Dr. I Gde Nyoman (Komang) Merthayasa M.Eng. Program Studi Teknik Fisika – ITB
Jln. Ganesha no 10, Bandung 40132 e‐mail : ignmerth@tf.itb.ac.id; komang_merthayasa@yahoo.com
Latar
belakang
Sudah umum diketahui bahwa, Bangsa Indonesia terbentuk dari berbagai suku, ras, agama, bahasa, dan budaya, yang mendiami ribuan pulau besar dan kecil yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Kekayaan Indonesia diantaranya berupa beraneka budaya etnis, disamping beraneka jenis flora/fauna, serta berbagai jenis sumber daya alam/mineral. Dengan kenyataan ini Indonesia sudah memiliki modal yang cukup memadai untuk dapat bersaing di kancah regional maupun internasional. Namun, sampai saat ini modal yang dimiliki tersebut belum secara maksimal dapat dimanfaatkan karena karakter, kepercayaan diri dan jati diri bangsa belum dapat diwujudkan secara kokoh dan tangguh.
Upaya untuk meningkatan kesadaran dan kemauan dari seluruh anak bangsa atas kekayaan warisan budaya Indonesia sudah semestinya perlu dilakukan secara simultan, terintegrasi, bersinergi, berjenjang dan berkelanjutan agar dapat menyelamatkan, melestarikan, memanfaatkan dan meningkatkan kualitas ‘local genius’ yang terkandung didalamnya demi meningkatnya karakter, kepercayaan diri dan jati diri yang berujung kepada peningkatan ‘quality of life’ dan kesejahteraan seluruh anak bangsa. Pada Rencana Strategis Departemen Kebudayaan dan Pariwisata 2005‐2009 diungkapkan : persoalan dalam pengembangan kebudayaan saat ini adalah bagaimana membangun karakter bangsa (nation and character building), serta bagaimana setiap warganegara diberi akses untuk saling mengenal kebudayaan yang berbeda agar dapat hidup berdampingan secara damai sebagaimana yang diamanatkan oleh para pendiri bangsa (the founding fathers) dalam mukadimah Undang‐Undang Dasar 1945. Salah satu prioritas pembangunan kebudayaan diarahkan untuk MENGEMBANGKAN KEBUDAYAAN YANG BERLANDASKAN PADA NILAI‐NILAI LUHUR dengan kebijakan yang diarahkan untuk: revitalisasi nilai‐nilai kearifan lokal sebagai salah satu dasar pengembangan etika pergaulan sosial untuk memperkuat identitas nasional. Salah satu sasaran pengembangan kebudayaan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004 – 2009 adalah: Meningkatnya pelestarian dan pengembangan kekayaan budaya. Selanjutnya secara lebih terfokus sasaran kebudayaan yang telah ditetapkan dalam RPJM tersebut salah satunya adalah : Terwujudnya industri dan karya budaya yang mengacu pada budaya bangsa, dan perlindungan hukum individual dan komunal.
Program pembangunan kebudayaan dan pariwisata yang akan dilaksanakan oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata di tahun 2005 – 2009 diantaranya adalah :
o Program Pengembangan Nilai Budaya : Program ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan apresiasi masyarakat Indonesia atas nilai‐nilai budaya yang tumbuh di seluruh daerah sebagai dasar dalam pengembangan yang berwawasan kebudayaan, antara lain : Pelaksanaaan Kebijakan Pengembangan Nilai Budaya di seluruh wilayah Indonesia dan Pendukungan pengembangan nilai budaya daerah.
o Program Pengelolaan Keragaman Budaya : Program ini terutama ditujukan untuk meningkatkan peran‐serta dan apresiasi masyarakat di bidang perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan seni dan film, antara lain melalui kegiatan : Pengembangan dan Pelestarian Kesenian, Pendukungan pelaksanaan festival/peristiwa budaya daerah dan Pendukungan pengembangan keragaman budaya daerah.
o Program Pengelolaan Kekayaan Budaya : Program ini bertujuan untuk meningkatkan upaya‐upaya penanaman nilai‐nilai kekayaan budaya Indonesia dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, melalui pelaksanaan kegiatan seperti : Pengembangan Pemahaman Atas Kekayaan Budaya dan Pendukungan pengembangan keragaman budaya daerah.
o Program Pengembangan Kemitraan : Program ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas sumber daya dan kerjasama antar lembaga guna mendukung pembangunan kebudayaan dan pariwisata nasional, melalui pelaksanaan kegiatan seperti : Pengembangan kebijakan SDM Kebudayaan dan pariwisata nasional, Peningkatan profesionalisme dan daya saing SDM kebudayaan dan pariwisata, Peningkatan penelitian dan pengembangan kebudayaan dan pariwisata dan Pendukungan pengembangan kapasitas pengelolaan kebudayaan dan kepariwisataan daerah.
Disisi lain, perlu juga diungkapkan tentang Visi ITB yaitu : ITB menjadi lembaga pendidikan tinggi dan pusat pengembangan sains, teknologi dan seni yang unggul, handal dan bermartabat di dunia, yang bersama dengan lembaga terkemuka bangsa menghantarkan masyarakat Indonesia menjadi bangsa yang bersatu, berdaulat dan sejahtera, dan juga Misi ITB yaitu : Memandu perkembangan dan perubahan yang dilakukan oleh masyarakat, dengan jalan melaksanakan tridarma berupa penelitian, pendidikan dan pengabdian masyarakat dengan cara yang inovatif dan bermutu tinggi, serta tanggap terhadap perubahan global dan tantangan lokal.
Dengan latar belakang Visi dan Misi ITB serta Visi dan Misi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, serta program‐program pokok yang dituangkan di dalam Rencana Strategis Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, maka disusunlah suatu ‘research road‐map’ ini dengan judul : Peningkatan Kualitas Akustik Musik Tradisional Indonesia, untuk meningkatkan ‘prideness’, ‘confidence’, ‘dignity’ dan kesejahteraan bangsa.
Pendahuluan
Kekayaan budaya yang bermacam ragam yang di miliki Indonesia, diantaranya dengan adanya bahasa daerah yang berbeda‐beda, salah satunya juga dicirikan dengan adanya berbagai jenis seni musik tradisional yang memiliki keunikan tersendiri. Meskipun memiliki karakteristik tradisional, namun di dalam perkembangannya beberapa jenis musik ini sudah cukup dikenal di mancanegara, bahkan saat inipun sudah ada group‐group musik tradisional yang berasal dari luar negeri. Misalnya musik gamelan Bali, musik Gamelan Jawa, Gamelan degung/sunda, angklung, wayang kulit, gondang Batak, kolintang dan sebagainya. Disamping itu, berbagai jenis musik tradisional inipun sudah cukup sering dipagelarkan di berbagai gedung konser (concert hall) yang cukup terkenal di mancanegara. Namun sampai saat ini, tidak ada satupun dari musik tradisional Indonesia yang memiliki kualitas seni musik adi luhung ini yang memiliki ‘rumah’ berupa gedung konser di daerahnya masing‐masing.
Bagi penonton/pendengar, hal terpenting yang diinginkannya adalah kondisi medan akustik yang optimal dari hasil dari pagelaran musik tradisional ini. Untuk mencapai kondisi yang optimal dari medan suara inilah peranan ilmu & teknologi akustik semestinya perlu dilibatkan. Secara umum dapat dijelaskan bahwa medan suara yang diterima oleh penonton dipengaruhi oleh faktor spektral,
temporal dan spatial dari medan suara. Untuk memperoleh besaran parameter akustik medan suara
dari musik tradisional ini, dapat dilakukan dengan melakukan serangkaian penelitian psycho & physio‐ akustik. Hasil response subjektif dan objektif tersebut dapat digunakan untuk menentukan kondisi medan suara optimum yang diharapkan oleh umumnya penonton di dalam suatu gedung konser. Dengan mengubah besaran parameter ini menjadi besaran dimensi arsitektur, maka gedung konser yang ‘dedicated’ untuk jenis musik tradisional tertentu dapat dilakukan. Hal ini berarti perancangan arsitektur gedung konser tersebut semestinya dapat dilakukan dengan memanfaatkan besaran parameter akustik optimum dari medan suara, yang diperoleh dari penelitian tersebut. Tanpa memanfaatkan parameter akustik optimum ini, maka pagelaran musik tradisional tersebut tidak akan dapat memberikan persepsi yang maksimal tentang kualitas seni musik tradisional ini.
Disamping faktor ruang gedung konser itu sendiri, karakteristik akustik dari sumber suara, yaitu alat musiknya sendiri, juga memiliki peran yang sangat penting, disamping musik hasil gubahan senimannya. Sampai saat ini dapat dikatakan bahwa belum ada standar karakteristik akustik dari masing2 alat musik tradisional Indonesia ini. Dengan tiadanya standar akustik ini (sesuai dengan faktor spektral, temporal dan spatialnya) menyebabkan terjadinya kesulitan untuk menentukan kwalitas akustik musik tradisional hasil gubahan seniman itu. Hal ini juga menyebabkan terjadinya kesulitan untuk menentukan besaran optimum parameter medan suara itu sendiri, mengingat karakteristik sinyal akustik dari musik itu sendiri sangat menentukan besaran parameter akustik optimum tersebut.
Sampai saat ini, pada umumnya karakteristik akustik dari alat musik tradisional ini dan juga proses pembuatan alat musik itu sendiri sangat tergantung kepada kemampuan pendengaran, pengetahuan dan pengalaman para pembuatnya (empu). Pengetahuan, pemahaman dan penilaian subjektif tersebut, diturunkan secara tradisional dari generasi pendahulunya, tanpa disertai dokumentasi teknis yang memadai dan bersifat objektif (terutama kalau ditinjau dari sisi teknis & karakteristik fisikanya). Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian dan pengkajian yang bersifat integral dan sinergis, tentang karakteristik akustik alat musik itu sendiri beserta proses pembuatannya, struktur material, karakteristik material dan juga struktur pendukungnya. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat dihasilkan suatu standar dan paten yang semestinya dimiliki oleh masyarakat sendiri (dalam hal ini ‘mungkin’ dapat dikuasai atau dimiliki oleh negara c.q. Pemerintah/pemerintah daerah).
Di sisi pelaksanaan pagelarannya sendiri, set‐up panggung dan penempatan posisi alat musik itu sendiri belum dirancang dengan memanfaatkan karakteristik parameter akustik dan juga performansi visual yang optimum. Tentunya dengan merancang set‐up dan penempatan yang tepat dapat meningkatkan ‘preferensi’ medan suara yang diterima oleh penonton. Dalam hal inipun, ‘preferensi’ yang dituntut penonton/pendengar dapat diperoleh dengan melakukan penelitian yang berdasarkan kepada methoda psiko & physio‐akustik.
Objektif:
Sebagai langkah awal dari program ini, perlu dilakukan identifikasi yang lengkap tentang jenis musik tradisional dari masing‐masing daerah. Identifikasi ini dilakukan bukan hanya kepada jenis musik tradisional yang sudah cukup mapan dipentas nasional maupun internasional. Peralatan musik tradisional pada umumnya dibuat dengan berpedoman kepada ‘local genius’ yang umumnya dikaitkan dengan adat istiadat dan falsafah kehidupan di daerah itu sendiri. Penelusuran sejarah keberadaan alat musiknya perlu dilakukan sejalan dengan penggalian keterkaitannya dengan aspek kehidupan dan sejarah dari masyarakatnya.
Selanjutnya dilakukan pengkajian aspek fisika dari masing‐masing alat musik tradisional ini, dikaitkan dengan aspek pembuatannya. Untuk peralatan musik yang terbuat dari metal, seperti gong, bonang dan sebagainya, proses metalurgi pembuatan alat tersebut perlu dielaborasi secara mendalam. Sementara untuk peralatan musik yang terbuat dari bahan non‐metal, pengkajian dari sisi struktur dan juga susunan elemen‐elemen mekanis yang mendasarinya perlu ditelaah secara mendalam terutama jika dikaitkan dengan karakteristik akustik yang dihasilkannya. Selanjutnya, proses penalaan yang melibatkan kepakaran dari ‘empu’ pembuatnya juga perlu dikaji dengan memanfaatkan konsep pengujian akustik dari sisi spektral, temporal dan spatialnya. Disamping itu kajian tentang konsep ‘judgement’ yang dilakukan oleh sang ‘empu’ juga perlu dilakukan, mengingat aspek subjektif yang mendasarinya disamping akibat kelangkaan literatur pendukungnya. Dengan kelengkapan kajian/penelitian tersebut maka penyusunan konsep standarisasi alat musik tradisional ini dapat
dilakukan, disamping itu, perlu juga dituangkan ke dalam dokumen ‘paten milik masyarakat’ untuk alat musik tradisional tersebut.
Mengingat adanya kenyataan bahwa kondisi medan akustik yang baik bagi ‘presentasi’ jenis musik tertentu sangat ditentukan oleh karateristik sinyal dari gubahan musik itu sendiri, maka penelitian atas karakteristik akustik secara lengkap dari gubahan musik hasil dari kreativitas senimannya perlu dilakukan. Sebagai gambaran, meskipun alat‐alat musik yang digunakan sama, namun kreativitas dari seniman dapat menghasilkan gubahan musik yang berbeda‐beda, misalnya jika dilihat dari sisi temponya. Hal ini perlu dipahami mengingat jika musik itu dimainkan di dalam ruang tertutup misalnya auditorium, ‘resital hall’, ataupun ‘concert hall’, maka karakteristik sinyal dari gubahan musik tersebut sangat menentukan kondisi akustik optimal yang dapat didengarkan oleh penontonnya.
Objektif selanjutnya adalah mengidentifikasi kondisi akustik optimum sesuai dengan ’preferensi’ dari pendengarnya. Sebelumnya perlu untuk dijelaskan bahwa kondisi medan akustik yang dialami oleh pendengar terdiri dari penggabungan empat parameter utama, yaitu :
1. Tingkat pendengaran (Listening Level), biasanya besaran ini dinyatakan dengan besaran dBA.
2. Waktu tunda pantulan awal (Initial Delay Time), yaitu waktu tunda yang terjadi antara suara langsung dari sumber ke pendengar dan suara pantulan,
3. Waktu dengung subsequent (Sub‐sequent Reverberation Time), yaitu waktu dengung yang berhubungan satu‐satu dengan posisi sumber suara dan penerima dan
4. Korelasi silang sinyal antar kedua telinga (Inter‐Aural Cross Correlation, IACC), yaitu besaran yang menyatakan adanya perbedaan sinyal suara yang diterima di telinga kiri dan kanan pendengar. Tiga parameter utama dari 1 sampai 3 di atas adalah parameter yang bersifat temporal dan besaran ini dapat diukur dengan menggunakan satu channel pengukuran saja, misalnya menggunakan sound level
meter atau frequency analyzer 1 channel. Disamping itu, ketiga parameter tersebut memiliki karakteristik yang juga sangat tergantung kepada frekwensi. Sementara parameter utama yang keempat adalah besaran yang bersifat spatial dan hanya dapat diukur dengan menggunakan instrumen dual
channel dengan memanfaatkan dummy head. Hal ini disebabkan karena manusia memiliki dua buah telinga yang posisinya sedemikian rupa sehingga dapat mendeteksi adanya ruang dan juga dapat melokalisasikan posisi dari sumber suara. Adanya ke‐empat parameter utama akustik ini, bukan hanya berlaku bagi medan suara di dalam ruangan (indoor) tetapi juga berlaku untuk sistem tata suara di luar ruangan (outdoor). Dengan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa disisi sistem pendengaran manusia memiliki 4 dimensi yang sama dengan sistem visual, namun sistem pendengaran memiliki 3 dimensi waktu dan satu dimensi ruang. Sementara pada sistem visual manusia memiliki 3 dimensi yang menyatakan karakteristik ruang dan satu dimensi tentang waktu.
Berkaitan dengan penjelasan ringkas diatas, maka objektif selanjutnya dari program ini adalah menentukan besaran optimum dari masing‐masing empat parameter akustik medan suara tersebut. Penentuan parameter optimum ini akan melibatkan proses penelitian yang menerapkan methoda psiko dan phisio‐akustik, dimana response subjektif dan objektif dari para subjek pendengar yang diberi presentasi variasi parameter medan suara mesti dianalisis dengan teliti. Disamping melibatkan subjek, penelitian ini juga memerlukan bantuan simulasi medan suara di dalam laboratorium yang melibatkan sarana peralatan yang memiliki ketelitian tinggi.
Objektif utama dari program ini adalah dihasilkannya rancangan Gedung Konser, atau paling tidak berupa gedung rehearsal yang mungkin berbentuk Gedung Kesenian yang secara akustik memadai untuk pagelaran seni musik tradisional tersebut. Hal ini akan dibahas pada paragraph tersendiri.
Aktivitas
Untuk melaksanakan program ‘research road‐map’ ini, dengan memanfaatkan hasil dari penelitian awal yang sudah berhasil diselesaikan dan juga yang sedang dilaksanakan, maka perlu dilakukan sosialisasi dan meningkatkan ‘linkage’ ke seluruh ‘stake holder’ dari seni musik Tradisional Indonesia ini. Dengan memanfaatkan berbagai media, dari media cetak/koran sampai ke internet, dan juga melalui presentasi di seminar‐seminar, kongres maupun saresehan, maka pemahaman atas diperlukannya ‘perhatian‐ attention’ yang memadai bagi peningkatan kualitas musik tradisional ini dapat dilakukan. Hal ini perlu dilakukan mengingat banyaknya ‘salah kaprah’ yang terjadi di dalam pelaksanaan seni pertunjukan musik tradisional ini. ‘Salah kaprah’ yang terjadi disebabkan karena adanya pemahaman yang keliru atas pemanfaatan teknologi sistem tata suara dan juga belum membudayanya ‘konsentrasi perhatian’ ketika mendengarkan pertunjukan seni musik tradisional. Disamping itu, kondisi pelaksanaan pertunjukan seni musik tradisional inipun tidak terlepas dari adanya berbagai macam gangguan yang menyebabkan ‘konsentrasi perhatian dan mendengarkan’ musik tradisional ini tidak dapat tercapai secara optimal. Langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi sumber daya manusia yang memiliki pemahaman yang memadai di bidangnya masing‐masing, yang dapat diajak bekerjasama di dalam upaya peningkatan kualitas musik tradisional ini. Berbagai kepakaran diperlukan dan dapat berkontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga budaya kualitas seni musik tradisional ini dapat berkembang dengan pesat. ‘Best practices’ dari bangsa Jepang yang secara konsisten dan berkelanjutan dapat meningkatkan kualitas seni musik tradisionalnya, dapat dijadikan sebagai sarana ‘benchmarking’ untuk menuntun pelaksanaan program ini. Keterlibatan berbagai jenis teknologi mutakhir dari teknologi yang paling dasar sampai kepada teknologi ‘signal processing’ dan simulasi komputer mutakhir, perlu dimanfaatkan untuk meningkatkan ketelitian, efisiensi dan efektivitas dari aktivitas‐aktivitas pelaksanaan program ini. Disamping itu, pelaksanaan kegiatan juga perlu didasari dengan paradigma transparansi, terlacak dan teraudit, agar dapat menghilangkan berbagai macam kendala yang bersifat subjektif dan sektoral.
Aktivitas selanjutnya adalah melakukan identifikasi kebutuhan dan manfaat dari masing‐masing
daerah atas potensinya untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas keunikan dan kekhasan
dari budaya daerahnya masing‐masing jika dikaitkan dengan seni musik tradisionalnya. Hal ini perlu dilakukan mengingat dengan diimplementasikannya otonomi daerah maka potensi keuangan dan penerapan skala prioritas dari masing‐masing daerah tentunya akan berbeda‐beda. Dari sisi potensi seni musik tradisionalnya, maka secara makro mungkin dapat dikatakan bahwa daerah Jakarta, Bali, DIY, Jawa Tengah (Solo), Jawa Barat dan Sumatera Barat memiliki potensi pengembangan dan peningkatan kualitas musik tradisionalnya yang sangat tinggi. Hal ini ditunjukkan dari adanya tuntutan dan perkembangan aktivitas dari para seniman dan budayawan pendukung seni musik itu sendiri, disamping karena tuntutan identitas daerahnya sendiri. Meskipun diperlukan ‘feasibility study’ yang lebih mendalam dan juga teliti dari semua aspek, kebutuhan akan sarana Gedung Konser di daerah‐daerah tersebut dapat dikatakan sangat ‘urgen’ dan selanjutnya dapat dijadikan sebagai salah satu acuan akan keberhasilan dari program peningkatan kualitas musik tradisional ini. Bagi daerah lainnya, tuntutannya mungkin tidak perlu sampai merancang Gedung Konser namun melakukan renovasi dan revitalisasi terhadap Gedung kesenian yang dimilikinya sehingga secara akustik cukup memadai bagi pagelaran seni musik tradisional daerahnya. Sebagai contoh, saat ini proses perancangan renovasi Gedung Sultan Suriansyah di Banjarmasin sedang dilakukan, yang ditujukan untuk meningkatkan ‘perhatian’ masyarakatnya terhadap budaya seni pertunjukan di daerah tersebut. Sampai saat, banyak gedung kesenian diberbagai daerah yang dibangun tanpa disertai konsep perancangan akustika arsitektur yang
memadai, sehingga hampir semua pertunjukan seni musik dan tari di Gedung Kesenian tersebut tidak mampu meningkatkan ‘perhatian’ dan ‘ketertarikan’ masyarakat untuk memberikan apresiasinya. Kemudian perlu dilakukan ‘survey’ lapangan berkaitan dengan pengujian/penelitian fisika dari seluruh komponen penunjang seni musik Tradisional ini, meliputi sarana peralatannya, lingkungan ‘venue’ tempat latihan dan juga presentasinya (misalnya keberadaan Gedung Kesenian, pendopo, bale banjar, atau ampitheatre misalnya), termasuk juga pengujian baik psiko‐akustik maupun physio‐akustik yang melibatkan para subjek di lingkungan masyarakatnya. Pengujian in‐situ bagi presentasi alami dari musik tradisional ini secara umum dapat dianggap lebih murah dari sisi finansial dibandingkan dengan mendatangkan para seniman tersebut ke pusat penelitian. Pada sisi aktivitas ini, keterlibatan perguruan tinggi yang berada di daerah tersebut sangat diperlukan, demikian juga dari jajaran pemerintah daerahnya. Keterlibatan perguruan tinggi dan jajaran pemerintah daerah juga diperlukan untuk melaksanakan ‘feasibility study’ dari berbagai aspek tentang potensi pengembangan dan peningkatan kualitas seni ini serta prospek pembangunan sarana (bangunan dan sarana pendukungnya) dan prasarana (kebijakan dan rencana pengembangan jangka panjangnya). Sementara itu di perguruan tinggi perlu dikembangkan dan juga difasilitasi secara serious dan konsisten pembentukan unit kesenian daerah yang merupakan sarana berkreasi dan berinovasi bagi para mahasiswa/I, sebagai salah satu bentuk pengembangan identitas institusi dan juga daerahnya. Untuk dapat meningkatkan ‘prideness’
dan ‘confidency’ para mahasiswa yang terlibat di bidang seni musik tradisional ini, maka bagi institusi
terkait di tingkat pusat perlu untuk menyelenggarakan festival musik tradisional bagi unit kesenian dari berbagai perguruan tinggi. Dengan adanya berbagai penghargaan riil dari pemerintah, baik itu pemerintah pusat maupun daerah, maka lambat laun tingkat ‘prideness’ dan ‘confidency’ dari masyarakat umum akan lebih meningkat lagi, sehingga ‘perhatian’ mereka atas warisan adi luhung nenek moyang mereka akan lebih meningkat lagi.
Setelah dilakukannya ‘survey in situ’, maka seluruh data kemudian diolah dan juga disimulasikan di dalam laboratorium, sebagai upaya untuk meningkatkan keobjektifan ‘finding’ dari masing‐masing jenis musik tersebut. Di Laboratorium juga perlu dilakukan pengujian dan evaluasi baik psiko‐ maupun phisio akustik melalui simulasi medan suara yang juga melibatkan subjek. Hasil analisa seluruh data mudian dimanfaatkan untuk menentukan kondisi medan suara optimum yang memiliki ‘preferensi’ tertinggi dari masing‐masing parameter akustik medan suara itu sendiri. Selanjutnya, sebagai puncak aktivitas program ini adalah dirancangnya suatu Concert Hall yang ‘dedicated’ untuk musik tradisional Indonesia’, dengan cara menterjemahkan besaran dari masing‐masing parameter akustik yang diperoleh dari penelitian ke dalam parameter yang umum digunakan pada bidang arsitektur. Jika dapat diimplementasikan secara nyata, maka secara meyakinkan akan dihasilkan suatu sarana pertunjukkan musik tradisional yang bersifat unik dan khas sehingga setiap pengunjung/penonton akan dapat merasakan dan juga menyimpulkan bahwa mereka tidak akan dapat mendengarkan musik tradisional dengan kualitas yang lebih tinggi dari yang mereka dengarkan di dalam gedung itu.
Mengingat keunikan, kekhasan dan juga tuntutan kualitas dari sarana Gedung Konser ini, disamping juga karena karakteristiknya yang berupa landmark, monumental, culture based, advanced technology, prideness, confidence dan juga civilized, disamping karena usianya yang umumnya lama dan juga biayanya yang mahal, maka sangat perlu dikembangkan suatu konsep manajemen ‘sustainability’ yang cukup rinci dan teliti, sehingga utilisasi sarana ini dapat dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan dari prideness, confidence dan dignity bangsa seutuhnya.
Konsep
Akustika
Arsitektur
Gedung
Konser
Untuk melengkapi pemahaman tentang kondisi akustik Gedung Konser khususnya dan juga kondisi medan akustik di dalam suatu ruangan tertutup pada umumnya, maka berikut ini akan diuraikan secara ringkas konsep fisika yang mendasarinya. Mekanisme terjadinya medan suara di dalam ruang tertutup digambarkan secara sederhana pada Gambar 1. di bawah ini.
Gambar 1. Komponen utama terjadinya suara
Pada Gambar 1, digambarkan bahwa terjadinya suara itu menyangkut 3 komponen utama yaitu sumber suara, ruangan/medium dan penerima. Jika salah satu dari ketiga komponen utama tersebut tidak ada, maka suara pun tidak ada. Ketiga komponen utama akustik ini memiliki karakteristik yang dapat dinilai dan diukur baik itu secara objektif maupun secara subjektif. Penilaian objektif tentunya berdasarkan kepada besaran‐besaran yang bersifat objektif yaitu besaran‐besaran fisika, misalnya besaran ‘sound pressure level’ dari sumber suara, besaran waktu dengung ruangan atau juga ‘directivity’ dari mikrophone (dalam hal ini mikrophone bertindak sebagai penerima suara). Sementara itu penilaian subjektif pada umumnya berdasarkan kepada ‘subjective preference’ dari orang yang menilainya, meskipun penilaian yang dilakukan tersebut sering juga didasarkan kepada besaran‐besaran fisika, misalnya seseorang lebih menyukai ‘speaker A’ dibandingkan dengan ‘speaker B’ akibat adanya perbedaan karakteristik frekwensi atau juga perbedaan karakteristik dinamiknya.
Impulse Response
Salah satu ‘tool’ yang cukup baik dan memadai untuk melakukan ‘verifikasi’ besaran ke‐empat parameter akustik seperti yang dijelaskan sebelumnya adalah impulse response. Untuk kondisi akustik di dalam ruangan, fenomenanya dapat dijelaskan dengan menggunakan Gambar 2 berikut ini.
Di dalam setiap ruangan, maka sinyal suara yang dihasilkan oleh sumber suara akan diterima oleh pendengar atau penerima suara, setelah sinyal suara tersebut menjalar di dalam ruangan. Sinyal suara ini akan mengalami semua proses penjalaran gelombang mekanis di dalam ruangan seperti pantulan, penyerapan dan transmisi oleh permukaan ruangan disamping juga pembelokan gelombang suara oleh permukaan tertentu. Pada posisi penerima, sinyal suara dari sumber suara tersebut diterima dalam bentuk suara langsung dinyatakan dengan L, suara pantulan yang dinyatakan dengan P dan juga suara dengung yang dinyatakan dengan D. Akibat sifat penjalaran suara yang berupa penjalaran gelombang mekanis dengan kecepatan penjalaran yang jauh‐jauh lebih lambat dibandingkan dengan kecepatan
cahaya, maka pada penerima ketiga jenis suara tadi akan diterima dengan susunan waktu yang berbeda‐ beda.
Gambar 2. Terjadinya suara langsung (L), pantulan awal (P) dan dengung (D) di dalam suatu ruangan
Jika sinyal dari sumber suara berupa sinyal impulse yaitu sinyal dengan daya yang cukup besar —
idealnya secara matematis dayanya tidak berhingga‐‐ dan memiliki waktu kejadian yang sangat pendek –idealnya waktu kejadiannya mendekati nol detik– maka pada penerima akan diterima urutan sinyal impulse yang berjumlah tidak berhingga. Sekuensial sinyal inilah yang disebut dengan ‘response impulse’. Pada masa lalu, sebagai sinyal pemicu impulse digunakan letusan balon atau ledakan pistol kosong, tetapi pada saat ini dengan perkembangan teknologi ‘digital signal processing’, maka digunakanlah suatu sinyal digital yang disebut dengan sinyal ‘maximum length sequence, MLS’. Dengan memanfaatkan teknologi ‘digital signal processing’ tersebut, sinyal impulse yang diterima di kedua telinga pendengar dapat diukur dan hasil proses ini disebut dengan ‘binaural impulse response’. Dari ‘binaural impulse response’ inilah, parameter IACC dapat ditentukan. Tentang fenomena alami dan arti dari IACC ini dan juga hubungannya dengan masalah ‘spatialisasi’ atau ‘kesan ruang’ pada medan suara, tidak dijelaskan pada kesempatan ini. Sebelumnya perlu juga untuk diungkapkan bahwa ‘implementasi’ konsep IACC ini juga ikut menentukan pengembangan konsep ‘home theatre’ yang saat ini sudah ada. Implementasi konsep ‘impulse response’ dalam perancangan akustik
Dengan memahami, konsep‐konsep dasar akustik maka perancangan kondisi akustik untuk setiap ruangan ataupun ‘venue’ dapat dilakukan. Disini akan diberikan contoh bagaimana perancangan akustik dan ‘acoustic treatment’ dari Gereja Sidang Jemaat Allah Bethlehem Bogor. Dengan memanfaatkan perangkat lunak komputer EASE — bisa juga dengan memanfaatkan perangkat lunak akustik lainnya seperti CATT Acoustics ataupun ODEON– sinyal impulse dari mimbar maupun dari audience dapat digambarkan seperi ditunjukkan pada Gambar 3 dan Gambar 4.
Dengan bantuan perangkat lunak akustik tersebut, posisi sumber suara perlu ditetapkan dan demikian juga semua karakteristik akustik dari sumber suara tersebut mesti diperhitungkan, misalnya ‘directivity’ dari speaker, ‘frequency response’ nya, karakteristik daya dan sebagainya.
Gambar 3. Sinyal impulse yang dibangkitkan dari posisi mimbar GSJA Bethlehem Bogor
(diperoleh dari laporan AcETS, perancang akustik GSJA).
Gambar 4. Sinyal impulse yang dibangkitkan dari posisi jemaat/audience GSJA Bethlehem Bogor (diperoleh dari laporan AcETS, perancang akustik GSJA).
Disamping itu, karakteristik akustik ruangan seperti posisi dan karakteristik permukaan‐permukaan yang berfungsi untuk menyerap suara, karakteristik spesifik dan posisi ‘Schroeder Diffusor’, reflektor suara dan juga karakteristik akustik ‘audience’ juga mesti diperhitungkan. Selanjutnya, pada semua posisi ‘audience’ dapat diperoleh besaran parameter akustiknya dari hasil perhitungan analisis ‘impulse response’nya. Segala hal yang berhubungan dengan masalah ‘cacat akustik’ baik itu cacat akustik temporal maupun spektral dapat diidentifikasi dan ditanggulangi sejak awal pada tahap perencanaan ini. Perlu juga ditegaskan disini, ‘Schroeder Diffusor’ yang dipasang di GSJA ini, dirancang sepenuhnya oleh perencana, mengingat karakteristik akustik ‘Schroeder Diffusor’ tersebut bersifat unik untuk keperluan yang bersifat ‘customize’. Ini berarti, suatu jenis ‘Schroeder Diffusor’ tertentu hanya berfungsi dengan tepat jika dipasang pada posisi dan ruang yang tertentu pula, sesuai dengan hasil perancangan akustik yang berdasar kepada konsep ‘impulse response’ tersebut.
Penutup
Pada tulisan ini secara ringkas sudah diungkapkan tentang upaya untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas ‘local genius’ berupa hasil budaya seni musik tradisional bangsa Indonesia dari sisi keilmuan akustik‐nya. Berbagai hasil penelitian yang telah dicapai sampai saat ini secara meyakinkan dan objektif dapat menunjang program ‘research road‐map’ yang diusulkan disini. Kontribusi positif dan juga dukungan dari berbagai pihak termasuk dari seluruh ‘stake holder’ seni musik tradisional ini, sangat dibutuhkan untuk dapat mencapai berbagai objektif dari program ini. Masukan, saran dan juga kritik dengan rendah hati sangat diperlukan guna menyempurnakan dan meningkatkan kualitas capaian dari program ini. Atas perhatian dan kerjasamanya, penulis ucapkan terima kasih.
Pustaka
:
1. Rencana Strategis Departemen Kebudayaan dan Pariwisata 2005‐2009.
2. IGN Merthayasa : ‘Gamelan Bali’ International Concert Hall, apakah diperlukan..? ; Koran Bali‐post, 2004.
3. IGN Merthayasa : Gagasan tentang 'Gamelan Bali' International Concert Hall; dipresentasikan pada
Sarasehan Pesta Kesenian Bali XXVIII‐2006 di Gedung Natya Mandala ISI Denpasar.
4. IGN Merthayasa, J. Sarwono : Four Orthogonal Objective Parameters which are determined the Preferred
Sound Field in a Concert Hall, in Indonesian, Proceedings of Seminar Nasional & Pameran Akustik ‘95,
Bandung‐Indonesia, October 1995, (ISSN 0853‐6651).
5. Sarwono, J. , Bintoro, M.A., Ardhanaputra, I.B., IGN. Merthayasa: A Study on the Acoustics Criteria of the Indonesian Traditional Music Concert Hall, Proceeding of the ISSM’97, Wiesbaden, Germany, 2‐3 August 1997.
6. IGN. Merthayasa : The effect of interaural crosscorrelation (IACC) on loudness in a free field. ‐ Proceedings
of Seminar Nasional & Pameran Akustik '95, Bandung‐Indonesia, October 1995, (ISSN 0853‐6651).
7. IGN. Merthayasa : Empat Parameter Objektif Utama yang menentukan Kenyamanan Suara di dalam
Ruang Konser, Proceedings of Seminar Nasional & Pameran Akustik '95, Bandung‐Indonesia, October 1995, (ISSN 0853‐6651).
8. IGN. Merthayasa : The autocorrelation function of sound at each seat in a hall. ‐ Music & Concert Hall
Acoustics, Proceedings from International Symposium, Eds. by Y. Ando and D. Noson, Academic Press, London, 1996.
9. IGN. Merthayasa : Spatial Factor of Sound Fields for Gamelan Bali Concert Halls, 17th International
Congress on Acoustics, Rome, Italy, 2001.
10. IGN. Merthayasa & Bayu pratomo :The Temporal and Spectral characteristics of Gamelan Sunda Music;
Acoustics ’08, Paris, 29 Juni‐4Juli 08.
11. IGN. Merthayasa & Farida I. Muchtadi :On the Reverberation time of Gamelan Bali Concert Hall based on
the Physio‐Acoustic Responses; Acoustics ’08, Paris, 29 Juni‐4Juli 08.
12. Agus Eko Prasetiyo, Agus Purwanto, Sumarna : Pelarasan Warna Suara (Hasil Rekonstruksi Suara) Wilah Gender Barung; Laboratorium Getaran dan Gelombang, Fisika FMIPA UNY; Seminar Nasional Fisika, Pembelajaran dan Aplikasinya; Program Magister Pendidikan Fisika, Program Pascasarjana, Universitas
Ahmad Dahlan, 29 Nopember 2008.
13. Miranti I. Mandasari, Suprijanto, IGN. Merthayasa : Ekstraksi ciri akustik suara ucap untuk pengenalan emosi; Proceeding Seminar Instrumentasi berbasis Fisika, 2008, ISBN:978‐979‐96520‐3‐4
14. Suprijanto, Miranti I. Mandasari, Iwan Prasetyo, IGN.Merthayasa: Studi kondisi Emosi manusia berbasis ciri akustik dan analisa prosodik suara ucap; di submit ke Journal Makara UI.
15. J. Sarwono and Y.W. Lam , “The Preferred Initial Time Delay Gap and Inter‐Aural Cross Correlation for a Javanese Gamelan Performance Hall”, Journal of Sound and Vibration, 258(3), pp 451 – 461, November 2002.