PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM TAK PULIH PADA PASAR KOMPETITIF
DAN MONOPOLI : PENDEKATAN MODEL HOTELLING
M. Subardin
Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya
Abstraks
Tujuan Penelitian ini untuk mengetahui bagaimana Pengelolaan SDA Tak Pulih yang
optimal berdasarkan Model Hotelling dan untuk mengetahui bagaimana aplikasi Model
Hotelling dalam pengelolaan SDA Tak Pulih yang optimal pada pasar kompetitif dan
monopoli. Metode analisis yang digunakan dengan pendekatan Model Hotelling. Hasil
estimasi dalam penelitian ini antara lain (1) pengelolaan sumberdaya alam yang tidak
dapat diperbaharui yang optimal harus memperhatikan faktor
royalty
dan
pendiskontoan. Semakin tinggi tingkat bunga semakin kecil usaha untuk konservasi;
(2) Walaupun dibawah pasar monopolis pengambilan barang sumberdaya alam lebih
lamban dibandingkan pada pasar persaingan sempurna, namun dengan tingkat
elastisitas yang rendah maka laju pengambilan justru terjadi lebih cepat.
Kata kunci : Sumber Daya Alam Tak Pulih, Pasar Persaingan, Monopoli, Model
Hotelling
I. PENDAHULUAN
Sumberdaya alam (baik
renewable
dan
non renewable)
merupakan sumberdaya yang
esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Hilangnya atau
berkurangnya
ketersediaan sumberdaya tersebut akan berdampak sangat besar bagi kelangsungan
hidup umat manusia di muka bumi. Kekayaan sumberdaya alam ini pula yang
menyebabkan konflik geopolitik antar negara. Industri pertambangan selama ini
menjadi andalan ekonomi dan sumber pendapatan pemerintah dari
royalty
dan
land
rent
. Efek pengganda dari pertambangan sebesar 1.9, artinya untuk setiap Rp 1 juta
dibelanjakan ke perusahaan tambang memberikan manfaat ekonomi sebesar Rp 1.9
milyar. Namun demikian, Sumbangan Industri pertambangan relatif kecil dibanding
sektor pertambangan dimana hanya menyumbang sekitar Rp 49 trilyun terhadap PDB
atau sekitar 2.8% terhadap PDB. Pengeluaran untuk kepentingan umum dari
pertambangan untuk pengembangan masyarakat, nirlaba dan kegiatan lainnya baru
sekitar Rp 5 trilyun (Fauzi, 2010, hal 2).
Dengan potensi ekonomi yang begitu besar, mengapa Indonesia masih belum
bisa sejajar dengan negara-negara penghasil mineral lainnya dari sisi pertumbuhan
ekonomi? Bisakah Indonesia mengejar pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran yang
tinggi berbasis sumber daya mineral tersebut? Untuk mencapai tersebut kebijakan
sumber daya seperti apa yang bisa dijalankan? Salah satu sumberdaya alam yang kita
miliki adalah perttambangan minyak bumi dan gas alam (Migas) dan tambang mineral
lainnya yang termasuk dalam golongan sumberdaya
non renewable.
Sektor migas
merupakan salah satu andalan untuk mendapatkan devisa dalam rangka
kelangsungan pembangunan negara. Cadangan minyak bumi dan gas alam Indonesia
semakin menipis. Pada tahun 2002, cadangan minyak bumi sekitar 9,75 miliar barel
dan turun hingga tersisa 7,41 miliar barel di tahun 2012. Sedangkan cadangan gas
alam tersisa 150,70 triliun kaki kubik pada tahun 2012. Apabila cadangan baru tidak
ditemukan maka sepuluh tahun lagi cadangan minyak akan habis.
Sementara total produksi minyak mentah (ekstraksi) pada tahun 2012 adalah
sebesar 331,58 juta barel. Produksi minyak mentah didominasi oleh minyak solar
sebesar 123,48 juta barel (37,24 persen) dan 67,68 juta barel premium (20,41 persen).
Tabel I.1 : Cadangan Minyak Bumi dan Gas Bumi, 2002 – 2012
Tahun
Minyak Bumi (miliar barel)
Gas Bumi (triliun kaki kubik)
Terbukti
Potensial
Jumlah
Terbukti
Potensial
Jumlah
2002
4,72
5,03
9,75
90,30
86,29
176,59
2003
4,73
4,40
9,13
91,17
86,96
178,13
2004
4,30
4,31
8,61
97,81
90.53
188,34
2005
4,19
4,44
8,63
97,26
88,54
185,80
2006
4,37
4,56
8,93
94,00
93,10
187,10
2007
3,99
4,41
8,40
106,00
59,00
165,00
2008
3,75
4,47
8,22
112,50
57,60
170,10
2009
4,30
3,70
8,00
107,34
52,29
159,63
2010
4,23
3,53
7,76
108,40
48,74
157,14
2011
4,04
3,69
7,73
104,71
48,18
152,89
2012
3,74
3,67
7,41
103,35
47,35
150,70
Sumber : Statistik Energi dan Ekonomi Indonesia 2013, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral
Sumberdaya alam tidak dapat terbarukan atau sering juga disebut sebagai
sumberdaya terhabiskan adalah sumberdaya alam yang tidak memiliki kemampuan
regenerasi secara biologis. Sumberdaya alam ini terbentuk melalui proses geologi
yang memerlukan waktu sangat lama untuk dapat dijadikan sebagai sumberdaya alam
yang siap diolah atau siap pakai. Jika diambil (eksploitasi) sebagian, maka jumlah yang
tinggal tidak akan pulih kembali seperti semula. Salah satu yang termasuk dalam
golongan sumberdaya tidak dapat terbarukan adalah tambang minyak. Tambang
minyak memerlukan waktu ribuan bahkan jutaan tahun untuk terbentuk karena
ketidakmampuan sumberdaya tersebut untuk melakukan regenerasi. Sumberdaya ini
sering kita sebut juga sebagai sumberdaya yang mempunyai stok yang tetap.
Sifat-sifat tersebut menyebabkan masalah eksploitasi sumberdaya alam tidak
terbarukan (
non renewable)
berbeda dengan ekstrasi sumberdaya terbarukan
(
renewable).
Pengusaha pertambangan atau perminyakan, harus memutuskan
kombinasi yang tepat dari berbagai faktor produksi untuk menentukan produksi yang
optimal, dan juga seberapa cepat stok harus diekstraksi dengan kendala stok yang
terbatas. Dalam pengelolaan pertambangan, agar dapat memberikan kesejahteraan
bagi masyarakat maka sistem pendekatan yang digunakan adalah Model Hotelling,
yang dikembangkan Harold Hotelling 1931 (Fauzi, 2004, hal 64). Model Hotelling
menggunakan pendekatan konsumen surplus untuk menghitung kesejahreaan
masyarakat disekitar lokasi pertembangan.
Pemanfaatan sumberdaya alam akan berdampak terhadap peningkatan
kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Pro - kontra pengelolaan tambang merupakan
peringatan dini bahwa pengelolaan sumberdaya tambang harus mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sepanjang waktu. Hal ini sesuai dengan postulat ekonomi
sumberdaya alam, yaitu :
efesiensi, optimality dan sustainablelity
(Nahib, 2006, hal 2).
Selanjutnya, agar pemanfaatan sumberdaya alam tak pulih dapat berlangsung
secara optimal, maka pemahaman tentang sumberdaya alam tak pulih dilihat sebagai
sumberdaya alam yang terbatas dan tidak dapat dihasilkan kembali. Hal ini berarti
pengambilan sumberdaya alam tak pulih saat ini akan berakibat pada tidak tersedianya
barang tersebut dikemudian hari. Atau dengan kata lain akan nada biaya alternatif
(
opportunity cost
), yang berupa hilangnya nilai sumberdaya alam yang dapat diperoleh
pada masa mendatang. Biaya alternatif ini harus diperhitungkan dalam menentukan
alokasi sumberdaya alam tak pulih tersebut sepanjang waktu (Suparmoko, 2015: hal
102). Untuk dapat mewujudkan tujuan pengelolaan sumberdaya alam tak pulih yang
optimal tersebut, dapatlah dipedomani apa yang jelas tertera dalam pasal 33 UUD
1945. Oleh karena itu, pihak yang mengelola sumberdaya alam adalah BUMN dan
lembaga yang berorientasi terhadap kesejahteraan umat manusia, bukan perusahaan
swasta yang mengejar keuntungan setinggi-tingginya.
Tabel I.2
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Daerah Penghasil Tambang, 2012-2014
Provinsi Jumlah Penduduk Miskin (ribu) Persentase Penduduk Miskin
2012 2013 2014 2012 2013 2014 Riau 483,07 469,28 499,89 8,22 7,72 8,12 Sumatera Selatan 1.057,03 1.110,37 1.100,83 13,78 14,24 13,91 Jawa Tengah 4.977,36 4.732,95 4.836,45 15,34 14,56 14,46 Jawa Timur 5.070,98 4.771,26 4.786,79 13,40 12,55 12,42 Kalimantan Tengah 148,05 136,95 146,32 6,51 5,93 6,03 Kalimantan Selatan 189,88 181,74 182,88 5,06 4,77 4,68 Kalimantan Timur 253,34 237,96 253,60 6,68 6,06 6,42 Papua 966,59 1.017,36 924,41 31,11 31,13 30,05
Sumber : Survey Sosial Ekonomi Nasional, Badan Pusat Statistik
Kemiskinan merupakan masalah multidimensi yang telah lama menjadi isu
penting dalam pengelolaan pertambangan. Mengatasi isu kemiskinan, bukan hanya
mengurangi jumlah penduduk miskin, tetapi bagaimana meningkatkan kesejahteraan
penduduk miskin di daerah penghasil tambang. Regulasi yang mengatur pembagian
rente ekonomi tambang antara pusat dan daerah penghasil relatif memberi peluang
bagi
daerah
penghasil
untuk memperoleh
anggaran
untuk meningkatkan
kesejahteraannya. Namun secara umum, daerah penghasil tambang masih
menghadapi isu kemiskinan yang cukup serius.
Pemerintah selama ini menyerahkan pengelolaan usaha pertambangan dengan
pendekatan ekonomi mikro konvensional. Sumberdaya tak pulih khususnya hasil
tambang dapat dikelola dengan pendekatan ekonomi sumberdaya alam, yakni dengan
menggunakan Model Hotelling, yang bertujuan melakukan ekstraksi optimal dan
mensejahterakan masyarakat sepanjang waktu.
Dari segi sosial, tentunya dinginkan pengelolaan sumberdaya alam tak pulih
yang optimal dan lestari, sehingga tercipta beberapa model ekonomi yang
mensyaratkan kriteria tertentu dalam perilaku agen ekonomi untuk pemanfaatan
sumberdaya alam tersebut. Pada perekonomian pasar, pemanfaatan ini relatif
ditentukan oleh mekanisme pasar. Kekuatan pasar
diyakini akan mampu
mengalokasikan sumberdaya alam dan melakukan penyesuaian terhadap kelangkaan
sumberdaya alam. Pertanyaannya adalah pada struktur pasar apa yang mampu
menjamin keadaan optimal? Apakah pasar persaingan sempurna atau pasar
monopoli? Dalam konsep teori ekonomi, mekanisme pasar kompetitif atau persaingan
sempurna dipercaya akan membawa perekonomian pada alokasi sumberdaya yang
optimal (Reksohadiprodjo, 1998: hal 29-30). Walaupun pasar monopoli tidak efisien,
namun monopoli cenderung akan memperlambat orang memanfaatkan sumberdaya
tak pulih dan justru kepemilikan bersama (
common property resource
) akan
mendorong mempercepat ekstraksi sumberdaya alam tersebut (Nichols, 1974 dalam
Reksohadiprodjo, 1998: hal135). Tujuan dari Penelitian ini adalah
pertama
, untuk
mengetahui bagaimana Pengelolaan SDA Tak Pulih yang optimal berdasarkan Model
Hotelling;
kedua
, untuk mengetahui bagaimana aplikasi Model Hotelling dalam
pengelolaan SDA Tak Pulih yang optimal pada pasar kompetitif dan monopoli.
II. STUDI PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
Rees (1990) diacu Fauzi (2004, hal 2), sesuatu untuk dapat dikatakan sebagai
sumberdaya harus memiliki dua kriteria, yaitu : Pertama, harus ada pengetahuan,
teknologi atau keterampilan untuk memanfaatkannya. Kedua, harus ada permintaan
(
demand)
terhadap sumberdaya tersebut.
Kalau kedua kriteria tersebut tidak dimiliki, maka sesuatu itu disebut barang
netral. Jadi tambang batubara yang terkandung di dalam tanah misalnya, jika belum
memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk memanfaatkannya dan tidak ada
demand untuk hasil tambang tersebut, maka masih dalam kriteria barang netral.
Dalam hal pasokan sumberdaya alam, secara umum sumberdaya alam dapat
diklasifikasi kedalam dua kelompok (Reksohadiprodjo, 1998: hal 6-7), yaitu :
1. Kelompok Stok
Sumberdaya alam yang tersedia dalam jumlah, kualitas, tempat dan waktu
tertentu disebut
stock
sumberdaya alam.
Stock
menunjukkan apa yang
diketahui tersedia untuk penggunaan sampai masa tertentu.
Stock
akan
berkurang jumlahnya sebanyak yang digunakan oleh manusia. Pengetahuan
tentang konsep
stock
sebenarnya akan sangat tergantung pada teknologi yang
tersedia, kelayakan ekonomis dan apakah secara sosial memang diinginkan.
Dalam perhitungan
stock
sumberdaya alam, penting untuk diperhatikan
interaksi dengan sistem lingkungan alam, misalnya pertambangan batubara
dengan sistem hidrologis.
2. Kelompok flow
Flow
merupakan komoditi sumberdaya alam yang dihasilkan dari
stock
sumberdaya alam.
Flow
juga merupakan indikasi penggunaan saat ini. Jika
stock akan berkurang jumlahnya sejumlah yang digunakan manusia, maka flow
akan selalu berubah jumlahnya tergantung penggunaan.
Model pengelolaan sumberdaya alam tak pulih yang optimal dan model
ekonomi konvensional memiliki beberapa perbedaan pokok (Fauzi, 2004, hal 64), yakni
:
1. Dalam model ekonomi kompetitif, maksimasi keuntungan ditentukan pada
saat penerimaan marginal (MR) sama dengan biaya marginal (MC) atau MR
= MC. Dalam model sumberdaya alam non renewable, stok yang tidak
terekstraksi memiliki nilai yang dicerminkan dari biaya oportunitasnya.
Dengan demikian, ekstraksi optimal sumberdaya alam tidak hanya
ditentukan oleh harga dan biaya marginal tapi juga oleh biaya oportunitas.
2. Ekstraksi sumberdaya alam merupakan masalah investasi karena nilai rente
sumberdaya yang diperoleh terkait oleh waktu, sehingga penentuan rente
atau keuntungan (benefit) tidak saja dihitung untuk masa kini tapi juga
sepanjang waktu.
3. Berbeda dengan ekstraksi produk lainnya, ekstraksi sumberdaya alam tidak
terbarukan menghadapi kendala stok. Artinya, karena tidak adanya proses
regenerasi, maka pada waktu tertentu (
terminal period
), stok tersebut akan
habis.
Ekstraksi Optimal
Dalam pengelolaan pertambangan, agar dapat memberikan kesejahteraan bagi
masyarakat maka sistem pendekatan yang digunakan adalah Model Hotelling, yang
dikembangkan Harold Hotelling pada tahun 1931. Model Hotelling menggunakan
pendekatan konsumen surplus untuk menghitung kesejahteaan masyarakat disekitar
lokasi pertambangan. Jika dimisalkan Biaya ekstraksi konstan untuk permintaan
terakhir,
P =P
(
q
) dan stok tambang minyak diasumsikan terbatas untuk dua periode
S=q1 + q2
, maka Model Hotelling dirumuskan sebagai berikut :
∫ ( ( ) − )
+ ∫ ( (
− )
( + ) … … …
(1)
Dengan kendala
S = Q
1+ Q
2Pemecahan masalah diatas dapat dilakukan dengan menggunakan fungsi Lagrangian
yang sudah biasa bisa dalam pendekatan ekonomi, yang menghasilkan hukum
Hotelling yang menjadi syarat untuk mencapai surplus konsumen, sebagai berikut :
( ( ) − )
+
( (
− )
( + ) +
( −
−
). . ( )
Hukum Hotelling meng\atakan bahwa ekstraksi sumberdaya tak terbaharukan
yang efesien dan optimal mengasumsikan (Kula, 1994: hal 146) :
1. Harga pasar sumberdaya alam dikurang biaya ekstraksi (MC) meningkat
namun masih dibawah tingkat bunga pasar. Jika pemilik sumberdaya itu
bersikap rasional dengan memaximumkan profit,
cateris paribus
, maka dia
akan melakukan ekstraksi dan menjual stock sumberdaya alamnya secepat
mungkin.
2. Harga pasar dikurang biaya ekstraksi (MC) meningkat pada kondisi yang
lebih tinggi dari tingkat bunga pasar, maka pemilik barang sumberdaya akan
mengkondisikan sumberdaya lamnya tetap sebagai persediaan.
2.2 Penelitian Terdahulu
Nahib (2006, 14) menyatakan bahwa ekstraksi optimal sumberdaya alam tak pulih
(seperti tambang minyak) dipengaruhui oleh
discount rate
(suku bunga). Bila suku
bunga bank tinggi, maka akan memacu kegiatan eksploitasi secara besar-besaran
pada saat sekarang. Hal demikian ia analisis pada kasus tambang minyak Blok Cepu
dimana laju ekstraksi yang tinggi menimbulkan eksternalitas negatif yang
menyebabkan kesejahteraan penduduk menurun.
Humphreys, Sachs, dan Stiglitz (2007, hal 1 – 25) dalam tesis mereka
mengenai
Kutukan Sumberdaya
, menyebutkan adanya paradok sumberdaya alam.
Untuk memahaminya, diperlukan pemahaman mengenai apa yang membuat kekayaan
sumberdaya alam tak pulih berbeda dari jenis-jenis kekayaan sumberdaya alam
lainnya. Pertama, sumberdaya alam yang tak pulih tidak perlu diproduksi. Kekayaan ini
hanya perlu diekstraksi atau digali. Kedua, sumberdaya alam yang tak pulih (misalnya
minyak, gas dan batubara) tidak bisa diperbaharui.
Kedua faktor tersebut menjadikan proses ekonomi sumberdaya alam bisa
berlangsung tanpa perlu terhubung dengan sektor-sektor industri lainnya, dan tidak
butuh partisipasi tenaga kerja kasar dalam negeri dalam jumlah besar. Dari aspek
ekonomi, kekayaan sumberdaya alam yang seperti itu kurang layak untuk bisa disebut
sebagai income (penghasilan) dan lebih tepat dikatakan sebagai asset (ibid, hal 3).
Halimatussadiah dan Resosudarmo (2004) dalam penelitian mengenai tingkat
ekstraksi optimal minyak bumi Indonesia; dengan menggunakan optimasi dinamik
dalam skenario optimal maka cadangan akan lebih cepat habis dibanding skenario
normal (business as usual) walaupun profit yang didapat lebih tinggi. Lebih lanjut dari
hasil penelitian tersebut, dengan membandingkan proyeksi konsumsi dengan produksi,
maka dapat diperkirakan dibawah skenario model optimal, maka Indonesia akan
mengalami periode menjadi importer netto minyak pada tahun 2012, yaitu ketika
cadangan minyak bumi Indonesia habis. Sedangkan pada skenario normal
diperkirakan Indonesia menjadi net importer minyak pada tahun 2008.
2. 3 Kerangka Pikir
Berdasarkan telaah teori dan tinjauan dari penelitian terdahulu, suatu kerangka pikir
penelitian mengenai pengelolaan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui
secara optimal dengan pendekatan model Hotelling dapat digambarkan sebagai
berikut :
III. METODE PENELITIAN
3. 1 Rancangan penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat diskriptif kuantitatif dengan maksud
untuk memperoleh gambaran menyeluruh termasuk juga aspek kualitatif yang
diusahakan dengan metode studi pustaka. Tipe penelitian ini merupakan penelitian
aplikatif yang berupa penerapan teori atau metode dalam dunia riil yang dalam hal ini
adalah aplikasi Model Hotelling dalam pengelolaan sumberdaya alam yang tidak dapat
diperbaharui secara optimal (ekstraksi optimal). Jenis data dalam penelitian ini adalah
data kuantitatif di mana pengukuran yang dilakukan dinyatakan dalam angka-angka.
Adapun sumber data adalah bersumber pada data ekstern sekunder (data sekunder)
yang berasal dari buku, jurnal atau organisasi yang bukan pengolahnya.
3.3 Metode Analisis
Penelitian ini menelaah penerapan Model Hotelling pada contoh kasus dan data yang
bersifat hipotetik. Analisis yang dilakukan adalah untuk menjelaskan langkah-langkah
perhitungan ekstraksi optimal pada kondisi dua periode dan multiperiode baik dipasar
kompetitif maupun pasar monopoli.
Diketahui bahwa harga per satuan output pada periode 0 dan 1 adalah P
0dan
P1. Jumlah ekstraksi pada kedua periode ditulis sebagai Q0
dan Q1. Biaya ekstraksi
adalah C yang merupakan fungsi dari output. Dengan demikian TR – TC atau π
1=
P
1Q
1– CQ
1. Fungsi permintaan pada dua periode adalah sama. Yakni : P = a – bQ.
Syarat pertama untuk ekstraksi optimal adalah P = C +
, dimana λ adalah
biaya opurtinitas. Syarat kedua adalah ekstraksi yang efisien dan optimal terjadi bila
net benefit tumbuh sebesar tingkat diskontonya.
Fungsi Demand adalah : P = a - bQ
Max PV = π
0+
( )π
1S = Q
0+ Q
1 SDA Non Renewable Kesejahteraan Welfare Ekstraksi Optimal Model Hotelling Present ValueDiscount Rate Stock SDA
Pasar
Kompetitif
Pasar
Monopoli
L = π
0+
( )
π
1+ λ (S – Q
0– Q
1)
= (P
0Q
0– CQ
0) +
( )
(P
1Q
1– CQ
1) + λ (S – Q
0– Q
1) ……… (3)
Syarat pertama (
necessary condition
) adalah :
= (P
0– C) – λ = 0 ………. (4)
=
( )(P
1– C) – λ = 0 ………. (5)
=
S – Q
0– Q
1= 0 ……….. (6)
Selanjutnya ; (4) (5) .……….. (7)
Selanjutnya : (6) (7)
Syarat kedua (
sufficient condition
) adalah :
}
Golden Rule
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Dasar-Dasar Model Hotelling
Untuk memahami model Hotelling, terlebih dahulu asumsi-asumsi sederhana akan
digunakan dalam pendekatan ini. Pertama, diasumsikan bahwa harga per satuan
output dari sumber daya konstan, artinya kurva permintaan dari sumber daya, bersifat
elastik sempurna. Kedua biaya ekstrasi sumber daya diasumsikan hanya merupakan
fungsi dari output (Fauzi, 2004: hal 65).
Ada dua syarat yang harus dipenuhi agar terdapat pengambilan sumberdaya
alam secara optimal (Suparmoko, 2015: hal 102-104) :
Syarat pertama
, berlaku pada produksi setiap barang yang berada dalam
pasar persaingan sempurna agar dicapi suatu tingkat efisiensi yang optimum
(produsen mencapai keuntungan maksimal) adalah harga barang yang dihasilkan
harus sama dengan biaya produksi marginal. Karena barang sumberdaya alam
memiliki biaya alternatif (
opportunity cost
), maka persyaratan menjadi harga barang
sumberdaya alam sama dengan biaya marginal ditambah dengan biaya alternatif atau
(
P = MC + λ
). Ini merupakan persyaratan pertama yang disebut sebagai
necessary
condition
. Dengan dimasukkannya biaya alternatif dalam perhitungan biaya maka akan
menyebabkan jumlah barang sumberdaya alam yang diambil pada saat ini relatif lebih
sedikit daripada kalau hanya biaya marginal saja yang diperhitungkan. Adapun biaya
alternatif ini adalah kelebihan nilai yang konsumen bersedia untuk melakukan
pembayaran diatas biaya marginal. Biaya alternatif ini disebut juga
net social benefit,
rent, user cost atau royalty
.
Syarat kedua
, adalah menyangkut perilaku dari biaya alternatif atau royalty itu
sepanjang waktu, yaitu bahwa royalty atau biaya alternatif itu harus selalu meningkat
sebesar
discount rate
yang berlaku dari waktu ke waktu. Dengan kata lain bila royalty
itu dinyatakan dalam nilai sekarang (
present value
), maka royalty itu tidak akan
berubah sepanjang waktu. Ini disebut sebagai
sufficient condition
.
4.2 Aplikasi Model Hotelling
Pada pasar persaingan sempurna
, analisis dimulai dengan anggapan bahwa
terdapat stok minyak di dalam bumi sebanyak 10 barel. Diketahui pula bahwa
besarnya biaya pengambilan $2 per barel dan fungsi permintaannya adalah P = 10 –
Y, dimana P adalah tingkat harga dan Y adalah jumlah barang sumberdaya alam yang
diambil. Tingkat bunga yang dipakai dalam perhitungan nilai sekarang adalah r = 10%
per tahun; dan hanya tersedia waktu dua tahun. Pertanyaannya adalah bagaimana
alokasi pengambilan sumberdaya alam itu diantara dua periode waktu sehingga dapat
menghasilkan total manfaat bersih yang optimum?
Pengambilan sumberdaya minyak tersebut diusahakan agar manfaat total dari
kedua periode itu adalah yang tertinggi. Namun agar manfaat total dari kedua periode
dapat dijumlahkan, maka nilai manfaat itu harus disamakan dahulu yaitu dengan
menyatakannya dalam nilai sekarang (
present value
). Caranya ialah dengan
mengalikan nilai manfaat itu dengan faktor diskonto (
( )
); dimana r adalah tingkat
bunga.
Anggapan untuk dua periode waktu ini adalah demi sederhananya analisis,
tetapi cara ini dapat digunakan untuk periode waktu yang lebih panjang lagi
(multiperiode). Dengan menggunakan fungsi lagrange :
= ∫
{(10 − ) − 2} + ∫
{( , ) }+ λ (10-
−
)
= 10 − − 2 − = 0
=
(1 + 0,1) (10 − ) − 2 − = 0
1
= 10 − −
= 0
Penyelesaian :
10 − − 2 = 11 − 1,1 − 2,2
8 −
= 8,8 − 1,1
= 0,8 − 1,1
10 − (0,8 − 1,1 ) −
= 0
10 − 2,1 − 0,8 −
= 0
10,08 − 2,1 = 0
= ,
10 − − 4,86 = 0
= ,
Selanjutnya :
Harga jual ;
= 10 −
= 10 − 5,14
= 4,86
= 5,14
Royalty ;
=
+
4,86 = 2 +
= 2,86
= 3,14
Golden Rule ;
3,14 − 2,86
2,86
= 0,1
Pada pasar monopoli
; syarat pertama yang harus dipenuhi adalah MR harus
sama dengan MC ditambah dengan royalty atau MR dikurangi MC sama dengan
royalty. Syarat kedua adalah MR dikurangi MC harus meningkat dengan laju sebesar
tingkat bunga, dan dc/dx = 0.
Dimisalkan contoh yang sama pada pasar persaingan sempurna dimana
terdapat cadangan minyak 10 barel yang harus diambil dalam dua periode, dengan
permintaan P = 10 –Y; MC = $2; dan r =10%.
Penyelesaian :
TR = P.Q
TR = (10 – Y).Y
TR = 10Y – Y
2MR = 10 – 2Y
Selanjutnya :
MR1
– MC = (MR0
– MC) (1 + r)
10 – 2Y
1- 2 = (10 – 2Y
0– 2) (1 + 0,1)
Dari persamaan itu diperoleh Y
1= 4,95 dan Y
1= 5,05. Hal ini berarti dibawah
seorang monopolis pengambilan barang SDA lebih lamban daripada dalam pasar
persaingan sempurna.
4.3 Elastisitas Harga
Di bawah seorang monopolis, pengambilan barang sumberdaya alam lebih lamban
daripada dalam pasar persaingan sempurna. Namun seungguhnya elastisitas harga
terhadap barang sumberdaya alam juga mempengaruhi tingkat pengambilan barang
sumberdaya alam tersebut. Semakin elastis harga akan semakin konservatif dalam
pengambilan sumberdaya alam oleh seorang mnonopolis (Suparmoko, 2015; hal 112).
Apabila royalty harus meningkat dengan laju setinggi tingkat bunga, maka akan
ditemukan bahwa sumberdaya alam itu akan lebih cepat diambil dibawah pasar
monopoli daripada pasar persaingan sempurna. Hal ini bukan merupakan kesimpulan
yang umum, tetapi hanya benar selama elastisitas harga rendah. Sebaliknya, pada
saat elastisitas harga tinggi, maka produsen monopolis cenderung melakukan
konservasi, yaitu membatasi produksi pada tahun pertama untuk kemudian
memanfaatkan permintaan yang tidak elastis di kemudian hari (
Ibid
).
Hasil regresi antara jumlah BBM yang dijual sebagai dependen variabel dengan
rata-rata harga jualnya sebagai independen variabel dari tahun 2002 – 2012 sebagai
berikut :
Premium:
LnQpr = 13,5225 + 0,39715LnPpr
Prob :
0,0000
0,0078
Solar:
LnQsl = 16,72428 + 0,042379LnPsl
Prob : 0,0000
0,1979
Koefesien elastisitas harga premium maupun solar menunjukkan angka
elastisitas yang rendah (inelastis) dibawah monopoli pengadaan BBM oleh Pertamina.
Koefisien elastisitas harga untuk premium sebesar 0,39 menunjukkan sifat yang
inelastis berarti kebutuhan esensial dimana bila harga meningkat 1 persen maka justru
diikuti kenaikan penjualan sebesar 0,39 persen. Adapun solar koefisiennya lebih kecil
lagi sebesar 0,042 tapi tidak signifikan karena reaksi konsumen untuk penyesuaian
lambat disebabkan kemungkinan adanya stock yang dikuasai oleh konsumen industri
atau pengguna solar dan juga barang substitusinya dibanding konsumen premium.
Hal demikian berarti dibawah produsen monopoli sumberdaya alam itu lebih
cepat diambil dibanding produsen pada pasar persaingan sempurna dikarenakan
elastisitas harganya yang rendah. Konsekuensinya adalah saat ini kita menjadi importir
BBM tidak hanya
crude
. Banyak faktor yang menyebabkan hal demikian, namun
penelitian ini hanya membatasi tentang ekstraksi yang optimal. Cepatnya ekstraksi
barang sumberdaya alam (misalnya minyak) seperti dianalisis diatas, sejalan juga
dengan perkembang laju konsumsi BBM yang semakin meningkat terutama pada
sektor transportasi.
Tabel IV.1 Konsumsi BBM Menurut Sektor (kilo liter), 2002 – 2012
Tahun
Industri
Rumah Tangga
Transportasi
2002
11.436.088
9.997.862
24.827.114
2003
10.380.414
10.061.782
25.681.783
2004
11.330.403
10.141.412
29.319.962
2005
9.781.033
9.733.831
29.433.160
2006
8.690.367
8.580.529
28.117.389
2007
7.979.620
8.474.054
29.623.396
2008
7.746.140
6.764.523
32.564.294
2009
7.938.732
4.091.982
37.064.029
2010
8.759.521
2.436.009
42.036.462
2011
7.006.194
1.699.298
45.664.345
2012
7.501.911
1.183.525
51.063.037
Sumber : Statistik Energi dan Ekonomi Indonesia 2013, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral