• Tidak ada hasil yang ditemukan

PANDANGAN JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL) TERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PANDANGAN JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL) TERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA."

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

PANDANGAN JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL) TERHADAP

PERKAWINAN BEDA AGAMA

SKRIPSI

Oleh:

Saiful Ma'arif

NIM. C01212090

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syariah Dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga

Surabaya

(2)

PANDANGAN JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL) TERHADAP

PERKAWINAN BEDA AGAMA

SKRIPSI

Diajukan kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu

Syariah dan Hukum

Oleh:

Saiful Ma’

arif

NIM. C01212090

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga

Surabaya

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian kepustakaan, dengan judul “Pandangan Jaringan Islam Liberal (JIL) terhadap Perkawinan Beda Agama”. Bertujuan untuk menjawab pertanyaan bagaimana pandangan JIL terhadap perkawinan beda agama, dan bagaimana metode yang digunakan JIL dalam ijtihad hukum Islam terhadap perkawinan beda agama.

Data penelitian dihimpun melalui studi pustaka, selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif analisis, dengan pola pikir deduktif yaitu mengemukakan teori atau dalil-dalil yang bersifat umum untuk memperoleh kesimpulan.

Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa dalam perkawinan beda agama, JIL tidak mempermasalahkan perkawinan antara seorang Muslim dengan non-Muslim, baik laki-laki maupun perempuan, jadi boleh menikah beda agama apapun aliran kepercayaannya baik laki-laki maupun perempuan.

Metode yang digunakan JIL dalam ijtihad hukum Islam tentang perkawinan beda agama adalah JIL menempatkan maqa<sid shari<’ah sebagai metode ijtihad yang pertama kemudian Alquran, sunah, ijmak dan qiyas, artinya kemaslahatan manusia lebih diutamakan daripada ayat itu sendiri, oleh karena itu apabila antara teks dalam wahyu saling bertentangan dengan kemaslahatan manusia maka yang diutamakan adalah kemaslahatan manusia meskipun menyalahi teks itu sendiri. Oleh karena metode ijtihad inilah, maka JIL memperbolehkan perkawinan beda agama demi kemaslahatan manusia.

Oleh karena itu, kita sebagai umat Muslim hendaknya untuk lebih proaktif menghadapi tantangan besar dalam bidang pemikiran tentang liberalisasi Islam yang sebenarnya bersumber dari luar Islam yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam.

(8)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM... i

PERNYATAAN KEASLIAN... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii

PENGESAHAN... iv

MOTTO... v

ABSTRAK... vi

KATA PENGANTAR... vii

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TRANSLITERASI... xi

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Identifikasi Masalah... 14

C. Batasan Masalah... 14

D. Rumusan Masalah... 14

E. Kajian Pustaka... 14

F. Tujuan Penelitian... 16

G. Kegunaan Hasil Penelitian... 16

H. Definisi Operasional... 17

I. Metode Penelitian... 18

J. Sistematika Pembahasan... 20

BAB II DESKRIPSI UMUM JARINGAN ISLAM LIBERAL... 22

A. Profil Jaringan Islam Liberal... 22

1. Sejarah Kemunculan Jaringan Islam Liberal... 29

2. Pengertian Islam Liberal... 3. Misi dan Kegiatan Pokok Jaringan Islam Liberal.... 32

B. Karakteristik Pemikiran Jaringan Islam Liberal... 47

(9)

BAB III PANDANGAN DAN METODE IJTIHAD JARINGAN ISLAM LIBERAL TERHADAP PERKAWINAN BEDA

AGAMA... 51

A. Pandangan JIL terhadap Perkawinan Beda Agama... 51

B. Metode Ijtihad JIL dalam Perkawinan Beda Agama... 53

BAB IV ANALISIS TERHADAP PANDANGAN JARINGAN ISLAM LIBERAL TERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA ... 60

A. Analisis terhadap Pandangan Jaringan Islam Liberal tentang Perkawinan Beda Agama... 60

B.Analisis terhadap Metode Ijtihad Jaringan Islam Liberal terhadap Perkawinan Beda Agama... 72

BAB V PENUTUP... 78

A. Kesimpulan... 78

B. Saran... 79 DAFTAR PUSTAKA

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Allah menciptakan hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan suatu

wadah pernikahan sebagai jaminan kelestarian populasi manusia di muka bumi,

sebagai motivasi dari tabiat dan syahwat manusia dan untuk menjaga kekekalan

keturunan mereka. Dengan adanya dorongan syahwat seksual yang terpendam

dalam diri laki-laki dan perempuan, mereka akan berfikir tentang pernikahan.1

Menurut fitrahnya, manusia dilengkapi oleh Tuhan dengan kecenderungan seks,

oleh karena itu, Tuhan menyediakan wadah yang legal untuk terselenggaranya

penyaluran tersebut yang sesuai dengan derajat kemanusiaan, yakni dengan wadah

perkawinan. Akan tetapi, perkawinan tidaklah semata-mata dimaksudkan untuk

menunaikan hasrat biologis tersebut. Terdapat tujuan lainnya dari sebuah

perkawinan, yaitu untuk mencapai kehidupan saki>nah, mawaddah dan rahmah,

regenerasi, menjaga kehormatan, dan beribadah untuk Tuhan,2 serta menjalin

hubungan kekeluargaan.

Hal tersebut diatas sesuai dengan rumusan yang terkandung dalam aturan

hukum positif di Indonesia yakni, pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974

tentang perkawinan yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk

1 Muhammad Ali Ash-Shabuny, az-Zawaju Islamil Mubakkrir: Sa’adah, Terj. Mustaqiim, Hadiah untuk Pengantin, (Jakarta: Mustaqim, 2001), 28.

(11)

2

keluarga (rumah tangga) yang bahagia yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa”.3

Dari bunyi Pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tersebut di atas,

tersimpul suatu rumusan arti dan tujuan perkawinan. Dalam pengertian yang lain,

perkawinan juga diartikan sebagai akad yang sangat kuat, hal ini sesuai dengan

Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi: “Perkawinan menurut hukum

Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mithaqan ghaliz}an

untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”4.

Menurut Sayuti Thalib perkawinan ialah perjanjian suci membentuk

keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan.5 Sementara Mahmud

Yunus menegaskan, perkawinan ialah akad antara calon laki istri untuk memenuhi

hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syariat.6 Perkawinan merupakan ikatan

sakral karena di dalam ikatan perkawinan tersebut tidak hanya terdapat ikatan

lahir atau jasmani saja tetapi juga ada ikatan rohani yang berdasarkan kepada

Tuhan Yang Maha Esa. Maksudnya ialah bahwa suatu perkawinan tidak hanya

sekedar hubungan lahiriah saja, tetapi lebih dari itu yaitu satu ikatan atau

hubungan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang

3 Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, UU No 1 tahun 1974, pasal 1.

4 Departemen Agama RI, Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000), 14.

5 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986), 47.

(12)

3

bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa7.

Jadi, pada dasarnya perkawinan merupakan cara penghalalan terhadap

hubungan antar kedua lawan jenis, yang semula diharamkan, seperti memegang,

memeluk, mencium dan hubungan intim. Perkawinan juga merupakan cara untuk

melangsungkan kehidupan umat manusia di muka bumi, karena tanpa adanya

regenerasi, populasi manusia di bumi ini akan punah. Dan perkawinan memiliki

dimensi psikologis yang sangat dalam, karena dengan perkawinan ini kedua insan,

suami dan istri, yang semula merupakan orang lain kemudian menjadi satu. Mereka

saling memiliki, saling menjaga, saling membutuhkan, dan tentu saja saling

mencintai dan saling menyayangi, sehingga terwujud keluarga yang harmonis

(saki>nah).8 Begitu jelas Islam menjelaskan tentang hakekat dan arti penting

perkawinan, bahkan dalam beberapa undang-undang masalah perkawinan diatur

secara khusus. Seperti, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,

Kompilasi Hukum Islam, Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan lain-lain.

Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa antara perkawinan dan agama mempunyai

hubungan yang sangat erat, karena perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir

atau jasmani, tatapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan yang

penting.9

7 Sution Usman Adji, Kawin lari dan Kawin antar Agama, (Yogyakarta: Liberty, 1989), 21. 8Masykuri Abdillah, “Distorsi Sakralitas Perkawinan Pada Masa Kini”, dalam Mimbar Hukum No. 36 Tahun IX 1998, 74.

(13)

4

Tujuan perkawinan yang diinginkan dalam Undang-Undang Nomor 1

tahun 1974 adalah suatu bentuk tujuan yang ideal. Tujuan perkawinan itu tidak

hanya melihat dari segi lahirnya saja tapi sekaligus terdapat adanya suatu

pertautan batin antara suami dan istri yang ditujukan untuk membina suatu

keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia bagi keduanya dan yang sesuai

dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa10.

Dari uraian diatas, menurut M. Yahya Harahap asas-asas yang dipandang

cukup prinsip dalam Undang-Undang perkawinan adalah:

1. Menampung segala kenyataan-kenyataan yang ada yang sudah hidup

dalam masyarakat bangsa Indonesia dewasa ini. Undang-Undang

perkawinan menampung didalamnya segala unsur-unsur ketentuan

hukum agama dan kepercayaan masing-masing.

2. Sesuai dengan adanya tuntutan perkembangan zaman. Maksud dari

perkembangan zaman adalah terpenuhinya aspirasi wanita yang

menuntut adanya emansipasi, disamping perkebangan sosial ekonomi,

ilmu pengetahuan teknologi yang telah membawa implikasi mobilitas

sosial di segala lapangan hidup dan pemikiran.

3. Tujuan perkawwinan adalah membentuk keluarga bahagia kekal.

Tujuan perkawinan ini dapat dielaborasi menjadi tiga hal. Pertama,

suami-istri saling membantu dan saling melengkapi. Kedua,

masing-masing kedua belah pihak dapat mengembangkan kepribadiannya dan

untuk pengembangan kepribadian itu suami-istri harus saling

(14)

5

membantu. Ketiga, tujuan terakhir yang ingin dikejar oleh keluarga

bangsa Indonesia adalah keluarga bahagia yang sejahtera spiritual dan

material.

4. Kesadaran akan hukum agama dan keyakinan masing-masing warga

negara Indonesia yaitu perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum

agama dan kepercayaan masing-masing. Hal ini merupakan crusial poin

yang hampir menenggelamkan Undang-Undang ini. Disamping itu

perkawinan harus memenuhi administratif pemerintahan dalam bentuk

pencatatan.

5. Undang-Undang menganut asas monogami akan tetapi tetap terbuka

peluang untuk melakukan poligami selama hukum agamanya

mengizinkannya.

6. Perkawinan dan pembentukan keluarga dilakukan oleh pribadi yang

telah matang jiwa dan raganya.

7. Kedudukan suami-istri dalam kehidupan keluarga adalah seimbang,

baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan

masyarakat.11

Hukum perkawinan Islam dibangun untuk menciptakan kemaslahatan bagi

seluruh manusia dan bagi pihak-pihak yang bersangkutan dengan pernikahan

tersebut. Secara umum, kemaslahatan perkawinan adalah segala sesuatu yang

merupakan kebaikan atau yang menyebabkan timbulnya kebaikan dan bukan

merupakan sebuah kemudaratan atau sesuatu yang menolak munculnya berbagai

(15)

6

kemudaratan di dalam kehidupan perkawinan bagi pihak yang bersangkutan dan

bagi masyarakat di sekitarnya.12

Kemaslahatan perkawinan juga berarti segala sesuatu yang digunakan

untuk meraih maqa>s{id al-shari’>ah dari perkawinan, baik yang bersifat as}liyyah atau

t}abi>’ah. Kemaslahatan perkawinan yang termasuk ke dalam as{liyyah adalah

meneruskan keturunan yang merupakan penjagaan langsung terhadap salah satu

al-ushu>l al-khamsah . Sedangkan kemaslahatan perkawinan yang bersifat t{abi>’ah

adalah mencari ketenangan (saki>nah), membagi cinta dan kasih sayang (mawaddah

wa al-rahmah), menyalurkan kebutuhan biologis secara benar dan sebagainya.13

Kemaslahatan perkawinan yang berupa meneruskan keturunan tersebut

juga berarti maslah{ah d{aru>riyyah. Sedangkan kemaslahatan yang berupa

kelanggengan ikatan perkawinan, keharmonisan rumah tangga, saling berbagi

kasih sayang, ketenangan dan cinta adalah maslah{ah h{a>jiyyah.14

Di era modern ini, pergaulan antara pria dan wanita telah melampaui suku,

etnis, bangsa, bahkan mereka tidak memperdulikan batasan agama. Hal itu berarti

perbedaan-perbedaan tersebut bukanlah hal yang menjadi penghalang antara pria

dan wanita untuk menjalin suatu hubungan hingga ke jenjang perkawinan,

sehingga dengan latar belakang tesebut muncullah perkawinan antar agama, yang

mana kasus tersebut menjadi polemik para ulama terdahulu hingga sekarang.

Masih banyak perdebatan berkenaan tentang perkawinan beda agama hingga kini

12Abd al-Wahab Khalla<f, Us{u<l al Fikih, (Kairo: Da<r al-Qalam,1978), 198.

13Yu>suf H{a>mid ‘A>lim, al-Maqa>shid al-‘A>mmah li al-Sharî’ah al-Isla>miyyah (USA: Internasional

Graphics Printing Service, 1991), 102.

(16)

7

masih santer terjadi. Perdebatan terjadi antara para akademisi, tokoh ulama,

ormas-ormas keagamaan dan bahkan masyarakat yang awam pun turut

memperdebatkannya. Ada pihak yang memperbolehkan dan adapula pihak yang

mengutuk secara keras terjadinya perkawinan beda agama.

Perkawinan beda agama banyak terjadi di kalangan masyarakat, baik

masyarakat kota maupun desa, baik kalangan artis maupun rakyat jelata. Hal itu

didasarkan atas banyak hal, antara lain minimnya pengetahuan tentang agama,

rendahnya pendidikan atau bahkan disebabkan faktor ekonomi. Hukum-hukum di

Indonesia mutlak mengharamkan terjadinya perkawinan beda agama yang dianut

oleh mayoritas masyarakat Indonesia yakni haram hukumnya perkawinan

campuran antara seorang laki-laki muslim dengan wanita musyrik (non muslim),

Ketentuan hukum perkawinan antar agama telah dinyatakan secara tegas

dalam Alquran. Paling tidak ada tiga mainstream pemikiran dalam masalah ini.

Pertama, mengharamkan secara mutlak perkawinan beda agama. Kedua,

membolehkan dengan syarat tertentu. Ketiga, membolehkan tanpa syarat.

Disebutkan dalam firman Allah swt:

(17)

8

menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.15

Pada ayat di atas dapat dipahami bahwa Islam menurut pendapat yang

pertama, yakni melarang dengan tegas adanya perkawinan campuran antar agama,

bahkan dijelaskan pula pada ayat tersebut bahwa seorang wanita hamba sahaya

yang muslim itu jauh lebih baik untuk dikawini daripada wanita non muslim yang

merdeka.

Pendapat kedua, yakni memperbolehkan dengan syarat. Pendapat yang

kedua menyatakan bahwa laki-laki Muslim diperbolehkan menikah dengan

perempuan ahlul kita>b. Menurut mereka lafaz{ musyrikah tidak mencakup ahlul

kita>b. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam surah al-Baqarah (2): 105 dan

al-Bayyinah (98):1 dan 6. Diperbolehkannya seorang laki-laki muslim mengawini

wanita-wanita ahlul kita>b dapat dilihat dalam buku Sayyid Sabiq dalam fikih

sunnahnya, bahwa seorang laki-laki muslim diperbolehkan untuk menikahi

perempuan merdeka dari ahlul kita<b.16 Pernyataan yang ada dalam buku ini

didasarkan pada firman Allah swt dalam Al- Qur’an:

ُىّ ُلِح ُْْكُماَعَطَو ُْْكىل ٌلِح َباَِْكْلا ْاوُتوَُ َنيِكىلا ُماَعَطَو ُتاََِ يىطلا ُُْكَل ىلِحَُ َمْوَ يْلا

(18)

9

wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.17

Selain pendapat tersebut di atas, dalam qaul mu’tama<d maz{hab Shafi’i,

perempuan ahlul kita<b yang halal dinikahi laki-laki muslim adalah perempuan yang

menganut agama Nasrani dan Yahudi sebagai keturunan dari orang-orang (nenek

moyang mereka) yang menganut agama tersebut sejak masa sebelum nabi

Muhammad diutus menjadi rasul. Sedangkan orang-orang yang baru menganut

agama Yahudi atau Nasrani sesudah Alquran diturunkan tidaklah dianggap ahlul

kita<b, karena terdapat kalimat min qablikum (dari sebelum kamu), dalam ayat 5

surat Al-Ma<idah kalimat tersebut menjadi qayid bagi ahlul kita<b yang dimaksud.

Pendapat maz{hab Shafi’i ini mengakui ahlul kita<b bukan karena agamanya, tetapi

karena menghormati asal keturunannya.18 Muhammad Jawad Mughniyah dalam

buku Fiqih Lima Maz{habnya juga menyatakan tentang diperbolehkannya laki-laki

muslim mengawini wanita ahlul kita<b, yakni wanita-wanita Yahudi dan Nasrani

oleh empat Maz{hab (Imam Maliki, Shafi’i, Hanafi, dan Hambali).19

Pendapat ketiga, yakni mutlak memperbolehkan perkawinan beda agama

Antara lain sebagian contoh buku Pluralisme Agama yang dibiayai oleh LSM asing

seperti The Asia Foundation dan Ford Foundation:

17 Departemen Agama RI, Alquran…, 158.

(19)

10

1. Buku Fiqih Lintas Agama yang diterbitkan oleh Paramadina dan The Asia

Foundation. Dengan berdasarkan pada Pluralisme Agama, buku ini

kemudian juga merombak hukum Islam dalam bidang perkawinan, dengan

menghalalkan perkawinan wanita Muslimah dengan lelaki non-Muslim

yang berbunyi: “Soal pernikahan laki-laki non-Muslim dengan wanita

Muslim merupakan wilayah ijtihad dan terikat dengan konteks tertentu,

diantaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat

Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan

sesuatu yang terlarang. Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir

atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat

baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim,

atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun

agama dan aliran kepercayaannya.”20

2. Buku “Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam”, (Kerjasama Fatayat Nahdhatul

Ulama dan dengan Ford Foundation): Diantara isi buku ialah menyatakan

bahwa semua agama adalah sama dan benar; Islam bukanlah satu-satunya

jalan kebenaran; dan agama dipandang sama dengan budaya (Pluralisme

Agama): “Dalam konteks ini, maka Islam tak lain adalah satu jalan

kebenaran diantara jalan-jalan kebenaran yang lain, artinya jalan menuju

kebenaran tidak selamanya dan mesti harus melalui jalan ‘agama’, tapi juga

bisa memakai medium yang lain. Karena sifatnya yang demikian maka

Islam kemudian berdiri sejajar dengan praktik budaya yang ada. Tidak ada

(20)

11

perbedaan yang signifikan kecuali hanya ritualistik-simbolistik. Sedangkan

esensinya sama, yakni menuju kebenaran transendental.”21.

Majelis Ulama Indonesia, melalui fatwanya tanggal 29 Juli 2005 juga telah

menyatakan bahwa paham pluralisme agama bertentangan dengan Islam dan

haram umat Islam memeluk paham ini. MUI mendefinisikan pluralisme agama

sebagai suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan

karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk

agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan

agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama

akan masuk dan hidup berdampingan di surga. Dr. Anis Malik Thoha, pakar

pluralisme agama, yang juga Mustasyar NU Cabang Istimewa Malaysia,

mendukung fatwa MUI tersebut dan menyimpulkan bahwa pluralisme agama

memang sebuah agama baru yang sangat destruktif terhadap Islam dan

agama-agama lain.22

Sebelum MUI mengeluarkan fatwa tentang haramnya paham “Pluralisme

Agama”, penyebaran ini di Indonesia sudah sangat meluas. Jika ditelusuri,

sebenarnya sebagian benihnya sudah ditabur sejak zaman penjajahan Belanda

dengan merebaknya ajaran kelompok teosofi. Namun, istilah “Pluralisme Agama”

atau pengakuan seorang sebagai pluralis dalam konteks teologi, bisa ditelusuri

pada catatan harian Ahmad Wahib, salah satu perintis gerakan Islam Liberal di

21Nuryamin Aini, “Fakta Empiris pernikahan Beda agama”, dalam http://Islamlib.com/?site

=fakta-empiris-nikah-beda-agama.html, diakses pada 17 maret 2015.

(21)

12

Indonesia, disamping Dawam Rahardjo dan Djohan Effendi. Dan adanya

pemikiran yang Liberal ini sangat berdampak pada hubungan sosial

kemasyarakatan diantaranya adalah pada masalah perkawinan dan hukum perdata

yang lain. Dengan Pluralisme Agama, semua kemungkaran ini dilegitimasi.

Pluralisme Agama jelas membongkar Islam dari konsep dasarnya. Dalam paham

ini, tidak ada lagi konsep mukmin, kafir, syirik, surga, neraka, dan sebagainya.

Karena itu, mustahil paham Pluralisme Agama bisa hidup berdampingan secara

damai dengan Tauhid Islam. Sebab keduanya bersifat saling menegasikan.

Jadi, bangunan dan sistem Islam itu begitu jelas, bukan hanya dalam

konsepsi teologis, tetapi juga konsepsi sosial, ekonomi, politik, kebudayaan,

peradaban, dan sebagainya. Misalnya, dalam hukum bidang perkawinan, sudah

jelas, bahwa laki-laki kafir (non-muslim) haram hukumnya dinikahkan dengan

wanita muslimah. Dari sekian banyak ormas Islam yang ada, beberapa melarang

secara mutlak adanya perkawinan beda agama dan yang terang-terangan

memperbolehkan perkawinan beda agama adalah kelompok Jaringan Islam Liberal

yang sangat mengganggu hukum yang telah menjadi pedoman mayoritas

masyarakat Indonesia.

Hal ini dapat dilihat dari beberapa fatwa berikut, dari tokoh-tokoh Jaringan

Islam Liberal tentang perkawinan beda agama:

1. Fatwa dari Ulil Abshar Abdalla selaku koordinator JIL, mengatakan bahwa

larangan pernikahan beda agama sudah tidak relevan lagi. Menurutnya

Alquran juga tidak pernah secara tegas melarang itu, karena Alquran

(22)

13

tanpa melihat perbedaan agama. Segala produk hukum Islam klasik yang

membedakan kedudukan orang Islam dan non Islam harus diamendemen

berdasarkan prinsip kesederajatan universal dalam tataran kemanusiaan.23

2. Nurcholis Madjid bersama para tim penulis buku Fikih Lintas Agama

(FLA) yang merupakan orang-orang yang berpandangan liberal tidak ubah

memandang bahwa ditengah rentannya hubungan agama saat ini,

pernikahan beda agama justru dapat dijadikan wahana untuk membangun

toleransi dan kesepahaman antara masing-masing pemeluk agama.

Bermula dari ikatan tali kasih sayang kita rajut kerukunan dan

kedamaian.24

Perdebatan berkenaan dengan diperbolehkan atau dilarangnya

perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita-wanita ahlul kita>b yang

ada saat ini semakin menjadi daya tarik tersendiri bagi penulis untuk

melakukan penelitian berkenaan dengan perkawinan beda agama dalam

pandangan kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL).

Melihat dari permasalahan di atas itulah yang memotivasi penulis

tertarik dan mencoba untuk meneliti lebih dalam tentang pandangan JIL

terhadap perkawinan beda agama yang kemudian penulis implementasikan

dalam skripsi yang berjudul “Pandangan Jaringan Islam Liberal (JIL)

Terhadap Perkawinan Beda Agama”.

23 Ulil Abshar Abdalla, “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”, dalam http: //

www.kompas.com, diakses 19 Juni 2008.

(23)

14

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang masalah di atas penulis mengidentifikasi beberapa

masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini, yaitu:

a. Pandangan JIL terhadap perkawinan beda agama.

b. Metode yang digunakan JIL dalam ijtihad hukum Islam tentang

perkawinan beda agama.

C. Batasan Masalah

Agar permasalahan dalam skripsi ini lebih fokus, maka penulis

membatasi permasalahan untuk dibahas sebagai berikut:

a. Pandangan JIL terhadap perkawinan beda agama.

b. Metode yang digunakan JIL dalam ijtihad hukum Islam tentang

perkawinan beda agama.

D. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pandangan JIL terhadap perkawinan beda agama?

2. Bagaimana metode yang digunakan JIL dalam ijtihad hukum Islam tentang

perkawinan beda agama?

E. Kajian Pustaka

Kajian pustaka disini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana

(24)

15

membahas permasalahan yang akan dikaji dalam skripsi dengan te dengan skripsi

ini. Di bawah ini ada beberapa judul penelitian yang pernah ditulis sebelumnya:

Skripsi yang ditulis oleh Isna Nur Fitria (UIN Sunan Ampel) yang

berjudul “ Perkawinan Beda Agama dan Dampaknya (Studi Komparasi antara

Hukum Perkawinan Mesir dan Indonesia) ”, membahas tentang persamaan dan

perbedaan hukum perkawinan yang ada di Mesir dan Indonesia. Skripsi ini

menuliskan beberapa persamaan dan perbedaan berkenaan dengan perkawinan

beda agama yang ada di Mesir dan Indonesia, selanjutnya skripsi ini juga

menjelaskan akibat adanya perkawinan beda agama tersebut.25

Selanjutnya, Skripsi yang ditulis oleh Ahmad Farih Shofi Muhtar(UIN

Sunan Ampel) yang berjudul (Studi Komparasi Istinba<t} Hukum MUI dan

Nahdlatul Ulama Jawa Timur Terhadap Perkawinan Beda Agama), membahas

tentang persamaan dan perbedaan metode istinba<t} hukum dari MUI dan NU di

Jawa Timur terhadap perkawinan Beda Agama. Skripsi ini menjelaskan Antara

MUI dan NU di Jatim saling berhubungan satu sama lain dalam berfatwa. 26

Skripsi yang ditulis oleh Abdi Pujiasih (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

yang berjudul “Pernikahan Beda Agama Menurut Islam Dan Katolik”, membahas

tentang persamaan dan perbedaan perkawinan beda agama antara Agama Islam

dan Katolik. Skripsi ini menjelaskan tentang landasan utama Islam dan katolik

memandang adanya perkawinan beda agama, yang selanjutnya memberikan

25Isna Nur Fitria, “Perkawinan Beda Agama dan Dampaknya (Studi Komparasi antara Hukum

Perkawinan Mesir dan Indonesia)” (Skripsi—UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2014).

26Ahmad Farih Shofi Muhtar yang berjudul ‘Studi Komparasi Istinba<t} Hukum MUI dan Nahdlatul

(25)

16

rasionalisasi perkawinan beda agama sebagai fakta pluralitas yang ada di

Indonesia.27

Pada pembahasan skripsi ini, penulis meneliti tentang pandangan dan

metode ijtihad yang dilakukan oleh JIL terhadap perkawinan beda agama.

Kelompok ini merupakan kelompok yang sangat kontra fatwanya dalam

permasalahan perkawinan beda agama dengan mayoritas ahli hukum Islam. Dan

ini sungguh membingungkan masyarakat awam. Oleh karena itu penulis tertarik

dan merasa perlu untuk meneliti permasalahan ini.

F. Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui lebih lanjut tentang fatwa JIL terhadap perkawinan beda

Agama, adapun rincian tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui secara mendalam pandangan JIL terhadap perkawinan

beda agama.

2. Untuk mengetahui dan menganalisa metode yang digunakan JIL dalam

ijtihad hukum Islam tentang perkawinan beda agama.

G. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat minimal memberikan

sumbangsih pemikiran bagi disiplin ilmu secara umum, dan sekurang-kurangnya

dapat digunakan untuk dua aspek, yaitu:

27Abdi Pujiasih yang berjudul “ Pernikahan Beda Agama Menurut Islam Dan Katolik ” ( Skripsi

(26)

17

1. Manfaat Teoritis

Dari sisi teoritis, penelitian ini diharapkan menjadi masukan dalam rangka

memperkaya khasanah pemikiran dalam bidang hukum Islam, khususnya

di bidang hukum perkawinan dan keluarga.

2. Manfaat Praktis

Dari sisi praktis, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan

acuan atau pertimbangan bagi para praktisi hukum dan mahasiswa Fakultas

Syari’ah khususnya serta dapat dijadikan sebagai pedoman dan dasar bagi

peneliti lain dalam mengkaji penelitian lagi yang lebih mendalam yang

pembahasannya berkaitan perkawinan beda agama.

H. Definisi Operasional

Sehubungan dengan judul skripsi di atas, untuk mempermudah pemahaman

dan konteks pembahasan, maka penulis akan memberikan definisi operasional dari

masing-masing istilah yang digunakan di dalamnya, diantaranya sebagai berikut:

1. Perkawinan beda agama: diartikan sebagai perkawianan dua insan yang

berbeda agama, kepercayaan atau faham.28 Pendapat lain, pernikahan beda

agama atau perkawinan antar agama, yakni perkawinan antara seorang

laki-laki dan seorang perempuan warga Negara Indonesia yang agamanya

masing-masing berbeda.29

28 Slamaet Abidin dan H. Aminuddin, Fikih Munakahat I, (Bandung: Pustaka Setri, 1999), 36. 29 Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau Dari Undang-Undang Perkawinan No.1/1974,

(27)

18

2. Jaringan Islam Liberal (JIL): sebuah kelompok diskusi tentang Islam yang

dibentuk untuk mewujudkan Islam Liberal. Penggunaan nama “Islam

liberal” sengaja ditujukan untuk menggambarkan prinsip-prinsip yang

mereka anut, yaitu Islam yang menekankan kebebasan pribadi dan

pembebasan dari struktur sosial-politik yang menindas. “Liberal” di sini

bermakna dua: kebebasan dan pembebasan. Sedangkan kata Jaringan

sendiri dipilih karena dianggap mewakili tujuan JIL untuk menyebarkan

gagasan Islam Liberal seluas luasnya kepada masyarakat.30

3. Metode ijtihad JIL: sebuah metode ijtihad baru yang mereka harapkan

dapat mencipatakan kemashalahatan bagi seluruh umat manusia. Sebuah

konsep yang mereka harapkan akan mampu mengakomodasi kepentingan

dan menjamin hak-hak semua manusia dengan melintasi agama, budaya

suku dan Negara.31

I. Metode Penelitian

Penelitian dalam skripsi ini merupakan penelitian analisis

deskriptif, agar penulisan skripsi ini dapat tersusun secara sitematis, jelas,

dan benar. Maka perlu dijelaskan tentang metode penelitian sebagai

berikut:

1. Data yang dikumpulkan

30 Lihat dalam http://islamlib.com/id/tentangkami.php, diakses 13 April 2011

(28)

19

Sesuai dengan mengacu pada masalah baku pada tujuan penelitian,

maka data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data yang

terkait dengan pandangan JIL tentang perkawinan beda agama dan data

lain untuk menganalisis pandangan JIL terhadap perkawinan beda agama.

2. Sumber Data

Penulisan skripsi ini merupakan hasil dari kajian pustaka. Oleh

sebab itu data yang digunakan adalah:

a. Sumber data primer, yaitu buku Fiqih Lintas Agama dan

buku-buku yang berhubungan dengan Perkawinan beda agama.

b. Sumber data sekunder, yaitu buku Hartono Ahmad Jaiz yang

berjudul Menangkal Bahaya JIL dan FLA, Buku Akmal Sjafril

berjudul Islam Liberal 101 dan Islam Liberal ideologi delusional,

buku Adian Husaini berjudul Virus Liberalisme di Perguruan

Tinggi Islam dan Liberalisasi Islam di Indonesia, Abdul Wahhab

Khallaf dalam bukunya Ilmu Ushul Al-Fikih, Muhammad Jawad

Mughniyah dalam bukunya Fiqih Lima Maz{hab, Sayyid Sabiq

dalam Fikih Sunahnya. Dan buku-buku lain yang membantu

penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

c. Sumber data tersier (penunjang), yaitu bahan hukum yang

menunjang dengan pembahasan skripsi, yaitu sumber dari

(29)

20

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian

ini adalah studi pustaka yaitu metode pengumpulan data dengan cara

mempelajari, memahami buku-buku, peraturan perundang-undangan serta

karya tulis ilmiah lainnya yang berhubungan dengan pandangan JIL

terhadap perkawinan beda agama.

4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

teknik deskriptif analisis verifikatif, yaitu teknik analisis dengan cara

menjabarkan data sesuai apa adanya, dalam penelitian ini adalah mengenai

pandangan JIL terhadap perkawinan beda agama dilanjutkan dengan

analisis terhadapnya dan diverifikasi dengan menggunakan metode ijtihad

hukum Islam. Selanjutnya dalam penelitian ini akan dilakukan penarikan

kesimpulan terhadap pandangan JIL terhadap perkawinan beda agama.

Adapun pola pikir yang digunakan untuk penarikan kesimpulan dalam

penelitian ini adalah menggunakan pola pikir induktif-deduktif.

J. Sistematika Pembahasan

Untuk dapat mempermudah pemahaman skripsi ini, maka pembahasan

dalam skripsi ini akan diuraikan secara sistematis. Adapun penulisan skripsi ini

dibagi ke dalam lima bab yang berhubungan satu dengan lainnya, yaitu:

Bab Pertama, bab ini berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang,

(30)

21

penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional, metode penelitian dan

sistematika pembahasan.

Bab Kedua, bab ini membahas tentang landasan teori, yakni sekilas tentang

profil JIL meliputi sejarah JIL, pengertian Islam Liberal, serta misi dan kegiatan

pokok JIL, karakteristik pemikiran JIL, tokoh-tokoh liberal di Indonesia.

Bab Ketiga, bab ini membahas tentang pandangan JIL terhadap perkawinan

beda agama dan metode yang digunakan JIL dalam ijtihad hukum Islam tentang

perkawinan beda agama.

Bab Keempat, bab ini membahas tentang analisis pandangan JIL terhadap

perkawinan beda agama dan analisis tentang metode yang digunakan JIL dalam

ijtihad hukum Islam tentang perkawinan beda agama.

Bab Kelima, merupakan bab terakhir dalam skripsi ini yang berisi penutup

(31)

BAB II

DESKRIPSI UMUM JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)

A. Profil Jaringan Islam Liberal (JIL)

1. Sejarah Kemunculan JIL.

Jika ditelusuri dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia, liberalisasi

Islam sudah ditanamkan sejak zaman penjajahan Belanda. Namun secara

sistematis dari dalam tubuh organisasi Islam, gerakan liberalisasi Islam di

Indonesia bisa dikatakan sudah dimulai pada awal 1970-an. Pada 3 Januari

1970, ketua umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Indonesia

(PBHMI), Nurcholish Madjid, secara resmi menggulirkan perlunya dilakukan

sekularisasi Islam. 1

Sedangkan, Jaringan Islam Liberal (JIL) sendiri didirikan oleh para

aktivis Utan kayu, di Jakarta pada 8 April 2001.2 Yakni sebuah jaringan

intelektual di Indonesia yang mempromosikan gagasan Islam liberal. JIL

Secara historis, kemunculan JIL merupakan respon atau gerakan tandingan

terhadap gerakan-gerakan fundamentalis-radikal di Indonesia yang

mengemuka tidak lama setelah lengsernya Suharto pada tahun 1998. Dalam

posisinya sebagai kelompok yang memperjuangkan ruang publik di Indonesia,

JIL berperan sebagai counter discourse bagi kelompok-kelompok

radikal-konservatif Muslim yang selalu menyerukan penerapan syariat dan

1 Adian Husaini, Liberalisasi Islam di Indonesia, (Jakarta: Gema Insani, 2015), 11.

2 Cucu Surahman, “Tafsir Kontekstual JIL: Telaah atas Konsep Syariat Islam dan H}udu>d”,Journal

(32)

23

pembentukan negara Islam Indonesia. Bagi JIL, Indonesia adalah bangsa

majemuk/plural yang membutuhkan ruang publik. Apapun yang menyangkut

urusan bersama harus dimusyawarahkan secara bebas dan demokratis. Selama

keberadaannya, JIL terus mendukung sistem demokrasi, kebebasan, dan

kesetaraan sosial. Sedangkan secara ideologis, terbentuknya JIL dapat dilihat

sebagai kristalisasi dan kelanjutan dari pemikiran dan gerakan Islam

sebelumnya, baik dalam lingkup Indonesia secara khusus maupun di dunia

secara umum.3

Disebut Jaringan Islam Liberal menurut Ulil Abshar Abdalla selaku

koordinator JIL mengatakan, “tujuan utama kami adalah menyebarkan

gagasan Islam Liberal seluas-luasnya kepada masyarakat. Untuk itu kami

memilih bentuk jaringan, bukan organisasi kemasyarakatan, maupun partai

politik. JIL adalah wadah yang longgar untuk siapa saja yang memiliki aspirasi

dan kepedulian terhadap gagasan Islam Liberal.4 Pada awalnya Jaringan Islam

Liberal (JIL) merupakan suatu kelompok diskusi keagamaan yang merespon

fenomena-fenomena sosial-keagamaan yang ada pada masyarakat, kemudian

seiring berjalannya waktu kelompok ini berkembang menjadi kelompok

diskusi Islam Liberal. Kelompok ini terus mendiskusikan berbagai hal

mengenai Islam, negara, dan isu-isu kemasyarakatan yang berkembang, JIL

pada mulanya diikuti oleh lebih dari 200 anggota, termasuk para penulis, para

3 Ibid, 68.

4Muhammad Najih Maimoen, Membuka Kedok Tokoh-tokoh Liberal dalam Tubuh NU ( Rembang:

(33)

24

intelektual, dan para pengamat politik.5 Ide liberalisme Islam sebagai ciri khas

JIL, tidak bisa dilepaskan dari gagasan dan pemikiran para sarjana Muslim

sebelumnya. Mengikuti para pendahulunya, JIL berpendapat bahwa agar Islam

cocok dengan tuntutan era kontemporer, maka ia harus ditafsirkan secara

substansial dan kontekstual.6

Secara khusus JIL mulai aktif pada Maret 2001 dengan menggelar

kelompok diskusi maya (milis) dalam islamliberal@yahoogroups.com.

Kemudian gagasan-gagasan JIL juga disebarkan lewat website

www.islamlib.com. Sejak Juni 2001, JIL mengisi satu halaman Jawa Pos

setiap Minggu, berikut puluhan koran jaringannya, dengan artikel dan

wawancara seputar pandangan dan pemikiran Islam liberal. Tiap kamis

malam, JIL menyiarkan talkshow dan diskusi interaktif dengan para

kontributor dan tokoh Islam yang sepaham dengannya, melalui kantor Berita

Radio 68H Utan Kayu dan disiarkan juga oleh beberapa radio jaringannya.7

Pada mulanya kegiatan JIL tidak bisa dipisahkan dari dua figur: Luthfi

Assyaukani (Universitas Paramadina Mulya, kini Universitas Paramadina)

dan Ulil Abshar Abdalla, yang saat itu bekerja di ISAI (Institut Studi Arus

Indonesia) dan Lakpesdam (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber

Daya Manusia) NU. Saat itu Luthfi memulai membuka website JIL dan

5Ahmad Bunyan Wahib, “Jaringan Islam Liberal: Towads A Liberal Islamic Thoght In Indonesia”,

Jurnal Studi Islam Profetika, No. 1 Vol. 6 (2004), 66.

6 Cucu Surahman, “Tafsir Kontekstual JIL: Telaah atas Konsep Syariat Islam dan H}udu>d”,Journal

of Qur’a>n and H}adi@th Studies ..., 68

7 Adian Husaini, Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya (Jakarta: Gema

(34)

25

membuat milisnya untuk diskusi terbuka, dan Ulil dianggap memiliki

kemampuan intelektual dan retorika bagus dijadikan jurubicara ide-ide JIL.

Menurut Zainul Bahri dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, terdapat empat faktor yang paling signifikan yang

memunculkan gerakan JIL secara agresif, yakni:8 Pertama, konteks global.

Kemunculan Islam liberal Indonesia tak bisa dilepaskan dari perkembangan

global ketika banyak negara di planet bumi ini mengalami perubahan besar

dan mendasar, terutama tuntutan demokratisasi dalam kehidupan sosial,

politik dan keagamaan. Agama, di alam demokrasi, harus didedefinisikan

untuk sesuai dengan tuntutan kehidupan progresif. Dalam pengertian inilah,

para pemikir Muslim Indonesia, termasuk tokoh-tokoh JIL mengidolakan para

sarjana barat dan timur ahli Islam yang dianggap progresif dan liberal seperti

Abdullah Ahmad an-Naim, Farid Esack, Hasan Hanafi, Arkoun, Abid

al-Jabiri, Hamid Abu Zayd, Abdul Karim Soroush, Muhammad Syahrur, dan

lain-lain. Pemikiran keislaman mereka dianggap cocok dengan perubahan

dunia yang sedang terjadi saat itu. Kedua, era reformasi, dengan tumbang

rezim Orde Baru (1998), membuka kran kebebasan berekspresi dan

berpendapat. Dalam kehidupan keagamaan, banyak muncul paham Islam garis

keras yang diimpor dari Timur Tengah, suatu model Islam yang sebenarnya

tidak cocok dengan Indonesia. Pada momen ini skripturalisme dan

fundamentalisme Islam menguat.

8 Zainul Bahri, “Ruh Hidup dalam Jasad Kaku”, Mengenang Peran Intelektual Jaringan Islam

(35)

26

Ketiga, Sejak tahun 1990an diskursus Islam intelektual telah

menyebar luas di banyak IAIN dan UIN di Indonesia. Hal ini terjadi karena

banyak dosen IAIN dan UIN yang telah pulang dari sekolah di Barat. Selain

membawa gelar master dan doktor, mereka juga membawa isu-isu baru

seperti Islam dan pluralisme, Islam dan demokrasi, Islam dan hak asasi

manusia, Islam dan konsep nation-state, Islam dan dialog antar-agama dan

lain-lain. Penting dicatat bahwa dengan sumber daya manusia unggul, IAIN

dan UIN di kota-kota besar di Indonesia memainkan peran yang sangat

signifikan dalam mengembangkan kajian teoritis studi-studi keislaman

(Islamic studies) di satu sisi, dan menyebarkan gagasan Islam moderat,

bahkan Islam liberal di sisi lain. Tokoh-tokoh UIN, terutama di Jakarta dan

Yogyakarta, setelah Harun Nasution dan Mukti Ali, seperti Azyumardi Azra

dan Abdul Munir Mulkhan dengan isu Islam kultural Indonesia, Komaruddin

Hidayat dan Amin Abdullah dengan diskursus Hermeneutik, Din Syamsuddin

dan Bahtiar Effendi dengan politik Islam Indonesia, dan Nasaruddin Umar

dengan isu Islam dan kesetaraan gender adalah para penopang yang kuat bagi

eksistensi dan masa keemasan JIL pada periode 2000-an. Mereka

dimanfaatkan JIL untuk menjadi para kontributor utama dalam acara-acara

yang digelar JIL.

Keempat, Islam kultural yang toleran selama ini dikampanyekan oleh

NU, Muhammadiyah dan Paramadina, bagi JIL adalah bagian dari kehidupan

keseharian dan keislamannya. Para tokoh dan simpatisan JIL hampir

(36)

27

Muhammadiyah. Mereka tidak semata merasa berkewajiban menjaga Islam

kultural tetapi juga ingin mengembangkannya menjadi Islam intelektual

dengan spektrum lebih luas. Dalam konteks ini, harus dipahami bahwa tiga

figur senior, yaitu Harun Nasution dengan Islam rasional, Cak Nur dengan

Islam peradaban dan kemodernan, dan Gus Dur dengan pribumisasi Islam,

dijadikan ikon-ikon yang banyak diapresiasi oleh tokoh-tokoh JIL.

Ulil Abshar Abdalla selaku koordinator JIL lahir di Pati, Jawa Tengah,

11 Januari 1967, menyelesaikan pendidikan menengahnya di Madrasah

Mathali’ul Falah, Kajen, Pati Jawa Tengah yang diasuh oleh K.H. M. Ahmad

Sahal Mahfudz (Wakil Rois PBNU periode 1994-1999). Alumni fakultas

syariah LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) Jakarta.

Sekarang bekerja sebagai peneliti Lakpesdam (Lembaga Kajian dan

Pengembangan Sumber Daya Manusia) Nahdhlatul Ulama, Jakarta. Sekaligus

juga menjadi staf di Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta. Menulis di

berbagai media massa nasional terkemuka, seperti Tempo, Forum Keadilan,

Jurnal Ulumul Quran, Jurnal Tashwirul Afkar, Harian Kompas, Media

Indonesia, Republika dan Jawa Pos.9 Dia pemikir muda Islam yang tergabung

dalam Komunitas Islam Utan Kayu (KIUK) yang melahirkan Jaringan Islam

Liberal (JIL) secara konseptual mengadopsi gagasan-gagasan Islam Liberal

dan menyebarluaskannya melalui network yang mereka miliki. Mulai

mengkoordinasi Jaringan Islam Liberal sejak awal 2001.

(37)

28

Sedangkan Luthfi Assyaukani lahir di Jakarta 27 Agustus 1967,

menyelesaikan sekolah Menengah dan Atas di pesantren At-Taqwa, Bekasi,

Jawa Barat. Ia menyelesaikan S-1 bidang Hukum Islam dan Falsafat di

University of Yordan, Amman-Yordania, meraih gelar master dari

International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC)

Malaysia, dan mendapat Ph.D dalam bidang Pemikiran Politik Islam dari

University of Melbourne, Australia (2006)10.

Ulil Abshar adalah direktur eksekutif JIL yang pertama. Ketika

kemudian ia mengambil S-2 di Amerika dan Luthfi kuliah S-3 di Australia,

Hamid Basyaib menjadi direktur yang kedua. Setelah selesai dengan ide-ide

JIL yang dimuat satu halaman penuh di koran Jawa Pos, Gunawan Muhamad

adalah figur yang sangat berperan karena ia adalah salah satu pemilik saham

Jawa Pos. Jika melihat proses pematangan Islam intelektual para penggagas

JIL, maka sesungguhnya Ulil, Luthfi dan Sahal adalah santri-santri Muslim

berlatar belakang pesantren tradisional dengan penguasaan kitab-kitab klasik

Islam yang memadai. Pengetahuan Islam tradisional mereka kemudian

dipertajam dan diperluas dengan wawasan falsafat Islam, falsafat barat,

sosiologi modern dan ilmu politik yang mereka pelajari di perguruan tinggi.

Karena itu, para individu JIL memiliki fondasi tradisional Islam yang kuat,

tetapi mereka melampauinya dengan pisau analisis ilmu-ilmu sosial dan

humaniora modern. Dalam pengertian ini, JIL bukanlah komunitas Muslim

(38)

29

yang sedang bermain-main dengan Islam atau hanya ingin tampil beda

semata, melainkan memang memiliki citarasaIslam intelektual.

Selain Luthfi dan Ulil, terdapat tiga tokoh perdana sangat aktif di JIL,

yaitu Akhmad Sahal, Hamid Basyaib dan Saiful Muzani. Secara umum,

mereka berlima menggerakkan diskusi, kajian dan kegiatan di JIL. Mereka

juga aktif menulis opini di korankoran nasional seperti Kompas, Media

Indonesia, dan Koran Tempo, dengan perspektif Islam liberal. Di masa awal

kegiatan-kegiatan, terdapat juga beberapa tokoh aktif menjadi narasumber

seperti Komaruddin Hidayat, Azyumardi Azra, Bahtiar Effendi, Kautsar

Azhari Noer, Zainun Kamal, dan Nasaruddin Umar dari UIN Jakarta, Said

Aqil Siradjdan Masdar Mas’ud dari NU, Jalaluddin Rakhmat (tokoh Syīah

Indonesia) dari Yayasan Muthahhari Bandung, dan lain-lain.11

2. Pengertian Islam Liberal

Islam liberal merupakan sebuah wacana yang menjadi debatable

dikalangan intelektual muslim hingga kini. Secara etimologis/dalam kamus

bahasa Indonesia, arti Islam Liberal terdiri dari dua kata, yakni Islam dan

Liberal. Islam berarti agama yang dibawakan dan diajarkan oleh Nabi

Muhammad saw, berpedoman pada kitab suci Alquran yang diturunkan ke

dunia melalui wahyu Allah swt.12 Liberal sendiri diartikan bebas, dalam artian

11 Ibid., 279.

12 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: t.t.),

(39)

30

berfikir atau berpandangan secara luas dan terbuka.13 Dapat diartikan bahwa

Islam liberal adalah suatu pemahaman terhadap Islam secara bebas luas dan

terbuka.

Dr. Greg Barton mengatakan Islam Liberal adalah paham yang

membuka wawasan ijtihad dan kebebasan berfikir dalam Islam.14 Sedangkan

kelompok JIL sendiri mengatakan, bahwasanya penggunaan nama “Islam

liberal” sengaja mereka tujukan untuk mendeskripsikan pada gagasan dan

prinsip-prinsip yang mereka wacanakan, yakni Islam yang menekankan

kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial-politik yang dianggap

menindas. Sedangkan makna “Liberal” sendiri, menurut mereka di sini

bermakna kebebasan dan pembebasan.

Sedangkan menurut Ulil Abshar Abdalla selaku Koordinator JIL,

alasan menambahkan kata “Liberal” pada Islam, sesungguhnya bertujuan

untuk menegaskan kembali dimensi kebebasan dalam Islam yang jangkarnya

adalah “Niat” atau dorongan-dorongan emotif-subyektif dalam manusia itu

sendiri. Kata “Liberal” di sini, menurut Ulil Abshar Abdalla tidak ada sangkut

pautnya dengan kebebasan yang tanpa batas, dengan sikap-sikap permisif

yang melawan kecenderungan intrinsik dalam akal manusia itu sendiri. Karena

dengan menekankan kembali dimensi kebebasan manusia, dan menempatkan

manusia pada fokus penghayatan keagamaan, maka itu berarti telah

13 Ibid., 668.

(40)

31

memulihkan kembali integritas wahyu dan Islam itu sendiri.15 Jadi untuk

mewujudkan Islam Liberal yang mereka maksud itulah, JIL dibentuk. JIL

percaya bahwa Islam selalu dilekati kata sifat, sebab pada kenyataannya

menurut mereka, Islam ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan

kebutuhan penafsirnya.

Ulil Abshar Abdalla mengungkapkan, posisi Islam Liberal selama ini

masih sering disalahpahami ketimbang dipahami oleh sebagian umat muslim.

Akibatnya, pernyataan ditentang beberapa hal mendasar soal ke-Islam-an

yang seharusnya menjadi alternatif pemikiran bagi umat Islam saat

berdialektika dengan kemodernan belum mampu terinternalisasikan dengan

baik. Sedangkan kata Jaringan sendiri dipilih karena dianggap mewakili

tujuan JIL, yakni untuk menyebarkan gagasan Islam Liberal seluas luasnya

kepada masyarakat. Sehingga JIL diharapkan menjadi wadah yang longgar

untuk siapapun yang memiliki aspirasi dan kepedulian terhadap gagasan Islam

Liberal.16 Sebagaimana pernah ditulis dalam majalah GATRA, Desember

2001 jaringan ini mewadai pengembangan pemikiran Islam yang kritis,

pluralis dan membawa misi pembebasan. Konsolidasi jaringan ini

dimaksudkan sebagai respons atas menguatnya ekstremisme dan

fundamentalisme agama. Mereka memanfaatkan kemajuan multimedia untuk

menopang kampanye gagasan, dari jaringan koran, radio sampai internet.

15Ulil Abshar abdalla ,” Beberapa pandangan mengenai wacana Jaringan Islam Liberal”, dalam

http://www.seasite.niu.edu/trans/indonesian/Concordance/Jaringan%20Islam%20LiberalUlil.htm,

diakses 31 Desember 2007.

(41)

32

Dalam perjalanannya, kontributor JIL kerap terlibat ketegangan dengan

kalangan Islam literal. Mulai ketegangan di forum diskusi, ajuan somasi,

sampai ke pengaduan polisi.17

Di Indonesia sendiri, gagasan Islam liberal dapat kita telusuri akar

historisnya paling tidak sejak tahun 1970-an, ketika Nurcholish Madjid

menulis sebuah artikel berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam

dan Masalah Integrasi Umat”. Dalam artikel tersebut Nurcholish Madjid

mulai memperkenalkan ide liberalisasi, sekularisasi, dan modernisasi Islam.

Karena pemikiran-pemikirannya yang sangat berpengaruh, maka para aktivis

JIL mengakui apabila dikatakan bahwa Nurcholish Madjid adalah lokomotif

intelektual bagi wacana Islam liberal di Indonesia sekarang ini.

3. Misi dan Kegiatan Pokok JIL

Menurut Ulil Abshar Abdalla, selaku koordinator JIL mengatakan,”

Misi JIL sendiri, Pertama, mengembangkan penafsiran Islam yang Liberal

sesuai dengan prinsip-prinsip yang kami anut, serta menyebarkannya kepada

khalayak seluas mungkin. Kedua, mengusahakan terbukanya ruang dialog

yang bebas dari tekanan konservatisme. Kami yakin, terbukanya ruang dialog

akan memekarkan pemikiran dan gerakan Islam yang sehat. Ketiga,

mengupayakan terciptanya struktur sosial dan politik yang adil dan

manusiawi.18

17 Hartono Ahmad Jaiz, Menangkal Bahaya JIL FLA, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.2005), 8.

(42)

33

Sementara itu, Dr. Luthfi Assyaukanie, salah seorang penggagas JIL

yang juga dosen di Universitas Paramadina memperkenalkan empat misi

Jaringan Islam Liberal. Pertama, Agenda politik. Menurutnya urusan negara

adalah murni urusan dunia, sistem kerajaan maupun parlementer (demokrasi)

tidak ada bedanya. Kedua, Mengangkat kehidupan beda agama. Menurutnya

perlu pencarian teologi pluralism mengingat semakin majemuknya kehidupan

bermasyarakat di negeri negeri Islam. Ketiga, emansipasi wanita. Agenda ini

mengajak kaum Muslim untuk memikirkan kembali beberapa doktrin agama

yang cenderung merugikan dan mendiskreditkan kaum perempuan. Hal ini

karena doktrin-doktrin tersebut dari manapun sumbernya bertentangan

dengan semangat dasar Islam yang mengakui persamaan dan menghormati

hak-hak semua jenis kelamin. Keempat, kebebasan berpendapat. Agenda ini

menjadi penting dalam kehidupan kaum Muslim modern, khususnya ketika

persoalan ini berkaitan erat dengan masalah hak-hak asasi manusia.19

Di samping itu, dipublikasikan, juga beberapa kegiatan pokok JIL yang

sudah dilakukan, di antaranya:

a. Sindikasi penulis Islam Liberal

Maksudnya adalah mengumpulkan tulisan sejumlah penulis

yang selama ini dikenal atau belum dikenal oleh publik luas sebagai

pembela Pluralisme dan Inklusivisme. Sindikasi ini akan menyediakan

bahan-bahan tulisan yang baik. Dengan adanya otonomi daerah, maka

19 Luthfi asy-Syaukani, “Empat Agenda Islam yang Membebaskan”, dikutip dari

(43)

34

peran media lokal makin penting, dan suara-suara keagamaan yang

toleran juga penting untuk disebarkan melalui media massa daerah

ini. Setiap minggu, akan disediakan artikel dan wawancara untuk

koran-koran daerah.

b. Talk-show di Kantor berita Radio 68 H

Talk-Show ini akan mengundang sejumlah tokoh yang selama

ini dikenal sebagai pendekar Pluralisme dan Inklusivisme untuk

berbicara tentang isu sosial keagamaan di tanah air. Acara ini akan

diselenggarakan setiap minggu, dan disiarkan melalui siaran Radio

Namlapanha di 40 Radio, antara lain; Radio Namlapanha Jakarta,

Radio Smart (Menado), Radio DMS (Maluku), Radio UNISI

(Yogyakarta), Radio PTPN (Solo), Radio MARA (Bandung), Radio

Prima FM (Aceh).

c. Penerbitan Buku

JIL berupaya menerbitkan buku-buku yang bertemakan

Pluralisme dan Inklusivisme agama, baik berupa terjemahan,

kumpulan tulisan, maupun penerbitan ulang buku-buku lama yang

masih relevan dengan tema-tema tersebut. JIL sudah menerbitkan

buku kumpulan artikel, wawancara, dan diskusi yang diselenggarakan

(44)

35

d. Penerbitan Buku Saku

Untuk kebutuhan pembaca umum, JIL menerbitkan buku saku

setebal sekitar 50-100 halaman dengan bahasa renyah dan mudah

dicerna. Buku Saku ini akan mengulas dan menanggapi sejumlah isu

yang menjadi bahan perdebatan dalam masyarakat. Tentu, tanggapan

ini dari perspektif Islam liberal. Tema-tema itu antara lain: jihad,

penerapan syariat Islam, jilbab, penerapan ajaran memerintahkan yang

baik dan mencegah yang jahat (amar ma'ruf nahi mungkar), dan

lain-lain.

e. Website IslamLib.com

Program website ini, berawal dari dibukanya milis Islam

Liberal (islamliberal@yahoogrups.com) yang mendapat tanggapan yang

positif. Ada beberapa anggota untuk menyebarluaskan milis ini ke

dalam bentuk website yang bisa diakses oleh semua kalangan.

Sementara milis akan tetap dipertahankan untuk kalangan terbatas

saja. Semua produk JIL (sindikasi media, talk show radio, dll) akan

dimuat dalam website ini. Web ini juga akan memuat setiap

perkembangan berita, artikel, atau apapun yang berkaitan dengan misi

JIL.

f. Iklan Layanan Masyarakat

Dalam menyebarkan visi dari Islam Liberal, JIL membuat

(45)

36

dengan tema-tema seputar Pluralisme, penghargaan atas perbedaan

dan pencegahan konflik sosial. Salah satu iklan yang sudah

diproduksi oleh JIL adalah iklan yang mereka beri judul Islam

Warna-Warni.

g. Diskusi Keislaman

JIL juga selalu menyelenggarakan sejumlah diskusi dan

seminar mengenai keislaman dan keagamaan secara umum. Termasuk

dalam kegiatan ini adalah diskusi keliling melalui kerjasama yang

diadakan dengan kelompok-kelompok mahasiswa di sejumlah

Universitas Diponegoro Semarang, Institut Pertanian Bogor, UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, dan lain-lain.20 Melalui kerjasama dengan

pihak luar (Universitas, LSM, kelompok mahasiswa, pesantren dan

pihak-pihak lain). Salah satu LSM asing yang sangat aktif dalam

menyebarkan paham liberal di Indonesia adalah The Asia Foundation

(TAF). Untuk menanamkan paham paham dan nilai-nilai inklusif dan

pluralis di kalangan muslim Indonesia, TAF telah mendukung berbagai

kelompok berbasis muslim sejak tahun 1970-an. TAF saat ini

mendukung lebih dari 30 LSM yang mempromosikan nilai-nilai Islam

yang dapat menjadi basis bagi sistem politik demokratis,

non-kekerasan, dan toleransi beragama.21 Dalam bidang pendidikan

kewarganegaraan, HAM, dan rekonsiliasi antar komunitas, kesetaraan

20 Muhammad Najih Maimoen, Membuka Kedok Tokoh-tokoh Liberal dalam Tubuh NU..., 106.

(46)

37

gender, dan dialog antar agama-agama. TAF juga bekerja sama dengan

LSM-LSM tersebut untuk mempromosikan Islam sebagai sebuah

katalisator demokratisasi di Indonesia. Program-program itu

mencakup Training bagi pemuka agama, studi tentang isu-isu gender

dan HAM dalam Islam, pusat-pusat advokasi wanita dan sebagainya.22

Program liberalisasi agama di Indonesia memang melibatkan

pendanaan sangat besar. Inilah proyek yang sangat mudah untuk

mengeruk uang dari lembaga-lembaga internasional barat seperti The

Asia Foundation, dan dari pemerintah Amerika Serikat sendiri.23

B. Karakteristik Pemikiran Islam Liberal

Islam liberal berarti suatu bentuk penafsiran atas Islam dengan

landasan pola pemikiran yang direpresentasikan dalam situs resminya, JIL

menjelaskan enam landasan karakteristik pemikirannya sebagai berikut:

1. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam.

Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional

pada teks-teks keislaman pada Alquran dan sunah adalah prinsip

utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala

kondisi perkembangan zaman. Menurut JIL, penutupan pintu ijtihad,

baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas

Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami

22 Ibid, 52.

(47)

38

pembusukan. Islam liberal juga mempercayai bahwa ijtihad bisa

diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi

sosial), ubudiyyat (ritual), dan ilahiyyat (teologi). 24 Dalam blog

pribadi Ulil Abshar Abdalla, tokoh yang sudah terlanjur diidentikkan

oleh publik dengan JIL mengatakan:

“JIL sama sekali tidak mengungkit-ungkit masalah ibadah. Saya sadar tidak semua hal dalam agama bisa dirasionalkan. Ada dimensi-dimensi tertentu dalam agama yang tak bisa sepenuhnya dipahami secara rasional. Contoh yang baik adalah masalah ibadah. Yang saya maksud di sini adalah ibadah dalam pengertian yang terbatas, yaitu apa yang disebut dengan ibadah madah alias ibadah murni seperti salat, puasa dan haji. Tata cara ibadah dalam Islam, menurut saya berlaku sepanjang zaman dan tidak bisa dirasionalisasikan.

2. Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks.

Dalam memahami wahyu Allah, yang sering mereka sebut

sebagai teks, JIL menggunakan landasan kedua sebagai kaidah ijtihad

yang telah dikembangkan oleh Islam Liberal yakni upaya menafsirkan

Islam berdasarkan semangat religio etik Alquran dan Sunah Nabi,

bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal

sebuah teks itu sendiri. Penafsiran yang literal hanya akan

melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang berdasarkan semangat

religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi

bagian dari peradaban kemanusiaan universal.25

(48)

39

3. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka, liberal dan plural.

Landasan ketiga JIL menjelaskan bahwa relativisme yang

sudah pasti muncul dalam setiap penerapan sekularisasi, sekularisme

dan liberalisme. Karena kebenaran yang dipahami oleh manusia pada

masa silam bisa diralat oleh generasi sekarang, dan kebenaran yang

dipahami sekarang pun kelak (kemungkinan besar) akan diralat, maka

kebenaran itu haruslah dinyatakan relatif, terbuka dan plural. JIL

mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran dalam penafsiran

keagamaan sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah penafsiran

adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu,

terbuka. Sebagaimana misalnya Islam liberal menerima kontradiksi

yang begitu sengit dalam namanya yaitu antara Islam dan liberal, maka

kelompok ini begitu saja menerima semua perbedaan yang sebenarnya

mencolok diantara dua hal yang sebenarnya saling bertentangan,

misalnya antara tauhid dan trinitas. Keduanya jelas berlawanan,

namun berdasarkan prinsip relativisme keduanya harus diterima

sebagai kebenaran. Sebab menurut JIL, setiap bentuk penafsiran

mengandung kemungkinan penafsiran yang salah, selain kemungkinan

benar plural, sebab penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara,

(49)

40

ruang yang bisa terus berubah-ubah. Dengan cara ini pula kalangan JIL

menghindarkan diri dari perdebatan.26

4. Memihak pada yang minoritas dan tertindas.

Memihak pada yang minoritas dan tertindas begitu kental

dengan nuansa yang melatarbelakangi kelahiran pemikiran sekuler

barat. Karena dulu gereja menghegemoni dan menindas rakyat, maka

bangsa-bangsa Eropa umumnya memandang agama sebagai alat

legitimasi untuk memaksakan kehendak. Menurut JIL, Islam Liberal

berpijak pada penafsiran Islam yang memihak kepada kaum minoritas

yang tertindas dan dipinggirkan. Misalnya Ahmadiyah tidak mereka

pandang sebagai aliran sesat karena tidak pernah ada kata sesat dalam

relativisme atau telah keluar dari Islam, melainkan sebagai aliran yang

ditindas oleh para ulama. Setiap struktur sosial-politik yang

mengawetkan praktek ketidak adilan atas yang minoritas adalah

berlawanan dengan semangat Islam. Minoritas di sini dipahami dalam

maknanya yang luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras, gender,

budaya, politik, dan ekonomi. Pembelaan mereka dalam membela

aliran-aliran sesat pada hakikatnya adalah pembelaan pada paham

mereka yakni paham relativisme itu sendiri.

(50)

41

5. Meyakini kebebasan beragama.

JIL meyakini bahwa urusan beragama dan tidak beragama

adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi karena

menjunjung tinggi kebebasan beragama. Mereka tidak membenarkan

penganiayaan atas dasar suatu pendapat atau kepercayaan.

6. Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan

politik.

Karakteristik pemikiran JIL yang keenam ini yang

memperlihatkah wajah JIL yang sesungguhnya yang berlandasan

Islam liberal, JIL meyakini bahwa kekuasaan keagamaan dan politik

serta otoritas duniawi dan ukhrawi harus dipisahkan. Islam Liberal

menentang negara agama (teokrasi). Urusan dunia hanya untuk dunia,

sedangkan urusan akhirat terpisah sama sekali dengannya. Agama

hanya digunakan pada ritual-ritual ibadah, sedangkan urusan politik

dijauhkan sama sekali dari tuntunan-tuntunan agama. Islam Liberal

yakin bahwa bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan

politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut.

Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan

publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala

bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat, dan urusan

publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus.27

27Jaringan Islam Liberal” dalam: http://islamlib.com/id/halaman/tentang-jil diakses pada 13 Mei

Referensi

Dokumen terkait

- Biaya administrasi 500.000/tim, maksimal 10 hari kerja setelah mengisi form pendaftaran - Jika &gt;10 hari tidak bayar, dianggap mengundurkan diri, jika mau daftar ulang lagi

- Cuci segera bagian kulit yang terkena dengan air mengalir yang dingin atau hangat serta sabun minimal 10 menit.. - Jika tidak ada air, sekalah kulit dan rambut

Beberapa inovasi vocal juga ditemukan dalam bahasa Tidung, misalnya saja pada PMP *buruk &gt; TDG busak ‘busuk’, PMP *ma-putiq &gt; TDG pulak ‘putih’, dan PMP * i-kita &gt; TDG

Menurut para ulama, makna kedua hadits ini bukan berarti semua perkara yang baru adalah urusan agama tergolong bid‟ah, karena mungkin ada perkara baru dalam

Laboratorium komputer adalah tempat riset ilmiah, eksperimen, pengukuran ataupun pelatihan ilmiah yang berhubungan dengan ilmu komputer dan memiliki beberapa komputer dalam

Orang yang pertama dekat dengan anak adalah Ibu. Ia merupakan oramg yang pertama menjadi pendidik dengan sabar mengjarkan cara berbicara, cara menghitung jari di tangan,

Efisiensi operasional saluran tataniaga karet melalui pasar lelang di perdesaan lebih tinggi dibandingkan dengan saluran tataniaga karet tradisional (perantara para