PANDANGAN JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL) TERHADAP
PERKAWINAN BEDA AGAMA
SKRIPSI
Oleh:
Saiful Ma'arif
NIM. C01212090
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah Dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga
Surabaya
PANDANGAN JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL) TERHADAP
PERKAWINAN BEDA AGAMA
SKRIPSI
Diajukan kepadaUniversitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu
Syariah dan Hukum
Oleh:
Saiful Ma’
arif
NIM. C01212090
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga
Surabaya
ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian kepustakaan, dengan judul “Pandangan Jaringan Islam Liberal (JIL) terhadap Perkawinan Beda Agama”. Bertujuan untuk menjawab pertanyaan bagaimana pandangan JIL terhadap perkawinan beda agama, dan bagaimana metode yang digunakan JIL dalam ijtihad hukum Islam terhadap perkawinan beda agama.
Data penelitian dihimpun melalui studi pustaka, selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif analisis, dengan pola pikir deduktif yaitu mengemukakan teori atau dalil-dalil yang bersifat umum untuk memperoleh kesimpulan.
Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa dalam perkawinan beda agama, JIL tidak mempermasalahkan perkawinan antara seorang Muslim dengan non-Muslim, baik laki-laki maupun perempuan, jadi boleh menikah beda agama apapun aliran kepercayaannya baik laki-laki maupun perempuan.
Metode yang digunakan JIL dalam ijtihad hukum Islam tentang perkawinan beda agama adalah JIL menempatkan maqa<sid shari<’ah sebagai metode ijtihad yang pertama kemudian Alquran, sunah, ijmak dan qiyas, artinya kemaslahatan manusia lebih diutamakan daripada ayat itu sendiri, oleh karena itu apabila antara teks dalam wahyu saling bertentangan dengan kemaslahatan manusia maka yang diutamakan adalah kemaslahatan manusia meskipun menyalahi teks itu sendiri. Oleh karena metode ijtihad inilah, maka JIL memperbolehkan perkawinan beda agama demi kemaslahatan manusia.
Oleh karena itu, kita sebagai umat Muslim hendaknya untuk lebih proaktif menghadapi tantangan besar dalam bidang pemikiran tentang liberalisasi Islam yang sebenarnya bersumber dari luar Islam yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM... i
PERNYATAAN KEASLIAN... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii
PENGESAHAN... iv
MOTTO... v
ABSTRAK... vi
KATA PENGANTAR... vii
DAFTAR ISI... x
DAFTAR TRANSLITERASI... xi
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Identifikasi Masalah... 14
C. Batasan Masalah... 14
D. Rumusan Masalah... 14
E. Kajian Pustaka... 14
F. Tujuan Penelitian... 16
G. Kegunaan Hasil Penelitian... 16
H. Definisi Operasional... 17
I. Metode Penelitian... 18
J. Sistematika Pembahasan... 20
BAB II DESKRIPSI UMUM JARINGAN ISLAM LIBERAL... 22
A. Profil Jaringan Islam Liberal... 22
1. Sejarah Kemunculan Jaringan Islam Liberal... 29
2. Pengertian Islam Liberal... 3. Misi dan Kegiatan Pokok Jaringan Islam Liberal.... 32
B. Karakteristik Pemikiran Jaringan Islam Liberal... 47
BAB III PANDANGAN DAN METODE IJTIHAD JARINGAN ISLAM LIBERAL TERHADAP PERKAWINAN BEDA
AGAMA... 51
A. Pandangan JIL terhadap Perkawinan Beda Agama... 51
B. Metode Ijtihad JIL dalam Perkawinan Beda Agama... 53
BAB IV ANALISIS TERHADAP PANDANGAN JARINGAN ISLAM LIBERAL TERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA ... 60
A. Analisis terhadap Pandangan Jaringan Islam Liberal tentang Perkawinan Beda Agama... 60
B.Analisis terhadap Metode Ijtihad Jaringan Islam Liberal terhadap Perkawinan Beda Agama... 72
BAB V PENUTUP... 78
A. Kesimpulan... 78
B. Saran... 79 DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah menciptakan hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan suatu
wadah pernikahan sebagai jaminan kelestarian populasi manusia di muka bumi,
sebagai motivasi dari tabiat dan syahwat manusia dan untuk menjaga kekekalan
keturunan mereka. Dengan adanya dorongan syahwat seksual yang terpendam
dalam diri laki-laki dan perempuan, mereka akan berfikir tentang pernikahan.1
Menurut fitrahnya, manusia dilengkapi oleh Tuhan dengan kecenderungan seks,
oleh karena itu, Tuhan menyediakan wadah yang legal untuk terselenggaranya
penyaluran tersebut yang sesuai dengan derajat kemanusiaan, yakni dengan wadah
perkawinan. Akan tetapi, perkawinan tidaklah semata-mata dimaksudkan untuk
menunaikan hasrat biologis tersebut. Terdapat tujuan lainnya dari sebuah
perkawinan, yaitu untuk mencapai kehidupan saki>nah, mawaddah dan rahmah,
regenerasi, menjaga kehormatan, dan beribadah untuk Tuhan,2 serta menjalin
hubungan kekeluargaan.
Hal tersebut diatas sesuai dengan rumusan yang terkandung dalam aturan
hukum positif di Indonesia yakni, pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974
tentang perkawinan yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
1 Muhammad Ali Ash-Shabuny, az-Zawaju Islamil Mubakkrir: Sa’adah, Terj. Mustaqiim, Hadiah untuk Pengantin, (Jakarta: Mustaqim, 2001), 28.
2
keluarga (rumah tangga) yang bahagia yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”.3
Dari bunyi Pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tersebut di atas,
tersimpul suatu rumusan arti dan tujuan perkawinan. Dalam pengertian yang lain,
perkawinan juga diartikan sebagai akad yang sangat kuat, hal ini sesuai dengan
Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi: “Perkawinan menurut hukum
Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mithaqan ghaliz}an
untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”4.
Menurut Sayuti Thalib perkawinan ialah perjanjian suci membentuk
keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan.5 Sementara Mahmud
Yunus menegaskan, perkawinan ialah akad antara calon laki istri untuk memenuhi
hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syariat.6 Perkawinan merupakan ikatan
sakral karena di dalam ikatan perkawinan tersebut tidak hanya terdapat ikatan
lahir atau jasmani saja tetapi juga ada ikatan rohani yang berdasarkan kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Maksudnya ialah bahwa suatu perkawinan tidak hanya
sekedar hubungan lahiriah saja, tetapi lebih dari itu yaitu satu ikatan atau
hubungan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang
3 Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, UU No 1 tahun 1974, pasal 1.
4 Departemen Agama RI, Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000), 14.
5 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986), 47.
3
bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa7.
Jadi, pada dasarnya perkawinan merupakan cara penghalalan terhadap
hubungan antar kedua lawan jenis, yang semula diharamkan, seperti memegang,
memeluk, mencium dan hubungan intim. Perkawinan juga merupakan cara untuk
melangsungkan kehidupan umat manusia di muka bumi, karena tanpa adanya
regenerasi, populasi manusia di bumi ini akan punah. Dan perkawinan memiliki
dimensi psikologis yang sangat dalam, karena dengan perkawinan ini kedua insan,
suami dan istri, yang semula merupakan orang lain kemudian menjadi satu. Mereka
saling memiliki, saling menjaga, saling membutuhkan, dan tentu saja saling
mencintai dan saling menyayangi, sehingga terwujud keluarga yang harmonis
(saki>nah).8 Begitu jelas Islam menjelaskan tentang hakekat dan arti penting
perkawinan, bahkan dalam beberapa undang-undang masalah perkawinan diatur
secara khusus. Seperti, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,
Kompilasi Hukum Islam, Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan lain-lain.
Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa antara perkawinan dan agama mempunyai
hubungan yang sangat erat, karena perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir
atau jasmani, tatapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan yang
penting.9
7 Sution Usman Adji, Kawin lari dan Kawin antar Agama, (Yogyakarta: Liberty, 1989), 21. 8Masykuri Abdillah, “Distorsi Sakralitas Perkawinan Pada Masa Kini”, dalam Mimbar Hukum No. 36 Tahun IX 1998, 74.
4
Tujuan perkawinan yang diinginkan dalam Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 adalah suatu bentuk tujuan yang ideal. Tujuan perkawinan itu tidak
hanya melihat dari segi lahirnya saja tapi sekaligus terdapat adanya suatu
pertautan batin antara suami dan istri yang ditujukan untuk membina suatu
keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia bagi keduanya dan yang sesuai
dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa10.
Dari uraian diatas, menurut M. Yahya Harahap asas-asas yang dipandang
cukup prinsip dalam Undang-Undang perkawinan adalah:
1. Menampung segala kenyataan-kenyataan yang ada yang sudah hidup
dalam masyarakat bangsa Indonesia dewasa ini. Undang-Undang
perkawinan menampung didalamnya segala unsur-unsur ketentuan
hukum agama dan kepercayaan masing-masing.
2. Sesuai dengan adanya tuntutan perkembangan zaman. Maksud dari
perkembangan zaman adalah terpenuhinya aspirasi wanita yang
menuntut adanya emansipasi, disamping perkebangan sosial ekonomi,
ilmu pengetahuan teknologi yang telah membawa implikasi mobilitas
sosial di segala lapangan hidup dan pemikiran.
3. Tujuan perkawwinan adalah membentuk keluarga bahagia kekal.
Tujuan perkawinan ini dapat dielaborasi menjadi tiga hal. Pertama,
suami-istri saling membantu dan saling melengkapi. Kedua,
masing-masing kedua belah pihak dapat mengembangkan kepribadiannya dan
untuk pengembangan kepribadian itu suami-istri harus saling
5
membantu. Ketiga, tujuan terakhir yang ingin dikejar oleh keluarga
bangsa Indonesia adalah keluarga bahagia yang sejahtera spiritual dan
material.
4. Kesadaran akan hukum agama dan keyakinan masing-masing warga
negara Indonesia yaitu perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum
agama dan kepercayaan masing-masing. Hal ini merupakan crusial poin
yang hampir menenggelamkan Undang-Undang ini. Disamping itu
perkawinan harus memenuhi administratif pemerintahan dalam bentuk
pencatatan.
5. Undang-Undang menganut asas monogami akan tetapi tetap terbuka
peluang untuk melakukan poligami selama hukum agamanya
mengizinkannya.
6. Perkawinan dan pembentukan keluarga dilakukan oleh pribadi yang
telah matang jiwa dan raganya.
7. Kedudukan suami-istri dalam kehidupan keluarga adalah seimbang,
baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan
masyarakat.11
Hukum perkawinan Islam dibangun untuk menciptakan kemaslahatan bagi
seluruh manusia dan bagi pihak-pihak yang bersangkutan dengan pernikahan
tersebut. Secara umum, kemaslahatan perkawinan adalah segala sesuatu yang
merupakan kebaikan atau yang menyebabkan timbulnya kebaikan dan bukan
merupakan sebuah kemudaratan atau sesuatu yang menolak munculnya berbagai
6
kemudaratan di dalam kehidupan perkawinan bagi pihak yang bersangkutan dan
bagi masyarakat di sekitarnya.12
Kemaslahatan perkawinan juga berarti segala sesuatu yang digunakan
untuk meraih maqa>s{id al-shari’>ah dari perkawinan, baik yang bersifat as}liyyah atau
t}abi>’ah. Kemaslahatan perkawinan yang termasuk ke dalam as{liyyah adalah
meneruskan keturunan yang merupakan penjagaan langsung terhadap salah satu
al-ushu>l al-khamsah . Sedangkan kemaslahatan perkawinan yang bersifat t{abi>’ah
adalah mencari ketenangan (saki>nah), membagi cinta dan kasih sayang (mawaddah
wa al-rahmah), menyalurkan kebutuhan biologis secara benar dan sebagainya.13
Kemaslahatan perkawinan yang berupa meneruskan keturunan tersebut
juga berarti maslah{ah d{aru>riyyah. Sedangkan kemaslahatan yang berupa
kelanggengan ikatan perkawinan, keharmonisan rumah tangga, saling berbagi
kasih sayang, ketenangan dan cinta adalah maslah{ah h{a>jiyyah.14
Di era modern ini, pergaulan antara pria dan wanita telah melampaui suku,
etnis, bangsa, bahkan mereka tidak memperdulikan batasan agama. Hal itu berarti
perbedaan-perbedaan tersebut bukanlah hal yang menjadi penghalang antara pria
dan wanita untuk menjalin suatu hubungan hingga ke jenjang perkawinan,
sehingga dengan latar belakang tesebut muncullah perkawinan antar agama, yang
mana kasus tersebut menjadi polemik para ulama terdahulu hingga sekarang.
Masih banyak perdebatan berkenaan tentang perkawinan beda agama hingga kini
12Abd al-Wahab Khalla<f, Us{u<l al Fikih, (Kairo: Da<r al-Qalam,1978), 198.
13Yu>suf H{a>mid ‘A>lim, al-Maqa>shid al-‘A>mmah li al-Sharî’ah al-Isla>miyyah (USA: Internasional
Graphics Printing Service, 1991), 102.
7
masih santer terjadi. Perdebatan terjadi antara para akademisi, tokoh ulama,
ormas-ormas keagamaan dan bahkan masyarakat yang awam pun turut
memperdebatkannya. Ada pihak yang memperbolehkan dan adapula pihak yang
mengutuk secara keras terjadinya perkawinan beda agama.
Perkawinan beda agama banyak terjadi di kalangan masyarakat, baik
masyarakat kota maupun desa, baik kalangan artis maupun rakyat jelata. Hal itu
didasarkan atas banyak hal, antara lain minimnya pengetahuan tentang agama,
rendahnya pendidikan atau bahkan disebabkan faktor ekonomi. Hukum-hukum di
Indonesia mutlak mengharamkan terjadinya perkawinan beda agama yang dianut
oleh mayoritas masyarakat Indonesia yakni haram hukumnya perkawinan
campuran antara seorang laki-laki muslim dengan wanita musyrik (non muslim),
Ketentuan hukum perkawinan antar agama telah dinyatakan secara tegas
dalam Alquran. Paling tidak ada tiga mainstream pemikiran dalam masalah ini.
Pertama, mengharamkan secara mutlak perkawinan beda agama. Kedua,
membolehkan dengan syarat tertentu. Ketiga, membolehkan tanpa syarat.
Disebutkan dalam firman Allah swt:
8
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.15
Pada ayat di atas dapat dipahami bahwa Islam menurut pendapat yang
pertama, yakni melarang dengan tegas adanya perkawinan campuran antar agama,
bahkan dijelaskan pula pada ayat tersebut bahwa seorang wanita hamba sahaya
yang muslim itu jauh lebih baik untuk dikawini daripada wanita non muslim yang
merdeka.
Pendapat kedua, yakni memperbolehkan dengan syarat. Pendapat yang
kedua menyatakan bahwa laki-laki Muslim diperbolehkan menikah dengan
perempuan ahlul kita>b. Menurut mereka lafaz{ musyrikah tidak mencakup ahlul
kita>b. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam surah al-Baqarah (2): 105 dan
al-Bayyinah (98):1 dan 6. Diperbolehkannya seorang laki-laki muslim mengawini
wanita-wanita ahlul kita>b dapat dilihat dalam buku Sayyid Sabiq dalam fikih
sunnahnya, bahwa seorang laki-laki muslim diperbolehkan untuk menikahi
perempuan merdeka dari ahlul kita<b.16 Pernyataan yang ada dalam buku ini
didasarkan pada firman Allah swt dalam Al- Qur’an:
ُىّ ُلِح ُْْكُماَعَطَو ُْْكىل ٌلِح َباَِْكْلا ْاوُتوَُ َنيِكىلا ُماَعَطَو ُتاََِ يىطلا ُُْكَل ىلِحَُ َمْوَ يْلا
9
wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.17
Selain pendapat tersebut di atas, dalam qaul mu’tama<d maz{hab Shafi’i,
perempuan ahlul kita<b yang halal dinikahi laki-laki muslim adalah perempuan yang
menganut agama Nasrani dan Yahudi sebagai keturunan dari orang-orang (nenek
moyang mereka) yang menganut agama tersebut sejak masa sebelum nabi
Muhammad diutus menjadi rasul. Sedangkan orang-orang yang baru menganut
agama Yahudi atau Nasrani sesudah Alquran diturunkan tidaklah dianggap ahlul
kita<b, karena terdapat kalimat min qablikum (dari sebelum kamu), dalam ayat 5
surat Al-Ma<idah kalimat tersebut menjadi qayid bagi ahlul kita<b yang dimaksud.
Pendapat maz{hab Shafi’i ini mengakui ahlul kita<b bukan karena agamanya, tetapi
karena menghormati asal keturunannya.18 Muhammad Jawad Mughniyah dalam
buku Fiqih Lima Maz{habnya juga menyatakan tentang diperbolehkannya laki-laki
muslim mengawini wanita ahlul kita<b, yakni wanita-wanita Yahudi dan Nasrani
oleh empat Maz{hab (Imam Maliki, Shafi’i, Hanafi, dan Hambali).19
Pendapat ketiga, yakni mutlak memperbolehkan perkawinan beda agama
Antara lain sebagian contoh buku Pluralisme Agama yang dibiayai oleh LSM asing
seperti The Asia Foundation dan Ford Foundation:
17 Departemen Agama RI, Alquran…, 158.
10
1. Buku Fiqih Lintas Agama yang diterbitkan oleh Paramadina dan The Asia
Foundation. Dengan berdasarkan pada Pluralisme Agama, buku ini
kemudian juga merombak hukum Islam dalam bidang perkawinan, dengan
menghalalkan perkawinan wanita Muslimah dengan lelaki non-Muslim
yang berbunyi: “Soal pernikahan laki-laki non-Muslim dengan wanita
Muslim merupakan wilayah ijtihad dan terikat dengan konteks tertentu,
diantaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat
Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan
sesuatu yang terlarang. Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir
atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat
baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim,
atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun
agama dan aliran kepercayaannya.”20
2. Buku “Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam”, (Kerjasama Fatayat Nahdhatul
Ulama dan dengan Ford Foundation): Diantara isi buku ialah menyatakan
bahwa semua agama adalah sama dan benar; Islam bukanlah satu-satunya
jalan kebenaran; dan agama dipandang sama dengan budaya (Pluralisme
Agama): “Dalam konteks ini, maka Islam tak lain adalah satu jalan
kebenaran diantara jalan-jalan kebenaran yang lain, artinya jalan menuju
kebenaran tidak selamanya dan mesti harus melalui jalan ‘agama’, tapi juga
bisa memakai medium yang lain. Karena sifatnya yang demikian maka
Islam kemudian berdiri sejajar dengan praktik budaya yang ada. Tidak ada
11
perbedaan yang signifikan kecuali hanya ritualistik-simbolistik. Sedangkan
esensinya sama, yakni menuju kebenaran transendental.”21.
Majelis Ulama Indonesia, melalui fatwanya tanggal 29 Juli 2005 juga telah
menyatakan bahwa paham pluralisme agama bertentangan dengan Islam dan
haram umat Islam memeluk paham ini. MUI mendefinisikan pluralisme agama
sebagai suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan
karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk
agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan
agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama
akan masuk dan hidup berdampingan di surga. Dr. Anis Malik Thoha, pakar
pluralisme agama, yang juga Mustasyar NU Cabang Istimewa Malaysia,
mendukung fatwa MUI tersebut dan menyimpulkan bahwa pluralisme agama
memang sebuah agama baru yang sangat destruktif terhadap Islam dan
agama-agama lain.22
Sebelum MUI mengeluarkan fatwa tentang haramnya paham “Pluralisme
Agama”, penyebaran ini di Indonesia sudah sangat meluas. Jika ditelusuri,
sebenarnya sebagian benihnya sudah ditabur sejak zaman penjajahan Belanda
dengan merebaknya ajaran kelompok teosofi. Namun, istilah “Pluralisme Agama”
atau pengakuan seorang sebagai pluralis dalam konteks teologi, bisa ditelusuri
pada catatan harian Ahmad Wahib, salah satu perintis gerakan Islam Liberal di
21Nuryamin Aini, “Fakta Empiris pernikahan Beda agama”, dalam http://Islamlib.com/?site
=fakta-empiris-nikah-beda-agama.html, diakses pada 17 maret 2015.
12
Indonesia, disamping Dawam Rahardjo dan Djohan Effendi. Dan adanya
pemikiran yang Liberal ini sangat berdampak pada hubungan sosial
kemasyarakatan diantaranya adalah pada masalah perkawinan dan hukum perdata
yang lain. Dengan Pluralisme Agama, semua kemungkaran ini dilegitimasi.
Pluralisme Agama jelas membongkar Islam dari konsep dasarnya. Dalam paham
ini, tidak ada lagi konsep mukmin, kafir, syirik, surga, neraka, dan sebagainya.
Karena itu, mustahil paham Pluralisme Agama bisa hidup berdampingan secara
damai dengan Tauhid Islam. Sebab keduanya bersifat saling menegasikan.
Jadi, bangunan dan sistem Islam itu begitu jelas, bukan hanya dalam
konsepsi teologis, tetapi juga konsepsi sosial, ekonomi, politik, kebudayaan,
peradaban, dan sebagainya. Misalnya, dalam hukum bidang perkawinan, sudah
jelas, bahwa laki-laki kafir (non-muslim) haram hukumnya dinikahkan dengan
wanita muslimah. Dari sekian banyak ormas Islam yang ada, beberapa melarang
secara mutlak adanya perkawinan beda agama dan yang terang-terangan
memperbolehkan perkawinan beda agama adalah kelompok Jaringan Islam Liberal
yang sangat mengganggu hukum yang telah menjadi pedoman mayoritas
masyarakat Indonesia.
Hal ini dapat dilihat dari beberapa fatwa berikut, dari tokoh-tokoh Jaringan
Islam Liberal tentang perkawinan beda agama:
1. Fatwa dari Ulil Abshar Abdalla selaku koordinator JIL, mengatakan bahwa
larangan pernikahan beda agama sudah tidak relevan lagi. Menurutnya
Alquran juga tidak pernah secara tegas melarang itu, karena Alquran
13
tanpa melihat perbedaan agama. Segala produk hukum Islam klasik yang
membedakan kedudukan orang Islam dan non Islam harus diamendemen
berdasarkan prinsip kesederajatan universal dalam tataran kemanusiaan.23
2. Nurcholis Madjid bersama para tim penulis buku Fikih Lintas Agama
(FLA) yang merupakan orang-orang yang berpandangan liberal tidak ubah
memandang bahwa ditengah rentannya hubungan agama saat ini,
pernikahan beda agama justru dapat dijadikan wahana untuk membangun
toleransi dan kesepahaman antara masing-masing pemeluk agama.
Bermula dari ikatan tali kasih sayang kita rajut kerukunan dan
kedamaian.24
Perdebatan berkenaan dengan diperbolehkan atau dilarangnya
perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita-wanita ahlul kita>b yang
ada saat ini semakin menjadi daya tarik tersendiri bagi penulis untuk
melakukan penelitian berkenaan dengan perkawinan beda agama dalam
pandangan kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL).
Melihat dari permasalahan di atas itulah yang memotivasi penulis
tertarik dan mencoba untuk meneliti lebih dalam tentang pandangan JIL
terhadap perkawinan beda agama yang kemudian penulis implementasikan
dalam skripsi yang berjudul “Pandangan Jaringan Islam Liberal (JIL)
Terhadap Perkawinan Beda Agama”.
23 Ulil Abshar Abdalla, “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”, dalam http: //
www.kompas.com, diakses 19 Juni 2008.
14
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah di atas penulis mengidentifikasi beberapa
masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini, yaitu:
a. Pandangan JIL terhadap perkawinan beda agama.
b. Metode yang digunakan JIL dalam ijtihad hukum Islam tentang
perkawinan beda agama.
C. Batasan Masalah
Agar permasalahan dalam skripsi ini lebih fokus, maka penulis
membatasi permasalahan untuk dibahas sebagai berikut:
a. Pandangan JIL terhadap perkawinan beda agama.
b. Metode yang digunakan JIL dalam ijtihad hukum Islam tentang
perkawinan beda agama.
D. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pandangan JIL terhadap perkawinan beda agama?
2. Bagaimana metode yang digunakan JIL dalam ijtihad hukum Islam tentang
perkawinan beda agama?
E. Kajian Pustaka
Kajian pustaka disini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana
15
membahas permasalahan yang akan dikaji dalam skripsi dengan te dengan skripsi
ini. Di bawah ini ada beberapa judul penelitian yang pernah ditulis sebelumnya:
Skripsi yang ditulis oleh Isna Nur Fitria (UIN Sunan Ampel) yang
berjudul “ Perkawinan Beda Agama dan Dampaknya (Studi Komparasi antara
Hukum Perkawinan Mesir dan Indonesia) ”, membahas tentang persamaan dan
perbedaan hukum perkawinan yang ada di Mesir dan Indonesia. Skripsi ini
menuliskan beberapa persamaan dan perbedaan berkenaan dengan perkawinan
beda agama yang ada di Mesir dan Indonesia, selanjutnya skripsi ini juga
menjelaskan akibat adanya perkawinan beda agama tersebut.25
Selanjutnya, Skripsi yang ditulis oleh Ahmad Farih Shofi Muhtar(UIN
Sunan Ampel) yang berjudul (Studi Komparasi Istinba<t} Hukum MUI dan
Nahdlatul Ulama Jawa Timur Terhadap Perkawinan Beda Agama), membahas
tentang persamaan dan perbedaan metode istinba<t} hukum dari MUI dan NU di
Jawa Timur terhadap perkawinan Beda Agama. Skripsi ini menjelaskan Antara
MUI dan NU di Jatim saling berhubungan satu sama lain dalam berfatwa. 26
Skripsi yang ditulis oleh Abdi Pujiasih (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
yang berjudul “Pernikahan Beda Agama Menurut Islam Dan Katolik”, membahas
tentang persamaan dan perbedaan perkawinan beda agama antara Agama Islam
dan Katolik. Skripsi ini menjelaskan tentang landasan utama Islam dan katolik
memandang adanya perkawinan beda agama, yang selanjutnya memberikan
25Isna Nur Fitria, “Perkawinan Beda Agama dan Dampaknya (Studi Komparasi antara Hukum
Perkawinan Mesir dan Indonesia)” (Skripsi—UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2014).
26Ahmad Farih Shofi Muhtar yang berjudul ‘Studi Komparasi Istinba<t} Hukum MUI dan Nahdlatul
16
rasionalisasi perkawinan beda agama sebagai fakta pluralitas yang ada di
Indonesia.27
Pada pembahasan skripsi ini, penulis meneliti tentang pandangan dan
metode ijtihad yang dilakukan oleh JIL terhadap perkawinan beda agama.
Kelompok ini merupakan kelompok yang sangat kontra fatwanya dalam
permasalahan perkawinan beda agama dengan mayoritas ahli hukum Islam. Dan
ini sungguh membingungkan masyarakat awam. Oleh karena itu penulis tertarik
dan merasa perlu untuk meneliti permasalahan ini.
F. Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui lebih lanjut tentang fatwa JIL terhadap perkawinan beda
Agama, adapun rincian tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui secara mendalam pandangan JIL terhadap perkawinan
beda agama.
2. Untuk mengetahui dan menganalisa metode yang digunakan JIL dalam
ijtihad hukum Islam tentang perkawinan beda agama.
G. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat minimal memberikan
sumbangsih pemikiran bagi disiplin ilmu secara umum, dan sekurang-kurangnya
dapat digunakan untuk dua aspek, yaitu:
27Abdi Pujiasih yang berjudul “ Pernikahan Beda Agama Menurut Islam Dan Katolik ” ( Skripsi
17
1. Manfaat Teoritis
Dari sisi teoritis, penelitian ini diharapkan menjadi masukan dalam rangka
memperkaya khasanah pemikiran dalam bidang hukum Islam, khususnya
di bidang hukum perkawinan dan keluarga.
2. Manfaat Praktis
Dari sisi praktis, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
acuan atau pertimbangan bagi para praktisi hukum dan mahasiswa Fakultas
Syari’ah khususnya serta dapat dijadikan sebagai pedoman dan dasar bagi
peneliti lain dalam mengkaji penelitian lagi yang lebih mendalam yang
pembahasannya berkaitan perkawinan beda agama.
H. Definisi Operasional
Sehubungan dengan judul skripsi di atas, untuk mempermudah pemahaman
dan konteks pembahasan, maka penulis akan memberikan definisi operasional dari
masing-masing istilah yang digunakan di dalamnya, diantaranya sebagai berikut:
1. Perkawinan beda agama: diartikan sebagai perkawianan dua insan yang
berbeda agama, kepercayaan atau faham.28 Pendapat lain, pernikahan beda
agama atau perkawinan antar agama, yakni perkawinan antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan warga Negara Indonesia yang agamanya
masing-masing berbeda.29
28 Slamaet Abidin dan H. Aminuddin, Fikih Munakahat I, (Bandung: Pustaka Setri, 1999), 36. 29 Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau Dari Undang-Undang Perkawinan No.1/1974,
18
2. Jaringan Islam Liberal (JIL): sebuah kelompok diskusi tentang Islam yang
dibentuk untuk mewujudkan Islam Liberal. Penggunaan nama “Islam
liberal” sengaja ditujukan untuk menggambarkan prinsip-prinsip yang
mereka anut, yaitu Islam yang menekankan kebebasan pribadi dan
pembebasan dari struktur sosial-politik yang menindas. “Liberal” di sini
bermakna dua: kebebasan dan pembebasan. Sedangkan kata Jaringan
sendiri dipilih karena dianggap mewakili tujuan JIL untuk menyebarkan
gagasan Islam Liberal seluas luasnya kepada masyarakat.30
3. Metode ijtihad JIL: sebuah metode ijtihad baru yang mereka harapkan
dapat mencipatakan kemashalahatan bagi seluruh umat manusia. Sebuah
konsep yang mereka harapkan akan mampu mengakomodasi kepentingan
dan menjamin hak-hak semua manusia dengan melintasi agama, budaya
suku dan Negara.31
I. Metode Penelitian
Penelitian dalam skripsi ini merupakan penelitian analisis
deskriptif, agar penulisan skripsi ini dapat tersusun secara sitematis, jelas,
dan benar. Maka perlu dijelaskan tentang metode penelitian sebagai
berikut:
1. Data yang dikumpulkan
30 Lihat dalam http://islamlib.com/id/tentangkami.php, diakses 13 April 2011
19
Sesuai dengan mengacu pada masalah baku pada tujuan penelitian,
maka data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data yang
terkait dengan pandangan JIL tentang perkawinan beda agama dan data
lain untuk menganalisis pandangan JIL terhadap perkawinan beda agama.
2. Sumber Data
Penulisan skripsi ini merupakan hasil dari kajian pustaka. Oleh
sebab itu data yang digunakan adalah:
a. Sumber data primer, yaitu buku Fiqih Lintas Agama dan
buku-buku yang berhubungan dengan Perkawinan beda agama.
b. Sumber data sekunder, yaitu buku Hartono Ahmad Jaiz yang
berjudul Menangkal Bahaya JIL dan FLA, Buku Akmal Sjafril
berjudul Islam Liberal 101 dan Islam Liberal ideologi delusional,
buku Adian Husaini berjudul Virus Liberalisme di Perguruan
Tinggi Islam dan Liberalisasi Islam di Indonesia, Abdul Wahhab
Khallaf dalam bukunya Ilmu Ushul Al-Fikih, Muhammad Jawad
Mughniyah dalam bukunya Fiqih Lima Maz{hab, Sayyid Sabiq
dalam Fikih Sunahnya. Dan buku-buku lain yang membantu
penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
c. Sumber data tersier (penunjang), yaitu bahan hukum yang
menunjang dengan pembahasan skripsi, yaitu sumber dari
20
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian
ini adalah studi pustaka yaitu metode pengumpulan data dengan cara
mempelajari, memahami buku-buku, peraturan perundang-undangan serta
karya tulis ilmiah lainnya yang berhubungan dengan pandangan JIL
terhadap perkawinan beda agama.
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik deskriptif analisis verifikatif, yaitu teknik analisis dengan cara
menjabarkan data sesuai apa adanya, dalam penelitian ini adalah mengenai
pandangan JIL terhadap perkawinan beda agama dilanjutkan dengan
analisis terhadapnya dan diverifikasi dengan menggunakan metode ijtihad
hukum Islam. Selanjutnya dalam penelitian ini akan dilakukan penarikan
kesimpulan terhadap pandangan JIL terhadap perkawinan beda agama.
Adapun pola pikir yang digunakan untuk penarikan kesimpulan dalam
penelitian ini adalah menggunakan pola pikir induktif-deduktif.
J. Sistematika Pembahasan
Untuk dapat mempermudah pemahaman skripsi ini, maka pembahasan
dalam skripsi ini akan diuraikan secara sistematis. Adapun penulisan skripsi ini
dibagi ke dalam lima bab yang berhubungan satu dengan lainnya, yaitu:
Bab Pertama, bab ini berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang,
21
penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional, metode penelitian dan
sistematika pembahasan.
Bab Kedua, bab ini membahas tentang landasan teori, yakni sekilas tentang
profil JIL meliputi sejarah JIL, pengertian Islam Liberal, serta misi dan kegiatan
pokok JIL, karakteristik pemikiran JIL, tokoh-tokoh liberal di Indonesia.
Bab Ketiga, bab ini membahas tentang pandangan JIL terhadap perkawinan
beda agama dan metode yang digunakan JIL dalam ijtihad hukum Islam tentang
perkawinan beda agama.
Bab Keempat, bab ini membahas tentang analisis pandangan JIL terhadap
perkawinan beda agama dan analisis tentang metode yang digunakan JIL dalam
ijtihad hukum Islam tentang perkawinan beda agama.
Bab Kelima, merupakan bab terakhir dalam skripsi ini yang berisi penutup
BAB II
DESKRIPSI UMUM JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
A. Profil Jaringan Islam Liberal (JIL)
1. Sejarah Kemunculan JIL.
Jika ditelusuri dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia, liberalisasi
Islam sudah ditanamkan sejak zaman penjajahan Belanda. Namun secara
sistematis dari dalam tubuh organisasi Islam, gerakan liberalisasi Islam di
Indonesia bisa dikatakan sudah dimulai pada awal 1970-an. Pada 3 Januari
1970, ketua umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Indonesia
(PBHMI), Nurcholish Madjid, secara resmi menggulirkan perlunya dilakukan
sekularisasi Islam. 1
Sedangkan, Jaringan Islam Liberal (JIL) sendiri didirikan oleh para
aktivis Utan kayu, di Jakarta pada 8 April 2001.2 Yakni sebuah jaringan
intelektual di Indonesia yang mempromosikan gagasan Islam liberal. JIL
Secara historis, kemunculan JIL merupakan respon atau gerakan tandingan
terhadap gerakan-gerakan fundamentalis-radikal di Indonesia yang
mengemuka tidak lama setelah lengsernya Suharto pada tahun 1998. Dalam
posisinya sebagai kelompok yang memperjuangkan ruang publik di Indonesia,
JIL berperan sebagai counter discourse bagi kelompok-kelompok
radikal-konservatif Muslim yang selalu menyerukan penerapan syariat dan
1 Adian Husaini, Liberalisasi Islam di Indonesia, (Jakarta: Gema Insani, 2015), 11.
2 Cucu Surahman, “Tafsir Kontekstual JIL: Telaah atas Konsep Syariat Islam dan H}udu>d”,Journal
23
pembentukan negara Islam Indonesia. Bagi JIL, Indonesia adalah bangsa
majemuk/plural yang membutuhkan ruang publik. Apapun yang menyangkut
urusan bersama harus dimusyawarahkan secara bebas dan demokratis. Selama
keberadaannya, JIL terus mendukung sistem demokrasi, kebebasan, dan
kesetaraan sosial. Sedangkan secara ideologis, terbentuknya JIL dapat dilihat
sebagai kristalisasi dan kelanjutan dari pemikiran dan gerakan Islam
sebelumnya, baik dalam lingkup Indonesia secara khusus maupun di dunia
secara umum.3
Disebut Jaringan Islam Liberal menurut Ulil Abshar Abdalla selaku
koordinator JIL mengatakan, “tujuan utama kami adalah menyebarkan
gagasan Islam Liberal seluas-luasnya kepada masyarakat. Untuk itu kami
memilih bentuk jaringan, bukan organisasi kemasyarakatan, maupun partai
politik. JIL adalah wadah yang longgar untuk siapa saja yang memiliki aspirasi
dan kepedulian terhadap gagasan Islam Liberal.4 Pada awalnya Jaringan Islam
Liberal (JIL) merupakan suatu kelompok diskusi keagamaan yang merespon
fenomena-fenomena sosial-keagamaan yang ada pada masyarakat, kemudian
seiring berjalannya waktu kelompok ini berkembang menjadi kelompok
diskusi Islam Liberal. Kelompok ini terus mendiskusikan berbagai hal
mengenai Islam, negara, dan isu-isu kemasyarakatan yang berkembang, JIL
pada mulanya diikuti oleh lebih dari 200 anggota, termasuk para penulis, para
3 Ibid, 68.
4Muhammad Najih Maimoen, Membuka Kedok Tokoh-tokoh Liberal dalam Tubuh NU ( Rembang:
24
intelektual, dan para pengamat politik.5 Ide liberalisme Islam sebagai ciri khas
JIL, tidak bisa dilepaskan dari gagasan dan pemikiran para sarjana Muslim
sebelumnya. Mengikuti para pendahulunya, JIL berpendapat bahwa agar Islam
cocok dengan tuntutan era kontemporer, maka ia harus ditafsirkan secara
substansial dan kontekstual.6
Secara khusus JIL mulai aktif pada Maret 2001 dengan menggelar
kelompok diskusi maya (milis) dalam islamliberal@yahoogroups.com.
Kemudian gagasan-gagasan JIL juga disebarkan lewat website
www.islamlib.com. Sejak Juni 2001, JIL mengisi satu halaman Jawa Pos
setiap Minggu, berikut puluhan koran jaringannya, dengan artikel dan
wawancara seputar pandangan dan pemikiran Islam liberal. Tiap kamis
malam, JIL menyiarkan talkshow dan diskusi interaktif dengan para
kontributor dan tokoh Islam yang sepaham dengannya, melalui kantor Berita
Radio 68H Utan Kayu dan disiarkan juga oleh beberapa radio jaringannya.7
Pada mulanya kegiatan JIL tidak bisa dipisahkan dari dua figur: Luthfi
Assyaukani (Universitas Paramadina Mulya, kini Universitas Paramadina)
dan Ulil Abshar Abdalla, yang saat itu bekerja di ISAI (Institut Studi Arus
Indonesia) dan Lakpesdam (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber
Daya Manusia) NU. Saat itu Luthfi memulai membuka website JIL dan
5Ahmad Bunyan Wahib, “Jaringan Islam Liberal: Towads A Liberal Islamic Thoght In Indonesia”,
Jurnal Studi Islam Profetika, No. 1 Vol. 6 (2004), 66.
6 Cucu Surahman, “Tafsir Kontekstual JIL: Telaah atas Konsep Syariat Islam dan H}udu>d”,Journal
of Qur’a>n and H}adi@th Studies ..., 68
7 Adian Husaini, Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya (Jakarta: Gema
25
membuat milisnya untuk diskusi terbuka, dan Ulil dianggap memiliki
kemampuan intelektual dan retorika bagus dijadikan jurubicara ide-ide JIL.
Menurut Zainul Bahri dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, terdapat empat faktor yang paling signifikan yang
memunculkan gerakan JIL secara agresif, yakni:8 Pertama, konteks global.
Kemunculan Islam liberal Indonesia tak bisa dilepaskan dari perkembangan
global ketika banyak negara di planet bumi ini mengalami perubahan besar
dan mendasar, terutama tuntutan demokratisasi dalam kehidupan sosial,
politik dan keagamaan. Agama, di alam demokrasi, harus didedefinisikan
untuk sesuai dengan tuntutan kehidupan progresif. Dalam pengertian inilah,
para pemikir Muslim Indonesia, termasuk tokoh-tokoh JIL mengidolakan para
sarjana barat dan timur ahli Islam yang dianggap progresif dan liberal seperti
Abdullah Ahmad an-Naim, Farid Esack, Hasan Hanafi, Arkoun, Abid
al-Jabiri, Hamid Abu Zayd, Abdul Karim Soroush, Muhammad Syahrur, dan
lain-lain. Pemikiran keislaman mereka dianggap cocok dengan perubahan
dunia yang sedang terjadi saat itu. Kedua, era reformasi, dengan tumbang
rezim Orde Baru (1998), membuka kran kebebasan berekspresi dan
berpendapat. Dalam kehidupan keagamaan, banyak muncul paham Islam garis
keras yang diimpor dari Timur Tengah, suatu model Islam yang sebenarnya
tidak cocok dengan Indonesia. Pada momen ini skripturalisme dan
fundamentalisme Islam menguat.
8 Zainul Bahri, “Ruh Hidup dalam Jasad Kaku”, Mengenang Peran Intelektual Jaringan Islam
26
Ketiga, Sejak tahun 1990an diskursus Islam intelektual telah
menyebar luas di banyak IAIN dan UIN di Indonesia. Hal ini terjadi karena
banyak dosen IAIN dan UIN yang telah pulang dari sekolah di Barat. Selain
membawa gelar master dan doktor, mereka juga membawa isu-isu baru
seperti Islam dan pluralisme, Islam dan demokrasi, Islam dan hak asasi
manusia, Islam dan konsep nation-state, Islam dan dialog antar-agama dan
lain-lain. Penting dicatat bahwa dengan sumber daya manusia unggul, IAIN
dan UIN di kota-kota besar di Indonesia memainkan peran yang sangat
signifikan dalam mengembangkan kajian teoritis studi-studi keislaman
(Islamic studies) di satu sisi, dan menyebarkan gagasan Islam moderat,
bahkan Islam liberal di sisi lain. Tokoh-tokoh UIN, terutama di Jakarta dan
Yogyakarta, setelah Harun Nasution dan Mukti Ali, seperti Azyumardi Azra
dan Abdul Munir Mulkhan dengan isu Islam kultural Indonesia, Komaruddin
Hidayat dan Amin Abdullah dengan diskursus Hermeneutik, Din Syamsuddin
dan Bahtiar Effendi dengan politik Islam Indonesia, dan Nasaruddin Umar
dengan isu Islam dan kesetaraan gender adalah para penopang yang kuat bagi
eksistensi dan masa keemasan JIL pada periode 2000-an. Mereka
dimanfaatkan JIL untuk menjadi para kontributor utama dalam acara-acara
yang digelar JIL.
Keempat, Islam kultural yang toleran selama ini dikampanyekan oleh
NU, Muhammadiyah dan Paramadina, bagi JIL adalah bagian dari kehidupan
keseharian dan keislamannya. Para tokoh dan simpatisan JIL hampir
27
Muhammadiyah. Mereka tidak semata merasa berkewajiban menjaga Islam
kultural tetapi juga ingin mengembangkannya menjadi Islam intelektual
dengan spektrum lebih luas. Dalam konteks ini, harus dipahami bahwa tiga
figur senior, yaitu Harun Nasution dengan Islam rasional, Cak Nur dengan
Islam peradaban dan kemodernan, dan Gus Dur dengan pribumisasi Islam,
dijadikan ikon-ikon yang banyak diapresiasi oleh tokoh-tokoh JIL.
Ulil Abshar Abdalla selaku koordinator JIL lahir di Pati, Jawa Tengah,
11 Januari 1967, menyelesaikan pendidikan menengahnya di Madrasah
Mathali’ul Falah, Kajen, Pati Jawa Tengah yang diasuh oleh K.H. M. Ahmad
Sahal Mahfudz (Wakil Rois PBNU periode 1994-1999). Alumni fakultas
syariah LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) Jakarta.
Sekarang bekerja sebagai peneliti Lakpesdam (Lembaga Kajian dan
Pengembangan Sumber Daya Manusia) Nahdhlatul Ulama, Jakarta. Sekaligus
juga menjadi staf di Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta. Menulis di
berbagai media massa nasional terkemuka, seperti Tempo, Forum Keadilan,
Jurnal Ulumul Quran, Jurnal Tashwirul Afkar, Harian Kompas, Media
Indonesia, Republika dan Jawa Pos.9 Dia pemikir muda Islam yang tergabung
dalam Komunitas Islam Utan Kayu (KIUK) yang melahirkan Jaringan Islam
Liberal (JIL) secara konseptual mengadopsi gagasan-gagasan Islam Liberal
dan menyebarluaskannya melalui network yang mereka miliki. Mulai
mengkoordinasi Jaringan Islam Liberal sejak awal 2001.
28
Sedangkan Luthfi Assyaukani lahir di Jakarta 27 Agustus 1967,
menyelesaikan sekolah Menengah dan Atas di pesantren At-Taqwa, Bekasi,
Jawa Barat. Ia menyelesaikan S-1 bidang Hukum Islam dan Falsafat di
University of Yordan, Amman-Yordania, meraih gelar master dari
International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC)
Malaysia, dan mendapat Ph.D dalam bidang Pemikiran Politik Islam dari
University of Melbourne, Australia (2006)10.
Ulil Abshar adalah direktur eksekutif JIL yang pertama. Ketika
kemudian ia mengambil S-2 di Amerika dan Luthfi kuliah S-3 di Australia,
Hamid Basyaib menjadi direktur yang kedua. Setelah selesai dengan ide-ide
JIL yang dimuat satu halaman penuh di koran Jawa Pos, Gunawan Muhamad
adalah figur yang sangat berperan karena ia adalah salah satu pemilik saham
Jawa Pos. Jika melihat proses pematangan Islam intelektual para penggagas
JIL, maka sesungguhnya Ulil, Luthfi dan Sahal adalah santri-santri Muslim
berlatar belakang pesantren tradisional dengan penguasaan kitab-kitab klasik
Islam yang memadai. Pengetahuan Islam tradisional mereka kemudian
dipertajam dan diperluas dengan wawasan falsafat Islam, falsafat barat,
sosiologi modern dan ilmu politik yang mereka pelajari di perguruan tinggi.
Karena itu, para individu JIL memiliki fondasi tradisional Islam yang kuat,
tetapi mereka melampauinya dengan pisau analisis ilmu-ilmu sosial dan
humaniora modern. Dalam pengertian ini, JIL bukanlah komunitas Muslim
29
yang sedang bermain-main dengan Islam atau hanya ingin tampil beda
semata, melainkan memang memiliki citarasaIslam intelektual.
Selain Luthfi dan Ulil, terdapat tiga tokoh perdana sangat aktif di JIL,
yaitu Akhmad Sahal, Hamid Basyaib dan Saiful Muzani. Secara umum,
mereka berlima menggerakkan diskusi, kajian dan kegiatan di JIL. Mereka
juga aktif menulis opini di korankoran nasional seperti Kompas, Media
Indonesia, dan Koran Tempo, dengan perspektif Islam liberal. Di masa awal
kegiatan-kegiatan, terdapat juga beberapa tokoh aktif menjadi narasumber
seperti Komaruddin Hidayat, Azyumardi Azra, Bahtiar Effendi, Kautsar
Azhari Noer, Zainun Kamal, dan Nasaruddin Umar dari UIN Jakarta, Said
Aqil Siradjdan Masdar Mas’ud dari NU, Jalaluddin Rakhmat (tokoh Syīah
Indonesia) dari Yayasan Muthahhari Bandung, dan lain-lain.11
2. Pengertian Islam Liberal
Islam liberal merupakan sebuah wacana yang menjadi debatable
dikalangan intelektual muslim hingga kini. Secara etimologis/dalam kamus
bahasa Indonesia, arti Islam Liberal terdiri dari dua kata, yakni Islam dan
Liberal. Islam berarti agama yang dibawakan dan diajarkan oleh Nabi
Muhammad saw, berpedoman pada kitab suci Alquran yang diturunkan ke
dunia melalui wahyu Allah swt.12 Liberal sendiri diartikan bebas, dalam artian
11 Ibid., 279.
12 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: t.t.),
30
berfikir atau berpandangan secara luas dan terbuka.13 Dapat diartikan bahwa
Islam liberal adalah suatu pemahaman terhadap Islam secara bebas luas dan
terbuka.
Dr. Greg Barton mengatakan Islam Liberal adalah paham yang
membuka wawasan ijtihad dan kebebasan berfikir dalam Islam.14 Sedangkan
kelompok JIL sendiri mengatakan, bahwasanya penggunaan nama “Islam
liberal” sengaja mereka tujukan untuk mendeskripsikan pada gagasan dan
prinsip-prinsip yang mereka wacanakan, yakni Islam yang menekankan
kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial-politik yang dianggap
menindas. Sedangkan makna “Liberal” sendiri, menurut mereka di sini
bermakna kebebasan dan pembebasan.
Sedangkan menurut Ulil Abshar Abdalla selaku Koordinator JIL,
alasan menambahkan kata “Liberal” pada Islam, sesungguhnya bertujuan
untuk menegaskan kembali dimensi kebebasan dalam Islam yang jangkarnya
adalah “Niat” atau dorongan-dorongan emotif-subyektif dalam manusia itu
sendiri. Kata “Liberal” di sini, menurut Ulil Abshar Abdalla tidak ada sangkut
pautnya dengan kebebasan yang tanpa batas, dengan sikap-sikap permisif
yang melawan kecenderungan intrinsik dalam akal manusia itu sendiri. Karena
dengan menekankan kembali dimensi kebebasan manusia, dan menempatkan
manusia pada fokus penghayatan keagamaan, maka itu berarti telah
13 Ibid., 668.
31
memulihkan kembali integritas wahyu dan Islam itu sendiri.15 Jadi untuk
mewujudkan Islam Liberal yang mereka maksud itulah, JIL dibentuk. JIL
percaya bahwa Islam selalu dilekati kata sifat, sebab pada kenyataannya
menurut mereka, Islam ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan
kebutuhan penafsirnya.
Ulil Abshar Abdalla mengungkapkan, posisi Islam Liberal selama ini
masih sering disalahpahami ketimbang dipahami oleh sebagian umat muslim.
Akibatnya, pernyataan ditentang beberapa hal mendasar soal ke-Islam-an
yang seharusnya menjadi alternatif pemikiran bagi umat Islam saat
berdialektika dengan kemodernan belum mampu terinternalisasikan dengan
baik. Sedangkan kata Jaringan sendiri dipilih karena dianggap mewakili
tujuan JIL, yakni untuk menyebarkan gagasan Islam Liberal seluas luasnya
kepada masyarakat. Sehingga JIL diharapkan menjadi wadah yang longgar
untuk siapapun yang memiliki aspirasi dan kepedulian terhadap gagasan Islam
Liberal.16 Sebagaimana pernah ditulis dalam majalah GATRA, Desember
2001 jaringan ini mewadai pengembangan pemikiran Islam yang kritis,
pluralis dan membawa misi pembebasan. Konsolidasi jaringan ini
dimaksudkan sebagai respons atas menguatnya ekstremisme dan
fundamentalisme agama. Mereka memanfaatkan kemajuan multimedia untuk
menopang kampanye gagasan, dari jaringan koran, radio sampai internet.
15Ulil Abshar abdalla ,” Beberapa pandangan mengenai wacana Jaringan Islam Liberal”, dalam
http://www.seasite.niu.edu/trans/indonesian/Concordance/Jaringan%20Islam%20LiberalUlil.htm,
diakses 31 Desember 2007.
32
Dalam perjalanannya, kontributor JIL kerap terlibat ketegangan dengan
kalangan Islam literal. Mulai ketegangan di forum diskusi, ajuan somasi,
sampai ke pengaduan polisi.17
Di Indonesia sendiri, gagasan Islam liberal dapat kita telusuri akar
historisnya paling tidak sejak tahun 1970-an, ketika Nurcholish Madjid
menulis sebuah artikel berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam
dan Masalah Integrasi Umat”. Dalam artikel tersebut Nurcholish Madjid
mulai memperkenalkan ide liberalisasi, sekularisasi, dan modernisasi Islam.
Karena pemikiran-pemikirannya yang sangat berpengaruh, maka para aktivis
JIL mengakui apabila dikatakan bahwa Nurcholish Madjid adalah lokomotif
intelektual bagi wacana Islam liberal di Indonesia sekarang ini.
3. Misi dan Kegiatan Pokok JIL
Menurut Ulil Abshar Abdalla, selaku koordinator JIL mengatakan,”
Misi JIL sendiri, Pertama, mengembangkan penafsiran Islam yang Liberal
sesuai dengan prinsip-prinsip yang kami anut, serta menyebarkannya kepada
khalayak seluas mungkin. Kedua, mengusahakan terbukanya ruang dialog
yang bebas dari tekanan konservatisme. Kami yakin, terbukanya ruang dialog
akan memekarkan pemikiran dan gerakan Islam yang sehat. Ketiga,
mengupayakan terciptanya struktur sosial dan politik yang adil dan
manusiawi.18
17 Hartono Ahmad Jaiz, Menangkal Bahaya JIL FLA, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.2005), 8.
33
Sementara itu, Dr. Luthfi Assyaukanie, salah seorang penggagas JIL
yang juga dosen di Universitas Paramadina memperkenalkan empat misi
Jaringan Islam Liberal. Pertama, Agenda politik. Menurutnya urusan negara
adalah murni urusan dunia, sistem kerajaan maupun parlementer (demokrasi)
tidak ada bedanya. Kedua, Mengangkat kehidupan beda agama. Menurutnya
perlu pencarian teologi pluralism mengingat semakin majemuknya kehidupan
bermasyarakat di negeri negeri Islam. Ketiga, emansipasi wanita. Agenda ini
mengajak kaum Muslim untuk memikirkan kembali beberapa doktrin agama
yang cenderung merugikan dan mendiskreditkan kaum perempuan. Hal ini
karena doktrin-doktrin tersebut dari manapun sumbernya bertentangan
dengan semangat dasar Islam yang mengakui persamaan dan menghormati
hak-hak semua jenis kelamin. Keempat, kebebasan berpendapat. Agenda ini
menjadi penting dalam kehidupan kaum Muslim modern, khususnya ketika
persoalan ini berkaitan erat dengan masalah hak-hak asasi manusia.19
Di samping itu, dipublikasikan, juga beberapa kegiatan pokok JIL yang
sudah dilakukan, di antaranya:
a. Sindikasi penulis Islam Liberal
Maksudnya adalah mengumpulkan tulisan sejumlah penulis
yang selama ini dikenal atau belum dikenal oleh publik luas sebagai
pembela Pluralisme dan Inklusivisme. Sindikasi ini akan menyediakan
bahan-bahan tulisan yang baik. Dengan adanya otonomi daerah, maka
19 Luthfi asy-Syaukani, “Empat Agenda Islam yang Membebaskan”, dikutip dari
34
peran media lokal makin penting, dan suara-suara keagamaan yang
toleran juga penting untuk disebarkan melalui media massa daerah
ini. Setiap minggu, akan disediakan artikel dan wawancara untuk
koran-koran daerah.
b. Talk-show di Kantor berita Radio 68 H
Talk-Show ini akan mengundang sejumlah tokoh yang selama
ini dikenal sebagai pendekar Pluralisme dan Inklusivisme untuk
berbicara tentang isu sosial keagamaan di tanah air. Acara ini akan
diselenggarakan setiap minggu, dan disiarkan melalui siaran Radio
Namlapanha di 40 Radio, antara lain; Radio Namlapanha Jakarta,
Radio Smart (Menado), Radio DMS (Maluku), Radio UNISI
(Yogyakarta), Radio PTPN (Solo), Radio MARA (Bandung), Radio
Prima FM (Aceh).
c. Penerbitan Buku
JIL berupaya menerbitkan buku-buku yang bertemakan
Pluralisme dan Inklusivisme agama, baik berupa terjemahan,
kumpulan tulisan, maupun penerbitan ulang buku-buku lama yang
masih relevan dengan tema-tema tersebut. JIL sudah menerbitkan
buku kumpulan artikel, wawancara, dan diskusi yang diselenggarakan
35
d. Penerbitan Buku Saku
Untuk kebutuhan pembaca umum, JIL menerbitkan buku saku
setebal sekitar 50-100 halaman dengan bahasa renyah dan mudah
dicerna. Buku Saku ini akan mengulas dan menanggapi sejumlah isu
yang menjadi bahan perdebatan dalam masyarakat. Tentu, tanggapan
ini dari perspektif Islam liberal. Tema-tema itu antara lain: jihad,
penerapan syariat Islam, jilbab, penerapan ajaran memerintahkan yang
baik dan mencegah yang jahat (amar ma'ruf nahi mungkar), dan
lain-lain.
e. Website IslamLib.com
Program website ini, berawal dari dibukanya milis Islam
Liberal (islamliberal@yahoogrups.com) yang mendapat tanggapan yang
positif. Ada beberapa anggota untuk menyebarluaskan milis ini ke
dalam bentuk website yang bisa diakses oleh semua kalangan.
Sementara milis akan tetap dipertahankan untuk kalangan terbatas
saja. Semua produk JIL (sindikasi media, talk show radio, dll) akan
dimuat dalam website ini. Web ini juga akan memuat setiap
perkembangan berita, artikel, atau apapun yang berkaitan dengan misi
JIL.
f. Iklan Layanan Masyarakat
Dalam menyebarkan visi dari Islam Liberal, JIL membuat
36
dengan tema-tema seputar Pluralisme, penghargaan atas perbedaan
dan pencegahan konflik sosial. Salah satu iklan yang sudah
diproduksi oleh JIL adalah iklan yang mereka beri judul Islam
Warna-Warni.
g. Diskusi Keislaman
JIL juga selalu menyelenggarakan sejumlah diskusi dan
seminar mengenai keislaman dan keagamaan secara umum. Termasuk
dalam kegiatan ini adalah diskusi keliling melalui kerjasama yang
diadakan dengan kelompok-kelompok mahasiswa di sejumlah
Universitas Diponegoro Semarang, Institut Pertanian Bogor, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, dan lain-lain.20 Melalui kerjasama dengan
pihak luar (Universitas, LSM, kelompok mahasiswa, pesantren dan
pihak-pihak lain). Salah satu LSM asing yang sangat aktif dalam
menyebarkan paham liberal di Indonesia adalah The Asia Foundation
(TAF). Untuk menanamkan paham paham dan nilai-nilai inklusif dan
pluralis di kalangan muslim Indonesia, TAF telah mendukung berbagai
kelompok berbasis muslim sejak tahun 1970-an. TAF saat ini
mendukung lebih dari 30 LSM yang mempromosikan nilai-nilai Islam
yang dapat menjadi basis bagi sistem politik demokratis,
non-kekerasan, dan toleransi beragama.21 Dalam bidang pendidikan
kewarganegaraan, HAM, dan rekonsiliasi antar komunitas, kesetaraan
20 Muhammad Najih Maimoen, Membuka Kedok Tokoh-tokoh Liberal dalam Tubuh NU..., 106.
37
gender, dan dialog antar agama-agama. TAF juga bekerja sama dengan
LSM-LSM tersebut untuk mempromosikan Islam sebagai sebuah
katalisator demokratisasi di Indonesia. Program-program itu
mencakup Training bagi pemuka agama, studi tentang isu-isu gender
dan HAM dalam Islam, pusat-pusat advokasi wanita dan sebagainya.22
Program liberalisasi agama di Indonesia memang melibatkan
pendanaan sangat besar. Inilah proyek yang sangat mudah untuk
mengeruk uang dari lembaga-lembaga internasional barat seperti The
Asia Foundation, dan dari pemerintah Amerika Serikat sendiri.23
B. Karakteristik Pemikiran Islam Liberal
Islam liberal berarti suatu bentuk penafsiran atas Islam dengan
landasan pola pemikiran yang direpresentasikan dalam situs resminya, JIL
menjelaskan enam landasan karakteristik pemikirannya sebagai berikut:
1. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam.
Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional
pada teks-teks keislaman pada Alquran dan sunah adalah prinsip
utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala
kondisi perkembangan zaman. Menurut JIL, penutupan pintu ijtihad,
baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas
Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami
22 Ibid, 52.
38
pembusukan. Islam liberal juga mempercayai bahwa ijtihad bisa
diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi
sosial), ubudiyyat (ritual), dan ilahiyyat (teologi). 24 Dalam blog
pribadi Ulil Abshar Abdalla, tokoh yang sudah terlanjur diidentikkan
oleh publik dengan JIL mengatakan:
“JIL sama sekali tidak mengungkit-ungkit masalah ibadah. Saya sadar tidak semua hal dalam agama bisa dirasionalkan. Ada dimensi-dimensi tertentu dalam agama yang tak bisa sepenuhnya dipahami secara rasional. Contoh yang baik adalah masalah ibadah. Yang saya maksud di sini adalah ibadah dalam pengertian yang terbatas, yaitu apa yang disebut dengan ibadah madah alias ibadah murni seperti salat, puasa dan haji. Tata cara ibadah dalam Islam, menurut saya berlaku sepanjang zaman dan tidak bisa dirasionalisasikan.
2. Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks.
Dalam memahami wahyu Allah, yang sering mereka sebut
sebagai teks, JIL menggunakan landasan kedua sebagai kaidah ijtihad
yang telah dikembangkan oleh Islam Liberal yakni upaya menafsirkan
Islam berdasarkan semangat religio etik Alquran dan Sunah Nabi,
bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal
sebuah teks itu sendiri. Penafsiran yang literal hanya akan
melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang berdasarkan semangat
religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi
bagian dari peradaban kemanusiaan universal.25
39
3. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka, liberal dan plural.
Landasan ketiga JIL menjelaskan bahwa relativisme yang
sudah pasti muncul dalam setiap penerapan sekularisasi, sekularisme
dan liberalisme. Karena kebenaran yang dipahami oleh manusia pada
masa silam bisa diralat oleh generasi sekarang, dan kebenaran yang
dipahami sekarang pun kelak (kemungkinan besar) akan diralat, maka
kebenaran itu haruslah dinyatakan relatif, terbuka dan plural. JIL
mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran dalam penafsiran
keagamaan sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah penafsiran
adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu,
terbuka. Sebagaimana misalnya Islam liberal menerima kontradiksi
yang begitu sengit dalam namanya yaitu antara Islam dan liberal, maka
kelompok ini begitu saja menerima semua perbedaan yang sebenarnya
mencolok diantara dua hal yang sebenarnya saling bertentangan,
misalnya antara tauhid dan trinitas. Keduanya jelas berlawanan,
namun berdasarkan prinsip relativisme keduanya harus diterima
sebagai kebenaran. Sebab menurut JIL, setiap bentuk penafsiran
mengandung kemungkinan penafsiran yang salah, selain kemungkinan
benar plural, sebab penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara,
40
ruang yang bisa terus berubah-ubah. Dengan cara ini pula kalangan JIL
menghindarkan diri dari perdebatan.26
4. Memihak pada yang minoritas dan tertindas.
Memihak pada yang minoritas dan tertindas begitu kental
dengan nuansa yang melatarbelakangi kelahiran pemikiran sekuler
barat. Karena dulu gereja menghegemoni dan menindas rakyat, maka
bangsa-bangsa Eropa umumnya memandang agama sebagai alat
legitimasi untuk memaksakan kehendak. Menurut JIL, Islam Liberal
berpijak pada penafsiran Islam yang memihak kepada kaum minoritas
yang tertindas dan dipinggirkan. Misalnya Ahmadiyah tidak mereka
pandang sebagai aliran sesat karena tidak pernah ada kata sesat dalam
relativisme atau telah keluar dari Islam, melainkan sebagai aliran yang
ditindas oleh para ulama. Setiap struktur sosial-politik yang
mengawetkan praktek ketidak adilan atas yang minoritas adalah
berlawanan dengan semangat Islam. Minoritas di sini dipahami dalam
maknanya yang luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras, gender,
budaya, politik, dan ekonomi. Pembelaan mereka dalam membela
aliran-aliran sesat pada hakikatnya adalah pembelaan pada paham
mereka yakni paham relativisme itu sendiri.
41
5. Meyakini kebebasan beragama.
JIL meyakini bahwa urusan beragama dan tidak beragama
adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi karena
menjunjung tinggi kebebasan beragama. Mereka tidak membenarkan
penganiayaan atas dasar suatu pendapat atau kepercayaan.
6. Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan
politik.
Karakteristik pemikiran JIL yang keenam ini yang
memperlihatkah wajah JIL yang sesungguhnya yang berlandasan
Islam liberal, JIL meyakini bahwa kekuasaan keagamaan dan politik
serta otoritas duniawi dan ukhrawi harus dipisahkan. Islam Liberal
menentang negara agama (teokrasi). Urusan dunia hanya untuk dunia,
sedangkan urusan akhirat terpisah sama sekali dengannya. Agama
hanya digunakan pada ritual-ritual ibadah, sedangkan urusan politik
dijauhkan sama sekali dari tuntunan-tuntunan agama. Islam Liberal
yakin bahwa bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan
politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut.
Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan
publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala
bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat, dan urusan
publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus.27
27“Jaringan Islam Liberal” dalam: http://islamlib.com/id/halaman/tentang-jil diakses pada 13 Mei