/ PN. JMB )
Skripsi
Oleh :
Achmad Imam Ghozali NIM. C03213004
Universitas Islam Negeri SunanAmpel Surabaya
Fakultas Syariah Dan Hukum
Jurusan Hukum Publik Islam Program Studi Hukum Pidana Islam
SURABAYA
ABSTRAK
Skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Tindak Pidana Di Muka Umum Secara Bersam-sama Melakukan Kekerasan Terhadap Orang ( Studi Putusan Direktori Pengadilan Negeri Jombang Nomor. 218/ PID.B/ 2014 / PN. JMB ) “ adalah hasil penelitian pustaka untuk menjawab pertanyaan tentang, 1) Bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam putusan nomor 218/ PID.B/ 2014/ PN. JMB tentang tindak pidana di muka umum secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang. 2) Bagaimana pandangan hukum pidana islam terhadap tindak pidana di muka umum secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang dalam putusan nomor 218 / PID.B / 2014 / PN. JMB.
Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan teknik dokumentasi. Setelah data terkumpul, data diolah dan dianalisis dengan metode deskriptif analisis dan dengan pola fikir deduktif untuk memperoleh kesimpulan yang khusus dan dianalisis menurut hukum pidana Islam.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertimbangan Hakim terhadap putusan nomor. 218/ PID.B/ 2014 / PN. JMB tentang tindak pidana di muka umum secara bersam-sama melakukan kekerasan terhadap orang berdasarkan KUHP Pasal 170 ayat 1 yakni Hakim memberikan hukuman terhadap terdakwa 1 tahun penjara. Sebelum Hakim memberikan putusan hukum terhadap terdakwa, Hakim lebih terdahulu mempertimbangkan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum baik dakwaan primer maupun subsidair. Hakim lebih condong kepada dakwaan primer dikarenakan dakwaan primer telah memenuhi unsur-unsur dari pasal 170 ayat 1 KUHP oleh karena itu terdakwa dihukum 1 ( satu ) tahun penjara dengan memperhatikan memberatkan maupun yang meringankan terhadap kasus tersebut. Sedangkan dalam hukum pidana Islam, perihal terdakwa melakukan perbuatan tersebut dimuka umum dengan cara penganiayaan atau kekerasan maka terdakwa dihukum dengan jarimah diat dengan alasan melukai korban karena itu adalah menyangkut dengan hak manusia itu sendiri.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUANPEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TRANSLITERASI ... xii
PERSEMBAHAN ... xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... ... 1
B. Identifikasi Masalah ... ... 13
C. Batasan Masalah ... ... 14
D. Rumusan Pustaka ... ... 15
E. Kajian Pustaka ... ... 15
F. Tujuan Penelitian ... ... 18
G. Kegunaan Hasil Penelitian ... ... 18
H. Defenisi Operasional ... ... 19
I. Metode Penelitian ... ... 20
BAB II LANDASAN TEORI TENTANG BERSAMA-SAMA MELAKUKAN KEKERASAN TERHADAP ORANG DALAM HUKUM PIDANA ISLAM
A. Pengertian dan Bentuk Penyertaan ... 27 B. Pembagian Penyertaan Dalam Hukum Pidana Islam ... 32 C. Pertalian Perbuatan Langsung Dengan Perbuatan Tidak Langsung (
mubasharah dengan sebab ) ... 37 D. Pertalian Sebab Akibat Anatara Turut Berbuat Dengan Jarimah . 39
BAB III PERKARA PENETAPAN TINDAK PIDANA DI MUKA UMUM SECARA BERSAMA-SAMA MELAKUKAN KEKERASAN
TERHADAP ORANG DALEM DIREKTORI PUTUSAN
PENGADILAN NEGERI JOMBANG NOMOR. 218/ PID.B/ 2014/ PN.JMB
A. Wewenang Pengadilan Negeri Jombang ... 42 B. Deskripsi Tindak Pidana Di Muka Umum Secara Bersama-sama
Melakukan Kekerasan Terhadap Orang Dalam Direktori Putusan Pengadilan Negeri Jombang Nomor. 218/ PID.B/ 2014/ PN.JMB.. 46 C. Dasar Pertimbangan Hakim Terhadap Penetapan Dalam Tindak Pidana Di Muka Umum Secara Bersama-sama Melakukan Kekerasan Terhadap Orang Dalam Direktori Putusan Pengadilan Negeri Jombang ... 48
BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP TINDAK PIDANA DI MUKA UMUM SECARA BERSAMA-SAMA MELAKUKAN KEKERASAN TERHADAP ORANG
Terhadap Orang Menurut Hukum Pidana Islam ... 59 B. Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Penjatuhan Hukuman Terhadap Terdakwa Dalam Putusan Nomor. 218/ PID.B/ 2014 / PN. JMB Tentang Di Muka Umum Secara Bersama-sama Melakukan Kekerasan Terhadap Orang ... 65
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 74 B. Saran ... 75
DAFTAR PUSTAKA ... 77
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak lebih dari 1400 tahun yang lalu, hak-hak tertentu telah
mendapat jaminan berdasarkan alquran yaitu : hak hidup, keamanan diri,
kemerdekaan, perlakuann sama ( non diskriminasai ), kemerdekaan berfikir,
berekspresi, keyakinan dan beribadah, perkawinan, kemerdekaan hukum, asas
praduga tak bersalah, nulla paena sine lage ( tiada pidana tanpa
undang-undang sebelum perbuatan itu ), perlindungan dari kekejaman, suaka,
kebebasan berserikat dan berkumpul, berprofesi dan bekerja, dan hak
memilih, memperoleh dan menentukan hak milik.1 Sedangkan kewajiban
manusia adalah kewajiban hubungan dirinya dengan tuhannya dan kewajiabn
hubungan dirinya dengan orang lain ( masyarakat ).2
Adapun hak dan kewajiaban itu mengandung arti yang sangat penting
dalam rangka pembinaan individu. Islam mengharuskan adanya suatu opini
umum yang bermoral, mendorong kearah kebaikan dan mencegah segala
bentuk kejahatan dan kemungkaran.3
Bentuk kejahatan dan kemungkaran adalah perbuatan keji yang sangat
dilarang oleh Allah, karena dari dampak perbuatan yang dilarang maka akan
1
Topo Santoso, Asas-asas Hukum Pidana Islam, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2016 ), 197.
2
Harun Nasution dan Bahtiar Effendy, Hak Asasi Manusia dalam Islam, ( Jakarta: PT. Pustaka Firdaus 1987 ), 49.
3
berdampak kepada kehidupan sosial bermasyarakat. Sebagai mana Allah
sangat mengharamkan perbuatan keji :
Katakanlah: Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu
ketahui. ( Surat al A’raf: 33 )
Dari ayat diatas dapat diambil sebuah penjelasan atau penafsiran:4
Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan dari Imam Ahmad mengatakan,
telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah, telah menceritakan kepada
kami al A’masy, dari Syaqiq, dari Abdullah yang mengatakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda: tidak ada seorang pun yang lebih
pencemburu dari pada Allah, karena itulah Dia mengharamkan
perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang kelihatan maupun yang tidak tampak dan
tidak ada seorang pun yang lebih suka dipuji dari pada Allah.
Firman Allah SWT
Dan perbuatan dosa dan melanggar hak manusia tanpa alasan yang
benar. ( al A’raf: 33 )
4Rudi Abu Azka, “ Tafsir Suat al A‟raf Ayat 33 ”
,
Assadi pengatakan, yang dimaksud dengan al ithmu ialah maksiat,
sedangkan yang dimaksud dengan al baghyu ialah perbuatan melanggar hak
orang lain tanpa alasan yang benar.
Mujahid mengatakan bahwa makna al ithmu mencakup perbuatan
maksiat. Dan menurut suatu pendapat, yang dimaksud dengan al baghyu
ialah perbuatan aniaya seseorang terhadap dirinya sendiri.
Kesimpulan dari tafsir makna ithmu ialah dosa-dosa yang berkaitan
dengan pelakukanya sendiri, sedangkan al baghyu ialah perbuatan
pelanggaran hak orang lain. Allah mengharamkan perbuatan kedua tersebut.
Firman Allah
( mengharamkan ) kalian mempersekutukan Allah dengan sesuatu
yang Allah tidak menurunkan hujan untuk itu. ( al A’raf: 33)
Yakni kalian menjadikan bagi-Nya sekutu-sekutu dalam meneymbah
kepada-Nya.
Firman Allah SWT
Dan ( mengharamkan ) kalian dengan mengada-adakan terhadap Allah
apa yang tidak lakian ketahui. ( al A’raf: 33 )
Yaitu beruapa perbuatan dusta dan hal yang diada-adakan, seperti
pengakuan bahwa Allah beranak dan lain sebagainya yang tiada pengetahuan
Konrad Lorenz ( 1966 ) dan Robert Ardrey ( 1963 ) berpendapat
bahwa manusia mempunyai ‚ naluri membunuh ‚, kecenderungan alami
terhadap kekerasan dan agresi.5 Kejahatan kekerasan sebagai suatu fenomena
yang ada dalam masyarakat merupakan kejahatan tradisional yang telah ada
sejak dahulu. Hanya saja sekarang telah mengalami perkembangan, baik
dalam hal motif, sifat, bentuk, intensitas, maupun modus operandil. Hal ini
tentunya dipengaruhi oleh perkembangan ilmu dan teknologi, yang
akhir-akhir ini berkembang dengan pesat.6
Secara yuridis, apa yang dimaksud dengan kejahatan kekerasan tidak
terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ). Hanya saja
dalam bab IX pasal 89 KUHP menyebut bahwa membuat orang pingsan atau
membuat orang tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kejahatan kekerasan merupakan
kejahatan yang dilakukan dan disertai dengan menggunakan kekuatan fisik
yang mengakibatkan korban pingsan atau tidak berdaya.7
Kejahatan kekerasan termuat dalam KUHP Pasal 170 yang berbunyi :8
1. Barang siapa yang di muka umum bersama-sama melakukan kekerasan
terhadap orang atau barang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan.
2. Tersalah dihukum :
5
Frank E. Hagan, Kriminologi Teori,Metode,dan Perilaku Kriminal,( Noor Cholis ),( Jakarta:Kencana,2013 ),298
6
Made Darma Weda, Kriminologi,( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1996 ),108.
7
Ibid., 108.
8
a. Dengan penjara selama-lamanya tujuh tahun, jika ia dengan sengaja merusakkan barang atau jika kekerasan yang dilakukannya itu menyebabkannya suatu luka.
b. Dengan penjara selama-lamanya sembilan tahun, jika kekerasan itu
menyebabkan luka berat pada tubuh.
c. Dengan penjara selama-lamanya duja belas tahun, jika kekerasan itu
menyebabkan matinya orang.
Terlepas dari pengertian atau definisi tentunya masih dapat
diperdebatkan, yang jelas kejahatan kekerasan dewasa ini telah meresahkan
masyarakat. Kalau dahulu pelaku kejahatan mengancam dengan harta atau
nyawa, sekarang telah berubah: harta dan nyawa.9
Hal ini bisa dirasakan oleh kejiwaan manusia itu sendiri, baik dilihat
dari kenyataan yang dialami oleh setiap individunya sediri maupun dari
beberapa fenomena yang dihadirkan informasi yang aktual tajam bahkan
akurat yang ada pada zaman sekarang, karena seiring dengan tegnologinya
pula yang bisa memberikan tentang pengetahuan yang begitu canggih dan
bisa secara langsung dilihat ataupun disaksiakan walaupun tidak tidak berada
dalam kejadiannya itu sendiri, yang memberikan suatu kabar tentang
marakanya sebuah kejahatan, sebagai bukti kenyataan dalam sosial.
Masyarakata Indoneisa bukan masyarakat dunia pada umumnya saat
ini sedang dihadapkan pada keadaan yang sangat menghawatirkan akibat
maraknya sebuah kejahatan yang terjadi dalam lingkungan masyarakatnya
sendiri baik baik dari kalangan tua maupun muda yang berdampak kepada
kehidupan bangsa dan negara pada masa sekarang ini dan yang lebih
9
menghawatirkannya akan terus menerus terjadi dikehidupan sebuah masa
yang akan datang 10
Adanya sebuah kejahatan atau penganiayaan yang ada di masyarakat
khususnya di Indonesia, secara tidak langsung membatasi pergaulan bagi
seorang yang terlibat didalamnya baik pelaku terlebih korban sendiri. Oleh
karena itu, larangan islam tidak semata-mata untuk membatasi pergaulan,
tetapi lebih dari itu yaitu, untuk menyelamatkan peradaban manusia yang
pada dasarnya sebagai langkah baik agar tidak melanggar norma-norma
hukum yang telah ditetapkan oleh agama dan yang telah disepakati
masyarakat.11
Adapun salah satu usaha penanggulangan kejahatan ialah
menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana, namun
demikian persoalan ini masih sering dipermasalahkan. Penggunaan hukum,
termasuk hukum pidana sebagai salah satu upaya untuk mengatasi
permasalahan sosial yang ada di masyarakat.12
Jika dilihat secara mendalam pada dasarnya mencegah sebuah
kejahatan itu sendiri khususnya kekerasan atau penganiayaan bisa
dikategorikan dalam konsep maqa>s}id al-shari>’ah yang bertujuan untuk
mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan atau mengambil
10
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanan Indonesia, ( Jakarta: PT Pradya Paramita, 1997 ), 67.
11 Rachmad Syafie‟i,
al-Hadits, al-Aqidah,al- Akhlaq, sosial, dan Hukum ( Bandung: Pustaka Setia, 2003 ), 209.
12
manfaat atau menolak mudarat, istilah yang sederajat dengan inti dari
maqa>s}id al-shari>’ah tersebut adalah maslahat, karena penetapan hukum dalam
islam harus bermuara kepada maslahat, untuk memahami hakikat dan
peranan maqa>s}id al-shari>’ah yang bertujuan memelihara agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta yang dimasukan dalam sebuah hukum jinayah ketika
melanggarnya.
Jinayah dalam definisi sariat bermakna setiap pekerjaan yang
diharamkan. Makna pekerjaan yang diharamkan adalah setiap pekerjaan yang
dilarang sariat karena adanya dampak negatif; karena bertentangan dengan
agama, membahayakan jiwa, akal, harga diri, ataupun harta.13 Dimaksud
dengan jinayah meliputi beberapa Hukum, yaitu membunuh orang, melukai,
memotong anggota tubuh, dan menghilangkan salah satu panca indra.14
Perbauatan kekerasan fisik menurut hukum pidana islam dapat digolongkan
kepada perbuatan kejahatan terhadap nyawa atau badan oarang lain,
perbuatan itu merupakan bentuk tindak pidana penganiayaan atas selain jiwa,
dapat dikatan sebagai pelukaan atau tindak pidana selain jiwa.15 Inti dari
perbuatan selain jiwa dalam definisi di atas adalah perbuatan menyakiti.
Yang termasuk dalam perbuatan menyakiti, setiap jenis pelanggaran yang
13
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, terj Abu Sauqina dan Abu Auliya Rahma, Jilid 4, (t.tp.,: Tinta Abadi Gemilang, 2013 ), 271.
14
Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, ( Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012 ), 429.
15
bersifat menyakiti atau merusak anggota badan manusia, seperti pelukaan,
pemukulan, pencekikan, pemotongan, dan penempelengan.16
Dalam hukum pidana Islam suatu jarimah adakalnya dilakukan oleh
satu orang dan ada kalanya dilakukan oleh lebih dari satu orang. Apabila
beberapa orang bersama-sama melakukan suatu jarimah maka perbuatnnya
itu disebut turut berbuat jarimah.
Terut serta melakukan jarimah itu ada dua macam:17
1. Turut serta secara langsung ( ر اشال ب ْا كا ات ْش اْل ا) . Orang yang turut serta disebut
peserta langsung ( راشا ب لْا كْرِشل ا).
2. Turut serta secara tidak langsung ( ابب ستلااب كا اتْشاْل ا ). Orang yang turut serta
disebut peserta tidak langsung atau sebab ( بِب س تلْا كْرِشل ا ).
Penjatuhan hukuman terhadap keduanya baik langsung maupun tidak
langsung berbeda beda tergantung bagaimana perbuatan itu terjadi dan akan
dijelaskan dengan lengkap di bab selanjutnya. Dalam hal penghukuman
tersebut baik turut serta secara langsung maupun tidak langsung tergantung
bagai mana pelaku merencanakan hal tersebut.
16
Ibid., 179.
17
Dalam hal hukum Pidana Islam ada beberapa tindak pidana baik itu
menegani jiwa maupun selain jiwa, dikarenakan penulis pembahasannaya
lebih condong ke selain jiwa maka akan dijelaskan sebagai berikut.
Sedangkan tidak pidana selain jiwa didalamnya terdapat
penganiayaan atau kekerasan atas anggota badan dan semacamnya yang
meliputi diantaranya: pemotongan tangan, kaki, bibir, pencongkelan mata,
merontokkan gigi, pemotongan rambut, alis, bulu mata, jenggot, kumis, bibir
kemaluan perempuan, dan lidah.18
Terkecuali kisas tidak diwajibkan atas pencederaan yang dengan
sengaja, kecuali bila dipastikan dengan kisas, keserupaan cedera dapat
ditempuh pada pelaku, tidak lebih ataupun kurang. Tetapi, jika keserupaan
kisas pencederaan ini tidak dapat direalisasikan kecauali melebihi batas
tertentu, atau membahayakan anggota tubuh lain, maka kisas tidak akan
diberlakukan. Kemudian, kisas akan diganti dengan diat. Sandaran atas hal
ini adalah sikap Rasulullah Saw. Yang menggugurkan kisas pada pencederaan
gegar otak, dan yang menyebabkan tulang dalam patah, serta tususkan yang
mencapai rongga dada.19
Hukum ini berlaku pada pencederaan anggota vital tubuh, seperti
pematahan tulang leher, tulang rususk, tulang paha, dan sejenisnya.
18
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam..., 179.
19
Dalam kasusu pencederaan luka sekitar kepala dan wajah, kisas tidak
diberlakukan, kecuali jika terbukti dilakukan atas kesengajaan dari si pelaku.
Penjelasan lebih terperinci akan datang pada bab ‚ diat ‚.20
Dalam pencederaan bagian kepala dan wajah atau disebut al-shuja>ju (
جا جشلا ) adalah cedera disekitar wajah. Jenis cedera ini, ada sepuluh. Tidak ada
kisas bagi pelaku pencederaan jenis ini, kecuali pada al-muwad}d}ih}atu ( ة حِضلا و
) tikaman mencapai tulang dengan motif yang disengaja. Hal ini karrena
sulitnya melakukan hal yang serupa ( kisas ) atas pencederaan ini.21
Dalam hal mencederai kepala dan wajah para imam mazhab sepakat
bahwa melukai anggota bandan yang dapat diambil kisas wajib dituntut
kisas. Melukai anggota badan yang tidak dapat diambil kisas tidak ada kisas.
Pelukaan itu ada 10 macam, yaitu: al-kha>ris}ah ( ة صارا خا ), ad-da>miyah ( ي ة اما دلا ) ,
al-ba>d}i’ah ( ة عاضا بلا ), al-mutala>h}imah ( ة اِ َ ت لا ), as-samh}a>q ( قا حْمسلا ),
al-mau>d}ih}at ( ة حاضْو لا ), al-ha>shimah ( ة اِا ها ), al-munaqqilah ( ة لِق ن لا ), al-ma’mu>mah
( ة مْو مْملا, al-ja>’fah ( ة فائا جا ) .22
Dalam kelima macam pelukaan ini ( al-kha>ris}ah ( ة صارا خا ), ad-da>miyah
( ي ةىاما دلا ), al-ba>d}i’ah ( ة عاضا بلا ) , al-mutala>h}imah ( ة اِ َ ت لا ), as-samh}a>q ( قا حْمسلا ) ),
20
Ibid., 322.
21
Ibid., 350.
22
diatnya tidak ada yang ditentukan oleh sariat. Demikian menurut
kesepakatan pendapat para imam mazhab.23Namun, Hambali meriwayatkan
bahwa Zaid r.a. Pernah menghukum diat karena pelukaan yang mengeluarkan
darah saja dengan membayar seekor unta. Diat pelukaan yang membelah
daging adalah membayar 2 unta. Diat pelukaan yang masuk dalam daging
adalah membayar 3 untah. Diat pelukaan yang hampir mengenai tulang
adalah membayar 4 unta.24
Hambali berkata: kami berpendapat demikian demikian juga,
demikian menurut satu riwayat. Sedangkan dalam riwayat lainnya, pendapat
Hambali sma dengan pendapat para imam mazhab lainnya.25
Dari keterangan di atas dijelaskan bahwasannya dalam hal pelukaan
atau lima macam pelukaan diatas diatnya tidak dapat ditentukan oleh sariat,
oleh karena itu dalam menggali hukum penulis mengunakan ijmak untuk
memperkuat lima macam pelukaan yang sudah disepakati para ulama’ imam
mazhab.
Dalam hal ijmak diingkari atau tidak, maka penulis mengacu pada
pendapat Rosdiana yang berbunyi ‚ mengomentari perbedaan pendapat
antara mayoritas ulama’ dengan golongan yang mengingkari ijma sebagai
hujjah. Maka menurut penulis, bahwa argumentasi yang diutarakan oleh mayoritas ulama sangatlah jelas dan kuat, sedangkan argumentasi yang
dipakai oleh golongan ingkar ijma’, sebagai hujjah adalah merupakan
argumen apologi saja‛.26
23
Ibid., 430.
24
Ibid., 430-431.
25
Ibid., 431.
26 Rosdiana, “ Ijma‟ Dalam Prespektif Ulam‟ Ushul Fiqih ”,
Dalam pendapat jumhur ulama’ usul fikih, apabila rukun ijmak telah
terpenuhi, maka ijmak tersebut menjadi hujjah yang qatiy ( pasti ), wajib
diamalkan dan tidak boleh mengingkarinya bahkan orang yang
mengingkarinya dianggap kafir, disamping itu permasalahan yang telah
ditetapkan hukumnya melalui ijma’ menurut para ahli usul fikih tidak boleh
lagi menjadi pembahsan ulamak generasi berikutnya. Karena hukum yang
ditetapkan melalui ijmak merupakan hukum syara’ yang qatiy dan menempati
urutan ketiga sebagai dalil sariat setelah alquran dan Sunah.27
Dari pendapat ulamak di atas dapat disimpulakan bahwa dasar untuk
menghukum kejahatan yang sudah di jelaskan diatas harus dihukum sesuai
dengan pendapat para ulama’ yang sudah mumpuni dan tidak diragukan lagi
dalam hal keilmuannya oleh sariat sesuai dengan Firman Allah yang artinya
kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang Menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara
mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan 28dengan izin Allah.
yang demikian itu adalah karunia yang Amat besar . ( alfathir: 32 )
27Siswady, “ Ijma‟dan Qiyas ”
,
http://googleweblight.com/?lite_url=http://siswady.wordpress.com/makalah/ijma-dan-qiyas, “
diakses pada 20/04/2017 “.
28
Al-Hafizh Ibnu Hajar r a. mengatakan ‚ ayat ini syahid ( penguat )
terhadap hadis yang berbunyi al-‘ulam>a’ warasathata al-anbiya<’ ( ulamak
adalah pewaris para nabi ).‛ ( Fathul Bari,1/83 ).
Tetapi pada kenyataannya sebuah kejahatan yang berkembang di
masyarakat pada zaman sekarang, banyak menemukan sebuah kejadian yang
luar biasa dari kejahatannya itu sekaligus menghebohkan di beberapa
kalangan masyarakat.
Dengan mempertimbangkan macam-macam kejahatan dan KUHP
terkhususnya tindak pidana di muka umum secara bersama-sama melakukan
kekerasan terhadap orang di di dusun Jeblok, desa Brudu, Kecamatan
Sumombito, Kabupaten Jombang. Oleh karena itu penulis sangat tertarik
terhadap kasus tersebut seebagaimana penulis tulis tuliskan di atas. Sebagai
bahan dan syarat untuk menyelsaikan tugas akhir dan perkuliahan, serta
berharap dengan adanya skripsi ini para hakim khususnya bisa menghukum
para pelaku kejahatan selain dengan hukuman yang sesuai dengan ketentuan
atau hukum positif dan bisa menghukum dengan hukum Islamnya pula, yang
berdasarkan dari hukum Allah. Agar menjalankan amanat/tugas dari sebuah
negara juga. menjalankan kewajiaban agama yaitu, dengan menjalakan
hukum-hukum berdasarkan alquran dan sunah maupun ijmak para ulamak.
B. Identifikasi Masalah
Berangkat dari uraian pada latar belakang masalah di atas, penulis
1. Seseorang bisa dikatakan telah melakukan tindak pidana di muka
umum secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang.
2. Sanksi apa yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana di muka
umum secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang.
3. Putusan hakim dalam tindak pidana di muka umum secara
bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang.
4. Tinjauan Hukum Pidana Islam dalam kasus tindak pidana di muka
umum secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang.
C. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas dan juga bertujuan agar
permasalahan ini dikaji dengan baik, maka penulis membatasi penulisan
karya ilmiah dengan batasan:
1. Dasar pertimbangan hakim pengadilan negeri terhadap tindak pidana
dalam putusan nomor. 218/ PID.B/ 2014/ PN. JMB.
2. Tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindak pidana kekerasan dalam
putusan nomor. 218/ PID.B/ 2014/ PN. JMB.
3. Penjatuhan hukuman tidak pidana kekerasan secara bersama-sama
dimuka umum terhadap orang dalam putusan nomor. 218/ PID.B/
D. Rumusan Masalah
Dengan memahami dan mempertimbangkan dasar pemikirang yang
tertuang dalam latar belakang masalah maka diperlukan adanya rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Apa dasar pertimbangan Hakim dalam putusan nomor 218/ PID.B/
2014/ PN. JMB tentang tindak pidana di muka umum secara
bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang ?
2. Bagaimana analisi hukum pidana Islam terhadap tindak pidana di
muka umum secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap
orang dalam putusan nomor 218 / PID.B / 2014 / PN. JMB ?
3. Bagaimana analisi penjatuhan hukuman terhadap terdakwa menurut
hukum pidana Islam dalam putusan nomor 218 / PID.B / 2014 / PN.
JMB ?
E. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian
yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang akan diteliti sehingga
terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan
pengulangan atau duplikasi dari kajian/penelitian yang telah ada.29 Dalam
penelusuran awal, sampai saat ini penulis menemukan penelitian atau tulisan
yang sedikit kemiripan dalam penelitian yang dilakukan penulis, diantaranya
yaitu penelitian :
Adapun penelitian (skripsi) yang membahas tentang Kekerasan,
adalah:
1. ‚ Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Turut Serta Dalam Tindak
Pidana Pembunuhan Berencana Dan Pencurian Dengan Kekerasan ( Studi
Putusan No 213 / Pid.B / 2013 / PN.Bkl ).‛ Skripsi oleh Lindawati Eka
Sahputri, Jurusan Hukum Publik Islam Prodi Hukum Pidana Islam UIN
Sunan Ampel Surabaya, pada tahun 2016, skripsi ini menggunakan kajian
pustaka dasar hukum yang dipakai oleh Hakim di Pengadilan Negeri
Bangkalan dalam penyelsaian kasus tersebut adalah pasal 340 KUHP jo
Pasal 55 ayat 1 ke ( 1 ) dan Pasal 365 ayat 2 jo Pasal 55 ayat ke 1 ke ( 1 )
KUHP dengan ancaman hukuman 15 tahun, dikurangi selama terdakwa
berada dalam tahanan dengan perintah supaya tetap ditahan. Sedangkan
menurut Hukum Pidana Islam sanksi yang dijatuhkan adalah takzir.
Alasannya, karena perbuatan pelaku dalam berbuat tidak langsung ini
merupakan syubhat yang menggugurkan hukum had.30
2. ‚ Analisis Hukum Pidana Islam Tentang Kekerasan Terhadap Anak Yang
mengakibatkan Meninggal Dunia ( Studi Putusan Nomor : 163 / Pid.Sus /
2015 / PN.Lbh ) ‛. Skripsi oleh Diana Zahroh, Jurusan Hukum Publik
Islam Prodi Hukum Pidana Islam UIN Sunan Ampel Surabaya, pada
tahun 2016, skripsi ini menggunakan kajian pustaka dasar hukum yang
dipakai oleh hakim dalam memutus atau memberikan Hukuman terhadap
30
Lindawati Eka Sahputri, ‚Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Turut Serta Dalam Tindak
terdakwa adalah dengan pidana 7 Tahun penjara dikarenakan dengan
sengaja melakukan kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan
meninggal dunia dengan dasar Pasal 80 Ayat 3 Jo Pasal 76 C
undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah
terpenuhi. Sedangkan menurut Hukum Pidana Islam dalam Putusan
tersebut perbuatan terdakwa termasuk dalam tindak pidana pembunuhan
menyerupai sengaja. Sanksi bagi pelaku tindak pidana pembunuhan
menyerupai sengaja dalam Hukum Pidan Islam berupa hukuman pokok
yaitu diat dan kafarat, tetapi jika terdakwa tidak memiliki harta untuk
membayar diat maka diberlakukan hukuman pengganti dari hukuman
pokok diat yaitu takzir, dalam hukuman takzir ini yaitu dengan puasa dua
bulan berturut-turut, penghapusan atas waris dan wasiat.31
Sedangkan dalam skrpsi ini penulis menganalisis dari sisi putusan
hakim nomor 218/ PID.B/ 2014/ PN. JMB dan sisi hukum pidana islam. Jadi,
dalam skrpsi ini lebih spesifik langsung dalam contoh kasus dalam putusan
tersebut.
Dengan demikian, penelitian ini bukan merupakan pengulangan dari
penelitian sebelumnya. Dan menjadi alasan kuat bagi penulis bahwa dengan
judul tersebut perlu diteliti lebih lanjut.
31 Diana Zahrah, “Analisis Hukum Pidana Islam Tentang Kekerasan Terhadap Anak Yang
mengakibatkan Meninggal Dunia ( Studi Putusan Nomor : 163 / Pid.Sus / 2015 / PN.Lbh )” (
F. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian yang
ingin dicapai penulis antara lain:
1. Mengidentifikasi dasar pertimbangan hakim dalam Putusan
Pengadilan Negeri Jombang terhadap tindak pidana kekerasan yang
dengan terang terangan dan dengan tenaga bersama dalam putusan
Pengadilan Negeri Jombang Nomor 218/ PID.B/ 2014/ PN. JMB.
2. Menganalisis tinjauan hukum pidanai islam terhadap tindak pidana
kekerasan yang dengan terang terangan dan dengan tenaga bersama
dalam putusan pengadilan Negeri Jombang Nomor 218/ PID.B/ 2014/
PN. JMB.
G. Kegunaan Hasil Penelitian
1. Secara teorotis ( keilmuan )
Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan sumbangan
pemikiran bagi mahasiswa fakultas Syariah khususnya prodi Hukum
Pidana Islam dan sebagai bahan informasi pendahuluan yang penting
bagi peneliti yang mungkin mirip di masa mendatang atau sebagai
bahan informasi pembanding bagi peneliti lama yang serupa namun
berbeda sudut pandang. Serta berfungsi juga sebagai tambahan
literatur Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya dan memberikan
hal memutuskan suatu perkara terkhususnya dalam masalah yang
ditulis oleh penulis.
2. Secara praktis
Penelitian ini diharapakan berguna bagimasyarakat guna menyadarkan
akan adanya Hukum dan rugi atau dampak dari bahayanya kejahatan
yang menganggu ketentraman masyarakat.
H. Definisi Operasioanal
Adapun untuk mempermudah pemahaman serta terhindar dari salah
pengertian terhadap istilah dalam penelitian ini, maka perlu dijelaskan
sebagai berikut :
1. Hukum Pidana Islam ( fikih jinayah ) adalah ilmu tentang hukum
Syarak yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang (
jarimah ) dan hukumannya, yang diambil dari dalil-dalil yang
terperinci.32
2. Kekerasan terhadap orang adalah secara yuridis, apa yang
dimaksud dengan kejahatan kekerasan tidak terdapat dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ). Hannya saja dalam
Bab IX pasal 89 KUHP menyebutkan bahwa membuat orang
pingsan atau membuat orang tidak berdaya disamakan dengan
menggunakan kekerasan. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa kejahatan kekerasan merupakan kejahatan yang dilakukan
32
dan disertai dengan menggunakan kekuatan fisik yang
mengakibatkan korban pingsan atau tidak berdaya.33
3. Tindak pidana di muka umum adalah suatu tindakan atau
perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang
hukum pidana yang dilakukan di tempat mana publik dapat
melihat.
4. Pasal 170 KUHP aturan perundang undangan yang membahas
tentang ‚ barang siapa dengan terang terangan dan dengan tenaga
bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam
bulan ‚. Yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana ( KUHP ).
I. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian ini termasuk penelitian hukum empiris atau
penelitian hukum sosiologi, yaitu penelian hukum dengan memperoleh
dari bahan bahan hukum primer. Dalam penelitian ini fokus penelitian
adalah pada dokumen berupa putusan Pengadilan Negeri Jombang (
Nomor 218/ PID.B/ 2014 / PN. JMB ). Sementara undang-undang dan aturan
yang digunakan untuk menganalis penelitian ini adalah KUHP pasal 170
tentang tindak pidana di muka umum secara bersama-sama melakukan
33
kekerasan terhadap orang dan dalam hukum pidana islam berkaitan
dengan jarimah diat.
2. Data yang dikumpulakan
Data yang dikumpulkan adalah data yang berkaiatan dengan tindak
pidana di muka umum secara bersama-sama melakukan kekerasan
terhadap orang dalam direktori putusan Pengadilan Negeri Jombang
Nomor 218/ PID.B/ 2014 / PN. JMB adalah:
a. Dasar hukum dan pertimbangan hakim dalam hal putusan
tersebut.
b. Tinjauan hukum pidana islam terhadap putusan tersebut.
3. Sumber data
a. Sumber primer
Sumber primer adalah sumber data yang diperoleh secara
langsung dari obyek penelitian. Dalam penelitian ini sumber data
primernya adalah:34
1. KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana).
2. Salinan putusan Pengadilan Negeri Jombang Nomor : 218/
PID.B/ 2014/ PN. JMB terhadap pelaku tindak pidana Kekerasan
di dusun Jeblok, desa Brudu, Kecamatan Sumombito, Kabupaten
Jombang.
b. Sumber data sekunder
Sumber sekunder adalah ada buku-buku literatur yang
berhubungan dengan tema atau judul yang diangkat penulis,
jurnal, buku-buku dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah
yang dikaji.
Antara lain;
1. Santoso, topo. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2016.
2. Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad
-Damasyqi, Fiqih Empat Mazhab, Abdullah Zaki Alkaf.
Bandung: Hasyimi, 2004.
3. Darma Weda, Made. Kriminologi. Jakarta: Rajawali
Press, 1996.
4. E. Hagan, Frank. Kriminologi teori, metode, dan
perilaku kriminal, Noor Cholis. Jakarta: Kencana,
2013.
5. Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah, Abu Sauqina dan Abu
Auliya Rahma Jilid 4. T.tp., : Tinta Abadi Gemilang,
2013.
6. Rasyid, Sulaiman. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2012.
7. Wardi Muslich, Ahmad. Hukum Pidana Islam. Jakarta:
8. Muhammad Rizki, Gerry. KUHP & KUHAP, ( t.tp., :
Permata Press, 2008.
9. Rosdiana, ‚ Ijma’ Dalam Prespektif Ulam’ Ushul Fiqih
‛, Jurnal Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan,
Volume 10 ( April, 2007 )
a. Teknik pengumpulan data
Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam pelitian ini,
maka dipergunakan teknik sebagai berikut:
1. Studi dokumentasi, yakni teknik pengumpulan data yang
tidak langsung ditunjukkan pada subjek penelitian, namun
melalui dokumen, atau dilakukan melalui berkas yang ada
dengan cara diketik, ditulis dan putusan digandakan.
Dokumen ini yang diteliti adalah putusan Pengadilan
Negeri Jombang tentang tindak pidana di muka umum
secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap
orang Nomor 218 / PID.B / 2014 / PN.JMB.
2. Studi kepustakaan, yakni teknik pengumpulan data yang
bersumber dari buku, undang-undang, artikel, jurnal dan
internet, teknik mengumpulkan dilakukan dengan cara
membaca, merangkum, menelaah, dan mencatat hal yang
b. Teknik analisis data
Teknik analisis penelitian ini menggunakan teknik
deskriptif analisis dengan pola pikir deduktif. Teknik deskriptif
analisis, yaitu dengan cara memaparkan dan menjelaskan data apa
adanya. Data tindak pidana di muka umum secara bersama-sama
melakukan kekerasan terhadap orang dalam Putusan Direktori
Pengadilan Negeri Jombang Nomor 218/ PID.B/ 2014 / PN. JMB
kemudian dianalisa dengan menggunakan teori jarimah Diat.
Deduktif, yaitu pola pikir yang berangkat dari prinsip-prinsip yang
bersifat umum dalam hal ini adalah teori jarimah, kemudian
diaplikasikan pada fakta-fakta yang bersifat khusus dalam hal ini,
dasar putusan hakim dalam kasus tindak pidana di muka umum
secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang dalam
Putusan Direktori Pengadilan Negeri Jombang Nomor 218/ PID.B/
2014 / PN. JMB
Data dalam penelitian ini dikumpulkan dan
diorganisasikan, serta diurutkan dalam suatu pola tertentu
sehingga dapat ditemukan dan dirumuskan hal-hal yang sesuai
dengan bahasan penelitian. Seluruh data ini dianalisa secara
kualitatif, yaitu menginterpretasikan secara kualitas tentang
komprehensif mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan
pokok persoalan yang ada dalam penelitian ini.
J. Sistematika Pembahasan
Agar memudahkan dalam pembahasan dan mudah dipahami, maka
pembahasannya dibentuk dalam bab-bab yang masing-masing
mengandung sub bab. penulis membuat sistematika pembahasan sebagai
berikut :
Bab pertama menguraikan alasan dan ketertarikan penulis dalam
meneliti masalah ini, gambaran secara keseluruhan skripsi, seperti yang
terdapat di dalam latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan
masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan
hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian dan sistematika
pembahasan.
Bab kedua berisi tentang landasan teori tentang kekerasan dalam
ruang lingkup hukum pidana islam dan hukum positif. Serta membahas
tentang landasan teori tentang kekerasan. Pembahasan ini juga meliputi
Pengertian Kekerasan, Macam-Macam kekerasan, Alasan terjadinya
kekerasan pidana.
Bab ketiga ini membahas tentang putusan hakim terhadap pelaku
dalam direktori putusan Pengadilan Negeri Jombang Nomor 218/ PID.B/
2014/ PN. JMB, isi putusan, dasar, pertimbangan, putusan dan implikasi.
Bab empat ini membahas tentang analisis masalah Tinjauan
Hukum Islam Terhadap Tindak Pidana Penganiayaan secara terang terang
dan dengan tenaga bersama terhadap putusan Pengadilan Negeri Nomor
218/ PID.B/ 2014/ PN. JMB.
Bab lima ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran
27
BAB II
BERSAMA-SAMA MELAKUKAN KEKERASAN TERHADAP ORANG DALAM HUKUM PIDANA ISLAM
A. Pengertian dan Bentuk Penyertaan
Konrad Lorenz ( 1966 ) dan Robert Ardrey ( 1963 ) berpendapat
bahwa manusia mempunyai ‚ naluri membunuh ‚, kecenderungan alami
terhadap kekerasan dan agresi.35 Kejahatan kekerasan sebagai suatu fenomena yang ada dalam masyarakat merupakan kejahatan tradisional yang telah ada sejak dahulu. Hanya saja sekarang telah mengalami perkembangan, baik dalam hal motif, sifat, bentuk, intensitas, maupun modus operandi. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh perkembangan ilmu dan teknologi, yang akhir-akhir ini berkembang dengan pesat.36 Sebagai contoh kekerasan pada zaman dahulu apabila seorang guru memukul atau menghukum muridnya baik itu ditempar atau memberikan teguran terhadap muridnya, mungkin cara yang digunakan oleh guru tersebut diperbolehkan karena dengan alasan mendidik, untuk sekarang dengan berkembangnya zaman dan teknologi banyak orangtua murid menyalahkan guru yang memberikan teguran tersebut.
Secara yuridis, apa yang dimaksud dengan kejahatan kekerasan tidak terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ).
35
Frank E. Hagan, Kriminologi Teori,Metode,dan Perilaku Kriminal...,298.
36
Hanya saja dalam bab IX pasal 89 KUHP menyebut bahwa membuat orang pingsan atau membuat orang tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kejahatan kekerasan merupakan kejahatan yang dilakukan dan disertai dengan menggunakan kekuatan fisik yang mengakibatkan korban pingsan atau tidak berdaya.37
Dalam hal melakukan tindak pidana yang sudah tertera di atas ada kalanya melancarkan aksinya dengan sendirian dan adakalanya melancarkan aksinya dengan berkelompok. Dalam praktek ternyata sering terjadi lebih dari seorang terlibat dalam peristiwa tindak pidana. Di samping si pelaku ada seorang atau beberapa orang lain yang turut serta.
Hezewinkel-Suringa menceritakan, bahwa dahulu kala perhatian hanya diarahkan kepada si pelaku saja, dan baru pada penghabisan abad-18 dalam hukum pidana mulai diperhatikan, sampai dimana juga orang-orang lain yang turut serta itu dapat dipetanggungjawaban dan dikenakan hukuman.38 Dalam penjelasan diatas manusia dalam melancarkan aksinya untuk melakukan suatu tindakan jarimah dan untuk mendapatkan kemenangan maka dia mengajak atau menghasut orang lain untuk melaksanakan suatu tindakan jarimahnya.
Dalam hukum pidana Islam adakalanya suatu perbuatan jarimah dilakukan oleh lebih dari seorang secara tawa>fuq dan ada juga secara
37
Ibid., 108.
38
tamalu’. Perbuatan jarimah yang dilakukan secara tawa>fuq adalah perbuatan jarimah yang dilakukan lebih dari seorang tanpa direncanakan dan disepakati sejak awal. Mereka secara tiba-tiba melakukan jarimah secara sendiri-sendiri. Misalnya beberapa orang melakukan unjuk rasa. Tanpa disepakati sejak awal, mereka melakukan tindak anarkis. Sedangkan perbuatan jarimah yang dilakukan secara tamalu’ adalah perbuatan jarimah yang dilakukan lebih dari seorang dengan disertai rencana sebelumnya, semisal si A mempunyai sepeda motor sedangkan si B tidak mempunyai, karena si B merasa iri kepada si A kemudian si B mengajak disi C untuk merencakan mengambil sepada motor dan mengkeroyok hingga terluka si A.
Dalam hukum pidana Islam Suatu perbuatan jarimah atau tindak pidana adakalanya dilakukan secara perseorangan adakalanya dilakukan secara berkelompok. Oleh karena itu, pembahasan terpenting tentang perbuatan jarimah yang dilakukan oleh berberapa orang diantaranya: turut berbuat jarimah langsung dan tidak langsung, hubungan antar turut berbuat langsung dengan turut berbuat jarimah tidak langsung; turut berbuat jarimah tidak langsung dengan cara tidak melakukan sesuatu, dan tangung jawab pidana terhadap kemungkinan terjadinya kejahatan di luar kesepakatan semula.
menyuruh orang lain, memberi bantuan atau keluasan dengan berbagai bentuk. Dari definisi tersebut, dapat diketahui, sedikitnya ada dua pelaku jarimah, baik dikehendaki bersama, secara kebetulan, sama-sama melakukan perbuatan tersebut atau memberi fasilitas bagi terselenggaranya suatu jarimah.39 Dalam penjelasan pelaku jarimah banyak motif-motif tersangka untuk melancarkan aksinya agar niat untuk melakukan balas dendam tercapai dengan lancar, baik itu dengan bersama-sama atau kebetulan
Ahmad Hanafi membagi kerja sama dalam berbuat jarimah dalam empat kemungkinan :40
1. Pelaku melakukan jarimah bersama-sama orang lain ( mengambil bagiannya dalam melaksanakan jarimah ). Artinya, secara kebetulan melakukan bersama-sama.
2. Pelaku mengadakan persepakatan dengan orang lain untuk melakukan jarimah.
3. Pelaku menghasut ( menyuruh ) orang lain untuk melakukan jarimah. 4. Orang yang memberi bantuan atau kesempatan jarimah dengan
berbagai cara, tanpa turut serta melakukannya.
Suatu kejahatan kadang-kadang dilakukan oleh satu orang dan adakalanya dilakukan oleh beberapa orang. Oleh karena itu, bahasan
39 Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam ( Fiqih Jinayah ), ( Bandung: CV Pustaka Setia, 2000 ),
55.
40
terpenting tentang perbuatan jarimah yang dilakukan oleh beberapa orang diantaranya: turut berbuat jarimah langsung dan tidak langsung, hubungan antara turut berbuat jarimah langsung dengan turut berbuat jarimah tidak langsung; turut berbuat jarimah tidak langsung dengan cara tidak melakukan sesuatu, dan tanggung jawab pidana tehadap kemungkinan terjadinya kejahatan di luar kesepakan yang semula.41
Dalam hukum pidana Islam, fukaha membedakan penyertaan ini dalam dua bagian, yaitu: turut berbuat langsung ( ishtira>k al-muba>shir ), orang yang melakukannya disebut sharik al-muba>shir, dan turut berbuat tidak langsung ( isht}ira>k ghai>rul muba>shir / isytira>k bit-tasabbubi ), orang yang melakukannya disebut sharik mutasabbib. Perbedaan antara kedua orang tersebut ialah kalau orang pertama menjadi kawan-nyata dalam pelaksanaan tindak pidana, sedangkan orang kedua menjadi sebab adanya tindak pidana, baik karena janji-janji atau menyuruh, menghasut, atau memberi bantuan, tetapi tidak ikut serta secara nyata dalam melaksanakannya.42 Dalam melakukan tindak pidana disitu terdapat siklus penyebab suatu bentuk kejahatan baik itu dikarenakan unsur-unsur yang menyinggung perasaan sebagai contoh iri, dengki, sombong, dll, dalam hal perbuatan tersebut muncullah macam-macam kejahatan. Dalam melancarkan suatu kejahatan ada kalanya disertai bantuan maupun sendirian, dalam hal tersebut terdapat seorang otak pelaku dan para kaki
41
A. Djazuli, Fiqih Jinayah ( Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam ), ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000 ), 16-17.
42
tangan dari seorang otak pelaku. Yang di sebut dengan turut berbuat langsung maupun turut berbuat tidak langsung.
B. Pembagian Penyertaan Dalam Hukum Pidana Islam 1. Turut berbuat langsung (isht}ira>k al-muba>shir )
Turut serta secara langsung terjadi apabila orang-orang yang melakukan jarimah dengan nyata lebih dari satu orang. Pengertian melakukan jarimah dengan nyata di sini adalah bahwa setiap orang yang turut serta itu masing masing-masing mengambil bagian secara langsung, walaupun tidak sampai selesai.43
Para fukaha mengadakan pemisahan apakah kerja sama dalam mewujudkan tindak pidana terjadi secara kebetulan ( tawa>fuq ), atau memang sudah direncanakan bersama-sama sebelumnya ( tamalu ). Pada yang pertama para peserta berbuat karena dorongan pribadinya dan pikirannya yang timbul ketika itu, seperti yang sering terjadi pada kerusuhan atau perkelahian secara keroyokan. Dalam kasus ini, pertanggung jawaban mereka bergantung kepada perbuatannya masing-masing, sesuai dengan kaidah: Setiap orang yang turut serta berbuat jarimah dalam keadaan tawa>fuq dituntut berdasarkan perbuatnnya masing-masing.44
Pada yang kedua, para peserta telah bersepakat untuk berbuat sesuatu tindak pidana dan menginginkan bersama terwujudnya hasil
43
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam..., 67-68.
44
tindak pidana itu, serta saling membantu dalam melaksanakannya.45 Perbuatan ini sesuai dengan kaidah: Setiap orang yang turut serta berbuat jarimah dalam keadaan tamalu’ dituntut dari hasil keseluruhan perbuatan yang turut serta berbuat jarimah.46
Menurut kebanyakan para fukaha, tanggung jawab tawafuq terbatas pada perbuatannya saja, tidak bertanggung jawab atas apa yang dilakukan peserta lain. Sedangkan pada tamalu’ para peserta harus bertanggung jawab atas perbuatannya secara keseluruhan. Namun menurut Imam Abu Hanifah tidak ada perbedaan pertanggungjawaban antara keduanya.47 Dari penjelasan diatas ulama memberikan pendapatnya antara tawa>fuq dan tamalu’ menurut kaidah yang dikutip antara tawa>fuq dan tamalu’ itu mempunyai pengertian yang berbeda tetapi dalam penjelasan ini Imam Abu Hanifah memberikan komentar tidak memberikan perbedaan antara keduanya karena sama-sama melakukan tindak jarimah.
Yang juga dipandang sebagai turut berbuat langsung adalah apa yang dikenal sebagai menyuruh melakukan tindak pidana ( doen plegen ). Ini terjadi apabila si pembuat langsung hannya menjadi alat / instrumen saja dari orang yang menyuruh, misalnya seorang yang hendak mencuri barang orang lain menyuruh seorang anak kecil untuk mengambil barang tersebut, maka orang yang menyuruh itu dipandang sebagai pembuat
45
Ibid., 126.
46
Ibid., 25.
47
langsung.48 Jadi, yang disebut turut berbuat langsung adalah orang yang mengawali suatu bentuk kejahatan seperti yang tertera pada contoh diatas.
Imam Abu Hanifah membedakan cara yang digunakan untuk menyuruh, apabila suruhannya merupakan paksaan, maka dipandang sebagai pembuat langsung. Namun bila tidak sampai kepada tingkatan paksaan, maka perbuatan tersebut dipandang sebagai turut berbuat tidak langsung dan hukumannya tidak sama dengan pembuat langsung.49Sesuai dengan kaidah: Apabila bersatu antara yang berbuat langsung dengan yang tidak maka hukumanya diberikan kepada yang berbuat langsung.50
Bentuk lain dari turut berbuat jarimah langsung adalah menghasut orang lain untuk berbuat kejahatan. Sehubungan dengan ini ada tiga syarat bagi terjadinya turut berbuat jarimah, yaitu:51
1. Adanya perbuatan yang diancam dengan hukuman ( jarimah ).
2. Adanya cara yang menuju kepada perbuatan tadi, seperti adanya kesepakatan untuk berbuat suatu jarimah, atau membantu melakukan kejahatan.
3. Adanya tujuan dari setiap palaku demi terjadinya suatu perbuatan yang diancam hukuman.
Pada dasarnya menurut sariat Islam banyak sedikitnya peserta tindak pidana tidak memengaruhi besarnya hukuman. Meski demikian,
48
Ibid., 127.
49
Ibid., 127.
50
Ibid., 27.
51
masing masing peserta bisa terpengaruh oleh keadaan dirinya sendiri-sendiri ( dan ini tidak dapat dinikmati oleh peserta lain. Misalnya dalam suatu tindak pidana, bisa terjadi salah satu peserta melakukan perbuatannya karena membela diri, karena gila, karena salah sangka, sementara hal itu tidak ada pada peserta lain, maka hukuman yang dijatuhkan tidak sama. 52
Menurut riwayat Daruquthni- seperti dikutip Asy-Shaukani ketentuan turut serta berbuat langsung adalah hadis dari Abu Hurairah berikut :53
ع ْن
ا
ْاب
ر ْ ي
ر
ر ة
اض
ي
لا
ع ْن
ه
ع ان
نلا
ِاب
ص ل
لا ي
ع ل
ْي اه
و س
ل م
ق
لا
اا :
ذ اا
ْم س
ك
رلا
ج
ل
و ق ت
ل ه
ْا ل
خ ر
ي ْق
ت ل
لا
اذ
ْي
ق ت
ل
و ي ْب
ح
س
لا
اذ
ْي
ا ْم
س
ك
َ ىطق رادلا اور ُ
Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi Muhammad SAW. ‚ apabila seorang
laki-laki memegangi ( korban ), sedangkan laki-laki lain membunuhnya, maka dibunuh bagi orang yang membunuhnya dan dikurung bagi orang yang memeganginya.
Dalil tersebut menurut Asy-Syaukani menunjukkan bahwa kisas hanya dikenakan bagi orang yang membunuhnya saja, sedangkan bagi orang yang memegang, hukumannya adalah dikurung. Kahalany juga berpendapat demikian tanpa menyebutkan kadar waktunya.54
An-Nasa’i, Imam Malik, dan Ibnu Abi Laila berpendapat terhadap orang yang memegangi korban dalam kasus pembunuhan, juga dikenai
hukuman kisas, sebab dia dianggap sebagai muba>shir yaitu pelaku pembunuhan juga. Menurut mereka, pembunuhan tersebut tidak mungkin terjadi secara sempurna, tanpa keterlibatan orang yang memegangi korban.55
2. Turut serta tidak langsung (isht}irak ghai>ru al-muba>shir / isytirak bit-tasabbubi )
Yang disebut dengan turut serta tidak langsung, menurut Ahmad Hanafi adalah sebagai berikut: setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum atau menyuruh ( menghasut ) orang lain atau memberikan bantuan dengan disertai kesengajaan dalam kesepakatan dan menyuruh serta memberi bantuan.56
Turut berbuat jarimah yang tidak langsung adalah seperti orang yang menyuruh orang lain untuk membunuh orang ketiga. Dalam kasus
ini, menurut para ulama di kalangan mazhab Maliki, Syafi’i, dan Ahmad, orang yang menyuruh itulah yang dianggap sebagai pelaku pembunuhan. Karena orang yang disuruh itu hanyalah alat yang digerakkan oleh si penyuruh.57
Mengenai hukuman peserta berbuat tidak langsung, menurut hukum Islam adalah hukuman takzir, sebab jarimah turut berbuat tidak
55
Ibid., 57.
56
Ibid., 58.
57
langsung tidak ditentukan oleh sariat, baik bentuk maupun macam hukumnya. Hudud dan kisas / diat saja. Kedua bentuk jarimah tersebut ( hudud dan kisas / diat ) hanya tertuju pada jarimah yang diperbuat secara langsung, bukan untuk kawan perbuatannya ( pembuat tidak langsung ). Perbuatan tidak langsung merupakan illat dan menunjukkan kesubhatan ( kesamaran ) dalam perbuatan jarimah, sedangkan subhat dalam hudud ( jarimah hudud dan kisas / diat ) menurut kaidah, harus dihindari. Oleh karena itu, sanksi pelaku jarimah turut serta secara tidak langsung adalah hukuman takzir, bukan hudud atau kisas.58
C. Pertalian Perbuatan Langsung Dengan Perbuatan Tidak Langsung ( mubasharah dengan sebab )
Pertaliann antara kedua macam perbuatan tersebut apabila kumpul kedua-duanya, tidak lebih dari kemungkinan.59
1. Perbuatan tidak langsung lebih kuat dari pada perbuatan langsung, dan hal ini bisa terjadi apabila perbuatan langsung bukan perbuatan yang berlawanan dengan hukum ( pelanggaran hak ), seperti persaksian palsu yang mengakibatkan adanya putusan hakim untuk menjatuhkan hukuman mati atas diri tersangka. Persaksian palsu adalah perbuatan tidak langsung.
2. Perbuatan langsung lebih kuat daripada perbuatan tidak langsung. Hal ini terjadi apabila perbuatan langsung, dapat memutus daya kerja
58
Ibid., 58.
59
perbuatan tidak langsung, dan perbuatan tidak langsung itu sendiri tidak mengharuskan menimbulkan akibat yang terjadi, seperti orang yang menjatuhkan orang lain dalam jurang, kemudian datang orang ketiga untuk membunuh orang yang ada dalam jurang itu.
3. Kedua perbuatan tersebut seimbang, yaitu apabila daya kerjanya sama kuatnya, seperti memaksa orang lain melakukan pembunuhan. Dalam soal ini, pemaksaan itulah yang menggerakan pembuat langsung melakukan jarimah, sebeb kalau sekiranya tidak ada pemaksa tentunya orang kedua tidak berbuat, tetapi juga kalau sekiranya tidak ada orang kedua, belum tentu paksaan orang pertama akan menimbulkan pembunuhan tersebut.
Akan tetapi dalam penerapan ( pembedaan-pembedaan ) tersebut terdapat di kalangan fukaha, seperti apakah ada orang menahan orang lain ( orang kedua ) agar bisa dibunuh oleh orang ketiga.60
Menurut Imam Abu Hanifah dan Syafi’i orang pertama ( yang menahan ) adalah peserta yang memberi bantuan, bukan pembuat asli ( langsung ). Alasannya ialah bahwa orang yang menahan meskipun menjadi sebab bagi kematian orang kedua, namun orang kedualah yang melakukan pembunuhan langsung, sedang pembuat langsung lebih kuat
60
daripada perbuatan tidak langsung apabila perbuatan tidak langsung tidak mengharuskan menimbulkan akibat.61
Menurut fukaha lainnya, yaitu Imam Malik dan beberpa ulama mazhab Hambali, baik orang yang menahan maupun yang membunuh langsung, kedua-duanya dianggap sebagai pembunuh langsung. Alasannya ialah bahwa perbuatan-perbuatan langsung dan tidak langsung pada contoh di atas sama-sama menimbulakan akibat perbuatan jarimah yaitu kematian di korban.62
Kalau sekiranya tidak ada salah satu dari kedua perbuatan itu tentunya tidak akan terjadi kematian tersebut.
Jadi letak perbedaan bukan kepada siapa pembantu asli atau langsung, melainkan apakah perbuatan tidak langsung pada contoh tersebut sama dengan perbuatan langsung atau tidak.
D. Pertalian Sebab Akibat Antara Turut Berbuat Dengan Jarimah
Turut berbuat dianggap ada, apabila benar-benar ada pertalian sebab akibat dengan jarimah yang terjadi. Kalau turut berbuat berupa kesepakatan tersebut begitupun pada cara-cara turut berbuat lainnya.63 Oleh karena itu suatu bentuk jarimah dianggap ada apabila terjadinya
61
Ibid., 148.
62
Ibid., 148.
63
suatu bentuk sebab-akibat, oleh sebab itu muncullah suatu bentuk perbuatan jarimah.
Jika karena tipu muslihatnya membawa orang lain pergi kepada suatu tempat tertentu, agar di tempat itu orang ketiga dapat membunuhnya; akan tetapi orang ketiga tersebut tidak muncul di tempat yang telah ditentukan itu, kemudian orang pertama membiarkan orang kedua pulang ke rumahnya, setelah orang ketiga menegtahui apa yang terjadi, ia kemudian pergi ke rumah orang kedua dan dirumahnya ini orang kedua dibunuh, oleh orang ketiga. Dalam contoh ini orang petama tidak dianggap sebagai kawan berbuat atau pemberi bantuan, karena tidak ada pertalian sebab akibat antara perbuatnnya dengan jarimah yang terjadi; meskipun dengan kwalifikasi lain orang petama tersebut dapat dijatuhi hukuman.64 Oleh karena itu dalam hal berbarengan melakukan tindak pidana yang dijatuhi hukuman adalah orang yang berbuat secara langsung baik itu otak pelaku maupun kaki tangan pelaku.
1. Turut berbuat tidak langsung dengan jalan tidak berbuat
Bentuk-bentuk turut berbuat tersebut di atas, yaitu persepakatan dengan hasutan adalah perbuatan-perbuatan nyata ( Positif ). Akan tetapi memberi bantuan tidak langsung memang pada hakikatnya berupa sikap tidak berbuat, sepeti orang yang melihat segerombolan penjahat yang membunuh orang lain, kemudian didiamkan olehnya atau melihat orang
64
membuang anak kecil di sungai besar tetapi ia diam dan tidak menyelamatkan anak tersebut.65
Menurut kebanyakan fukaha, berdiam diri pada contoh-contoh tersebut tidak dianggap memberikan bantuan kepada pembuat jarimah. Meskipun bisa dianggap bantuan dari segi moral namun tidak bisa dianggap bantuan atau perbuatan tidak langsung kepada jarimah dari segi kepidanaan, sebab pemberian bantuan yang dapat dihukum ialah yang berdasarkan atas saling mengerti antara pemberi bantuan dengan pembuat langsung, dan memang jarimah yang terjadi dikehendaki oleh pemberi bantuan .66 Dari penjelasan-penjelasan fuqaha diatas banyak ulama-ulama yang mempunyai berbeda-beda pendapat terhadap perbuatan langsung mapun tidak langsung dalam tindak pidana perbarengan melakukan suatu tindakan kekerasan dimuka umum secara bersama-sama, oleh karena itu hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku berbeda-beda sesuai dengan jenis perbuatannya, sedangkan jenis hukuman jarimahnya adalah diat, dengan besaran membayar onta sesuai dengan pendapat imam mazhab.
65
Ibid., 149.
66
42
BAB III
Perkara Penetapan Tindak Pidana Di Muka Umum Secara Bersama-sama Melakukan Kekerasan Terhadap Orang Dalam Direktori Putusan
Pengadilan Negeri Jombang Nomor. 218/ PID.B/ 2014/ PN.JMB
A. Wewenang Pengadilan Negeri Jombang
Adapun struktur organisasi di Pengadilan Negeri Jombang
adalah sebagai berikut :
1. Ketua pengadilan
Sebagai pemimpin pengadilan bertanggung jawab atas
terselenggaranya administrasi perkara pada pengadilan, menunjuk
juru bicara pengadilan untuk memberikan penjelasan tentang
hal-hal yang berhubungan dengan pengadilan.
2. Wakil Ketua Pengadilan
Membantu ketua dalam membuat program kerja jangka pendek
dan jangka panjang, pelaksanaannya serta pengorganisasiannya
mewakili ketua bila berhalangan, melaksanakan delegasi
wewenang dari ketua, melakukan pengawasan intern untuk
mengamati apakah pelaksanaan tugas telah dikerjakan sesuai
dengan rencana kerja dan ketentuan yang berlaku serta
melaporkan hasil pengawasan tersebut kepada ketua.67
67
T,p, “ Tugas Pokok dan Fungsi dari Unsur Pimpinan dan Komponen Pengadilan “,
3. Hakim
Hakim pengadilan adalah pejabat yang melaksanakan tugas
kekuasaan kehakiman. Tugas utama hakim adalah mengadili,
memutus perkara dengan memberikan vonis atau keputusan
pengadilan.68
4. Panitera
Pejabat atau petugas yang berfungsi memelihara atau menjaga
segala dokumen atau melaksanakan pekerjaan umum kantor
pengadilan. Pejabat pengadilan yang bertugas membantu Hakim
untuk membuat berita acara sidang pada saat sidang pemeriksaan
diadakan.69
5. Wakil Panitera
Membantu pimpinan pengadilan dalam membuat program kerja
jangka pendek dan jangka panjang, pelaksaannya serta
pengorganisasiannya. Membantu panitera di dalam membina dan
mengawasi pelaksanaan tugas-tugas administrasi perkara,
membuat laporan periodik, melaksanakan tugas panitera apabila
panitera berhalangan, dan melaksanakan tugas yang didelegasikan
panitera kepadanya.
68
M. Marwan dan Jimmy P, Kamus Hukum Dictionary Of Law Complete Edition, ( Surabaya: Reality Publisher, 2009 ), 244.
69
6. Panitera Muda
Membantu pimpinan Pengadilan dalam membuat program kerja
jangka pendek dan jangka panjang, pelaksanaannya serta
pengorganisasiannya. Membantu panitera dalam menyelenggaran
administrasi perkara dan pengolahan/penyusunan laporan sesuai
dengan bidangnya masing-masing.
7. Panitera Penggati
Pejabat pengadilan yang oleh ketua pengadilan ditunjuk untuk
melakukan pekerjaan panitera pada sidang-sidang pengadilan.70
8. Sekertaris
Sekretaris bertugas menyelenggarakan administrasi Umum
Pengadilan, membantu Hakim dengan mengikuti dan mencatat
jalannya persidangan.71
9. Kepala bagaian Umum dan Keuangan
Mencatat dan mendistribusiakan surat surat masuk dan surat-surat
keluar, menyelenggarkan pengadaan barang persediaan untuk
keperluan operasional kantor, menyimpan dan memelihara surat.72
10.Sub Bagian Kepegawaian dan Organisasi dan Tata Laksana
70
Ibid., 480.
71 T,p, “ Tugas Pokok dan Fungsi dari Unsur Pimpinan dan Komponen Pengadilan “,
http://www.pn-kisaran.go.id/index.php/tentang-pengadilan/2015, “ diakses pada 27/07/2017. 72
T,p, “ Tugas Pokok dan Fungsi dari Unsur Pimpinan dan Komponen Pengadilan “,
Menata dan memelihara file/berkas kepegawaian pegawai,
menyusun dan membuat daftar urut kepangkatan, mengususlkan
pengangkatan Pegawai Negeri Sipil, kenaikan pangkat,
pengangkatan dalam jabatan, mutasi, mempersiapakan bahan dan
mencatatseluruh hasil untuk rapat Baperjaket.
11.Sub Bagian Perencanaan, Teknologi Informasi, dan Pelaporan
Membantu sekertaris dalam melakukan pengumpulan, identifikasi,
analisis, pengolahan dan penyajian data/ informasi untuk
menyiapkan bahan penyususnan perencanaan, dan melakukan
penyiapan bahan monitoring, evaluasi dan pelaporan.
12.Jurusita / Jurusita Pengganti
Melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh ketua
pengadilan, ketua sidang dan panitera, melaksanakan pemanggilan
atas perintah ketua Pengadilan atau atas perintah Hakim,
membuat berita acara penyitaan yang salinan resminya diserahkan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan, anatar lain kepada BPN
setempat bila terjadi penyitaan sebidang tanah, menyiapkan
pengumuman-pengumuman, teguran, protes-protes, dan
pemberitahuan putusan pengadilan menurut cara berdasarkan
B. Deskripsi Tindak Pidana Di Muka Umum Secara Bersama-sama
Melakukan Kekerasan Terhadap Orang Dalam Direktori Putusan
Pengadilan Negeri Jombang Nomor. 218/ PID.B/ 2014/ PN.JMB
Terjadinya kasus tindak pidana di muka umum secara
bersama-sama melaakukan kekerasan terhadap orang bermula pada
hari Selasa tanggal 23 April 2013 jam 23.00 setelah selesai mengganti
ban sepeda motor Saksi Zainul Hakim ( korban ) ingin buang air besar
ke tuangan Dusun Jeblok, Desa Brudu dengan menggunakan sepeda
motor berboncengan dengan saksi Purnomo, setelah sampai di pinggir
sungai korban bertemu dengan saksi Chafid Ubaidillah yang juga
sedang buang air besar, belum sempat buang air besar korban melihat
di sebelah timur banyak pemuda, satu yang dikenal korban adalah
Terdakwa Dwi Taufik Yulianto Bin Sukoadi alias Antok alias Tokek
bersama dengan teman-temannya yaitu Eko, Basir, Burhan, Yusuf,
Umar, Saiput dan Slamet. Karena dikiranya oleh korban adalah
teman-temannya oleh korban didatangi, saat didatangi oleh korban
yang berjalan bersama dengan yaitu Saksi Purnomo dan saksi Chafid
Ubaidillah, salah satu teman Terdakwa mengatakan ‘wis klek tokek
gak usah klek’ setelah dekat, dengan alasan karena sebelumnya
merasa pernah ditantang oleh korban, Terdakwa kemudian
mengeluarkan celurit yang sebelumnya disembunyikan di belakang
badannya, setelah korban mengetahui bahwa yang didatangi bukanlah
membawa celurit, korban bersama dengan saksi Purnomo dan saksi
Chafid Ubaidilah lari menyelamatkan diri, namun korban Zainul
Hakim saat melarikan diri terjatuh, be