• Tidak ada hasil yang ditemukan

SISTEM INTRAUTERIN EKSTRAUTERIN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SISTEM INTRAUTERIN EKSTRAUTERIN"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Neonatus

2.1.1. Pengertian Neonatus

Neonatus adalah bayi baru lahir sampai dengan usia 1 bulan sesudah lahir. Neonatus dini berusia 0-7 hari dan Neonatus lanjut berusia 7-28 hari. Bayi baru lahir normal adalah bayi yang lahir dari kehamilan 37 minggu sampai 42 minggu dan berat badan lahir 2500 gram sampai dengan 4000 gram (Muslihatun, 2010). Ciri-ciri bayi baru lahir (neonatus) normal adalah berat badan 2500-4000 gram, panjang badan lahir 48-52 cm, lingkar dada 30-38 cm, lingkar kepala 33-35 cm, frekuensi jantung 180 denyut/menit, kemudian menurun sampai 120-140 denyut/menit, pernapasan pada beberapa menit pertama cepat kira-kira 80 kali/menit, kemudian menurun setelah tenang kira-kira 40 kali/menit, kulit kemerah-merahan dan licin karena jaringan subkutan cukup terbentuk dan diliputi verniks kaseosa, rambut lanugo tidak terlihat, rambut kepala biasanya telah sempurna, kuku agak panjang dan lemas, genetalia : labia mayora sudah menutupi labia minora (pada perempuan), testis sudah turun (pada anak laki-laki) (Dahliana et al, 2012).

2.1.2. Fisiologi Neonatus

Menurut Muslihatun 2010 adaptasi neonatus adalah proses penyesuaian fungsional neonatus dari kehidupan di dalam uterus ke kehidupan luar uterus.

Tabel 2.1.Adaptasi Neonatus

SISTEM INTRAUTERIN EKSTRAUTERIN

Pernafasan volunter Belum berfungsi Berfungsi

Alveoli Kolaps Berkembang

Vaskularisasi paru Belum aktif Aktif

Resistensi paru Tinggi Rendah

(2)

SISTEM INTRAUTERIN EKSTRAUTERIN Pengeluaran CO2 Di plasenta Di paru

Sirkulasi paru Tidak berkembang Berkembang banyak Sirkulasi sistemik Resistensi perifer rendah Resistensi perifer

tinggi Denyut jantung Lebih cepat Lebih lambat

Absorbsi nutrien Belum aktif Aktif

Kolonisasi kuman Belum Segera

Feses Mekonium >hari ke-4, feses biasa

Enzim pencernaan Belum aktif Aktif

2.1.3. Pertumbuhan dan Perkembangan Neonatus

Pertumbuhan adalah bertambahnya jumlah dan besarnya sel di seluruh bagian tubuh yang secara kuantitatif dapat diukur seperti tinggi badan, berat badan, dan lingkar kepala. Perkembangan adalah bertambah sempurnanya fungsi alat tubuh yang dapat dicapai melalui tumbuh kematangan dan belajar, terdiri dari kemampuan gerak kasar dan halus, pendengaran, penglihatan, komunikasi, bicara, emosi-sosial, kemandirian, intelegensia, dan perkembangan moral (Muslihatun,2010). Berat bayi baru lahir adalah kira-kira 3000 gram, biasanya anak laki-laki lebih berat daripada anak perempuan. Lebih kurang 95% bayi cukup bulan mempunyai berat badan antara 2500-4500 g; pada bayi baru lahir cukup bulan, berat badan waktu lahir akan kembali pada hari ke-10. Pada waktu lahir, kepala relatif masih lebih besar, muka bulat, ukuran anterior-posterior dada masih lebih besar, perut membuncit dan anggota gerak relatif lebih pendek. Sebagai titik tengah tinggi badannya adalah setinggi umbilikus. Ketika baru lahir, bayi hanya dapat melihat sejauh 20-25 cm saja (Rukiyah dan Yulianti, 2010)

2.2. Kematian Neonatus 2.2.1 Definisi

Kematian neonatal adalah jumlah bayi lahir hidup yang meninggal dalam 28 hari pertama kehidupannya. Semua bayi yang lahir hidup yang meninggal dalam

(3)

28 hari pertama kehidupannya harus diberikan akte kematian oleh dokter (Andraiansz, 2007).

2.2.2. Klasifikasi Kematian Neonatus

Kematian neonatal dapat dibagi menjadi kematian neonatal dini dan kematian neonatal lanjut. Kematian neonatal dini adalah kematian yang terjadi pada minggu pertama kehidupan seorang bayi. Oleh karena itu, kematian neonatal dini adalah jumlah bayi yang dilahirkan dalam keadaan hidup namun kemudian meninggal dalam 7 hari pertama kehidupannya (yaitu pada minggu pertama setelah kelahirannya). Kematian neonatal lanjut adalah jumlah bayi lahir hidup yang meninggal pada rentang waktu antara 7 hingga 28 hari (yaitu dalam minggu kedua hingga keempat dari kehidupannya) (Andraiansz, 2007).

2.2.3. Determinan Kematian Neonatus 2.2.3.1. Neonatus Risiko Tinggi

Bayi resiko tinggi adalah bayi yang mempunyai kemungkinan lebih besar untuk menderita sakit atau kematian daripada bayi lain. Istilah bayi resiko tinggi digunakan untuk menyatakan bahwa bayi memerlukan perawatan dan pengawasan yang ketat. Pengawasan dapat dilakukan beberapa jam sampai beberapa hari. Pada umumnya resiko tinggi terjadi pada bayi sejak lahir sampai usai hari 28 hari yang disebut neonatus. Hal ini disebabkan kondisi atau keadaan bayi yang berhubungan dengan kondisi kehamilan, persalinan, dan penyesuaian dengan kehidupan di luar rahim. Kondisi yang dapat menyebabkan neonatur resiko tinggi adalah bayi berat kahir rendah, asfiksia neonatorum, sindroma gawat nafas neonatus (SGNN), hiperbilirubinemia, kejang, hipotermi, hipertermi, kelainan kongenital, sepsis neonatorum, tetanus neonatorum, hipoglikemia,perdarahan atau infeksi tali pusat, dan penyakit yang diderita ibu selama kehamilan (Muslihatun, 2010). Penilaian dan tindakan yang tepat pada bayi risiko tinggi sangat penting karena dapat mencegah terjadinya gangguan kesehatan pada bayi yang dapat menimbulkan cacat atau kematian (Handayani, 2003). Kondisi yang paling banyak menyebabkan kematian neonatus adalah :

(4)

A. Bayi berat lahir rendah

Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2500 gram tanpa memandang usia gestasi. Berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam 1 jam setelah lahir. BBLR dapat terjadi pada bayi kurang bulan (<37 minggu) atau pada bayi cukup bulan (intrauterine growth restriction/IUGR). Sampai saat ini BBLR masih merupakan masalah di seluruh dunia, karena menjadi salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian pada masa neonatal. Prevalens BBLR masih cukup tinggi terutama di negara-negara dengan sosio-ekonomi rendah. Secara statistik di seluruh dunia, 15,5% dari seluruh kelahiran adalah BBLR, 90% kejadian BBLR didapatkan di negara berkembang dan angka kematiannya 20-35 kali lebih tinggi dibanding pada bayi dengan berat lahir >2500 gram. Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, angka kematian bayi sebesar 34 per 1000 kelahiran hidup. Dalam 1 tahun, sekitar 89.000 bayi usia 1 bulan meninggal. Artinya setiap 6 menit ada 1 (satu) neonatus meninggal. Penyebab utama kematian neonatal adalah Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) sebanyak 29% (Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, 2008). Angka kejadian di indonesia sangat bervariasi antara satu daerah dengan daerah lain, yang berkisar antara 9-30%. Penyebab terbanyak terjadinya BBLR adalah kelahiran prematur. Faktor ibu adalah umur (<20 tahun atau >40 tahun), paritas, dan lain-lain. Faktor plasenta seperti penyakit vaskular, kehamilan ganda, dan lain-lain, serta faktor janin juga merupakan penyebab terjadinya BBLR (Gandaputra et al, 2009)

Masalah yang sering timbul pada BBLR:

 Masalah pernapasan karena paru-paru yang belum matur  Masalah pada jantung

 Perdarahan otak

 Fungsi hati yang belum sempurna  Anemia atau polisitemia

(5)

 Lemak yang sedikit sehingga kesulitan mempertahankan suhu tubuh normal

 Masalah pencernaan/toleransi minum  Risiko infeksi (Gandaputra et al, 2009). B. Asfiksia Neonatorum

Asfiksia neonatorum adalah kegawatdaruratan bayi baru lahir dimana bayi tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur, sehingga dapat menurunkan O2 dan makin meningkatkan CO2 ( Rukiyah dan Yulianti, 2010). Perubahan-perubahan yang terjadi pada asfiksia antara lain hipoksia, hiperkapnia dan asidosis metabolik. Pada asidosis metabolik, terjadi perubahan metabolisme aerob menjadi anaerob yang akan menyebabkan kelainan biokimiawi darah yang lebih parah. Keadaan ini akan mempengaruhi metabolisme sel, jaringan, dan organ, khususnya organ vital, seperti otak,jantung, ginjal, paru yang berdampak pada gangguan fungsi, gagal organ sampai kematian (Muslihatun, 2010)

Penyebab asfiksia neonatorum :  Faktor ibu

a. Hipoksia ibu

b. Usia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun c. Gravida lebih dari 4

d. Sosial ekonomi rendah

e. Penyakit pembuluh darah yang mengganggu pertukaran dan pengangkutan oksigen antar lain hipertensi, hipotensi, gangguan kontraksi uterus dan lain-lain.

 Faktor plasenta

a. Plasenta yang tipis, kecil dan tidak menempel sempurna b. Solusio plasenta

c. Plasenta previa  Faktor janin

(6)

b. IUGR c. Gemelli

d. Tali pusat menumbung e. Kelainan kongenital  Faktor persalinan

a. Partus lama

b. Partus dengan tindakan

Dalam rangka menegakkan diagnosis, dilakukan anamnesis untuk mendapatkan faktor resiko terjadinya asfiksia neonatorum. Kemudian dilakukan pemeriksaan fisis sesuai dengan algoritma resusitasi neonatus, yaitu :

1. Bayi tidak bernafas atau menangis 2. Denyut jantung kurang dari 100x/menit 3. Tonus otot menurun

4. Cairan ketuban ibu bercampur mekonium, atau sisa mekonium pada tubuh bayi

5. BBLR (Kementrian kesehatan RI, 2010)

Asfiksia menyebabkan kematian neonatus antara 8-35% di negara maju, sedangkan di negara berkembang antara 31-56,5%. Insidensi asfiksia pada menit pertama 47/1000 lahir hidup dan pada 5 menit 15,7/1000 lahir hidup untuk semua neonatus. Insidensi asfiksia neonatorum di Indonesia kurang lebih 40/1000 (Depkes RI, 2009).

C. Hiperbilirubinemia

Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh proses fisiologis atau patologis atau kombinasi keduanya. (Dewi et al, 2010). Pada hiperbilirubinemia fisiologis, terjadi peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi >2 mg/dL pada minggu pertama kehidupan. Kadar bilirubin tidak terkonjugasi itu biasanya meningkat menjadi 6 sampai 8 mg/dL pada umur 3 hari, dan akan mengalami penurunan. Pada bayi kurang bulan, kadar bilirubin tidak

(7)

terkonjugasi akan meningkat menjadi 10 sampai 12 mg/dL pada umur 5 hari (Cloherty JP (2004) dalam Azlin et al (2013)). Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek. Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat lahir < 2500 g atau usia gestasi < 37 minggu) mengalami ikterus pada minggu pertama kehidupannya. Pada kebanyakan kasus ikterus neonatorum, kadar bilirubin tidak berbahaya dan tidak memerlukan pengobatan. Sebagian besar tidak memiliki penyebab dasar atau disebut ikterus fisiologis yang akan menghilang pada akhir minggu pertama kehidupan pada bayi cukup bulan. Sebagian kecil memiliki penyebab seperti hemolisis, septikemi, penyakit metabolik (ikterus non-fisiologis) (Hidayat, 2009). Salah satu penyebab mortalitas pada bayi baru lahir adalah ensefalopati bilirubin (lebih dikenal sebagai kern-ikterus). Ensefalopati bilirubin (EB) adalah komplikasi ikterus neonatorum non fisiologis sebagai akibat efek toksis bilirubin tak terkonjugasi terhadap susunan syaraf pusat (SSP). Istilah lain adalah kernikterus yang berarti yellow kern titik-titik warna kuning yang terjadi mengenai sebagian besar struktur SSP, yang ditemukan pada autopsi bayi yang meninggal karena ensefalopati bilirubin (Usman, 2007). Ensefalopati bilirubin merupakan komplikasi ikterus neonatorum yang paling berat. Selain memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralisis dan displasia dental yang sangat memengaruhi kualitas hidup (Munir, 2012). Pada dasarnya warna kekuningan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain :

a. Produksi bilirubin yang berlebihan misalnya pada pemecahan sel darah merah (hemolisis) yang berlebihan pada incompabilitas (ketidaksesuaian) darah bayi dengan ibunya.

(8)

b. Gangguan dalam proses “uptake” dan konjugasi akibat dari gangguan fungsi liver.

c. Gangguan proses tranportasi karena kurangnya albumin yang meningkatkan bilirubin indirek.

d. Gangguan ekskresi yang terjadi akibat sumbatan hepar karena infeksi atau kerusakan sel hepar (kelainan bawaan) (Hasan, 2007). Pada ikterus fisiologis menurut Muslihatan (2010) :

1. Timbul pada hari ke-2 dan ke-3

2. Kadar bilirubin indirek < 10 mg% (pada neonatus cukup bulan) 3. Kadar bilirubin indirek <12,5mg% (pada neonatus kurang bulan) 4. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin <5 mg% perhari

5. Kadar bilirubin direk <1 mg% 6. Ikterus menghilang pada hari ke-10

7. Tidak berhubungan dengan keadaan patologis. Pada ikterus patologis :

1. Timbul pada 24 jam pertama, menetap setelah 2 minggu pertama 2. Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 12,5 mg% pada neonatus

cukup bulan atau 10 mg% pada neonatus kurang bulan

3. Peningkatan konsentrasi bilirubin bilirubin 5 mg% atau lebih setiap 24 jam

4. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%

5. Ikterus disertai proses hemolisis (inkompatibiltas darah, defisiensi G6PD dan sepsis)

D. Kelainan Kongenital

Kelainan kongenital merupakan kelainan morfologik dalam pertumbuhan struktur bayi yang timbul sejak kehidupan hasil konsepsi dalam kandungan. Secara umum dapat dibagi menjadi dua kelompok antara lain malformasi yaitu kelainan kongenital yang timbul sejak periode embrional sebagai gangguan primer morfogenesis atau organogenesis, dan deformitas kongenital yang timbul pada fetus akibat mengalami perubahan posisi,

(9)

bentuk, ukuran organ tubuh yang semula tumbuh normal (Warkany (1997) dalam Made P (1998)). Kelainan kongenital pada bayi baru lahir merupakan penyebab kematian nomor tiga dari kematian bayi dibawah umur satu tahun (18%) (Cunningham (1989) dalam Made (1998)). Kelainan kongenital dapat merupakan penyebab penting terjadinya abortus, lahir mati, ataupun kematian bayi segera setelah lahir. Kematian bayi pada bulan pertama kehidupannya sering disebabkan kelainan kongenital yang besar (11,7%). Bayi yang dilahirkan dengan kelainan kongenital cenderung mempunyai berat badan lahir rendah (BBLR), atau kecil masa kehamilan (Kadri (1991) dalam Made (1998)). Hampir semua kelainan kongenital pada bayi merupakan interaksi yang kompleks antara predisposisi genetik dan faktor pendukung dalam lingkungan tumbuhnya intra uterin. Semua kelainan atau penyakit selalu melibatkan unsur gen walaupun kelainan tersebut merupakan kelainan yang umum dijumpai. Pada penyakit infeksi, faktor lingkungan merupakan faktor yang dominan dalam menentukan terjadinya kelainan tetapi adanya variasi genetik pada setiap individu juga berperan di dalam menentukan berat ringannya kelainan yang diakibatkannya (Wong HB (1998) dalam Made (1998)).

E. Sepsis Neonatorum

Sepsis neonatorum adalah sindrom klinik penyakit sistemik, disertai bakteremia yang terjadi pada bayi dalam satu bulan pertama kehidupan. Angka kejadian sepsis neonatal adalah 1-10 per 1000 kelahiran hidup, dan mencapai 13-27 per 1000 kelahiran hidup pada bayi dengan berat <1500gram. Angka kematian 13-50%, terutama pada bayi prematur (5-10 kali kejadian pada neonatus cukup bulan) dan neonatus dengan penyakit berat dini. Infeksi nosokomial pada bayi berat lahir sangat rendah, merupakan penyebab utama tingginya kematian pada umur setelah 5 hari kehidupan. Sesuai dengan patogenesis, secara klinik sepsis neonatal dapat dikategorikan dalam: Sepsis dini, terjadi pada 5-7 hari pertama, tanda distres pernapasan lebih mencolok, organisme penyebab penyakit didapat

(10)

dari intrapartum, atau melalui saluran genital ibu. Pada keadaan ini kolonisasi patogen terjadi pada periode perinatal. Beberapa mikroorganisme penyebab, seperti treponema, virus, listeria dan candida, transmisi ke janin melalui plasenta secara hematogenik. Cara lain masuknya mikroorganisme, dapat melalui proses persalinan. Dengan pecahnya selaput ketuban, mikro-organisme dalam flora vagina atau bakteri patogen lainnya secara asenden dapat mencapai cairan amnion dan janin. Hal ini memungkinkan terjadinya khorioamnionitis atau cairan amnion yang telah terinfeksi teraspirasi oleh janin atau neonatus, yang kemudian berperan sebagai penyebab kelainan pernapasan. Adanya vernix atau mekoneum merusak peran alami bakteriostatik cairan amnion. Akhirnya bayi dapat terpapar flora vagina waktu melalui jalan lahir. Kolonisasi terutama terjadi pada kulit, nasofaring, orofaring, konjungtiva, dan tali pusat. Trauma pada permukaan ini mempercepat proses infeksi. Penyakit dini ditandai dengan kejadian yang mendadak dan berat, yang berkembang dengan cepat menjadi syok sepsis dengan angka kematian tinggi. Sepsis lambat umumnya terjadi setelah bayi berumur 7 hari atau lebih. Sepsis lambat mudah menjadi berat, tersering menjadi meningitis. Bakteri penyebab sepsis dan meningitis, termasuk yang timbul sesudah lahir yang berasal dari saluran genital ibu, kontak antar manusia atau dari alat-alat yang terkontaminasi. Di sini transmisi horisontal memegang peran. (Pusponegoro, 2000). Kriteria untuk diagnostik sepsis neonatus adalah jika ditemukan satu dari tanda fetal inflammatory response syndrome (FIRS), seperti takipnue, hipotermia atau hipertermia, CRT > 3 detik, jumlah leukosit < 4000 atau > 34.000, CRP > 10 mg/dl, IL-6 atau IL-8 > 70 pg/ml, dan disertai gejala klinis. (Utomo M.T (2010) dalam Rohsiswatmo R ( 2007)). Risiko untuk mengalami sepsis neonatal bersifat multifaktorial dan berhubungan dengan belum matangnya sistem humoral, fagosit dan imunitas seluler (biasanya terjadi pada bayi prematur dan berat bayi lahir rendah), hipoksia, asidosis dan gangguan metabolisme. Insiden sepsis neonatal juga dipengaruhi oleh status ekonomi, proses persalinan,

(11)

ras, jenis kelamin (laki-laki 4 kali lebih mudah terinfeksi dari pada perempuan), dan standar perawatan bayi (Lihawa M.Y et al (2013) dalan Kardana I.M (2011)).

2.2.3.2. Faktor Ibu

A. Kaitan Umur Ibu dengan Kematian Neonatus.

Risiko untuk terjadi kematian neonatal pada ibu yang berusia kurang dari 20 tahun atau 35 tahun ke atas 1,5 kali lebih besar daripada ibu berusia 20-34 tahun (Afifah et al, 2007). Umur ibu sangat berpengaruh terhadap kematian neonatal, umur ibu yang terlalu muda yaitu < 20 tahun kondisinya belum siap untuk menerima kehamilan karena anatomi tubuhnya belum sempurna, akibat resiko kematian maternal dan perinatal akan meningkat, sedangkan umur ibu yang >35 tahun anatomi tubuhnya sudah mulai mengalami degenerasi sehingga kemungkinan terjadi komplikasi pada saat kehamilan dan persalinan akan meningkat, akibatnya kematian neonatal semakin besar (Magdalena et al, 2012).

B. Kaitan Pemeriksaan ANC dengan Kematian Neonatus.

Untuk menghindari risiko komplikasi pada kehamilan dan persalinan, anjurkan setiap ibu hamil untuk melakukan kunjungan antenatal komprehensif yang berkualitas minimal 4 kali, termasuk minimal 1 kali kunjungan diantar suami/pasangan atau anggota keluarga, sebagai berikut (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

Tabel 2.2. Waktu Pemeriksaan ANC Trimester Jumlah kunjungan

minimal

Waktu kunjungan yang dianjurkan

I 1 x Sebelum minggu ke 16

II 1 x Antara minggu ke 24-28

III 2 x Antara minggu 30-32

(12)

Dari 38 responden dimana Pelayanan ANC <4x sebanyak orang 23 (60,5%), diantaranya 6 neonatus (15,8%) meninggal <48 jam, 17 neonatus (44,7%) meninggal >48 jam. Pelayanan ANC >4x sebanyak 15 neonatus (39,5%), diantaranya 13 neonatus (34,2%) meninggal <48 jam, 2 neonatus (5,3%) meninggal >48 jam (Magdalena et al, 2012).

C. Kaitan Paritas dengan Kematian Neonatus

Bayi yang mati pada usia neonatal dari ibu dengan paritas 0 dan 4 persentasenya lebih besar (75,86%) dari pada bayi yang hidup pada ibu yang berparitas sama (27,59%), sedangkan ibu dengan paritas 1 sampai 3 persentase neonatal yang hidup (72,41%) lebih besar dibandingkan dengan neonatal yang mati (24,14%). Hal ini berkaitan dengan belum pulihnya organ reproduksi dalam menerima terjadinya kehamilan. Apabila jumlah paritas kecil maka otot uterus masih kuat, kekuatan mengejan belum berkurang, kejadian komplikasi persalinan maupun partus lama yang dapat membahayakan ibu maupun bayinya akan semakin kecil ( Wahid, 2000).

D. Kaitan Jarak Kelahiran dengan Anak sebelumnya dengan Kematian Neonatus.

Kematian neonatal dengan karakteristik jarak kelahiran kurang dari 15 bulan dengan anak sebelumnya (3,5%) lebih tinggi dibanding kematian neonatal yang berjarak 15 bulan ke atas (1,4%) (Afifah et al, 2007).

E. Kaitan Komplikasi Kehamilan dengan Kematian Neonatus

Prevalensi kematian neonatal dua kali lebih tinggi pada ibu yang mengalami komplikasi ketika bersalin seperti perdarahan, demam dan lendir berbau, kejang/eklampsi dibanding ibu yang tidak mengalami komplikasi ketika bersalin. Analisis regresi logistik bivariat menunjukkan risiko kematian neonatal 2 kali lebih besar pada bayi yang dalam proses persalinan ibunya mengalami komplikasi demam tinggi dan lendir berbau serta kejang. Dari

(13)

hasil analisis regresi logistik, terlihat bahwa lima buah variabel perawatan ketika bersalin yaitu penolong persalinan, komplikasi persalinan seperti mules kuat dan teratur lebih dari sehari semalam, perdarahan, demam tinggi dan lendir berbau, serta kejang, memenuhi syarat sebagai determinan potensial (Afifah et al, 2007)

2.2.3.3. Faktor Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan ibu hamil bertujuan mengawasi dan menangani ibu hamil dan ibu bersalin, asuhan dan pemeriksaan ibu sesudah persalinan, asuhan neonatus, pemeliharaan dan pemberian laktasi (Manuaba, 2010). Perawatan yang tidak adekuat dan tidak tepat selama hamil, bersalin, dan beberapa jam setelah melahirkan juga mempunyai konsekuensi terhadap terjadinya kematian bayi baru lahir. Ada hubungan yang signifikan antara pertolongan persalinan dengan kematian neonatal. Bayi yang dilahirkan ibu yang mendapat pertolongan persalinan bukan dengan tenaga kesehatan berisiko 3,6 kali untuk mengalami kematian neonatal dibandingkan dengan bayi yang mendapatkan pertolongan persalinan dari tenaga kesehatan. Penelitian sebelumnya menemukan hubungan yang bermakna antara penolong persalinan dengan kematian neonatal. Ada hubungan bermakna antara penolong persalinan dengan kematian neonatal. Bayi yang dilahirkan dari ibu yang ditolong oleh dukun berisiko kematian neonatal 6,07 kali lebih besar dibanding bayi yang lahir ditolong oleh tenaga kesehatan (Prabamurti, 2008). Risiko kejadian kematian neonatal 2,4 kali lebih besar pada bayi yang ketika dikandung diperiksa oleh dukun atau tidak diperiksa dibanding bayi yang diperiksa oleh tenaga kesehatan (medis atau paramedis) (afifah et al, 2007). Proporsi persalinan di fasilitas kesehatan masih rendah, yaitu sebesar 55 persen. Lebih dari setengah perempuan di 20 provinsi tidak mampu atau tidak mau menggunakan jenis fasilitas kesehatan apapun, sebagai penggantinya mereka melahirkan di rumah mereka sendiri. Perempuan yang melahirkan di fasilitas kesehatan memungkin untuk memperoleh akses ke pelayanan obstetrik darurat dan perawatan bayi baru

(14)

lahir, meskipun pelayanan ini tidak selalu tersedia di semua fasilitas kesehatan (Unicef, 2012).

Kontribusi faktor keterlambatan untuk mendapatkan perawatan yang berkualitas bagi bayi yang sakit merupakan salah satu dari penyebab kematian neonatal (Depertemen Kesehatan RI, 2001). Harapan hidup dari bayi berat lahir rendah seringkali rendah, karena banyak yang terlambat atau bahkan tidak mencari pengobatan. Menurut Djaja dan Soeharsono pada tahun (2001) keterlambatan ini terjadi pada empat masalah yaitu:

1. Keterlambatan dalam mengenal masalah ketika di rumah. Untuk bayi-bayi yang dilahirkan di rumah dengan keadaan sakit dapat berubah menjadi buruk dengan cepat, seringkali dalam hitungan jam. Tanda dan gejalanya seringkali samar, sehingga anggota keluarga dan bahkan petugas kesehatan tidak mengenal dan tidak dapat mengidentifikasi tanda bahaya.

2. Keterlambatan dalam memutuskan untuk mencari pengobatan. Bahkan setelah tanda dan gejala diketahui, keluarga tidak segera mencari pengobatan dengan berbagai alasan seperti: tidak mengerti bahwa kasus tersebut merupakan kasus emergensi, kesulitan biaya dan transportasi, lebih mempercayai dukun, pengalaman yang buruk sebelumnya dengan petugas kesehatan dan lain-lain.

3. Keterlambatan dalam mencapai fasilitas kesehatan akibat hambatan transportasi dan sumber daya.

4. Keterlambatan dalam menerima perawatan yang berkualitas pada fasilitas kesehatan. Banyak kasus kematian neonatal berkaitan langsung dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu yang tidak adekuat. Seringkali keterlambatan dialami ibu atau bayinya menerima pengobatan walaupun mereka telah mencapai fasilitas kesehatan, seperti: Tenaga, peralatan, dan obat-obatan tidak adekuat, fasilitas operasi hanya beberapa jam atau beberapa hari dalam satu minggu, tidak ada protokol standar dalam mempertahankan kualitas pelayanan, tidak ada sistem rapid assessment

(15)

untuk ibu atau bayi, provider tidak terampil, dan kemampuan interpersonal staf kurang.

Gambar

Tabel 2.2. Waktu Pemeriksaan ANC  Trimester  Jumlah kunjungan

Referensi

Dokumen terkait

Moguće je da postoje neke veze toga naziva s podzemnim božanstvima - Erinijama, koje su stanovale u špilji na tome brdu i ubojice kažnjavale progonstvom Prema Eshilovu

Gambar- gambar yang dilukis ataupun tulisan yang dituangkan pada angkutan becak, agaknya bukan hanya sekedar lukisan atau gambar biasa saja, namun dibaliknya terkandung maksud-maksud

Penyusutan untuk periode akuntansi dibebankan ke pendapatan baik secara langsung maupun tidak langsung.” Menurut Mulyono (2006:113), “penyusutan merupakan pembebanan

Dalam hal tempatnya masih menumpang sehingga tidak memungkinkan menata Alat Permainan Edukatif (APE) dalam rak/wadah yang permanen, maka APE dapat dikemas dalam

Pengguna dapat mengakses semua fungsi yang ada, seperti dapat melakukan penambahan data, manipulasi data jenis ayam, manipulasi data sumber, manipulasi data bahan

Kinerja Pegawai adalah kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan hasil yang diharapkan dalam rangka

Dengan kata lain daerah tersebut harus memiliki daya tarik khusus dan atraksi budaya yang dapat dijadikan entertainment bagi wisatawan.. What to see meliputi pemandangan

Ekologi pemerintahan merupakan suatu disiplin ilmu / cabang ilmu pemerintahan yang mempelajari adanya suatu proses saling mempengaruhi sebagai akibat adanya hubungan normative