• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan dengan cara membagikan dividen atau membeli kembali saham (stock

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. dilakukan dengan cara membagikan dividen atau membeli kembali saham (stock"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1!LATAR BELAKANG

Kebijakan pembayaran (payout policy) keuntungan perusahaan dapat dilakukan dengan cara membagikan dividen atau membeli kembali saham (stock

repurchases). Sebuah teori komprehensif kebijakan pembayaran harus

menjelaskan “berapa banyak, kapan, dan bagaimana”, dari: 1) nilai keseluruhan pembayaran suatu perusahaan, 2) waktu pembayaran perusahaan setiap periode, dan 3) bentuk pembayaran yang dilakukan (seperti, pembayaran dividen atau pembelian kembali saham) (DeAngelo, DeAngelo, dan Skinner, 2009). Beberapa penelitian mengenai kebijakan pembayaran telah banyak dilakukan seperti halnya Lintner (1956) menjelaskan mengenai keputusan dan kebijakan dividen; Miller dan Modigliani (1961) menganalisis kebijakan dividen dengan memberikan kontribusi teori irelevan; Grullon dan Michaely (2002) menganalisis hubungan dividen dengan stock repurchases; dan DeAngelo, DeAngelo, dan Stulz (2006) menguji kebijakan dividen dengan life cycle theory. Meskipun penelitian kebijakan pembayaran telah banyak diteliti namun masih banyak sejumlah pertanyaan yang belum terselesaikan yang menarik untuk diteliti.

Perusahaan yang meraih keuntungan akan selalu berhadapan dengan tiga pertanyaan penting: 1) seberapa besar jumlah arus kas bebas yang sebaiknya diberikan kepada pemegang saham?; 2) apakah perusahaan sebaiknya memberikan kas tersebut kepada pemegang saham dengan menaikkan dividen atau dengan membeli kembali saham?; dan 3) apakah perusahaan sebaiknya

▸ Baca selengkapnya: cara membagikan doorprize

(2)

mempertahankan kebijakan pembayaran yang konsisten dan stabil, atau apakah sebaiknya perusahaan membiarkan pembayaran yang bervariasi sesuai dengan kondisi yang terjadi? (Brigham dan Houston, 2014). Untuk membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut kita bisa menggunakan sebuah teori siklus hidup perusahaan (life cycle theory). Perusahaan yang sudah mapan dengan arus kas yang stabil dan peluang pertumbuhan yang terbatas cenderung akan lebih banyak mengembalikan kas kepada pemegang saham, baik itu melalui pembayaran dividen atau menggunakan kas untuk membeli kembali saham. Sebaliknya, perusahaan yang sedang tumbuh dengan peluang investasi yang baik lebih cenderung menginvestasikan sebagian besar kas yang tersedia pada proyek-proyek baru dan memiliki kemungkinan lebih kecil akan membayar dividen atau membeli kembali saham (Brigham dan Houston, 2014).

DeAngelo, et al. (2006) menyatakan bahwa dividen cenderung mengikuti pola siklus hidup perusahaan. Perusahaan yang berada dalam tahap dewasa (mature) lebih cenderung untuk membayarkan dividen karena pada tahap ini perusahaan memiliki jumlah laba yang besar dan peluang investasi yang rendah. Sementara perusahaan yang masih dalam tahap pertumbuhan (growth) lebih cenderung tidak membayarkan dividen karena pada tahap ini perusahaan memiliki peluang investasi yang tinggi namun memiliki pendanaan yang terbatas. Dalam teori ini keputusan dividen dipengaruhi oleh kebutuhan perusahaan untuk mendistribusikan aliran kasnya. Teori ini memprediksi bahwa pada tahun-tahun awal sejak pendirian, perusahaan belum banyak membayar dividen, tetapi

(3)

semakin dewasa perusahaan di mana dana internal perusahaan sudah melebihi peluang investasi, dividen yang dibayarkan juga akan meningkat.

Coulton dan Ruddock (2011) mengungkapkan bahwa kebijakan dividen konsisten dengan siklus hidup perusahaan. Wardhana, Tandelilin, Lantara, dan Junarsin (2014) menyatakan hasil penelitiannya merekomendasikan regulasi manjadi bagian dari siklus hidup perusahaan dalam kebijakan dividen di Indonesia. Didukung oleh penelitian Cahyaningrum (2013); Ratmono dan Indriyani (2015), penelitian mereka juga menunjukkan bukti empiris bahwa mendukung teori siklus hidup untuk kebijkaan dividen. Namun kontras dengan penelitian yang dilakukan oleh Imayanti (2013), ia mengungkapkan bahwa siklus hidup perusahaan tidak bisa menjelaskan kebijakan dividen di Indonesia, terutama ketika krisis sedang terjadi. Bagaimana dengan pembelian kembali saham, apakah cenderung mengikuti pola siklus hidup perusahaan?. Belum ada penelitian yang secara merujuk membuktikan bahwa pembelian kembali saham cenderung mengikuti pola siklus hidup perusahaan.

Coulton dan Ruddock (2011) menyatakan bahwa kemungkinan perusahaan yang membayar dividen biasa atau dividen khusus, ukuran perusahaan, dan profitabilitas berhubungan dengan kemungkinan perusahaan yang melakukan pembelian kembali saham, dan perusahaan yang sedang tumbuh berhubungan negatif dengan pembelian kembali saham. Coulton dan Ruddock (2011) dalam penelitiannya mengindikasi bahwa pembelian kembali saham mengikuti pola siklus hidup pada perusahaan-perusahaan di Australia. Dengan bukti RETA sebagai proksi dari siklus hidup perusahaan secara signifikan berhubungan dengan

(4)

pembelian kembali saham. Namun hal tersebut masih dipertimbangkan karena kondisi pasar di setiap negara yang berbeda. Ini menjadi salah satu poin pertanyaan penelitian ini apakah di Indonesia terjadi hal yang serupa.

Ketika memutuskan seberapa besar jumlah kas yang akan didistribusikan, manajer keuangan harus selalu ingat bahwa tujuan perusahaan adalah untuk memaksimalkan kemakmuran pemegang saham, dan arus kas perusahaan sebenarnya dimiliki oleh pemegang sahamnya, sehingga manajemen sebaiknya tidak menahan laba kecuali jika mereka dapat menginvestasikan kembali laba tersebut pada tingkat pengembalian yang lebih tinggi (Brigham dan Houston, 2014). Maka dari itu perlu adanya pemahaman bagaimana cara mendistribusikan

excess cash flow perusahaan.

Teori siklus hidup perusahaan menggambarkan alasan perusahaan mendistribusikan arus kas yang dimilikinya. DeAngelo, et al. (2006) menyatakan siklus hidup perusahaan mencerminkan keuangan perusahaan. Fama dan French (2001) mengungkapkan bahwa kemungkinan perusahaan yang baru listing dengan tingkat keuntungan yang masih rendah tetapi memiliki kesempatan growth tinggi cenderung tidak membayar dividen. Tiga kunci penentuan kebijakan pembayaran dividen yaitu profitabilitas, kesempatan investasi, dan ukuran perusahaan.

David (2010) menyatakan dividen sebagai metode yang paling populer dan efisien untuk mendistribusikan cash flow kepada pemegang saham. Shabibi, Khalid, dan Ramesh (2011) mengungkapkan dividen digunakan sebagai alat untuk mengurangi masalah keagenan antara manajer dan pemegang saham. Selain itu perubahan dividen seringkali memberikan sinyal apabila terjadi kenaikan dividen

(5)

di atas jumlah yang diharapkan merupakan suatu sinyal bagi pemegang saham bahwa manajemen perusahaan meramalkan laba yang baik dimasa depan. Sebaliknya, apabila terjadi penurunan dividen atau terjadi kenaikan dalam jumlah lebih kecil dari yang diharapkan merupakan suatu sinyal bagi pemegang saham bahwa manajemen meramalkan laba masa depan yang buruk.

Bhattacharya (1979) mengungkapkan perubahan kebijakan dividen mengandung informasi khususnya tentang aliran kas perusahaan dimasa depan. Hal ini didukung oleh penelitiannya David (2010); Refra dan Widiastuti (2014) mereka menyebutkan bahwa dividen memberikan informasi tentang prospek perusahaan dimasa depan. Sebaliknya Grullon, Michaely, dan Swaminathan (2002) menemukan bahwa perubahan dividen tidak memprediksikan pertumbuhan atau peningkatan kinerja dimasa depan.

Selain kebijakan dividen pembelian kembali saham juga merupakan salah satu metode untuk mendistribusikan cash flow. Grullon dan Michaely (2002) mengungkapkan program share repurchases meningkat dari 4,8% pada tahun 1980 menjadi 41,8% di tahun 2000 pada perusahaan di US. Pengeluaran share

repurchases tumbuh rata-rata setiap tahunnya sebesar 26,1% pada periode 1980

sampai 2000, sedangkan dividen hanya 6,8% tumbuh rata-rata setiap tahunnya. Pada periode 1999 sampai 2000 perusahaan di US lebih banyak mengeluarkan uang untuk share repurchases daripada dividen.

Yu dan Jiang (2010) mengungkapkan bahwa ada dua alasan perusahaan mengumumkan repurchases, yaitu sinyal informasi undervalue dan mengurangi

(6)

excess cash flow hypothesis (Vermaelen, 1981, 1984; Nohel dan Tarthan, 1998; Jagannathan dan Stephens, 2003). Signaling information hypothesis menekankan bahwa perusahaan melakukan repurchases merupakan undervalue dan/atau mungkin memiliki profitabilitas masa depan yang bagus. Perusahaan yang melakukan, kemungkinan pada tahap growth. Sedangkan, excess cash flow

hypothesis mengindikasi bahwa perusahaan melakukan repurchases karena

kurangnya kesempatan investasi dan kelebihan kas mereka yang memancing adanya masalah keagenan. Excess cash flow biasanya terjadi pada perusahaan dengan tahap mature.

Massa, Rehman, dan Vermaelen (2007) menunjukkan bahwa pembelian kembali saham yang meniru perusahaan dalam sebuah industri yang lebih terkonsentrasi, dikenal dengan mimicking behavior hypothesis. Mereka menyarankan bahwa jika sebuah perusahaan di industri lebih terkonsentrasi mengumumkan program pembelian kembali saham dan perusahaan-perusahaan lain dalam industri yang sama tidak mengikuti mengumumkan rencana serupa, maka pasar akan menafsirkan secara negatif perusahaan yang tidak melakukan

repurchases dengan prospek ekonomi. Chay dan Suh (2009) menghasilkan bahwa

ketidaktentuan cash flow merupakan penting untuk kebijakan pembayaran perusahaan termasuk share repurchases, yang dikenal dengan cash flow stability hypothesis.

Guay dan Harford (2000) mengemukakan bahwa perusahaan memilih meningkatkan dividen untuk mendistribusikan kelebihan cash flow relatif tetap, dan melakukan repurchases untuk mendistribusikan kelebihan cash flow lebih

(7)

pada sementara. Perusahaan pada tahap mature secara umum lebih memiliki aliran kas yang stabil daripada perusahaan dalam tahap growth. Dengan demikian ketidak tentuan cash flow dalam perbedaan tahap siklus hidup mungkin memiliki pengaruh yang berbeda pada kebijakan perusahaan yang melakukan repurchases.

Coulton dan Ruddock (2011) telah membuktikan bahwa pembelian kembali saham mengikuti pola siklus hidup perusahaan. Yu dan Jiang (2010) menunjukkan bahwa informasi sinyal merupakan alasan umum untuk share

repurchases tanpa memperhatikan life cycle stages.

Bentuk kebijakan pembayaran (baik, dividen atau pembelian kembali saham) memiliki kelebihan yang berbeda. Apabila dilihat dari perspektif pajak, capital

gain lebih menguntungkan daripada dividen, tetapi bagi investor yang menyukai

kepastian akan lebih menyukai dividen (teori bird in the hand)1. Pembelian kembali saham dan dividen digunakan pada waktu yang berbeda satu sama lainnya. Dividen dibayar oleh perusahaan dengan arus kas operasi dengan cara permanen, sedangkan stock repurchases hanya sementara (Jagannathan, Stephens, dan Weisbach, 2000). Perusahaan yang melakukan repurchases mengikuti kinerja pasar saham yang buruk dan peningkatan dividen mengikuti kinerja yang baik. Yu dan Jiang (2010) mengungkapkan signaling information merupakan alasan utama untuk share repurchases. Di mana, pada tahap growth perusahaan melakukan

repurchases kemungkinan campuran motivasi yang berbeda termasuk sinyal

informasi undervalue. Kelebihan kas yang ditahan (excess cash holding) merupakan karakteristik penting untuk melakukan repurchases pada tahap ini.

!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

1!Bird in the hand theory (Gordon dan Lintner, 1963) teori ini menjelaskan dividen lebih baik

(8)

Pada tahap mature alasan perusahaan melakukan repurchases untuk mendistribusikan excess cash flow untuk pemegang saham dan untuk informasi sinyal bahwa masalah keagenan akan berkurang oleh repurchases. Kurangnya kesempatan investasi dan kestabilan cash flow yang meningkat merupakan karakteristik penting perusahaan melakukan repurcahses pada tahap ini. Pada tahap stagnant alasan perusahaan melakukan repurchases sebagian didukung oleh sinyal informasi undervalue dan sebagian oleh pendistribusian cash flow untuk pemegang saham. Kelebihan cash holdings dan rendahnya kesempatan investasi merupakan karakteristik penting keputusan untuk repurchases pada tahap ini.

Beberapa tahun yang lalu, suatu artikel majalah Fortune berjudul “Beating the

Market by Buying Back Stock”, membahas fakta bahwa selama periode satu tahun,

lebih dari 600 perusahaan besar membeli kembali sahamnya sendiri dalam jumlah yang signifikan. Hal ini juga memberikan ilustrasi tentang beberapa program pembelian kembali perusahaan secara spesifik dan dampak program-program tersebut pada harga saham. Kesimpulan artikel tersebut adalah bahwa “pembelian kembali telah memberikan keuntungan bagi pemegang saham yang tetap memiliki saham perusahaan yang melakukannya” (Brigham dan Houston, 2014).

Saham yang telah dibeli kembali oleh perusahaan disebut sebagai “saham dibeli kembali” (treasury stock). Jika sebagian saham beredar dibeli kembali, maka akan terdapat lebih sedikit jumlah saham yang beredar. Dengan berasumsi bahwa pembelian kembali tidak berdampak negatif pada laba perusahaan di masa depan, laba per saham atas saham yang tersisa akan naik, sehingga mengakibatkan harga pasar per saham yang lebih tinggi. Hasilnya, keuntungan modal akan

(9)

menggantikan dividen. (Jagannathan, et al., 2000) menunjukkan hasil bahwa fleksibilitas yang melekat pada program pembelian kembali saham adalah salah satu alasan mengapa mereka kadang-kadang digunakan sebagai pengganti dividen.

Pada dekade-dekade sebelumnya perusahaan-perusahaan di US sebagian besar lebih menyukai pembayaran dalam bentuk dividen daripada share repurchases, meskipun secara relatif berdasarkan perspektif pajak, capital gain lebih menguntungkan dari dividen. Namun 20 tahun kebelakang, aktivitas share

repurchases memiliki pengalaman tumbuh yang luar biasa, persentase

peningkatan dari 13,1% pada 1980 menjadi 113,1% di tahun 2000. Hal ini menandakan bahwa share repurchases menjadi lebih populer daripada dividen. Ini merupakan isu penting, secara khusus fakta yang ditunjukkan oleh Fama dan French (2001) bahwa jumlah perusahaan yang membayar dividen secara dramatis menurun sejak 20 tahun kebelakang.

Penelitian sebelumnya Lintner (1956) mengungkapkan bahwa perusahaan enggan untuk melakukan pemotongan dividen dan biasanya diikuti dengan reaksi pasar negatif secara signifikan ketika melakukan hal tersebut. Baker dan Powell (2012) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen di Indonesia dalam keterkaitan earning, yaitu dilihat dari keuntungan yang stabil, tingkat keuntungan yang dihasilkan sekarang, dan tingkat harapan keuntungan mendatang. Indonesia adalah negara berkembang dan ekonomi terbesar di Asia Tenggara. Seperti banyak negara berkembang lainnya dengan indeks tata kelola perusahaan yang relatif rendah, perilaku perusahaan di Bursa Efek Indonesia

(10)

(BEI) tampaknya berbeda dari apa yang biasanya seperti kasus-kasus pasar lain di dunia, terutama di Amerika Serikat dan Eropa (Wardhana, Tandelilin, Lantara, dan Junarsin, 2014). Mereka menyebutkan jumlah pembayaran dividen menunjukkan penurunan tajam pada tahun 1997 dan 1998, mungkin disebabkan karena krisis keuangan. Namun pada tahun 1999 hingga tahun 2011 memiliki tren meningkat, menyusul meningkatnya jumlah perusahaan yang terdaftar di BEI. Lebih jelasnya digambarkan pada figure 1.1

Sumber: (Wardhana, et al., 2014)

Figure 1.1

Jumlah Perusahaan yang Terdaftar di BEI dan Jumlah Perusahaan yang Membayar Dividen Tahun 1995-2011

Pada figure 1.1 terlihat bahwa terjadi kesenjangan antara jumlah perusahaan yang terdaftar di BEI dan jumlah perusahaan yang membayar dividen. Hal ini kemungkinan terjadi karena perusahaan-perusahaan yang baru terdaftar tidak banyak yang membayar dividen, sesuai dengan yang diungkapkan Fama dan French (2001).

(11)

Pembelian kembali saham juga menjadi salah satu pilihan perusahaan untuk mendistribusikan cash flow, namun berbeda tren yang terjadi dengan dividen. Figure 1.2 dan 1.3 menggambarkan beberapa perusahaan yang melakukan pembelian kembali saham.

Sumber: Aprianti (2012)

Figure 1.2

Jumlah Perusahaan yang Melakukan Repurchases Tahun 2001-2010

Pada figure 1.2 terlihat terjadi peningkatan jumlah perusahaan yang melakukan stock repurchases. Aprianti (2012) mengungkapkan total perusahaan yang melakukan stock repurchases di tahun 2001-2007 hanya sekitar 27 perusahaan, namun hanya dengan 3 tahun total perusahaan yang melakukan stock

reprchases mengalami peningkatan dua kali lipat yaitu 55 perusahaan. Hal ini

kemungkinan dikarenakan pada tahun 2008 banyak perusahaan yang melakukan pembelian kembali saham karena bersifat fleksibel. Fleksibilitas pembelian kembali saham di sini yaitu apabila perusahaan melakukan pembelian kembali saham di tahun 2008, kemudian di tahun 2009 apabila perusahaan tidak melakukan pembelian kembali saham tidak apa-apa. Berbeda dengan dividen,

2001,2007 2008,2010 67%

(12)

apabila tidak dibayarkan kembali di tahun depannya akan menimbulkan kekecewaan pemegang saham.

Selanjutnya pada figure 1.3 menunjukkan jumlah perusahaan yang melakukan pembelian kembali saham per tahunnya.

Sumber: Data diolah tahun 2016

Figure 1.3

Jumlah Perusahaan yang Melakukan Pembelian Kembali Saham Tahun 2001-2014

Pada figure 1.3 di atas menunjukkan tren yang terjadi pada jumlah perusahaan yang melakukan pembelian kembali saham berbeda dengan tren yang terjadi pada dividen. Pada tahun 2008 dan 2013 terjadi peningkatan yang cukup tajam pada jumlah perusahaan yang melakukan pembelian kembali saham. Hal ini dikarenakan kemungkinan pada tahun 2008 dan 2013 disebabkan terjadinya krisis. Kondisi tersebut juga digambarkan oleh kondisi pasar di Indonesia yang mengalami penurunan. Lebih jelasnya di gambarkan oleh figure 1.4

0 5 10 15 20 25 Perusahaan!yang! melakukan!buyback

(13)

Sumber: OJK dan data diolah tahun 2016

Figure 1.4

Perubahan IHSG Tahun 2007-2014

Pada figure 1.4 di atas menunjukkan perubahan Indeks Harga Saham Gabungan di Indonesia mengalami fluktuasi. Melihat kondisi tersebut pada tanggal 27 Agustus 2013, OJK (Otoritas Jasa Keuangan) pernah mengeluarkan surat edaran OJK Nomor: 1/SEOJK.04/20132. Sehubungan dengan kondisi perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia mengalami tekanan yang tercermin dari Indeks Harga Saham BEI mengalami penurunan cukup signifikan. Surat edaran tersebut juga menegaskan bahwa emiten atau perusahaan publik dapat melakukan pembelian kembali sahamnya berdasarkan mekanisme yang diatur dalam peraturan OJK Nomor: 2/POJK.04/20133. Kebijakan buyback perusahaan ini dinilai oleh OJK sebagai solusi untuk mengatasi harga saham yang mengalami penurunan yang cukup signifikan.

!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

2!Surat Edara OJK Nomor: 1/SEOJK.04/2013

3!Peraturan OJK Nomor: 2/POJK.04/2013

tentang “Kondisi lain sebagai kondisi pasar yang berfluktuasi secara signifikan dalam pelaksanaan pembelian kembali saham yang dikeluarkan oleh emiten atau perusahaan publik”

,100.00% ,50.00% 0.00% 50.00% 100.00%

PERUBAHAN)(%)

PERUBAHAN! (%)

(14)

Pada tahun 2015 tepatnya tanggal 21 Agustus, OJK mengeluarkan aturan yang serupa, yaitu OJK secara resmi mengeluarkan kembali aturan kebijakan di sektor pasar modal yang memperbolehkan emiten untuk melakukan pembelian kembali saham tanpa melalui rapat umum pemegang saham (RUPS). Ketentuan tersebut ditetapkan pada surat edaran OJK Nomor: 22/SEOJK.04/20154. Dalam surat edaran disebutkan bahwa total pembelian kembali saham paling banyak 20% dari modal yang disetorkan (termasuk treasury stock), dan paling sedikit saham yang beredar adalah 7,5% dari modal yang disetorkan.

Seperti yang telah disebutkan oleh Yu dan Jiang (2010), kemungkinan perusahaan-perusahaan di Indonesia melihat adanya sinyal informasi undervalue pada saat terjadinya krisis di tahun 2013. Maka dari itu OJK mengeluarkan aturan bahwa perusahaan bisa melakukan pembelian kembali saham tanpa harus melakukan RUPS. Namun aktivitas stock repurchases tidak selalu mengikuti kinerja yang buruk seperti yang disebutkan oleh (Jagannathan, et al., 2000). Dol dan Wahid (2013) juga menyebutkan bahwa secara praktis perusahaan melakukan

buyback karena mereka yakin nilai pasar mereka lebih rendah daripada nilai

bukunya dan berharap untuk menjual kembali saham mereka ketika nilai pasar sudah tinggi. Zumaila (2013) mengungkapkan kinerja keuangan yang membaik tidak disebabkan oleh laba perusahaan yang meningkat, tetapi dikarenakan semakin berkurangnya jumlah lembar saham yang beredar.

!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

4!Surat Edaran OJK Nomor: 22/SEOJK.04/2015 tentang “Kondisi lain sebagai kondisi pasar yang

berfluktuasi secara signifikan dalam pelaksanaan pembelian kembali saham yang dikeluarkan oleh emiten atau perusahaan publik”

(15)

Sebelum adanya aturan dari OJK mengenai buyback, alternatif pembelian kembali saham dipandang menarik oleh beberapa perusahaan di Indonesia, seperti PT Telekomunikasi Tbk dan PT Berlian Laju Tanker (Sumariah, 2007). Seperti dividen, pembelian kembali saham juga memberikan sinyal positif bagi pemegang saham. Dalam penelitiannya (Sumariah, 2007) mengungkapkan bahwa stock

repurchases memiliki karakteristik yang sama dengan dividen, di mana keduanya

mempertimbangkan aliran kas, kesempatan investasi, dan biaya keuangan marjinal.

Grullon dan Michaely (2002) mengindikasi bahwa repurchases tidak hanya menjadi bentuk penting pada payout perusahaan-perusahaan di US, tetapi juga digunakan untuk meningkatkan dividen. Dari perspektif pajak jelas bahwa insentif yang dikenakan untuk stock repurchases (pajak capital gain) lebih rendah daripada pajak yang dikenakan untuk dividen. Karena capital gain dikenakan pajak apabila investor menjual sahamya, sedangkan dividen dikenakan pajak ketika pembagian dividen. Maka stock repurchases menjadi alternatif yang lebih baik dibandingkan dengan dividen dalam mendistribusikan cash flow kepada para pemegang saham. Mereka juga menemukan adanya substitution effect antara dividen dan stock repurchases. Di mana suatu perusahaan yang biasa membayar dividen tidak mengurangi jumlah dividennya dan menggantinya dengan stock

repurchases. Mereka justru menemukan bahwa perusahaan yang membayar

dividen dengan jumlah yang besar lebih memilih untuk melakukan stock

repurchases daripada menaikkan jumlah dividen yang dibayarkan. Hal ini

(16)

secara informatif menyatakan fakta kuat pada substitutability antara kedua kebijakan yang terjadi di US.

Namun beberapa penelitian menolak hal tersebut, seperti yang disebutkan dalam penelitiannya Grullon dan Michaely (2002). Allen et al., (2000) mengungkapkan perkembangan sebuah model dalam share repurchases dan dividen merupakan bukan substitusi. Brown dan O’Day (2015); Coulton dan Ruddock (2011) mereka juga mengungkapkan hal yang sama bahwa pembelian kembali saham bukan substitusi dari dividen pada pasar Australia. Ini menjadi salah satu poin menarik untuk diteliti, apakah perilaku pembelian kembali saham di Indonesia menunjukkan adanya substitusi atau hanya sebagai komplementer dari dividen?.

Berdasarkan latar belakang di atas, adanya gap dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dan fenomena yang terjadi di pasar modal Indonesia, hal ini menjadi motivasi penulis untuk melakukan penelitian mengenai payout policy di Indonesia dari sudut pandang life cycle theory dan substitution hypothesis. Penulis ingin menganalisa secara empiris fenomena yang terjadi pada perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI), khususnya perusahaan non-keuangan (perusahaan non-keuangan dan utilitas dikeluarkan, karena adanya perbedaan aturan), dengan periode pengamatan dari tahun 2007-2014, karena peneliti ingin menangkap fenomena krisis yang melanda Indonesia pada tahun 2008 dan 2013, yang mengakibatkan pada tahun tersebut banyak perusahaan yang melakukan pembelian kembali saham.

(17)

Pengujian siklus hidup perusahaan pada penelitian ini menggunakan proksi

Retained Earning to Total Assets (RE/TA) yang menggambarkan semakin besar

laba ditahan terhadap total aset, maka semakin dewasa tahap pertumbuhannya, di mana yang diharapkan RETA memiliki hubungan positif terhadap payout policy (kebijakan dividen dan pembelian kembali saham). Kemudian untuk pengujian

substitution hypothesis, penelitian ini menggunakan korelasi antara dividend

forecast error dengan stock repurchases (pembelian kembali saham). Apabila

hubungannya positif maka pembelian kembali saham merupakan komplemen dari dividen, dan apabila hubungannya negatif pembelian kembali saham merupakan substitusi dari dividen.

Meskipun life cycle theory dan substitusi hypothesis lebih dikembangkan di negara maju seperti US, penelitian ini ingin menguji secara empiris fenomena life

cycle theory dan substitusi hypothesis pada poyout policy yang terjadi di Indonesia

yang merupakan negara berkembang.

1.2!RUMUSAN MASALAH

Studi empiris menyatakan adanya perbedaan hasil penelitian pada pengujian life cycle theory dan substitution hypothesis di beberapa negara dengan kondisi yang berbeda, maka untuk mendukung penelitian diajukan pertanyaan sebagai berikut:

1.! Apakah siklus hidup perusahaan berpengaruh terhadap kebijakan dividen? 2.! Apakah siklus hidup perusahaan berpengaruh terhadap aktivitas pembelian

(18)

3.! Apakah pembelian kembali saham merupakan substitusi dari dividen, atau bersifat komplemen?

1.3!TUJUAN PENELITIAN

Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisa pengujian secara empiris life

cycle theory dan substitusi hypoyhesis pada payout policy perusahaan yang

terdaftar di BEI. Adapun tujuan khusus penelitian ini yaitu:

1.! Menguji secara empiris pengaruh siklus hidup perusahaan terhadap kebijakan dividen.

2.! Menguji secara empiris pengaruh siklus hidup perusahaan terhadap aktivitas pembelian kembali saham.

3.! Menguji secara empiris hubungan pembelian kembali saham dengan dividen.

1.4!MANFAAT PENELITIAN

Berdasarkan tujuan penelitian, maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1.! Secara empiris

Penelitian ini dapat memperkuat penelitian-penelitian terdahulu terkait payout

policy pada pengujian empiris dengan life cycle theory dan substitution

hypothesis. Serta memberikan kontribuasi menambah literatur bagi akademisi

dalam perkembangan kajian payout policy, yang biasanya kebijakan tersebut seringkali hanya dikaitkan dengan return saham.

(19)

2.! Secara praktis

Penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi manajemen dan investor, terkait payout policy perusahaan yang dilakukan, sebagai pertimbangan dalam proses pengambilan keputusan.

Referensi

Dokumen terkait

Wicaksono, (2015), berjudul”Hubungan faktor predisposing (tingkat pengetahuan, pendidikan, sikap, pekerjaan) kader dengan keaktifan kader pada kegiatan posyandu di desa

Pada Gambar 5 dapat dilihat desain alat secara keseluruhan yang sebenarnya terdiri dari dua bagian.Bagian pertama adalah bagian sistem mekanik alat ukur yang terdiri

laporan keuangan dan tidak untuk informasi lain yang disajikan dalam

Hasil analisis menunjukkan bahwa: (1) terdapat 3 aliran dalam rantai pasokan daging sapi di Kota Surakarta yaitu aliran produk, aliran keuangan dan aliran

Jika masih ada kesalahan atau peringatan, itu berarti ada kesalahan dalam penulisan perintah atau ada nama subrutin yang sama, sehingga harus diperbaiki terlebih dahulu

Islam Ahlussunah Waljamaah di Indonesia: Sejarah, Pemikiran, dan Dinamika Nahdlatul Ulama.. Jakarta: Pustaka Ma’arif

Dengan ini memberikan ijin kepada anak saya untuk mengikuti Kegiatan Festival Abang dan Mpok Kabupaten Bekasi Tahun 2016 yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata Budaya

dilakukan untuk menguji apakah terdapat perbedaan antara karakter-karakter pada semua kelompok STO serta analisis diferensiasi morfologi dua arah dengan..