• Tidak ada hasil yang ditemukan

fullpapers jpkk190c2614242full

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "fullpapers jpkk190c2614242full"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Fama Annary, fama.annary@gmail.com

I Sanny Prakosa Wardhana, sannyprakosawardhana@gmail.com Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Kampus B Universitas Airlangga Jl. Airlangga 4-6, Surabaya - 60286

Pelajar SMA Korban Bullying

Fama Annary,

I Sanny Prakosa Wardhana

Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Abstract.

Researchers have proven the victims of bullying experienced negative impacts. One of them is the decreasing of self-esteem level. However, some victims of bullying showed resilience. Protective factors are believed to play the role on protecting victims from the negative impacts of bullying. This research aimed to ind out the correlation between self-esteem and protective factors of high school bullying victims. Subjects of this research are 67 students (20 boys and 47 girls) out of all 460 students in a school that was assumed to have a high amount of bullying case. All of the 460 students illed up bullying victimization questionnaires to identify who are the qualiied subjects. The subjects then illed up self-esteem and protective factors questionnaires. The result of this research showed that there was a positive correlation between self-esteem and protective factors of high school bullying victims with the level of signiicance 0,000 and coeicient of correlation 0,490.

Keywords: self-esteem, protective factors, bullying

Abstrak.

Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa korban bullying mengalami banyak dampak negatif, salah satunya yaitu penurunan harga diri. Di sisi lain, beberapa korban kekerasan memiliki ketahanan akan dampak-dampak negatif tersebut. Faktor protektif membuat korban bullying tidak harus mengalami berbagai dampak negatif dari bullying. Penelitian ini dilakukan untuk menguji hubungan antara harga diri dengan faktor protektif pada pelajar tingkat SMA yang menjadi korban bullying. Jumlah subjek yang berpartisipasi sebanyak 67 siswa (20 laki-laki dan 47 perempuan) dari jumlah seluruh siswa sebanyak 460 siswa di sebuah sekolah yang diduga memiliki banyak kasus bullying. Seluruh siswa mengisi kuesioner korban bullying untuk menentukan subjek. Subjek kemudian mengisi kuesioner harga diri dan faktor protektif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara harga diri dengan faktor protektif pada pelajar tingkat SMA yang menjadi korban bullying dengan signiikansi 0,000 dan koeisien korelasi sebesar 0,490.

(2)

Pendahuluan

Dampak dari bullying tidak dapat dipungkiri mengkhawatirkan. Mulai dari yang mudah terobservasi seperti performa belajar di sekolah sampai dengan tendensi untuk melakukan tindakan bunuh diri. Banyak gangguan psikologis yang dapat dialami korban bullying seperti PTSD dan depresi. Akibat menjadi korban bullying juga dapat mengantar anak melakukan kenakalan (delinquency) dan tindakan agresif lainnya (Olweus, 1997 & Rigby, 2007). Gangguan-gangguan psikologis yang riskan dialami oleh korban bullying di atas disebut juga sebagai dampak negatif atau konsekuensi dari rendahnya tingkat harga diri (Emler, 2001). Namun demikian, sebagian korban bullying tidak mengalami semua permasalahan tersebut. Kemampuan untuk bertahan dalam menghadapi situasi yang sulit ini disebut dipengaruhi oleh faktor-faktor protektif yang berinteraksi dalam tiga level pada diri individu (Olsson, dkk., 2003). Penelitian ini dilakukan untuk menemukan bagaimana harga diri berhubungan secara positif dengan faktor protektif pada korban bullying.

Faktor Protektif

Faktor protektif merupakan konsep yang dikembangkan dari kerangka berpikir prespektif ekologis Brofenberenner (1986 dalam Dekovic, 1999), di mana anak berada di antara sistem ekologis yang kompleks serta saling berhubungan. Perspektif ini kemudian memunculkan konsep faktor resiko dan faktor protektif. Faktor protektif adalah faktor-faktor yang melindungi individu dari konsekuensi-konsekuensi negatif pengalaman hidup individu yang terdiri dari adaptable personality, supportive environment, fewer stressors, dan compensating experience (Baruth & Caroll, 2002).

Harga Diri

Rosenberg (1965) mendeinisikan harga diri sebagai sikap evaluatif (positif dan negatif) terhadap self. Individu den-gan harga diri tinggi memandang bahwa dirinya adalah orang yang berharga dan pantas (person of worth) (Rosenberg & Roberta, 1972). Individu dengan harga diri rendah merupakan individu yang kurang menghargai dirinya sendiri, men-ganggap dirinya tidak berharga atau tidak pantas, inadekuat, atau sangat kurang baik sebagai seorang manusia (Rosen-berg & Roberta, 1972). Faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri di anta-ranya adalah orangtua, kesuksesan dan kegagalan, penerimaan dan penolakan, penampilan, etnis atau ras, kelas sosial, dan gen (Emler, 2001).

Hubungan antara Harga Diri dengan Faktor Protektif

(3)

Harga diri juga dapat berhubungan dengan faktor protektif pada aspek sup-portive environment. Emler (2001) me-nyatakan bahwa faktor yang memiliki pengaruh paling besar bagi harga diri individu adalah keluarga. Penelitian yang dilakukan oleh Dekovic (1999) menun-jukkan bahwa rendahnya harga diri ber-hubungan negatif dengan kelekatan den-gan orangtua. Sapouna & Wolke (2013) mendukung bahwa harga diri berhubun-gan positif denberhubun-gan rendahnya konlik orangtua. Ketika menginjak usia remaja, diterima oleh kelompok pertemanan se-baya dan memiliki hubungan yang lebih matang merupakan salah satu tugas perkembangan (Hurlock, 2003). Rosen-berg (1979 dalam Emler, 2001) mendu-kung bahwa dumendu-kungan orangtua dalam perkembangan harga diri anak diganti-kan dengan penerimaan oleh kelompok teman sebaya pada usia remaja. Dekovic (1999) memaparkan bahwa rendahnya harga diri berhubungan negatif dengan penerimaan dan kelekatan dengan ke-lompok teman sebaya.

Apabila lingkungan individu mem-beri dukungan positif dalam bentuk apa-pun, maka dapat dikatakan bahwa sedikit stressor yang mempengaruhi rendahnya tingkat harga diri pada individu. Stress-or yang dimaksud seperti perceraian orangtua dan penolakan dari lingkungan (Emler, 2001). Stressor yang sedikit itu ada karena pengalaman positif yang ter-jadi lebih banyak daripada pengalaman negatif (yang bisa menjadi stressor) dan mampu mengkompensasi pengalaman negatif yang ada. Dengan kata lain, apa-bila lingkungan individu mendukung

se-cara positif, maka stressor yang muncul sedikit. Sehingga, individu lebih banyak memiliki pengalaman positif yang efek positifnya lebih banyak dari pengalaman negatif.

Dari latar belakang masalah dan identiikasi masalah yang telah dijelaskan di atas, penulis menyimpulkan suatu rumusan masalah yaitu “Apakah ada hubungan positif antara harga diri dengan faktor protektif pada pelajar tingkat SMA yang menjadi korban bullying?”

Metode Penelitian

Variabel

Dalam penelitian ini terdapat 2 (dua) variabel yaitu variabel bebas (independent variable) dan variabel terikat (dependent variable). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah harga diri, sedangkan variabel terikatnya adalah faktor protektif.

Sampel

(4)

perempuan) menjadi subjek dalam penelitian ini.

Prosedur

Seluruh siswa sebanyak 460 (kelas X dan XII) mengisi kuisioner Multidimensional Peer-Victimization Scale (MVPS) untuk menentukan subjek (korban bullying). Subjek kemudian mengisi kuisioner Rosenberg Self-Esteem Scale (RSES) untuk mengukur harga diri dan kuisioner Baruth Protective Factors Inventory (BPFI) untuk mengukur faktor protektif.

Instrumen Penelitian

Multidimensional Peer-Victimization Scale merupakan alat ukur untuk mengidentiikasi korban bullying yang dibuat oleh Helen Mynard dan Stephen Joseph (2000) dengan reliabilitas yang baik (α = 0,815). Alat ukur ini terdiri dari 16 item. Alat ukur ini digunakan untuk mengidentiikasi korban bullying melalui empat dimensi dengan reliabilitas internal yang memuaskan, yaitu: physical victimization (α = 0,561), verbal victimization (α = 0,696), social manipulation (α = 0,653), dan attacks on property (α = 0,688). Skala Likert tiga poin (0 = tidak sama sekali, 1 = sekali, dan 2 = lebih dari sekali) digunakan untuk mengukur respon partisipan.

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur harga diri adalah Rosenberg Self-Esteem Scale (1965) dengan tingkat reliabilitas yang baik (α = 0,726). Kuisioner ini terdiri dari 10 pernyataan mengenai pandangan seseorang mengenai kemampuan dirinya. Skala Likert empat poin (1 = sangat tidak setuju, 2 = tidak setuju, 3 = setuju, 4 = sangat setuju) digunakan untuk mengukur respon partisipan.

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur faktor protektif adalah Baruth Protective Factors Inventory. Alat ukur ini terdiri dari 16 item. Alat

ukur faktor protektif ini memiliki reliabilitas yang baik (α = 0,638) dengan reliabilitas internal masing-masing dimensi yaitu: adaptable personality (α = 0,506), supportive environment (α = 0,713), fewer stressors (α = 0,721), dan compensating experience (α = 0,564). Skala Likert 5 poin (1 = sangat tidak setuju, 2 = tidak setuju, 3 = netral, 4 = setuju, dan 5 = sangat setuju) digunakan digunakan untuk mengukur respon partisipan.

Ketiga alat ukur (MVPS, RSES, dan BPFI) telah ditranslasi ke bahasa Indonesia dan diuji validitas isi serta reliabilitasnya. Analisis data dilakukan dengan korelasi product moment pearson dengan bantuan SPSS versi 17.0.

Hasil dan Pembahasan

Hasil

Hasil analisis korelasi menunjukkan adanya hubungan yang signiikan antara kedua variabel dengan jumlah subjek 67 pada taraf signiikansi 0,01. Koeisien korelasi menunjukkan angka positif 0,490, yang artinya hubungan antara harga diri dan faktor protektif adalah hubungan yang positif. Apabila harga diri tinggi maka faktor protektif tinggi, begitu juga sebaliknya.

Korelasi antara harga diri dan faktor protektif pada siswa laki-laki korban bullying menunjukkan signiikansi dengan koeisien korelasi yang tinggi sebesar 0,809. Sedangkan, korelasi antara harga diri dan faktor protektif pada siswa perempuan korban bullying menunjukkan signiikansi dengan koeisien korelasi yang rendah sebesar 0,340.

(5)

kelas X menunjukkan angka yang lebih tinggi yaitu 0,528 daripada kelas XII yaitu 0,454.

Selain mengkorelasikan antara varia-bel x dan variavaria-bel y, peneliti juga menga-nalisis data yang didapat dengan detail lainnya untuk memperkaya interpretasi

data penelitian. Peneliti ingin melihat korelasi antara harga diri dengan dimen-si-dimensi dalam faktor protektif yang terdiri dari adaptable personality (AP), supportive environment (SE), fewer stres-sors (FS), dan compensating experience (CE). Adapun hasil analisis adalah seb-agai berikut.

Tabel 1.1 Korelasi Harga Diri dengan Dimensi Faktor Protektif

Koeisien

Korelasi Sig.

AP 0,384** 0,001

SE -0,158 0,202

FS 0.410** 0,001

CE 0,447** 0,000

**. Korelasi signiikan pada level 0,01 (2-tailed).

AP (Adaptable Personality)

SE (Supportive Environment)

FS (Fewer Stressors)

CE (Compensating Experience)

Hasil analisis di atas menunjukkan bahwa ada hubungan yang signiikan pada taraf signiikansi 0,01 antara adapt-able personality, fewer stressors, dan com-pensating experience dengan harga diri dengan koeisien korelasi sebesar 0,384, 0,410, dan 0,447. Hanya saja ternyata ti-dak ada korelasi antara dimensi support-ive environment dengan harga diri.

Pembahasan

Hasil korelasi antara kedua variabel dalam penelitian ini yaitu harga diri dan faktor protektif menunjukkan bahwa Ho pada penelitian ini

positif antara harga diri dengan faktor protektif pada pelajar tingkat SMA yang menjadi korban bullying. Hal ini memberikan gambaran bahwa apabila harga diri korban bullying tinggi, maka korban bullying memiliki kemampuan yang tinggi untuk menstabilitasi kondisi psikologisnya, berada di keluarga dan lingkungan sosial yang memiliki dinamika lebih positif dengan stressor dari lingkungan yang lebih sedikit, dan mendapatkan pengalaman hidup positif yang lebih banyak mengkompensasi pengalaman negatifnya.

(6)

yaitu penelitian Sapouna &Wolke (2013) yang menunjukkan adanya hubungan antara harga diri dengan resiliensi emosi (yang menahan depresi) dan resiliensi perilaku (yang menahan delinquency). Pada penelitian tersebut, koeisien determinasi (R2) harga diri dan resiliensi emosi

sebesar 0,10, sedangkan koeisien determinasi (R2) harga diri dan resiliensi perilaku sebesar

0,02. Hal ini menunjukkan sebesar kemampuan harga diri menjelaskan varians dari resiliensi emosi sebesar 10% dan kemampuan harga diri menjelaskan varians dari resiliensi perilaku hanya sebesar 2%. Hasil penelitian ini, di sisi lain, menunjukkan koeisien determinasi yang lebih besar yaitu sebesar 0,24. Dengan demikian kemampuan harga diri menjelaskan varians dari resiliensi sebesar 24%. Resiliensi dalam penelitian ini tidak dispesiikan ke dalam emosional atau perilaku sehingga memungkinkan bagi koeisien determinasinya untuk lebih besar daripada penelitian Sapouna & Wolke (2013).

Kemampuan harga diri untuk menjelaskan varians dari faktor protektif dengan jumlah 24% merupakan jumlah yang wajar, mempertimbangkan harga diri merupakan bagian dari salah satu dimensi pada level individu yaitu adaptable personality (Olsson, et al., 2003). Baruth & Caroll (2002) dalam teori dan alat ukurnya menyebutnya sebagai adaptable personality. Baruth & Caroll (2002) menjabarkan ada tiga dimensi lainnya yang menyusun faktor protektif yang membuat individu resilien yaitu supportive environment, fewer stressors, dan compensating experience. Sejumlah 76% kemampuan variabel dalam menjelaskan varians dari faktor protektif tersebar di antara keempat dimensi tersebut yang di dalamnya terdapat lebih banyak atribut lainnya yang terkait.

Analisis korelasi antara harga diri dengan empat dimensi faktor protektif secara terpisah

menjelaskan bahwa ada hubungan yang signiikan antara adaptable personality dengan harga diri. Hal ini menjelaskan apabila harga diri subjek tinggi maka kemampuan subjek untuk menstabilitasi kondisi psikologisnya juga tinggi. Penemuan ini sesuai dengan beberapa penemuan sebelumnya yang menyatakan bahwa harga diri berhubungan dengan karakteristik personal seseorang (Dekovic, 1999; Losel & Farrington, 2012). Hal ini juga sesuai dengan paparan Olsson dan kolega (2003) bahwa harga diri adalah bagian dari atribusi personal yang berproses pada level individu. Hasil korelasi antara harga diri dengan fewer stressors juga menunjukkan adanya hubungan yang signiikan di mana artinya apabila harga diri subjek tinggi, maka stressor dari lingkungan subjek lebih sedikit. Hasil korelasi antara harga diri dengan compensating experience juga menunjukkan adanya hubungan yang signiikan di mana artinya apabila harga diri subjek tinggi, maka pengalaman positif hidup subjek dapat lebih mengkompensasi pengalaman negatifnya.

(7)

mendorong perkembangan harga diri remaja yang sudah cukup mengalami banyak kecemasan dari masa transisinya.

Analisis tambahan lain yang dilakukan adalah mengkorelasikan antara harga diri dan faktor protektif pada kedua jenis kelamin. Hasilnya menunjukkan bahwa korelasi antara kedua variabel pada siswa laki-laki lebih tinggi yaitu sebesar dibandingkan dengan pada siswa perempuan sebesar. Temuan ini serupa dengan penelitian Sapouna & Wolke (2013) yang menunjukkan bahwa R2 harga diri dan resiliensi

(perilaku) pada laki-laki lebih besar dari R2 harga

diri dan resiliensi (emosi) pada perempuan. Sedangkan apabila melihat perbedaan kelas, korelasi antara harga diri dan faktor protektif ditemukan signiikan pada kedua kelas (X dan XII), namun koeisien korelasi pada kelas X lebih tinggi yaitu sebesar. Hal ini mungkin terjadi melihat bahwa siswa kelas X, merupakan kelompok siswa yang baru menginjak masa sekolah menengah atas dan sedang beradaptasi, sehingga tinggi-rendahnya tingkat harga diri dan faktor protektifnya akan mungkin lebih signiikan.

Penelitian ini membuktikan bahwa ada hubungan positif antara harga diri dengan faktor protektif pada korban bullying remaja tingkat SMA. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa harga diri memang menjadi kunci penting bagi individu untuk bisa resilien dalam menghadapi bullying dan permasalahan-permasalahan yang diakibatkan olehnya. Permasalahan-permasalahan tersebut diakibatkan oleh tingkat harga diri yang rendah (Emler, 2001). Korban bullying cenderung memiliki karakteristik berupa harga diri rendah (Olweus, 1997 & Rigby, 2007). Apabila korban bullying tidak dilindungi faktor protektif yang berfungsi baik dalam menghadapi fenomena bullying yang dialaminya, maka akan

permasalahan-permasalahan yang diakibatkan oleh rendahnya harga diri. Namun apabila korban bullying memiliki tingkat faktor protektif yang tinggi, sangat memungkinkan bagi mereka untuk tidak mengalami penurunan harga diri yang mengarahkan mereka kepada berbagai macam permasalahan.

Penelitian ini memiliki kelemahan beberapa kelemahan. Penelitian ini gagal mengungkapkan bahwa harga diri berhubungan dengan supportive environment. Hal ini tidak sesuai dengan penemuan-penemuan yang menjelaskan bahwa harga diri remaja berhubungan dengan faktor protektif pada level lingkungan keluarga dan kelompok teman sebaya (Dekovic, 1999; Losel & Farrington, 2012; Shetgiri, dkk., 2012). Hal ini juga tidak sesuai dengan penjelasan Emler (2001) bahwa keluarga dan kelompok teman sebaya sebagai lingkungan individu mempengaruhi perkembangan harga diri individu

Simpulan dan Saran

Simpulan

(8)

Saran

Apabila melihat hasil penelitian ini, ma-sih ada hasil analisis yang perlu diteliti dan di-cari tahu. Hubungan antara harga diri dengan dimensi supportive environment pada peneli-tian ini tidak menyatakan signiikan. Hal ini tidak sejalan dengan teori yang menyebutkan bahwa harga diri remaja dipengaruhi oleh lingkungan (keluarga dan kelompok perte-manan). Maka, peneliti selanjutnya dapat meneliti mengenai hubungan antara dua hal tersebut. Apabila peneliti tertarik dengan re-siliensi lebih dalam, peneliti dapat melaku-kan eksplorasi kualitatif yang lebih dalam karena resiliensi merupakan hal yang sangat meluas dan berhubungan dengan banyak hal dalam psikologis manusia.

Keluarga merupakan lingkungan per-tama di mana individu tumbuh dan berkem-bang. Oleh karena itu, segala proses pemben-tukan awal dan perkembangan harga diri dan faktor protektif individu sangat bergantung dari bagaimana orangtua memberi perlakuan pada anak. Sehingga, disarankan bagi orang-tua untuk melakukan hal-hal yang memban-gun harga diri anak seperti penerimaan, pem-berian afeksi, penetapan standar yang jelas

akan perilaku yang diharapkan, pemberian penjelasan akan dasar kedisiplinan daripada pemaksaan, dan perlibatan anak untuk kon-tribusi dalam beberapa keputusan keluarga. Hal-hal tersebut juga membangun hubungan positif dengan anak yang membuat lingkun-gan keluarga menjadi positif, sehingga mam-pu meningkatkan faktor protektif anak dan menjadi resilien terhadap pengalaman bully-ing yang dialaminya.

Guru dan sekolah memegang peran pent-ing bagi siswanya. Guru disarankan untuk membangun komunikasi yang baik dengan siswanya, menetapkan standar yang realistis bagi siswanya, dan membantu siswa untuk menggali potensi yang ada pada diri siswa agar lingkungan sekolah siswa dapat menjadi hal yang positif dan meningkatkan harga diri dan faktor protektif siswa.

Subjek juga diharapkan melatih kemampuan komunikasi yang baik dengan lingkungannya, membangun rasa percaya terhadap lingkungan agar terjalin komunikasi yang baik, melakukan hal-hal yang lebih menggali minat dan potensi dirinya, dan memandang secara positif segala pengalaman yang ada di hidupnya.

Pustaka Acuan

Baruth, K. E. & Caroll, J. J. (2002). A formal assessment of resilience: the baruth protective factors inventory. The Journal of Individual Psychology, 58(3), 235-244

Coleman, J., & Hagell, A. (2007). Adolescence, Risk and Resilience: Against the Odds. Chichester, West Sussex. England: J. Wiley & Sons.

(9)

Emler, N. (2001). Self-esteem: the cost and causes of low self-worth. Layerthrope: York Publishing Service.

Hurlock, E. B. (2003). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidpan (edisi kelima.). Jakarta: Erlangga.

Jafee, S. R., Caspi, A., Moitt, T. E., Polo-Tomás, M., & Taylor, A. (2007). Individual, family, and neighborhood factors distinguish resilient from non-resilientmaltreated children: A cumulative stressors model. Child Abuse & Neglect, 31, 231–253

Losel, F. & Farrington, D. P. (2012). Direct protective and bufering protective factors in the development of youth violence. American Journal of Preventive Medicine, 43(2S1), S8-S23

Olsson, C.A., Bond, L., Burns, J.M., Vella-Brodrick, D.A., & Sawyer, S.M. (2003). Adolescent resilience: A concept analysis. Journal of Adolescence, 26, 1-11

Olweus, D. (1997). Bully/victim problems in school: facts and intervention, European Journal of Psychology of Education, 12(4), 495-510

Rigby, K. (2007). Bullying in schools and what to do about it. Victoria: Acer Press.

Rosenberg, M. & Roberta G. S. (1972). Black and White Self-Esteem. Washington, DC: American Sociological Association.

Rosenberg, M. (1965). Society and the adolescent self-image. New Jersey: Princeton University Press.

Sapouna, M. & Wolke, D. (2013). Resilience to bullying victimization: the role of individual, family, and characteristics. Child Abuse & Neglect, 37, 997-1006

Gambar

Tabel 1.1 Korelasi Harga Diri dengan Dimensi Faktor Protektif

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah: 1) Untuk menguji Pengaruh jumlah tanggungan keluarga terhadap tingkat produktivas karyawan Pondok Jowi Manahan Surakarta 2019. 2) Untuk

Dimension reduction : the informative bands are selected based on the wavelet transform to produce relevant bands for making use of MLC and to test the effect of dimension

Dengan demikian bentuk motif Batik Srigunggu berasal dari bagian-bagian tanaman srigunggu dan dalam proses stilisasinya menggunakan bentuk-bentuk non geometris dan

Untuk pemeriksaan klinis probe masuk kira-kira sedalam 1–2 mm dari margin gingiva dengan tekanan aksial sedang dan dijalankan dari interproksimal ke interproksimal sepanjang

Seluruh teman DIV Bidan Pendidik Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah membantu, memberikan dukungan dan doa demi kelancaran penyusunan Karya

Kedua ; hubungan agama dan negara menyatu dalam satu koridor yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, bagi Natsir Islam telah menyediakan perangkat dasar yang

Pada pengujian kekerasan makro sekitar interface untuk penyisip ST 60 maupun penyisip besi cor, baik pada temperatur penuangan 700 0 C, 750 0 C dan 800 0 C secara

P280 Pakai pelindung mata. Lepaskan lensa kontak jika memakainya dan mudah melakukannya.Lanjutkan membilas.. *) Nomor registrasi tidak tersedia untuk bahan ini karena bahan atau