• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1.1 Sumber dan Jenis Pencemar Udara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2.1.1 Sumber dan Jenis Pencemar Udara"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

2.1.1 Sumber dan Jenis Pencemar Udara Menurut asalnya, sumber pencemaran udara dibagi menjadi dua yaitu sumber alami dan non alami (buatan). Sumber pencemar alami yaitu masuknya zat pencemar ke udara bebas yang diakibatkan oleh adanya aktivitas letusan gunung berapi, kebakaran hutan dan lain sebagainya yang disebabkan karena adanya aktivitas alam. Sedangkan sumber non alami (buatan) yaitu masuknya zat pencemar ke udara bebas yang diakibatkan oleh adanya aktivitas manusia seperti aktivitas transportasi, indusri, dan domestik (rumah tangga) (Soedomo 2001).

Menurut Arya (1999) sumber pencemaran udara berasal dari :

1. Sumber urban dan Industri ;

a. Pembangkit tenaga listrik yang masih menggunakan batu bara sehingga dapat menghasilkan zat pencemar (polutan) dalam jumlah yang cukup banyak. b. Kegiatan industri, berasal dari

penambangan, perakitan, penggunaan zat kimia, dan lain sebagainya.

c. Transportasi, Emisi yang dihasilkan diestimasi berdasarkan per unit area dengan mempertimbangkan kepadatan lalulintas, kecepatan kendaraan, dan emisi perkendaraan.

d. Proses pembakaran, berasal dari pembakaran diluar ruangan seperti api unggun, pembakaran sampah, dan lain sebagainya

e. Pembuangan limbah, berasal dari limbah udara yang dihasilkan oleh industri dan dibuang melalui cerobong asap.

f. Aktivitas konstruksi, misalnya berasal dari pembukaan lahan, peledakan, penggalian, dan pengecatan. Sebagian besar polutannya yaitu debu dan PM10. 2. Sumber rural dan pertanian

Sumber pencemar udara di wilayah rural termasuk kegiatan pertanian dapat dibagi menjadi :

a. Debu yang berterbangan

Angin yang bertiup akan menghambat partikel-partikel halus dan membawanya ke udara.

b. Slash burning

Membuka lahan dengan cara membakar hutan, jerami, dan rumput liar menjadi sumber utama dari asap yang membawa banyak polutan. c. Emisi tanah

Lahan yang akan diolah biasanya banyak menggunakan pupuk yang

mengandung nitrat dan fosfat sehingga menghasilkan NOx yang berasal dari aktivitas mikroba di permukaan tanah. d. Pestisida dan bahan kimia

Penggunaan pestisida dengan cara disemprotkan dari udara akan berpotensi zat pestisida tersebut tertiup angin.

e. Proses pembusukan limbah

Limbah produksi yang membusuk akan melepaskan ammonia dan metana ke atmosfer.

3. Sumber alami

Sumber alami dapat dikelompokkan menjadi :

a. Erosi angin, tiupan angin kencang di atas permukaan tanah dapat mengangkat partikel tanah.

b. Kebakaran hutan, kebakaran hutan dapat terjadi karena adanya sambaran petir sehingga menghasilkan sejumlah asap, CO, CO2, NOx, dan HC

c. Letusan gunung berapi, sebagian besar menyemburkan CO2, SO2, dan gas-gas lain ke atmosfer dalam jumlah yang cukup besar.

d. Emisi biogenik, berasal dari hutan dan padang rumput. Polutan yang dihasilkan berupa HC, metana, dan ammonia.

e. Percikan air laut dan evaporasi, percikan air laut akibat ombak yang pecah di sepanjang pantai yaitu sumber utama partikel garam di atmosfer. f. Proses mikroba tanah, respirasi aerob

dan anaerob dari tanah dan vegetasi menghasilkan emisi NO, metana, hidrogen sulfida, dan ammonia. g. Pembusukan alami bahan-bahan

organik, pembusukan tumbuhan dan bahan-bahan organik lainnya akan menghasilkan metana, hidrogen, sulfida, dan ammonia.

h. Kilat, kilat dapat menghasilkan NO dalam jumlah besar yang selanjutnya dapat bereaksi secara fotokimia menjadi O3.

Berdasarkan polanya sumber pencemar dibagi menjadi tiga, yaitu (Tjasjono 1999): 1. Sumber titik (point source), berasal dari pabrik-pabrik atau industri yang mengeluarkan zat pencemar ke udara melalui cerobong pembuangan. 2. Sumber garis (line source), merupakan

sumber pencemar yang mengeluarkan pancaran zat pencemar berupa garis yang memanjang, misalnya emisi yang

(2)

dikeluarkan oleh kendaraan di jalan raya.

3. Sumber area (area source), merupakan sumber pencemar yang mengeluarkan pancaran zat pencemar dari suatu wilayah, seperti kawasan industri. Berdasarkan perilakunya di atmosfer, jenis pencemar udara dibagi menjadi dua yaitu pencemar primer dan pencemar sekunder. Pencemar primer merupakan jenis pencemar yang komposisinya tidak akan mengalami perubahan di atmosfer baik secara kimia maupun fisis dalam jangka waktu yang relatif lama (harian sampai tahunan dan akan tetap seperti komposisinya seperti waktu diemisikan oleh sumber), misalnya : CO, CO2, NOx, N2O, TSP, SOx, metana, senyawa halogen, partikel logam, dan lain sebagainya. Pencemar ini memiliki waktu tinggal yang lama di atmosfer karena sifatnya yang stabil terhadap reaksi-reaksi kimia fisik atmosfer. Sedangkan pencemar sekunder yaitu jenis pencemar yang terbentuk di atmosfer sebagai hasil reaksi-reaksi atmosfer seperti hidrolisis, oksidasi, dan reaksi fotokimia (Suryani 2010). 2.1.2 Dispersi Pencemar Udara

Dispersi pencemar di atmosfer secara umum melibatkan tiga mekanisme utama yaitu arah dan kecepatan angin, kenaikan massa udara, dan turbulensi atmosfer (Stull 2000). Selain itu Cloquet et al (2005) menyebutkan bahwa mekanisme dispersi pencemar dari suatu sumber emisi juga dapat dipengaruhi oleh karakteristik meteorologi dan topografi wilayah setempat.

Pola dispersi memiliki bentuk yang berbeda, sehingga menghasilkan jarak jangkau dan kemampuan difusi yang berbeda-beda. Kondisi stabilitas atmosfer dapat diklasifikasikan melalui pola kepulan suatu cerobong. Beberapa jenis pola dasar dan pola peralihan, antaralain (Geiger 1995) :

1. Pola dasar kepulan

Looping merupakan pola kepulan yang terjadi jika suhu udara berkurang dengan bertambahnya ketinggian. Looping hanya terjadi pada siang hari, biasanya pada saat langit cerah. kasus ini terjadi pada kondisi atmosfer tidak stabil yang akan membawa zat pencemar secara cepat dan tidak teratur hingga konsentrasi zat pencemar menjadi encer.

Coning merupakan pola kepulan yang terjadi jika hari berawan dan berangin dengan suhu yang sedikit menurun dengan bertambahnya ketinggian yaitu sekitar 1°C/1000 m. Kondisi ini terjadi

pada saat atmosfer dalam keadaan netral.

Fanning merupakan pola kepulan yang terjadi jika suhu udara meningkat dengan bertambahnya ketinggian (inversi). Kondisi ini terjadi pada saat atmosfer dalam keadaan stabil, yang sering terjadi pada malam dan pagi hari saat langit cerah dan angin bertiup lemah.

2. Pola peralihan

Fumigation merupakan pola kepulan yang terjadi akibat adanya pencampuran ke arah atas dan bawah yang dibatasi oleh inversi, yang dikaitkan dengan inversi radiatif. Lofting merupakan pola kepulan yang tidak terjadi proses pencampuran ke arah bawah. Namun ada persebaran zat pencemar ke arah atas.

Trapping merupakan pola kepulan yang terjadi jika inversi panas menjerat gas buang dari cerobong pabrik dalam lapisan udara permukaan. Pada trapping terjadi pencampuran ke arah bawah. Sehingga kepulan cenderung menyebar secara horizontal ke arah bawah.

Gambar 1 Stabilitas atmosfer berdasarkan pola kepulan asap dari cerobong (Sumber : Geiger 1995)

2.1.3 Karakteristik Senyawa Nitrogen Oksida (NOx)

Nitrogen Oksida merupakan salah satu jenis pencemar udara yang diemisikan dari berbagai sumber salah satunya yaitu sektor industri. Akibat adanya kegiatan industri, NOx memberikan kontribusi ke udara sekitar 67.7% (Atimtay dan Chaudhary 2006)

Nitrogen Oksida disebut juga dengan NOx karena memiliki dua bentuk dengan karakteristik yang berbeda, yaitu NO dan NO2. NO memiliki karakteristik tidak berwarna dan tidak berbau, sedangkan NO2

(3)

berwarna dan berbau. Gas NO2 sangat berbahaya bagi kesehatan manusia karena dapat menyebabkan gangguan pernafasan. Selain itu NO2 juga dapat mengurangi jarak pandang dan resistansi di udara (Hadiwidodo dan Huboyo 2006).

Menurut Seinfeld (1986) sumber gas NOx berasal dari gas buangan hasil pembakaran dengan suhu tinggi. Rata-rata waktu tinggal gas NOx di udara relatif pendek. NOx rata-rata berada di atmosfer berkisar antara 1 – 4 hari. Waktu tinggal yang relatif pendek menyebabkan efek NOx banyak terjadi dalam skala regional dan lokal.

2.1.4 Karakteristik Senyawa Sulfur Oksida (SOx)

Pada umumnya senyawa Sulfur Oksida memiliki dua bentuk yaitu SO2 dan SO3. Sulfur dioksida merupakan gas yang berbau tajam dan tidak mudah terbakar di udara, sedangkan sulfur trioksida merupakan gas yang tidak reaktif. Sumber senyawa sulfur di atmosfer yaitu dari pembakaran bahan bakar fosil dengan bahan bakar yang digunakan yaitu batubara (Satriyo 2008).

Mekanisme pembentukan SOx dapat dituliskan dalam dua tahap reaksi sebagai berikut :

S + O2 SO2

2SO2 + O2 2SO3

Pencemaran SOx menimbulkan dampak terhadap manusia, hewan, dan kerusakan pada tanaman. Sulfur dioksida mempunyai kelarutan yang tinggi dalam air dengan waktu tinggal di atmosfer sekitar 2 – 4 hari (Seinfeld dan Pandis 2006).

2.2 Faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Polutan

Kondisi atmosfer sangat dinamik yang secara alami mampu melakukan dispersi, dilusi, difusi, dan transformasi baik melalui proses fisika maupun kimia serta mekanisme kinetik atmosfer terhadap zat-zat pencemar (Soedomo 2001). Kemampuan atmosfer tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor meteorologi yang diindikasikan dengan parameter-parameter meteorologi dan setiap parameter meteorologi yang berpengaruh terhadap proses pencemaran di atmosfer satu sama lain saling berkaitan. Dispersi pencemar terjadi karena adanya tenaga yang membawa pencemar tersebut dari sumbernya ke udara ambien. Difusi terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi, pencemar akan menyebar dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah. Dari proses dispersi dan difusi menghasilkan dilusi

(pengenceran) zat pencemar dari suatu sumber yang konsentrasinya sangat kental di udara ambien dengan hasil konsentrasi yang lebih rendah.

Peranan parameter meteorologi dalam proses dispersi sangat penting yaitu meliputi arah dan kecepatan angin, suhu udara, stabilitas atmosfer, mixing height, dan turbulensi.

2.2.1 Arah dan Kecepatan Angin

Arah dan kecepatan angin akan menentukan ke mana dan seberapa jauh pencemar bergerak meninggalkan sumbernya. Semakin cepat angin bergerak, maka pencemar akan semakin cepat meninggalkan jauh dari sumbernya. Proses dispersi sangat dipengaruhi oleh variasi arah angin, jika arah angin secara kontinu menyebar ke berbagai arah maka area sebaran pencemar akan semakin luas. Namun, jika arah angin hanya bergerak ke satu arah tertentu maka daerah tersebut akan memiliki paparan pencemar yang tinggi.

Menurut Geiger (1995) terdapat dua jenis pergerakan angin, yaitu pergerakan angin secara laminar dan turbulen. Pergerakan angin secara laminar merupakan pergerakan angin yang tenang sepanjang lapisan yang sejajar. Sedangkan pergerakan angin secara turbulen yaitu pergerakan angin yang acak dan baur. Sehingga pada pergerakan angin secara turbulen terjadi percampuran antara udara yang tercemar dengan udara yang bersih yang akan mempercepat pengenceran pencemar di udara.

2.2.2 Suhu udara

Menurut Kozarev dan Ilieva (2011) suhu udara memegang peranan penting dalam proses dispersi polutan. Di dekat permukaan, suhu memiliki karakteristik yang berbeda dengan suhu udara. Hal ini disebabkan karena pertukaran bahang yang terjadi di dekat permukaan berlangsung melalui proses konveksi bebas yang ditunjukkan dengan pergerakan laminar dan konveksi paksa dengan pergerakan turbulen.

Pada siang hari, penerimaan bahang di permukaan lebih tinggi sehingga menyebabkan suhu permukaan akan lebih tinggi dibandingkan dengan suhu pada lapisan di atasnya. Kondisi stabil yaitu suhu udara lebih rendah dari lingkungan, yang artinya pencemar tidak dapat naik namun tetap barada di atmosfer dan akan terakumulasi, sehingga konsentrasi pencemar akan naik. Sebaliknya kondisi tidak stabil yaitu suhu udara lebih tinggi dari suhu lingkungan, yang artinya

(4)

pencemar akan naik dan menyebar dengan baik.

2.2.3 Stabilitas atmosfer

Stabilitas atmosfer memegang peranan penting dalam proses dispersi dan pengenceran zat-zat pencemar di udara. Kriteria kestabilan salah satunya ditentukan oleh lapse rate atau gradien temperatur. Gradien temperatur merupakan perubahan temperatur terhadap ketinggian. Lapse rate mempunyai pengaruh yang signifikan pada gerak vertikal udara (Cimorelli et al 2004).

Stull (2000) menyatakan bahwa kondisi stabilitas di atmosfer dibedakan menjadi tiga, antara lain :

1. Kondisi stabil, di mana < .

Pada keadaan atmosfer stabil gaya buoyancy berlawanan arah dengan gaya keatas, sehingga massa udara yang mengalami pengangkatan sampai ketinggian tertentu akan turun kembali. Kondisi atmosfer yang stabil tidak menguntungkan bagi pencemar udara, karena akan menyebabkan pencemar terangkat dan kemudian dapat turun kembali di daerah lain dengan konsentrasi yang tetap tinggi.

Kondisi netral, di mana .

Pada kondisi netral massa udara tidak mengalami pengangkatan maupun penurunan. Sehingga pencemar yang timbul akan bertahan di daerah asalnya yang akan berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan.

2. Kondisi tidak stabil, di mana

Pada keadaan atmosfer tidak stabil gaya buoyancy memperkuat gaya ke atas. Jika ada massa udara yang membawa pencemar mengalami gaya mengangkat maka massa udara tersebut cenderung naik sehingga pencemar akan mudah menyebar dan bercampur dengan udara sekitar. Kondisi atmosfer tidak stabil sangat menguntungkan bagi dispersi pencemar, karena pencemar dapat terdispersi sempurna dengan lingkungannya.

Menurut Ameka (2005), kondisi stabilitas atmosfer juga dapat ditentukan dengan nilai CAPE (Convective Available Potential Energy). Cape merupakan area di mana suatu parsel udara lebih panas dari lingkungannya. Area tersebut menunjukan sejumlah energi yang tersedia untuk parsel udara tersebut bergerak ke atas. CAPE adalah salah satu indikator yang kuat untuk mengindikasi adanya potensi intensitas konvektif dan dapat digunakan untuk mengetahui tingkat stabilitas atmosfer. CAPE disebut juga dengan APE

(Available Potential Energy) yang merupakan sejumlah energi suatu parsel saat terangkat pada jarak tertentu secara vertikal di atmosfer. Tabel 2 Indeks stabilitas atmosfer

berdasarkan nilai CAPE CAPE (J/kg) Stabilitas

0 Stabil

0 - 1000 Sedikit labil 1000 - 2500 Labil sedang 2500 - 3500 Tidak stabil > 3500 Sangat tidak stabil (Sumber : www.meted.ucar.edu) 2.2.4 Mixing Height

Mixing height merupakan lapisan percampuran di atas permukaan tempat terjadinya dispersi pencemar dengan baik (Emeis et al 2004).

Pada kondisi mixing height yang tinggi pencemar mengalami percampuran pada daerah yang lebih luas dari pada mixing height yang rendah. Oleh Karena itu kondisi mixing height yang tinggi mampu mengencerkan pencemar lebih luas, sehingga kondisi ini menguntungkan dalam pengendalian dampak pencemaran udara.

Menurut Berman et al (1999) ketinggian mixing height yang mencapai beberapa kilometer akan menyebabkan pencemar bercampur dengan sejumlah massa udara yang bersih dan mengalami proses pengenceran yang lebih cepat. Saat mixing height rendah maka pencemar hanya tercampur dengan massa udara bersih yang relatif sedikit, sehingga konsentrasi pencemar dapat dikatakan berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan sekitar. Saat kondisi atmosfer stabil, pergerakan konveksional tertekan dan mixing height menjadi rendah. Namun, jika kondisi atmosfer tidak stabil menyebabkan udara bergerak naik dan mixing height yang lebih tinggi. Mixing height pada siang hari lebih tinggi dibandingkan dengan malam hari. Hal ini disebabkan karena pada siang hari terjadi pemanasan radiasi matahari di permukaan bumi yang akan membantu pergerakan konveksional yang akan mempengaruhi keadaan mixing height.

2.2.5 Turbulensi

Turbulensi merupakan aliran udara yang disertai golakan atau pusaran, di mana arah dan kecepatan penjalarannya selalu berubah (Soemarno 1999). Turbulensi berperan penting dalam proses pengangkutan dan pengenceran setiap zat pencemar yang masuk

(5)

ke dalam atmosfer secara alamiah. Pada tingkat yang lebih spesifik, karakteristik permukaan seperti vegetasi, topografi, dan bangunan mengakibatkan turbulensi yang lebih lanjut di atmosfer (Farida 2003).

Lumley dan Panofsky (1964) dan Lumley (1970) dalam Soemarno (1999) mendeskripsikan turbulensi sebagai :

1 Kecepatan acak terhadap ruang dan waktu. 2 Terjadi golakan atau pusaran kuat dalam tiga dimensi, di mana gradien terjadi di semua arah.

3 Dalam turbulensi terjadi ketidak linieran dan mempengaruhi neraca panas sesuai panjang gelombang.

4 Aliran turbulen bersifat difusif dan terjadi pada periode waktu tertentu.

2.2.6 Karakteristik Wilayah Kajian

Jababeka - Cikarang merupakan kawasan industri yang terletak di Kabupaten Bekasi Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Kabupaten bekasi merupakan daerah urbanisasi dengan intensitas tinggi yang ditandai dengan tingginya jumlah penduduk. Begitu pula pertumbuhan industri yang pesat yang ditandai dengan pembangunan pabrik. Sehingga menjadikan Kabupaten Bekasi sebagai daerah industri.

Kabupaten Bekasi berada pada koordinat 106°58’5’’ - 107°17’45’’ BT dan 05°54’50’’ - 06°29’15’’ LS. Adapun batas-batas Kabupaten Bekasi yaitu :

Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Karawang.

Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa.

Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten karawang.

Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor.

Sebelah Barat berbatasan dengan DKI Jakarta dan Kota Bekasi

Wilayah kabupaten bekasi memiliki suhu rata-rata 28°C – 35°C dengan rata-rata curah hujan harian 60.48 mm. Kabupaten bekasi memiliki ketinggian lokasi antara 6 – 116 mdpl dengan kemiringan 0° - 25° dengan luas wilayah 1.484,37 km² dengan jumlah penduduk sebanyak 2.7 juta jiwa.

2.3 Weather Research and Forecasting

Environmental Model System (WRF-EMS)

WRF merupakan salah satu model Numerical Weather Prediction (NWP) berbasiskan windows dan linux. Model WRF-EMS merupakan model atmosfer atau model cuaca yang dikembangkan oleh National

Cooperation Atmospheric Research (NCAR) (Mohan dan Bhati 2011).

Model WRF-EMS termasuk dalam model generasi lanjutan sistem simulasi cuaca numerik skala meso yang didesain untuk simulasi operasional dan kebutuhan penelitian atmosfer. Model ini mempunyai kelebihan inti dinamik yang berlipat, variasi 3D sistem asimilasi data, dan arsitektur perangkat lunak yang dapat melakukan komputasi secara paralel dan sistem ekstensibel. WRF-EMS cocok untuk aplikasi yang luas dari skala meter maupun ribuan meter (Subarna 2008).

2.4 Hybrid Single-Particle Lagrangian

Integrated Trajectory (HYSPLIT) HYSPLIT merupakan salah satu pemodelan yang digunakan dalam bidang meteorologi untuk memprediksi trajektori, dispersi, dan konsentrasi polutan baik secara sederhana maupun secara kompleks. Model HYSPLIT berbasiskan PC yang digunakan untuk penelitian bidang polusi udara. Model ini mengkaitkan hubungan antara dispersi polutan dengan komponen meteorologi wilayah kajian yang dikembangkan oleh NOAA.

Menurut Draxler (1998) pendekatan yang digunakan pada model HYSPLIT yaitu lagrangian dan eularian. Pendekatan lagrangian yaitu didasarkan pada parsel udara yang mengalir pada suatu lintasan yang dipengaruhi oleh faktor meteorologi. Perubahan pergerakan polutan dari lokasi awal inilah yang diperhitungkan setiap saat dalam pendekatan lagrangian. Secara matematis dapat dituliskan persamaan :

...(1)

…(2)

Pendekatan eularian yaitu didasarkan pada penggunaan grid di dalam model, di mana perubahan konsentrasi polutan diperhitungkan dalam pendekatan ini. Dalam grid terjadi proses transport dan reaksi kimiawi yang dipengaruhi faktor meteorologi. Proses tersebut menyebabkan konsentrasi polutan berubah setiap waktu. Sehingga konsentrasi polutan disebut juga sebagai fungsi waktu. Persamaan tersebut dapat dituliskan ssebagai berikut :

…(3)

Beberapa penelitian mengenai prediksi trajektori dan dispersi polutan di beberapa

Gambar

Gambar  1  Stabilitas  atmosfer  berdasarkan  pola  kepulan  asap  dari  cerobong  (Sumber : Geiger 1995)

Referensi

Dokumen terkait

Telah dilakukan penelitian tentang pengaruh kecepatan angin dan suhu udara terhadap kadar gas pencemar karbon monoksida (CO) di udara Sekitar Kawasan Industri Medan (KIM)..

Parameter meteorologi yang mempengaruhi konsentrasi gas Ammonia di udara ambien adalah arah dan kecepatan angin, suhu udara serta stabilitas atmosfer.. Kata kunci: gas Ammonia,

Pengertian lain dari Canter (1977) menyatakan bahwa pencemaran udara yaitu adanya atau masuknya satu atau lebih zat pencemar atau kombinasinya di atmosfer dalam jumlah

yang menjelaskan bahwa model dispersi udara sumber garis (line source dispersion) merupakan metode yang sangat penting untuk mengatur dan mengontrol sumber emisi pencemar kendaraan

Menurut Seinfeld (2006), pencemaran udara adalah kondisi atmosfer ketika suatu substansi konsentrasi pencemar melebihi batas konsentrasi udara ambien normal yang

 Pencemaran udara dapat didefinisikan sebagai kondisi atmosfer yang terdiri atas senyawa-senyawa dengan konsentrasi tinggi diatas kondisi udara ambien normal, sehingga

Dalam keadaan dimana suhu sekumpulan udara lebih tinggi dari sekitarnya, maka kerapatan dari udara yang bergerak naik dengan kecepatan rendah lebih sekitarnya, maka

Kondisi udara pengering pada suhu rendah diharapkan tidak akan merusak produk karaginan dan kelembaban udara yang rendah akan meningkatkan panas udara pengering tetapi desain