• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. ruang terbuka hijau (RTH) oleh Pemerintah Kota merupakan salah satu bagian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. ruang terbuka hijau (RTH) oleh Pemerintah Kota merupakan salah satu bagian"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2002, penyelenggaraan hutan kota sebagai bentuk penyediaan ruang terbuka hijau (RTH) oleh Pemerintah Kota merupakan salah satu bagian penting dari upaya melestarikan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur lingkungan, sosial dan budaya. Dalam rangka menciptakan kota yang lestari, kebutuhan-kebutuhan dan potensi-potensi penduduknya dalam skala terkecil harus dipahami. Dalam kaitannya dengan kota metropolitan seperti DKI Jakarta, terdapat kebutuhan yang cukup mendesak akan adanya ruang dimana para penduduknya bisa saling bertemu dan berinteraksi serta melakukan aktivitas-aktivitas yang dapat menurunkan tingkat stres emosional yang umumnya tinggi di kalangan penduduk kota-kota besar. Hutan kota sebagai salah satu bentuk ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan telah terbukti dapat memberikan manfaat terhadap perbaikan kualitas lingkungan perkotaan (Dwyer et al., 2003). Ruang-ruang di perkotaan yang memiliki Ruang-ruang terbuka hijau termasuk didalamnya struktur hutan kota saat ini juga dianggap memiliki nilai-nilai strategis dalam meningkatkan kualitas hidup individu yang tinggal di perkotaan, termasuk didalamnya kesejahteraan subyektif individu yang sering disebut dengan kebahagiaan.

Hampir tidak ada manusia yang meragukan bahwa konsep kebahagiaan merupakan sesuatu yang penting dalam hidup seseorang, dimana banyak orang

(2)

yang berusaha melakukan kegiatan-kegiatan yang diharapkan dapat meningkatkan tingkat kebahagiaannya. Peningkatan kebahagiaan kini bukan lagi merupakan obyek perhatian individu, tetapi telah menjadi perhatian di berbagai negara. Selama dua dekade terakhir, terdapat bukti-bukti yang semakin meningkat bahwa kesejahteraan subyektif maupun kebahagiaan dapat diukur, hasil pengukurannya bersifat valid dan dapat dipercaya, serta dapat digunakan sebagai masukan informasi dapat penyusunan kebijakan (OECD, 2013). Meningkatnya perhatian terhadap konsep kesejahteraan subyektif dan kebahagiaan didasari oleh fakta bahwa indikator-indikator obyektif berupa indikator-indikator sosial dan ekonomi yang selama ini digunakan sebagai indikator keberhasilan pembangunan gagal menggambarkan kondisi kualitas hidup manusia yang sesungguhnya. Sebagai contoh, GDP riil perkapita penduduk Tunisia naik dari USD 8.891 pada tahun 2008 menjadi USD 9.489 pada tahun 2010, namun proporsi populasi yang memiliki tingkat kepuasan tinggi terhadap keseluruhan hidupnya justru turun dari 24% menjadi 14% pada periode yang sama (Gallup, 2011).

Pengukuran kesejahteraan subyektif seringkali disamakan dengan pengukuran kebahagiaan, padahal secara teknis kedua hal tersebut berbeda. Konsep ‘kebahagiaan’ merupakan sinonim dari konsep ’kepuasan hidup’ (life satisfaction), yaitu seberapa baik seseorang menyukai kehidupan yang dijalaninya (Veenhoven, 1984), sementara ‘kesejahteraan subyektif’ merupakan konsep yang lebih luas yang menyertakan adanya pengalaman emosi yang menyenangkan (pleasant emotion), rendahnya tingkat suasana hati yang negatif (negative moods) dan tingginya tingkat kepuasan hidup (life satisfaction) (Diener et al, 2009).

(3)

Definisi lain dari kesejahteraan subyektif adalah kondisi mental yang baik, termasuk didalamnya berbagai penilaian, baik positif maupun negatif, yang dibuat orang terhadap kehidupannya, dan reaksi afektif orang terhadap berbagai pengalaman yang dialami (OECD, 2013). Dengan demikian, kebahagiaan tidak sama dengan kesejahteraan subjektif, tetapi merupakan salah satu aspek penyusun kesejahteraan subyektif.

Adanya faktor subyektifitas menyebabkan studi-studi kesejahteraan subyektif maupun kebahagiaan dipusatkan pada analisa perilaku dan sikap yang sebagian besar melalui pendekatan ilmu psikologi dan ilmu sosial. Padahal perlu disadari bahwa dalam kehidupannya manusia tidak terlepas dari konteks spasial. Manusia menjalani hidupnya di dalam konteks spasial yang berbeda-beda, dan telah dipahami bahwa karakteristik dari tempat tinggal dapat membentuk dan mengkondisikan cara bagaimana manusia menjalani hidupnya dan merasakan kehidupannya. Kenyataannya, hubungan antara konteks spasial tersebut dengan tingkat kebahagiaan atau kesejahteraan subyektif jarang dianalisa dan belum dipahami dengan baik. Adanya variasi dalam besarnya nilai kesejahteraan subyektif antara satu individu dengan individu lainnya yang hidup di kawasan perkotaan yang dipengaruhi adanya perbedaan konteks spasial merupakan sebuah fenomena yang sangat menarik untuk dicermati dalam upaya memastikan bahwa tempat tinggal yang kita huni dapat berkontribusi secara positif terhadap kesejahteraan subyektif dan kebahagiaan.

Provinsi DKI Jakarta merupakan ibu kota negara Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 28 juta jiwa, dan merupakan metropolitan terbesar di Asia

(4)

Tenggara atau menempati urutan kedua di dunia (Wikipedia, 2013). Namun demikian, DKI Jakarta juga merupakan salah satu kawasan perkotaan di Indonesia yang penduduknya memiliki kompleksitas permasalahan yang cukup tinggi. Berbagai macam permasalahan yang dihadapi penduduk DKI Jakarta sehari-hari turut berkontribusi terhadap tingginya tingkat gangguan mental emosional atau stress yang dialami penduduk DKI Jakarta. Berdasarkan hasil survey Frontier Consulting Group pada tahun 2007 dalam rangka mengetahui indeks kebahagiaan penduduk Indonesia (Indonesia Happiness Index) yang dilakukan di kota Medan, Jakarta, Bandung, Semarang, Makassar dan Surabaya, diketahui bahwa penduduk DKI Jakarta merupakan penduduk dengan tingkat kebahagiaan terendah kedua di Indonesia dengan skor sebesar 46.20. Penduduk kota Semarang merupakan penduduk di Indonesia yang paling berbahagia berdasarkan survey tersebut (dengan skor sebesar 48.75) dan menurut survey tersebut, hal tersebut disebabkan oleh situasi yang rileks dan relatif sepi dari pengaruh stres (The Jakarta Post, 2007). Selain itu, menurut data Riset Kesehatan Dasar Provinsi DKI Jakarta tahun 2007, prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk DKI Jakarta sebesar 14.1%. Menurunnya persediaan ruang terbuka hijau seperti hutan kota dan taman kota, kemacetan lalu lintas yang harus dihadapi setiap hari dan menurunnya interaksi sosial karena tuntutan gaya hidup individualistik menjadi penyebab meningkatnya level stres yang dialami penduduk DKI Jakarta (Wikipedia, 2013). Menurunnya luas ruang terbuka menyebabkan semakin rendahnya tingkat interaksi antara penduduk dengan kawasan hijau kota, disebabkan semakin minimnya RTH yang berada di sekitar tempat tinggal penduduk dan semakin

(5)

tingginya tingkat kemacetan yang membuat orang mengurungkan niat bepergian jauh untuk menikmati kawasan hijau yang letaknya jauh dari tempat dimana orang tersebut tinggal. Padahal, terputusnya hubungan antara manusia dengan alam dapat memberikan efek yang merugikan terhadap kebahagiaan manusia, selain turut berdampak buruk terhadap lingkungan (Nisbet et al, 2011).

Luas RTH Jakarta pada tahun 1985 masih seluas 661,52 km2 atau sebesar 28,76% dari total luas DKI Jakarta, namun pada tahun 1995 luas RTH Jakarta turun menjadi 24,88%. Tiga tahun kemudian, tepatnya tahun 1998 setelah terjadi pengalihan fungsi RTH Senayan secara besar-besaran untuk pembangunan Hotel Atlet Century Park, Plaza Senayan dan Hotel Mulia, praktis menjadikan luas RTH DKI Jakarta hanya tinggal 9,6%. Tahun 2003 luas RTH Jakarta tersisa 9,12% dan pada tahun 2007 luas RTH di Jakarta semakin berkurang menjadi hanya tersisa 6,2% (http://www.pu.go.id, 2013, Indopos, 2009). Data tersebut memperlihatkan bahwa kawasan RTH di DKI Jakarta terus menurun dalam hal kuantitas dan juga kualitas. Menyikapi terus menurunnya luasan RTH DKI Jakarta, Pemprov DKI Jakarta di dalam RPJMD tahun 2013-2017 menyoroti beberapa isu strategis dalam perencanaan pembangunan daerah salah satunya adalah peningkatan kuantitas dan kualitas RTH, yang meliputi aspek peningkatan luasan serta penataan RTH yang diprioritaskan pada pembangunan taman kota, taman interaktif dan hutan kota serta peningkatan kualitas RTH.

Hutan Kota Srengseng (HKS) merupakan salah satu hutan kota di DKI Jakarta yang telah berdiri sejak tahun 1995. HKS seluas 15.3 ha ini tepatnya berada di wilayah kota administrasi Jakarta Barat. Pembangunan HKS pada

(6)

awalnya difungsikan sebagai wilayah resapan air dan plasma nutfah, lokasi wisata serta sebagai pusat aktivitas masyarakat. HKS memiliki keunikan dibandingkan umumnya hutan kota lainnya yang berada di DKI Jakarta, yaitu lokasinya yang berada di tengah kawasan pemukiman penduduk dan memiliki tingkat kunjungan yang cukup tinggi. Pada tahun 2007, tingkat kunjungan ke HKS pada hari biasa sebanyak 583.316/tahun, sedangkan pada hari libur (sabtu dan minggu) jumlah kunjungan mencapai 523.566/tahun. Pengunjung yang datang ke HKS bukan hanya penduduk yang tinggal di sekitar HKS tetapi juga penduduk yang berasal dari wilayah kota administrasi lain maupun dari provinsi lainnya seperti Banten dan Jawa Barat (Yulief, E.M., 2007). Pengunjung yang datang umumnya melakukan berbagai kegiatan yang sifatnya menghabiskan waktu luang atau berolahraga. Kawasan ini juga kerap dijadikan lokasi perhelatan acara-acara yang bertema kebudayaan. Salah satunya adalah perayaan hari ulang tahun Jakarta bertajuk Festival Budaya Betawi (Betawi Days) yang hampir tiap tahun dilaksanakan di HKS.

Menurut Richard Florida (2008), dalam pencarian kebahagiaan, manusia akan membuat 3 (tiga) keputusan penting yang selalu beriringan sepanjang hidupnya, yaitu : apa yang akan dilakukan, dengan siapa melakukannya, dan dimana melakukannya. Kaitannya dengan konteks spasial, pembahasan kebahagiaan saat ini hanya terbatas pada 2 (dua) keputusan yang pertama yang berhubungan erat dengan perilaku, sikap dan keyakinan. Sedangkan faktor lokasi dimana seseorang tinggal jarang diperhitungkan dalam pembahasan kebahagiaan.

(7)

Dalam konteks Provinsi DKI Jakarta, keberadaan HKS sebagai RTH yang terletak di dekat pemukiman penduduk dan telah cukup lama menjadi salah satu pusat aktivitas masyarakat tentunya telah ikut membentuk karakter kota atau bagian kota dan telah ikut mempengaruhi persepsi masyarakat sekitar ataupun para pengunjung terhadap kehidupan yang dijalaninya.

1.2. Perumusan Masalah

Dari berbagai uraian di atas dapat dipahami bahwa minimnya informasi mengenai bagaimana pengaruh keberadaan hutan kota yang terletak dekat dengan pemukiman penduduk kota terhadap tingkat kesejahteraan subyektif penduduk perkotaan turut memiliki andil terhadap minimnya pengetahuan mengenai karakteristik-karakteristik dimensi spasial yang dapat memaksimalkan kebahagiaan maupun kesejahteraan subyektif seseorang.

Keberadaan Hutan Kota Srengseng sebagai ruang terbuka hijau kawasan perkotaan yang telah cukup lama dimanfaatkan oleh penduduk yang tinggal di Jakarta maupun di sekitarnya dan berada di tengah-tengah pemukiman penduduk dapat dijadikan bahan kajian untuk mengetahui apakah kedekatan ruang terbuka hijau perkotaan terhadap tempat dimana seseorang tinggal dapat berkontribusi secara positif terhadap tingkat kebahagiaan maupun kesejahteraan subyektif seseorang.

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya pada konteks kota DKI Jakarta, maka pokok masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

(8)

1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pola-pola perilaku penduduk perkotaan di Kota DKI Jakarta dan sekitarnya dalam memanfaatkan Hutan Kota Srengseng yaitu dalam bentuk kunjungan ke Hutan Kota Srengseng? 2. Apakah kemudahan akses (ease of access) menuju Hutan Kota Srengseng,

berpengaruh terhadap kesejahteraan subyektif masyarakat yang tinggal disekitar Hutan Kota Srengseng maupun terhadap masyarakat yang mengunjungi Hutan Kota Srengseng ?”

3. Seperti apakah perbedaan tingkat kesejahteraan subyektif antar kelompok penduduk perkotaan?

1.3. Tujuan, Lingkup Penelitian dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini secara umum adalah :

1. Memahami pengaruh faktor demografis terhadap pola-pola perilaku pemanfaatan Hutan Kota Srengseng dalam bentuk perilaku mengunjungi Hutan Kota Srengseng

2. Memahami pengaruh kemudahan akses (ease of access) menuju Hutan Kota Srengseng berupa kedekatan lokasi tempat tinggal penduduk (proximity) dengan Hutan Kota Srengseng terhadap pola-pola perilaku pemanfaatan Hutan Kota Srengseng dalam bentuk perilaku mengunjungi Hutan Kota Srengseng

3. Mengetahui tingkat kesejahteraan subyektif individu penduduk yang tinggal di sekitar Hutan Kota Srengseng maupun individu penduduk yang aktif

(9)

mengunjungi Hutan Kota Srengseng pada domain kesehatan fisik yang dirasakan (self-perceived physical health), hubungan sosial yang dirasakan (self-perceived social relationship), hubungan keterkaitan dengan alam (nature connectedness) dan domain kebahagiaan (happiness)

4. Membandingkan tingkat kesejahteraan subyektif antar berbagai pola perilaku yang berbeda dalam mengunjungi Hutan Kota Srengseng

5. Membandingkan tingkat kesejahteraan subyektif antara radius lokasi tempat tinggal penduduk yang berbeda terhadap Hutan Kota Srengseng

1.3.2. Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan membatasi lokasi penelitian pada kawasan Hutan Kota Srengseng untuk memperoleh data primer yang berasal dari para responden pengunjung Hutan Kota Srengseng, dan membatasi lokasi penelitian pada Kota DKI Jakarta dan kota-kota yang berbatasan dengannya yaitu Bogor, Tangerang, Bekasi dan Depok untuk memperoleh data primer yang berasal dari responden non pengunjung Hutan Kota Srengseng. Data primer yang digunakan adalah data pada periode Oktober 2011-Oktober 2012 atau dalam kurun waktu setahun terakhir sebelum dilaksanakannya pengisian kuesioner.

(10)

1.3.3. Manfaat Penelitian

Ada beberapa manfaat yang bisa diperoleh dari penelitian ini, tidak hanya bagi penulis tetapi juga bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

1. Penelitian ini dapat memberikan gambaran bahwa dimensi spasial juga turut berperan dalam dalam menentukan tingkat kesejahteraan subyektif individu yang tinggal di perkotaan, selain aspek sosial ekonomi maupun sosial demografi. Informasi ini dapat digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam menyusun kebijakan dan program terutama yang terkait dengan penataan ruang kawasan perkotaan, sehingga tujuan dan sasaran kebijakan dan program menjadi lebih tepat sasaran.

2. Penelitian ini dapat memberikan gambaran bahwa tingkat kesejahteraan subyektif individu di kawasan perkotaan, termasuk didalamnya kebahagiaan, dapat ditingkatkan melalui peningkatan pemanfaatan hutan kota. Informasi ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun kebijakan dan program yang bersifat sektoral misalnya yang terkait dengan kesehatan maupun lingkungan perkotaan.

3. Penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan atau referensi bagi penelitian lainnya yang terkait.

1.4. Keaslian Penelitian

Penelitian yang membahas hutan kota atau fitur-fitur kawasan hijau perkotaan dalam hubungannya dengan kesejahteraan subyektif maupun kebahagiaan mulai banyak dilakukan di luar negeri, tetapi di dalam negeri penulis

(11)

belum menemukan adanya penelitian yang membahas kesejahteraan subyektif penduduk Jakarta dalam konteks spasial yang dipengaruhi oleh keberadaan Hutan Kota Srengseng.

Tabel 1. Rangkuman Tesis Terkait

No. Peneliti dan Judul Kesimpulan Perbedaan

1. Bagus Takwin dkk (2012) The Role of Self-Management in Increasing Subjective Wellbeing of DKI Jakarta’s citizens

Manajemen diri memiliki korelasi positif dengan kepuasan hidup dan affek positif penduduk Jakarta. Semakin banyak aktivitas yang didasari manajemen diri, maka semakin puas orang tersebut dengan hidupnya dan semakin banyak afek positif yang dirasakannya. Obyek penelitian berbeda, dengan memusatkan penelitian pada faktor internal individu 2. Elfin Rusliansyah (2005) Kajian Peluang Pelibatan Masyarakat Dalam Pengembangan Hutan Kota Srengseng Jakarta Barat

Secara umum, masyarakat di sekitar Hutan Kota Srengseng bersedia berpartisipasi dalam pengembangan HKS, namun masih dalam bentuk sumbangsaran, berbeda dengan partisipasi masyarakat di sekitar Situ Babakan yang berupa kegiatan-kegiatan rutin di Situ Babakan.

Obyek penelitian berbeda 3. S.K. Panggabean (2008) Subjective Well-Being Penduduk Jakarta

Penduduk DKI Jakarta cenderung merasa tidak berbahagia, dan tingkat kesejahteraan subyektif penduduk Jakarta lebih rendah dari rata-rata kesejahteraan subyektif populasi dunia.

Obyek penelitian berbeda

Gambar

Tabel 1. Rangkuman Tesis Terkait

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Berdasarkan hasil plot tersebut yang di overlay dengan type curve Ganesh Thakur, maka dapat dilihat bahwa hasil plot berhimpitan dengan type curve nomor 2,

Dari sisi pengeluaran, pada Triwulan II-2017, pertumbuhan tertinggi terjadi pada komponen konsumsi LNPRT yang tumbuh sebesar 7,41 persen, kemudian diikuti oleh

dekatan aljabar max-plus dalam sistem even diskrit dinamik adalah karena plus dapat menangani dengan mudah proses sinkronisasi (Braker, 1990). Pendekatan dengan aljabar

Akan tetapi, yang menjadi persoalan dalam ritual setiap tarekat yang ada adalah bahwa hampir mayoritas ritual tarekat mencitrakan Tuhan dalam bentuk atau citra laki-laki dan

Didapatkan perbedaan statistik yang bermakna rerata tekanan darah sistolik ataupun diastolik pada keempat kuartil kadar kolesterol total (nilai p = 0,001 untuk

Dalam kehidupan masyarakat Jawa berbagai macam ragam seni dan budaya hingga kini masih bertahan dan dijalankan, salah satu bentuk upaya dalam pemaknaan ini dapat

Penelitian studi kasus ini menggunakan desain penelitian deskriptif bertujuan untuk melakukan penerapan intervensi manajemen halusinasi terhadap tingkat agitasi pada