• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali D 902008104 BAB IX

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali D 902008104 BAB IX"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Dari apa yang telah diuraikan dan dibahas pada bab-bab sebelumnya, tergambarkan bahwa perdesaan di Tabola pada khususnya dan di Bali pada umumnya, adalah perdesaan yang berkembang dinamis. Sejarah perkembangan masyarakatnya diwarnai oleh berbagai gejala perubahan sosial, yang prosesnya terkadang membawa berbagai gejolak sosial. Gambaran perkembangan seperti ini, dari sudut pandang “orang luar” mungkin agak sulit dibayangkan karena konstruksi imajinasi yang terlanjur menempel kuat pada sosok “Bali” sebagai Pulau Dewata. Pulau dengan ribuan pura tempat bersemayam para dewata, yang suasananya dianggap penuh dengan kedamaian dan keharmonisan.

Namun antara kesan dan realita memang sering berjarak jauh. Bali, dalam realitanya, misalnya, jelas tidak sama dengan bayangan yang melekat pada julukannya sebagai Pulau Dewata, tempat yang penuh dengan kedamian dan keharmonisan. Sebaliknya, Bali (masyarakat Bali), adalah masyarakat yang sepanjang sejarahnya diwarnai oleh perkembangan dinamika sosial yang di dalamnya terdapat berbagai ketegangan, pertentangan, dan bahkan konflik, di samping juga suasana damai dan harmonis. Apa yang hendak dikemukakan di sini adalah bahwa pertentangan dan konflik di satu sisi, dan kehidupan yang damai serta harmonis di sisi lain sejatinya adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah kehidupan sehari-hari masyarakat Bali.

(2)

376

gejala perubahan sosial yang ditunjukkan dalam bab-bab sebelumnya dari tulisan ini, misalnya, menegaskan perkembangan kehidupan sosial yang dinamis itu. Ini khususnya terkait konteks periode waktu yang menjadi fokus perhatian penelitian ini, yaitu sejak awal reformasi (1999) hingga tahun 2010 (akhir tahun 2010, ketika riset lapangan ini diakhiri).

Pada tulisan di bab-bab sebelumnya, telah digambarkan antara lain berbagai gejala perubahan sosial, yang hal itu terjadi terutama sejak pengaruh reformasi menembus aspek-aspek kehidupan sosial masyarakat desa Tabola. Gejala perubahan yang terjadi itu, ternyata tidak saja muncul dalam dimensi material, seperti misalnya aspek-aspek kelembagaan masyarakat, tetapi juga dalam dimensi immaterial, yang dalam hal ini melibatkan aspek-aspek ide dan kesadaran masyarakat Tabola, baik sebagai individu maupun kolektif. Di sana tergambar dengan jelas, bagaimana struktur sosial masyarakat, dalam pengertian nilai-nilai dan norma-norma, mengalami proses perubahan sejalan dengan proses penyuratan awig-awig Desa Pakraman Tabola. Hasil dari proses penyuratan itu sendiri (dalam bentuk awig-awig baru yang tertulis) terbukti kemudian dalam prosesnya telah mengubah sebagian kesadaran kognitif masyarakat, termasuk pada gilirannya berbagai praktik terkait substansi ide yang terkandung dalam kesadaran tersebut. Salah satu yang menonjol, misalnya, adalah ide-ide dan praktik-praktik terkait berbagai ritual seperti soal cuntaka atau adu

ayam (konsep tabuh rah). Terlihat di sini bahwa munculnya awig-awig

baru di Tabola, selain hal itu merupakan hasil dari proses perubahan sosial, tetapi di sisi lain juga telah menjadi sumber dari perubahan sosial itu sendiri.

(3)

377

kepemimpinan di Tabola mengalami perubahan, yang prosesnya diwarnai oleh pertentangan dan konflik. Apa yang hendak dikemukakan di sini adalah bahwa perubahan itu memiliki sifat kait-mengkait membentuk suatu jalinan antara satu gejala dengan gejala yang lain, atau bersifat komplek.

Dari gejala perubahan sosial yang komplek itu, ada sesuatu yang menarik untuk dikemukakan, yaitu bahwa perubahan di Tabola ternyata mengandung sifat dualitas. Sebagaimana diungkapkan juga dalam tulisan sebelumnya, bukan kebetulan kalau ternyata masyarakat Bali, baik sebagai individu maupun kolektif, sejak jaman dahulu kala, memiliki cara pandang dualitas dalam melihat dunia sosialnya (social

world view). Cara pandang dualitas ini dikenal dengan nama

Rwabhineda, yang keberadaannya secara historis bisa ditelusuri sejak

abad ke-9 atau ke-10, yaitu ketika Mpu Kuturan mempersatukan pertentangan antara sekte-sekte yang berkembang banyak di Bali pada masa itu, dan mengemasnya menjadi satu konsep yang solid, yaitu Syiwa-Budha, atau diberi nama Rwabhineda.

(4)

378

Atas dasar pemikiran bahwa konsep Rwabhineda dan Tri Hita

Karana sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari masyarakat Bali,

baik dalam dimensi sekala (material/duniawi) maupun niskala (immaterial/spiritual), maka ada satu pertanyaannya yang perlu dikemukakan di sini yaitu apa implikasi hal-hal semacam itu dengan praktik pembangunan di Bali? Bagaimanapun pertanyaan ini penting untuk dikemukakan, mengingat ruang lingkup penelitian ini secara lebih luas adalah bidang studi pembangunan sehingga soal implikasi terhadap praktik pembangunan menjadi relevan untuk dirumuskan.

Sebagaimana sempat disinggung dalam bab sebelumnya, bahwa kalau berbicara tentang pembangunan di Bali, maka mau tidak mau, aspek pembangunan sektor pariwisata menempati peranan sangat penting. Tabel 2 tentang Distribusi Pendapat Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Bali yang dicantumkan pada Bab 1 dari tulisan ini, misalnya, menggambarkan bahwa sektor pariwisata adalah lokomotif pembangunan di Bali. Sektor pariwisata dalam hal ini memberikan sumbangan paling besar di antara sektor-sektor pembangunan yang ada. Gambaran ini secara empirik menegaskan betapa penting sekali sektor pariwisata bagi pembangunan di Bali.

Terkait hal ini, bisa dijelaskan (kemungkinan) kaitan antara cara fikir dualitas dengan praktik pembangunan, khususnya pembangunan pariwisata, di Bali. Dalam konteks pembangunan pariwisata di Bali selama ini, kita bisa melihat bahwa industri jasa pariwisata secara umum mampu berkembang berdampingan dengan realitas sosial-budaya (adat dan agama) masyarakat di Bali. Kedua sektor itu, yang oleh pemikiran modernisme mungkin bisa dianggap merupakan dua sektor yang berbeda, satu modern (industri jasa pariwisata) dan satu lagi tradisional (adat dan agama), ternyata mampu berkembang bersama tanpa saling menegasikan secara hirarkhis satu dengan yang lainnya.

(5)

379

sosial-budaya masyarakat Bali. Banyak kasus-kasus sengketa wilayah berdimensi adat dan agama yang membawa gejolak di masyarakat, yang hal itu timbul karena ekspansi industri pariwisata yang tanpa kendali tersebut. Salah satu di antaranya yang sempat menonjol kasusnya adalah dibangunnya komplek resort pariwisata, Bali Nirwana

Resort, disekitar wilayah yang dianggap suci oleh masyarakat adat di

Bali, yaitu Tanah Lot, oleh satu grup bisnis konglomerat dari Jakarta. Pembangunan Bali Nirwana Resort seluas hampir 120 hektar, milik kelompok bisnis Keluarga Bakrie itu, tercatat sempat menimbulkan perlawanan yang keras dari masyarakat setempat dan bahkan Bali, yang merasa dirugikan dengan keberadaan resort yang berdekatan dengan tempat suci umat Hindu, Pura Tanah Lot (Santoso P dan Saskarayasa, I.K.: 2002: 41-66).

Itu adalah salah satu saja contoh yang pernah terjadi di waktu lalu, karena pada kenyataannya cukup banyak contoh lain yang kasusnya mirip dengan masalah pembangungan Bali Nirwana Resort tersebut. Dalam banyak kasus, pihak pengembang industri pariwisata memang akhirnya lebih banyak memenangkan kasusnya atas masyarakat adat setempat. Hal ini sering dianggap karena adanya intervensi pihak penguasa di masa lalu, yang pada waktu itu kekuasaannya boleh dikatakan sangat menghegemoni. Kondisi-kondisi inilah yang kemudian mendorong munculnya banyak kritik yang tajam atas perkembangan industri pariwisata di Bali.

(6)

380

Tetapi sesungguhnya dalam pandangan orang Bali, pariwisata (baca: industri jasa modern) dan tradisi masyarakat adalah dua entitas berbeda yang tidak terjebak dalam kerangka pemikiran oposisi biner. Sebalikya keduanya berbeda tetapi saling menghidupi, karena hanya dengan saling menghidupi itulah industri pariwisata dan tradisi bisa sama-sama memiliki masa depan untuk berkembang. Sebab bagaimanapun, industri pariwisata tidak bisa dilepaskan dari gambaran imajinasi terkait adat dan agama masyarakat, dan bahkan hal itulah yang menjadi modal paling utama dari “pasar” industri pariwisata di Bali. Umumnya masyarakat Bali, termasuk masyarakat Desa Tabola, menyadari hal demikian. Apalagi Desa Tabola, Kecamatan Sidemen, termasuk daerah pariwisata alam yang cukup terkenal di Bali.

Sebaliknya, masyarakat desa adat/pakraman akan menghadapi berbagai kesulitan tanpa kemajuan industri pariwisata, karena sektor itulah, yang langsung ataupun tidak langsung, banyak menopang kehidupan ekonomi masyarakat. Sedangkan dalam dimensi yang lain, praktik kehidupan adat membutuhkan dukungan ekonomi, yang sering kali, tidak kecil. Gambaran paling jelas bisa dilihat dari kenyataan bahwa berbagai macam upacara adat di Bali seringkali menelan biaya yang tidak sedikit. Bahkan semakin besar skala upacara semakin besar pula biaya yang harus dikeluarkan. Oleh karena itu, antara adat dan pariwisata, keduanya boleh dikatakan saling menghidupi, keberadaannya saling mengandaikan, dan hubungan keduanya tak pelak, mencirikan sifat dualitas.

(7)

381

antara sektor modern dan tradisional itu tetap berproses, dalam rangka untuk mencari berbagai alternatif solusinya.

Pemikiran dualitas dalam wujud konsep Rwabhineda, sebenarnya juga bukan monopoli masyarakat Bali. Masyarakat Jawa, meskipun tidak memiliki konsep yang solid seperti Rwabhineda, dalam alam pikirannya sebenarnya juga terkandung gagasan dualitas. Hal ini, misalnya, ditunjukkan dengan gagasan yang disebut “Manunggaling

Kawula Gusti”, yang artinya kurang lebih bersatunya pemimpin

dengan rakyat yang dipimpinnya. Dalam “Manunggaling Kawula

Gusti” ini maka hubungan yang terjadi antara Gusti (raja/pemimpin)

dan Kawula (rakyat) adalah hubungan yang harmonis, dimana raja bisa mengoptimalkan kedudukannya dan rakyat bisa nyengkuyang (mendukung) serta berfungsi sesuai dengan fungsinya masing-masing. Yang ditekankan di sini adalah sebuah perpaduan serta penyatuan yang harmonis dari berbagai macam elemen yang berbeda satu sama lain dalam hubungan saling menguntungkan. 1

Persoalannya, sampai saat ini, belum cukup banyak kalangan peneliti yang mencoba mengeksplorasi lebih jauh alam pikiran dualitas tersebut, khususnya untuk konteks masyarakat Jawa dan dalam hubungannya dengan teori, konsep, dan praktik pembangunan. Melanjutkan apa yang sempat disinggung dalam penelitian ini, maka tampaknya penelitian yang mengeksplorasi apa yang dikemukakan di atas sangat relevan untuk dijadikan agenda ke depan. Harapannya, lebih banyak penelitian yang mengeksplorasi hal-hal serupa untuk konteks masyarakat lokal di berbagai daerah sehingga pada waktunya nanti bisa dikonsepsikan suatu bentuk konsep, teori, kebijakan dan praktik pembangunan di Indonesia, dengan menggunakan perspektif dualitas. Kalau hal seperti ini bisa diwujudkan, maka terbuka kemungkinan untuk secara bertahap bisa dimunculkan suatu konsep

Lewat gagasan ini, sesungguhnya ide yang memisahkan keberadaan pemimpin dan rakyat secara tajam, gagasan dikotomi atau oposisi biner, jelas-jelas ditolak.

1 Lihat: Prasaja, S.A., (2009). “Sebuah Uraian Singkat Konsep Manunggaling Kawula

(8)

382

Referensi

Dokumen terkait

Jawaban dibuktikan dengan daftar rata-rata nilai uji kompetensi mata pelajaran produktif tahun terakhir dan hasil penetapan kompetensi siswa sesuai dengan Standar Operasional

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kinerja keuangan perusahaan makanan dan minuman yang diprediksi menga.lami kebangkrutan di Bursa Efek Jakarta (BEJ) ditinjau dari

[r]

Tujuan penelitian yang dilakukan pada Acer Center Malang adalah untuk mengetahui pengaruh motivasi intrinsik karyawan, untuk mengetahui prestasi kerja karyawan,

ATP – PC DARI OTOT YANG SATU TIDAK DAPAT DIPINDAHKAN KE YANG LAIN. GLIKOGEN DARI OTOT

Berdasarkan hasil evaluasi penawaran oleh Panitia Pengadaan Barang/Jasa RSUD Arga Makmur terhadap penawaran yang masuk, serta berdasarkan Surat Penetapan Pemenang, maka

Sistem asam laktat hanya menjadi andalan pada olahraga yang harus mengerahkan energi, dengan waktu kurang dari empat menit, atau bodi kontek yang harus tahan menahan, dan jika

[r]