• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai upaya untuk mengidentifikasi sebab-sebab pengunduran diri karyawan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai upaya untuk mengidentifikasi sebab-sebab pengunduran diri karyawan."

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Turnover

Penelitian empiris mengenai turnover karyawan telah banyak dilakukan sebagai upaya untuk mengidentifikasi sebab-sebab pengunduran diri karyawan. Simamora (1997) dan memberi batasan turnover sebagai perpindahan karyawan dari pekerjaannya yang sekarang. Robbin (2003) dan Zeffane (2003), mendefinisikan turnover sebagai penarikan diri secara sukareka atau tidak sukarela dari suatu organisasi. Turnover adalah proses dimana karyawan meninggalkan organisasi dan harus segera digantikan (Robert M. dan John J., 2004). Sedangkan Mobley (1986), seorang pakar dalam masalah pergantian karyawan memberikan batasan turnover sebagai berhentinya individu dari anggota suatu organisasi dengan disertai pemberian imbalan keuangan oleh organisasi yang bersangkutan. Karyawan yang keluar dari organisasi tempatnya bekerja, akan mendapatkan sejumlah pesangon yang wajar dan sesuai dengan aturan pemerintah tentang ketenagakerjaan.

Keluar masuknya karyawan dalam organisasi adalah suatu fenomena yang senantiasa akan selalu dialami dalam kehidupan organisasi dan banyak di antaranya yang menimbulkan masalah. Grensing (1997) menyatakan bahwa dirasakan baik untuk memiliki orang baru dalam organisasi karena mereka membawa ide baru. Pada sebagian besar organisasi, keluar masuknya karyawan membawa pengaruh yang

(2)

kurang baik dari segi biaya maupun dari segi hilangnya waktu dan kesempatan untuk memanfaatkan peluang.

Terdapat beberapa dampak turnover bagi organisasi diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Biaya penarikan karyawan, menyangkut waktu dan fasilitas untuk wawancara dalam proses seleksi, penarikan dan mempelajari pergantian.

2) Biaya pelatihan, menyangkut waktu pengawas, departemen personalia dan karyawan yang dilatih.

3) Apa yang dikeluarkan buat karyawan lebih kecil dari yang dihasilkan karyawan baru tersebut.

4) Tingkat kecelakaan para karyawan baru cenderung tinggi. 5) Adanya produksi yang hilang selama masa pergantian karyawan. 6) Peralatan produksi yang tidak bisa digunakan sepenuhnya. 7) Banyak pemborosan karena adanya karyawan baru.

Dampak yang ditimbulkan oleh turnover ini sangat merugikan organisasi sehingga manajemen perlu mencari solusi dan strategi yang tepat untuk mengendalikannya. Turnover yang tinggi dalam organisasi menunjukkan perlu diperbaikinya kondisi kerja, kepuasan dan cara pembinaan terhadap karyawan.

2.1.1 Intensi Keluar (Intention to Leave)

Satu aspek yang cukup menarik perhatian adalah mendeteksi faktor-faktor motivasional yang akan dapat mengurangi niat karyawan untuk meninggalkan

(3)

organisasi, karena niat untuk pindah sangat kuat pengaruhnya dalam menjelaskan turnover yang sebenarnya. Adanya karyawan yang keluar dari organisasi memerlukan biaya yang besar dalam bentuk kerugian yang besar akan tenaga ahli, yang mungkin juga memindahkan pengetahuan spesifik perusahaan kepada pesaing (Carmeli dan Weisberg, 2006).

Intensi keluar didefinisikan sebagai keinginan seseorang untuk keluar dari perusahaan. Studi yang dilakukan oleh Foon et al. (2010) menemukan adanya hubungan negatif antara kepuasan kerja dengan intensi keluar. Studi serupa yang dilakukan oleh Martoyo (2007) menyatakan bahwa rasa tidak puas yang dialami oleh karyawan berdampak pada intensi keluar karyawan tersebut. Seseorang yang relatif puas terhadap pekerjaannya akan tetap tinggal dalam perusahaan lebih lama dan dapat menurunkan angka keluar masuk karyawan dan mengurangi keabsenan (Yang et al., 2009).

Intensi keluar mencerminkan keinginan individu untuk meninggalkan organisasi dan mencari alternatif pekerjaan lain. Dalam studi yang dilakukan, variabel intensi keluar digunakan dalam cakupan yang luas meliputi keseluruhan tindakan penarikan diri (withdrawal cognitions) yang dilakukan oleh karyawan. Tindakan penarikan diri menurut Harnoto (2002) terdiri atas beberapa komponen yang secara simultan muncul dalam individu berupa adanya niat untuk keluar, keinginan untuk mencari pekerjaan lain, mengevaluasi kemungkinan untuk menemukan pekerjaan yang layak di tempat lain, dan adanya keinginan untuk meninggalkan organisasi.

(4)

2.2 Konflik Peran (Role Conflict)

Pada hakekatnya, konflik dapat didefinisikan sebagai segala macam interaksi pertentangan antara dua pihak atau lebih. Menurut Heidjrachman et al. (1984), konflik organisasi adalah ketidaksetujuan antara dua pihak atau lebih anggota organisasi yang timbul karena mereka harus menggunakan sumber daya yang langka secara bersama-sama dan karena mereka mempunyai perbedaan status, tujuan, nilai-nilai dan persepsi yang berbeda.

Konflik sebenarnya menjadi fungsional dan dapat pula menjadi tidak fungsional. Konflik semata-mata bisa memperbaiki dan memperburuk prestasi individu maupun organisasi tergantung dari pengelolaan konflik tersebut.

Konflik peran terjadi jika seseorang memiliki beberapa peran yang saling bertentangan atau ketika sebuah posisi tunggal memiliki harapan potensial yang saling bertentangan. Seseorang akan mengalami konflik peran dimana dia memiliki dua peran atau lebih, yang harus dijalankan bersamaan (Luthans, 2006). Menurut Robbins dan Judge (2009), konflik peran menciptakan pengharapan-pengharapan yang mungkin sulit untuk dipenuhi atau dipuaskan. Dikatakan pula bahwa ketika seseorang dihadapkan pada pengharapan peran yang berlainan, makan akan menghasilkan konflik peran. Konflik peran adalah tuntutan dan tanggung jawab yang saling bertentangan pada diri karyawan (Bersamin, 2006).

Konflik ini terjadi jika seseorang menemui keadaan dimana patuh pada persyaratan satu peran yang menyebabkan kesulitan untuk mematuhi persyaratan dari suatu peran lain. Pada keadaan ekstrem, itu akan mencakup situasi dimana dua atau

(5)

lebih pengharapan peran saling berlawanan. Jadi dengan kata lain, konflik peran adalah suatu situasi dimana seorang individu dihadapkan pada pengharapan peran yang berlainan (Robbins dan Judge, 2009; Lawrence dan Kacmar, 2012).

Koo dan Sim (1999) mengemukakan bahwa penyebab konflik peran terjadi akibat adanya ketidakkonsistenan dalam peran yang dilakukan oleh karyawan dan perbedaan harapan. Konflik tersebut terjadi akibat karyawan mencoba untuk menjaga norma-norma profesional dan pada saat yang sama mereka harus mempertimbangkan harapan atau keinginan pelanggan sehingga menimbulkan dampak negatif terhadap kepuasan kerja dan ketidakmampuan karyawan untuk menjalankan peran sosialnya dengan baik. Secara lebih spesifik, Leigh et al. (2008) menyatakan bahwa konflik peran merupakan hasil dari ketidakkonsistenan harapan-harapan berbagai pihak atau persepsi adanya ketidakcocokkan antara tuntutan kebutuhan dan nilai-nilai individu sehingga menyebabkan seseorang yang mengalami konflik peran akan berada dalam suasana terombang-ambing, terjepit dan serba salah.

Menurut Munandar (2008), konflik peran muncul jika seorang karyawan mengalami:

1) Pertentangan antara tugas-tugas yang harus dilakukan dan antara tanggung jawab yang dimilikinya.

2) Pertentangan antara tugas-tugas yang harus dilakukan, dimana menurut pandangannya bukan merupakan bagian dari pekerjaannya.

3) Pertentangan antara tuntutan-tuntutan dari atasan, rekan, bawahannya atau orang lain yang dinilai penting bagi dirinya.

(6)

4) Pertentangan dengan nilai-nilai dan keyakinan pribadinya sewaktu melakukan tugas pekerjaannya.

Konflik peran dapat meningkatkan stres yang bersifat negatif yang dialami oleh seorang individu (Kreitmer dan Kinicki, 2005). Potensi efek dari konflik peran yaitu tekanan yang berkaitan dengan pekerjaan, kepuasan kerja dan keinginan untuk meninggalkan organisasi. Lebih lanjut dikatakan pula bahwa potensi efek dari konflik peran sangat memakan biaya, tidak hanya konsekuensi emosional yang berkaitan dengan individu, tapi juga dalam konteks organisasi seperti rendahnya kualitas kinerja dan tingginya turnover.

Pada umumnya, konflik peran dipandang sebagai suatu peristiwa multidimensional yang terbagi atas tiga jenis konflik (Mohr dan Puck, 2003). Ketiga jenis konflik peran tersebut adalah inter-role conflict, intra-role conflict, dan person-role conflict.

Pertama, individu akan mengalami inter-role conflict ketika harapan pengirim peran tidak sesuai dengan peran yang dilakukan oleh individu. Misalnya, harapan seorang pegawai kantoran ketika bekerja lembur akan bertentangan dengan harapan dari keluarga pegawai.

Kedua, intra-role conflict terjadi apabila elemen-elemen yang berbeda dalam satu peran individu bertentangan dengan yang lain. Konflik ini dibagi lagi menjadi dua tipe yaitu intra-sender role conflict dan inter-sender role conflict. Intra-sender role conflict timbul saat satu pengirim peran mempunyai harapan yang tidak sesuai dengan harapan pemegang peran. Misalnya, ketika seorang atasan menyuruh

(7)

bawahannya untuk memberikan suatu informasi yang spesifik tetapi di lain pihak terdapat larangan untuk menggunakan suatu alat yang memungkinkan bawahan tersebut dapat mengakses informasi yang diinginkan. Sedangkan inter-sender conflict adalah konflik yang timbul ketika harapan dari dua pengirim peran yang berbeda berbenturan dengan harapan pemegang peran. Misalnya, ketika seorang manajer diharuskan untuk mengikuti suatu intruksi dari dua atau lebih manajer yang mempunyai kegiatan yang berbeda.

Ketiga, individu dapat mengalami person-role conflict apabila harapan yang berkaitan dengan seorang pemegang peran tidak sesuai dengan kebutuhan, inspirasi dan nilai-nilai individu tersebut. Misalnya, ketika seseorang yang diharuskan untuk menggunakan senjata dalam medan perang tetapi sebenarnya individu tersebut hanya ingin menggunakan senjata dalam hal kebaikan.

2.3 Stres Kerja (Job Stress)

Stres dapat didefinisikan sebagai pola emosional perilaku kognitif dan reaksi psikologis terhadap aspek yang merugikan dan berbahaya dari setiap pekerjaan dan lingkungan pekerjaannya (Velnampy dan Aravinthan, 2013). Selain itu, Karimi dan Alipour (2011) mendefinisikan stres sebagai rasa tidak nyaman yang dirasakan oleh individu yang kemampuan dan sumber dayanya tidak dapat diatasi dengan tuntutan, peristiwa dan situasi di tempat kerja mereka. Definisi lain tentang stres kerja dikemukakan oleh Widiyanti (2008), yang mengartikan stres sebagai interaksi antara karakter lingkungan dengan perubahan psikologis dan fisiologis, yang menyebabkan

(8)

penyimpangan dari performa normal mereka. Rivai dan Mulyadi (2003), mengkategorikan stres dalam dua jenis yaitu:

1) Eustres yaitu hasil respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif dan konstruktif (kesejahteraan individu dan organisasi yang diasosiasikan dengan pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat kinerja yang tinggi). 2) Distress yaitu hasil dari respon yang bersifat tidak sehat, negatif dan destruktif

(konsekuensi individu dan organisasi seperti penyakit kardiovaskular dan tingkat ketidakhadiran yang tinggi, yang diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan dan kematian).

Robbins (2003) membagi tiga kategori potensi penyebab stres (stressor) yaitu lingkungan, organisasi dan individu. Ketidakpastian lingkungan mempengaruhi dalam perancangan struktur organisasi dan tingkat stres karyawan dalam organisasi. Robbins (2003) juga berpendapat bahwa struktur organisasi menentukan tingkat diferensiasi dalam organisasi, tingkat aturan dan peraturan, dan dimana keputusan diambil. Aturan yang berlebihan dan kurangnya partisipasi dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada karyawan merupakan potensi sumber stres. Selanjutnya, Robbins (2003) memaparkan bahwa survei yang dilakukan secara konsisten menunjukkan bahwa karyawan menganggap hubungan pribadi dan keluarga sebagai sesuatu yang sangat berharga. Kesulitan pernikahan, retaknya hubungan, kesulitan disiplin anak, dan masalah ekonomi merupakan beberapa contoh masalah hubungan individu yang menciptakan stres bagi karyawan dan dapat terbawa ke tempat kerja.

(9)

Onciul (1996) menyatakan bahwa stres karyawan di tempat kerja dipengaruhi oleh faktor-faktor organisasional. Faktor-faktor ini dikatakan sebagai penyebab stres organisasional karena merupakan pemicu dari berbagai reaksi akan munculnya stres. Dari berbagai sumber stres organisasional, terdapat lima variabel yang merupakan sumber stres yaitu konflik peran, tersendatnya karir, persaingan, kelebihan beban kerja, dan lingkungan kerja yang tidak kondusif.

Konflik peran (role conflict) mempunyai hubungan yang positif dengan stres kerja (Roberts et al., 1997). Foot dan Venne (1990) berpendapat bahwa terdapat hubungan positif antara terhalangnya karir dengan stres kerja. Ketika karyawan merasa tidak mempunyai peluang karir, mereka akan merasakan ketidakpastian mengenai masa depannya di dalam organisasi sehingga dapat menimbulkan dan mempengaruhi tingkat stres. Lebih lanjut, Thoits (1995) mengemukakan bahwa persaingan (alienation) mempunyai hubungan positif dengan stres kerja. Kelebihan beban kerja (work overload), mempunyai hubungan empiris dengan fisiologi, psikologi dan stres (Beehr dan Newman, 1978).

Penelitian mengenai stres yang dilakukan oleh Kahn et al. (1964), memberikan penekanan pada sistem peran dan menggunakan variabel konflik peran (role conflict) dan skala kerancuan peran (role ambiguity scale). Sedangkan Parkes (1985) mengemukakan bahwa masalah hubungan antar personal yang merupakan penyebab utama dari stres.

Stres kerja tidak hanya berpengaruh pada individu, namun juga terhadap biaya organisasi dan industri. Begitu besar dampak stres kerja, oleh para ahli perilaku

(10)

organisasi telah dinyatakan sebagai sumber penyebab dari berbagai masalah fisik, mental, bahkan output organisasi (Iswanto, 1999 dan Cox, 1995), membagi lima efek dari stres kerja yaitu:

1) Subyektif berupa kekhawatiran, agresi, apatis, rasa bosan, depreso, keletihan, frustasi, kehilangan kendali dan emosi, penghargaan diri yang rendah dan gugup, kesepian.

2) Perilaku berupa mudah mendapat kecelakaan, kecanduan alkohol, penyalahgunaan obat, luapan emosional, makan atau merokok berlebihan, perilaku impulsif, tertawa gugup.

3) Kognitif berupa ketidakmampuan untuk membuat keputusan yang masuk akal, daya konsentrasi rendah, kurang perhatian, sangat sensitif terhadap kritik, hambatan mental.

4) Fisiologis berupa kandungan glukosa darah meningkat, denyut jantung dan tekanan darah meningkat, mulut kering, berkeringat, bola mata melebar, panas dingin.

5) Organisasi berupa tingginya absensi, omset dan produktivitas rendah, terasing dari mitra kerja, serta komitmen organisasi dan loyalitas berkurang.

2.4. Kepuasan Kerja (Job Satisfaction)

Dalam dunia kerja, kepuasan kerja merupakan hal yang sangat penting bagi setiap karyawan. Seorang karyawan yang merasa puas dalam pekerjaannya akan

(11)

membawa dampak yang positif dalam banyak hal, salah satunya adalah menurunnya keinginan untuk meninggalkan perusahaaan.

Prihatsanti (2010) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai indikator dasar keberhasilan individu di tempat kerja, yang telah dicapai dalam mempertahankan hubungan antara dirinya dan lingkungan kerjanya. Kepuasan kerja merupakan sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan dan prestasi kerja. Kepuasan kerja karyawan harus diciptakan dengan baik supaya moral kerja, dedikasi, kecintaan dan kedisiplinan karyawan meningkat. Kepuasan kerja merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi kepuasan hidup karena sebagian besar waktu manusia dihabiskan di tempat kerja.

Menurut Robbins (2003), kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan, dimana para karyawan memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja merupakan suatu sikap umum seseorang individu terhadap pekerjaannya, selisih antara banyaknya ganjaran yang diterima seorang karyawan dengan banyaknya yang mereka yakini seharusnya mereka terima. Penilaian (assesment) seorang karyawan terhadap puas atau tidak puas akan pekerjaannya merupakan penjumlahan dari sejumlah unsur pekerjaaan yang diskrit (terbedakan atau terpisah satu sama lain).

Variabel kepuasan kerja dapat diukur dengan menggunakan instrumen JDI (Job Descriptive Index) yang dikembangkan oleh Robbins (2006). Instrumen ini mengukur lima dimensi kepuasan karyawan meliputi:

(12)

1) Pekerjaan merupakan suatu kondisi atau tingkat dimana tugas dan pekerjaan itu dianggap menarik dan memberikan peluang untuk belajar dan menerima tanggung jawab. Isi dari pekerjaan itu sendiri merupakan sumber utama kepuasan kerja.

2) Penggajian adalah jumlah gaji atau upah yang diterima dan kelayakan imbalan tersebut. Upah dan gaji diakui memiliki hubungan signifikan, dan merupakan faktor multidimensional dalam kepuasan kerja. Uang tidak hanya membantu orang memenuhi kebutuhan dasarnya, tetapi merupakan instrumen dalam menyediakan tingkat kebutuhan. Pekerja sering melihat penggajian sebagai refleksi cara pandang manajemen terhadap kontribusi pekerja kepada organisasi. 3) Pengembangan karir dan promosi merupakan suatu peluang yang ada untuk

mencapai kemajuan dalam jabatan atau kesempatan untuk maju dan mengembangkan potensi diri dalam melaksanakan pekerjaan yang meliputi: mendapat kesempatan pelatihan, kesempatan pendidikan, dan dipromosikan ketika berhasil dalam suatu pekerjaan khusus. Peluang promosi mempunyai dampak yang berbeda terhadap kepuasan kerja dikarenakan promosi mengambil bentuk yang berbeda dan jenis imbalan yang menyertainya.

4) Supervisi adalah kemampuan seseorang dalam memberikan supervisi, panutan, dan perhatian kepada karyawannya. Supervisi ini merupakan hal yang sangat penting dalam kepuasan kerja. Ada dua dimensi yang dipertimbangkan yaitu gaya supervisi dan keikutsertaan anggota dalam mengambil keputusan.

(13)

5) Rekan kerja dan kelompok kerja merupakan suatu kondisi dimana para rekan sekerja bersikap saling bersahabat, kompeten, dan saling membantu. Secara alamiah kelompok kerja akan mempengaruhi kepuasan kerja. Kerjasama kelompok yang baik merupakan sumber kepuasan kerja bagi setiap individu.

Robbins (2006) menguraikan ketidakpuasan kerja pada karyawan dapat diungkapkan dalam berbagai cara misalnya dengan meninggalkan pekerjaannya, mengeluh, membangkang, mencuri barang milik organisasi, dan menghindari sebagian tanggung jawab pekerjaan. Ada empat cara karyawan mengungkapkan ketidakpuasan yaitu:

1) Keluar (exit), yaitu meninggalkan pekerjaan termasuk mencari pekerjaan lain. 2) Menyuarakan (voice), yaitu memberikan saran perbaikan dan mendiskusikan

masalah dengan atasan untuk memperbaiki kondisi.

3) Mengabaikan (neglect), yaitu sikap dengan membiarkan keadaan menjadi lebih buruk seperti sering absen atau semakin sering membuat kesalahan.

4) Kesetiaan (loyalty), yaitu menunggu secara pasif sampai kondisi menjadi lebih baik termasuk membela organisasi terhadap kritik dari luar.

Selanjutnya terdapat beberapa faktor penting yang mendorong kepuasan kerja yaitu kerja yang secara mental menantang, ganjaran yang pantas, kondisi kerja yang mendukung dan rekan kerja yang mendukung serta kesesuaian pribadi dengan pekerjaan. Adapun pengaruh faktor tersebut adalah sebagai berikut:

1) Pekerjaan yang secara mental menantang, cenderung lebih disukai karyawan karena akan memberikan kesempatan untuk menggunakan ketrampilan dan

(14)

kemampuan mereka dan menawarkan beragam tugas, kebebasan, dan umpan balik mereka mengerjakan sesuatu. Sebaliknya pekerjaan yang kurang menantang menciptakan kebosanan, tetapi terlalu banyak menantang menciptakan frustasi dan perasaan gagal, dan pada kondisi tantangan yang sedang, kebanyakan karyawan akan mengalami kesenangan dan kepuasan. 2) Ganjaran yang pantas, merupakan keinginan karyawan akan sistem upah dan

kebijakan promosi yang mereka persepsikan sebagai adil, tidak meragukan dan segaris dengan pengharapan mereka. Kunci yang menautkan upah dengan kepuasan bukanlah jumlah mutlak yang dibayarkan, lebih penting adalah persepsi keadilan.

3) Kondisi kerja dan rekan kerja yang mendukung, diartikan sebagai kepedulian karyawan akan lingkungan kerja baik untuk kenyamanan pribadi maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas dengan baik. Secara umum kondisi lingkungan biasanya tidak terlalu berpengaruh terhadap kepuasan kerja selama kondisi kerja tersebut tidak terlalu buruk.

4) Kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan, unsur ini cukup berperan dalam menentukan kepuasan kerja, yaitu bahwa karyawan cenderung akan merasa puas apabila ada kecocokan antara kepribadian dengan pekerjaannya.

Individu yang merasa terpuaskan dengan pekerjaannya cenderung untuk bertahan dalam organisasi. Sedangkan individu yang merasa kurang terpuaskan dengan pekerjaannya, akan memilih untuk keluar dan organisasi. Kepuasan kerja yang dirasakan dapat mempengaruhi pemikiran seseorang untuk keluar ataukah akan

(15)

tetap bertahan. Evaluasi terhadap berbagai alternatif pekerjaan, pada akhirnya akan mewujudkan terjadinya turnover, karena individu yang memilih keluar dari organisasi akan mengharapkan hasil yang lebih memuaskan di tempat lain kerja.

Sedangkan menurut Mathis dan Jackson (2001), kepuasan kerja adalah suatu proses masuk dan keluarnya (turnover) karyawan yang berhubungan dengan ketidakpuasan kerja. Turnover yang tinggi pada suatu organisasi biasanya banyak disebabkan oleh ketidakpuasan karyawannya. Azemm (2010), berpendapat bahwa semakin tinggi kepuasan kerja yang dirasakan karyawan, semakin rendah keinginan untuk keluar dari organisasi. Begitu dengan sebaliknya, semakin rendah kepuasan kerja karyawan maka semakin tinggi keinginan karyawan untuk keluar dari organisasi.

Dalam hubungannya dengan stres, kurangnya kepuasan bisa menjadi sumber stres, sementara kepuasan yang tinggi dapat meringankan efek stres (Bhatti et al., 2011). Stres kerja mempunyai hubungan negatif dan signifikan dengan kepuasan kerja, karena stres menjadi masalah utama dalam bekerja yang sangat berhubungan dengan kepuasan kerja karyawan (Jehangir, 2011). Iqbal dan Waseem (2012) berpendapat bahwa terjadi hubungan negatif dan signifikan antara stres kerja dengan kepuasan kerja, ketika stres kerja mengalami peningkatan maka akan berdampak pada turunnya kepuasan kerja.

Referensi

Dokumen terkait

Subjek penelitian ini adalah siswa kelas IV Sekolah Dasar Negeri 007 Kampung Baru Kecamatan Gunung Toar Kabupaten Kuansing dengan jumlah siswa 23 orang dan objek dalam

Dengan memberikan ruang yang lebih besar bagi para pengguna sumberdaya untuk bersuara dan menyatakan pendapat tentang bagaimana sumberdaya dapat digunakan dan

karena pada bulan Juni kondisi atmosfer berada pada kelas A yaitu sangat tidak stabil, yaitu ditandai dengan intensitas mataharinya sangat kuat, sehingga gas CO 2

Berdasarkan hasil wawancara oleh peneliti bahwa produktivitas bukan hanya dilihat dari aspek ratio input dan output berkas tetapi dilihat dari kedisiplinan para

Persyaratan infrastruktur konstruksi dibuat untuk mengantisipasi seluruh proses penyiapan manufaktur, fabrikasi, peralatan konstruksi dan sumber daya manusia yang diperlukan

NO DESCRIPTION DESCRIPTION LOCATION LOCATION CUSTOMER CUSTOMER ADDRESS ADDRESS DATE DATE VALUE VALUE IDR.. IDR

Artikel ini memaparkan hasil kegiatan pengembangan untuk pelatihan, pembinaan dan pendampingan pada kelompok ibu-ibu di daerah Dayeuhkolot, Manggahang dan Banjaran,

mendatangkan keuntungan, sekaligus menjadi ajang promosi wisata makanan tradisional yang mampu mendorong dan menjadi daya tarik Wisatawan berkunjung ke Kota