibawah bagian luar, atau antara bagian luar dan bagian dalam bambu. Serat yang elastis dan padat menjadi dominan pada bagian ini.
d. Bagian dalam
Merupakan bagian terbawah dari bambu. Sering disebut sebagais hati bambu yang memiliki serat kaku dan mudah patah.
Bambu yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis bambu petung
(Dendrocalamus Asper), bambu ini memiliki diameter yang relatif besar jika
dibandingkan dengan jenis bambu yang lain. Jarak antar nodia pada bambu ini berkisar antara 40 -60 cm, dengan diameter batang mencapai 20 cm, tebal dinding 10 -15 mm, dan tingginya yang dapat mencapai 20 m. Keunggulan-keunggulan ini lah yang mendasari pemilihan bambu petung sebagai material tulangan beton.
2.1.1.2. Sifat-sifat Bambu
Sebelum bambu digunakan sebagai bahan konstruksi, terlebih dahulu penguji harus mengetahui sifat-sifat yang ada pada bambu tersebut. Sifat bambu
dibedakan menjadi dua golongan yaitu sifat fisik dan sifat mekanik bambu. Sifat fisik adalah sifat yang tampak pada bambu. Sifat mekanik dapat diartikan sebagai kemampuan bambu dalam menahan berbagai gaya yang mengenainya.
a. Sifat Fisik Bambu
1) Kadar Air dan Berat Jenis
Kadar air pada sebuah spesimen dapat diartikan sebagai jumlah air yang terkandung dalam spesimen bahan, biasanya dinyatakan dalam bentuk presentase berat air yang terdapat dalam spesimen bahan terhadap berat kering ovennya. Kadar air di dalam bambu dapat berubah ubah. Perubahan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor udara dan cuaca.
Bambu merupakan salah satu jenis tanaman yang bersifat higroskopis yaitu dapat
menyerap air maupun uap air. Penyerapan ini terjadi apabila tekanan uap air di luar batang lebih tinggi daripada di dalam batang bambu. Selain memiliki sifat higrskopis, bambu juga bersifat desorbtif yaitu bambu akan melepaskan uap air jika tekanan di luar lebih rendah daripada tekanan di dalam.
Adapun yang dimaksud dengan berat jenis bambu adalah perbandingan berat kering tanur suatu benda terhadap volume air yang beratnya sama dengan volume benda tersebut. Semakin tinggi berat jenis bambu maka semakin kecil kandungan air yang terdapat di dalamnya.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Morisco dan Triwiyono (2000) dalam
Morisco (2004) diketahui nilai kadar air dan berat jenis bambu petung.
Pengukuran kadar air dan berat jenis tersebut dilakukan dua kali yaitu pada saat bambu basah (sehari setelah penebangan) dan pada saat bambu kering udara (setelah 45 hari diinapkan). Hasil pengukuran kadar air dan berat jenis bambu petung disajikan dalam tabel berikut ini.
Tabel 2.1. Kadar Air dan Berat Jenis Bambu Petung
Posisi Nomor Bambu Basah Bambu Kering Udara
Kadar air (%) Berat Jenis Kadar air (%) Berat Jenis
Pangkal 1 2 3 28,610 34,256 35,361 0,634 0,680 0,603 5,381 4,390 5,909 0,646 0,663 0,682 rata-rata 36,076 0,639 5,227 0,664 Tengah 1 2 3 41,129 36,402 35,965 0,695 0,701 0,712 6,250 6,926 6,859 0,711 0,702 0,769 rata-rata 37,832 0,703 6,678 0,727 Ujung 1 2 3 38,699 36,078 35,517 0,754 0,712 0,686 6,034 8,756 6,818 0,763 0,697 0,820 rata-rata 36,765 0,717 7,203 0,760
(Sumber : Triwiyono dan Morisco, 2000 dalam Morisco, 2004) 2) Muai dan susut
Pemuaian dan penyusutan yang terjadi pada bambu diakibatkan oleh perubahan suhu dan kelembaban yang ada di sekitar bambu tersebut. Dampak dari terjadinya pemuaian dan penyusutan tersebut adalah bambu mengalami perubahan dimensi. Bambu merupakan salah satu bahan material yang memiliki angka susut yang cukup tinggi, maka dari itu diperlukan perhatian khusus dalam pengolahan bambu agar saat bambu digunakan sebagai tulangan beton ikatan antara beton dan tulangan bambu dapat dijaga dengan baik.
3) Ketahanan terhadap api
Menurut Agnes (2014:10) [34] dalam bukunya yang berjudul Konstruksi Bambu untuk Bangunan disebutkan bahwa kepadatan serat pada bagian dinding luar bambu dan kadar asam kerisik yang tinggi menyebabkan bambu sukar terbakar. Batang bambu yang terbakar akan menekuk dan membelah diri. Ada tiga titik pembakaran bambu yaitu:
Titik menyalakan api
Dengan sumber api dari luar ± 230oC
Titik api
Bambu yang dinyalakan akan membakar pada suhu ± 260oC
Titik menyala sendiri
Tanpa sumber api, terletak pada ± 330-480oC
b. Sifat Mekanik Bambu
1) Kuat Geser
Kuat geser dapat diartikan sebagai nominal kekuatan bambu untuk menahan gaya-gaya yang berpotensi membuat suatu bagian pada bambu bergeser dari bagian lain yang berada di dekatnya. Kuat geser bambu dipengaruhi oleh beberapa hal salah satunya adalah kadar air dalam bambu.
2) Kuat Lentur
Kuat lentur merupakan tingkat kemampuan suatu bahan untuk menahan gaya-gaya tegak lurus sumbu memanjang serat yang dapat melengkungkan suatu material/bahan yang ditumpu pada kedua ujungnya tanpa terjadi perubahan bentuk yang tetap. Nilai kuat lentur bambu dipengaruhi oleh kadar air yang terkandung dalam bambu tersebut.
Kuat lentur dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu kuat lentur statik dan kuat lentur pukul. Kuat lentur statik adalah kekuatan suatu bahan dalam menahan gaya tegak lurus sumbu memanjang serat yang membebaninya secara perlahan dan stabil. Sedangkan kuat lentur pukul merupakan kekuatan suatu bahan dalam menahan gaya tegak lurus sumbu memanjang serat yang mengenainya secara mendadak.
3) Kuat Tarik
Kuat tarik dapat diartikan sebagai kemampuan bambu dalam menahan gaya-gaya yang berusaha menarik lepas bagian bambu satu sama lain. Kekuatan tarik dibedakan menjadi dua jenis yaitu kuat tarik sejajar arah serat dan kuat tarik
tegak lurus arah serat. Nilai kuat tarik sejajar arah serat akan lebih besar jika dibandingkan dengan kuat tarik tegak lurus arah serat.
Pada tahun 1999, Morisco melakukan pengujian spesimen pada beberapa macam bambu untuk mengetahui perbedaan kekuatan bambu bagian luar dengan bagian dalam. Bambu dibelah tangensial sehingga didapatkan tebal sekitar setengah tebal bambu utuh, dapat dilihat pada Gambar 2.2. dan Gambar 2.3. sedangkan hasil pengujian disajikan dalam Tabel 2.2. berikut ini.
Gambar 2.2. Potongan Bambu Secara Umum (Sumber: J.G. Moroz, 2014)
Gambar 2.3. Pengambilan Spesimen Bambu (Sumber: Morisco, 1999) [20]
Tabel 2.2. Kuat Tarik Bambu Tanpa Nodia Kering Oven
Jenis bambu Tegangan tarik (MPa)
Bagian dalam Bagian Luar
Ori Petung Wulung 164 97 96 417 285 237 (Sumber: Morisco, 1999) [20]
Hasil pengujian menunjukan bahwa bambu bagian luar memiliki kekuatan tarik jauh lebih besar dari pada bagian dalam bambu. Perbedaan nilai kuat tarik ini dikarenakan pada bagian luar bambu terdapat kulit bambu yang berkontribusi besar dalam penentuan nilai kuat tariknya.
Kemudian muncul pemikiran tentang perbandingan kuat tarik rata-rata bambu dengan nodia dan tanpa nodia. Nodia merupakan suatu bagian pada bambu dimana pada bagian ini sebagian serat bambu mengalami pembelokan arah serat dan sebagian yang lain tetap lurus. Pembelokan serat tersebut kemudian menyebabkan sebuah perlemahan pada bambu mengingat arah gaya tidak lagi sejajar semua arah serat. Perbandingan kuat tarik rata-rata bambu dengan dan tanpa nodia dapat dilihat pada Tabel 2.3. berikut ini.
Tabel 2.3. Kuat Tarik Rata-Rata Bambu Kering Oven
Jenis bambu
Tegangan tarik (MPa)
Tanpa Nodia Dengan Nodia
Ori Petung Wulung 291 190 166 128 116 147 (Sumber: Morisco, 1999) [20] 4) Kuat Tekan
Kuat tekan bambu merupakan daya tahan bambu terhadap gaya tekan eksternal yang bekerja pada arah sejajar serat. Gaya tekan pada bambu cenderung akan memperpendek dimensi bambu dan ada kemungkinan menimbulkan bahaya tekuk pada bambu ketika bambu tidak mampu lagi menahan gaya tersebut. Selain
dipengaruhi oleh kadar air dan kerapatan bambu, nilai kuat tekan bambu juga dipengaruhi oleh posisi yaitu pada bagian pangkal, tengah atau ujung (Morisco,1999) [20]. Hasil pengujian kuat tekan bambu berdasarkan posisinya ditampilkan pada Tabel 2.4 berikut ini.
Tabel 2.4. Kuat Tekan Rata- Rata Bambu Kering Oven
Jenis bambu Bagian Kuat tekan
(kg/cm2) Petung Pangkal Tengah Ujung 2,769 4,089 5,479 Tutul Pangkal Tengah Ujung 5,319 5,428 4,639 Galah Pangkal Tengah Ujung 3,266 3,992 4,048 Tali Pangkal Tengah Ujung 2,152 2,880 3,354 Dendeng Pangkal Tengah Ujung 4,641 3,609 3,238 (Sumber: Morisco, 1999) [20]
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa kuat tekan bambu petung yang paling tinggi berada pada bagian ujung kemudian tengah lalu bagian pangkal.
2.1.1.3. Tegangan Ijin Bambu untuk Perancangan
Dalam sebuah kegiatan konstruksi diperlukan adanya spesifikasi khusus sehingga suatu bahan material dianggap layak digunakan. Untuk itu Departemen Pekerjaan Umum melalui Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemukiman telah melakukan
penelitian mendalam tentang bambu khususnya untuk mengetahui sifat fisik dan
mekanika bambu. Dalam laporannya Tular dan Sutidjan (1961) dalam Morisco
(1999) [20] nilai modulus elastisitas E bambu berkisar 98070-294200 kg/cm2, tetapi untuk perancangan dipakai E sebesar 294200 kg/cm2. Hasil penelitian selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.5. berikut ini.
Tabel 2.5. Kuat Batas dan Tegangan Ijin Bambu
Macam tegangan Kuat batas
(kg/cm2) Tegangan ijin (kg/cm2) Tarik Lentur Tekan E. Tarik 981-3920 686-2940 245-981 98070-294200 294,2 98,07 78,45 196100 (Sumber: Tular dan Sutidjan, 1961 dalam Morisco, 1999) [20]
Selanjutnya pada tahun 1987, dilakukan penelitian lanjutan terhadap 3 spesies bambu di Indonesia antara lain bambu tali (Gigantochloa apus Kurz), bambu wulung (Gigantochloa Verticillata Munro), dan bambu petung (Dendrocalamus
asper Backer). Hasil pengujian berdasarkan laporan Siopongco dan Munandar
(1987)dalam Morisco (1999) [20] dijabarkan pada Tabel 2.6.
Tabel 2.6. Hasil Pengujian 3 Spesies Bambu, Gigantochloa Apus Kurz,
GigantochloaVerticillata Munro, dan Dendrocalamus Asper Backer
Sifat Kisaran Jumlah Spesimen
Kuat tarik 1180-2750 kg/cm2 234
Kuat lentur 785-1960 kg/cm2 234
Kuat tekan 499-588 kg/cm2 234
E tarik 87280-313810 kg/cm2 54
E tekan 55900-211820 kg/cm2 234
Batas regangan tarik 0,0037-0,0244 54
Berat jenis 0,67-0,72 132
Kadar lengas 10,04-10,81% 117
Hasil penelitian di atas dapat digunakan untuk berbagai macam bambu. Tegangan ijin rekomendasi tersebut cenderung berada pada sisi aman, sehingga apabila digunakan sebagai dasar perancangan akan memperoleh struktur yang konservatif (Morisco, 1999) [20]. Lebih lanjut Morisco (1999) [20] menambahkan bahwa untuk mendapatkan hasil perancangan yang baik, yaitu aman dan ekonomis, maka pengujian kekuatan bahan perlu dilakukan. Hasil yang diperoleh, sebelum dipakai untuk perancangan perlu dikombinasikan dengan faktor aman secukupnya.
2.1.1.4. Pengawetan Bambu
Dalam rangka memperoleh struktur yang tahan lama, diperlukan material-material dengan kualitas terbaik sebagai faktor penyusun struktur tersebut. Salah satu kelemahan yang dimiliki bambu adalah daya tahannya yang cukup rendah. Selain itu tanaman bambu juga mudah terserang hama penyakit.
Faktor-faktor penyebab kerusakan pada bambu dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu faktor biotik dan faktor abiotik. Dalam bukunya Agnes (2014:12-15) [34] mengatakan bahwa faktor biotik perusak bambu dapat berupa jamur ataupun serangga yang dapat menyebabkan jamur permukaan, noda, bahkan pembusukan pada fisik bambu. Sedangkan faktor abiotik atau faktor lingkungan yang memicu terjadinya kerusakan pada bambu antara lain adanya retakan yang nantinya menjadi jalan masuk organisme, cuaca, dan api.
Dilihat dari kelemahan bambu tersebut maka muncul pemikiran untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya kerusakan. Tujuan ini dapat dicapai dengan cara mengawetkan material bambu. Berikut ini beberapa metode pengawetan bambu :
a. Pengawetan Tradisional
1) Pengendalian waktu tebang
Proses penebangan bambu sebaiknya dilakukan pada saat bambu telah mencapai umur 3-4 tahun karena pada usia ini kekuatan bambu mencapai angka yang optimum. Saat menebang bambu perlu diperhatikan kandungan kanji yang ada di
dalamnya. Kandungan kanji beberapa jenis bambu dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.7. Kandungan Kanji Bambu
Bulan Kandungan Kanji Bambu Ampel Bambu Petung Bambu Wulung Bambu Tali Januari 0,5 0,48 0,33 0,26 Februari 1,55 3,96 1,24 2,08 Maret 0,31 0,36 0,31 0,38 April 1,99 0,32 0,38 0,42 Mei 4,08 0,9 0,53 0,37 Juni 3,7 0,56 0,42 0,3 Juli 1,9 0,4 0,3 0,39 Agustus 2,67 0,46 0,54 0,29 September 3,58 2,07 0,27 0,28 Oktober 4,73 0,49 0,32 0,26 Nopember 6,22 0,46 0,32 0,5 Desember 2,82 0,48 0,37 0,31 Rata-rata 3,14 0,83 0,37 0,34
(Sumber: Frick,Heinz, 2004 dalam Agnes, 2014) [34]
2) Perendaman
Proses perendaman dilakukan setelah bambu dikeringkan. Bambu direndam dalam air tawar, air payau, atau air laut untuk menghilangkan kandungan kanji yang ada di dalamnya.
3) Pengasapan
Pada proses pengawetan dengan cara pengasapan, bambu diletakkan di atas perapian selama jangka waktu tertentu dengan tujuan untuk mengurangi kadar air dan menghilangkan kanji pada batang.
Pada proses pembakaran ini kelembaban pada bambu akan hilang dan kanji yang terdapat di dalamnya akan mengeras.
5) Perebusan
Proses yang dilakukan dalam pengawetan ini adalah dengan merebus bambu pada suhu 55-60oC agar kanji mengalami gelatinisasi atau pada suhu 100oC selama 1 jam efektif untuk mengurangi serangan kumbang bubuk.
b. Pengawetan Modern
1) Pengawetan Jangka Panjang
Metode tangki terbuka
Batang direndam selama beberapa hari dalam larutan pengawet. Lama pengawetan bergantung pada jenis pengawet, jenis bambu dan kondisi batang.
Metode Steepin
Disiapkan tangki besar berisi larutan pengawet, kemudian bambu segar yang baru dipotong diletakkan ke dalam tangki dengan posisi cabang dan daun berada di bagian atas agar pengawet bisa mengalir melalui pembuluh dan menguap pada daunnya.
Metode Boucherie
Bambu beserta tangkai dan daunnya dipotong lalu disambung pada drum besi berisi larutan pengawet yang akan kemudian dialirkan melewati pembuluh bambu tersebut.
Metode tangki bertekanan
Untuk melakukan pengawetan dengan cara ini terlebih dahulu bambu dikeringkan lalu dimasukkan dalam tangki bertekanan untuk proses penyerapan larutan pengawet secara cepat.
Metode pengawetan vertikal
Bambu dipotong tiap 6-7m, disandarkan pada tempat yang terlindung hujan dan sinar matahari secara vertikal lalu larutan pengawet diisikan pada bambu dari atas ke bawah.
2) Pengawetan Jangka Pendek
Penyemperotan
Pelapisan
Pencelupan
Proses pengawetan yang digunakan dalam penelitian kali ini adalah dengan proses perendaman tangki terbuka. Bahan pengawet yang digunakan adalah boraks dan asam borik dengan perbandingan 3 : 2 dan konsentrasi 10%. Menurut penelitian yang dilakukan Susilaning, dkk. (2012) [30], perendaman bambu petung dengan air yang ditambahkan boraks dan asam borik dengan perbandingan 3:2, dan konsentrasi 10 % dalam waktu lima hari menunjukan kerusakan yang timbul akibat serangga sebesar 0,97% pada bambu petung.
2.1.2. Beton
Beton merupakan campuran antara semen, air, dan agregat. Beton mempunyai sifat dasar dan kualitas yang bervariasi, yang disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya bahan dasar yang digunakan, faktor air semen, jumlah dan jenis semen, serta adanya pemakaian bahan tambah. Beton bertulang merupakan gabungan dari dua jenis bahan yaitu beton normal yang mempunyai kekuatan tekan tinggi, dan batang-batang tulangan yang ditanamkan didalam beton yang dapat memberikan kekuatan tarik yang diperlukan. (Sriyatno, 2014) [29]
Dalam pembuatan campuran beton harus diperhatikan secara seksama mengenai komposisi campurannya. Beton segar yang baik adalah beton segar yang dapat diaduk, dapat diangkut, dapat dituang, dapat dipadatkan, dan tidak ada kecenderungan untuk terjadi segresi (pemisahan kerikil dari adukan) maupun
blending (pemisahan air dan semen dari adukan).
Beton normal mempunyai berat isi 2200-2500 kg/m3 menggunakan agregat alam
yang dipecah (SNI 03-2834-2000) [3]. Pada penelitian ini akan digunakan beton dengan kuat tekan 17 MPa yang merupakan nilai rata-rata kuat tekan beton yang digunakan oleh masyarakat umum untuk mendirikan suatu bangunan sederhana seperti rumah dua lantai.
Dalam pemanfaatannya beton memiliki beberapa kelebihan antara lain:
a. Harganya relatif murah karena menggunakan bahan dasar dari alam kecuali semen Portland.
b. Beton memiliki nilai kuat tekan tinggi serta memiliki ketahanan terhadap pengkaratan atau pembusukan.
c. Beton segar dapat dengan mudah diangkut maupun dicetak dalam bentuk
apapun.
d. Kuat tekan yang tinggi jika dikombinasikan dengan baja tulangan yang kuat tariknya tinggi dapat digunakan untuk struktur yang berat.
e. Beton segar dapat disemprotkan di permukaan beton lama yang retak maupun
diisikan ke dalam retakan beton dalam proses perbaikan.
f. Beton segar dapat di pompakan sehingga memungkinkan untuk di tuang pada
tempat yang sulit di jangkau.
g. Beton termasuk tahan aus dan tahan kebakaran sehingga biaya perawatannya
termasuk rendah.
Sedangkan kelemahan penggunaan beton dalam konstruksi adalah:
a. Beton mempunyai kuat tarik rendah, sehingga mudah retak, oleh karena itu perlu diberi tulangan baja.
b. Beton segar mengerut saat pengeringan dan beton keras mengembang jika basah, sehingga dilatasi perlu diperhatikan pada beton yang panjang atau lebar untuk memberikan tempat kembang susut.
c. Beton sulit untuk kedap air secara sempurna, sehingga selalu dapat dimasuki
air, dan air yang membawa kandungan garam dapat merusak beton.
d. Beton bersifat getas sehingga harus dihitung dan didetail secara seksama agar setelah dikompositkan dengan baja tulangan menjadi bersifat daktail,terutama pada struktur tahan gempa.
2.2. Landasan Teori
2.2.1. Sifat Fisika dan Sifat Mekanika Bambu
Proses pengujian sifat fisika dan mekanika bambu dilakukan dengan berpatokan
pada standar pengujian ISO 3129-1975 dan Bamboo Current Research.
a. Kadar Air, Berat Jenis, dan Kerapatan (ISO 3130-1975)
Pengujian kadar air bambu dilakukan dengan mengeringkan sampel benda uji di dalam oven dengan suhu sekitar (103±2ºC) sampai berat sampel menjadi konstan. Kadar air bambu dihitung dengan Persamaan 2.1.
% 100 a a b W W W Ka ...(2.1)
Keterangan: Ka = Kadar air bambu (%)
Wb = Berat benda uji sebelum di oven (gram)
Wa = Berat benda uji kering oven (gram)
Perhitungan besarnya berat jenis kering tanur bambu dipergunakan Persamaan 2.2 dengan benda uji sama seperti benda uji kadar air.
b a G W
BJ ...(2.2)
Keterangan: BJ = Berat jenis bambu
Wa = Berat benda uji kering oven (gram)
Gb = Berat air yang volumenya sama dengan volume benda uji
kering oven (gram)
Berat jenis bambu adalah perbandingan berat bambu terhadap berat suatu volume air yang sama dengan volume bambu tersebut. Menurut Liesse (1980) [17], berat jenis bambu berkisar antara 0,5 – 0,9 gr/cm2.
Tabel 2.8. Berat Jenis dari 6 Jenis Bambu (gr/cm2)
Jenis Nilai berat jenis
Apus 0,590 Legi 0,613 Wulung 0,685 Petung 0,717 Ori 0,744 Ampel 0,769 Rata-rata 0,685 Sumber : Hakim, 1987[11]
Sedangkan pengujian kerapatan bambu dihitung menggunakan Persamaan 2.3.
w w w
V
m
...(2.3)Keterangan:
w = Kerapatan bambu pada kadar air w (gram/cm3)mw = Massa bambu pada kadar air w (gram)
Vw = Volume bambu pada kadar air w (cm3)
b. Kuat Tarik (ISO 3346-1975), Kuat Tekan (ISO 3132-1975), Kuat Geser (ISO
3347-1975), dan Kuat Lentur (ISO 3133-1975 dan ISO 3349-1975)
Pengujian sifat mekanika bambu dilakukan dengan mesin Universal Testing
Machine (UTM). Untuk pengujian kuat tarik sejajar serat dapat dihitung
menggunakan Persamaan 2.4. A Pmaks tr//
...(2.4) Keterangan:
tr// = Kuat tarik sejajar serat (MPa)Pmaks = Gaya tarik maksimal bambu (N)
A = tebal x lebar = luas bidang yang tertarik (mm2)
A
P
maks tk//
...(2.5) Keterangan:
tk// = Kuat tekan sejajar serat (MPa)Pmaks = Gaya tekan maksimal bambu (N)
A = tebal x lebar = luas bidang yang tertekan (mm2)
Pengujian kuat geser sejajar serat bambu dihitung menggunakan Persamaan 2.6.
A
P
maks
//
...(2.6)Keterangan:
//
= Kuat geser sejajar serat (MPa)P maks = Gaya geser maksimal bambu (N)
A = tebal x panjang = luas bidang yang tergeser(mm2)
Selanjutnya untuk menghitung kuat lentur (MOR) dan modulus elastisitas (MOE) bambu dihitung dengan menggunakan Persamaan 2.7 dan 2.8.
2 2 3 bt L P MOR maks ...(2.7) 3 3 4bt L P MOE maks ...(2.8)
Keterangan: MOR = Modulus lentur bambu (MPa)
MOE = Modulus elastisitas bambu (MPa)
Pmaks = Beban maksimum (N)
L = Panjang (mm)
b = Lebar bambu (mm)
t = Tebal bambu (mm)
= Lendutan proporsional dari benda uji (mm)
2.2.2. Material Penyusun Beton
Guna memperoleh kualitas campuran beton yang baik perlu diperhatikan hal-hal mengenai kualitas material, proporsi campuran, proses pengerjaan dan perawatan yang baik. Sebelum menentukan semua indikator di atas terlebih dahulu harus diketahui material penyusun beton yaitu :
a. Semen Portland
Semen portland adalah semen hidrolis yang dihasilkan degan cara menghaluskan klinker yang terdiri dari silikat-silikat kalsium yang bersifat hidrolis dengan gips sebagai bahan tambahan (PUBI-1982). Atau pengertian lain, semen portland adalah semen hidrolis yang dihasilkan dengan cara menggiling terak semen portland terutama yang terdiri atas kalsium silikat yang bersifat hidrolis dan digiling bersama-sama dengan bahan tambahan berupa satu atau lebih bentuk kristal senyawa kalsium sulfat dan boleh ditambah dengan bahan tambahan lain (SNI 15-2049-2004).
Jenis semen yang digunakan dalam penelitian ini adalah semen PPC (Portland
Pozzolan Cement). Semen PPC adalah semen hidrolisis yang terdiri dari
campuran homogen antara semen Portland dengan bahan pozzolan (Trass atau
Fly Ash) halus, yang diproduksi dengan menggiling klinker semen Portland dan
bahan pozzolan bersama-sama.
Berdasarkan tujuan penggunaannya, di Indonesia semen portland dibagi menjadi lima golongan yaitu:
Tabel 2.9. Jenis dan Penggunaan Semen Portland.
Jenis
Semen Penggunaan
Jenis I Yaitu semen portland untuk penggunaan umum yang tidak memerlukan
persyaratan khusus seperti yang disyaratkan pada jenis-jenis lain.
Jenis II Yaitu semen portland yang dalam penggunaannya memerlukan
ketahanan terhadap sulfat atau kalor hidrasi sedang.
Jenis III Yaitu semen portland yang dalam penggunaannya memerlukan
kekuatan tinggi pada tahap permulaan setelah pengikatan terjadi.
Jenis IV Yaitu semen portland yang dalam penggunaannya memerlukan kalor
hidrasi rendah.
Jenis V Yaitu semen portland yang dalam penggunaanya memerlukan
ketahanan tinggi terhadap sulfat. (Sumber: SNI 15-2049-2004) [5]
b. Agregat
Yang dimaksud dengan agregat dalam campran beton meliputi agregat halus dan agregat kasar. Agregat atau material berbutir, misalnya pasir, kerikil, batu pecah, dan kerak tungku pijar, yang dipakai bersama-sama dengan suatu media pengikat
untuk membentuk suatu beton atau adukan semen hidrolik (SNI 03-2847-2002) [4].
Pada campuran beton, agregat mendominasi sekitar 75 % dari isi total beton, hal ini yang membuat perilaku beton sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat agregat penyusunnya. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya agregat biasanya terdiri dari dua macam yaitu agregat halus yang umumnya berupa pasir dan agregat kasar yang pada umumnya berupa kerikil. Dikatakan agregat halus apabila bahan lolos dari saringan no. 4 (lebih kecil dari 3/16 inci, berdasarkan ASTM) dan dikatakan agregat kasar jika lolos saringan nomor 19 dan tertahan pada saringan nomor 9,5.
Tabel 2.10. Persyaratan Gradasi Agregat Halus
Ukuran Saringan Persentase Lolos Saringan(%)
9,5 mm (3/8 in) 100 4,75 mm (No.4) 95 – 100 2,36 mm (No.8) 80 – 100 1,18 mm (No.16) 50 – 85 600 mm (No.30) 25 – 60 300 mm (No.50) 5 – 30 150 mm (No.100) 0 -10 (Sumber: ASTM C33-03)
Persyaratan gradasi untuk agregat kasar dapat dilihat pada Tabel 2.11 berikut ini:
Tabel 2.11. Persyaratan Gradasi Untuk Agregat Kasar
Ukuran Saringan PersentaseLolos Saringan(%)
2 in (50 mm) 100 1,5 in (38 mm) 95 -100 3/4 in (19mm) 35 -70 3/8 in (9,5mm) 10 -30 No.4 (4,75 mm) 0 -5 (Sumber: ASTM C33-03)
c. Air
Air merupakan bahan dasar pembuat beton yang sangat penting namun paling mudah dan murah untuk didapatkan. Air diperlukan untuk reaksi dengan semen dan menjadi pelumas antara butir-butir agregat agar mudah dikerjakan agar hasil campuran sesuai dengan spesifikasi mutu desain maka jumlah air dalam campuran tidak boleh terlalu banyak atau terlalu sedikit. Jika jumlah air kurang maka canpuran beton akan sulit untuk dikerjakan. Sedangkan jika jumlah air telalu banyak maka beton keras yang terbentuk akan menjadi porus dan kekuatannya tidak optimal.
Air yang digunakan dalam pembuatan beton sebaiknya merupakan air yang layak untuk dikonsumsi. Namun apabila terdapat suatu kondisi dimana terjadi kesulitan air di daerah terpencil misalnya yang tidak terdaat air minum atau air untuk penggunaan umum dan kualitas air dikhawatirkan, maka perlu dilakukan pengujian kualitas air. Persyaratan yang harus dipenuhi agar air yang diuji dapat memenuhi spesifikasi mutu antara lain (SNI 03-2834-2000) [3]:
1) Tidak mengandung lumpur (benda melayang lainnya) lebih dari 2 gram/liter.
2) Tidak mengandung garam-garam yang dapat merusak beton (asam, zat
organik, dan sebagainya) lebih dari 15 gram/liter.
3) Tidak mengandung klorida (Cl) lebih dari 0,5 gram/liter.
4) Tidak mengandung senyawa sulfat lebih dari 1 gram/liter.
2.2.3. Pengawet Bambu
2.2.3.1Pengertian Boraks dan Asam Boriks
Asam Boriks adalah senyawa dengan rumus kimia H3BO3 sedangkan Boraks
adalah senyawa dengan nama Natrium Tetraborat (Na2B4O7) yang mengandung
tidak kurang dari 99 % dan tidak lebih 105,0 % Na2B4O7.10H2O dengan sifat
hablur transparan, tidak berbau, warna putih, dan sangat sedikit larut dalam air dingin tetapi lebih larut dalam air panas. Besar daya pengawet mungkin disebabkan senyawa aktif asam borat. Senyawa borat ini dikenal sebagai bahan
2.2.3.2. Penggunaan Boraks dan Asam Boriks
Hasil penelitian Susilaning dkk (2012) [30], perendaman bambu petung dengan air yang ditambahkan zat boraks dan asam boriks dengan perbandingan 3:2, dengan konsentrasi 10% dalam waktu 5 hari menunjukan kerusakan yang ditimbulkan akibat serangga sebesar 1,36% dan 0,97% pada masing-masing bambu ampel dan petung. Pengawetan dengan merendam bambu dengan air mengalir selama 3 bulan menunjukan kerusakan sebesar 1,01% dan 0,72% pada masing-masing bambu ampel dan petung.
Pada penelitian ini, akan dilakukan pengawetan bambu dengan perendaman selama lima hari menggunakan air yang ditambahkan zat boraks dan asam boriks dengan perbandingan 3:2, konsentrasi 10%.
2.2.4. Perancangan Campuran Beton (Mix Design)
Rencana campuran beton bertujuan untuk menentukan proporsi campuran material pembentuk beton agar memenuhi persyaratan umum maupun teknis, sehingga menghasilkan mutu beton sesuai dengan yang direncanakan. Perancangan proporsi campuran beton ini menggunakan metode SNI
03-2834-2000[3] (Tata Cara Pembuatan Rencana Campuran Beton Normal).
a. Nilai Margin
Besarnya nilai margin didapatkan melalui Persamaan 2.9 berikut ini:
M = 1,64 Sr ………... (2.9)
Keterangan : M = nilai tambah, MPa
1,64 = tetapan statistik tergantung % kegagalan maksimal, 5%
Sr = deviasi standar rencana
b. Nilai Kuat Tekan Rata-rata
Besarnya nilai kuat tekan rata-rata didapatkan melalui Persamaan 2.10 berikut:
Keterangan : f’cr = kuat tekan rata-rata, MPa
f’c = kuat tekan yang disyaratkan, MPa
M = nilai tambah, MPa
c. Penentuan Jenis Agregat
Penentuan Jenis Agregat yang digunakan berupa agregat alami atau batu pecah berdasarkan Tabel 2.12 berikut:
Tabel 2.12. Perkiraan Kekuatan Tekan (MPa) Beton dengan Faktor Air-Semen, dan Agregat Kasar Yang Biasa Dipakai di Indonesia
Jenis semen Jenis agregat kasar
Kekuatan tekan (MPa) Pada umur (hari) Bentuk
benda uji
3 7 28 91
Semen Portland Tipe I
Batu tak dipecahkan Batu pecah 17 19 23 27 33 37 40 45 Silinder Semen tahan sulfat
Tipe II, V
Batu tak dipecahkan Batu pecah 20 23 28 32 40 45 48 54 Kubus Semen Portland Tipe III
Batu tak dipecahkan Batu pecah 21 25 28 33 38 44 44 48 Silinder Batu tak dipecahkan
Batu pecah 25 30 31 40 46 53 53 60 Kubus (Sumber: SNI 03-2834-2000) [3]
d. Penentuan Nilai Faktor Air Semen
Penentuan nilai faktor air semen yang digunakan dalam rencana mix design
Tabel 2.13. Persyaratan Jumlah Semen Minimum dan Faktor Air Semen Maksimum Untuk Berbagai Macam Pembetonan Dalam Lingkungan Khusus Lokasi Jumlah Semen minimum per m3 beton (kg) Nilai faktor Air-Semen maksimum Beton di dalam ruang bangunan:
a. keadaan keliling non-korosif b. keadaan keliling korosif disebabkan
oleh kondensasi atau uap korosif Beton di luar ruangan bangunan :
a. tidak terlindung dari hujan dan terik matahari langsung
b. terlindung dari hujan dan terik matahari langsung
Beton masuk ke dalam tanah :
a. mengalami keadaan basah dan kering berganti-ganti
b. mendapat pengaruh sulfat dan alkali dari tanah
Beton yang kontinyu berhubungan : a. air tawar b. air laut 275 325 325 275 325 0,60 0,52 0,60 0,60 0,55 Tabel Tabel (Sumber: SNI 03-2834-2000) [3]
e. Jumlah Air yang Digunakan
Penentuan jumlah air yang diperlukan per meter kubik beton, berdasarkan ukuran maksimum agregat, jenis agregat, dan nilai slump yang diinginkan. Tabel yang digunakan adalah Tabel 2.14.
Tabel 2.14. Perkiraan Kadar Air Bebas (kg/m3) Yang Dibutuhkan Untuk Beberapa Tingkat Kemudahan Pekerjaan Adukan Beton
Besar Ukuran Maks. Kerikil (mm) Jenis Batuan Slump (mm) 0 − 10 10 – 30 30 − 60 60 − 180 10 Alami 150 180 205 225 Batu pecah 180 205 230 250 20 Alami 135 160 180 195 Batu pecah 170 190 210 225 40 Alami 115 140 160 175 Batu pecah 155 175 190 205 (Sumber: SNI 03-2834-2000) [3]
f. Penentuan Daerah Gradasi Agregat Halus
Daerah Gradasi Agregat Halus ditentukan berdasarkan tabel berikut:
Tabel 2.15. Daerah Gradasi Agregat Halus
Lubang Ayakan (mm)
Persen Berat Butir yang Lewat Ayakan
1 2 3 4 10 100 100 100 100 4,8 90 – 100 90 - 100 90 – 100 95 – 100 2,4 60 – 95 75 - 100 85 – 100 95 – 100 1,2 30 – 70 55 - 90 75 – 100 90 – 100 0,6 15 – 34 35 - 59 60 – 79 80 – 100 0,3 5 – 20 8 - 30 12 – 40 15 – 50 0,15 0 – 10 0 - 10 0 – 10 0 – 15
g. Nilai Berat Jenis Agregat Campuran
Besarnya nilai berat jenis agregat campuran didapatkan melalui Persamaan 2.11 berikut ini:
Bj.Camp =
Keterangan : bj.Camp = berat jenis campuran
bj.ag.halus = berat jenis agregat halus
bj.ag.kasar = berat jenis agregat kasar
P = persentase agregat halus terhadap agregat campuran
K = persentase agregat kasar terhadap agregat campuran
h. Kebutuhan Agregat Campuran
Besarnya nilai kebutuhan agregat campuran didapatkan melalui Persamaan:
Wpasir+kerikil = Wbeton - kebutuhan air - kebutuhan semen ………..…. (2.12)
i. Berat Agregat Halus
Besarnya nilai keutuhan agregat halus didapatkan melalui Persamaan:
Wpasir = (Persentase agregat halus) Wpasir+kerikil……… (2.13)
j. Berat Agregat Kasar
Besarnya nilai kebutuhan agregat kasar didapatkan melalui Persamaan:
Wkerikil = Wpasir+kerikil - Wpasir ………...…………..……… (2.14)
2.2.5. Balok
2.2.5.1.Kuat Lentur Balok
Menurut SNI 03-4431-1997[2] yang dimaksud dengan kuat lentur beton adalah kemampuan balok beton yang ditumpu pada dua tumpuan di ujungnya dalam menahan gaya yang dibebankan tegak lurus arah sumbu benda uji tersebut sampai benda uji patah. Nilai kuat lentur tersebut kemudian dinyatakan dalam Mega Pascal (MPa) gaya tiap satuan luas.
Gambar 2.4. Perletakan dan Pembebanan Balok Uji (Sumber: SNI 03-4431-1997) [2]
Rumus perhitungan yang digunakan dalam pengujian kuat lentur beton dengan dua titik pembebanan adalah sebagai berikut:
1) Untuk pengujian dimana patahnya benda uji ada di daerah pusat pada 1/3 jarak titik perletakan pada bagian tarik dari beton seperti Gambar 2.4 (a), maka kuat lentur beton dihitung menurut persamaan:
2
1
bh
PL
...(2.15) 2) Untuk Pengujian dimana patahnya benda uji ada di luar pusat (diluar daerah 1/3 jarak titik perletakan) di bagian tarik beton, dan jarak antara titik pusat dan titik patah kurang dari 5% dari panjang titik perletakan seperti Gambar 2.4 (b), maka kuat lentur beton dihitung menurut persamaan:2
3
1
bh
Pa
...(2.16) Keterangan : 1 = Kuat lentur benda uji (MPa)P = Beban tertinggi yang dilanjutkan oleh mesin uji
(pembacaan dalam ton sampai 3 angka dibelakang koma)
L = Jarak (bentang) antara dua garis perletakan (mm)
b = Lebar tampang lintang patah arah horizontal (mm)
h = Lebar tampang lintang patah arah vertikal (mm)
a = Jarak rata-rata antara tampang lintang patah dan tumpuan
luar yang terdekat, diukur pada 4 tempat pada sisi titik dari bentang (m).
3) Untuk benda uji yang patahnya di luar 1/3 lebar pusat pada bagian tarik beton dan jarak antara titik pembebanan dan titik patah lebih dari 5% bentang, hasil pengujian tidak dipergunakan.
(a) (b)
Gambar 2.5. Daerah Patah Pada Balok Uji (Sumber: SNI 03-4431-1997) [2]
Pada penelitian yang dilakukan Pathurahman (2003) [22], menunjukkan bahwa keruntuhan yang terjadi pada benda uji balok beton ukuran 150x200x2000 mm diawali dengan retaknya beton. Retak yang selalu terjadi pada awal proses keruntuhan adalah retak lentur ditandai dengan pola retak yang tegak lurus. Secara umum retak tersebut terjadi pada saat beban mencapai di atas 90% dari beban teoritis atau sekitar 78% dari beban runtuh. Retak awal biasanya terjadi pada daerah pembebanan di sekitar tumpuan rol, kemudian retak terjadi di daerah tengah bentang selanjutnya di daerah sekitar sendi, atau sebaliknya.
2.2.5.2. Anggapan-anggapan
Pendekatan dan pengembangan metode perencanaan kekuatan di dasarkan atas anggapan-anggapan sebagai berikut (Istimawan, 1994) [14] :
1) Prinsip Navier - Bernoulli tetap berlaku.
2) Tegangan beton dapat disederhanakan menjadi tegangan kotak.
3) Kuat tarik beton diabaikan (tidak diperhitungkan) dan seluruh gaya tarik dilimpahkan kepada tulangan bambu.
Untuk menghitung tinggi luasan tekan pada balok dan nilai beta, digunakan persamaan :
Keterangan : c = jarak serat tekan garis terluar ke garis netral
β1 = konstanta yang merupakan fungsi dari kelas kuat beton
Menurut SNI 2847 2013[6] menetapkan nilai β1 sebagai berikut:
17 < fc’ < 28 MPa β1 = 0.85
fc’ ≥ 28 MPa β1= 0.85 harus direduksi sebesar 0,05 untuk setiap
kelebihan kekuatan sebesar 7 MPa tetapi β1 tidak boleh kurang dari 0,65.
2.2.5.3.Pembatasan Tulangan Tarik
Pada perhitungan beton bertulang menurut SNI 03-2847-2002[4] ditetapkan bahwa
jumlah tulangan baja tarik, As, tidak boleh melebihi 0.75 dari tulangan balans, Asb,
yaitu jumlah tulangan tarik bila beton dan baja kedua-duanya mencapai regangan hancur (As ≤ 0,75. Asb). Dalam penelitian ini tulangan bambu ditetapkan tidak
lebih dari 60 persen tulangan balans. (As ≤ 0,60. Asb) 2.2.5.4. Analisis Balok
Gambar 2.6. Diagram SFD dan BMD
Vu
Reaksi Tumpuan: = = Momen: = =
Gambar 2.7. Distribusi Tegangan dan Regangan Pada Penampang Beton
c = 0.85 fc’ a a /2 Z = d – (a/2) T = Abb fyb eb
Kondisi regangan seimbang (balance) terjadi jika:
ε
c’ = 0.003 danε
b =ε
y =
Pada kondisi balans didapat:
ab = β Cb Cc = 0.85 fc’bab T = Abb fyb Karena ∑ H = 0, maka T = Cc Abb fyb = 0.85 fc’ b ab Mn = T (d - a/2) Mu = 0.80 Mn
Dari hasil analisa balok dapat diketahui besarnya beban P yang dapat bekerja pada balok yang berguna untuk menghitung besarnya momen ultimit yang dapat dilayani, kedua nilai momen hasil dari analisis dan hasil pengujian akan dibandingkan.
2.2.6. Uji Statistik
Analisis data merupakan proses terintegrasi dalam sebuah prosedur penelitian. Analisis data dilakukan untuk membuktikan atau mencari jawaban terhadap rumusan dan dugaan tentang variabel yang dipelajari. Hasil analisis data inilah akan dibaca/diinterpretasikan kemudian diambil simpulan jawaban yang berdasarkan pada kenyataan empiris (Shantycr7, 2013)[27].
Terdapat bermacam-macam teknik statistik yang digunakan dalam penelitian khususnya dalam pengujian hipotesis. Ada dua macam statistika, yaitu : (Wikipedia, 2016) [33].
1. Statistika deskriptif berkenaan dengan bagaimana data dapat digambarkan
rata-rata dan deviasi standar) atau secara grafis (dalam bentuk tabel atau grafik), untuk mendapatkan gambaran sekilas mengenai data tersebut,
sehingga lebih mudah dibaca dan bermakna.
2. Statistika inferensial berkenaan dengan permodelan data dan melakukan
pengambilan keputusan berdasarkan analisis data, misalnya
melakukan pengujian hipotesis, melakukan estimasi pengamatan masa
mendatang (estimasi atau prediksi), membuat permodelan hubungan
(korelasi, regresi, ANOVA, deret waktu), dan sebagainya.
2.2.7. Kajian Analisis Struktur
Perkembangan ilmu dan teknologi yang semakin maju memberikan kemudahan dalam berbagai bidang. Kemudahan tersebut juga dirasakan dalam dunia konstruksi, salah satunya kemudahan dalam dunia perancangan konstruksi. Program analisis struktur banyak digunakan untuk merancang sebuah konstruksi agar dapat didirikan secara aman, tepat, dan efisien. Pertimbangan ini yang kemudian mendasari penggunaan program analisis struktur dalam penelitian ini. Penggunaan program analisis struktur ditujukan untuk mengetahui kemampuan balok beton bertulangan bambu petung dalam menahan gaya luar yang diampunya. Output dari analisis struktur tersebut kemudian digunakan dalam perancangan balok struktur pada rumah sederhana, sehingga diharapkan proses perancangan akan lebih mudah karena keberhasilan struktur dapat diperkirakan sebelumnya.