• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

35

V.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

SUMBER EMISI GRK

Gas rumah kaca (GRK) merupakan suatu gas yang paling dominan di atmosfer bumi yang berkontribusi dalam pemanasan global dan perubahan iklim. Tiga gas utama dalam gas rumah kaca terdiri atas karbon dioksida (CO2), metan (CH4), dan dinitrogen oksida (N2O) yang diproduksi dari

aktivitas antropogenik, produksi dan pembakaran bahan bakar fosil, kegiatan industri, aktivitas pertanian, penanganan dan pengolahan limbah, dan perubahan penggunaan lahan (Wei et al. 2008). Menurut IPCC (Intergovernmental on Panel Climate Change) menyatakan jika laju emisi gas rumah kaca ini dibiarkan terus tanpa dilakukan tindakan untuk menguranginya, maka suhu global rata-rata akan meningkat dengan laju 0,3 ºC setiap 10 tahun. Trismidianto et al. (2008) menyatakan untuk Indonesia kenaikan suhu hanya sekitar 0 sampa 1 derajat. Sementara skenario lain dengan menggunakan model GCM untuk wilayah Indonesia dihasilkan adanya peningkatan suhu sekitar 0,1 ºC - 0,5 ºC pada tahun 2010 dan tahun 2070 sekitar 0,4 ºC - 3,0 ºC.

PG Subang sebagai salah satu industri yang berkontribusi dalam pengeluaran emisi gas rumah kaca (GRK) merupakan industri yang bergerak di bidang pengolahan gula kristal putih. Kapasitas giling PG Subang mencapai 3.000 TCD (Ton Cane Day). Sumber emisi GRK PG Subang berasal dari pembakaran bahan bakar boiler, penggunaan LPG, penggunaan solar untuk mekanisasi dan pabrikasi, dan pengolahan limbah padat.

PG Subang merupakan industri gula yang menggunakan hasil samping berupa bagas sebagai bahan bakar boiler. Bagas dihasilkan dari penggilingan tebu yang jumlahnya makin lama makin meningkat. Menurut rumus Pritzelwitz (Hugot 1986) tiap kilogram ampas dengan kandungan gula sekitar 2,5 % akan memiliki kalor sebesar 1.825 kkal. Nilai bakar tersebut akan meningkat dengan menurunnya kadar air dan gula dalam ampas. Penerapan teknologi pengeringan ampas yang memanfaatkan energi panas dari gas buang cerobong ketel, menjadikan kadar air ampas turun 40 % akan dapat meningkatkan nilai bakar per kg ampas hingga 2.305 kkal. Pada realisasinya, bagas yang digunakan sebagai bahan bakar boiler PG Subang memiliki nilai kalor sebesar 1.777 kkal. Selain bagas, PG Subang juga menggunakan bahan bakar tambahan Industrial Diesel Oil (IDO) untuk memenuhi ketercapaian energi. Konsumsi bahan bakar boiler dalam musim giling (DMG) 2011 dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Pemakaian bahan bakar boiler DMG 2011

Bulan Ampas Tebu

(ton) IDO (Liter) Mei 8.578,65 112.558 Juni 18.107,75 42.200 Juli 28.238,00 0 Agustus 20.775,00 19.500 September 23.178,00 0 Oktober 2.396,50 0 Total 101.273,90 174.258

(2)

36 Kebutuhan energi yang besar menyebabkan kebutuhan bahan bakar boiler yang besar. Pembakaran bahan bakar ampas dilakukan untuk menghasilkan sejumlah uap yang akan digunakan untuk menggerakkan turbin alternator sebagai pembangkit listrik untuk PG Subang. Jika energi yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar tebu tidak mencukupi, maka pihak PG Subang menggunakan bahan bakar tambahan berupa IDO yang memiliki nilai kalor sebesar 9.270 kkal/l. Total bagas yang digunakan dalam musim giling 2011 adalah sebesar 101.273,90 ton dan total bahan bakar IDO yang digunakan sebesar 174.258 liter untuk menghasilkan uap sebesar 202.547,80 ton untuk menghasilkan listrik yang dibutuhkan selama proses produksi gula.

Mesin dan peralatan yang digunakan pada PG Subang merupakan mesin yang bekerja secara semi otomatis karena dioperasikan oleh kendali dari pekerja. Mesin dan peralatan yang terdapat pada PG Subang beroperasi dengan sumber tenaga yang berasal dari turbin alternator. Dalam masa giling, seluruh kebutuhan listrik pabrik dan kantor dipenuhi dari listrik yang dihasilkan turbin alternator. Turbin digerakkan oleh tenaga uap yang dihasilkan boiler. Bahan bakar boiler berupa bagas merupakan limbah padat hasil proses penggilingan tebu.

Tabel 10. Kebutuhan listrik PG Subang DMG 2011

Kebutuhan Unit/Area kWatt

Mesin dan Peralatan Produksi 39 5.662,70

Alat Operasional 143 90,89

Penggunaan Lampu 10 63,00

Total kebutuhan listrik 5.816,59

Tabel 10 menunjukkan bahwa kebutuhan listrik PG Subang sebesar 5.816,59 kWatt dengan rincinan kebutuhan untuk mesin dan peralatan produksi sebesar 5.662,70 kWatt (Lampiran 4a), kebutuhan untuk alat operasional tambahan sebesar 90.89 kWatt (Lampiran 4b), dan kebutuhan penggunaan lampu ± 63 kWatt (Lampiran 4c).

Gambar 19. Konsumsi listrik PG Subang DMG 2011

Konsumsi listrik yang digunakan oleh PG Subang dalam musim giling tahun 2011

(

Gambar 19) menunjukkan terjadinya fluktuasi penggunaan listrik selama bulan Juni-September 2011. Penggunaan listrik yang rendah pada awal musim giling tahun 2011, yaitu bulan Mei 2011 dikarenakan hanya 15 hari kerja dalam proses produksi dan penggunaan listrik yang rendah pada akhir musim giling disebabkan pada bulan Oktober hanya 3 hari kerja untuk proses produksi gula. Penyebab lain terjadinya fluktuasi bisa disebabkan oleh jam berenti giling yang berbeda setiap bulannya

(3)

37 sehingga penggunaan listrik berbeda pula. Penggunaan listrik tertinggi berasal dari mesin dan alat produksi. Jika terjadi jam berhenti giling, mesin dan peralatan produksi ikut berhenti itulah salah satu penyebab adanya fluktuasi penggunaan listrik selama musim giling 2011. Total kebutuhan listrik PG Subang selama proses produksi adalah 5,82 MWatt dengan rata-rata konsumsi listrik sebesar 1.084,67 MWh per bulan. Konsumsi listrik berbanding lurus dengan emisi GRK yang dihasilkan dari konsumsi listrik dalam musim giling 2011.

Sumber energi lain yang digunakan PG Subang selama proses produksi adalah bahan bakar solar. Penggunaan solar di PG Subang dibagi atas dua bagian, yaitu solar untuk bagian mekanisasi dan solar untuk pabrikasi. Solar mekanisasi digunakan sebagai bahan bakar untuk pompa air, traktor pengolahan dan pemeliharaan tanaman, traktor angkut giling, traktor tarikan, dan alat berat yang terus beroperasi selama proses produksi gula berlangsung. Total penggunaan solar mekanisasi sebesar ± 910.412 liter selama musim giling 2011. Solar bagian pabrikasi digunakan untuk mesin-mesin atau peralatan yang memakai bahan bakar solar seperti motor-motor penggerak. Total penggunaan solar pabrikasi sebesar ± 84.820 liter. Akumulasi penggunaan solar PG Subang dalam musim giling tahun 2011 adalah sebesar ± 995.232 liter. Tabel 11 menunjukkan konsumsi solar untuk mekanisasi dan pabrikasi dalam musim giling (DMG) 2011.

Tabel 11. Konsumsi solar PG Subang DMG 2011

Bulan Solar Mekanisasi (L) Solar Pabrikasi (L) Mei 38.600 7.410 Juni 123880 17.540 Juli 168.255 20.695 Agustus 165.000 17.340 September 191.625 19.435 Oktober 223.052 2.400 Total 910.412 84.820

Penggunaan LPG pada industri juga dapat menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK). PG Subang menggunakan bahan bakar LPG pada proses produksinya. Selama musim giling 2011 penggunaan LPG adalah 800 Kg untuk keperluan bengkel. LPG tidak diikutsertakan dalam proses produksi, maka dari itu pemakaian bahan bakar ini lebih sedikit dari bahan bakar lainnya. LPG yang digunakan pada PG Subang adalah LPG berukuran 50 Kg. Konsumsi LPG PG Subang pada tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Konsumsi LPG PG Subang DMG 2011

Bulan LPG (Kg) Mei 150 Juni 100 Juli 100 Agustus 350 September 50 Oktober 50 Total 800

(4)

38 Konsumsi energi PG Subang dalam musim giling 2011 berdasarkan sumbernya ditunjukkan pada Gambar 20. Dapat dilihat adanya perbandingan antara konsumsi listrik, LPG, solar pabrikasi dan solar mekanisasi yang berbeda-beda setiap bulannya tergantung pada kebutuhan.

Gambar 20. Konsumsi energi PG Subang DMG 2011

Emisi GRK yang dikeluarkan PG Subang tidak hanya berasal dari penggunaan energi listrik, solar mekanisasi, solar pabrikasi, dan LPG tetapi juga berasal dari pengolahan limbah padat. Limbah padat berupa blotong yang dihasilkan PG subang menghasilkan emisi GRK berupa gas dinitrogen oksida (N2O) dari kandungan nitrogen di dalamnya. Perbandingan antara gas CO2 dan N2O dimana

nilai GWP (Global Warming Potential) atau indeks pemanasan global N2O lebih besar dibandingkan

dengan CO2 namun nilai emisinya masih jauh lebih kecil dibanding CO2. GWP N2O adalah 293

artinya 1 N2O memantulkan panas dari bumi sama dengan 293 kali CO2.

Limbah padat yang dihasilkan dari proses produksi gula terdiri atas ampas tebu (bagasse), blotong (filter cake) dan abu ketel. Bagas yang berjumlah 30-35 % per tebu giling berasal dari hasil pemerahan nira pada stasiun gilingan. Blotong merupakan hasil pemisahan kotoran nira dengan cara penyaringan di Rotary Vacum Filter (RVF) pada stasiun pemurnian. Jumlah blotong yang dihasilkan adalah sebesar 3 % tebu giling. Limbah padat yang terahir adalah abu ketel. Abu ketel (2 % ampas digiling) berasal dari sisa pembakaran pada boiler. Bagas yang dibakar pada ruang pembakaran menghasilkan gas karbon yang dikeluarkan ke udara dan abu yang dibuang ke tempat penampungan abu. Jumlah limbah padat yang dihasilkan PG Subang dalam musim giling 2011 ditunjukkan pada Tabel 13.

Tabel 13. Limbah padat PG Subang DMG 2011

Bulan Ampas (Kwintal) Blotong (Kwintal) Abu ketel (Kwintal) Mei 124.690,30 12.701,45 8.383,54 Juni 226.586,70 26.096,47 17.503,08 Juli 249.768,10 29.232,52 18.994,75 Agustus 214.586,10 21.826,92 13.083,79 September 264.283,30 23.479,97 15.184,54 Oktober 13.121,00 2.007,85 1.300,22 Total 1.093.035,50 115.345,18 74.449,91

(5)

39 Limbah padat blotong yang dihasilkan oleh PG Subang makin hari makin menumpuk jumlahnya. Pembuangan blotong dilakukan dengan cara open dumping. Pembuangan ke lahan terbuka ini menyebabkan komponen yang terdapat pada blotong akan terurai dan mencemari udara di lingkungan salah satunya komponen nitrogen. Gas dinitrogen oksida yang dihasilkan oleh proses penguraian nitrogen pada blotong perlu dihitung untuk kemudian dilakukan pengendalian sehingga gas tersebut dapat mengurangi dampak pemanasan global yang dapat ditimbulkan. Menurut Singh et al. (2007) press mud cake atau blotong merupakan sumber nitrogen dan fospor yang bermanfaat untuk digunakan sebagai pupuk untuk pengolahan tanah. Pembuangan blotong secara tidak terkontrol dapat menghasilkan sejumlah material didalamnya menjadi terurai ke udara luar.

B.

EMISI GAS RUMAH KACA PG SUBANG

PG Subang merupakan salah satu industri gula di Indonesia yang ikut serta dalam menghasilkan emisi gas rumah kaca dari proses produksinya. Emisi GRK yang dikeluarkan PG Subang berasal dari penggunaan bahan bakar pada boiler, penggunaan solar mekanisasi, solar pabrikasi, penggunaan LPG, dan pengolahan limbah padat. Perhitungan emisi GRK dapat dilakukan dengan menghitung konsumsi dari setiap penggunaan energi dan pengolahan limbah yang dilakukan.

1.

Emisi GRK dari Penggunaan Energi

Kebutuhan energi di pabrik gula dapat dipenuhi oleh sebagian bagas dari gilingan akhir. Sebagai bahan bakar boiler jumlah bagas dari stasiun gilingan adalah sekitar 33 % berat tebu giling dengan kadar air sekitar 50 %. Energi yang digunakan PG Subang adalah energi uap yang berasal dari pemanasan air dengan pembakaran bagas pada ruang bakar boiler sebagai pemanasnya. Gambar 21 menunjukkan perkiraan emisi GRK yang dihasilkan dari penggunaan bahan bakar boiler yang berupa bagas dan Industrial Diesel Oil (IDO). Perhitungan Emisi untuk penggunaan bahan bakar boiler dapat dilihat pada Lampiran 5.

Gambar 21. Emisi GRK dari penggunaan bahan bakar boiler DMG 2011

PG Subang memanfaatkan hasil samping bagas untuk digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap. Bagas yang dibakar akan menghasilkan sejumlah energi untuk

(6)

40 memanaskan air sehingga menghasilkan sejumlah uap. Uap ini kemudian didistribusikan untuk menggerakkan turbin alternator yang merupakan pembangkit listrik PG Subang. Dalam musim giling 2011 kebutuhan energi untuk menghasilkan uap sebesar 202.548 ton adalah 181,62 x 109 kkal namun dari hasil pembakaran bagas hanya 180 x 109 kkal yang terpenuhi, maka PG subang menggunakan bahan bakar tambahan berupa IDO untuk memenuhi energi sebesar 1,62 x 109 kkal. Total emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar boiler pada tahun 2011 adalah sebesar 101.927,57 tCO2. Jumlah emisi yang besar disebabkan oleh besarnya konsumsi bahan bakar yang

dibutuhkan untuk menghasilkan sejumlah uap yang digunakan sebagai pembangkit listrik maupun proses produksi gula.

Sebagai perbandingan jika perhitungan emisi CO2 dianalisis dengan menggunakan rumus

kimia pembakaran karbon maka terlebih dahulu perlu diketahui komponen kimia dari bagas untuk menentukan rumus empiris bagas. Komponen kimia bagas dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14. Komponen kimia bagas

Komponen Jumlah (%) Jumlah (gr) Basis : 100 gr Bobot molekul Mol Perbandingan Karbon (C) 47,9 47,9 12 3,99 7 Hidrogen (H) 6,7 6,7 1 6,70 12 Oksigen (O) 45,4 45,4 16 2,84 5 Sumber : Hugot (1986)

Dari perhitungan pada Tabel 14 maka diperoleh hasil rumus empiris untuk bagas adalah C7H1205. Rumus empiris bagas akan menentukan persamaan reaksi yang terjadi apabila bagas dibakar

dengan penambahan oksigen yang menghasilkan CO2 dan H2O sebagai produk. Persamaan reaksi

yang terjadi :

C7H12O5 + 7,5 O2 7CO2 + 6H2O

Persamaan reaksi pembakaran bagas (C7H1205) membentuk enam persamaan kimia ekuivalen yang

dapat digunakan sebagai faktor konversi dalam perhitungan. Persamaan ekuivalen dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Persamaan ekuivalen dari reaksi pembakaran bagas (C7H12O5)

1 mol C7H1205 = 7,5 mol O2 1 mol C7H1205 = 7 mol CO2 1 mol C7H1205 = 6 mol H2O 7,5 mol O2 = 7 mol CO2 7,5 mol O2 = 6 mol H2O 7 mol CO2 = 6 mol H2O

Jumlah bagas (C7H12O5) yang dibakar pada proses produksi gula dalam musim giling 2011

sebesar 101.273,90 ton dengan bobot molekul bagas sebesar 176 maka diperoleh ton mol bagas sebesar 575,42 ton. Dari persamaan ekuivalen diperoleh hasil bahwa 1 mol C7H12O5 setara dengan 7

mol CO2. Maka diperoleh 4.027,94 ton mol CO2 dari pembakaran bagas. Jika dikonversi menjadi ton

CO2 yang dihasilkan maka jumlah ton mol CO2 dikalikan dengan bobot molekul CO2 sebesar 44.

(7)

41 tersebut tidak terlalu jauh jika dibandingkan dengan perhitungan emisi dengan menggunakan faktor emisi bagas sebesar 0,485 ton CO2/MWh. Nilai yang lebih besar dari perhitungan reaksi pembakaran

dapat diakibatkan karena semua karbon yang terkandung diasumsikan terkonversi menjadi gas yang terbuang ke udara, namun pada kenyataannya terdapat abu dari pembakarang yang masih mengandung sejumlah karbon yang tidak terbuang langsung ke udara. Dari asumsi tersebut, maka jumlah emisi yang digunakan dalam perhitungan jumlah emisi pabrik keseluruhan menggunakan jumlah emisi yang berasal dari perkalian faktor emisi.

Gambar 22 Emisi GRK dari penggunaan bahan bakar LPG dan solar DMG 2011

Grafik yang ditunjukkan pada Gambar 22 adalah grafik perkiraan emisi GRK yang dihasilkan dari penggunaan bahan bakar LPG dan solar PG Subang dalam musim giling 2011. Emisi yang dihasilkan dari penggunaan bahan bakar LPG adalah sebesar 2,51 tCO2. Emisi ini terhitung kecil

karena LPG hanya digunakan sebagai bahan bakar untuk pengelasan dan pemotongan alat bila terdapat alat yang harus diperbaiki. Pada proses produksi gula tidak digunakan bahan bakar gas LPG karena energi yang digunakan berasal dari uap dan listrik. Selain LPG, bahan bakar yang berpotensi mengeluarkan emisi GRK pada PG Subang adalah penggunaan bahan bakar solar. Solar digunakan oleh dua bagian pada PG Subang, yaitu bagian mekanisasi dan bagian pabrikasi. Penggunaan bahan bakar solar mekanisasi menghasilkan emisi GRK sebesar 2.612,06 tCO2 selama musim giling 2011.

Penggunaan bahan bakar solar pabrikasi menghasilkan emisi GRK yang lebih kecil yaitu 243,39 tCO2.

Penggunaan bahan bakar solar yang tinggi disebabkan oleh konsumsi solar yang banyak pada bagian-bagian tertentu. Penggunaan solar yang tinggi berasal dari sektor transportasi angkut tebu, transportasi pemeliharaan tanaman dan bahan bakar untuk pompa kebun. Maka diketahui penggunaan bahan bakar lain selain bagas dan IDO yang menghasilkan emisi tertinggi adalah solar mekanisasi. Dari keseluruhan penggunaan solar dan emisi yang dihasilkan maka diperoleh emisi sebesar 2,87 tCO2/1000 liter solar. Perhitungan Emisi untuk LPG dan solar dapat dilihat pada Lampiran 6a dan 6b.

Emisi GRK yang dihasilkan dari penggunaan energi berupa bagas dan IDO (bahan bakar boiler), LPG, solar mekanisasi dan solar pabrikasi akan dijumlahkan untuk mengetahui jumlah emisi setara dengan CO2 yang dihasilkan oleh PG Subang dalam musim giling 2011. Gambar 23

menunjukkan jumlah keseluruhan emisi GRK yang digunakan dari penggunaan bahan bakar. Perhitungan total emisi GRK yang dihasilkan PG Subang dalam musim giling 2011 dapat dilihat pada Lampiran 7. Besarnya total emisi GRK yang dihasilkan PG Subang dari sektor penggunaan energi dipengaruhi oleh besarnya emisi yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar pada boiler yaitu sebesar 16.987,93 tCO2 per bulan. Hal ini disebabkan oleh besarnya nilai faktor emisi untuk bahan

(8)

42 bakar ampas yaitu sebesar 0,485 tCO2/MWh sehingga pembakaran menghasilkan emisi yang besar.

Total emisi GRK yang berasal dari penggunaan energi sebesar 104.785,52 tCO2 setara. Selain itu,

kebutuhan bahan bakar pabrik gula dengan kapasitas giling 3.000 ton tebu per hari untuk menghasilkan sejumlah uap yang dipakai pada proses produksi gula pun terhitung besar sehingga emisi yang dihasilkan sebanding dengan besarnya energi yang digunakan.

Gambar 23. Total emisi GRK PG Subang DMG 2011 dari penggunaan energi

2.

Emisi GRK dari Pengolahan Limbah Padat

Sumber emisi GRK yang dihasilkan dari PG Subang tidak hanya berasal dari konsumsi energi, emisi dapat berasal dari pengolahan limbah padat. Emisi yang dihasilkan dari pengolahan limbah padat berupa gas dinitrogen oksida (N2O). Gas dinitrogen oksida memiliki nilai panas 293 kali

gas karbon dioksida. Perhitungan emisi GRK yang dihasilkan dari pengolahan limbah padat dapat dilihat pada Lampiran 8a.

Emisi gas dinitrogen oksida (N2O) yang dihasilkan oleh PG Subang berasal dari pengolahan

limbah padat berupa blotong yang tidak terkendali. Blotong merupakan padatan atau kotoran yang terlarut pada nira. Blotong dihasilkan dari proses pemurnian nira dimana nira yang mengandung sejumlah padatan terlarut akan diberikan koagulan untuk memudahkan proses pengendapan. Kotoran yang mengendap tersebut di proses di Rotary Vacum Filter (RVF) kemudian dibuang sebagai hasil samping yang dinamakan blotong. Blotong merupakan limbah padat organik yang masih mengandung sejumlah gula dan bahan lainnya termasuk nitrogen.

Limbah blotong yang dihasilkan oleh PG Subang mempunyai volume yang cukup besar tiap harinya sekitar 3 % tebu giling. Selama ini pabrik membuang limbah blotong dengan cara penumpukan pada lahan tanah terbuka (open dumping). Penumpukan tersebut berpotensi menjadikan kandungan yang terdapat dalam blotong akan terurai secara aerob maupun anaerob. Emisi N2O dari

tanah merupakan hasil dari proses nitrifikasi dan denitrifikasi yang melibatkan bakteri Nitrosomonas dan Nitrobacter. Nitrifikasi terjadi dalam kondisi aerob sedangkan denitrifikasi berlangsung pada kondisi anaerob. Oleh karena itu, N2O dapat terbentuk pada kondisi aerob maupun anaerob. Menurut

Mosier et al. (2004) kandungan nitrogen yang terdapat pada blotong berpengaruh pada timbulnya emisi N2O yang dihasilkan. Dalam proses nitrifikasi, ammonium (NH4+) akan dioksidasi menjadi nitrit

oleh Nitrosomonas, kemudian nitrit dioksidasi menjadi nitrat oleh bakteri Nitrobacter. Melalui denitrifikasi, nitrit kemudian direduksi menjadi N2. Baik dalam proses nitrifikasi maupun denitrifikasi,

(9)

43 Penumpukan ini yang menyebabkan dihasilkannya emisi N2O. Perhitungan emisi N2O

menggunakan jumlah blotong yang dihasilkan selama musim giling 2011 dikalikan dengan faktor emisi 0,01 kg N2O-N/Kg N yang telah ditetapkan oleh IPCC (2006) sebagai faktor emisi untuk limbah

padat organik pada lahan. Jumlah blotong yang dihasilkan oleh PG Subang pada tahun 2011 sebesar 11.534,52 ton dengan kandungan nitrogen sebesar 0,76 %. Emisi N2O yang dihasilkan dari

pengolahan limbah padat sebesar 1.378 kg N2O dengan rata-rata emisi N2O sebesar 229,67 per bulan.

Total emisi N2O yang dihasilkan setara dengan 403,62 ton CO2 setara. Jika dilihat dari jumlah blotong

yang dihasilkan maka diperoleh hasil emisi sebesar 0,12 kg N2O/ton blotong. Dimana dalam 1 ton

blotong menghasilkan emisi N2O sebanyak 0,12 kg.

Gambar 24. Perbandingan emisi N2O dan CO2 setara dari pengolahan limbah padat

C.

TOTAL EMISI GRK PG SUBANG

PT PG Rajawali II Unit PG Subang dalam pelaksanaan memproduksi 23.194,675 ton SHS selama musim giling 2011. Rendemen yang terkandung pada tebu bernilai 7 dan memiliki kapasitas kualitas produk SHS IA. Hasil samping proses produksi tebu berupa tetes tebu (molases) sekitar 5 % tebu, blotong 3 % tebu, dan ampas sekitar 30-35 % tebu. PG Subang memiliki kapasitas giling sekitar 3.000 ton tebu per hari. Total emisi GRK keseluruhan sebesar 105.189,14 tCO2 setara. Jika dilihat dari

total emisi dan jumlah produk yang dihasilkan maka diperoleh nilai emisi sebesar 4,54 tCO2/ton

produk dengan kata lain setiap memproduksi 1 ton gula SHS emisi GRK yang dihasilkan sebesar 4,54 tCO2 setara. Rincian perhitungan total emisi GRK PG Subang dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16. Total emisi GRK PG Subang DMG 2011

Jenis Sumber Jumlah Emisi

(tCO2)

Bahan Bakar Boiler 101.927,57

Solar 2.855,45

LPG 2,51

Limbah Padat 403,62

Total CO2 e (ton) 105.189,15

Total gula SHS (ton) 23.194,68

Total tebu digiling (ton) 343.646,90

Emisi CO2/Produk (tCO2/ton produk) 4,54

(10)

44 Sektor industri merupakan sektor paling besar dalam menghasilkan emisi gas rumah kaca yang kini sedang marak diperbincangkan akibat perubahan iklim dan pemanasan global yang terjadi. Menurut Putt del pino dan Bhatia (2002) sektor industri berpotensi menyumbang emisi GRK sebesar 29,3 % disusul dengan transportasi sebesar 26,8 %, sektor perumahan atau tempat tinggal 19,4 %, sektor komersil 15,6 % dan sektor pertanian 8 %. Menurut Maraseni et al. (2010) industri kain katun di Australia menghasilkan emisi sebesar 2,67 tCO2 setara/ ton produk. Jika dibandingkan dengan

emisi yang dihasilkan PG Subang sebesar 4,54 tCO2 setara/ ton gula maka nilai emisi yang dihasilkan

tidak terlalu berbeda secara signifikan dari sektor emisi yang dihasilkan oleh suatu industri. Menurut Zen (2007) bahwa pabrik kelapa sawit dengan kapasitas olah 45 ton TBS dan mengolah 174.000 ton TBS per tahun diperkirakan menghasilkan 18.000 tCO2 setara per tahun, maka diperoleh hasil emisi

sebesar 0,10 tCO2/ton TBS. Jika dihitung berdasarkan jumlah ton tebu yang digiling selama musim

giling 2011 maka PG Subang menghasilkan emisi sebesar 0,31 tCO2/ton tebu.

Konversi total emisi N2O selama musim giling 2011 adalah sebesar 403,62 tCO2 setara dari

pengolahan limbah padat. Gambar 25 yang menunjukkan grafik perbandingan total emisi yang dihasilkan oleh PG Subang selama musim giling 2011 dari penggunaan energi dan pengolahan limbah industri dengan nilai keseluruhan setara CO2. Pada penelitian ini dapat diketahui bahwa emisi yang

paling besar adalah emisi dari penggunaan energi terutama dari penggunaan bahan bakar boiler.

Gambar 25. Perbandingan emisi GRK yang dihasilkan dari penggunaan energi dan pengolahan limbah.

Pada penelitian ini diketahui bahwa emisi yang paling banyak dihasilkan dari emisi tidak bergerak yang berasal dari cerobong asap pabrik dan pengolahan limbah padat yaitu 93 % dari total keseluruhan emisi yang dihasilkan PG Subang. Sementara emisi bergerak yang berasal dari emisi transportasi, lebih kecil dengan presentase hanya 3 %. Data tersebut disajikan pada diagram berikut (Gambar 26).

(11)

45 Pabrik gula Subang merupakan perusahaan yang terintegrasi antara pabrik, kantor, dan lahan tanam tebu karena masih dalam satu lingkup besar. Emisi yang dikeluarkan oleh pabrik sebagai hasil samping dari proses produksi akan diserap kembali oleh tanaman untuk digunakan dalam proses fotosintesis selama tanaman tebu tumbuh. Untuk itu perlu dilakukan perhitungan jumlah karbon yang diserap oleh tanaman. Perhitungan dapat dilakukan dengan cara menghitung jumlah biomasa yang terdapat pada tebu selama masa pertumbuhan sampai akhir panen. Data berat tebu selama musim giling 2011 dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17. Data berat tebu DMG 2011

Komponen Jumlah

Bibit (ton/ha) 11,00

Luas areal lahan (ha) 5.016,47 Total jumlah bibit (ton) 55.181,17 Total tebu dihasilkan (ton) 346.018,32 Jumlah Biomassa tebu 290.837,15

Berat tebu yang meningkat dalam masa pertumbuhan dinyatakan sebagai penyerapan beberapa komponen dari lingkungan tempat tebu tumbuh yang nantinya akan terbentuk menjadi komposisi yang terkandung dalam tebu. Komposisi terbesar dalam tebu yang mengandung karbon adalah sukrosa dan serat. Serat dapat disetarakan dengan ampas tebu yang dihasilkan. Komposisi kandungan tebu dapat dilihat pada Tabel 18.

Table 18. Komposisi kandungan tebu

Komponen Komposisi (%) Sukrosa 11-19 Gula pereduksi 0,5-1,5 Senyawa organik 0,15-0,5 Asam organik 0,15 Serat 16-19 Zat warna 6-9 Air (H2O) 65-75 Sumber: Soemarno (1977).

Penyerapan karbon dari tanaman tebu dapat dihitung dari jumlah komposisi tebu yang mengandung karbon. Jumlah biomassa tebu sampai akhir panen sebesar 290.837,15 ton dengan kandungan sukrosa sebanyak 19 % dan serat 19 %. Dari persentase tersebut dapat diketahui bahwa kandungan sukrosa tebu sebesar 55.259,01 ton dan serat sebesar 55.259,01 ton. Menurut Hugot (1986) bahwa sukrosa memiliki rumus kimia C12H22O11 dan serat C14H24O10. Komponen karbon pada rumus

kimia sukrosa adalah sebesar 12 dan komponen karbon bagas pada rumus kimia serat 14. Maka diperoleh hasil bahwa karbon yang terkandung sebagai sukrosa adalah sebesar 24.866,55 ton C dan yang terkandung dalam serat sebesar 26.469,01 ton C. Keseluruhan karbon yang terserap oleh tanaman tebu yang terdapat pada sukrosa dan serat selama pertumbuhan adalah sebesar 51.335,56 ton C yang berasal dari CO2 di lingkungan.

(12)

46

D.

PELUANG PENURUNAN EMISI GRK PG SUBANG

Industri gula memiliki beberapa peluang untuk melakukan penurunan emisi GRK yang dihasilkan. Opsi yang dapat diberikan sebagai upaya dalam menurunkan emisi gas rumah kaca PG Subang dapat berupa pengurangan penggunaan bahan bakar IDO dan pemanfaatan limbah padat blotong sebagai pupuk kompos.

1.

Pengurangan Bahan Bakar

Industrial Diesel Oil

(IDO)

Secara umum industri merupakan sektor yang akan menghasilkan emisi gas CO2 terbesar.

Hal ini disebabkan oleh penggunaan bahan bakar fosil yang besar untuk kebutuhan energi di industri. Emisi gas rumah kaca yang semakin meningkat menyebabkan pemanasan global. Untuk itu perlu dilakukan upaya penurunan emisi gas rumah kaca. Penurunan emisi gas rumah kaca dapat dilakukan melalui berbagai cara, antara lain penghematan energi dan diversifikasi energi. Diversifikasi energi atau penggantian bahan bakar dengan jenis energi lain, bertujuan untuk mengurangi penggunaan bahan bakar yang mempunyai kandungan karbon tinggi dengan jenis energi yang mempunyai kandungan karbon rendah atau tanpa kandungan karbon. Subtitusi energi adalah upaya untuk mengganti energi yang ada dengan jenis energi lain yang lebih murah, mudah secara teknis dan tanpa mengurangi kinerja alat. Salah satunya adalah penggunaan bahan bakar dari biomassa. Bahan bakar biomassa walaupun mempunyai kandungan karbon yang cukup tinggi, tetapi CO2 yang dihasilkan

dianggap dihisap kembali oleh tanaman yang sedang tumbuh sehingga emisinya dianggap 0 atau tanpa emisi. Hal ini disebabkan pohon dianggap merupakan zink atau penyerap CO2 hanya pada masa

pertumbuhan (0 sampai 12 tahun). Pemanfaatan teknologi rendah karbon sebagai pengganti bahan bakar fosil secara drastis akan mengurangi pelepasan gas rumah kaca ke atmosfer (Boedoyo 2008).

Limbah bagas merupakan salah satu biomassa yang dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan energi dari limbah biomassa yang saat ini sedang dikembangkan sangat diperlukan oleh industri-industri yang suplai energinya bergantung pada bahan bakar minyak (BBM). Pemanfaatan limbah bagas sebagai bahan bakar dilaksanakan oleh keseluruhan pabrik gula di Indonesia. Mengingat begitu banyak limbah bagas yang dihasilkan, maka ampas tebu akan memberikan nilai tambah tersendiri bagi pabrik gula karena dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembangkit bakar ketel uap. Kebutuhan limbah bagas ini digunakan sebagai bahan bakar boiler penghasil uap air (steam) untuk proses penggilingan gula dan pembangkit listrik untuk kebutuhan pabrik. Beberapa tanaman berpotensi menghasilkan limbah biomassa yang dapat dimanfaaatkan sebagai bahan bakar alternatif (Tabel 19).

Tabel 19. Jenis tanaman dan limbah biomassa

Jenis Tanaman Jenis Limbah Biomassa

Kelapa sawit Tandan kosong, cangkang, dan fibre

Tebu Ampas tebu/bagas

Karet Kulit batang

Kelapa Tempurung, sabut

Kayu Kulit kayu, serbuk kayu

Padi Sekam padi

Ketela pohon Batang, daun, ranting, kulit umbi

Jagung Tongkol jagung, daun, batang

(13)

47 PG Subang menggunakan ampas sebagai bahan bakar boiler yang merupakan biomassa dari hasil penggilingan. Pemanfaatan biomassa sebagai bahan bakar merupakan upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak negatif baik pencemaran udara akibat partikulat yang berterbangan maupun emisi yang dihasilkan. Pada tahun 2011 PG Subang memiliki target ampas sebesar 132.197,00 ton namun pada realisasinya hanya 101.273,90 ton ampas yang dihasilkan. Energi yang diperlukan untuk proses produksi gula PG Subang tahun 2011 adalah 181,62 x 109 kkal namun realisasi energi yang dihasilkan oleh pembakaran ampas hanya 180 x 109 kkal. PG Subang kekurangan 1,62 x 109 kkal untuk memproduksi gula. Ketidaktercapaian tersebut menyebabkan PG Subang memerlukan bahan bakar tambahan berupa IDO untuk memenuhi energi yang dibutuhkan. Jumlah IDO yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 20.

Tabel 20. Data PG Subang DMG 2011

Uraian Satuan Target Realisasi

Tebu giling ton 400.597,00 343.646,88

Ampas tebu ton 132.197,00 101.273,90

Uap/tebu % 45,00 58,94

Uap dihasilkan ton 180.269,00 202.547,80 Uap digunakan ton 180.269,00 207.519,70

IDO L 0 174.258,00

IDO merupakan bahan bakar minyak yang digunakan untuk jenis mesin diesel putaran sedang atau lambat dengan kecepatan (300-1000 rpm), atau dapat juga digunakan sebagai bahan bakar pada pembakaran langsung di dalam dapur (furnace) boiler. IDO yang digunakan pada sektor industri hampir setara dengan solar yang digunakan untuk motor-motor diesel, maka dari itu potensi sebagai penghasil emisi CO2 terhitung besar.

Tahun 2011 PG Subang menggunakan bahan bakar IDO untuk memenuhi kebutuhan energi sebanyak 174.258 liter. Jika dikonversi menjadi CO2, maka dihasilkan 500 ton CO2. Pengurangan

penggunaan bahan bakar IDO akan menurunkan emisi CO2 dari penggunaan bahan bakar boiler. Bila

diasumsikan penurunan penggunaan IDO sebesar 50 % dapat digantikan dengan penggunaan bagas, maka emisi yang turun adalah sebesar 250 ton CO2 dari emisi bahan bakar fosil yang akan digantikan

dengan bahan bakar biomassa. Energi yang dihasilkan dari penggunaan IDO akan diganti dengan energi yang berasal dari bahan bakar bagas sehingga emisi yang dihasilkan lebih ramah lingkungan. Emisi keseluruhan yang berkurang jika peluang ini digunakan adalah 0,02 tCO2/ ton produk.

Upaya penurunan ini dapat dilakukan dengan pengendalian dan optimalisasi penggilingan tebu pada stasiun gilingan. Proses penggilingan yang optimum dapat menghasilkan ampas tebu (bagas) yang memiliki kadar air yang rendah sehingga bagas yang dihasilkan tidak basah. Bagas kering lebih mudah terbakar dibandingkan bagas yang basah dengan nilai kalor yang lebih tinggi. Selain itu upaya pengendalian dapat dilakukan dari penambahan air imbibisi. Air imbibisi yang ditambahkan pada saat proses penggilingan akan tergabung bersama nira untuk kemudian didistribusikan ke stasiun berikutnya. Penambahan air imbibisi yang berlebihan akan memberatkan beban kerja pada stasiun penguapan dimana air tersebut harus dihilangkan untuk menaikkan kadar brix nira. Untuk menguapkan air banyak terkandung dalam nira dibutuhkan uap dalam jumlah yang besar. Hal ini berdampak pula pada kerja boiler sebagai mesin penghasil uap. Kebutuhan uap yang besar menjadikan boiler membutuhkan konsumsi bahan bakar yang besar pula. Maka dari itu efisiensi penggunaan uap berpotensi pada pengurangan bahan bakar boiler yaitu bagas dan IDO. Jumlah bagas

(14)

48 yang dibutuhkan untuk menggantikan bahan bakar tambahan IDO sebesar 466,03 ton. Penghematan biaya produksi yang didapatkan dari penghilangan pemakaian IDO untuk bahan bakar boiler adalah sebesar Rp 848.636.460 per tahun dengan harga IDO untuk PG Subang sebesar Rp 9.740 per liter.

Emisi gas CO2 dari pembakaran bahan bakar fosil seperti batubara merupakan parameter

terbesar yang bertanggung jawab terhadap terjadinya pemanasan global. Sehingga perlu upaya yang nyata bagaimana mengurangi jumlah emisi gas rumah kaca (CO2) salah satunya adalah menggunakan

bahan bakar alternatif seperti biomassa ampas tebu. Menurut Bahrin et al. (2011) potensi energi terbarukan yang cukup besar dan belum banyak dimanfaatkan adalah biomassa. Biomassa adalah bahan organik yang berasal dari tumbuhan atau hewan. Sebagian besar biomassa berasal dari tumbuhan yang mengandung energi tersimpan dari matahari yang diserap pada waktu tanaman tumbuh dalam proses yang disebut fotosintesis.

2.

Pemanfaatan Limbah Padat sebagai Pupuk Kompos

Limbah padat blotong merupakan hasil endapan (limbah pemurnian gula) sebelum dikristalkan menjadi gula pasir. Bentuknya seperti tanah berpasir berwarna hitam, memiliki bau tak sedap jika dalam kondisi basah. Bila tidak segera dikeringkan akan menimbulkan sejumlah panas dan bau yang menyengat (Hamawi 2005). Limbah padat yang dihasilkan pabrik gula mempunyai volume yang cukup besar tiap harinya berupa blotong yang dihasilkan sejumlah 3 % tebu. Selama ini pabrik membuang limbahnya dengan cara penumpukan di lahan terbuka (open dumping). Pembuangan secara penumpukan tanpa pengelolaan lebih lanjut dapat menyebabkan gangguan lingkungan dan bau tidak sedap. PG Subang menyediakan sejumlah lahan kosong sebagai tempat pembuangan limbah padat blotong. Oleh masyarakat sekitar limbah blotong yang dibuang diambil secara cuma-cuma digunakan untuk keperluan lain. Jumlah blotong yang tertumpuk makin hari makin meluas sehingga berpotensi sebagai penghasil emisi N2O yang berdampak pada pemanasan global. Maka dilakukan

alternatif lain untuk menangani limbah padat yaitu dengan pengomposan blotong.

Firmansyah (2010) menyatakan bahwa pengomposan adalah proses pelapukan (dekomposisi) sisa-sisa bahan organik secara biologi yang terkontrol menjadi bahan-bahan yang terhumuskan. Proses pengomposan membutuhkan beberapa kondisi terkontrol, salah satunya adalah C/N rasio. Nilai C/N rasio yang ideal untuk pembuatan kompos adalah sebesar 25-35 : 1 (nilai C sebesar 25-35 dan N sebesar 1). Blotong merupakan salah satu bahan yang dapat dibuat kompos dengan nilai kandungan nitrogen sebesar 0,76 %. Komposisi kimia blotong dapat dilihat pada Tabel 21.

Tablel 21. Komposisi kimia blotong

Kandungan ( %) Kadar Air 47,33 Carbon (C) 10,68 Nitrogen (N) 0,76 N-NO3 6,14 N-NO2 0,49 Rasio C/N 0,08 Sumber : Agastirani (2011)

Jumlah blotong yang dihasilkan PG Subang (Tabel 19) dari proses pemurnian terhitung banyak, namun pihak PG Subang belum memanfaatkan blotong tersebut dengan baik. Jumlah limbah

(15)

49 yang tidak diolah lama kelamaan jumlahnya akan semakin meningkat dan berpotensi mencemari lingkungan sekitar. Jumlah limbah padat dalam musim giling 2011 dapat dilihat pada Tabel 22.

Tabel 22. Jumlah limbah padat blotong PG Subang DMG 2011

Bulan Blotong (Kwintal)

Mei 12.701,45 Juni 26.096,47 Juli 29.232,52 Agustus 21.826,92 September 23.479,97 Oktober 2.007,85 Total 115.345,18

Pemanfaatan blotong sebagai kompos sejalan dengan pemanfaatan limbah pabrik gula yang dihasilkan dari pengolahan tebu dan dibuang begitu saja. Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan. Volume blotong yang dihasilkan dapat menyusut menjadi 1/3 bagian dari volume awal. Hal tersebut menyebabkan penyusutan pula pada material yang dikandung di dalamnya, termasuk kandungan nitrogen pada blotong.

Secara rinci, Isroi (2008) menjelaskan bahwa proses pengomposan sederhana terbagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Pada awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat. Hal yang sama terjadi pada perubahan pH kompos yang semakin meningkat. Suhu akan meningkat hingga di atas 50-70 ºC. Suhu akan tetap tinggi selama waktu tertentu dan mikroba yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba termofilik, yaitu mikroba yang aktif pada suhu tinggi. Setelah sebagian besar bahan organik terurai, suhu akan mengalami penurunan secara bertahap. Pada saat ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus. Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30-40 % dari volume/bobot awal bahan (Isroi 2008).

Hasil samping padat pabrik gula yang memiliki potensi yang sangat besar sebagai sumber bahan organik yaitu blotong. Blotong sangat berguna dalam usaha memperbaiki sifat fisik tanah, sehingga daya menahan airnya meningkat. Jumlah blotong berkisar antara 4-5 % berat tebu dan untuk tiap ton blotong berkadar air 70 % mengandung hara setara dengan 28 kg ZA, 22 kg TSP, dan 1 kg KCl (Suhadi et al. 1988).

Hasil penelitian Mulyadi (2000) menyatakan bahwa pemberian blotong nyata meningkatkan tinggi tebu, diameter tebu, diameter batang, jumlah tanaman per rumpun, dan bobot kering tebu bagian atas berumur 4 bulan dengan dosis efektif 40 ton/ha. Parinduri (2005) menyatakan pemberian dosis 20 ton/ha blotong saja dapat meningkatkan jumlah anakan, luas daun, bobot kering tajuk, dan bobot kering tanaman tebu terhadap control pada umur 3,5 bulan berturut-turut 11,02 %, 20,43 %, 8,43 %, dan 5,33 %. Fathir (2007) menambahkan bahwa penggunaan kompos blotong belum nyata meningkatkan serapan hara pada tanaman. Namun, pemberian kompos blotong dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara. Pemberian kompos blotong tidak nyata meningkatkan sifat kimia tanah tetapi meningkatkan unsur N dalam tanah dan basa Ca dibandingkan tanpa kompos blotong. Dosis 7,5 ton/ha sampai 10 ton/ha kompos blotong menghasilkan sifat kimia tanah optimum bagi ketersediaan hara dalam tanah. Apabila merujuk pada kajian-kajian tersebut dan ketersediaannya, blotong memiliki potensi yang besar sebagai sumber bahan organik tanah.

(16)

50 Jumlah blotong yang dihasilkan PG Subang selama 2011 sebesar 11.534,52 ton dengan asumsi massa jenis blotong 1,50 ton/m3 maka diperoleh volume blotong sebesar 7.689,68 m3. Penyusutan volume setelah pengomposan adalah sebesar 3.844,85 ton. Emisi N2O yang hilang akibat

pengomposan adalah sebesar 459,18 kg N2O atau setara dengan 134,54 ton CO2 setara. Emisi N2O

yang tersisa karena pengolahan blotong menjadi kompos sebesar 269,08 ton CO2 setara. Jika peluang

ini digunakan oleh perusahaan maka emisi yang dihasilkan akan berkurang menjadi 4.52 tCO2

Gambar

Tabel 9. Pemakaian bahan bakar boiler DMG 2011
Tabel 11. Konsumsi solar PG Subang DMG 2011
Tabel 13. Limbah padat PG Subang DMG 2011
Gambar 21. Emisi GRK dari penggunaan bahan bakar boiler DMG 2011
+6

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu media informasi berbasis internet yang dapat dimanfaatkan adalah situs web yang manfaatnya dapat diakses oleh pengguna untuk mendapatkan dan memenuhi

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perlakuan (perangkap + tagetes + imidacloprid), (tagetes + imidacloprid), dan (perangkap + imidacloprid) berpengaruh

Salah satu bagian yang penting pada suatu alat terapi oksigen hiperbarik adalah hyperbaric chamber.Chamber merupakan suatu bejana tekan yang berfungsi untuk menahan

Hasil temuan pada penelitian ini menunjukkan bahwa pada siklus satu menunjukkan bahwa keterampilan resolusi konflik yang dimiliki siswa kelas XI sebanyak 40% dan

Berdasarkan hasil simulasi dan visualisasi yang dilakukan maka logam penghantar listrik yang terbaik diberikan oleh logam tembaga sebagai penghantar listrik karena dengan nilai

dari tempat itu, Dia melihat seorang petugas pemerintah sedang duduk di kantornya. Pekerjaan orang itu adalah * 2:10 Anak Manusia Waktu Yesus tinggal di dunia, Dia sering

[r]

Untuk membandingkan akurasi kinerja dari kedua metode maka parameter pembanding yang digunakan adalah sebarapa besar nilai error yang muncul , sehingga berdasarkan