• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan hukum acara pidana dan hukum acara pidana Islam terhadap kompetensi saksi ahli dari terdakwa Jessica Kumala Wongso.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan hukum acara pidana dan hukum acara pidana Islam terhadap kompetensi saksi ahli dari terdakwa Jessica Kumala Wongso."

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM ACARA PIDANA DAN HUKUM ACARA

PIDANA ISLAM TERHADAP KOMPETENSI SAKSI AHLI DARI

TERDAKWA JESSICA KUMALA WONGSO

SKRIPSI

Oleh:

Alan Tathmainnul Qulub Al Umami NIM. C03213006

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Publik Islam Prodi Hukum Pidana Islam Surabaya

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul ‚Tinjauan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Pidana Islam terhadap Kompetensi saksi ahli dari terdakwa Jessica Kumala

Wongso‛ merupakan hasil penelitian dari kepustakaan untuk menjawab dua

pertanyaan yaitu bagaimana tinjauan Hukum Acara Pidana terhadap kompetensi saksi ahli dari terdakwa Jessica Kumala Wongso dan bagaimana tinjauan Hukum Acara Pidana Islam terhadap kompetensi saksi ahli dari terdakwa Jessica Kumala Wongso.

Data penelitian yang dihimpun adalah bahan hukum primer dan bahan hukum skunder, yang dihimpun melalui pengumpulan data dari buku-buku dan literatur dan selanjutnya dianalisis menggunakan metode normatif kualitatif.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa Saksi ahli dari terdakwa Jessica Kumala Wongso yaitu Dewi Taviana Haroen dan Rismon Hasiolan Sianipar tidak sesuai dengan kompetensinya, sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 28 KUHAP. Hal ini dikarenakan Dewi Taviana Haroen merupakan ahli dalam bidang Psikologi politik sedangkan Rismon Hasiolan Sianipar bukan ahli digital forensik dengam melihat latar belakang pendidikannya, dan pengalaman dalam penelitiannya. Menurut kriteria saksi ahli dalam Hukum Acara Pidana Islam. Saksi ahli Dewi Taviana Haroen dan Rismon Hasiolan Sianipar bisa dikatakan tidak sesuai hal ini di karenakan saksi ahli menurut Hukum Acara Pidana Islam adalah seseorang yang memiliki pemahaman atau ilmu pengetahuan khusus tertentu yang tidak diketahui orang banyak, yang berkewajiban menjelaskan atau menerangkan kepada khalayak umum mengenai ilmu pengetahuan tersebut.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

PERSEMBAHAN ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TRANSLETRASI ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi dan batasan Masalah ... 6

C. Rumusan Masalah ... 7

D. Kajian Pustaka ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 9

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 9

G. Definisi Operasional ... 10

H. Metode Penelitian ... 11

I. Sistematika Pembahasan ... 15

BAB II TEORI PEMBUKTIAN A. Teori Pembuktian menurut Hukum Acara Pidana ... 17

1. Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana ... 17

2. Kedudukan saksi dalam Hukum Acara Pidana ... 23

3. Kedudukan saksi ahli/ keterangan ahli menurut Hukum Acara Pidana ... 26

(8)

1. Pembuktian menurut Hukum Acara Pidana Islam ... 30

2. Kedudukan saksi dalam Hukum Acara Pidana Islam ... 34

3. Saksi ahli dalam Hukum Acara Pidana Islam ... 37

BAB III PERANAN SAKSI AHLI TERDAKWA JESSICA KUMALA

WONGSO DI DALAM PERSIDANGAN

A. Identitas saksi ahli terdakwa Jessica Kumala Wongso ... 41

B. Tugas pokok saksi ahli dari terdakwa Jessica Kumala Wongso

dalam persidangan ... 43

C. Beberapa pendapat berkenaan dengan saksi ahli pihak terdakwa

Jessica Kumala Wongso ... 51

BAB IV ANALISIS KOMPETENSI SAKSI AHLI DARI TERDAKWA

JESSICA KUMALA WONGSO DITINJAU DARI HUKUM

ACARA PIDANA DAN HUKUM ACARA PIDANA ISLAM

A. Tinjauan Hukum Acara Pidana terhadap kompetensi saksi ahli

dari terdakwa Jessica Kumala Wongso ... 55

B. Tinjauan Hukum Acara Pidana Islam terhadap Kompetensi saksi

ahli terdakwa Jessica Kumala Wongso ... 60

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 64

B. Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 66

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan

pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil

(materiile waarheid) terhadap suatu perkara agar nememukan suatu titik

terang dalam penyelesain permasalahan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari

adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam

memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mengungkap suatu

perkara baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan dan

penuntutan maupun pada tahap persidangan perkara tersebut.1

Wirjono Prodjodikoro, menjelaskan hukum acara pidana sebagai berikut.

‚Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana,

maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara

dengan mengadakan hukum pidana.‛ Jadi, belaiu sangat menggantungkan

fungsi hukum acara pidana pada ‚menjalankan hukum pidana (materiil)‛.2

Hukum Pidana formil (hukum acara pidana) yaitu mengatur

tentang bagaimana negara melalui alat- alatnya melaksanakan haknya

untuk memidana dan menjatuhkan pidana. Pembuktian merupakan

masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang

1Shellanika Ari Astuti, Kekuatan Pembuktian Keterangan Ahli Forensik Dalam Tindak Pidana

Pembunuhan Bayi Oleh Ibunya (Tinjauan Yuridis Putusan No. 147/Pid.B/2013/PN.Pwt.)

(10)

2

pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil

pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang ‚tidak cukup‛ membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa ‚dibebaskan‛ dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan

terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut

dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwah dinyatakan ‚bersalah’’.

Pembuktian berasal dari kata bukti yang artinya adalah usaha

untuk membuktikan. Dalam kampus Besar Bahasa Indonesia, kata

pembuktian diartikan sebagai: memperlihatkan bukti atau meyakinkan

dengan bukti, Sedangkan kata pembuktian diartikan sebagai proses,

perbuatan cara membuktikan, usaha menunjukkan benar atau salahnya si

terdakwa dalam sidang pengadilan.3

Menurut M. Yahya Harahap, pembuktian adalah ketentuan yang

membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan

kebenaran. Baik hakim, penuntut umum, terdakwa, atau penasihat

hukum, semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti

yang ditentukan undang-undang. Tidak boleh leluasa bertindak dengan

caranya sendiri dalam menilai pembuktian. Dalam mempergunakan alat

bukti, tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Terdakwa tidak

3

(11)

3

bisa leluasa mempertahankan sesuatu yang dianggapnya benar diluar

ketentuan yang telah digariskan undnag-undang.4

Berkaitan dengan pembuktian, maka saksi adalah orang yang

mengetahui tentang suatu peristiwa pidana berdasarkan apa yang ia

dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut

alasan dari pengetahuannya itu. Keterangan saksi merupakan alat bukti di

persidangan dan berguna dalam mengungkap duduk perkara suatu

peristiwa pidana yang nantinya akan dijadikan salah satu dasar

pertimbangan hakim untuk menentukan terbukti atau tidaknya perbuatan

terdakwa serta kesalahan terdakwa. Dalam proses persidangan dikenal

adanya beberapa macam saksi, Misalnya dilihat dari pihak yang

mengajukan dikenal sebutan: ‚saksi a charge‛ atau (saksi yang memberatkan) dan ‚saksi a decharge‛ (saksi yang meringankan). Dilihat dari posisi dalam peristiwa tindak pidana dikenal sebutan : ‚saksi korban‛

(saksi yang mengalami) ‚saksi melihat‛ dan ‚saksi mendengar‛. Jika

keterangan tersebut berupa pendapat diberikan oleh seseorang yang

memiliki keahlian tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang

suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan, maka hal tersebut

dimasukkan sebagai alat bukti ‚keterangan ahli‛.5

Di dalam Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa keterangan

seorang ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di dalam sidang

4

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), 274.

5

(12)

4

pengadilan.6 Menurut Andi Hamzah definisi keterangan ahli adalah pendapat seorang ahli yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang

telah dipelajarinya, tentang sesuatu apa yang dimintai pertimbangannya.

Jadi, dari keterangan tersebut diketahui bahwa yang dimaksud dengan

keahlian ialah ilmu pengetahuan yang telah dipelajari (dimiliki)

seseorang.

Salah satu kasus yang banyak melibatkan saksi ahli dalam proses

pembuktian adalah kasus dengan terdakwa Jesica Kumala Wongso dan

dari berbagai sumber media masa terdapat banyak sekali kontroversi

saksi ahli dari pihak terdakwa Jesika Kumala Wongso. Utamanya dalam

bidang digital forensik dan juga Psikologi. Semisal dalam memberikan

keterangannya, saksi ahli Jesika Kumala Wongso bidang digital forensik

Rismon Hasiolan Sianipar mengatakan bahwa rekaman CCTV yang

ditampilkan di ruang sidang terindikasi kuat telah direkayasa dengan cara

temparing7.

Padahal kualifikasi Ahli yang diperlukan dalam proses pembuktian

perkara pidana, baik di tingkat penyidikan maupun persidangan bukanlah

masalah praktis belaka. Persyaratan dan standar keahlian yang menjadi

acuan pihak penuntut umum maupun terdakwa dalam memilih ahli dan

pertentangan pendapat ahli, dapat ditelaah lebih lanjut untuk

6

Hari Sasangka dan Lily Rosita, KUHAP Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (Bandung: Mandar Maju, 2000), 214.

7Dadan Eka Permana, “perang saksi ahli digital forensik soal CCTV di sidng Jessica” dalam

(13)

5

menganalisis masalah tentang siapa sebenarnya ahli yang dimaksudkan

oleh KUHAP. Demikan halnya dengan masalah pertentangan pendapat

ahli yang akan berkaitan dengan sikap penyidik maupun hakim dalam

memilih keterangan ahli untuk kepentingan pembuktian.

Sedangkan dalam Hukum Pidana Islam pembuktian merupakan

sesuatu hal yang sangat penting, sebab pembuktian merupakan esensi dari

suatu persidangan guna mendapatkan kebenaran yang mendekati

kesempurnaan. Didalam hukum Islam, pembuktian biasa disebut dengan

Al-bayyina, Secara terminologi Al-bayyinah adalah membuktikan suatu

perkara dengan mengajukan alasan dan memberikan dalil sampai kepada

batas meyakinkan. Hasbi Ash Shiddiqy berpendapat, bahwa pembuktian

sebagai segala sesuatu yang dapat menampakkan kebenaran, baik ia

merupakan saksi atau sesuatu yang lain.8 Pembuktian merupakan salah satu tahapan yang menjadi prioritas yang harus di penuhi dalam

penyelesaian suatu sengketa.

Dalam Al- Qur’an Surat Al- Hujarat ayat 6 di jelaskan bahwa pentingnya mencari kebenaran dalam suatu pembuktian:9

8

Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), 139.

9Abu Thahir Muhammad bin Ya’kub Al-Fairuzabadi, Tafsir Ibnu ‘Abbas Disertai Asbabun Nuzul

(14)

6

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatua berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu.

Ayat di atas menjadi dasar kewajiban untuk melakukan

pembuktian, karena tindakan pembuktian diharapkan mampu

menunjukkan kenyataan yang sebenarnya sehingga nantinya menjadi

dasar bagi hakim untuk menetapkan putusannya berdasarkan bukti-bukti

yang ada dan juga keyakinannya. Ini adalah sebuah aturan yang wajib

dilaksanakan oleh hakim, agar masalah tersebut dapat diselesaikan

dengan adil dan bijak tanpa menimbulkan ketimpangan hukum.

Melihat pentingnya alat bukti saksi ahli dalam mengungkap kasus

kopi sianida Jessica Kumala Wongso ini, maka penulis tertarik meneliti

tentang kompetensi saksi ahli dari terdakwa Jessica Kumala Wongso.

Dari latarbelakang tersebut penulis tertarik mengkaji lebih lanjut

dengan menuangkan dalam skripsi yang berjudul ‚Tinjauan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Pidana Islam terhadap kompetensi saksi Ahli

dari terdakwa Jessica Kumala Wongso‛.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Dari latar belakang masalah diatas maka masalah yang muncul

dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1. Peranan saksi ahli dalam penyelesaian perkara tindak pidana sehingga

(15)

7

2. Kedudukan saksi ahli dalam memberikan keterangan di dalam

persidangan.

3. Kompetensi saksi Ahli dari terdakwa Jessica Kumala Wongso

4. Kemandirian saksi Ahli dalam memberikan keterangannya.

5. Tinjauan Hukum Acara Pidana Islam terhadap kompetensi saksi Ahli.

Untuk menghasilkan penelitian yang lebih fokus pada judul diatas,

penulis membatasi penelitian yakni pada : ‚Tinjauan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Pidana Islam terhadap kompetensi saksi Ahli

dari terdakwa Jessica Kumala Wongso‛.

1. Kompetensi saksi Ahli dari terdakwa Jessica Kumala Wongso.

2. Tinjauan Hukum Acara Pidana Islam terhadap kompetensi saksi Ahli

dari terdakwa Jessica Kumala Wongso.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut, maka dapat

dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana tinjauan Hukum Acara Pidana terhadap kompetensi saksi

Ahli dari terdakwa Jessica Kumala Wongso?

2. Bagaimana tinjauan Hukum Acara Pidana Islam terhadap kompetensi

(16)

8

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau

penelitian yang sudah pernah dilakukan diseputar masalah yang diteliti

sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak

merupakan pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang

sudah ada.10 Berawal dari kajian yang ditulis oleh Shellanika Ari Astuti ( Skripsi 2014) dengan judul ‚Kekuatan Pembuktian Keterangan Ahli Forensik Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Bayi Oleh Ibunya

(Tinjauan Yuridis Putusan No. 147/Pid.B/2013/Pn.Pwt.) Menjelaskan

mengapa keterangan Ahli Forensik di butuhkan dalam perkara tindak

pidana ini dan bagaimana kekuatan pembuktian keterangan Ahli forensik

dalam Putusan Tindak Pidana Nomor: 147/Pid B/2013/PN.Pwt.11

Kedua, Muhibuddin Baihaki ( Skripsi 2011) dengan judul ‚

Tinjauan Hukum Acara Pidana Islam terhadap Keterangan Saksi Ahli

dalam Penetapan Perkara Pidana Menurut Uu No. 8 Tahun 1981‛. Dalam

skripsi ini difokuskan pada kedudukan keterangan ahli / saksi ahli dalam

penetapan perkara pidana dan ditinjau dari hukum acara pidana Islam.12 Dengan adanya kajian pustaka di atas jelas sangat berbeda dengan

penelitian yang penulis lakukan dengan judul ‚Tinjauan Hukum Acara

10 Tim Penyusun Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis

Penulisan Skripsi, ( UIN Sunan Ampel Surabaya, Surabaya, 2016). 8

11 Shellanika Ari Astuti, Kekuatan Pembuktian Keterangan Ahli Forensik Dalam Tindak Pidana

Pembunuhan Bayi Oleh Ibunya (Tinjauan Yuridis Putusan No. 147/Pid.B/2013/PN.Pwt.), Skripsi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, 2014.

12 Muhibuddin Baihaki, Tinjauan Hukum Acara Pidana Islam terhadap Keterangan Saksi Ahli

(17)

9

Pidana Islam terhadap Kompetensi Saksi Ahli dari Terdakwa Jessica

Kumolo Wongso‛ Perbedaan hasil penelitian diatas berbeda dengan yang

penelti teliti, pada penelitian ini penulis memfokuskan tentang bagaimana

kompetensi saksi Ahli dalam persidangan.

E. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui analisis tinjauan Hukum Acara Pidana terhadap

kompetensi saksi ahli dari terdakwa Jessica Kumala Wongso.

2. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan Hukum Acara Pidana Islam

terhadap kompetensi saksi Ahli dari terdakwa Jessica Kumala

Wongso.

F. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian di atas,

maka diharapkan dengan adanya penelitian ini mampu memberikan

manfaat bagi pembaca maupun penulis sendiri, baik secara teoritis

maupun secara praktis. Secara umum, kegunaan penelitian yang

dilakukan ini dapat ditinjau dari dua aspek:

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan atau

menambah khazanah ilmu pengetahuan, khususnya bagi ilmu

pengetahuan Hukum Acara Pidana tentang kompetensi saksi Ahli

(18)

10

2. Secara praktis, memberikan informasi kepada aparat penegak hukum

maupun masyarakat luas agar dapat dijadikan bahan perbandingan

terhadap kajian- kajian ilmiah, tentang sejauh mana KUHAP

dilaksanakan terkait pelaksanaan proses pembuktian khusus mengenai

alat bukti keterangan Ahli dalam praktek di Pengadilan.

G. Definisi Operasional

Untuk menghindari munculnya salah pengertian terhadap judul

penelitian skripsi ini, yaitu ‚Tinjauan Hukum Pidana dan Hukum Acara

Pidana Islam terhadap kompetensi saksi Ahli dari terdakwa Jessica

Kumala Wongso.‛ Maka perlu dijelaskan beberapa istilah yang berkenaan

dengan judul diatas.

Hukum Acara Pidana : Suatu rangkaian peraturan yang memuat cara

bagaimana badan-badan pemerintah yang

berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan

pengadilan harus bertindak guna mencapai

tujuan negara dengan mengadakan hukum

pidana.

Hukum Acara Pidana Islam :Ketentuan-ketentuan yang ditunjukkan

kepada masyarakat dalam usahanya mencari

kebenaran dan keadilan bila terjadi tindak

pidana atas suatu ketentuan hukum materiil,

(19)

11

bagaimana seseorang harus menyelesaikan

masalah dan mendapatkan keadilan.

Kompetensi : Kecapakan atau kemampuan yang dimiliki

seseorang untuk menunjukkan dan

menerapkan kemampuan yang dimilikinya.

Saksi Ahli : Pendapat seorang ahli yang berhubungan

dengan ilmu ...pengetahuan yang telah

dipelajarinya, tentang sesuatu ...apa yang

dimintai pertimbangannya.

H. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara untuk menemukan,

mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan yang

dilakukan secara sistematis.

Dalam metode penelitian ini yang digunakan adalah sebagai

berikut:

1. Data yang dikumpulkan

a) Kompetensi saksi ahli dari terdakwa Jessica Kumala

Wongso.

b) Kompetensi saksi ahli menurut Hukum Acara Pidana

(20)

12

2. Sumber Data

a. Sumber Primer

Merupakan sumber yang bersifat utama dan penting yang

memungkinkan untuk mendapatkan sejumlah informasi yang

diperlukan dan berkaitan dengan penelitian. Data yang diperoleh

dari sumber utama yaitu:

1) Media Masa, berita tentang penjelasan saksi ahli dalam

persidangan terdakwa Jessica Kumala Wongso

2) Ibnu Qayyim Al- Jauziyah, Hukum Acara Peradilan Islam

b. Sumber Sekunder

Sumber yang bersifat membantu atau menunjang dalam

melengkapi dan memperkuat serta memberikan penjelasan

mengenai sumber sekunder, diantaranya:

1) Soesilo, KUHAP ( Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana)

2) Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana di Indonesia

3) M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan

KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan

Peninjauan Kembali).

4) AL. Wisnubroto, Praktek Peradilan Pidana Proses persidangan

Perkara Pidana

5) Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam

(21)

13

6) Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama Aris Bintania,

Hukum Acara Peradilan Agama

7) Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah)

8) Anshoruddin, Hukum Pembuktian menurut Hukum Acara Islam

dan Hukum Positif

Dan buku-buku literatur lain yang masih berhubungan dengan

permasalahan sebagai bahan penunjang, dan juga kitab kitab fiqh yang

masih berhubungan dengan permasalahan.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan

standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Teknik

pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

metode kepustakaan, yaitu dengan cara mencari dan menghimpun

data dari buku-buku atau literatur yang ada.13

4. Teknik Pengolahan Data

Data-data yang diperoleh dari hasil penggalian terhadap

sumber-sumber data akan diolah melalui tahapan-tahapan berikut:

a. Editing yaitu memeriksa kembali lengkap atau tidaknya data-data

yang diperoleh dan memperbaiki bila terdapat data yang kurang

jelas atau meragukan.14 Teknik ini betul-betul menuntut kejujuran intelektual (intelectual honestly) dari penulis agar nantinya hasil

data konsisten dengan rencana penelitian.

(22)

14

b. Organizing yaitu mengatur dan menyusun data sumber dokumentasi

sedemikian rupa sehingga dapat memperoleh gambaran yang sesuai

dengan rumusan masalah, serta mengelompokkan data yang

diperoleh.15 Dengan teknik ini diharapkan penulis dapat memperoleh gambaran secara jelas tentang kompetensi saksi ahli

dari terdakwa Jesica Kumala Wongso.

c. Analyzing yaitu dengan memberikan analisis lanjutan terhadap hasil

editing dan organizing data yang telah diperoleh dari

sumber-sumber penelitian, dengan menggunakan teori dan dalil-dalil

lainnya, sehingga diperoleh kesimpulan.16

5. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan

metode normatif kualitatif, yaitu penyusunan secara kualitatif untuk

mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dengan tidak

menggunakan rumus kuantitatif atau dengan cara menjabarkan dan

menafsirkan data yang diperoleh berdasarkan norma atau kaidah,

teori, pengertian hukum dan doktrin yang terdapat dalam ilmu hukum

khususnya dalam Hukum Acara Pidana (KUHAP), kemudian dianalisa

menggunakan Hukum Acara Pidana Islam.

(23)

15

I. Sistematika Pembahasan

Agar dalam penyusunan skripsi dapat terarah dan sesuai dengan

keinginan atau sesuai dengan yang diharapkan oleh penulis, maka

disusunlah sistematika pembahasan sebagai berikut.

BAB I Dalam bab ini memuat pendahuluan yang merupakan

langkah- langkah penelitian yang berisi tentang latar

belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah,

rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian,

kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode

penelitian dan sistematika pembahasan.

BAB II Dalam bab ini menjelaskan landasan teori landasan teori

menurut Hukum Acara Pidana Positif yang terdiri dari

pembuktian menurut Hukum Acara Pidana, kedudukan

saksi dalam Hukum Acara Pidana, dan kedudukan saksi

ahli atau keterangan ahli menurut Hukum Acara Pidana.

serta menjelaskan landasan teori tentang pembuktian

menurut Hukum Acara Pidana Islam meliputi pembuktian

menurut Hukum Acara Pidana Islam, kedudukan saksi

dalam Hukum Acara Pidana Islam, dan saksi ahli dalam

Hukum Acara Pidana Islam.

BAB III Dalam bab ini penulis menjelaskan tentang peranan saksi

Ahli terdakwa Jessica Kumala Wongso yang meliputi

(24)

16

tugas pokok saksi ahli terdakwa Jessica Kumala Wongso di

dalam persidangan dan pendapat berkenaan dengan saksi

ahli pihak terdakwa Jessica Kumala Wongso.

BAB IV Pembahasan dalam bab ini adalah analisis kompetensi

saksi ahli dari terdakwa Jessica Kumala Wongso ditinjau

dari Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Pidana Islam.

BAB V Dalam bab ini memuat penutup yang berisi kesimpulan dan

(25)

17

BAB II

TEORI PEMBUKTIAN

A. Teori pembuktian dalam Hukum Acara Pidana.

1. Pembutkian menurut Hukum Acara Pidana.

Pembuktian dalam perkara pidana berbeda dengan pembuktian

dalam perkara perdata. Dalam pembuktian perkara pidana (hukum acara

pidana) adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, yaitu

kebenaran sejati atau yang sesungguhnya, sedangkan pembuktian dalam

perkara perdata (hukum acara perdata) adalah bertujuan untuk mencari

kebenaran formil, artinya hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang

diajukan oleh para pihak yang berperkara. Jadi hakim dalam mencari

kebenaran formal cukup membuktikan dengan ‛preponderance of evidence‛, sedangkan hakim pidana dalam mencari kebenaran materiil,

maka peristiwanya harus terbukti (beyond reasonable doubt).1

Pembuktian secara bahasa (terminologi), menurut kamus Besar

Bahasa Indonesia adalah suatu proses perbuatan, cara membuktian, suatu

usaha menentukan benar atau salahnya si terdakwa di dalam sidang

pengadilan.2 Dalam hal ini pembuktian merupakan salah satu unsur yang

1Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar (Yogyakarta: Rangkang Education, 2013),241.

2Ebta Setiawan, ‚arti atau makna pembuktian dalam http:// KBBI.web.id/arti atau makna

(26)

18

penting dalam hukum acara pidana. dimana menentukan antara bersalah

atau tidaknya seorang terdakwa didalam persidangan.

Menurut Martiman Prodjohamidjojo, bahwa pembuktian adalah

mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran adalah

suatu peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran

peristiwa tersebut. Dalam hukum acara pidana, acara pembuktian adalah

dalam rangka mencari kebenaran materiil dan KUHAP yang menetapkan

tahapan dalam mencari kebenaran sejati yaitu melalui:

a. Penyidikan

b. Penuntutan

c. Pemeriksaan di persidangan

d. Pelaksanaan, pengamatan, dan pengawasan

Sehingga acara pembuktian hanyalah merupakan salah satu fase

atau prosedur dalam pelaksanaan hukum acara pidana secara keseluruhan.

Yang sebagaimana diatur didalam KUHAP.3

Menurut J.C.T. Simorangkir, bahwa pembuktian adalah ‛usaha

dari yang berwenang untuk mengemukakan kepada hakim sebanyak

mungkin hal-hal yang berkenaan dengan suatu perkara yang bertujuan

agar supaya dapat dipakai oleh hakim sebagai bahan untuk memberikan

keputusan seperti perkara tersebut‛. Sedangkan menurut Darwan , bahwa pembuktian adalah ‛pembuktian bahwa benar suatu peristiwa pidana

(27)

19

telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakaukannya, sehingga

harus mempertanggungjawabkannya.4

Menurut Sudikno Mertokusumo menggunakan istilah

membuktikan, dengan memberikan pengertian, sebagai berikut:5

a. Kata membuktikan dalam arti logis, artinya memberi kepastian yang

bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak

memungkinkan adanya bukti-bukti lain.

b. Kata membuktikan dalam arti konvensional, yaitu pembuktian yang

memberikan kepastian, hanya saja bukan kepastian mutlak melainkan

kepastian yang nisbi atau relatif, sifatnya yang mempunyai

tingkatan-tingkatan:

1) Kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka, maka kepastian ini

bersifat intuitif dan disebut conviction intime.

2) Kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal, maka disebut

conviction raisonnee.

3) Kata membuktikan dalam arti yuridis, yaitu pembuktian yang

memberi kepastian kepada hakim tentang kebenaran suatu peristiwa

yang terjadi.

Hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana

yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum,

sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara yang

mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima,

(28)

20

menolak dan menilai suatu pembuktian. Adapun sumber-sumber hukum

pembuktian adalah, sebagai berikut:

a. Undang-undang

b. Doktrin atau ajaran

c. Yurisprudensi.6

Kekuatan pembuktian dalam hukum acara pidana terletak didalam

Pasal 183 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana, yang berbunyi ‚hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada sesorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang

sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar

terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.‛

Berdasarkan ketentuan tersebut bahwa seorang hakim dalam memutuskan

suatu perkara pidana harus berdasarkan minimal dua alat bukti yang sah.

Apabila sebaliknya maka terdakwa tidak dapat diajutuhi hukuman atas

tindakannya.

Menurut Andi Hamzah, teori dalam sistem pembuktian, yakni

sebagai berikut:

a. Sistem atau teori berdasarkan berdasarkan Undang-undang secara

psoitif (positive wetteljik bewijstheorie)

b. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim saja

(conviction intime)

6 Hari Sasongko dan Lili Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana untuk Mahasiswa

(29)

21

c. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan

yang logis (laconviction raisonnee)

d. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan Undang-undang secara

negatif (negatief wettellijk bewijs theotrie)

Adapun pembahasan lebih lanjut mengenai keempat teori dalam

sistem pembuktian hukum acara pidana, sebagaimana yang telah

dijelaskan oleh pakar ahli hukum pidana, yakni sebagai berikut:

a. Pembuktian menurut undang-undang secara positif (positive wetteljik

bewijstheorie).

Menurut Simons, bahwa sistem atau teori pembuktian berdasar

undang-undang secara positif (positif wettelijke bewijs theorie).

‚untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan

mengikat hakim secara ketat menurut peraturan pembuktian yang

keras‛.7

b. Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim saja (conviction intime)

Merupakan suatu pembuktian dimana proses-proses menentukan

salah atau tidaknya terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian

keyakinan hakim. Seorang hakim tidak terikat oleh macam-macam alat

bukti yang ada, hakim dapat memakai alat bukti tersebut untuk

memperoleh keyakinan atas kesalahan terdakwa, atau mengabaikan

7

(30)

22

alat bukti dengan hanya menggunakan keyakinan yang disimpulkan

dari keterangan saksi dan pegakuan terdakwa.8

c. Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim secara logis (conviction

raisonnee)

Bahwa suatu pembuktian yang menekankan kepada keyakinan

seoranng hakim berdasarkan alasan yang jelas. Jika sistem pembuktian

conviction intime memberikan keluasan kepada seorang hakim tanpa

adanya pembatasan darimana keyakinan tersebut muncul, sedangkan

pada sistem pembuktian conviction raisonnee merupakan suatu

pembuktian yang memberikan pembatasan keyakinan seorang hakim

haruslah berdasarkan alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan

menjelaskan atas setiap alasa-alasan apa yang mendasari keyakinannya

atas kesalahan seorang terdakwa.9

d. Pembuktian berdasarkan Undang-undang secara negatif (negatief

wettellijk bewijs theotrie)

Merupakan suatu percampuran antara pembuktian conviction

raisonnee dengan system pembuktian menurut undang-udanng secara

psoitif. Rumusan dari sitem pembuktian ini adalah, salah atau tidaknya

seorang terdakwa ditentukan keyakinan hakim yang didasarkan kepada

cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.10

8

Tolib Effendi, Dasar Dasar Hukum Acara Pidana (Perkembangan dan Pembaharuan di Indonesia) (Malang: Setara Press, 2014), 171.

9

Ibid, 171.

10

(31)

23

Adapun alat bukti yang sah sebagaimana diatur didalam pasal 184

ayat (1) Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana, yakni sebagai berikut:

a. Keterangan sakasi

b. Keterangan ahli

c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan terdakwa

Kelima alat bukti tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang

sama dalam persidangan acara pidana. tidak ada pembedaan antar

masing-masing alat bukti satu sama lain. Urutan sebagaimana yang diatur

didalam pasal tersebut hanyalah urutan sebagaimana dalam pemeriksaan

persidangan.

2. Kedudukan saksi dalam Hukum Acara Pidana.

Pengertian keterangan saksi sebagaimana yang diatur di dalam

pasal 1 ayat (27) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana. bahwa ‚ keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu

peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

(32)

24

telah dijelaskan diatas bahwa diakatakan sebagai seorang saksi memiliki

tiga kriteria yakni:11 1) dengar sendiri

2) lihat sendiri

3) alami sendiri

Sebagai alat bukti, tidak semua keterangan saksi dapat dinilai

sebagai alat bukti dalam suatu persidangan, terdapat syarat-syarat

tertentu agar keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti didalam

persidangan untuk membuat ketarangan dalam suatu perkara. Adapun

syarat-syarat tersebut yakni sebagai berikut:12

1) dinyatakan didalam sidang pengadilan secara langsung

2) keterangan tersebut diberikan dibawah sumpah

3) keterangan seorang saksi bukan saksi, bahwa pada prinsipnya

KUHAP mensyaratkan lebih dari seorang saksi, akan tetapi prisip ini

dapat disimpangi apabila keterangan seorang saksi tersebut didukung

oleh alat bukti yang lainnya

4) Dalam hal keterangan saksi yang berdiri sendiri tentang suatu

kejadian atau keadaan dapat dinilai sebagai alat bukti apabila

keterangan para saksi tersebut saling terkait dan berhubungan satu

dengan lainnya

5) Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan saksi lainnya.

11 Tinjau lebih dalam Pasal 1 ayat (2) Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana.

(33)

25

6) Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lainnya.

7) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada

umumnya dapat mempengaruhi atau tidaknya keterangan itu

dipercaya patut dipertimbangkan oleh hakim dalam menilai

keterangan saksi

Saksi menurut sifatnya dalam sidang pembuktian dapat dibagi

menjadi dua golongan , yaitu sebagai berikut:13

a) Saksi a charge (saksi yang memberatkan terdakwa)

saksi ini adalah saksi yang telah dipilih dan diajukan oleh penuntut

umum, dengan keterangan atau kesaksian yang diberikan akan

memberatkan terdakwa, sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 160

Ayat (1) Huruf C Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana.

b) Saksi a de charge (saksi yang meringankan atau mengutungkan

terdakwa)

Saksi ini dipilih atau diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa atau

penasihat hukum, yang mana keterangan atau kesaksian yang diberikan

akan meringankan atau mengutungkan terdakwa, sebagaimana yang

diatur di dalam Pasal 160 Ayat (1) Huruf C Undang-undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

13

(34)

26

3. Kedudukan Saksi Ahli/ keterangan ahli menurut Hukum Acara

Pidana.

Kehadiran seorang ahli dalam memberikan keterangan suatu

penyidikan terjadinya tindak pidana menjadi sangat penting dalam

semua tahap-tahap penyidikan, baik dalam tahap penyelidikan,

penindakan, pemeriksaan maupun penyerahan berkas perkara kepada

penuntut umum. Tanpa kehadiran seorang ahli dalam memberikan

atau menjelaskan suatu masalah akandapat dibayangkan bahwa

penyidik akan mengalamai kesulitan dalam usaha mengungkap suatu

tindak pidana, terutama tindak pidana berdimensi tinggi.14

Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh

seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan

untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan

pemeriksaan suatu perkara (Pasal 1 Ayat 28 Undang- undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana). Pengaturan dalam Kitab

Undang Hukum Acara Pidana tidak mensyaratkan dalam

mengkualifikasi sebagai ahli, namun beberapa pasal dalam KUHAP

telah mengkualifikasikan.15

Kedudukan keterangan ahli sebagai alat bukti tersebut sama

dengan kedudukan saksi lainnya, yakni sebagai alat bukti yang sah

menurut undang-undang. Penentuan sebagai seorang ahli dalam

14

Ibid, 259.

15

(35)

27

persidangan ditentukan diputuskan oleh hakim dengan proses

pemeriksaan pendahuluan.16

Menurut A Nasution bahwa pengertian tentang ahli tidak

harus merujuk pada sesorang yang memperoleh pendidikan khusus

atau orang-orang yang mempunyai ijasah tertentu. Setiap orang

menurut hukum acara pidana dapat diangkat sebagai ahli, asal saja

mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang khusus mengenai

sesuatu hal, atau memiliki pengetahuan atau pengalaman tentang hal

tersebut. 17

Seorang ahli forensik tidak mesti menyaksikan atau

mengalami peristiwa secara langsung suatu tindak pidana, akan tetapi

berdasarkan keahlian, ketrampilan, pengalaman maupun pengetahuan

yang ia miliki dapat memberikan keteranganketerangan sebab akibat

suatu peristiwa atau fakta tertentu dari alat bukti yang ada, kemudian

menyimpulkan pendapatnya untuk membantu membuat terangnya

suatu perkara.18

Produk hasil pemeriksaan ahli forensik ini merupakan bukti

materiil yang obyektif dan ilmiah serta merupakan salah satu alat

bukti yang sulit disangkal oleh terdakwa dalam sidang pengadilan.

16Harrys Pratama dan Usep Saepullah, Hukum Acara Pidana Khusus (Penundaan Eksekusi Mati

Bagi Terpidana Mati di Indonesia, Kasus Tipikor, Narkoba, Teroris, Pembunuhan, dan Politik)

(Bandung: Pustaka Setia, 2016), 235.

17Tolib Effendi, Dasar Dasar Hukum Acara Pidana (Perkembangan dan Pembaharuan di

Indonesia)..., 176.

(36)

28

Dalam hal saksi ahli tanpa dasar yang sah menolak untuk

bersumpah atau berjanji, maka pemeriksaan tetap dilakukan,

sedangkan saksi ahli dengan surat penetapan hakim ketua sidang

dapat dikenakan sandera di tempat rumah tahanan Negara paling lama

14 hari (Pasal 161 ayat (1) dan (2) KUHAP). Sesuai ketentuan pasal

ini keterangan ahli yang tidak disumpah atau mengucapkan janji tidak

dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud

dalam pasal 184 ayat (1) huruf b KUHAP, tetapi hanyalah keterangan

yang dapat menguatkan keyakinan hakim.19

Persyaratan dan kriteria sebagai seorang saksi ahli tidak

diatur lebih lanjut dalam KUHAP. Seseorang dapat menjadi saksi

ahli apabila mempunya keahlian khusus di bidangnya, keahlian

khusus tersebut dapat diperolehnya baik itu dari pendidikan formal

ataupun dari pendidikan non formal, nantinya pertimbangan

hakim berdasarkan pertimbangan hukum yang menentukan

seseorang tersebut dapat dikatakan menjadi saksi ahli. Namun

biasanya, latar belakang pendidikan dan sertifikasi yang dimiliki

seseorang serta pengalaman yang dimilikinya dapat menjadi

pertimbangan oleh hakim. Sebagai contoh hakim akan

mempertimbangkan seseorang dapat dikatakan sebagai saksi ahli

digital forensik apabila ia mempunyai sertifikasi di bidang digital

(37)

29

forensik dan banyak berurusan di dunia digital forensik tersebut.20 Debra Shinder mengungkapkan beberapa faktor dan kriteria yang

harus dimiliki oleh saksi ahli, antara lain adalah21 :

1) Gelar pendidikan tinggi atau pelatihan lanjutan di bidang

tertentu

2) Mempunyai spesialisasi tertentu

3) Pengakuan sebagai guru, dosen, atau pelatih di bidang tertentu

4) Lisensi Profesional, jika masih berlaku

5) Ikut sebagai keanggotan dalam suatu organisasi profesi, posisi

kepemimpinan dalam organisasi tersebut lebih bagus

6) Publikasi artikel, buku, atau publikasi lainnya, dan bisa juga

sebagai reviewer. Ini akan menjadi salah satu pendukung bahwa

saksi ahli mempunyai pengalaman jangka panjang

7) Sertifikasi teknis

8) Penghargaan atau pengakuan dari industri.Namun apabila

kehadiran seorang saksi ahli dalam persidangan tersebut

kapabilitasnya atau hasil keterangan ahlinya diragukan oleh

salah satu pihak, maka pihak tersebut dapat mengajukan

keberatan kepada hakim untuk selanjutnya berdasarkan penilaian

hakim untuk menerima keberatan tersebut atau tidak. Dan jika

20Didik Sudyana, ‚Etika dan Profesionalisme Saksi Ahli‛ dalam

https://www.academia.edu/16480565/Etika_dan_Profesionalisme_Saksi_Ahli diakses pada tanggal 20 mei 2017.

21D. L. Shinder, ‚Testifying as an expert witness in computer crimes cases,‛ techrepublic.com,

(38)

30

keberatan tersebut diterima, maka harus dicari saksi ahli lain

yang lebih mempunyai kapabilitas tersebut. Oleh karena itu,

pemilihan seorang saksi ahli harus selektif sehingga hasil

kesaksiannya tidak diragukan.

A.Teori Pembuktian menurut Hukum Acara Pidana Islam

1. Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana Islam

Pembuktian dalam Hukum Acara Peradilan Islam disebut juga dengan

al-bayyinah, secara etimologi berarti keterangan, yaitu segala sesuatu

yang dapat digunakan untuk menjelaskan yang hak (benar). Al-bayyinah

di definisikan oleh para ulama fiqh sesuai dengan pengertian

etimologisnya, secara terminologi adalah membuktikan suatu perkara

dengan mengajukan alasan dan memberikan dalil sampai kepada batas

meyakinkan.

Menurut Hasbi As-Shidiqiy, membuktikan suatu perkara adalah:

‚memberikan keterangan dan dalil hingga dapat menyakinkan orang lain‛.22

Menurut Sobhi Mahmasoni yang ditulis oleh Anshoruddin, yang

dimaksud dengan membuktikan suatu perkara adalah: ‚Mengajukan alasan dan memberikan dalil sampai kepada batas yang menyakinkan‛.

Yang dimaksud menyakinkan ialah apa yang menjadi ketetapan atau

keputusan atas dasar penelitian dan dalil-dalil itu.23 Karena itu hakim

22

Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam...,129.

(39)

31

harus mengetahui apa yang menjadi gugatan dan mengetahui hukum allah

terhadap gugatan itu, sehingga keputusan hakim benar-benar mewujudkan

keadilan.

Menurut Roihan yang di maksud dengan membuktikan suatu perakara

adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang

dikemukakan di muka persidangan dalam suatu perkara.24

Dalam sistem pembuktian, yaitu pengaturan tentang macam- macam

alat bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti dan cara-cara

bagaimana alat bukti tersebut dipergunakan dan bagaimana hakim harus

membentuk keyakinannya.25 Dimana hakim agar dapat menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya dan penyelesaian itu memenuhi

tuntutan keadilan, maka wajib mengetahui hakekat dakwaan/gugatan, dan

mengetahui hukum Allah terhadap kasus tersebut.

Menurut Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah alat bukti adalah bukti yang

diajukan didepan pengadilan untuk menguatkan gugatan. Untuk

memberikan dasar kepada hakim akan kebenaran peristiwa yang

didalilkan para pihak yang dibebani pembuktian diwajibkan mengajukan

alat-alat bukti untuk membuktikan peristiwa-peristiwa di muka

persidangan.26

Dipandang dari segi pihak-pihak yang berperkara, alat bukti artinya

alat atau upaya yang bisa dipergunakan oleh pihak-pihak yang berperkara

24Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: Raja Grafindo, 2015), 144. 25

Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana (Surabaya: Sinar Wijaya, 1996), 7.

26

(40)

32

untuk meyakinkan hakim dimuka pengadilan. Dipandang dari segi

pengadilan yang memeriksa perkara, alat bukti artinya alat atau upaya

yanhg bisa dipergunakan oleh hakim untuk memutus perkara. Jadi alat

bukti tersebut diperlukan oleh pencari keadilan.

Suatu persengketaan atau perkara tidak bisa diselesaikan tanpa adanya

alat bukti, artinya kalau gugatan penggugat tidak berdasarkan bukti maka

perkara tersebut akan diputus juga oleh hakim tetapi dengan menolak

gugatan karena tidak terbukti.

Menurut Nashr Fariid washil yang dikutip oleh Anshoruddin

macam-macam alat bukti ada sebelas dengan urutan sebagai berikut:27 a. Pengakuan

b. Saksi

c. Sumpah

d. Pengambilan sumpah

e. Penolakan sumpah

f. Tulisan

g. Saksi ahli

h. Qorinah

i. Pendapat ahli

j. Pemeriksaan setempat

k. Permintaan orang yang bersengketa

(41)

33

Sedangkan menurut Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah macam-macam

alat bukti ada dua puluh eman dengan urutan sebagai berikut:28

a. Fakta yang berbicara atas dirinya sendiri yang tidak memerlukan

sumpah

b. Pengingkaran penggugat atas jawaban tergugat

c. Fakta yang berbicara atas dirinya sendiri disertai sumpah

pemegangnya

d. Pembuktian dengan penolakan sumpah belaka

e. Penolakan sumpah dan sumpah yang dikembalikan

f. Saksi satu orang laki-laki tanpa sumpah penggugat

g. Saksi satu orang laki-laki dengan sumpah dengan sumpah

penggugat

h. Keterangan saksi satu orang laki-laki dan dua orang perempuan

i. Keterangan saksi satu orang laki-laki dan penolakan tergugat

untuk bersumpah

j. Keterangan saksi/ dua orang perempuan dan sumpah penggugat

k. Saksi dua orang perempuan tanpa sumpah

l. Saksi tiga orang laki-laki

m. Saksi empat orang laki-laki

n. Kesaksian budak

o. Kesaksian anak-anak di bawah umur (sudah mumayyiz)

p. Kesaksian orang yang fasiq

(42)

34

q. Kesaksian orang non Islam

r. Bukti pengakuan

s. Pengetahuan hakim

t. Berdasarkan berita mutawatir

u. Berdasarkan berita tersebar (khobar istifadloh)

v. Berdasarkan berita orang perorang

w. Bukti tulisan

x. Berdasarkan indikasi-indikasi yang nampak

y. Berdasarkan hasil undian

z. Berdasarkan penelusuran jejak

2. Kedudukan Saksi dalam Hukum Acara Pidana Islam.

Saksi atau al-shahadah yaitu orang yang mengetahui atau melihat,

yaitu orang yang di minta hadir dalam suatu persidangan untuk

memberikan keterangan yang membenarkan atau menguatkan bahwa

peristiwa itu terjadi.

Kesaksian dalam Hukum Peradilan Acara Islam dikenal dengan

sebutan al-shahadah, menurut bahasa antara lain artinya:

a. Pernyataan atau pemberitaan yang pasti.29

b. Pemberitahuan seseorang tentang apa yang ia ketahui dengan

lafadz. ‚aku menyaksikan‛ atau ‚aku telah menyaksikan‛ (asyhadu atau shahadtu).30

(43)

35

Sedangkan menurut syara’ kesaksian adalah pemberitaan yang

pasti yaitu ucapan yang keluar yang diperoleh dengan penyaksian

langsung atau dari pengetahuan yang diperoleh dari orang lain karena

beritanya telah tersebar. Definisi lain juga dpat dikemukakan dengan

pemberitaan akan hak seseorang atas orang lain dengan lafat kesaksian

di depan sidang pengadilan yang diperoleh dari penyaksian langsung

bukan karena dugaan atau perkiraan.

Lalu Ibnu Imam Taqiyuddin Abi Bakar dalam kitab Kifayatul

Akhyar menyatakan bahwa syahadah adalah khabar atau sesuatu yang

telah dilihat.31 Menurut istilah fuqaha bayyinah dengan syahadah sama artinya yaitu kesaksian, tetapi Ibnu Qoyyim mengartikan bayyinah

dengan segala yang dapat menjelaskan perkara, Memberikan kesaksian

asal hukumnya fardlu kifayah, artinya jika dua orang telah memberikan

kesaksian maka semua orang telah gugur kewajibannya. Dan jika semua

orang menolak tidak ada yang mau untuk menjadi saksi maka berdosa

semuanya, karena maksud kesaksian itu adalah untuk memelihara hak.32

Hukumnya dapat beralih menjdi fardlu ‘ain, jika tidak ada lagi orang lain selain mereka berdua yang mengetahui suatu kasus itu.

Terhadap saksi seperti ini, jika menolak untuk menjadi saksi, maka

boleh dipanggil paksa.

30Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah(Bandung: Alma’arif, 1988), 55.

31 Imam Taqiyuddin Abi Bakar bin Muhammad al-Husaini,Khifayatul Akhyar, Juz 1-2 (Semarang: Cipta Grafik, t.t), 275.

(44)

36

Dasar hukum kewajiban menjadi saksi dalam persidangan

didasarkan dalam firman Allah surat Al- Baqarah ayat (2) 282 yang

berbunyi33:

‚Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka

dipanggil‛.

Selain itu, dasar hukum untuk menjadi saksi didasarkan pada

hadist Nabi yang berbunyi:

‚apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas semoga Allah meridhoi kepadanya, bahwa ia berkata, tergolong dosa besar yaitu oarang yang

menyembunyikan kesaksian‛.34

Seseorang yang hendak memberikan kesaksian menurut Abdul

Karim Zaidan yang dikutip oleh Anshoruddin harus dapat memenuhi

syarat-syarat sebagai berikut:35

a. Dewasa

b. Berakal

c. Mengetahui apa yang disaksikan

d. Beragama islam

e. Adil

f. Saksi itu harus dapat melihat

33

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya.

(45)

37

g. Saksi itu harus dapat berbicara

Nashir Farid Wahil, menambahkan tidak adanya paksaan. Dan

Sayyid Sabiq, menambahkan pula yaitu saksi harus memiliki ingatan

yang baik dan bebas dari tuduhan negatif (tidak ada permusuhan).36 Syarat tidak adanya paksaan bagi saksi maksudnya orang yang

memberikan kesaksian atas dasar intimidasi demi orang lain bisa

mendorongnya untuk mempersaksikan hal yang bukan pengetahuanya.

Oleh karenanya dapat mempengaruhi kepercayaan terhadap

kesaksiasnnya.

Anshoruddin mengungkapkan masalah saksi yang hanya dianggap

penting saja antara lain:37

a. Saksi satu orang laki-laki tanpa dikuatkan dengan sumpah salah

satu pihak berperkara.

b. Saksi satu orang laki-laki dikuatkan dengan sumpah.

c. Saksi non Muslim.

d. Saksi Istifadlah ( berita tersebar/testimonium de auditu).

e. Saksi wanita.

3. Saksi Ahli dalam Hukum Acara Pidana Islam.

Saksi Ahli adalah setiap pendapat orang yang mempunyai keahlian

dalam bidang tertentu, dan hakim boleh meminta bantuan kepadanya

dalam berbagai masalah yang dihadapi agar lebih terang dan

36Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah..., 63.

(46)

38

memperoleh kebenaran yang meyakinkan.38 Lalu menurut pendapat lain Saksi Ahli ialah kesaksian mengenai sesuatu yang khusus diketahui oleh

ahli-ahli ilmu pengetahuan dan kedokteran seperti mengenai luka yang

telah terbelah sampai menampakkan tulang, dan yang serupa, kemudian

obat-obatan yang hanya diketahui oleh para dokter, obat-obatan hewan

yang hanya diketahui oleh para dokter hewan, dan lain sebagainya.

Maka, dalam hal-hal tersebut, kesaksian satu orang ahli dibidangnya

dapat diterima, apabila tidak didapati yang selainnya.39 Sedangkan menurut Roihan A. Rasyid Saksi Ahli merupakan bantuan dari orang

ketiga, yaitu dari orang yang ahli pada bidangnya untuk memperoleh

kejelasan objektif bagi hakim, atas peristiwa yang dipersengketakan

dalam suatu perkara.40

Inisiatif untuk meminta bantuan seorang pendapat ahli atau

beberapa orang pendapat ahli, bisa datang dari hakim atau dari orang

yang berperkara, misalnya untuk menetapkan harga tanah dan nilainya,

dan atas keterangan nya wajib disumpah dimuka hakim. Misalnya

pendpat ahli di bidang Hukum, kedokteran, di bidang teknologi, di

bidang pertanian, tanaman, tanah dll.

Keterangan saksi ahli diberikan secara lisan di depan sidang tetapi

ada pula yang di berikan secara tertulis yang kemudian dibacakan di

depan sidang.. Karena dibacakan di depan sidang maka statusnya sama

38Ibid, 114.

(47)

39

dengan keterangan lisan di depan sidang. Hasil pemeriksaan dokter

misalnya, biasanya selalu diberikan dengan tertulis dan ditandatangani

oleh tim. Jika hakim setuju dengan pendapat ahli tersebut maka

pendapat itu diambil alih oleh hakim dan dianggap sebagai pendapatnya

sendiri. Jadi pendapat saksi ahli tersebut, hakim bebas menilai pendapat

ahli yang disetujui, lalu di jadikan sebagai pendapat hakim itu sendiri,

dapat dijadikan dasar pemutus. Itulah sebabnya keterangan ahli

dijadikan sebagai salah satu alat bukti.41

Dasar hukum terhadap perlunya meminta keterangan pendapat

ahli, telah terjadi pada masa Rasulullah Saw, beliau senang

mendengarnya dan bahkan memberitahukannya kepada Aisyah

(isterinya) seperti diriwayatkan dalam kitab Shahih Muslim sebagai

berikut:

42

‚ Dari Aisyah, dia berkata: Rasulullah saw menemuiku dan nampak air

mukanya memancarkan kegembiraan yang sangat dalam, kemudian beliau bersabda: ‚Wahai Aisyah, tidaklah kamu melihat si pembantai

landak (ahli menelusuri jejak) telah masuk dan melihat Usmah dan Zaid berbaring, ketika dia melihat keduanya terbaring dengan kepala tertutup

41 Ibid, 199-200.

(48)

40

kain dan kakinya terbuka, dia berkata, ‚telapak kaki- telapak kaki ini,

sebagiannya dari sebagian yang lain‛.

Hadist tersebut diatas menunjukkan bahwa penelusuran jejak

telapak kaki adalah memberi faedah ketetapan nasab, sehingga

Rasulullah Saw, sangat bergembira mendengar ucapan pendapat ahli

penelusuran jejak telapak kaki tersebut, dan ini merupakan pengakuan

beliau serta merestui kesaksiannya. Sekiranya penelusuran jejak telapak

kaki perkara bathil, tentu beliau tidak akan mengakuinya dan tidak pula

merestuinya.

Dasar Hukum mengenai perlunya meminta keterangan atau

pendapat ahli dalam Al-Qur’an surat An- Nahl ayat 43 berbunyi:

‚Dan kami mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kepada orang yang

mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui‛. 43

43

(49)

BAB III

KOMPETENSI SAKSI AHLI TERDAKWA JESSICA KUMALA WONGSO DI

DALAM PERSIDANGAN

A. Identitas Saksi Ahli terdakwa Jesica Kumala Wongso

Dalam sidang kasus kematian Wayan Mirna Salihin Jaksa Penuntut

Umum (JPU) telah menetapkan Jesica Kumala Wongso sebagai terdakwa.

Dalam proses persidangan masing-masing pihak, yakni Jaksa Penuntut

Umum (JPU) dan Penasehat Hukum Jesica Kumala Wongso, telah

menghadirkan 46 saksi. 11 saksi diantaranya adalah saksi ahli dari Jaksa

Penuntut Umum (JPU) dan 13 saksi diantaranya adalah saksi ahli Penasehat

Hukum terdakwa Jesica Kumala Wongso.1 Dari 13 saksi ahli tersebut ada 2 saksi ahli yang dianggap kontroversi, yaitu Dewi Taviana Haroen dan

Rismon Hasiolan Sianipar.

Identitas dan latar belakang saksi ahli Dewi Taviana Haroen dan Rismon

Hasiolan Sianipar, yang dihadirkan dari pihak Penasehat Hukum terdakwa

Jessica Kumala Wongso adalah sebagai berikut:

1. Dewi Taviana Haroen

Saksi ahli Dewi Taviana Haroen, berlatar belakang pendidikan sarjana

Psikologi Universitas Indonesia, pada tahun 1991. pekerjaannya adalah

sebagai pengusaha binaan pemerintah yang sukses (UKM terbaik di Jakarta

1Arga sumantri, ‚Daftar nama saksi dalam kasus mirna‛, dalam

(50)

42

tahun 2005), Dewi sering mendapat kesempatan mengikuti pameran business

meeting dan seminar keluar negeri seperti Singapura, Malaysia, Thailand,

Australia, Afrika Selatan, Jerman, Belanda dan Inggris. Kiprah di bisnis

mengasah keahliannya di bidang Public Relations, komunikasi, marketing,

dan human relationship. Dewi sering menjadi narasumber seminar dan

konsultan bagi usaha kecil menengah. Selain itu Dewi pernah menjadi dosen

etika pengembangan diri beberapa semester di Trisakti School of

Management, Jakarta. Dengan pengalaman lapangan yang luas menjadikan

Dewi sebagai trainer handal di bidang communication, positive mind set,

public speaking, personal branding. Beberapa instansi pemerintahan, BUMN,

perusahaan asing dan swasta menggunakan jasanya. Pada tanggal 6 april

2014, Dewi menerbitkan buku perdananya dengan judul ‚Personal Branding Kunci Kesuksesan Berkiprah di Dunia Politik‛ yang diterbitkan oleh

Gramedia. Sebagai narasumber, Dewi dianggap berkompeten dalam bidang

Psikologi Politik dan Personal Branding.2

2. Rismon Hasiholan Sianipar

Saksi ahli Rismon Hasiholan Sianipar, lahir di Pematang Siantar pada

tanggal 25 April 1977. latar belakang pendidikan lulusan SMAN 3 Pematang

Siantar pada tahun 1994 lalu melanjutkan studi nya di Universitas Gajah

Mada jurusan Teknik Elektro dan lulus pada tahun 2001. Lalu melanjutkan

progrogram Magister di Universitas yang sama, lulus pada tahun 2003.

Rismon juga mendapatkan beasiswa Monbukagakusho dari pemerintahan

Jepang. Pada tahun 2005 dan 2008, Rismon telah menyelesaikan pendidikan

2Admin, ‚about Dewi haroen‛ dalam https://dewiharoen.wordpress.com/about/. diakses pada

(51)

43

Master of Engineering dan Doctor of Engginering di Universitas Yamaguchi.

Rismon merupakan dosen Teknik Elektro Universitas Mataram dan menjadi

ketua lembaga pendidikan dan pelatihan komputer ‚STIKOM NUSRA‛ di

Nusa Tenggara Barat. Rismon memiliki ketertarikan dalam penelitian yaitu

keamanan multimedia, pemrosesan sinyal /citra/video, kriptografi, dan

kompressi/ pengkodean data. Namun Rismon tidak pernah memerbitkan

buku karyanya.3

B. Tugas pokok Saksi Ahli dari terdakwa Jesica Kumala Wongso dalam

persidangan.

1. Ahli Psikologi, Dewi Tavania Haroen

Saksi Ahli Dewi Taviana Haroen dalam awal persidangan pembuktian,

memberikan keterangan sesuai dengan keahliannya berdasarkan hasil

pemeriksaan dokumen dari Antonio Ratih Anjayani, Saksi Ahli yang

dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Namun Jaksa Penuntut Umum

Keberatan atas persaksian yang disampaikan oleh Dewi karena dia belum

pernah memeriksa Jesica secara langsung. Dewi menyampaikan bahwa dia

berbicara secara umum. Jadi, boleh memeriksa dokumen hasil pemeriksaan

orang lain. Mendegar apa yang disampaikan Dewi, Jaksa mengingatkan bahwa

dalam persidangan tidak bisa memberikan pendapat dari sudut umum. Dan

jaksa juga mengingatkan bahwa Dewi adalah Psikolog, seharusnya memeriksa

orangnya bukan dokumen. Lalu hakim Kisworo menengahi perdebatan

3Rismon , ‚profil Rismon‛ dalam http://rh-sianipar.blogspot.co.id/. diakses pada tanggal 10

(52)

44

tersebut dan memberikan kesempatan kepada Dewi untuk memberikan

keterangan di dalam persidangan.4

Dewi membeberkan beberapa metode untuk mengetahui kepribadian

seseorang. Metode tersebut antara lain observasi, wawancara, dan tes

psikologi. Meskipun psikolog sudah memiliki data yang banyak, tapi tidak

bisa langsung membuat kesimpulan. Berbeda dengan multi data sebagaimana

metode yang digunakan oleh pakar ahli Psikologi bisa langsung membuat

kesimpulan, misalnya dalam melakukan observasi harus melakukan

konfirmasi, melalui wawancara dan juga ditambah dengan tes psikologi.

Ketika pengacara terdakwa Jesica Kumala Wongso mempertanyakan

tentang kelaziman Jesica saat meletakkan paper bag diatas meja bukan di

kursi. Menurut Dewi lazim atau tidaknya hal tersebut harus dilihat dari

kebiasaan Jesica sendiri, bukan kebiasaan awam. Jika mengacu pada

kelaziman umum maka harus ada survei khusus yang membahas kebiasaan

menaruh paper bag di meja atau kursi. Survei tersebut harus dilengkapi

dengan data statistik.5 Dewi juga menjelaskan ada beberapa parameter yang dilakukan untuk memeriksa kejiwaan seseorang, pertama harus dilakukan

perbandingan dengan perilaku terperiks dalam situasi dan konteks yang

berbeda. kedua, parameter statistika pengukuran survei. Ketiga, menentukan

cerdas terhadap seseorang itu, ada norma psikologi yang berlaku, yang

sebelumnya dilakukan penelitian psikologi. Apabila memakai ukuran

4Alviansyah Pasaribu, ‚belum pernah periksa langsung saksi ahli Jessica dicecar hakim‛ dalam

http://www.antaranews.com/berita/585131/belum-pernah-periksa-langsung-saksi-ahli-jessica-dicecar-jaksa. diakses pada tanggal 10 April 2017.

5Rina Atriana, ‚soal paper bag diatas meja, psikologi: kelaziman diukur dari kebiasaan Jessica‛

(53)

45

kelaziman dapat diteliti orang tersebut melakukan berapa kali dan selanjutnya

pemeriksaan tersebut bisa dilakukan di tempat yang netral, tidak boleh

dilakukan dikantor polisi. Karena dapat menyebabkan terdakwa tertekan.6 Dewi mengatakan, hasil pemeriksaan psikologis Jessica yang dilakukan

psikolog klinis Antonia Ratih Andjayani kontradiktif. Tujuan pemeriksaan

dilakukan untuk profiling atau mengetahui profil Jessica. Namun, hasil

pemeriksaan menunjukkan kesimpulan tentang sosok Jessica yang waras dan

cerdas. Untuk profiling tidak hanya Jessica yang diperiksa, tetapi juga orang

sekitar, seperti keluarga, untuk mengetahui lingkungan sekitar.7

Psikolog Dewi Taviana Walida juga menyebut Antonia Ratih Andjayani

saksi ahli psikologi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam

sidang sebelumnya dianggap menyalahi kode etik profesi psikologi. Dalam tes

psikologi itu Antonia mewawancarai Jessica guna memprofile wanita yang

kini berstatus sebagai terdakwa tersebut dinilai tidak selaras. Profiling itu

menggambarkan kondisi. Bagaimana masa kecilnya, hubungannya dengan

keluarga. Tidak hanya ditanyakan ke Jessica tapi orang lain juga. Jadi Terlihat

ada kebingungan antara tujuan dan kesimpulan.8

Pada kesempatan ini Jaksa Penuntut Umum menanyakan kepada Dewi

atas pernyataannya yang menyebut hasil penelitian atau tes psikologi yang

dilakukan polisi terhadap terdakwa Jesica Kumala Wongso melanggar kode

6Komaruddin, ‚sidang Jessica, Psikologi UI beberkan parameter pemeriksaan kejiwaan‛ dalam

https://metro.sindonews.com/read/1140424/170/sidang-jessica-psikolog-ui-beberkan-parameter-pemeriksaan-kejiwaan-1474259250. diakses pada tanggal 10 April 2017.

7Nursita Sari, ‚saksi ahli dari pihak Jessica: hasil pemeriksaan psikologi Jessica kontradiktif‛

http://megapolitan.kompas.com/read/2016/09/19/12063561/saksi.ahli.dari.pihak.jessica.hasil.pem eriksaan.psikologi.jessica.kontradiktif. diakses pada tanggal 10 April 2017.

8Komaruddin, ‚psikologi UI sebut beberkan hasil tes kejiwaan langgar kode etik‛ dalam

(54)

46

etik psikologi. Menurut Dewi, informasi itu bersifat rahasia dan tidak boleh

disampaikan ke publik.9 Namun keterangan Dewi membuat Jaksa Penuntut Umum berang. Sebab, sebagai ahli tidak seharusnya tidak menilai kinerja atau

mengkritik. Ketika Jaksa Penuntut Umum bertanya kepada Dewi tentang

pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh saksi ahli dari Kejaksaan dalam

persidangan. Dewi menjawab pertanyaan dari Jaksa Penuntut Umum Bahwa ia

tetap berpedoman bahwa hasil pemeriksaan tidak seharusnya di beberkan ke

publik. Karena hal tersebut dapat membuat persepsi di masyarakat berbeda

dengan nada yang berbelit-belit.10

Di akhir persidangan Dewi menyimpulkan hasil penelitan yang dilakukan

oleh saksi ahli yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak

sinkron dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Kemudian, Dewi

mengatakan, ada metodologi yang harus dilakukan psikolog dalam melakukan

pemeriksaan. Psikologi forensik saat ini sedang mengembangkan tata laksana.

Ini bukan masalah metode tetapi bias kesimpulan dan tujuannya beda. Belum

ada aturan yang baku. 11

2. Ahli Digital Forensik, Rismon Hasiholan Sianipar.

Saksi Ahli digital forensik Rismon dalam awal persidangan pembuktian.

Ditanya oleh Jaksa mengenai sertifkasi laptop yang di pakai untuk

menganalisa gambar CCTV terakreditasi atau tidak dan juga dapat

9Arga Sumantri, ‚JPU berseteru degan saksi ahli yang didatangkan Jessica‛ dalam

http://news.metrotvnews.com/hukum/0KvVBXYK-jpu-berseteru-dengan-saksi-ahli-yang-didatangkan-jessica. diakses pada tanggal 10 April 2017.

10Eko Siswono, ‚saksi ahli Jessica serang saksi memberatkan‛ dalam

https://m.tempo.co/read/news/2016/09/19/064805371/saksi-ahli-jessica-serang-saksi- memberatkan. diakses pada tanggal 10 April 2017.

11Komaruddin,

Gambar

gambar maka dengan laju seperti ini h  anya ada 10 gambar saja per detik.

Referensi

Dokumen terkait

Ini membawa kepada perlu dikaji mengenai Pengaturan dan tanggung jawab suami terhadap nafkah anak serta istri pasca perceraian bagi warga negara Indonesia yang non muslim, Upaya

Ketika terjadi mutasi, terjadi perubahan susunan nukleotida (terjadi delesi, insersi, transklokasi, duplikasi, inversi) yang menyebabkan disfungsi pada protein

Penulis yang juga pecinta hewan ini mengambil Tugas Akhir dengan judul “ Desain Interior Rumah Sakit Hewan Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur dengan konsep Eco-Modern

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan maharah istima dan kalam siswa dengan menggunakan permainan bisik berantai dan mengetahui perbedaan

Secara umum, hasil pengujian menunjukkan bahwa Halimeda tidak mempunyai aktivitas menghambat terhadap pertumbuhan semua jenis bakteri Vibrio yang

Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu diupayakan penyelesaiannya, dan menurut penulis, Bagian Prodi Kampus STMIK Bina Sarana Global perlu mengembangkan suatu

terhadap Kualitas Kimia dan Hedonik Marshmallow Tinggi Antioksidan dan Protein” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pangan di