• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA BANGKALAN NOMOR 0610/Pdt.G/PA.Bkl TENTANG CERAI GUGAT KARENA ALASAN PENENTUAN TEMPAT TINGGAL.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA BANGKALAN NOMOR 0610/Pdt.G/PA.Bkl TENTANG CERAI GUGAT KARENA ALASAN PENENTUAN TEMPAT TINGGAL."

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS

HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN

PENGADILAN AGAMA BANGKALAN NOMOR

0610/Pdt.G/2015/PA.Bkl TENTANG CERAI GUGAT KARENA

ALASAN PENENTUAN TEMPAT TINGGAL

SKRIPSI Oleh

Ummi Azizah Aziz

NIM. C01212095

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah Dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam

Prodi Hukum Keluarga SURABAYA

(2)

PERI{YATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:

Nama

w.

Fakultas/Jurusan

Judul Skripsi

: Iimmi AzizahAnz

:C01212095

: Syariah/ Ahwal Al Syakhsiyyah

:

"Anqlisis

Hukum Islom Terhadap Putusan

Pengadilan

Agoma

Bangknlst

Nomor 0610/P*L.G/2015/PA.BH Tentang Cerai Gugat

Kare*a Alasan Penentusn Tempat Tinggal".

Dengan sungguh-sungguh menyatakan bahwa skripsi ini secara keseluruhan

adalahhasil penetitian/ karya sendir! kecuali pada bagian yang dirujuk

srmbemya.

Surabay4 15 Agustus 2016

menyatakan,

NIM: C01212095

(3)

PERSETUruAN PEMBIMBING

Skripsi yang berjudul "Analisis Hukrm Islam Terhadap Putusan Pengadilan

Agama Bangkalan Nomor 0610/Pdt.Gi20151PA.Bkl Te,ntang Cerai Gugat

Karena Alasan Penentuan Tempat

linggal"

yang ditulis oleh Ummi Azizah

Aziz Nim : C0L212A95 ini telah diperiksa dan disetujui untuk dimunaqosahkan.

Surabaya, 15 Agustus 2016

Dosen Pernbimbing :

(4)

PENGESAHAN

Skripsi yang ditulis aleh

Umrrr

Azizah Aziz ini telah dipertahankan di depan

:rdang Majelis Munaqasah Skripsi Fakultas syariah UIN Sunan Ampel Surabaya

....Ja hari Senin Tanggal, 15 Agustus 2016, dan dapat diterima sebagai salah satu

.--::s\ arata* unt*k menyelasaikan progTam sarjana strata satu dalarn ihnu syariah

Majelis Munaqasah SkriPsi

Penguji

III

NIP. 1 102005

Sulabal'a. l5 Agustus 2016

Nlengesahka:r.

Fakultas SYari'ah dan Hukum

Universitas Islarn ]'{egeri Sunan Ampel Surabaya

L

\

1F i u-e{)8012011012003
(5)

$

KEMENTERIAN AGAMA

UNTVERSITAS

ISLAM

NEGERI

STINAN AMPEL

SURABAYA

PERPUSTAKAAN

Sekretarial Jl. Jendral Achmad Yani 117 Telp. A3l-8/3lyn Fax. 031-8413300

Email: perpus@uinsby.ac.id

LEMBAR PENGESAHAN PERSETUruAN PUBLIKASI

KARYA TLMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagian civitas akademik UIN Sunan Ampel Surabaya, yang bertanda tangan di bawah ini, saya:

Nama

NIM

Fakultas/Jurusan E-mail address

UMMI AZIZNI AZIZ

c01212095

SYARTAH DAN HUKUM / HUKUM PERDATA ISLAM

qutubramli96@gmail,com

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif atas karya ilmiyah :

Yang berjudul:

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA

BANGKALAN NOMOR O61O/PdI.G/20I5/PA.BKI TENTANG CERAI GUGAT

KARENA ALASAN PENENTUAN TEMPAT TINGGAL

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif ini

Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya berhak me,nyimpan, mengalih-mediakan/format-kan,

mengelolanya dalam bentuk pengkalan data (database), mendishibusikannyq dan menampilkan/

mempublikasikannya di Internet atau media lain secarafullt* untuk kepentingan akademis tarrya

perlu meminta ijin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan atau penerbit yang bersangkutan.

Saya bersedia untuk menanggung secara pribadi, tanpa melibatkan pihak perpustakaan UIN Sunan

Ampel Surabay4 segala bentuk tuntutan hukum yang timbul atas pelanggaran Hak Cipta dalam

karya ihniah saya ini.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Surabaya, 22 Agustus 2016

Penulis

(6)

ABSTRAK

Skripsi ini merupakan hasil penelitian kajian pustaka tentang ‘’Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan Pengadilan Agama Bangkalan Nomor 0610/Pdt.G/2015/PA.Bkl Tentang Cerai Gugat Karena Alasan Penentuan Tempat Tinggal’’. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan mengenai Bagaimana pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Agama Bangkalan Nomor 0610/Pdt.G/2015/PA.Bkl Tentang Cerai Gugat Karena Alasan Penentuan Tempat Tinggal? dan Bagaimana analisis hukum Islam terhadap Putusan Pengadilan Agama Bangkalan Nomor 0610/Pdt.G/2015/PA.Bkl Tentang Cerai Gugat Karena Alasan Penentuan Tempat Tinggal?

Data penelitian ini diperoleh dari Pengadilan Agama Bangkalan yang menjadi obyek penelitian. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dokumentasi dan wawancara yang kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif-analisis, yaitu memaparkan atau menjelaskan data-data yang diperoleh dan selanjutnya dianalisis dengan metode deduktif, dimulai dari hal-hal yang bersifat umum, yaitu tentang pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Agama Bangkalan Nomor 0610/Pdt.G/2015/PA.Bkl Tentang Cerai Gugat Karena Alasan Penentuan Tempat Tinggal kemudian ditarik kepada hal-hal yang bersifat khusus kaitannya dengan analisis hukum Islam terhadap Putusan Pengadilan Agama Bangkalan Nomor 0610/Pdt.G/2015/PA.Bkl Tentang Cerai Gugat Karena Alasan Penentuan Tempat Tinggal serta ditarik kesimpulan.

Dalam pertimbangan hakim berdasarkan bukti-bukti dan tidak hadirnya tergugat maka permohonan penggugat dikabulkan. Sedangkan dalam analisis hukum Islam terhadap Putusan Pengadilan Agama Bangkalan Nomor 0610/Pdt.G/2015/PA.Bkl Tentang Cerai Gugat Karena Alasan Penentuan Tempat Tinggal sudah sesuai baik menurut hukum Islam, diamana alasan-alasan yang dapat digunakan oleh seseorang untuk mengajukan permohonan perceraian ke Pengadilan Agama telah ditentukan dalam Penjelasan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam. Alasan-alasan tersebut anatara lain salah satunya yaitu dalam huruf (f) yang berbunyi : ‘’Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga’’. Dimana pengggugat dan tergugat dalam perceraian cerai gugat ini sering terjadi perselisishan serta dari tergugat sudah meninggalkan tergugat sudah lama yaitu selama 1 tahun 8 bulan.

Sejalan dengan kesimpulan diatas, maka ada beberapa saran yang perlu dicantumkan antara lain: pertama dalam mengambil keputusan hukum hendaknya mempertimbangkan asas kemaslahatan masyarakat dan tidak bertentangan dengan Al- Qur’an dan Hadis serta dalam bertalak sesuai dengan

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

MOTTO ... viii

PERSEMBAHAN ... x

DAFTAR ISI ... xii

TRANSLITERASI... xiii

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 6

C. Rumusan Masalah ... 8

D. Kajian Pustaka ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 9

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 10

G. Definisi Operasional ... 10

H. Metode Penelitian ... 12

I. Sistematika Pembahasan ... 17

BAB II: CERAI GUGAT DALAM HUKUM ISLAM A. Cerai Gugat Menurut Hukum Islam ... 19

1. Pengertian Cerai Gugat... 19

2. Dasar dan status Hukum Khulu’... 21

3. Persyaratan dan Akibat Hukum Khulu’... ... 28

(8)

BAB III : PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA BANGKALAN NOMOR 0610/Pdt.G/2015/PA.BKL TENTANG CERAI GUGAT KARENA ALASAN PENENTUAN TEMPAT TINGGAL

A. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Pengadilan Agama Bangkalan Nomor 0610/Pdt.G/2015/PA.Bkl Tentang Cerai Gugat Karena Alasan Penentuan Tempat Tinggal ... 40

1. Wawancara Tentang Cerai Gugat Karena Alasan Penentuan Tempat Tinggal ... 40 2. Isi Putusan Tentang Pertimbangan Hakim Dalam Putusan

Pengadilan Agama Bangkalan Nomor

0610/Pdt.G/2015/PA.Bkl... 46

BAB IV: ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA BANGKALAN NOMOR 0610/Pdt.G/2015/PA.BKL TENTANG CERAI GUGAT KARENA ALASAN PENENTUAN TEMPAT TINGGAL

A. Analisis Tentang Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Pengadilan Agama Bangkalan Nomor 0610/Pdt.G/2015/PA.Bkl Tentang Cerai Gugat Karena Alasan Penentuan Tempat Tinggal ... 50 B. Analisis Tentang Hukum Islam Terhadap Putusan Pengadilan Agama Bangkalan Nomor 0610/Pdt.G/2015/PA.Bkl Tentang Cerai Gugat Karena Alasan Penentuan Tempat Tinggal ... 57

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan ... 66 B. Saran ... 67

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan perpaduan insting manusiawi antara laki-laki

dan perempuan di mana bukan sekedar memenuhi kebutuhan jasmani. Lebih

jelasnya perkawinan adalah suatu perkataan untuk menghalalkan hubungan

kelamin antara laki-laki dan perempuan, dalam rangka mewujudkan

kebahagiaan berkeluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang

dengan cara diridhoi oleh Allah SWT. Sebagai firman Allah SWT dalam

surat Ar-Ruum Ayat 21:

ْْنِمَو

ِْهِتاَيَا

ْْنَا

َْقَلَخ

ْْمُكَل

ْْنِم

ْْمُكِسُفْ نَا

اًجاَوْزَا

اْوُ نُكْسَتِل

اَهْ يَلِا

َْلَعَجَو

ْْمُكَنْ يَ ب

ًْةَدَوَم

ًْةََْْرَو

َْنِا

ِْف

َْكِلذ

ِْتيأ

ْ مْوَقِل

نْوُرَكَفَ تَ ي

Artinya: ‘’Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan

untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”1

Kehidupan berkeluarga tidak selalu berjalan harmonis seperti yang

diangankan pada kenyataan. Bahwa memelihara kelestarian dan

keseimbangan hidup bersama suami isteri bukanlah perkara yang mudah

dilaksanakan. Bahkan banyak di dalam hal kasih sayang dan kehidupan

harmonis antara suami isteri itu tidak dapat diwujudkan. Kadangkala pihak

isteri tidak mampu menanggulangi kesulitan-kesulitan tersebut, sehingga

1

(10)

2

perkawinan yang didambakan tidak tercapai dan berakhir dengan perceraian.

Di dalam melakukan perceraian seorang suami mempunyai hak talak sepihak

secara mutlak. Pengadilan juga menerima gugatan perceraian yang disebut

cerai gugat, hal ini atas inisiatif isteri bukan karena ditalak suaminya.

Sedangkan cerai talak adalah percerian atas kehendak suami dan bukan atas

inisiatif isteri.2

Pada saat pasangan suami isteri hendak melakukan perceraian atau

dalam proses pertikaian, Islam mengajarkan agar dikirim hakam yang

bertugas untuk mendamaikan keduanya. Dengan demikian, Islam lebih

menganjurkan untuk melakukan perbaikan hubungan suami-isteri dari pada

memisahkan keduanya. Perihal anjuran penunjukan hakam untuk

mendamaikan perselisihan antara suami-isteri dijelaskan oleh Allah dalam

firman-Nya Surat An-Nisa ayat 35 berikut ini:

ْْنِإو

ْْمُتْفِخ

َْقاَقِش

اَمِهِنْيَ ب

ْْاوُثَعْ باَف

ًْامَكَح

ْْنِم

ِْهِلَْأ

ًْامَكَحَو

ْْنِم

اَهِلَْأ

نِإ

اَديِرُي

ًْاحَاْصِإ

ِْقِفَوُ ي

ُْهّللا

اَمُهَ نْ يَ ب

َْنِإ

َْهّللا

َْناَآ

ًْاميِلَع

ًْارِبَخ

Artinya: ‘’Dan jika kamu mengkhawatirkan ada pengkengketaan antara kedunya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika dari kedua orang hakam bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami isteri itu, sesungguhnya Allah maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.’’3

Dalam konteks hukum positif di Indonesia, prosedur perceraian juga

diatur dalam proses yang terdaftar. Selain proses perdamaian atau mediasi

sebagaimana didasarkan pada hukum Islam, untuk melakukan perceraian

2

A. Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : PT Perindo, 2007), 27. 3

(11)

3

harus ada cukup alasan yang diterima oleh syar’i, bahwa antara suami-isteri

itu tidak akan dapat hidup rukun sebagaimana suami-isteri.4 Setelah adanya

alasan-alasan yang sesuai, tidak berarti perceraian langsung dapat dilakukan

oleh pasangan suami-isteri. Langkah berikutnya adalah pelaksanaan proses

perceraian di depan Pengadilan Agama. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam

Undang-Undang Peradilan Agama No. 3 Tahun 2006 yaitu :

Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.5

Di dalam Undang-undang tentang perkawinan Kompilasi Hukum

Islam (KHI) pasal 116, yang dalam keduanya sama-sama menyebutkan alasan

perceraian diantaranya:

a. Salah satu pihak perbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi

dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut

tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar

kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman

yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak yang lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak

dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.

4

UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 39 ayat (2) 5

(12)

4

f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah

tangga.

g. Suami melanggar taklik-talak.

h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak

rukunan dalam rumah tangga.

Dari penjelasan tersebut, alasan yang dapat dijadikan isteri dalam

mengajukan gugatan perceraian salah satunya adalah antara suami dan isteri

terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan

akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Dalam putusan Nomor 0610/Pdt.G/2015/PA.Bkl, dijelaskan bahwa

pada awal mulanya pernikahan penggugat dan tergugat berjalan sangat

harmonis. Keduanya bertempat tinggal dan menetap di rumah penggugat,

tetapi pada tahun 2013 pernikahan tersebut sering terjadi percekcokan dan

perselisihan antar penggugat dan tergugat tidak betah tinggal di rumah

penggugat dan penggugat diajak tinggal di rumah tergugat tetapi penggugat

tidak mau karena penggugat anak tunggal sehingga untuk meninggalkan

orang tua sangatlah berat.

Di kemudian hari, si tergugat pergi meningggalkan rumah penggugat

dan memilih bertempat tinggal di rumah orangtuanya sendiri selama 1 tahun

8 bulan. Selama meninggalkan penggugat, tergugat tidak menceraikan

penggugat sehingga penggugat mengajukan cerai gugat ke Pengadilan Agama

(13)

5

Bagi orang Madura, ketika seorang isteri tidak mau mengikuti

kemauan suami, sangatlah merasa malu bagi seorang suami apalagi seorang

isteri mengajukan cerai gugat. Oleh sebab itu, di dalam persidangan suami

tidak hadir karena bagi dirinya merupakan martabat jika seorang isteri

mengajukan gugat cerai bagi seorang suami. Dengan demikian dalam putusan

Nomor 0610/Pdt.G/2015/PA.Bkl penggugat mempunyai cukup alasan dan

telah terbukti serta memenuhi ketentuan pasal 116 huruf (f) Komplikasi

Hukum Islam pula menyatakan ternyata gugatan penggugat tidak melawan

hak dan tergugat telah tidak hadir , karena itu berdasarkan pasal 125 HIR

dapat dikabulkan dengan verstek.

Ketika penggugat ingin mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan

Agama penggugat tidak mempunyai biaya sehingga proses perceraian

tersebut berlangsung mulai dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2015 tidak

dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama dikarenakan faktor ekonomi

dari penggugat. Selain itu seorang suami yang digugat cerai oleh seorang

isteri dan meninggalkan isteri dari rumah selama 1 tahun 8 bulan tanpa

melakukan proses perceraian di Pengadilan Agama biasanya ketika sudah

melakukan perceraian atau sudah meninggalkan seorang isteri dalam 1 bulan

kasus tersebut langsung diajukan kepada Pengadilan Agama tetapi dalam

kasus ini perceraian tersebut sampai 1 tahun 8 bulan baru diproses di

Pengadilan Agama bangkalan.

Sebelum pihak penggugat melimpahkan perkaranya ke Pengadilan

(14)

6

kelurahan penggugat. Mulanya tergugat ingin menempuh jalan perdamaian,

tetapi penggugat bersikeras tidak mau dan tergugat tetap dalam keinginannya

untuk tidak bercerai sampai kapanpun. Oleh sebab itu, proses perceraian yang

hendak diajukan penggunggat terhambat, dan memakan waktu yang lama

hingga berlarut-larut dikarenakan dari pihak penggugat terkendala dengan

tidak adanya biaya untuk mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama.

Hal inilah yang mendasari penulis untuk melakukan sebuah

penelusuran secara ilmiah terkait dengan fenomena yang terjadi dalam

putusan tersebut. Perceraian bisa terjadi disebabkan dari persoalan yang

sepele yaitu karena faktor tempat tinggal. Penelusuran ilmiah tersebut akan

penulis laksanakan dalam wujud penelitian sebagai syarat akademik dengan

judul penelitian. ‘’Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan Pengadilan

Agama Bangkalan Nomor 0610/Pdt.G/2015/PA.Bkl Tentang Cerai Gugat

Karena Alasan Penentuan Tempat Tinggal”.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Melalui latar belakang tersebut, terdapat beberapa permasalahan

yang dapat peneliti identifikasi dalam penulisan penelitian ini, yaitu sebagai

berikut:

1. Proses terjadinya Putusan Pengadilan Agama Bangkalan Nomor

0610/Pdt.G/2015/PA.Bkl Tentang Cerai Gugat Karena Alasan Penentuan

(15)

7

2. Mekanisme Putusan Pengadilan Agama Bangkalan Nomor

0610/Pdt.G/2015/PA.Bkl Tentang Cerai Gugat Karena Alasan Penentuan

Tempat Tinggal.

3. Faktor-faktor yang melatar belakangi permasalahan cerai gugat dalam

Putusan Pengadilan Agama Bangkalan Nomor 0610/Pdt.G/2015/PA.Bkl

Tentang Cerai Gugat Karena Alasan Penentuan Tempat Tinggal.

4. Tinjauan analisis hukum Islam terhadap Putusan Pengadilan Agama

Bangkalan Nomor 0610/Pdt.G/2015/PA.Bkl Tentang Cerai Gugat Karena

Alasan Penentuan Tempat Tinggal.

5. Prosedur penjatuhan gugatan cerai dalam Putusan Pengadilan Agama

Bangkalan Nomor 0610/Pdt.G/2015/PA.Bkl Tentang Cerai Gugat Karena

Alasan Penentuan Tempat Tinggal.

Adapun batasan masalah yang menjadi fokus peneliti dalam

penelitian ini, yaitu peneliti akan mengkaji tentang :

1. Pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Agama Bangkalan

Nomor 0610/Pdt.G/2015/PA.Bkl Tentang Cerai Gugat Karena Alasan

Penentuan Tempat Tinggal.

2. Analisis hukum Islam dan hukum posistif terhadap Putusan Pengadilan

Agama Bangkalan Nomor 0610/Pdt.G/2015/PA.Bkl Tentang Cerai Gugat

(16)

8

C. Rumusan Masalah

Melalui latar belakang di atas maka rumusan masalah yang akan

peneliti kaji dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Agama

Bangkalan Nomor 0610/Pdt.G/2015/PA.Bkl Tentang Cerai Gugat Karena

Alasan Penentuan Tempat Tinggal?

2. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap Putusan Pengadilan Agama

Bangkalan Nomor 0610/Pdt.G/2015/PA.Bkl Tentang Cerai Gugat Karena

Alasan Penentuan Tempat Tinggal?

D. Kajian Pustaka

Setelah peneliti melakukan kajian pustaka, peneliti menjumpai

hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya yang mempunyai

sedikit relevansi dengan penelian yang sedang peneliti lakukan, yaitu sebagai

berikut:

1. Skripsi milik Eko Pratama Putra dengan judul ‘’Problematika Talak

diluar Pengadilan Bagi Masyarakat Di Wilayah Tiraraksa’’ dimana dalam

penelitian tersebut dijelaskan tentang perkawinan yang dilakukan secara

kekeluargaan yaitu setelah terjadinya perceraian maka mediasi penjatuhan

(17)

9

serta dilakukan diluar pengadilan karena ketika melakukan akad

pernikahan yaitu merupakan kawin sirri.6

Penelitian tersebut dengan penelitian yang sedang peneliti

lakukan, mempunyai sedikit kesamaan. Sedangkan yang membedakan

penelitian tersebut dengan penelitian yang peneliti lakukan, yaitu dalam

pembahasan penelitian ini peneliti lebih fokus pada penjatuhan gugat cerai

seorang isteri dimana perceraian berakhir sekitar 1 tahun 8 bulan tidak

diproses ke Pengadilan Agama dengan pertimbangan tidak mempunyai dana.

Dalam penelitian ini dianalisis berdasarkan hukum Islam.

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang peneliti kaji dalam penelitian

ini, maka penulisan penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Agama

Bangkalan Nomor 0610/Pdt.G/2015/PA.Bkl Tentang Cerai Gugat Karena

Alasan Penentuan Tempat Tinggal.

2. Untuk memahami dan menganalisis hukum Islam dalam Putusan

Pengadilan Agama Bangkalan Nomor 0610/Pdt.G/2015/PA.Bkl Tentang

Cerai Gugat Karena Alasan Penentuan Tempat Tinggal.

6

(18)

10

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Dalam penulisan penelitian ini, peneliti berharap hasil penelitian

ini dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara

praktis, sebagai berikut:

1. Teoritis

Secara teoritis, peneliti berharap hasil penelitian ini dapat

memberikan sumbangsih khazanah keilmuan, khususnya dalam studi

kasus analisis hukum Islam terhadap Putusan Pengadilan Agama

Bangkalan Nomor 0610/Pdt.G/2015/PA.Bkl Tentang Cerai Gugat Karena

Alasan Penentuan Tempat Tinggal dan penelitian ini dapat dijadikan

sebagai literatur dan referensi, baik oleh peneliti selanjutnya maupun bagi

pemerhati hukum Islam dalam memahami praktik gugat cerai.

2. Praktis

Secara praktis, peneliti berharap hasil penelitian ini dapat

memberikan manfaat dan berguna bagi hakim Pengadilan Agama,

Pegawai KUA dan masyarakat, khususnya dalam studi kasus analisis

hukum Islam terhadap Putusan Pengadilan Agama Bangkalan Nomor

0610/Pdt.G/2015/PA.Bkl Tentang Cerai Gugat Karena Alasan Penentuan

Tempat Tinggal.

G. Definisi Oprasional

Untuk mempermudah pembaca dalam memahami penulisan

(19)

11

macam, maka peneliti akan menjelaskan beberapa istilah yang digunakan

dalam penelitian ini, sebagai berikut:

1. Khulu’ adalah: melepaskan atau mengganti pakaian dari badan {pakaian

yang dipakai}), karena perempuan merupakan pakaian dari lelaki dan

sebaliknya lelaki merupakan pakaian bagi perempuan.

2. Prosedur Pengajuan Cerai Gugat di Pengadilan Agama Bangkalan adalah:

pertama penggugat membuat surat gugatan, kedua gugatan tersebut

diajukan kepada |Pengadilan Agama Bangkalan, ketiga mebayar biaya

perkara. Bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara cuma-cuma

(prodeo). Keempat pengggugat dan tergugat menghadiri persidangan.

3. Cerai Gugat Dalam Putusan Nomor 0610/Pdt.G/2015/PA.Bkl adalah:

Dalam studi kasus pada awal mulanya pernikahan penggugat dan tergugat

sangat harmonis dimana tergugat dan penggugat tinggal di rumah

penggugat tetapi ketika tahun 2013 pernikahan tersebut sering terjadi

cekcok antar penggugat dan tergugat dimana tergugat tidak kerasan

tinggal di rumah penggugat dan penggugat diajak tinggal di rumah

tergugat tetapi penggugat tidak mau karena penggugat anak tunggal

sehingga untuk meninggalkan orang tua sangatlah berat. Dengan

berjalannya waktu tergugat meninggalkan penggugat pergi ke rumah

orang tuanya selama 1 tahun 8 bulan dan tidak menceraikan penggugat

sehinggal penggugat mengajukan cerai gugat ke \Pengadilan Agama

Kabupaten Bangkalan. Sebuah penjatuhan cerai gugat dimana ketika

(20)

12

penggugat tidak mempunyai dana sehingga proses perceraian tersebut

tidak dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama selama 1 tahun 8

bulan dikarenakan faktor ekonomi dari penggugat.

H. Metode Penelitian

Adapun penulisan dan pembahasan skripsi ini penulis menggunakan

metode penelitian kualitatif, karena data yang dikemukakan bukan data

angka. Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan

untuk meneliti, peneliti adalah sebagai instumen kunci, teknik pengumpulan

data dilakukan secara gabungan, analisis data bersifat induktif, dan penelitian

kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.7

1. Data yang dikumpulkan

Berdasarkan judul dan rumusan masalah dalam penelitian ini,

maka data yang dikumpulkan adalah sebagaimana berikut:

a. Prosedur dalam melakukan penjatuhan cerai gugat dalam Putusan

Pengadilan Agama Bangkalan Nomor 0610/Pdt.G/2015/PA.Bkl

Tentang Cerai Gugat Karena Alasan Penentuan Tempat Tinggal.

b. Dampak positif dan negatif yang terjadi dalam Putusan Pengadilan

Agama Bangkalan Nomor 0610/Pdt.G/2015/PA.Bkl Tentang Cerai

Gugat Karena Alasan Penentuan Tempat Tinggal.

c. Pertimbangan hakim dalam putusan Nomor 0610/Pdt.G/2015/PA.Bkl

dimana dalam putusan tersebut diputuskan verstek.

7

(21)

13

2. Sumber Data

Agar memperoleh data yang kompleks dan komprehensif, serta

terdapat korelasi yang akurat sesuai dengan judul penelitian ini, maka

sumber data dalam penelitian ini di bagi dua, yaitu:

a. Sumber Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari

sumbernya, data primer yang dimaksud adalah:8

1) Pihak Suami Tergugat: yaitu seorang suami yang digugat cerai

oleh seorang isteri dan meninggalkan isteri dari rumah selama 1

tahun 8 bulan tanpa melakukan proses perceraian di Pengadilan

Agama.

2) Pihak Isteri Penggugat: Adalah seorang isteri yang ditinggalkan

oleh seorang suami dari rumah selama 1 tahun 8 bulan dan tanpa

melakukan perceraian tersebut di depan sidang sehingga yang

melakukan cerai gugat adalah seoarng isteri dimana perkara

tersebut di lakukan di depan sidang Pengadilan Agama Bangkalan.

3) Hakim: Adalah yang memutus atau menyidang suatu perkara

dalam persidangan di pengadilan.

4) Putusan Pengadilan Agama Bangkalan Nomor

0610/Pdt.G/2015/PA.Bkl.

8

(22)

14

b. Sumber Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang dibutuhkan sebagai

pendukung data primer. Data ini bersumber dari referensi dan literatur

yang mempunyai korelasi dengan judul dan pembahasan penelitian ini

seperti buku, catatan, dan dokumen.

3. Teknik Pengumpulan Data

Adapun untuk memperoleh data yang akurat dan dibutuhkan oleh

peneliti sesuai dengan judul penelitian, maka dalam pengumpulan data

peneliti menggunakan beberapa metode, sebagaimana berikut:

a. Interview

Interview adalah sebuah dialog (wawancara) yang dilakukan

oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara.9

Metode wawancara digunakan oleh peneliti dalam pengumpulan data,

yaitu untuk memperoleh data mengenai Putusan Pengadilan Agama

Bangkalan Nomor 0610/Pdt.G/2015/PA.Bkl Tentang Cerai Gugat

Karena Alasan Penentuan Tempat Tinggal.

Teknik wawancara digunakan peneliti untuk menanyai

langsung mengenai sejarah dan latar belakang terjadinya penjatuhan

cerai gugat dalam Putusan Pengadilan Agama Bangkalan Nomor

0610/Pdt.G/2015/PA.Bkl Tentang Cerai Gugat Karena Alassan

Penentuan Tempat Tinggal. Dalam hal ini pihak yang diwawancarai

9

(23)

15

adalah suami dan isteri, hakim, panitera, serta pihak-pihak yang

terelibat dalam penelitian ini.

b. Dokumentasi

Menurut Suharsimi Arikunto, dokumentasi berasal dari kata

dokumen, yang artinya barang-barang tertulis. Didalam

melaksanakan metode dokumentasi, peneliti menyelidiki

benda-benda tertulis seperti buku-buku, dokumen peraturan-peraturan,

notulen rapat, catatan harian, dan sebagainya.10 Adapun dokumentasi

dalam penelitian ini yaitu berupa Putusan Pengadilan Agama

Bangkalan Nomor 0610/Pdt.G/2015/PA.Bkl Tentang Cerai Gugat

Karena Alasan Penentuan Tempat Tinggal.

4. Teknik Pengolahan Data

Untuk mensistematisasikan data yang telah dikumpulkan dan

mempermudah peneliti dalam melakukan analisis data, maka peneliti

mengolah data tersebut melalui beberapa teknik, dalam hal ini data yang

diolah merupakan data yang telah terkumpul dari beberapa sumber adalah

sebagaimana berikut:11

a. Editing, yaitu mengedit data-data yang sudah dikumpulkan.

Teknik ini digunakan oleh peneliti untuk memeriksa atau

mengecek sumber data yang diperoleh melalui teknik

10

Ibid., 125. 11

(24)

16

pengumpulan data, dan memperbaikinya apabila masih terdapat

hal-hal yang salah.

b. Organizing, yaitu mengorganisasikan atau mensistematisasikan

sumber data. Melalui teknik ini, peneliti mengelompokkan

data-data yang telah dikumpulkan dan disesuaikan dengan pembahasan

yang telah direncanakan sebelumnya mengenai Putusan

Pengadilan Agama Bangkalan Nomor 0610/Pdt.G/2015/PA.Bkl

Tentang Cerai Gugat Karena Alasan Penentuan Tempat Tinggal.

5. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun data secara

sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, cacatan lapangan,

dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya

dapat diinformasikan ke orang lain.12

Untuk menganalisa data-data yang telah dikumpulkan secara

keseluruahan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode

deskriptif analisis yaitu peneliti mendeskriptifkan dan memaparkan data

yang diperoleh dilapangan mengenai Putusan Pengadilan Agama

Bangkalan Nomor 0610/Pdt.G/2015/PA.Bkl Tentang Cerai Gugat Karena

Alasan Penentuan Tempat Tinggal. Lebih lanjut, digunakan pola pikir

deduktif, yaitu mengemukakan data yang besifat khusus mengenai

12

(25)

17

pertimbangan hakim dalam Putusan. Kemudian dianalisa dengan paparan

yang bersifat umum sesuai dengan anlisis tinjauan hukum Islam

I. Sistematika Pembahasan

Agar lebih mudah memahami alur pemikiran dalam skripsi ini, maka

penulis membagi skripsi ini menjadi lima bab, yang saling berkaitan antara

bab satu dengan bab yang lainnya. Dari masing-masing diuraikan lagi

menjadi beberapa sub bab yang sesuai dengan judul babnya. Adapun

sistematika pembahasan dalam skripsi ini selengkapnya adalah sebagai

berikut :

Bab kesatu : Merupakan pendahuluan, membahas latar belakang

masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka,

tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metodologi

penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua : Merupakan bab yang bersifat teoritis, berupa tinjauan

umum tentang Pengertian Khulu’ (Cerai Gugat) dalam Hukum Islam, Dasar

Hukum Khulu’ (Cerai Gugat), Rukun Dan Syarat Khulu’ (Cerai Gugat),

Macam-Macam Khulu’ (Cerai Gugat), Persaksian Khulu’ (Cerai Gugat),

Hukum Penjatuhan Khulu’ (Cerai Gugat), Hikmah Khulu’ (Cerai Gugat).

Bab ketiga : Merupakan bab yang menguraikan data hasil penelitian,

berisi tentang deskripsi pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan

Agama Bangkalan Nomor 0610/Pdt.G/2015/PA.Bkl Tentang Cerai Gugat

(26)

18

Bab keempat : Merupakan bab yang membahas analisis data. Dalam

bab ini diadakan analisis terhadap data yang berhasil dikumpulkan dalam

rangka mencari jawaban terhadap pertanyaan, sebagaimana yang dimuat

dalam rumusan masalah pada bab satu.

Bab kelima : Merupakan bab penutup, berisi tentang kesimpulan dan

saran. Kesimpulan tersebut diperoleh setelah mengadakan analisis terhadap

data yang diperoleh, sebagaimana diuraikan pada bab sebelumnya, dan

(27)

BAB II

CERAI GUGAT DALAM HUKUM ISLAM

A. Cerai Gugat Menurut Hukum Islam

1. Pengertian Khulu’

Khulu’ berasal dari kata Khulu’ al-stawb yang berarti

melepaskan atau mengganti pakaian dari badan (pakaian yang dipakai),1

karena perempuan merupakan pakaian dari lelaki dan sebaliknya lelaki

merupakan pakaian bagi perempuan mereka dan ikutilah apa yang telah

ditetapkan Allah untukmu, dan dinamakan juga dengan tebusan, yaitu isteri

menebus dirinya dari suaminya dengan mengembalikan apa yang pernah

diterimanya (mahar).2 Isteri memisahkan diri dari suaminya dengan

memberikan ganti rugi. Lalu kata Khulu’ digunakan untuk istilah wanita

yang meminta kepada suaminya untuk melepas dirinya dari ikatan

pernikahan. Sedangkan menurut pengertian syari’at, para ulama mengatakan

dalam banyak defenisi, tetapi semuanya kembali kepada pengertian,

bahwasanya Khulu’ adalah terjadinya perpisahan (perceraian) antara

sepasang suami-isteri dengan keridhaan dari keduanya dan dengan

pembayaran diserahkan isteri kepada suaminya.3

1

A. Rahman I Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Syari’ah), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 251.

2

Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), 181.

3

(28)

20

Khulu’ bukanlah talak dalam arti yang khusus atau faskh atau

semacam sumpah, tetapi Khulu’ adalah semacam perceraian yang mempunyai

unsur-unsur talak, fasakh dan sumpah. Dikatakan mempunyai unsur talak

karena suamilah yang menentukan jatuh tidaknya Khulu’, isteri hanyalah

orang yang mengajukan permohonan kepada suaminya agar suaminya

mengKhulu’nya.

Khulu’ merupakan penyerahan harta yang dilakukan oleh isteri

untuk menebus dirinya dari ikatan suaminya.4 Khulu’ disebut juga dengan

talak tebus yang terjadi atas persetujuan suami isteri dengan jatuhnya talak

satu dari suami kepada isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak isteri

yang menginginkan cerai dengan cara itu. Penebusan atau pengganti yang

diberikan isteri kepada suami disebut juga dengan ‘Iwadl.5

Disisi lain Khulu’ juga mengandung unsur-unsur talak karena

suami yang menentukan jatuh dan tidaknya Khulu’. Istri hanya mengajukan

permohonan kepada suami agar suaminya mengKhulu’nya, sebagaimana

dalam talak, suami adalah pihak yang mempunyai otoritas penuh dalam

menentukan terjadi atau tidaknya Khulu’. Khulu’ juga mengandung unsur

fasakh, karena permohonan Khulu’ dari pihak istri kepada suami adalah

disebabkan timbulnya rasa kurang senang, tidak suka atau timbul rasa benci

4

Muhammad Jawad Mughniyah, Taudhi>hul Ahka>m Min Bulu>ghul Mara>m, (Makkah:Maktabah al- Asadi, 1423 H), 456.

5

(29)

21

pada istri terhadap suaminya, sehingga istri punya keinginan terhadap

terjadinya perceraian dengan suaminya.

2. Dasar dan Status Hukum Khulu’

Permasalahan perceraian atau talak dalam hukum Islam

dibolehkan dan diatur dalam dua sumber hukum Islam, yakni menurut

undang-undang Kompilasi Hukum Islam secara tersirat, dasar hukum

perceraian juga terdapat dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam di

Indonesia. Perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas

putusan Pengadilan, al-Qur’an dan Hadist. Hal ini dapat dilihat pada sumber

-sumber dasar hukum berikut ini, seperti dalam surat Al- Baqarah ayat 231

disebutkan bahwa:

اَذِإَو

ُُمُتْقلَط

ءاَسنلا

َُنْغَلَ بَ ف

ُنُهَلَجَأ

ُنُوُكِسْمَأَف

ُ فوُرْعَِِ

ُْوَأ

ُنُوُحِرَس

ُ فوُرْعَِِ

َُلَو

ُنُوُكِسُُْ

ُ اراَرِض

ُْاوُدَتْعَ تل

نَمَو

ُْلَعْفَ ي

َُكِلَذ

ُْدَقَ ف

َُمَلَظ

ُُهَسْفَ ن

َُلَو

ُْاَوُذِختَ ت

ُِتاَيآ

ُِهّللا

ُ اوُزُ

ُْاوُرُآْذاَو

َُتَمْعِن

ُِهّللا

ُْمُكْيَلَع

اَمَو

َُلَزنَأ

ُْمُكْيَلَع

َُنِم

ُِباَتِكْلا

ُِةَمْكِْْاَو

مُكُظِعَي

ُِهِب

ُْاوُق تاَو

َُهّللا

ُْاوُمَلْعاَو

ُنَأ

َُهّللا

ُِلُكِب

ُ ءْيَش

ُ ميِلَع

(30)

22

Hadist Rasulullah SAW bahwa talak atau perceraian adalah

perbuatan yang halal yang paling dibenci oleh Allah seperti hadis Nabi

dibawah ini yang berbunyi.6

نع

نبا

رمع

نا

لوسر

ها

ىّلص

ها

هيلع

ملسو

لاق

:

ضغبا

لاْا

ىإ

ها

ُّزع

ُّلجو

قاطلا

Artinya : ‘’Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda : ‚Perbuatan

halal yang sangat dibenci oleh Allah Azza wa Jalla adalah talak”.

Secara tidak langsung, Islam membolehkan perceraian namun di

sisi lain juga mengharapkan agar proses perceraian tidak dilakukan oleh

pasangan suami isteri. Hal ini seperti tersirat dalam tata aturan Islam

mengenai proses perceraian. Pada saat pasangan akan melakukan perceraian

atau dalam proses perselisihan pasangan suami-isteri, Islam mengajarkan agar

dikirim hakam yang bertugas untuk mendamaikan keduanya. Dengan

demikian, Islam lebih menganjurkan untuk melakukan perbaikan hubungan

suami-isteri dari pada memisahkan keduanya. Perihal anjuran penunjukan

hakam untuk mendamaikan perselisihan antara suami-isteri dijelaskan oleh

Allah dalam firman-Nya surat an-Nisa ayat 35 berikut ini:

ُْنِإو

ُْمُتْفِخ

َُقاَقِش

اَمِهِنْيَ ب

اَف

ُْاوُثَعْ ب

ُ امَكَح

ُْنِم

ُِهِلَْأ

ُ امَكَحَو

ُْنِم

اَهِلَْأ

نِإ

اَديِرُي

ُ احَاْصِإ

ُِقِفَوُ ي

ُُهّللا

اَمُهَ نْ يَ ب

ُنِإ

َُهّللا

ُ اميِلَع

ُ ارِبَخ

Artinya :’’Dan jika kamu mengkhawatirkan ada pengkengketaan antara kedunya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika dari kedua orang hakam bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu, sesungguhnya Allah maha Mengetahui lagi Maha Mengenal’’. (Q.S. An- Nisa: 35).7

6

Abi Daud Sulaiman, Sunan Abi Daud, (Beirut: Dar al-Kutub al Ilmiyah, 1996), 34 7

(31)

23

Dalam hal ini ditunjukkan pula bahwa Islam sangat berkeinginan

agar kehidupan rumah tangga itu tentram dan terhindar dari keretakan,

bahkan diharapkan dapat mencapai suasana pergaulan yang baik dan saling

mencintai. dan wanita yang menuntut cerai dari suaminya hanya karena

menginginkan kehidupan yang menurut anggapannya lebih baik, dia berdosa

dan diharamkan mencium bau surga kelak di akhirat. Karena perkawinan

pada hakekatnya merupakan salah satu anugerah Ilahi yang patut disyukuri.

Dan dengan bercerai berarti tidak mensyukuri anugerah tersebut (kufur

nikmat). Dan kufur itu tentu dilarang agama dan tidak halal dilakukan kecuali

dengan sangat terpaksa (darurat).8

Perceraian merupakan alternatif terakhir sebagai ‘’pintu darurat’’

yang boleh ditempuh manakala bahtera kehidupan rumah tangga tidak dapat

lagi dipertahankan keutuhan dan kesinambungannya. Sifatnya sebagai

alternatif terakhir, Islam menunjukkan agar sebelum terjadinya perceraian,

ditempuh usaha-usaha perdamaian antara kedua belah pihak, karena ikatan

perkawinan adalah ikatan yang paling suci dan kokoh.

Dasar hukum perceraian dapat ditemui dalam Al Qur'an maupun

dalam Hadist. Dasar hukum perceraian dalam Al Qur'an terdapat dalam Surat

Al Baqarah ayat 231yang berbunyi:

ُ فوُرْعَُِِنُوُحِرَسُْوَأُ فوُرْعَُِِنُوُكِسْمَأَفُنُهَلَجَأَُنْغَلَ بَ فَُءاَسِنلاُُمُتْقلَطُاَذِإَو

ۚ

Artinya : ‘’ Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir

iddahnya, maka rujukilah dengan cara yang ma'ruf (pula)”.

8

(32)

24

Dalam ayat 232 masih dalam surat yang sama, yaitu dalam Surah

Al Baqarah disebutkan pula mengenai perceraian, yang berbunyi:

ُُوُلُضْعَ تُ َاَفُنُهَلَجَأَُنْغَلَ بَ فَُءاَسِنلاُُمُتْقلَطُاَذِإَو

ُ ِفوُرْعَمْلاِبُْمُهَ نْ يَ بُاْوَضاَرَ تُاَذِإُنُهَجاَوْزَأَُنْحِكْنَ يُْنَأُن

ۚ

Artinya : ‘’Dan apabila kamu mentalak istri-istrimu lalu mereka sampai kepada waktu yang mereka tunggu, maka janganlah kamu (hai para wali) menghambat mereka dari menikahi kembali bekas-bekas suami mereka (yang telah menceraikannya) apabila mereka telah ridlo-meridloi di antara mereka secara ma’ruf”.

Asbabul nuzul ayat ini adalah mengenai kejadian yang dialami

oleh sahabat Nabi yang bernama Ma’qil. Pada suatu ketika saudara

perempuan Ma’qil bercerai dari suaminya, setelah habis masa iddahnya

mereka ingin rujuk kembali, Ma’qil melarang saudara perempuannya

tersebut, maka turunlah ayat tersebut.9 Dasar hukum perceraian juga dapat

ditemui dalam Surat At-Talaq ayat 1 yang berbunyi:

َُةدِعْلاُاوُصْحَأَوُنِِِدِعِلُنُوُقِلَطَفَُءاَسِنلاُُمُتْقلَطُاَذِإُ ِِنلاُاَه يَأُاَي

ۚ

Artinya : ‘’Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istri kamu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya”.

Mengenai hukum Khulu’, para ulama ahli fiqih berbeda pendapat

mengenai hukumnya, hal ini tentunya sesuai dengan alasan

masing-masing, yaitu:

1. Mubah (Diperbolehkan).

Ketentuannya, wanita sudah benci tinggal bersama

suaminya karena kebencian dan takut tidak dapat menunaikan

9

(33)

25

hak suaminya tersebut dan tidak dapat menegakkan batasan-batasan

Allah dalam ketaatan kepadanya, Al-Hafizh Ibnu Hajar memberikan

ketentuan dalam masalah Khulu’ ini dengan pernyataannya,

bahwasanya Khulu’, ialah seorang suami menceraikan isterinya

dengan penyerahan pembayaran ganti kepada suami. Ini dilarang, kecuali

jika keduanya atau salah satunya merasa khawatir tidak dapat

melaksanakan apa yang diperintahkan Allah.

Hal ini bisa muncul karena adanya ketidaksukaan dalam pergaulan

rumah tangga, bisa jadi karena jeleknya akhlak atau bentuk fisiknya.

Demikian juga larangan ini hilang, kecuali jika keduanya membutuhkan

penceraian, karena khawatir dosa yang menyebabkan timbulnya

al-bainunah al-kubra (Perceraian besar atau talak tiga).10 Syaikh Al-Bassam

mengatakan, diperbolehkan Khulu’ (gugat cerai) bagi wanita, apabila

sang isteri membenci akhlak suaminya atau khawatir berbuat dosa karena

tidak dapat menunaikan haknya. Apabila sang suami mencintainya, maka

disunnahkan bagi sang isteri untuk bersabar dan tidak memilih

perceraian.11

2. Haram.

Khulu’ bisa haram hukumnya apabila dilakukan dalam dua kondisi

berikut ini :

10

Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, Juz 9, (Berut : Dal al-Fikri,1997), 318. 11

(34)

26

a). Dari Sisi Suami.

Apabila suami menyusahkan isteri dan memutus hubungan

komunikasi dengannya, atau dengan sengaja tidak memberikan

hak-haknya dan sejenisnya agar sang isteri membayar tebusan kepadanya

dengan jalan gugatan cerai, maka Khulu’ itu batil, dan tebusannya

dikembalikan kepada wanita. Sedangkan status wanita itu tetap seperti

asalnya jika Khulu’ tidak dilakukan dengan lafazh thalak. Apabila suami

menceraikannya, maka ia tidak memiliki hak mengambil tebusan

tersebut. Namun, bila isteri berzina lalu suami membuatnya susah agar

isteri tersebut membayar terbusan dengan Khulu’, maka diperbolehkan

berdasarkan ayat di atas”.12

b). Dari Sisi Isteri

Apabila suami sengaja menyakiti dan tidak memberikan hak-hak

isteri dengan maksud agar isteri mengajukan Khulu’, maka hal ini juga

haram hukumnya. Apabila Khulu’ terjadi, suami tidak berhak

mendapatkan dan mengambil ‘Iwadl (uang gantinya) karena maksudnya

saja sudah salah dan berdosa.

Namun, apabila suami berbuat seperti di atas lantaran

isteri berbuat zina misalnya, maka apa yang dilakukan suami

boleh-boleh saja dan ia berhak mengambil ‘Iwadl tersebut. Apabila seorang

isteri meminta cerai padahal hubungan rumah tangganya baik dan tidak

terjadi perselisihan maupun pertengkaran di antara pasangan suami isteri

12

(35)

27

tersebut. Serta tidak ada alasan syar’i yang membenarkan adanya Khulu’,

maka ini dilarang, berdasarkan sabda Rasulullah : ‘’Semua wanita yang

minta cerai (gugat cerai) kepada suaminya tanpa alasan, maka haram

baginya aroma surga’’.13

3. Mustahabbah (Sunnah)

Khulu’ juga bisa sunnah hukumnya, apabila suami tidak

melaksanakan hak-hak Allah, misalnya suami sudah tidak pernah

melaksanakan shalat wajib, puasa Ramadhan atau yang lainnya, atau

apabila si suami melakukan dosa besar, seperti berzina, kecanduan

obat-obat terlarang dan lainnya, maka disunnahkan istri menggugat cerai

suami melalui jalan Khulu’. Demikian menurut madzhab Ahmad

bin Hanbal.

4. Wajib

Terkadang Khulu’ hukumnya menjadi wajib pada sebagiaan

keadaan. Misalnya terhadap orang yang tidak pernah melakukan shalat,

padahal telah diingatkan. Demikian juga seandainya sang suami memiliki

keyakinan atau perbuatan yang dapat menyebabkan keyakinan isteri

keluar dari Islam dan menjadikannya murtad. Wanita tidak mampu

membuktikannya di hadapan hakim peradilan untuk dihukumi berpisah

atau mampu membuktikannya, namun hakim peradilan tidak

menghukuminya murtad dan tidak juga kewajiban berpisah, maka dalam

keadaan seperti itu, seorang wanita wajib untuk meminta Khulu’ dari

13

(36)

28

suaminya walaupun harus menyerahkan harta. Karena seorang muslimah

tidak patut menjadi isteri seorang yang memiliki keyakinan dan

perbuatan kufur.14

3. Persyaratan dan Akibat Hukum Khulu’

Menurut ulama fiqih Khulu’ dapat dipandang sah dan jatuh,

apabila memenuhi persyaratan dan rukun-rukunnya. Termasuk rukun

Khulu’ ada empat, yaitu:(1) al-mukhala’(suami,yang diKhulu’),(2)

al-mukhtali'ah (isteri, yang mengKhulu’), (3) shigat Khulu’ (4) ‘Iwadl, atau

uang tebusan, uang ganti.

1. Al-mukhala (yang diKhulu’ yaitu suami).

Para ulama sepakat bahwasannya orang yang diKhulu’ atau suami

hendaknya orang yang mempunyai hak untuk mentalak. Dalam hal ini ada

kaidah yang mengatakan: ‘’man jaza thalakuhu, jaza Khulu’uh (Barang

siapa yang boleh mentalak, boleh juga untuk mengKhulu’nya)’’. Syarat

suami yang menerima Khulu’ adalah yang baligh, berakal dan mampu

membuat pilihan (tidak dipaksa). Dengan demikian maka tidak sah

Khulu’ seorang kanak-kanak, orang gila dan orang yang dipaksa.

Adapun orang yang muflis dan safih (orang yang tidak boleh membuat

keputusan sendiri dengan baik mengenai hartanya) maka Khulu’ dari

keduanya ini adalah sah.

Wajib bagi isteri membayar ‘Iwadl, dan diserahkan kepada wali

bagi suami yang safih, kerana ia tidak dapat mengurus harta tersebut

14

(37)

29

kecuali setelah mendapat izin dari walinya, maka boleh diserahkan

kepada suami yang safih tersebut. Jika isteri menyerahkan ‘Iwadl itu

kepada suami yang safih tanpa sepengetahuan wali dan harta itu lenyap,

maka wajib bagi isteri membayar mahar mitsil. Mahar mitsil ialah mahar

yang sebanding dengan mahar perempuan-perempuan dalam keluarga

isteri yang terdekat misalnya adik, kakak dan jika tidak ada, maka

mengikuti jumlah mahar yang menjadi kebiasaan bagi perempuan di

daerah itu.

Misalnya, jika mahar bagi kakak atau adik dalam keluarga isteri

sebesar satu Juta Rupiah, maka isteri wajib membayar sebanyak jumlah

tersebut kepada wali suaminya.

2. Al-mukhtaliah (wanita yang mengKhulu’, yakni isteri).

Bagi isteri yang hendak mengKhulu’ disyaratkan hal-hal berikut:

1) Hendaknya dia itu adalah isterinya yang sah secara syar'i. Hal ini

karena Khulu’ bertujuan untuk mengkahiri ikatan pernikahan,

maksudnya posisinya sebagai isteri. Ikatan ini baru dapat

pudar manakala dihasilkan dari pernikahan yang sah. Apabila dari

pernikahan yang tidak sah, maka isteri tidak ada hak untuk

mengajukan Khulu’. Adapun mengenal kebolehan wanita yang

sedang dalam masa iddah mengajukan Khulu’, hal ini dapat

ditinjau dalam dua keadaan:

a. Apabila wanita tersebut sedang dalam masa iddah karena talak raj’i,

(38)

30

lantaran wanita yang sedang dalam masa iddah talak raj’i masih

dipandang sebagai isterinya yang sah dan karenanya, ia

diperbolehkan untuk mengajukan Khulu’ dengan jalan membayar

sejumlah ‘Iwadl.

b. Apabila wanita tersebut sedang dalam masa iddah talak ba’in, maka

tidak diperbolehkan mengajukan Khulu’. Apabila tetap

mengajukan, maka Khulu’nya menjadi tidak sah. Hal ini

disebabkan dia sudah dipandang sebagai orang lain dan sudah

dipandang tidak ada lagi ikatan pernikahan. Karena tidak ada lagi

ikatan pernikahan, maka tidak dapat mengajukan Khulu’ dan

Khulu’ hanya terjadi bagi mereka yang masih terikat

dalam ikatan suami isteri. Demikian menurut madzhab

Syafi'iyyah dan Hanabilah. Sedangkan menurut Hanafiyyah dan

Malikiyyah, wanita yang sedang dalam masa iddah talak Ba'in

diperbolehkan untuk mengajukan Khulu’. Namun, pendapat

pertama tentu lebih kuat dan lebih mendekati kepada kebenaran.

2) Isteri yang mengajukan Khulu’ hendaknya orang yang

dipandang sah untuk melaksanakan tasharruf (penggunaan) harta

juga dipandang sah untuk berderma. Hal ini dengan melihat

wanita tersebut sudah baligah, berakal dan dapat dipercaya.

Apabila wanita tersebut belum baligh atau orang yang tidak sehat

(39)

31

maupun anak kecil bukan termasuk orang yang dipandang sah

untuk melakukan derma dan menggunakan hartanya.

3. ‘Iwadl (Uang ganti)

‘Iwadl adalah sejumlah harta yang diambil oleh suami dari

isterinya karena si isteri mengajukan Khulu’. Syarat dari ‘‘Iwadl ini

hendaknya harta tersebut layak untuk dijadikan sebagai mas kawin.

Semua hal yang dapat dijadikan mas kawin, maka dapat pula

dijadikan sebagai ‘Iwadl dalam Khulu’ (ma jaza an yakuna mahran,

jaza an yakuna badalal Khulu’). Dalam hal ‘Iwadlpara ulama berbeda

pendapat. Menurut Hanafiyyah dan Malikiyyah, Khulu’ sah meskipun

tidak memakai ‘Iwadl misalnya si isteri mengatakan: ‘’Khulu’lah

saya ini’’, lalu si suami mengatakan: ’’Saya telah mengKhulu’

kamu’’, tanpa menyebutkan adanya ‘Iwadl. Di antara alasannya

adalah:

1) Khulu’ adalah pemutus pernikahan, karenanya boleh-boleh saja

tanpa ‘Iwadlsebagaimana talak yang tidak memakai ‘‘Iwadl.

2) Pada dasarnya, Khulu’ ini terjadi lantaran si isteri sudah sangat

membenci suaminya lantaran perbuatan suaminya itu sehingga ia

memintanya untuk menceraikannya. Ketika si isteri meminta untuk

diKhulu’, lalu si suami mengabulkannya, maka hal demikian

sah-sah saja meskipun tidak memakai ‘Iwadl. Sedangkan menurut

(40)

32

tidak sah kecuali harus memakai ‘Iwadl. Di antara dalil dan

alasannya adalah:

1) Dalam firmanNya, Allah mengaitkan Khulu’ ini dengan

tebusan sebagaimana firmanNya yang terdapat dalam surat

al-Baqarah ayat 229: ‘’Maka tidak ada dosa”. Ini menunjukkan

bahwa Khulu’ itu harus memakai ‘‘Iwadl.

2) Ketika isteri dari Tsabit bin Qais hendak melakukan Khulu’,

Rasulullah saw memintanya untuk mengembalikan kebunnya. Ini

sebagai syarat bahwa Khulu’ baru sah manakala memakai ‘Iwadl

dari kedua pendapat di atas, maka nampak jelas bahwa Khulu’

hanya sah apabila memakai ‘Iwadl. bayaran ganti yang diambil

oleh suami daripada isteri sebagai tebusannya dalam menuntut

Khulu’. Mengenai hal ini, Malik, Syafi’i, dan segolongan fuqoha

berpendapat bahwa seorang isteri boleh melakukan Khulu’

dengan memberikan harta yang lebih banyak dari mahar yang

diterimanya dari suaminya jika kedurhakaan datang dari pihaknya,

atau memberikan yang sebanding dengan mahar atau lebih

sedikit.15

Sebagian fuqoha berpendapat bahwa suami tidak

boleh mengambil lebih banyak dari mas kawin yang diberikan

kepada isterinya sesuai dengan lahir hadits Tsabit. Atau dalam

bentuk harta atau uang yang nilainya sama atau lebih dari mahar

15

(41)

33

yang diberikan saat akad nikah. Oleh itu setiap apa yang bisa

dijadikan mahar, maka boleh dijadikan sebagai bayaran ganti

rugi atau tebusan dalam Khulu’. Adapun sebagai syarat ‘Iwadl ini

yaitu:

1. Hendaklah ia berharga atau bernilai menurut pandangan syara’.

2. Hendaklah harta itu diketahui atau dimaklumi.

3. Hendaklah harta itu boleh diserahkan kepada orang lain.

4. Dapat dimiliki sepenuhnya.

Adapun mengenai sifat harta pengganti, Syafi’ dan Abu

Hanifah mensyaratkan diketahuinya sifat dan wujud harta

tersebut. Sedangkan Malik membolehkan harta yang tidak

diketahui wujud dan kadarnya serta harta yang belum ada,

seperti hewan yang lepas atau lari, buah yang belum

layak dipetik (panen), dan hamba yang tidak diketahui

sifat-sifatnya. Fuqoha yang menyamakan harta pengganti dalam Khulu’

dengan jual beli mengharuskan adanya syarat-syarat seperti jual

beli dan nilai tukarnya.16

4. Shigat Khulu’

Shigat Khulu’ maksudnya adalah kata-kata yang harus diucapkan

sehingga terjadinya akad Khulu’. Shigat ini mencakup dua hal,

yaitu ijab dari salah satu pihak dan qabul dari pihak lainnya.

Dengan demikian, Shigat Khulu’ ini adalah kata-kata yang dapat

16

(42)

34

digunakan sebagai ijab qabul dalam Khulu’. Seluruh imam mazhab

sepakat bahwa pengucapan Khulu’ harus menggunakan kata-kata

yang jelas, berupa kata thalaq, Khulu’, faskh, mufada’ah

(tebusan) ataupun dengan lafadz kinayah yang jelas semisal ’’ saya lepas

dan jauhkan engkau dari sisiku’’. Atau menurut Imam Hanafi dan

Imam Syafii boleh dilakukan dengan mengucapkan akad seperti akad

dalam jual beli.17 Pada dasarnya, Shigat ini harus dengan kata-kata.

Namun, untuk kondisi yang tidak memungkinkan, seperti karena

bisu misalnya, maka shigatnya boleh dengan isyarat yang dapat

dipahami.

4. Kedudukan dan Ketentuan Khulu’

1. Kedudukan Khulu’

Syariat Islam menjadikan Khulu’ sebagai alternatif

penyelesaian konflik rumah tangga, jika konflik tidak bisa di

selesaikan dengan baik. Lalau bagaimana status hukum Khulu’ bila

telah di tetapkan, apakah ia talak atau fasakh. Dalam masalah

ini, para ulama terbagi menjadi tiga pendapat. Pendapat pertama,

Jumhur fuqoha berpendapat bahwa khulu adalah talak ba’in, karena

apabila suami dapat merujuk istrinya pada masa iddah,

maka penebusannya itu tidak akan berarti lagi. pendapat ini

dikemukakan pula oleh Malik. Pendapat kedua, Abu

Hanifah menyamakan Khulu’ dengan talak dan fasakh

17

(43)

35

secara bersamaan sehingga menjaadi talak raj’i. Pendapat ketiga

imam Syafi’i berpendapat bahwa Khulu’ adalah fasakh , pendapat ini

juga dikemukakan Ahmad dan Dawud dan sahabat Ibnu Abbas

r.a. Diriwayatkan pula dari Syaf’i bahwa Khulu’ itu adalah

kata-kata sindiran. Jadi, jika dengan kata-kata-kata-kata sindiran itu suami

menghendaki talak, maka talakpun jadi, dan jika tidak

maka menjadi fasakh. Tetapi dalam dalam pendapat barunya

(al-qaul al-jadid) ia menyatakan bahwa Khulu’ adalah talak.18

Abu Tsaur berpendapat bahwa apabila Khulu’ tidak

menggunakan kata-kata talak, maka suami tidak dapat

merujuk istrinya, sedangkan apabila Khulu’ tersebut menggunakan

kata-kata talak, maka suami dapat merujuk istrinya. Fuqaha yang

menganggap Khulu’ sebagai talak mengemukakan alasan, bahwa

fasakh itu tidak lain merupakan perkara yang menjadikan

suami sebagai pihak yang kuat dalam pemutusan ikatan

perkawinan tetapi tidak berasal dari kehendaknya. Sedangkan

Khulu’ ini berpangkal pada kehendak, oleh karenya Khulu’

itu bukanfasakh.19

Adapun fuqaha yang tidak menganggap Khulu’ sebagai

talak mengemukakan alasan bahwa dalam Al-Qur’an mula-mula

Allah menyebutkan tentang talak: Artinya: ‚Talak (yang dapat

dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang

18

Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum., (Jakarta: Perindo, 2006), 178. 19

(44)

36

ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi

kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan

kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan

dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir

bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan

hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran

yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah

hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa

yang melanggar hukum - hukum Allah mereka Itulah orang-orang

yang zalim.” (Q.S. al-Baqarah: 290).

Jadi jelas bahwa Khulu’ adalah fasakh, bukan talak,

Jika seorang isteri telah menebus dirinya dan dicerai oleh

suaminya. Maka ia berkuasa penuh atas dirinya sendiri, sehingga

suaminya tidak berhak untuk rujuk kepadanya, kecuali dengan

ridhanya dan perpecahan tidak dianggap sebagai talak

meskipun dijatuhkan dengan redaksi talak. Namun ia adalah

perusakan akad nikah demi kemaslahatan isteri dengan balasan

menebus dirinya kepada suaminya. Sementara itu, telah sah

berdasarkan nash (ayat Al-Qur-an atau Al-Hadits) dan ijma’

(kesepatakan) bahwasanya tidak sah istilah rujuk dalam

Khulu’. Dan, sudah sah berdasar sunnah Nabi saw dan

pendapat para shahabat bahwa iddah untuk Khulu’ hanya satu

(45)

37

bahwa boleh melakukan Khulu’ setelah talak kedua dan talak

ketiga. Ini jelas sekali menunjukkan bahwa Khulu’ bukanlah talak.

Hal demikian tidak dikhususkan bagi wanita yang telah

ditalak dua kali, karena hal ini ia mencakup isteri yang dicerai dua kali.

Tidak boleh dhamir (kata ganti). Itu kembali kepada pelaku, yang tidak

disebutkan dalam ayat di atas dan meninggalkan pelaku yang

disebutkan dengan jelas akan tetapi mungkin dikhususkan bagi pelaku

yang pernah disebutkan sebelumnya atau meliputi juga selain yang

sudah disebutkan sebelumnya. Ayat Al-Qur’an ini meliputi

perempuan yang dicerai setelah Khulu’ dan setelah dicerai, dua

kali secara qath’i (pasti) karena dialah yang disebutkan dalam ayat di

atas. Maka ia (wanita yang di Khulu’) harus masuk ke dalam

kandungan lafazh ayat tersebut.

Jika Khulu’ dipandang sebagai talak, maka jumlah talak

suami menjadi empat, sehingga talak yang tidak halal lagi kecuali

menikah dengan suami yang lain adalah talak yang keempat.

Disamping itu Ibnu Abbas pernah ditanya mengenai seseorang

yang mentalak istrinya dua kali kemudian sang istri melakukan gugat

cerai melalui Khulu’, apakah ia boleh menikahinya lagi? Beliau

menjawab bahwa Allah SWT telah menyebut talak diawal ayat dan

diakhirnya, sedangkan Khulu’ diantaranya. Dan Khulu’ bukan talak

(46)

38

2. Ketentuan Khulu’

Muhammad Bagir mengemukakan beberepa ketentuan

khusus yang berkaitan dengan Khulu’:20

1. Khulu’ terutama diadakan dalam keadaan timbulnya ketidak

senangan isteri terhadap suaminya disebabkan karena tidak adanya

rasa cinta diantara mereka, sehingga istri tidak mampu untuk

melayani suami sebagaimana mestinya, sebab ketika istri sering

mendapat perlakuan kekerasan (KDRT) dari suaminya tanpa alasan

yang dapat dibenarkan, ia dapat mengajukan tuntutan cerai

dihadapan hakim tanpa harus membayar uang tebusan apapun,

sepanjang tuntutan itu dapat diterima oleh pengadilan.

2. Pada dasarnya Khulu’ berlangsung dengan persetujuan

bersama antara isteri dengan suaminya, berkaitan dengan jumlah

pembayaran tebusan ataupun persyaratan lainnya, tetapi jika

persetujuan bersama tidak tercapai, maka hakim dapat membuat

keputusan untuk mewajibkan atas suami menerima Khulu’

tersebut. Sebaliknya haram bagi suami dengan sengaja menunjukan

gangguan terhadap isterinya dengan tidak memenuhi kewajiban

terhadap isterinya, agar ia bosan dan kesal, lalu bersedia

mengajukan Khulu’.

3. Khulu’ dapat dilakukan baik isteri dalam keadaan haid ataupun suci,

hal ini karena tidak ditentukan dalam al-Qur’an maupun hadits. Dan

20

(47)

39

juga mengingat diharamkannya talak pada saat isteri dalam

keadaan haid, karena bisa memperpanjang masa iddah, sedang

terjadinya Khulu’ pihak isteri yang menuntut perceraian, sehingga

ia dianggap menerima konsekwensinya.

4. Mayoritas ulama termasuk madzhab empat, madzhab sepakat bahwa

apabila suami telah menerima tebusan dari isterinya, maka

terlepas dari ikatan perkawinan dengan suaminya dan ‘’memiliki

dirinya” kembali sepenuhnya, dalam pengertian bahwa suami tidak

mempunya lagi hak rujuk. Karena apabila ingin kembali maka

harus dengan akad nikah baru, walaupun masih dalam

(48)

BAB III

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA BANGKALAN NOMOR 0610/Pdt.G/2015/PA.BKL TENTANG CERAI

GUGAT KARENA ALASAN PENENTUAN TEMPAT TINGGAL

A. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Pengadilan Agama Bangkalan Nomor 0610/Pdt.G/2015/PA.Bkl Tentang Gugat Karena Alasan Penentuan Tempat Tinggal

1. Wawancara Tentang Cerai Gugat Karena Alasan Penentuan Tempat

Tinggal

Menurut pendapat dari seorang Bapak ketua Majelis persidangan

dalam perkara Nomor 0610/Pdt.G/2015/PA.BKL, yaitu Bapak Drs. Imam

Marnoto, SH. MH mengatakan bahwa:

‘’Yang saya pahami tentang permasalah antar penggugat dan

tergugat dalam perkara ini adalah penentuan tempat tinggal dimana

penentuan tempat tinggal merupakan sebuah permasalah yang sangat sepele,

sedangkan menurut orang Madura perceraian yang terjadi karena penentuan

tempat tinggal merupakan kejadian biasa. Dimana jika istri tidak mengikuti

apa yang dikatakan seorang suami maka merrupakan hargadiri bagi seorang

suami’’.1

Bapak Drs. Imam Marnoto, SH. MH menambahkan bahwa:

‘’Selain itu alasan dalam pertimbangan hakim mengenai putusan

tersebut dimana permohonan (penggugat) dikabulkan permohonannya

1

(49)

41

berdasarkan bukti-bukti yang kuat dan disebabkan karena tidak hadirnya

tergugat, sehingga dengan pertimbangan tersebut maka hakim mengabulkan

permohonan penggugat berdasarkan faktor tersebut”.2

Menurut hakim anggota yaitu Bapak Drs. Slamet Bisri, beliau

mengatakan bahwa:

‘’Alasan yang sangat mendasar adalah ketidaksiapan membinan

rumah tangga antar pengggugat dan tergugat juga merupakan peluang

perceraian semakin besar dimana yang diajdikan alasan oleh penggugat

adalah peentuan tempat tinggal. Dimana perkara yang sering terjadi anatara

perceraian masyarakat Kabupaten Bangkalan khususnya dalam perkara

putusan ini adalah dari tidak siapnya membina rumah tangga, dimana hampir

Referensi

Dokumen terkait

Bagaimanapun, perakaunan zakat terhadap semua kekayaan baharu perlulah diqiyaskan kepada salah satu daripada lima jenis harta yang telah ditentukan oleh para fuqaha, iaitu emas

Pada mata individu yang terpapar polusi udara akibat emisi pabrik semen, pH tear film juga dapat meningkat karena partikel debu semen bersifat alkali.. Peningkatan pH

 Atau klik panah putih di samping kiri akun  Ganti nama pada Account Name..

Berdasarkan analisis data di atas sudah terlihat bahawa terjadi peningkatan baik pada aktivitas guru dan aktivitas siswa maupun pada hasil belajar IPS, hal ini

Tujuan Penelitian: Untuk mengetahui biaya pengeluaran pasien kanker paru yang meliputi direct cost dan indirect cost serta ada atau tidak adanya perbedaan dan hubungan

Dalam hal ini, pembinaan yang dilakukan oleh pihak/lembaga WH di Tapaktuan juga sesuai dengan tugasnya yaitu: (a) Mengidentifikasi perbuatan yang termasuk kegiatan

 menyentang (√ ) kolom W ( Weakness ) dan juga kolom O ( opportunity ), jika variabel aspek yang ada Anda pandang sebagai kelemahan bisnis dot.com Anda,

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis dan jika dikaitkan dengan teori diatas bahwa pelaksanaan tindak Ianjut rekomendasi oleh tim TLHP masih belum terlaksana