• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS. inkubasi, inspirasi/iluminasi, penulisan, hingga evaluasi/revisi. Analisis ini dilakukan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV ANALISIS. inkubasi, inspirasi/iluminasi, penulisan, hingga evaluasi/revisi. Analisis ini dilakukan"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

38

ANALISIS

A. Proses Kreatif

Proses kreatif dapat dibagi menjadi lima tahapan antara lain prapenulisan, inkubasi, inspirasi/iluminasi, penulisan, hingga evaluasi/revisi. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui proses kreatif Hanum Salsabiela Rais dalam penulisan novel 99

Cahaya di Langit Eropa.

1. Prapenulisan

Pada tahap prapenulisan, pengarang dapat mengemukakan gagasan berdasarkan ide yang telah diolahnya. Adapun dua hal tersebut berpengaruh terhadap proses kreatif Hanum Salsabiela Rais antara lain pengaruh/saran dari orang lain dan pemunculan ide.

a. Pengaruh/Saran Orang Lain

Sebelum menulis novel 99 Cahaya di Langit Eropa, Hanum mendapatkan

saran dari sang suami, Rangga Almahendra, agar menulis sebuah novel. Menurutnya, sang suami menyarankan dirinya untuk menulis agar dapat mengisi waktu luang. Apalagi, Hanum telah menghasilkan buku, sehingga kreativitasnya telah terbentuk dalam dunia kepenulisan. Hal ini telah dijelaskan dalam kutipan wawancara berikut.

(2)

…, sesampainya di Austria Hanum tidak banyak pekerjaan selain masak. Biasanya siang antar masakan ke kampus (Rangga). Beberapa waktu kemudian dapat hadiah ulang tahun. Maka ia tulis novel berjudul Menapak Jejak Amien Rais: Persembahan Seorang Putri untuk Ayah Tercinta sebagai rasa terima kasih. Novel ini mengisahkan tentang kedekatan Hanum dengan ayahnya. Di Indonesia sudah dijilid sebanyak 20.000 kopi dan dicetak 2 kali. Kasih sayang ayah yang tampak dalam karakternya dapat membentuk karakter Hanum. Kemudian Rangga sarankan untuk menulis novel lagi. Hal ini dilakukan untuk mengisi waktu luang sekaligus berjalan-jalan. Maka ditulislah novel 99 Cahaya di Langit Eropa…. (hasil wawancara Rangga pada 8 Agustus 2015).

Pada awalnya Hanum tidak bisa mengikuti sang suami karena kesibukannya di TransTV. Namun karena mendapat nasihat dari sang ayah untuk memprioritaskan keluarga, Hanum memutuskan ikut sang suami. Sebagaimana disampaikan dalam

hasil wawancara Rangga sebelum Hanum menulis novel 99 Cahaya di Langit Eropa

berikut.

Awalnya beliau (Hanum Salsabiela Rais) bekerja sebagai presenter TransTV selama dua tahun (2008-2010). Pada saat itu ia (Rangga) mendapat beasiswa dari pemerintah Austria untuk kuliah S3 di WU Wina, Austria sedangkan Hanum menjalankan kariernya. Namun kemudian ia bingung karena harus menentukan pilihan antara ikut suami ke Austria atau tidak. Namun, ia mendapat nasihat dari ayahnya (Amien Rais) agar (1) harus mengikuti suami karena suami adalah prioritas dan (2) nasihat beliau tentang luasnya bumi Allah SWT yang harus dijelajahi (Hasil wawancara pada 8 Agustus 2015). Hanum menyatakan bahwa tujuan menulis adalah sebagai sarana berkreasi dan mengisi waktu luang. Hal ini dilakukan karena kemampuan Hanum sebagai jurnalis dan bakatnya dalam kepenulisan sehingga pengarang dapat menguasai kreativitas menulis. Hanum mampu mengolah kemampuan menulis secara ekspresif berdasarkan gejolak batin dan berseni meski dengan gaya catatan perjalanan. Kegiatan ini dilakukan agar tugasnya sebagai istri tidak hanya melayani suami dan mengurus tempat tinggal semata. Melainkan lebih fokus juga pada aktivitas untuk mengisi waktu luang agar hidupnya selama di Eropa tidak terbuang percuma.

(3)

Sebagaimana dalam hasil wawancara Hanum, ia menyatakan, “Setelah hijrah ke Eropa menemani suami yang sedang menempuh S3, praktis saya tidak melakukan apa-apa selain menunggu suami pulang. Saya disarankan oleh Mas Rangga untuk menulis apa saja untuk mengisi waktu” (Hasil wawancara pada 9 Juni 2015).

Pekerjaan Hanum sewaktu menjadi wartawan di TransTV kembali dikembangkan dalam kepenulisan. Hal ini juga didukung oleh usul Rangga untuk menulis tentang apa saja sambil mengelilingi Eropa. Pegalaman jalan-jalan itu ditulis kembali dalam sebuah cacatan disertai eksplorasi. Eksplorasi itu diwujudkan dengan gaya kepenulisan yang menarik. Pembaca dapat menyelami kisah perjalanan yang ditulis Hanum berdasarkan kesan takjub yang dirasakannya. Ditambah dengan Rangga yang mengeksplorasi karya ini dengan tambahan berbagai fakta. Berdasarkan hasil wawancaranya, Rangga menyatakan, “Maka Rangga dan Hanum membuat sebuah karya yang membuat pembaca mendapatkan hikmah dari perjalanan mereka”

(hasil wawancara pada 8 Agustus 2015). Kemampuan Hanum yang dapat

mengeksplorasi kemampuan seni tulis, dirasa mampu memengaruhi batin pembaca. Menurutnya, bila pembaca menjadi tergugah dan terinspirasi maka lebih berharga. Hal itu melibatkan unsur pemuasan batin dalam bahasa dan gaya tulis.

Hanum pernah menuturkan, ketertarikannya dengan kepenulisan memperkuat minatnya untuk memilih bidang jurnalistik. Sebelumnya, ia memilih Jurusan Dokter Gigi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta karena pengaruh minat teman-temannya. Jurusan itu dianggap bergengsi sehingga memberikan daya tarik bagi teman-teman Hanum untuk memilih bidang itu. Sebagaimana dalam hasil wawancaranya, Hanum menyatakan, “Sesungguhnya passion saya ada di dunia kepenulisan dan jurnalisme,

(4)

bukan jadi dokter gigi. Waktu itu mendaftar kuliah dokter gigi hanya ikut-ikutan teman dan untuk gengsi-gengsian” (Hasil wawancara pada 9 Juni 2015).

Selain ketertarikannya dengan kepenulisan, ketiadaan panutan di lingkungan keluarga sebagai dokter gigi menimbulkan daya tarik Hanum untuk memilih bidang jurnalistik. Di bidang ini, ia tunjukkan bakatnya dengan berkarir di TransTV sebelum menyusul Rangga ke Wina, Austria untuk studi S3. Selama di Eropa ia bekerja untuk

proyek Video Podcast Executive Academy di WU Viena selama 2 tahun. Tahun 2010,

ia memulai pengalamannya menjadi penulis buku karena telah menulis buku berjudul

Menapak Jejak Amien Rais: Persembahan Seorang Putri Untuk Ayah Tercinta dan

diterbitkan. Setelah itu, Hanum dan juga Rangga mulai menulis kisah perjalanan mereka ke dalam novel-novel yang berlatar Eropa seperti Berjalan di Atas Cahaya

dan 99 Cahaya di Langit Eropa. Kini, Hanum Salsabiela Rais menjadi kontributor

detik.com untuk wilayah Eropa dan sekitarnya

Peran Rangga Almahendra sebagai pemberi ide perlu diperhitungkan. Kegiatan ini didukung pula oleh latar belakangnya sebagai dosen dan peneliti di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Hal ini bertolak dari pengalamannya yang pernah menuliskan hasil penelitian sehingga ia bisa menyajikan fakta berdasarkan fenomena yang diamati. Sebagaimana ia menuturkan, “Adanya passion dimana

Hanum sebagai wartawan dan Rangga sebagai dosen yang dapat menjadi penulis. Keduanya mempunyai sinergi dalam membangun emosi dan pemaparan fakta” (Hasil wawancara Rangga pada 8 Agustus 2015). Apa yang dikembangkan oleh Rangga

dalam penulisan novel 99 Cahaya di Langit Eropa, mempunyai unsur fakta disertai

(5)

Eropa disertai pengamatannya tentang kehidupan sosial masyarakat Eropa. Hal itu membuktikan, Rangga dapat melibatkan diri dalam penulisan novel ini. Kemampuannya juga didukung oleh kreativitas Hanum yang menyukai tulis-menulis sejak kecil.

b. Ide

Awal penciptaan novel ini adalah saat Hanum mengikuti suaminya ke Wina untuk studi doktoral di Universitas Wina selama kurang lebih tiga tahun. Hanum mengikuti sang suami sejak tahun 2008. Hanum dalam wawancara tanggal 9 Juni 2015, mengatakan bahwa ia menulis novel ini karena adanya ketertarikan dengan kondisi keagamaan di Eropa yang berbeda dengan Indonesia. Hal itu juga didukung oleh kesadaran intelektual akan kondisi umat yang mengalami perang pemikiran. Situasi keagaman sebagian besar masyarakat Eropa cenderung sekuler sehingga Islam menjadi minoritas. Berbeda dengan situasi dan kondisi keagamaan masyarakat Indonesia yang cenderung bebas dan terbuka karena kuatnya toleransi beragama. Sebagaimana dalam hasil wawancaranya, ia menyatakan, “Situasi di Eropa yang cenderung atheis justru membuat saya semakin jatuh cinta dengan Islam” (hasil wawancara Hanum pada 9 Juni 2015).

Apa yang diungkapkan Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra dalam novel 99 Cahaya di Langit Eropa merupakan ungkapan ekspresi dari kisah perjalanan

untuk mengungkap jejak-jejak Islam yang ada di Eropa. Ide dituliskan berdasarkan pengalaman pengarang dalam setiap kisah perjalanan. Selain dakwah dan menceritakan kisah perjalanan, cerita ini juga mempunyai muatan sastra dalam narasi dan gaya kepenulisan. Sebagaimana dalam pernyataan Rangga berikut.

(6)

Maka Rangga dan Hanum membuat sebuah karya yang membuat pembaca mendapatkan hikmah dari perjalanan mereka. Kalau novel mempunyai kekuatan narasi dan memiliki daya seni. Misalnya Andrea Hirata yang menulis secara puitis. Namun kalau Hanum menulis dengan gaya tulisan yang sederhana tetapi harus dapat membangun emosi. Maka novel ini juga mempunyai muatan emosi (Hasil wawancara pada 8 Agustus 2015).

Seni berbahasa yang dipola secara menarik, dituliskan agar memberikan karakter atau kesan bagi pembacanya. Penulisan sederhana ini juga dimaksudkan agar pembaca dapat memahami maksud yang disampaikan Hanum dan Rangga. Dengan penulisannya yang menyentuh jiwa, maka pembaca akan mudah menyerap maksud pengarang. Sebagaimana menurut Sumardjo (2001: 58) bahwa bercerita adalah seni. Namun secara praktis, gaya bahasa ini digunakan ketika Hanum dan Rangga berinteraksi dengan orang-orang Eropa selama tiga tahun tinggal di sana.

Selama menikmati perjalanan, Hanum menemukan beberapa hal menarik yang dapat memengaruhi proses penemuan ide. Menurut Rangga Almahendra dalam hasil wawancara pada 8 Agustus 2015, tujuan penulisan novel ini adalah sebagai realisasi untuk mewujudkan cita-cita „menjadi agen muslim yang baik‟. Tambahan, dalam hasil wawancaranya, Hanum menyatakan, “Bagi saya yang lebih penting adalah, bagaimana makna sebuah perjalanan harus bisa membawa pelakunya naik „derajat„ yang lebih tinggi, baik horizon ilmu maupun perspektif kemanusiaannya, meninggikan keimanan dan ketaqwaanya pada Allah SWT. Buku ini memaparkan

dan merefleksikan ini semua” (Hasil wawancara Hanum di situs

www.hanumrais.com). Berdasarkan proses penemuan ide, Hanum dan Rangga menemukan nilai-nilai kesempurnaan Islam sesuai judul bukunya. Seperti judulnya, angka 99 pada novel 99 Cahaya di Langit Eropa merupakan wujud kesempurnaan

(7)

adalah mengajarkan kedamaian dan kasih sayang. Menurutnya, letak kesempurnaan terletak pada ajarannya sebagai pembawa kedamaian atau rahmatan lil ‘alamin. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat Eropa di masa lalu dapat menerima Islam karena disampaikan dengan cara damai. Bukti penerimaan Islam yang ada di Eropa tampak pada lukisan, arsitektur, produk budaya, ilmu pengetahuan, dan kehidupan sosial yang memiliki unsur Islam. Sebagaimana dalam hasil wawancara dengan Rangga, ia menyatakan, “Judul ini terinspirasi dari kalimat Asma‟ul Husna sebagai implementasi kebebasan berpendapat tentang Islam yang sebenarnya. Apa yang disampaikan dari buku ini menjelaskan tentang kebesaran Tuhan yang ada di Eropa” (Hasil wawancara pada 8 Agustus 2015).

Rangga Almahendra juga menambahkan, bahwa nilai-nilai Islam mengandung ajaran kedamaian. Sebagaimana dalam hasil wawancara dengan Rangga, ia mengatakan, “Islam sebenarnya mengajarkan cinta damai di mana jika dihitung secara kalkulasi adalah sebesar 99 persen. Sisanya 0,001 persen adalah kekerasan” (hasil wawancara pada 8 Agustus 2015). Kenyataan ini membuktikan bahwa Islam

mengajarkan kebaikan dalam setiap syiarnya agar dakwahnya bisa diterima. Namun untuk mencegah serangan musuh Islam, mereka harus bisa mempertahankan kehormatan Islam dengan semangat jihad. Tetapi, tujuan itu mulai dirusak oleh orang-orang yang jiwanya telah ternodai hawa nafsu. Menurut Hanum, pemikiran mereka telah dipengaruhi oleh pemberitaan media Barat yang mendiskreditkan Islam. Ada faktor kebencian yang sudah dipendam oleh orang-orang yang tidak menyukai eksistensi Islam di Eropa. Hal ini disampaikan dalam prolog novel 99 Cahaya di

(8)

Langit Eropa oleh Hanum dan Rangga tentang buruknya citra Islam akibat pengaruh

faktor eksternal.

Eropa dan Islam. Mereka pernah menjadi pasangan serasi. Kini hubungan keduanya mengalami pasang surut prasangka dengan berbagai dinamikanya. Berbagai kejadian sejak 10 tahun terakhir—misalnya pengeboman Madrid dan London, menyusul serangan teroris 11 September di Amerika, kontroversi kartun Nabi Muhammad, dan film Fitna di Belanda—menyebabkan hubungan dunia Islam dan Eropa mengalami ketegangan yang cukup serius (Rais dan Almahendra 2014: 4).

Selain itu juga ada perasaan tidak menyenangkan akibat hasutan orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu yang memengaruhi buruknya citra Islam. Mereka inilah yang menjadi faktor keretakan hubungan dunia Islam dengan Eropa. Hanum pernah menyatakan dalam kutipan novel ini, “Saya merasakan ada manusia-manusia yang dari kedua pihak yang terus bekerja untuk memperburuk hubungan keduanya. Luka dan dendam akibat ratusan tahun Perang Salib yang rupanya masih membekas sampai hari ini” (Rais dan Almahendra 2014: 4).

Kondisi umat Islam yang kurang peka terhadap ilmu pengetahuan dan lemahnya kaum muslim dalam merespon isu dapat menjadi pengendapan inspirasi penulisan. Hanum ingin agar umat Islam semakin mencintai agamanya sendiri supaya syiar Islam semakin meluas dan mempunyai kekuatan. Sebagaimana dalam kutipan prolog novel 99 Cahaya di Langit Eropa berikut.

Dunia Islam saat ini sudah mulai memalingkan muka dari pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semakin jauh dari akar yang membuatnya bersinar lebih dari 1.000 tahun yang lalu. Kemudian ketika ada negara yang melarang pemakaian jilbab, pembangunan minaret, atau seorang yang mengolok-olok Islam dengan membuat video Fitna, kita hanya bisa berteriak-teriak di depan kedutaan negara mereka sambil membakar bendera. Hanya itu. Ini yang coba saya refleksikan dalam catatan perjalanan ini.Saya mencoba mengumpulkan kembali sisa kebesaran peradaban Islam yang kini terserak.

(9)

Dan saya justru menemukan jejak-jejak peninggalan tersebut selama menempuh perjalanan menjelajah Eropa (Rais dan Almahendra 2014: 6). Fenomena yang disampaikan pengarang di atas, semakin gencar disuarakan orang-orang yang membenci Islam, menjadikan Islam dipandang negatif bagi siapapun. Namun, umat Islam kurang memiliki kemampuan untuk menghadapi pelaku islamfobia (pembenci dakwah Islam). Kondisi ini yang menimbulkan rasa kecewa bagi Rangga sehingga ingin membuktikan Islam yang sebenarnya dalam novel ini. Sebagaimana dalam hasil wawancara, ia menyatakan, “Novel ini ditulis karena adanya fenomena islamfobia, padahal Islam itu indah” (hasil wawancara Rangga pada

8 Agustus 2015).

Apa yang disampaikan di atas merupakan hasil perenungan Hanum dan Rangga selama perjalanan. Bahkan apa yang terjadi terhadap umat Islam di zaman modern ini, menguji kepekaannya untuk membuktikan Islam yang sebenarnya.

Hanum, dalam hasil wawancara pada 9 Juni 2015, ingin membuktikan the moderate

voice of Islam (membuktikan Islam yang sebenarnya) kepada seluruh pembaca,

termasuk umat Islam. Hal ini dapat dibuktikan oleh pendapat Rangga dalam hasil wawancaranya berikut.

Maka ditulislah novel 99 Cahaya di Langit Eropa sebagai implementasi dakwah sekaligus menyuarakan pendapat mereka tentang Islam yang sebenarnya (the moderate voice of Islam). Seringkali media Barat mengidentikan Islam dengan kekerasan seperti contohnya adanya aksi terorisme. Bahkan masyarakat Indonesia yang muslim, diantaranya ada yang menjadi islamfobia (Hasil wawancara pada 8 Agustus 2015).

Apa yang disampaikan di atas, membuktikan bahwa kisah perjalanan juga bisa dilukiskan dalam bentuk novel. Berbagai peristiwa yang terjadi, dapat memengaruhi

(10)

pemikiran pengarang. Berbagai ide, pandangan, dan perspektif dapat memengaruhi proses penciptaannya yang selanjutnya membentuk gagasan penulisan.

2. Inkubasi

Proses inkubasi yaitu bagaimana pengarang menyimpan idenya agar dapat diingat kembali sebelum dituang ke dalam karya tulis. Apa yang dialami Hanum dan Rangga selama di Eropa, membuatnya perlu merefleksikan kejadian-kejadian yang pernah dialami. Mereka menemukan berbagai hal menarik yang diyakini dapat menggugah emosi dan daya intelektual. Semua itu dideskripsikan dalam novel 99

Cahaya di Langit Eropa. Hanum pernah bertemu dengan orang-orang yang dianggap

mempunyai pengetahuan dan terkait dengan dunia Islam di Eropa, terutama dari segi sejarah seperti Fatma, Marion, Sergio, dan Luiz. Hanum juga dibantu oleh Rangga saat akan menuliskan dalam novel. Rangga lebih banyak membantu Hanum dari segi intelektual seperti sejarah maupun kehidupan sosial. Berdasarkan proses pembuatannya, Hanum memberi pernyataan dalam dialognya di KompasTV tahun 2012.

Lumayan panjang dan harus cepat. Jadi waktu itu, begitu saya mau pulang, baru menulis tentang perjalanan saya ini. Jadi, perjalanan selama tiga tahun ini saya rangkum dalam waktu kurang lebih empat bulan. Saya menulis dibantu oleh suami saya. Jadi, dalam penulisan ini saya harus mengingat-ingat kembali serpihan-serpihan bagaimana saya punya fase-fase berteman, bagaimana interaksi dengan mereka. Itu yang bisa saya tebarkan atau sharing kepada pembaca, sehingga ketika mereka akan ke Eropa, sudah tahu bagaimana menghadapi hal tersebut (Hasil wawancara di KompasTV tahun 2012).

Proses penulisan yang dilakukan selama empat bulan, dihabiskan Hanum dengan mengumpulkan berbagai data dan mengingat kembali pengalaman yang didapat.

(11)

Pengalaman itu sebagian besar didapat dari hasil interaksi dengan beberapa orang yang ada di Eropa. Pernyataan yang disampaikan mereka dan bagaimana perilaku sosial masyarakat Eropa dapat diceritakan kembali dalam novel saat akan pulang ke Indonesia. Hanum dan Rangga ingin merefleksikan kembali kisah perjalanan selama tiga tahun di Eropa.

Ide-ide tersebut sebagian berdasarkan keterangan dan referensi yang didapat saat melakukan perjalanan di Eropa. Data-data tentang kejadian menarik yang terhimpun dalam kisah perjalanan, dikumpulkan kembali. Data-data itu berisi tentang kehidupan sosial masyarakat Eropa hingga sejarah Islam di sana. Menurut Hanum, hasil interaksi dengan orang-orang Eropa dapat dikembangkan kembali dalam karya tulisnya. Berdasarkan hal ini Hanum menuturkan, “Saya menuliskannya dalam bahasa ringan dan sederhana berdasarkan interaksi saya dengan banyak orang Eropa dari berbagai lini yang pernah saya temui selama 3 tahun tinggal di Eropa” (Hasil wawancara di situs www.hanumrais.com). Tanggapan dari beberapa warga Eropa yang ditemui, Hanum kumpulkan dalam catatan. Catatan-catatan itu berisi tanggapan dan argumen mereka, selanjutnya ia tuliskan ulang sebagai data untuk bisa mengingat kembali ide-ide yang didapat.

Salah satu contoh interaksi dapat diketahui pada tokoh-tokoh yang merupakan refleksi dari teman perjalanan Hanum dan Rangga selama melakukan perjalanan. Contohnya pada tokoh Fatma dan Marion dalam novel 99 Cahaya di Langit Eropa.

Mereka mempunyai referensi yang menarik seputar sejarah Islam di Eropa. Berdasarkan hal ini, Hanum menyatakan, “Marion dan Fatma banyak mempunyai informasi tentang sejarah Islam di Eropa” (Hasil wawancara pada tanggal 9 Juni

(12)

2015). Hanum mendapatkan hasil wawancara berdasarkan interaksi dengan Marion dan Fatma. Marion yang merupakan peneliti bidang sejarah Islam Abad Pertengahan lulusan Universitas Sorbonne Paris, mempunyai pengetahuan yang luas tentang sejarah Islam di Perancis. Marion juga merupakan seorang mualaf (orang non-Islam yang baru masuk ke dalam agama Islam) sehingga dapat memaparkan fakta sejarah Islam di Eropa secara mendalam. Hasil interaksi ini dijadikan data oleh Rangga disertai berbagai tambahan referensi. Maka, Marionlah yang dapat menginspirasi Hanum untuk menulis tentang sejarah Islam di Perancis.

Fatma, ia merupakan seorang ibu rumah tangga asal Turki, yang berdomisili di Wina. Selain berdomisili, ia juga pencari kerja namun sulit mendapatkannya karena masalah jilbab. Akhirnya ia memilih ikut kursus bahasa Jerman sebagai alternatif untuk diterima di suatu perusahaan yang membolehkan penggunaan simbol agama namun harus menguasai bahasa Jerman. Saat kursus itulah ia mengenal Hanum. Sikap gigih Fatma yang membuat Hanum tertarik berteman dengan dirinya. Fatma yang mempunyai pengetahuan luas tentang sejarah penaklukkan Turki Utsmani di Wina, dijadikan data sebagai inspirasi untuk mengumpulkan ide.Iajuga dapat menjelaskan tentang latar belakang stigma negatif masyarakat Eropa terhadap Islam.

Selain mereka, juga terdapat Sergio dan Gomez. Pertemuan pertama dimulai dengan Gomez, ia merupakan warga Spanyol yang mengaku merupakan keturunan Muslim dari kakek buyutnya. Hal ini mengindikasikan bahwa Islam pernah tegak di Spanyol sejak awal penaklukkannya yaitu 750 tahun. Selain itu, Sergio, seorang pemandu wisata yang menawarkan jasa perjalanan mengelilingi area Mezquita

(13)

(masjid yang berubah menjadi gereja di Spanyol). Sergio merupakan pria tua yang sudah lama bekerja sebagai agen pejalanan wisata bagi para turis. Ia banyak menceritakan sejarah Islam di Cordoba serta pengaruhnya. Sergio juga mengungkapkan kekecewaan terhadap ekspansi pasukan Kristen dari Iberia (daratan di sekitar Spanyol) yang menguasai Spanyol dengan kekerasan. Hasil interaksi dengan mereka dituangkan sebagai ide penulisan novel 99 Cahaya di Langit Eropa.

Mereka dapat menjadi inspirasi dan pengetahuan menarik tentang sejarah kekhalifahan Islam di Spanyol.

Rangga juga menyatakan tentang proses penyimpanan ide. Berdasarkan hal ini ia menyatakan, “Untuk mengingat kembali ide-ide mereka, biasanya dilakukan dengan banyak membaca berbagai karya seperti buku, dan lain-lain. Mereka juga mencatat hal-hal menarik” (Hasil wawancara Rangga pada 8 Agustus 2015). Kisah

perjalanan Hanum selama tiga tahun di Eropa disusun kembali sebagai data sebelum ditulis dalam novel. Rangga kemudian mencari referensi yang mendukung fakta berdasarkan pemaparan Hanum. Mulai dari sejarah, nilai-nilai sosial, hingga aspek kemanusiaan yang dihimpun dalam data, dihubungkan dengan berbagai referensi seperti buku dan artikel. Semuanya berkenaan dengan sejarah kemunculan dan perkembangan Islam di Eropa. Hal-hal itu mampu membantu memberi tambahan refernsi terhadap berbagai fenomena yang berkaitan dengan hubungan historis antara Islam dengan Eropa.

(14)

3. Inspirasi/Iluminasi

Inspirasi/Iluminasi merupakan tahapan ketika pengarang mendapatkan gagasan yang muncul secara tiba-tiba. Agar ide-ide Hanum dan Rangga dapat ditulis kembali, mereka perlu merefleksikan kembali perjalanan di Eropa. Cara-cara itu dapat dilakukan dengan membaca, menulis, beriskusi, dan lain-lain. Setelah itu, muncul dorongan batin untuk mengeluarkan gagasan atau ide yang menurut Hanum dan Rangga ideal untuk dituliskan. Ide itu sudah bisa dirasakan dan dipahami dengan jelas. Pengarang dapat mewujudkan ide tersebut. Wujud ide itu cenderung kepada penemuan nilai-nilai Islam yang ingin pengarang ungkapkan kepada pembaca. Sebagaimana dalam pernyataan Hanum berikut.

Kondisi keberagamaan di Eropa sangat berbeda dengan di indonesia yang mayoritas muslim. Namun yang membuat heran adalah ternyata Islam pernah sangat berjaya di Eropa. Dibuktikan dengan banyaknya peninggalan situs-situs besar Islam di banyak negara Eropa, seperti tertulis dalam novel 99 Cahaya di Langit Eropa (Hasil wawancara pada 9 Juni 2015).

Munculnya ide penulisan ini akan memunculkan gagasan nyata sebelum dapat dikembangkan dalam karya tulis. Sebelumnya, ide-ide tentang kisah perjalanan yang telah dihimpun menjadi data, memberikan sebuah gagasan menarik untuk dikembangkan dalam tulisan. Perjalanan yang mereka rasakan bukan sekedar jalan-jalan biasa untuk mendapatkan kesenangan semata, namun untuk mendapatkan pemahaman tentang Islam. Sebagaimana dalam pernyataan Hanum dalam novelnya, “Akhir dari perjalanan selama 3 tahun di Eropa justru mengantarkan saya pada pencarian makna dan tujuan hidup. Mengantarkan saya pada sumber kebenaran abadi sumber kebenaran abadi yang Mahasempurna” (Rais dan Almahendra, 2014: 9). Hanum dan Rangga merasa telah menemukan nilai-nilai yang diyakini dapat

(15)

menggugah iman. Kisah perjalanan ini dijadikan Hanum dan Rangga sebagai inspirasi untuk dakwah. Sebagaimana dalam pernyataan Hanum, “Saya ingin berdakwah melalui novel ini” (Hasil wawancara pada 9 Juni 2015).

Hal ini juga ditambah dengan kekaguman pengarang terhadap peradaban Islam yang kini sulit dilacak. Sebagaimana hal itu, Hanum mengungkapkan, “Situasi di Eropa yang cenderung atheis justru membuat saya semakin jatuh cinta dengan Islam” (Hasil wawancara pada 9 Juni 2015). Kondisi ini yang kemudian menjadi daya tarik bagi pengarang terhadap peradaban modern Eropa dan Islam yang pada masa lalu pernah bersatu. Hal ini menimbulkan perasaan kagum bagi pengarang terhadap hubungan kedua peradaban tersebut.

Ketertarikan pengarang dengan sejarah hubungan kedua peradaban tersebut menjadi inspirasi untuk mengembangkan karya tulis. Setelah idenya didapat dan telah ditransformasi dalam pikiran, selanjutnya dikembangkan menjadi karya tulis. Ide yang didapat kemudian disimpan dan dihimpun sebagai data. Hanum dan Rangga harus menghabiskan waktu selama empat bulan untuk bisa menghimpun data dan menuliskannya kembali dalam bentuk kerangka tulisan sebelum ditulis dalam buku. Sebagaimana dinyatakan Hanum ketika ia mengingat idenya kembali, “Dengan terlebih dahulu membuat kerangka berfikir, yang kemudian dikembangkan menjadi cerita” (hasil wawancara pada 9 Juni 2015).

Setelah dikembangkan dalam sebuah konsep, kemudian diseleksi untuk menemukan bagian yang menurut mereka sesuai dengan ide penulisan sebelum dituliskan. Mereka harus mencatat ide-ide dalam daftar atau catatan sebagai data atau

(16)

bahan tulisan untuk penyederhanaan. Pengumpulan ide-ide tersebut juga disertai dengan tambahan referensi seperti buku dan artikel untuk dapat membantu menjelaskan ilham yang telah mereka dapatkan. Selain mencatat dan membaca, Hanum juga mengumpulkan data berupa foto. Hanum mengumpulkan foto-foto itu sebagai data untuk memberikan gambaran konkret tentang tempat-tempat yang telah dikunjungi.

Ide yang telah ditemukan selanjutnya ditulis dalam novel. Hanum dan Rangga telah melalui proses pengendapan ide untuk penyesuaian. Ide yang didapat direfleksikan kembali menjadi data yang didapat dari kisah perjalanannya. Berdasarkan pernyataan Hanum dalam buku 99 Cahaya di Langit Eropa, ia ingin

segera mengungkapkan kisah perjalanan ini kepada pembaca sebagaimana dalam pernyataannya, “…,Tapi kita masih bisa menyelamatkan kenangan perjalanan kita dalam sebuah buku. Kita harus menulis. Bukan hanya untuk kita, tapi juga membaginya untuk yang lain” (Rais dan Almahendra 2014: 410).

Kenangan yang ditulis kembali dilakukan sebagai refleksi terhadap nilai-nilai yang telah didapatkan. Hanum dan Rangga mendeskripsikan kembali isi buku ini sebagai catatan perjalanan tentang sejarah peninggalan Islam di Eropa. Menurut mereka, berkuasanya Islam di Eropa pada masa lalu telah meninggalkan sisa-sisa peradaban Islam yang pernah disampaikan dengan cara damai. Sebagaimana dalam pernyataannya sebagai berikut.

Buku ini adalah catatan perjalanan atas sebuah pencarian… Pencarian saya telah mengantarkan saya pada daftar-daftar tempat-tempat ziarah baru di Eropa yang belum pernah saya dengar sebelumnya…. Tapi dengan mengunjungi tempat-tempat tersebut, saya jadi semakin mengenal identitas

(17)

agama saya sendiri. Membuat saya makin jatuh cinta dengan Islam (Rais dan Almahendra 2014: 3-4).

Misi pencarian untuk menemukan nilai-nilai Islam membuat pengarang ingin mengulang kembali kisah perjalanan. Ide-ide itu dikembangkan dan dieksplorasi secara mendalam. Berbagai hal seperti nilai-nilai keikhlasan, kasih sayang, sinergisitas antara agama dengan pengetahuan, sosial, politik, dan sejarah dapat dibuktikan dengan berbagai peninggalan yang dijelaskan dalam novel 99 Cahaya di

Langit Eropa.

Gagasan tantang permasalahan dunia Islam dan keinginan untuk menggambarkan dunia Islam yang sesungguhnya, menjadi inspirasi Hanum dan Rangga. Hanum meyakini bahwa kondisi dunia Islam yang semakin penuh dengan ujian, mendorongnya memengaruhi pembaca agar dapat mencintai Islam. Ia tidak ingin pembaca semakin menjauh dari nilai-nilai Islam. Gagasan yang telah terhimpun dari kisah perjalanan dan dikumpulkan dalam data-data, diungkapkan kembali sebagai refleksi atas pemahaman terhadap nilai Islam yang sebenarnya. Ide-ide itu telah diketahui oleh pikiran-pikiran rasional mereka. Hal itu dilakukan setelah melalui proses pengendapan ide.

Gagasan ini telah menemukan bentuknya yang ideal, yaitu telah tampak bentuk ide yang sesuai untuk dikembangkan dan mudah ditulis. Gagasan ini munculnya tiba-tiba, sehingga pengarang harus secepatnya mengeluarkan agar tidak mudah tertinggal atau hilang. Pengalaman-pengalaman menarik yang didapat dari perjalanan mereka harus secepatnya dikeluarkan. Hal ini disebabkan oleh dorongan naluriah untuk secepatnya menuliskan karya. Hanum yang dianggap mempunyai

(18)

talenta atau bakat dalam menulis, dapat menyampaikan dengan mudah isi pikiran dalam olahan kreatif dan estetis. Hal ini dibarengi oleh Rangga yang merupakan seorang dosen dan bisa menyumbangkan pemikiran intelektualnya. Sebagaimana dikatakan Rangga, ia menyatakan, “Rangga dan Hanum mempunyai hubungan saling melengkapi. Namun mereka berbeda gaya penulisan karena Hanum lebih kuat pada emosi dan perasaan sedangkan Rangga lebih kuat pada unsur fakta” (Hasil wawancara pada 8 Agustus 2015).

Kedua pengarang ini dapat membangun sinergi dan kerjasama yang baik untuk bisa menelurkan pemikiran mereka. Hanum bisa mengolah gaya bahasa semenarik mungkin sehingga daya emosi dan perasaan bisa memberikan penghayatan bagi pembaca. Pengarang bisa segera menuliskannya dalam novel. Baginya, semakin pembaca memahami ceritanya maka semakin baik. Hal ini dapat dibuktikan dari olahan bahasa sederhana namun penuh dengan daya ekspresi agar pembaca dapat menghayati dan memaknai setiap kisah perjalanan mereka. Pengarang ingin pembaca menemukan nilai-nilai Islam agar semakin mencintai agamanya. Dari situlah, pengarang dapat membangun emosi pembaca melalui deskripsi sejarah dari setiap artefak dan simbol-simbol Islam yang ditemui.

4. Penulisan

Pengarang telah menemukan gagasan yang sesuai dengan tujuan penulisan novel. Gagasan itu selanjutnya ditulis dalam catatan. Hal ini dilakukan sebagai sarana penuangan gagasan berdasarkan hasil dari proses iluminasi. Pada proses itu, pengarang harus menulis kembali setelah menemukan ide yang tepat. Namun, agar

(19)

tersusun secara sistematis, diperlukan beberapa pola teknis untuk dapat menghasilkan tulisan yang menarik. Adapun struktur penulisan yang digunakan Hanum dan Rangga dalam novel 99 Cahaya di Langit Eropa adalah sebagai berikut.

a. Pengawalan Novel Secara Menarik

Pemilihan awal cerita dimulai dari judul. Judul cerita merupakan nama sebuah buku atau karangan yang dapat menyiratkan secara singkat isi atau maksud si pengarang. Judul karya ini adalah 99 Cahaya di Langit Eropa yang menyiratkan

tentang beberapa nuansa Islam yang terdapat di Eropa melalui berbagai simbol, artefak, maupun nilai-nilai yang diterapkan. Angka „99‟ pada judul novel ini merupakan simbol penting bagi umat Islam karena melukiskan nilai-nilai kesempurnaan Islam yang terdapat dalam asmaul husna. Sebagaimana judul ini, hubungannya dengan isi novel adalah keterkaitan nilai-nilai Islam dengan eksistensinya di Eropa. Berdasarkan pengalaman sejarah, simbol-simbol Islam yang ada di Eropa tersebut merupakan simbol penerimaan masyarakat Eropa terhadap dakwah Islam. Sebagaimana tertera dalam kutipan novel ini, Hanum menyatakan, “Perjalanan saya menjelajah Eropa adalah sebuah pencarian 99 cahaya kesempurnaan yang pernah dipancarkan Islam di benua ini. Vienna, Paris, Madrid, Cordoba,

Granada, dan Istanbul masuk dalam manifest perjalanan saya selama menjelajahi

Eropa” (Rais dan Almahendra 2014: 8).

Selanjutnya, penggambaran disampaikan dalam bagian overture atau nada

awal. Penamaan ini didasarkan pada ketertarikan pengarang terhadap musik. Pengawalan cerita dimulai dari kisah penaklukkan oleh Turki yang dipimpin oleh

(20)

Mustafa Kara Pasha saat akan menaklukkan Eropa Barat. Namun, karena jumlah pasukan Austria lebih banyak, ditambah datangnya pasukan bantuan dari Jerman dan Polandia, membuat Turki akhirnya kalah. Hal itu berpengaruh terhadap renggangnya hubungan Islam dengan Eropa. Kisah ini menjadi pemilihan awal cerita perjalanan Hanum di Eropa, yaitu Austria. Penceritaan dimulai dari Bukit Kahlenberg sebagai tempat kalahnya pasukan Islam yang diwakili Turki terhadap pasukan Austria, Jerman, dan Polandia. Penceritaan itu menjadi menarik untuk menggambarkan awal ketegangan hubungan antara Islam dengan Eropa. Sebagaimana dibuktikan dalam pernyataan Fatma yang memperkuat sentimen Eropa terhadap Islam dalam novel berikut.

„Aku perlu memberitahumu sedikit sejarah, Hanum.Turki negaraku, pernah hampir menaklukkan Eropa Barat. Sekitar 300 tahun lalu, Pasukan Turki yang sudah mengepung kota Wina akhirnya dipukul mundur oleh gabungan Jerman dan Polandia dari atas bukit ini. Islam Ottoman Turki kemudian kalah terdesak ke arah Timur. Jadi, bisa saja turis itu benar. Roti croissant memang simbol kekalahan Turki saat itu‟ (Rais dan Almahendra, 2014: 42).

Pengawalan cerita yang dimulai dari pengaruh penaklukkan Turki terhadap Eropa dan kemudian perjalanan Hanum serta Rangga mengelilingi Eropa, dapat menjadi bahan menarik untuk ditulis di bagian awal cerita. Pada bagian novel ini, juga dijelaskan latar belakang penulisannya. Hanum memberikan pernyataannya di awal novel ini dengan menyatakan, “Buku ini adalah catatan perjalann saya atas sebuah pencarian” (Rais dan Almahendra, 2014: 3). Pernyataan ini membuktikan bahwa awal penulisan novel ini adalah perjalanan mereka mengelilingi Eropa untuk menyelami misteri kejayaan Islam di Eropa, yang menyebabkan bangsa itu menjadi maju seperti sekarang.

(21)

b. Pengolahan Bahasa yang dapat Memikat Pembaca

Pengarang dapat mengolah gaya bahasa untuk memikat hati pembaca. Novel ini ditulis berdasarkan penggunaan bahasa yang pernah dipelajari sewaktu berada di dunia jurnalistik. Selain itu, pengarang juga mampu memanfaatkan seni bercerita dengan pembentukan narasi. Retorika ini digunakan untuk dapat menyentuh emosi pembaca. Hal ini dilakukan agar pembaca dapat menyelami makna dari sebuah perjalanan yang diyakini mereka sebagai realisasi mewujudkan rasa cinta terhadap Islam.

Kemampuan bahasa ini memainkan peran penting dalam teknik kepenulisan

novel 99 Cahaya di Langit Eropa. Pengarang perlu menguasai ketepatan

pengungkapan, keefektifan struktur kalimat, penggunaan bahasa kiasan yang menarik, dan menguasai objek pembicaraan. Sebagaimana tertera dalam salah satu isi novel ini yang mengandung unsur diksi seperti dijelaskan, “Dia begitu ringan memahami agamanya tanpa menyulitkan dirinya sendiri. Jelas, tidak semua orang muslim mempunyai pandangan sama, bahwa mereka boleh memasuki tempat ibadah umat agama lain. Tapi bagi Fatma, semua itu berpulang pada niat dalam hati. Niat saat itu tentu untuk mencari perlindungan diri dari serangan hawa dingin” (Rais dan Almahendra, 2014: 36). Ungkapan pujian Hanum terhadap Fatma dalam menghadapi musim dingin, memberi titik tolak dalam membentuk gaya bahasa sebagai sanjungan terhadap sikap Fatma. Seperti kata, “dia begitu ringan memahami agamanya” memberikan satu makna bahwa si tokoh Fatma dianggap mengagumkan karena ia tidak ingin sebuah permasalahan dibesar-besarkan. Seperti ketika merasakan menggigilnya tubuh akibat musim dingin, mereka memilih berlindung di tempat yang

(22)

hangat bahkan di gereja sekalipun. Hal ini dikarenakan tidak ada tempat lain yang bisa menghangatkan tubuh selain gereja. Namun, Hanum memberi penegasan dalam kalimat berikutnya bahwa setiap tindakan tergantung pada niat. Jadi, dari gaya bahasa tersebut Hanum ingin menunjukkan kekaguman terhadap Fatma dalam hal kecerdasannya.

c. Pemilihan Gaya Bahasa disertai Diksi yang Tepat

Pengarang memilih gaya bahasa yang sesuai dengan kebutuhannya dalam menulis novel ini. Cara pengungkapan pikiran melalui bahasa secara khas, yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian pengarang, merupakan pola yang dapat membentuk gaya bahasa. Gaya bahasa yang dipakai pengarang juga sesuai dengan daya ekspresi yang terefleksi dari realita. Gaya kepengarangan Hanum dapat dibuktikan melalui aspek pemilihan kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana.

Pengarang menggunakan gaya bahasa sederhana disertai muatan ekspresi. Penggunaan gaya bahasa dalam novel ini hampir sebagian besar dipengaruhi oleh ekspresi pengarang. Beberapa hal yang menonjol adalah penggunaan gaya bahasa metafora sebagai pembanding terhadap dua hal yang berbeda keadaan. Terdapat beberapa contoh isi dalam novel ini yang menggunakan gaya metafora, di antaranya berikut.

1. Ungkapan Hanum terhadap sikap bijak Fatma dalam menghadapi hinaan dari para

turis di Bukit Kahlenberg. Hal ini dapat dibuktikan dalam kutipan berikut.

Cara berfikirku tak mampu menggapai cara berfikir seorang perempuan, ibu rumah tangga, yang tak mengenyam pendidikan terlalu tinggi bernama Fatma. Emosi dan perasaan tersinggung terkadang terlalu kelam dalam diri.

(23)

Menutupi cara berfikir untuk “membalas dendam” dengan cara luar biasa elok, elegan, dan jauh lebih berwibawa daripada sekedar membalas dengan perkataan atau sikap antipasti (Rais dan Almahendra, 2014: 46).

Ungkapan ini dideskripsikan saat Hanum menemani Fatma ketika berada di sebuah kafe di Kahlenberg. Namun, hinaan turis yang merendahkan Turki membuat Fatma harus mengambil sikap bijak dengan membayar semua makanan turis itu. Kesabaran dan ketulusan Fatma membuat Hanum merasa kagum. Kekaguman ini digambarkan tokoh Hanum atassikap bijak Fatma. Sosok Fatma yang ditemui saat di Austria memberikan nilai tersendiri bagi pengarang karena sikapnya yang melampaui ibu rumah tangga pada umumnya. Kejadian ini memunculkan inspirasi bagi Hanum untuk mengekspresikan berbagai kejadian yang dialami. Hal ini juga terdapat pada bagian lain yang melukiskan suatu kejadian secara sederhana dan dapat menyentuh batin pembaca karena daya retorik dari Hanum.

2. Keikhlasan yang dibuktikan oleh sang pemilik Restoran Der Wiener Deewan. Hanum menyatakan dalam kutipan novelnya, “Dia mempromosikan ajaran Islam tentang ikhlas bukan dengan ucapan yang hanya berhenti di mulut. Dia menggelarnya menjadi sebuah kedai makanan sumber kerelaan antara penjual dan pembeli” (Rais dan Almahendra, 2014: 59). Bukti yang diberikan oleh pemilik restoran, Natalie Deewan, ditunjukkan dengan adanya restoran yang

mengaplikasikan nilai-nilai Islam seperti keikhlasan. Hanum lantas

mengekspresikan kekagumannya terhadap penerapan nilai keikhlasan yang jarang ditemui di Eropa.

(24)

3. Ungkapan Hanum saat mendeskripsikan lukisan Maria Antoinete saat berkunjung ke Istana Schoenbrunn. Dalam kutipan novel ini, Hanum menjelaskan, “Si pelukis makin menambah kedigdayaan Maria dengan sengaja menyoroti wajah Maria dengan cahaya matahari yang bersinar melalui jendela, sementara wajah suaminya redup tak tersentuh sinar matahari” (Rais dan Almahendra, 2014: 66). Ungkapan dengan kata kedigdayaan yang dihubungkan dengan sebab wajah Maria yang

disoroti cahaya matahari, memberikan satu simpulan bagi Hanum bahwa cahaya merupakan simbol kegagahan dan keperkasaan.

d. Pemilihan Imaji untuk Menghidupkan Cerita

Pengarang memilih kesan-kesan yang dapat dihidupkan kembali dengan melakukan konkretisasi citraan. Hal-hal menarik dalam pengisahan itu melibatkan unsur panca indera dan perasaan. Citraan ini melibatkan imaji yang merupakan daya bayang pengarang untuk menggambarkan atau mewujudkan sesuatu dalam angan-angan (pikiran) secara cermat dalam hidup (Kasnadi dan Sutedjo, 2008: 217). Imaji di sini merupakan gambaran pengalaman indera yang disampaikan dengan menggunakan bahasa. Salah satu contoh kutipan ini dapat memberikan deskripsi tentang pengamatan Hanum terhadap lukisan bunda Maria yang terdapat tulisan Arab sebagai berikut.

Aku mengucek-ucek mata. Cahaya redup yang menyinari lukisan membuat bayang-bayang kepalaku menggelapkan lukisan. Kumiringkan kepalaku ke kanan dan ke kiri, mengecek penjelasan Marion tentang inkripsi Arab di tepi kerudung Maria. Kuteliti lagi setiap jengkal kerudung yang mengitari wajah Maria. Dari bawah ke tengah, ke kanan, dan ke kiri, lalu ke atas. Bayi Yesus digambar itu tampak meremas bagian bawah kerudung Maria. Coretan-coretan di kerudung itu memang tidak jelas, tapi aku yakin jika diperhatikan benar-benar, goresan itu berbentuk tulisan Arab. Aku benar-benar

(25)

menyerah. Marion tersenyum penuh misteri kepadaku (Rais dan Almahendra, 2014: 165).

Pengarang memberikan deskripsi tentang sebuah lukisan berdasarkan citraan yang dapat merangsang indera pembaca. Kata-kata seperti mengucek-ucek mata, kuteliti,

cahaya redup, coretan-coretan, diperhatikan, dan goresan memberikan citraan

penglihatan sehingga pembaca seakan digiring untuk melihat secara langsung terhadap objek yang dilihat. Kemudian kata kumiringkan dan tersenyum memberikan

imaji gerakan sehingga pembaca dapat mengikuti apa yang dilakukan oleh tokoh Hanum dan Marion.

e. Pemilihan Aliran dan Tema yang Mengena

Pemilihan aliran sebuah cerita dipengaruhi oleh penentuan tema yang digunakan (Kasnadi dan Sutedjo, 2008: 221). Tema didasarkan pada keinginan pengarang untuk mengangkat persoalan kehidupan yang diilhami oleh pengalaman hidup. Tema yang diangkat berkaitan dengan sejarah dunia Islam di Eropa. Persoalan-persoalan itu dijelaskan kembali oleh pengarang melalui kisah perjalanan. Petualangan mereka dilakukan dengan menemukan peninggalan sejarah Islam di Eropa untuk membuktikan hubungan yang harmonis sejak dahulu di antara kedua peradaban tersebut. Hal itu dilakukan sebagai respon terhadap realita yang menyangkut kerenggangan di antara hubungan Islam dengan Eropa. Sebagaimana tertera dalam bagian awal novel ini disebutkan, “Perjalanan saya menjelajah Eropa adalah pencarian 99 cahaya kesempurnaan yang pernah dipancarkan Islam di benua ini” (Rais dan Almahendra, 2014: 8).

(26)

Setelah permasalahan tersebut ditentukan, kemudian terbentuklah aliran cerita. Kemudian cerita ini mengarah pada pelukisan kejadian yang diamati pengarang. Pengarang melukiskan manusia dan lingkungan sebagai refleksi terhadap fenomena atau realita dalam kenyataan sosial. Berdasarkan permasalahan tersebut, digunakanlah aliran realisme dalam novel ini. Menurut Hartoko dan Rahmanto (1986: 114), realisme merupakan bentuk penceritaan yang merefleksikan kenyataan dan kebenaran. Hal ini tercermin dalam kutipan sebuah novel 99 Cahaya di Langit Eropa

seperti pernyataan Hanum, “Di Indonesia kami tak perlu susah payah minta izin Shalat Jumat, memakai jilbab, atau cuti haji dan umrah. Tapi di Austria, segalanya berbeda. Hal-hal sepele jika tidak ditanggapi dengan bijak bisa memercikkan konflik” (Rais dan Almahendra, 2014: 205). Apa yang dilihat pengarang merupakan hasil pengamatannya terhadap realitas masyarakat Eropa dan dunia Islam. Simbol dan aktivitas keagamaan yang ada di Eropa tidak mendapat akses. Realita inilah yang perlu dilukiskan pengarang untuk menggambarkan kondisi umat Islam di Eropa. Realita itu digambarkan sesuai kenyataan untuk menggambarkan situasi keagaman di Eropa.

f. Pemilihan Sudut Pandang

Pengarang menggunakan sudut pandang orang pertama yang bersifat empatif, yaitu dapat melibatkan emosi dan peran ke dalam diri pembaca. Sudut pandang ini dapat memengaruhi daya bayang pembaca sehingga mereka dapat menghayati isinya. Pengarang dapat terlibat secara langsung dalam setiap kejadian di dalam novel ini. Penggunaan seperti kata aku dapat berpengaruh secara langsung

(27)

Marion yang mampu menjelaskan pengaruh Islam dengan Eropa melalui artefak dan simbol-simbol dalam novel ini, dijelaskan dengan pernyataan, “Tiba-tiba aku merasa begitu mencintai sejarah karena ternyata dia bisa menyimpan begitu banyak teka-teki” (Rais dan Almahendra, 2014: 171). Kata aku di atas dapat memengaruhi daya bayang pembaca untuk mengikuti apa yang dilakukan pengarang.

g. Pemilihan Seting

Pemilihan tempat yang ada dalam novel ini sesuai dengan apa yang dialami. Hal ini dilakukan untuk menceritakan pengalaman yang telah dirasakan pengarang. Pemilihan setting ini adalah negeri Eropa karena sebagian besar isi cerita adalah negeri Eropa. Perjalanan dimulai dari Wina (Austria), Paris (Perancis), Cordoba dan Granada (Spanyol), dan Istanbul (Turki). Tempat-tempat di Eropa itu memenuhi sebagian besar isi novel dan inilah yang tepat untuk menggambarkan latar perjalanan yang dialami pengarang secara langsung. Sebagaimana pernyataan pengarang dalam novel 99 Cahaya di Langit Eropa, disebutkan, “Sebagai pendatang baru, aku bertekad

untuk menghabiskan waktuku dengan berjalan-jalan mengelilingi kota Wina sambil menunggu panggilan kerja di kampus Rangga” (Rais dam Almahendra 2014: 20-21). Latar kota Wina, Austria menjadi latar penceritaan yang sesuai dengan pengalaman Hanum dalam menikmati perjalanan.

h. Penciptaan Karakter yang Memikat

Penggambaran tokoh di sini harus sesuai dengan karakterisasi tokoh dan kehidupannya. Tokoh-tokoh dalam novel ini sesuai dengan kisah nyata yang pernah ditemui pengarang. Pengarang perlu menghidupkan kembali karakter baik melalui

(28)

sifat maupun dialognya. Sebagaimana dinyatakan dalam isi novel ini disebutkan, “Fatma yang tak bersekolah tinggi ini ternyata mempunyai kecermatan yang tinggi. Meski muslimah sejati, ternyata dia tahu banyak model dan tipe gereja di Eropa. Termasuk mengapa gereja dibangun dengan gaya khusus” (Rais dam Almahendra 2014: 37-38). Penggambaran sifat Fatma yang mampu menjelaskan tentang jenis-jenis gereja, membuktikan bahwa ia mempunyai pengetahuan yang luas. Hal ini membuktikan bahwa pemilihan tokoh Fatma tepat untuk membangun narasi dan penokohan dalam novel ini.

i. Penentuan Efek Tegang dalam Sebuah Cerita

Hanum dan Rangga membuat kisah perjalanan yang mempunyai ciri berbeda dari beberapa buku catatan perjalanan. Cerita ini mengandung unsur konflik yang menjadi pembangun narasi. Ketegangan ini dibuat berdasarkan guncangan batin pengarang terhadap para tokoh yang mengalami suatu kondisi tertentu. Beberapa awal permulaan konflik dalam novel ini antara lain:

1) Konflik batin Hanum berhadapan dengan para turis yang menghina bangsa Turki

saat makan di kafe sekitar bukit Kahlenberg. Sikap mereka kemudian dibalas Fatma dengan membayar semua pesanan mereka (Rais dan Almahendra, 2014: 38-40),

2) Konflik batin Hanum karena Fatma pergi dari Wina tanpa kabar akibat kematian

anaknya, Aise (Rais dan Almahendra, 2014: 106),

3) Kondisi batin yang dialami Rangga ketika berhadapan dengan beberapa kolega di Wina karena berbeda pandangan dalam masalah budaya. Hal itu dibuktikan oleh

(29)

pelarangan mereka kepada Rangga dan Khan untuk meletakkan bekal di mikrowave dan kulkas, meskipun milik kampus (Rais dan Almahendra, 2014: 206), dan

4) Masalah agama ketika Rangga berhadapan dengan Stefan yang ateis karena selalu mempertanyakan masalah ketuhanan (Rais dan Almahendra, 2014: 210-219).

Beberapa konflik di atas dapat memberikan unsur konflik yang dapat membangun emosi pembaca.

j. Pemilihan Konflik Cerita

Kejadian-kejadian menarik dalam kisah perjalanannya, dapat diolah sebagai bahan cerita dalam novel ini. Semua efek yang diakibatkan oleh tegangan sikap antar para tokoh menjadikan hal ini sebagai faktor pembangun konflik. Seperti sikap kesabaran Hanum dan Fatma dalam menghadapi situasi di Eropa yang penuh tantangan. Konflik itu kemudian diolah semenarik mungkin untuk dapat membangun kesan tegang terhadap situasi yang dialami pengarang. Contohnya terdapat pada sebuah dialog antara Fatma dengan pelayan saat akan membayar pesanan untuk para turis yang telah merendahkan bangsa Turki saat berada di Bukit Kahlenberg sebagai balasan atas perlakuan mereka. Contoh kutipan ini disebutkan, “‟Aku yakin tagihan mereka tak lebih dari 15 Euro. Kalau sisa, itu untuk tipmu. Kalau kurang, suruh mereka bayar kekurangannya saja. Oh ya, berikan pesan ini untuk mereka kalau kami sudah pergi,‟ ujar Fatma sambil menyerahkan kertas. Pelayan itu mendengarkan baik-baik permintaan Fatma (Rais dan Almahendra, 2014: 41). Penghinaan para turis

(30)

dengan rakus sebagai simbol membalas serangan mereka, memunculkan respon Fatma dengan membayar pesanan para turis itu. Hal ini membuktikan bahwa sebuah keburukan bisa dibalas dengan cara bijak sebagaimana yang ingin pengarang sampaikan.

k. Pengakhiran Konflik Cerita

Kejutan yang dapat dibangun adalah tentang bagaimana bagian akhir dari sebuah konflik cerita. Berbagai konflik yang terjadi dalam setiap kisah perjalanan mereka menjadikan hal itu menarik dari sisi narasi. Pengarang memberikan akhiran cerita berupa ekspresi Fatma saat mendapat balasan e-mail dari para pelancong yang melecehkan Turki sewaktu berada di Kahlenberg dan ditunjukkan kepada Hanum (Rais dan Almahendra, 2014: 369-370). Hal itu dilakukan seorang turis tersebut sebagai ungkapan maaf karena melecehkan Turki dengan memakan roti croissant

sambil berkata, “Kalau kalian mau mengolok-olok Muslim, begini caranya!” (Rais dan Almahendra, 2014: 38-39). Hal itu dilakukan dengan memakan roti croissant

secara rakus sebagai simbol pembalasan terhadap bangsa Turki. Namun di bagian akhir cerita, para pelancong itu menyatakan perasaan menyesal dan meminta maaf karena saat itu Fatma juga mengirimkan pesan yang tertulis, „Hi, I am Fatma, a

Muslim from Turkey‟ (Hai, nama saya Fatma, seorang Muslim asal Turki) (Rais dan

Almahendra, 2014: 46) yang menegaskan kemarahan wanita asal Turki tersebut.

l. Penggunaan Alur Cerita

Alur yang digunakan dalam novel ini sebagian besar bersifat maju. Hal ini ditunjukkan melalui urutan peristiwa yang dialami Hanum dan Rangga bersifat

(31)

kronologis karena selaras dari bagian per bagian. Hal ini membentuk urutan kejadian dari sejak pengarang berada di Wina, yang merupakan tempat pertama saat tinggal di Eropa, hingga menyelesaikan perjalanan mereka selama tiga tahun dan berakhir di Istanbul (Turki). Alur-alur cerita mengikuti kisah perjalanan Hanum dari Wina (Austria), Paris (Perancis), Cordoba dan Granada (Spanyol), hingga Istanbul (Turki).

m. Penciptaan Suasana Cerita

Suasana haru dan kagum mewarnai setiap kisah perjalanan tokoh Hanum dan Rangga selama tiga tahun di Eropa. Perjalanan yang mereka alami menjadi pengalaman menarik sebagai kekaguman terhadap aspek historis antara Islam dengan Eropa. Suasana di Eropa selama perjalanan inilah, dipolakan semenarik mungkin dengan pendeskripsian berbagai tempat dan situasi dalam penulisan novel 99 Cahaya

di Langit Eropa.

n. Penulisan Akhir Cerita

Cerita diakhiri pengarang dengan suasana menyenangkan (happy ending).

Pada bagian ini, pengarang memilih bagian yang tepat sebagai akhiran untuk novelnya. Bagian akhir dituliskan dengan Epilog sebagai akhir cerita Hanum dan

Rangga mengelilingi beberapa negara di Eropa. Hanum juga menambahkan, kisah perjalanan ini membuatnya merasa kembali di titik nol yang disebut sebagai

Adventurum ad Initio (sebuah pengembaraan akhir menuju awal). Bagian ini

menceritakan Hanum saat beribadah haji.

Awalnya aku tidak memedulikan isi surat edaran itu, namun entah kenapa malam itu aku tak bisa tidur. Tadinya surat itu tak kupedulikan atau kuremehkan begitu saja. Namun malam itu, surat itu kembali hadir seperti

(32)

membisiki hatiku yang terdalam. Membuat hati ini gundah dan gelisah. Ada bisikan kuat dalam hatiku untuk menuntaskan pengembaraanku selama di Eropa ini. Sebuah pengembaraan akhir menuju titik awal. Adventurum ad Initio.

Haji, itulah jawabannya. Jawaban yang membuat otakku akhirnya bisa memerintah saraf-saraf mataku untuk melemas, mengantarku menuju kematian kecilku malam ini. Aku tidur dengan pulas (Rais dan Almahendra, 2014: 377).

Setelah menceritakan bagian epilog, Hanum menceritakan tentang perjalanan sejarah dunia Islam dalam judul Jejak Kronologis yang disusun dengan format

penulisan angka tahun dan peristiwa. Selanjutnya adalah penyajian foto berbagai artefak dan tempat pernah dikunjungi pengarang selama perjalanan. Bagian terakhir diberi judul Danke (ucapan terima kasih dalam bahasa Jerman) yang berisi

penceritaan proses pengumpulan foto sebagai data untuk dilampirkan dan dimasukkan dalam cerita beserta ucapan terima kasih kepada beberapa pihak yang telah bekerjasama dalam penulisan novel ini.

o. Penentuan Unsur Ekstrinsik Cerita

Pengarang menggunakan lokasi Eropa sebagai latar kisah perjalanan. Berbagai aspek seperti sejarah dan kehidupan sosial memengaruhi kreativitas pengarang untuk menghidupkan suasana dan latar cerita. Sebagaimana dalam kutipan, “Tinggal di Eropa selama 3 tahun menjadi arena menjelajahi Eropa dan segala isinya” (Rais dan Almahendra, 2014: 2). Berbagai kejadian dan fakta yang terdapat di Eropa, seperti peninggalan sejarah dan kehidupan sehari-hari masyarakat Eropa, dapat menjadi bahan untuk penulisan novel ini. Penceritaan sejarah seperti kedatangan bangsa Turki untuk menaklukkan Eropa, sejarah cappuccino, sejarah roti croissant,

(33)

pemikiran masyarakat Eropa; dipilih mereka dalam olahan kreatif sebagai ekspresi untuk menunjukkan salah satu pengaruh perkembangan Islam terhadap modernitas Eropa.

p. Penyisipan Pesan

Pesan yang bisa ditangkap dapat dibuktikan dari ungkapan pengarang terhadap kejayaan Islam di Eropa. Kejayaan itu dapat dibuktikan melalui berbagai peninggalan sejarah Islam yang pernah ditorehkan di Eropa. Penghayatan itu yang dapat memberi kesan kekaguman dan kecintaan terhadap Islam. Selain itu pesan yang didapat dari penghayatan terhadap simbol Islam menjadi sebuah contoh dakwah dari setiap kisah perjalanan. Hal itu bertujuan bagi pembaca dan pengarang untuk semakin mencintai Islam. Sebagaimana dijelaskan dalam isi novel ini, “Belajar dari keberhasilan sekaligus kegagalan agar manusia memiliki dua sayap pengalaman yang lengkap, untuk membuatnya terbang lebih tinggi pada kemudian hari” (Rais dan Almahendra, 2014: 392). Setiap pengalaman dapat memberi pelajaran kepada pembaca tentang kemajuan yang ditorehkan dunia Islam. Dengan ini, pembaca akan memahami esensi nilai-nilai Islam yang pernah ditorehkan pada masa jayanya.

q. Pemilihan Judul

Pemilihan judul dilakukan dengan menghayati setiap kisah perjalanan yang dialami pengarang. Penggunaan angka 99 pada novel ini disimbolkan sebagai kesempurnaan nilai-nilai Islam yang pernah berjaya di negeri Eropa. Hubungan historis antara Islam dengan Eropa telah memberi kesan bagi pengarang sehingga dapat memunculkan daya kreativitas dalam penentuan judul. Kekaguman pengarang

(34)

terhadap situasi yang ada di Eropa, dapat dikemas dalam judul novel sebagai inti dari setiap kisah perjalanan mereka. Jadi, judul novel 99 Cahaya di Eropa memiliki

makna sebagai implikasi berbagai pengaruh dari dunia Islam dalam memengaruhi kemajuan Eropa.

5. Evaluasi/Revisi

Gagasan yang telah lama tersimpan dalam memori pengarang selanjutnya dikembangkan dalam bentuk penulisan. Gagasan itu berupa pengalaman-pengalaman yang didapat Hanum dan Rangga selama tiga tahun di Eropa. Gagasan yang telah dikonkretisasi dalam bentuk tulisan, selanjutnya perlu diadakan perbaikan sebelum dipublikasi melalui pencetakan.

Sebelumnya mereka saling bersinergi untuk melihat hasil tulisan yang akan disunting kembali. Salah satu contoh adalah pada kata ka’bah pada novel 99 Cahaya di Langit Eropa. Sesuai ketentuan yang diinginkan penerbit, pengarang harus

melakukan penyesuaian berdasarkan kaidah bahasa Indonesia resmi. Hal ini dilakukan dengan mengganti redaksi penulisan menjadi kata kabah yang telah

mengikuti kaidah resmi bahasa Indonesia agar hasil karyanya diterima penerbit.

Sebagaimana dalam pernyataan Rangga dalam hasil wawancaranya, ia menyatakan, “Novel ini dilakukan dengan beberapa proses editing yang sesuai prosedur. Tentunya menggunakan standar Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Contohnya kata Ka’bah. Menurut editor, hal ini ditolak karena tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Untuk itu pengarang harus menggantinya dengan kata

(35)

memperbaiki redaksi penulisan novel. Sesuai dengan pernyataan diatas, Rangga dan juga Hanum harus melakukan penyempurnaan dari segi redaksional sebelum diterbitkan. Sebab, penerbit yang dituju adalah Gramedia sehingga tuntutan untuk menjadikan naskah tulisan menarik untuk dibaca semakin besar. Untuk itulah penyesuaian penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan mudah direspon pembaca sangat penting.

B. Perwujudan Mimpi dan Hasrat

Analisis terhadap proses kreatif Hanum Salsabiela Rais dalam novel 99

Cahaya di Langit Eropa juga dapat ditinjau dari metode perwujudan mimpi dan

hasrat. Pendekatan ekspresif ini memiliki kaitan erat dengan psikologi pengarang. Untuk mengkajinya, perlu pendekatan psikologi sastra berdasarkan aspek-aspek id, ego, dan superego agar dapat mengetahui proses penciptaan novel tersebut. Untuk itu perlu dijelaskan sebagai berikut.

1. Id

Id merupakan insting dasar manusia untuk mendapatkan pemenuhan. Hal ini dapat disampaikan dari pendapat Freud tentang delir mimpi atau harapan tersembunyi yang dimiliki pengarang. Fokus kajian ini selanjutnya diarahkan pada kejiwaan Hanum dan Rangga seperti kepribadian maupun pemikiran. Memahami masalah itu penting untuk mengetahui kepakaran, ungkapan perasaan dalam gaya bahasa, dan seluk beluk tulisan yang mencerminkan perasaan pengarang.

Apa yang dipikirkan Hanum dan Rangga merupakan implementasi dakwah yang harus dilakukan agar mudah dipahami masyarakat. Secara pemikiran, pengarang

(36)

menilai kondisi masyarakat tidak sesuai dengan harapan untuk membangun dunia Islam yang lebih baik. Hal itu dapat diketahui adanya fenomena islamfobia dan

kelemahan intelektual umat Islam. Karyanya merupakan gambaran gejolak batin tentang permasalahan yang terjadi terhadap umat Islam. Sebagaimana dalam kutipannya sebagai berikut.

Dunia Islam saat ini sudah mulai memalingkan muka dari pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semakin jauh dari akar yang membuatnya bersinar lebih dari 1.000 tahun yang lalu. Kemudian ketika ada negara yang melarang pemakaian jilbab, pembangunan minaret, atau seorang yang mengolok-olok Islam dengan membuat video Fitna, kita hanya bisa berteriak-teriak di depan kedutaan negara mereka sambil membakar bendera. Hanya itu (Rais dan Almahendra 2014: 6).

Apa yang diutarakan merupakan ungkapan kekecewaan Hanum terhadap realita yang melingkupi umat Islam. Kegelisahan tentang kondisi umat Islam inilah yang membuatnya ingin menyampaikan isi hati. Hal ini dapat membuktikan bahwa daya kepekaan Hanum dan Rangga terhadap Islam sangat besar.

Wujud kecintaan terhadap Islam yang sangat besar membuat mereka harus mampu tegar di bumi Eropa. Sebagaimana dalam pernyataan ini, Hanum menyatakan, “Situasi di Eropa yang cenderung atheis justru membuat saya semakin jatuh cinta dengan Islam” (Hasil wawancara pada 9 Juni 2015). Perwujudan rasa cinta terhadap Islam membuatnya harus mampu bertahan dari kondisi sekulerisme dan ateisme yang sudah bercokol di Eropa. Ia ingin menunjukkan nilai-nilai Islam yang prinsipil melalui kisah perjalanan mengelilingi Eropa untuk menguak peninggalan Islam di sana. Salah satunya dalam dialog antara Hanum dengan Sergio, pemandu wisata di Cordoba, saat menceritakan letak mihrab Mezquita (masjid yang kini menjadi gereja).

(37)

„Arah mihrab itu tidak sepenuhnya menghadap kiblat kalian di Mekkah. Seharusnya mihrab itu dibangun sedikit miring ke Tenggara. Tapi mihrab itu terlalu lurus ke selatan….jadi tidak menghadap apapun,‟ ujar Sergio dengan kata-kata yang membuat kami sedikit „terusik‟.

„Itu tidak disengaja….mungkin saat itu belum ditemukan cara untuk mengetahui secara persis arah tenggara,‟ kataku berusaha „membela‟ posisi mihrab Mezquita.

„Bukan demikian. Penguasa saat itu, Sultan Al Rahman, sangat menyadarinya. Dia memang sengaja membuatnya begitu. Karena—nah, ini ada hubungannya dengan bagaimana Cordoba bisa menyandingkan orang-orang yang berbeda keyakinan dengan begitu indah—di sebelah masjid ada gereja yang sudah terlebih dahulu berdiri di situ. Jika memaksakan mihrab ke arah tenggara, mau tak mau gereja itu harus dirobohkan. Sultan tak mau melakukannya,‟ kata Sergio mengangkat bahunya singkat (Rais dan Almahendra, 2014: 273-274).

Perjalanan ini dianggap istimewa bagi pengarang, karena bisa memberi pengetahuan tentang dunia Islam di masa lalu, yang bisa menyebar di Eropa hanya bermodalkan nilai-nilai keikhlasan para kaum muslim, cinta, dan kasih sayang. Hal ini juga dijelaskan Hanum terkait tujuan penulisan novel ini, “Bagi saya yang lebih penting adalah, bagaimana makna sebuah perjalanan harus bisa membawa pelakunya naik „derajat„ yang lebih tinggi, baik horizon ilmu maupun perspektif kemanusiaannya, meninggikan keimanan dan ketaqwaanya pada Allah SWT” (Hasil wawancara Hanum di situs www.hanumrais.com).

Rasa kekecewaan ini juga disampaikan oleh Rangga Almahendra ketika harus bertahan hidup di Eropa. Kuatnya pengaruh sekulerisme dan rasa alergi pada sebagian besar masyarakat Eropa menjadikan segala aspek keagamaan dipisahkan dari urusan dunia. Sebagaimana dijelaskan oleh Rangga saat menceritakan tentang kepribadian Stefan sebagai salah satu cerminan sebagian masyarakat Eropa yang jauh dari pengaruh agama, “Susah memang berbicara tentang Tuhan pada orang yang sejak

(38)

Dia berfikir jika Tuhan itu ada, mana mungkin Tuhan sejahat itu untuk membebankan semua kewajiban untuk umat-Nya?” (Rais dan Almahendra, 2014: 215). Selain masalah ketuhanan yang dikeluhkan Rangga, tidak berkumandangnya adzan dan sulitnya menemukan rumah makan halal juga merupakan dampak sekulerisme di Eropa. Akibatnya, mereka harus bisa mengatur sendiri jadwal shalat ataupun mencari tempat shalat terdekat (masjid) dan terpaksa menyembelih sendiri.

Berdasarkan hal ini,Rangga menyatakan, “Rangga dan Hanum mengaku kesulitan dengan kehidupan sehari-hari selama di Eropa. Misalnya saat mencari makan, mereka berdua mengaku kesulitan mencari makanan halal.Selain itu sulitnya menentukan waktu shalat karena tidak adanya adzan. Terpaksa mereka menyembelih hewan sembelihan sendiri” (Hasil wawancara Rangga pada 8 Agustus 2015). Hal ini

juga tergambar dalam isi novel yang menjelaskan tentang sulitnya mendapat makanan halal di Eropa, sehingga Hanum memilih solusi bijak dengan membawa dan membuat bekal sendiri seperti kutipan, “Kami mempunyai kebiasaan membawa bekal dari rumah untuk makan siang. Bukan kami tak suka makanan barat, namun karena mencari menu yang tak bercampur babi di kantin kampus bukan perkara mudah” (Rais dan Almahendra, 2014: 205).

Kekhawatiran itu yang menguji daya kepekaan Hanum dan Rangga untuk bisa menjalani hukum-hukum Islam yang mereka anut. Apa yang ada dalam pikiran mereka adalah kekhawatiran ketika berhadapan dengan kondisi yang membuat keimanan mereka diuji. Akibatnya mereka harus bisa bersabar dengan kehidupan di Eropa. Perasaan kecewa tentunya telah menggelayuti mereka selama tinggal di sana. Sebagaimana realita tersebut, Hanum menyampaikan, “Saya pernah punya

(39)

pengalaman pribadi. Saat itu saya melamar pekerjaan sebagai guru piano disebuah sekolah di Austria. Saya datang interview dengan memakai hijab. Ternyata mereka

mau menerima saya sebagai guru asal saya mau mencopot jilbab saya. Saya putuskan untuk tidak menerima pekerjaan tersebut daripada menggadaikan iman saya” (Hasil

wawancara Hanum pada 9 Juni 2015).

Hal ini yang menjadi perenungan terhadap kondisi yang dianggap bisa menggadaikan iman. Salah satunya juga terdapat dalam ungkapan Hanum terhadap situasi yang dialami Rangga dalam pernyataannya, “Sampai-sampai untuk minta waktu mengerjakan Shalat Jumat, Rangga perlu meyakinkan supervisor dan kolega-koleganya bahwa ini adalah ibadah wajib yang tak boleh dia tinggalkan. Bagaimanapun Rangga menjelaskan, sepertinya mereka masih sulit memahaminya” (Rais dan Almahendra, 2014: 205). Kondisi yang digambarkan pengarang di atas merupakan sebagian ungkapan kekecewaan atas kondisi keberagaman yang tidak mendapat bagian dari aspek kehidupan manusia. Situasi inilah yang menyebabkan keimanan mereka diuji sehingga harus mampu bersikap bijak dalam menghadapi benturan iman dan budaya.

Secara naluriah, daya kritis dan kepekaannya terbangun sehingga

memengaruhi terbentuknya ekspresi. Pemikirannya dapat diwujudkan dalam novel 99

Cahaya di Langit Eropa terhadap situasi Eropa yang sekuler. Salah satunya ketika

menyikapi Rangga ketika berhadapan dengan koleganya yang tidak boleh menggunakan microwave untuk masak perbekalan sekaligus pelarangan oleh dosen

Rangga ketika meninggalkan ujian karena melakukan aktivitas yang dianggap „mengganggu‟. Kondisi itu juga dapat dijelaskan Hanum dalam kutipan novel ini,

(40)

“Kondisi di Eropa saat ini makin sekuler, menjungkir-balikkan antara yang patut dan tidak patut. Menganggap orang yang beragama apapun itu adalah suatu bentuk penyimpangan dan menilai orang tanpa keyakinan agama sebagai bentuk kenormalan” (Rais dan Almahendra, 2014: 208).

Kata-kata yang dilontarkan Hanum dan Rangga disampaikan dengan bahasa yang mudah dipahami dan dikemas secara sederhana. Sebagaimana dijelaskan dalam bagian berikut.

Tak ada gunanya berdebat sengit menjelaskan shalat adalah kewajiban personal, konsep dosa-pahala, dan lain sebagainya. Sampai lelah rasanya harus menjelaskan kami umat muslim tidak makan babi. Berbuih-buih bibir ini, mereka tidak paham juga bahwa itu adalah larangan dalam Al-Quran— meskipun kami sudah menjelaskannya dengan bahasa rasional dari sisi kesehatan sekalipun (Rais dan Almahendra, 2014: 209).

Kemampuan bahasa ini diolah berdasarkan kepakarannya ketika merespon realita. Hal yang terjadi itu mampu membangkitkan hasrat untuk melepaskan segala beban pikiran terhadap kondisi itu. Hal inilah yang selanjutnya membuat Hanum dan Rangga perlu untuk segera menyampaikan kisah perjalanannya yang dikemas sebagai realisasi dakwah/syiar Islam. Hal ini dilakukan sebagai implementasi membangkitkan kesadaran kepada pembaca untuk mencintai Islam. Berbagai simbol yang ditemui dapat menjadi pemuas batin untuk membuktikan kemajuan Islam di Eropa. Sebagaimana ketika Hanum menjelaskan dalam bagian prolog tentang penulisan kembali kisah perjalanan mereka, ia menjelaskan, “Ini yang coba saya refleksikan dalam catatan perjalanan ini. Saya mencoba mengumpulkan kembali sisa kebesaran peradaban Islam yang kini terserak. Dan saya justru menemukan jejak-jejak peninggalan tersebut selama menempuh perjalanan menjelajahi Eropa” (Rais dan

Referensi

Dokumen terkait

nilai Adjusted R Square sebesar 0,542 hal ini menunjukkan bahwa kemampuan variabel Kepercayaan, Komunikasi dan Keragaman Produk dalam menjelaskan menjelaskan

“Pengaruh Fungsi Kepemimpinan, Lingkungan Kerja, Kultur Organisasi, Kepribadain, Motivasi, dan Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Auditor Internal (Studi Empiris Pada

law). Hukum yang dipakai tidak boleh hasil manipulasi atau "karangan" sendiri. Prinsip batal karena kecerobohan Pejabat. Keputusan Administrasi Negara yang diambil secara

Endapan gambut kemungkinan besar merupakan gambut dari jenis Ombrogenous, hal ini dicirikan diantaranya oleh ketebalan gambut yang cukup variatip yaitu antara 0,15 m sampai 6.20

2.. Peserta mampu memahami urgensi dan beragam inovasi, dapat menerapkan prinsip-prinsip dasar pendekatan manajemen inovasi, memiliki kompetensi atas penerapan

pang nuageurkeun ku gamparan seug nyaur Syarif Hidayat lamun kami enggeus tepang jeung kangjeng Nabi Muhammad. Memeh cageur eta diri Naga Pertala geus waras ku karamat Syarif Anom

Kedalaman, kecepatan aliran dan ketinggian sedimen pada sungai model Shazy Shabayek sangat dipengaruhi oleh besar kecilnya kecepatan aliran lateral yang masuk ke

Tabel XXXVIIIAnalisis Pernyataan Responden Terhadap Item Pernyataan Responden Cenderung Akan Terus Menggunakan Jasa Kartu Prabayar AS Telkomsel Dalam Beberapa Tahun