• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA KEPUASAN PERNIKAHAN DENGAN KETERLIBATAN AYAH DALAM PENGASUHAN ANAK USIA REMAJA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA KEPUASAN PERNIKAHAN DENGAN KETERLIBATAN AYAH DALAM PENGASUHAN ANAK USIA REMAJA."

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA KEPUASAN PERNIKAHAN DENGAN KETERLIBATAN AYAH DALAM PENGASUHAN ANAK USIA REMAJA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S1)

Psikologi (S.Psi)

Dyta Pratikna B77212099

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

▸ Baca selengkapnya: kisah-ayah remaja dan burung pipit menurut kamu, bagaimana sikap sang anak terhadap ayahnya

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

INTISARI

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kepuasan pernikahan dengan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia remaja. Penelitian ini merupakan penelitian korelasi dengan menggunakan teknik pengumpulan data berupa skala kepuasan pernikahan dan skala keterlibatan ayah dalam pengasuhan. Subjek penelitian berjumlah 130 orang responden dari jumlah populasi sebanyak 1.307 melalui teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling. Teknis analisis data yang digunakan adalah analisis korelasi product moment. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara kepuasan pernikahan dengan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia remaja, dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 < 0,05 yang berarti Ho ditolak dan Ha diterima. Arah hubungan yang positif dengan koefisien korelasi sebesar 0,520 yang berarti bahwa semakin tinggi kepuasan pernikahan maka akan diikuti semakin tinggi keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia remaja.

(7)

ABSTRACT

The purpose of this research was to know the connection between marriage satisfactions with father’s involvement for teenager. This research was correlation research by using data collection technique of scale marriage satisfaction and scale of father involvement. These subjects were 130 respondents of a population of as many as 1.307 through purposive sampling technique. Data analysis technique which is used was correlation analysis product moment. The research results showed that there was a correlation between marriage satisfactions with father’s involvement in teenager, with the significance of 0,000 < 0,05 which means Ho was rejected and Ha accepted. The positive relationship with correlation coefficient showed 0,520 that mean the higher of marriage satisfactions would follow by the higher of father’s involvement in teenager.

(8)

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan ... 18

1. Definisi Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan ... 18

2. Dimensi Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan ... 21

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan ... 24

B. Kepuasan Pernikahan ... 27

1. Definisi Kepuasan Pernikahan ... 27

2. Aspek-aspek Kepuasan Pernikahan ... 29

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pernikahan ... 35

C. Remaja ... 36

1. Definisi Remaja ... 36

2. Karakteristik Perkembangan Masa Remaja ... 37

3. Tugas Perkembangan Masa Remaja ... 45

D. Hubungan Antara Kepuasan Pernikahan dengan Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan Anak Usia Remaja ... 49

E. Kerangka Teori ... 51

F. Hipotesis ... 52

BAB III METODE PENELITIAN A. Variabel dan Definisi Operasional ... 53

1. Variabel Penelitian ... 53

2. Definisi Operasional ... 53

B. Populasi,Sampel, dan Teknik Sampling ... 54

1. Populasi ... 54

(9)

1. Skala Pengukuran ... 57

D. Validitas dan Reliabilitas ... 63

1. Validitas ... 63

2. Realibilitas ... 69

E. Analisis Data ... 71

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 74

1. Deskripsi Subjek ... 74

2. Deskripsi Data ... 78

3. Reliabilitas Data ... 88

4. Uji Normalitas ... 89

5. Uji Linieritas ... 90

6. Uji Hipotesis ... 91

B. Pembahasan ... 92

BAB V PENUTUP A. Simpulan ... 98

B. Saran ... 98

DAFTAR PUSTAKA ... 100

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Penilaian Pertanyaan Favorable dan Unfavorable Skala

Kepuasan Pernikahan ... 58

Tabel 2 : Penilaian Pertanyaan Favorable dan Unfavorable Skala keterlibatan ayah dalam pengasuhan ... 58

Tabel 3 : Blue Print Uji Coba Skala Kepuasan Pernikahan ... 59

Tabel 4 : Blue Print Uji Coba Skala Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan ... 62

Tabel 5 : Sebaran Aitem Valid dan Gugur Skala Kepuasan Pernikahan 64

Tabel 6 : Distribusi Aitem Skala Kepuasan Pernikahan Setelah Dilakukan Uji Coba ... 65

Tabel 7 : Sebaran Aitem Valid dan Gugur Skala Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan ... 67

(11)

DAFTAR GAMBAR

(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Orang tua menjadi pendidikan utama bagi seorang anak. Tanggung

jawab dalam pengasuhan menjadi kewajiban bersama oleh kedua orang tua.

Tidak hanya mengasuh, orang tua juga sebagai pendidik dan sekolah pertama

bagi anak-anaknya. Namun, harapan ini seringkali terbatasi oleh berbagai

kendala baik dari pihak ayah maupun ibu, sehingga peran sebagai orang tua

tidak bisa dijalankan bersama dengan baik. Pihak ayah nampaknya menjadi

pihak yang memiliki kendala lebih besar dalam pemberian pengasuhan,

mengingat segala keterbatasan waktu yang dimilikinya dan tanggung jawab

besar dalam keluarga sebagai kepala rumah tangga.

Dalam gambaran klasik, sosok ayah seringkali digambarkan sebagai

orang kedua dalam pengasuhan anak. Di berbagai keadaan, umumnya sosok

ibu lebih utama pada aktivitas keluarga yang berlangsung kontinu, terutama

mengenai pengasuhan anak. Citra ayah telah digambarkan sebagai pencari

nafkah utama yang banyak menghabiskan waktunya diluar rumah, sehingga

komunikasi yang terjalin dengan anak terbatas. Pandangan ini nampaknya

sudah terkukuh dalam masyarakat kita saat ini.

Hal inipun juga terjadi di Desa Suko Kabupaten Sidoarjo. Kondisi

geografis Desa yang dekat dengan beberapa pabrik dan perusahaan yang

(13)

2

atau ayah lebih memilih bekerja sebagai pegawai swasta. Seperti yang kita

ketahui, pada umumnya pegawai swasta bekerja tujuh hingga delapan jam

kerja dalam sehari. Itu berarti ada empat puluh jam dalam satu minggu yang

dihabiskan oleh seorang ayah untuk bekerja di luar rumah. Tidak hanya itu,

tuntutan kebutuhan yang besar dan gaya hidup yang cukup tinggi membuat

banyak ayah menghabiskan waktunya untuk bekerja. Akibatnya, keluarga

menjadi salah satu dampak dari hal ini. Intensitas dan kesempatan bersama

keluarga, terlebih dalam pengasuhan anak menjadi sangat kurang. Hal inilah

yang menjadikan sosok ayah seringkali dikesampingkan dalam hal

pengasuhan anak.

Fenomena di lapangan banyak ayah yang tidak dapat memberikan

curahan kasih sayang secara maksimal kepada anak-anaknya, karena

keterbatasan waktu untuk menjalin komunikasi. Tanggung jawab seorang

ayah untuk mencari nafkah diluar rumah banyak menyita waktu sehingga

mengurangi interaksi dengan anak. Sosok ayah umumnya lebih dipandang

sebagai pendidik kedua setelah ibu. Peran ayah seringkali baru dibutuhkan

ketika dalam keadaan yang mendesak atau sebagai eksekutor terakhir dalam

pengambilan sebuah keputusan yang menyangkut tentang anak.

Namun seiring perkembangan zaman, peran pencari nafkah saat ini

tidak hanya didominasi oleh kaum lelaki, tetapi juga oleh kaum perempuan.

Akhir-akhir ini jumlah wanita yang bekerja di luar rumah terus meningkat.

Seperti data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik pada Agustus 2012

(14)

3

Republik Indonesia, menunjukkan persentase perempuan yang bekerja

sebesar 47,91 persen. Persentase perempuan yang bekerja di perkotaan

sebesar 44,74 persen, sedangkan di pedesaan sebesar 51,10 persen.

Sedangkan persentase perempuan yang mengurus rumah tangga secara total

adalah 36,97 persen, dilihat menurut daerah tempat tinggal persentase

perempuan yang mengurus rumah tangga di perkotaan sebesar 38,52 persen,

sedangkan di pedesaan sebesar 35,41 persen.

Dengan terlibatnya wanita dalam peran publik, maka tanggung jawab

sebagai ibu dalam pengasuhan anak tidak lagi seutuhnya dipegang teguh.

Dengan motif mencari kepuasan diri atau karena tuntutan ekonomi, banyak

wanita dewasa bekerja purnawaktu di luar rumah. Dari fenomena ini tentu

memunculkan persoalan baru terhadap pengasuhan anak karena mulai

bergesernya peran ibu sebagai pengasuh utama. Alternatif utamanya ialah

keterlibatan ayah. Keterlibatan ayah dalam pengasuhan menjadi sangat

penting untuk mengantisipasi kemungkinan permasalahan yang timbul akibat

kedua orang tua yang sama-sama bekerja. Ayah diharapkan mampu terlibat

aktif dalam pengasuhan anak.

Keterlibatan ayah dalam pengasuhan umumnya dikenal dengan istilah

paternal involvement atau father involvement. Lamb (2010) menjelaskan

bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan merupakan keikutsertaan positif

ayah dalam kegiatan yang berupa interaksi langsung dengan anak-anaknya,

memberikan kehangatan, melakukan pemantauan dan kontrol terhadap

(15)

4

anak. Keterlibatan ayah dapat memberikan pengaruh positif langsung bagi

perkembangan anak. Beberapa hal yang dapat menjadi perhatian dalam

pengasuhan ayah yaitu dalam perkembangan kognitif, emosional, sosial, dan

moral anak, gaya interaksi dan juga kelekatan anak.

Namun, terlepas dari keikutsertaan istri dalam peran publik, peranan

ayah itu sendiri memang penting dalam proses pertumbuhan dan

perkembangan anak. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan yang diungkapkan

oleh Dagun (2002) bahwa seorang ayah dapat mengungkapkan sikap

melindungi, sikap memelihara, rasa kasih sayang, rasa cinta kepada anaknya

sehingga membawa dampak yang berarti dalam perkembangan anak

selanjutnya. Kelak anak lebih mudah bergaul dengan orang lain.

Belsky dalam Sanderson & Thompson (2002) mengemukakan

faktor-faktor yang mempengaruhi keterlibatan ayah dalam pengasuhan, yaitu 1)

Karakteristik personal, misalnya harga diri, kemampuan sosial,

introvert/ekstrovert, sikap, pengetahuan, dan keterampilan, 2) Karakteristik

sosial-kontekstual, misalnya hubungan pernikahan, kepuasan akibat adanya

dukungan sosial, interaksi kerja-keluarga, 3) Karakteristik anak, misalnya

usia, urutan kelahiran, jenis kelamin, temperamen anak.

Lamb (2010) mengemukakan dimensi-dimensi keterlibatan ayah dalam

pengasuhan diantaranya, 1) Engagement, yaitu pengalaman ayah berinteraksi

langsung dan melakukan aktivitas bersama misalnya bermain-main,

meluangkan waktu bersama, dan seterusnya, 2) Accessibility, kehadiran atau

(16)

5

berinteraksi secara langsung dengan anak, 3) Responsibility, sejauhmana ayah

memahami dan memenuhi kebutuhan anak, termasuk memberikan nafkah dan

merencanakan masa depan anak.

Tahap perkembangan anak yang banyak membutuhkan perhatian ialah

pada tahap masa remaja. Pada tahap ini seorang anak mulai memasuki masa

transisi menuju kedewasaan. Banyak perubahan yang terjadi dalam diri

mereka. Faktor lingkungan tentunya juga sangat mempengaruhi perubahan

pada remaja. Rasa ingin tahu yang besar serta pengaruh teman sebaya

menjadi faktor yang sangat dominan dalam masa ini. Apabila pada masa ini

anak tidak mendapat perhatian dari orang tua, maka besar kemungkinan anak

dapat terjerumus dalam hal-hal yang menyimpang seperti kenakalan remaja.

Masa remaja seringkali dianggap sebagai masa krusial. Menurut Jean

Piaget dalam Hurlock (1980) masa remaja adalah usia dimana individu

berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa

dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam

tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Gunarsa

(2001) membagi tahapan perkembangan remaja dalam tiga tahapan, yaitu 1)

remaja awal yang berkisar antara usia dua belas hingga empat belas tahun, 2)

remaja tengah berkisar antara usia lima belas hingga tujuh belas tahun, 3)

remaja akhir berkisar antara usia delapan belas hingga dua puluh tahun.

Keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak di usia remaja tentu sangat

dibutuhkan, mengingat masa ini merupakan masa peralihan dari anak-anak

(17)

6

mengungkapkan bahwa dengan datangnya masa remaja, terdapat beberapa

perubahan yang terjadi dalam diri remaja sebagai proses peralihannya, yaitu

meningginya emosi, perubahan minat dan peran dalam kelompok sosial, dan

sikap ambivalen remaja. Perkembangan anak akan menjadi optimal ketika

orang tua memberikan perhatian dan pengasuhan yang optimal. Anak tentu

akan senang ketika orang tuanya lebih sering meluangkan waktu untuk

mengajaknya mengobrol atau sekedar berbagi cerita terutama terhadap ayah

yang memiliki sedikit waktu karena disibukkan oleh urusan pekerjaan.

Dari beberapa faktor yang mempengaruhi keterlibatan ayah dalam

pengasuhan anak, salah satu faktor yang sangat berperan penting ialah

kepuasan pernikahan. Hal ini dibuktikan dengan beberapa penelitian yang

sedang berkembang menunjukkan fakta-fakta meyakinkan bahwa seorang ibu

atau ayah dalam menjalani hubungan pernikahan saat memasuki masa transisi

sebagai orangtua menganggap masa ini sebagai salah satu masa yang paling

susah untuk pasangan. Tidak hanya itu, sedikitnya waktu yang diluangkan

untuk menikmati waktu bersama dan beraktivitas sebagai rekan dalam

keluarga dapat mempengaruhi kepuasan dalam pernikahan (Menendez,

Hidalgo, Jimenez, dan Moreno, 2011).

Adapun penelitian lain yang dapat menguatkan yakni penelitian yang

dilakukan Boney, Kelley & Levant dalam Lee dan Doherty (2007)

menyebutkan bahwa ayah dengan kepuasan perkawinan yang tinggi

berhubungan dengan kegiatan umum dalam pengasuhan anak. Dari uraian

(18)

7

maka semakin menguatkan bahwa faktor kepuasan pernikahan sangat

mempengaruhi keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak.

Menurut Rowe dalam Khan dan Aftab (2013) kepuasan pernikahan

ialah jumlah kepuasan yang dirasakan oleh pasangan tentang hubungan

mereka. Hal ini didukung oleh Sadarjoen dalam Wardhani (2012) kepuasan

perkawinan dapat tercapai sejauh mana kedua pasangan perkawinan

memenuhi kebutuhan pasangan masing-masing dan sejauh mana kebebasan

dari hubungan yang mereka ciptakan memberi peluang bagi mereka untuk

memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan harapan-harapan yang mereka bawa

sebelum perkawinan terlaksana.

Aspek-aspek yang terdapat dalam kepuasan perkawinan menurut

Enrich Marital Satisfaction Scale (EMS) Fower & Olso dalam Sudarto

(2014) adalah masalah kepribadian, peran yang setara, komunikasi,

penyelesaian konflik, manajemen keuangan, kegiatan rekreasi, hubungan

seksual, anak dan perkawinan, keluarga dan pertemanan, dan orientasi agama.

Rumah tangga yang harmonis tentu menjadi harapan bagi setiap

pasangan. Salah satu kategori kebahagiaan dalam rumah tangga dapat dilihat

dari bentuk kepuasan pernikahan yang dirasakan oleh setiap pasangan.

Kepuasan pernikahan dapat diperoleh dari sejauh mana setiap pasangan

mampu memenuhi kebutuhan dalam rumah tangganya dan seberapa besar

keduanya mampu memberikan kebebasan dalam memenuhinya. Kepuasan

pernikahan dalam penelitian ini lebih difokuskan pada kepuasan yang

(19)

8

Kepuasan pernikahan dalam penelitian ini ialah bentuk kepuasan yang

dirasakan pasangan tentang hubungan mereka yang dapat mempengaruhi

terhadap keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak. Untuk mendukung

penelitian ini, peneliti telah melakukan wawancara dengan dua orang

responden yang berperan sebagai ayah dan telah memiliki anak di usia

remaja. Responden satu mengungkapkan bahwa ketika seorang ayah puas

dengan pernikahannya, maka secara tidak langsung ia akan melibatkan diri

untuk ikut andil dalam pengasuhan anak. Sebagaimana cuplikan wawancara

dibawah ini :

Hubungannya walaupun tidak langsung pasti tampak jelas. Seperti gini, kalau seorang menikah di awal ya, sudah tidak terjadi kepuasan, saya yakin sampek kebelakangpun tidak terjadi kepuasan. Termasuk juga dengan anaknya, tidak akan terjadi kepuasan apalagi mau mengasuh anaknya. Susah untuk melibatkan diri kalau mau ikut mengasuh anak. Karena dari awal sudah.. sudah apa ya.. kalau sudah warna merah sampai kebelakangpun juga akan tetap merahnya muncul, gak mungkin ndak. Tapi kalau di awal terjadi kepuasan, maka dibelakang juga akan terus sampek kebelakang merasa puas sama pernikahan ini. Walaupun, dari sekian persen bisa berubah tapi menurut saya pribadi kalau dari awal sudah tidak terjadi kecocokan pada akhirnya juga susah. Wong liat istrinya aja udah gak cocok kok ngapain ke anak-anaknya (Tri Seno, Ketapang-Desa Suko, 27/12/2015).

Responden pertama juga menjelaskan bentuk keterlibatan ayah

utamanya dalam pengasuhan remaja putri, sebagaimana dalam petikan

wawancara berikut ini :

(20)

9

baik, cari teman yang baik, kita ndak bisa bilang jangan ndak bisa. Kalau kita bilang jangan anak malah takut, pokoknya jam setengah sepuluh sudah sampai dirumah. Kalau pada waktu libur kita biasanya meluangkan waktu untuk berlibur bareng-bareng. Kita lebih berperan banyak dalam hal pendidikan dan kedisplinannya. Karena begini, ada urusan-urusan yang sekiranya dia bisa kita tidak bantu, hanya memberi arahan saja (Tri Seno, Ketapang-Desa Suko, 27/12/2015).

Dari cuplikan wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa seorang ayah

yang memiliki anak remaja putri memiliki kekhawatiran yang sangat tinggi

dibandingkan kepada anak laki-laki. Bentuk keterlibatan ayah di awal masa

remaja putri yaitu dengan memberikan arahan mana tindakan yang baik dan

mana yang tidak baik, mana yang harus diikuti mana yang tidak boleh.

Selanjutnya ayah dapat memberikan keleluasaan terhadap pergaulan anak

namun tetap masih dalam pantauan orang tua, seperti mengenali

teman-temannya. Keterlibatan ayah umumnya lebih besar pada urusan yang

menyangkut pendidikan dan kedisiplinan remaja. Hal ini dianggap penting

karena sebagai pondasi utama dalam membentuk tingkah laku anak.

Meskipun waktu yang diberikan untuk ayah tidak terlalu banyak, namun

responden tetap meluangkan waktu untuk berlibur atau sekedar

mendengarkan cerita anak-anaknya.

Peneliti juga melakukan wawancara dengan responden dua, yaitu

seorang ayah yang telah memiliki dua orang anak remaja putra. Berikut ini

adalah cuplikan wawancara yang menggambarkan hubungan kepuasan

pernikahan terhadap keterlibatan ayah dalam pengasuhan remaja putra :

(21)

10

penting saya punya anak sebagai tabungan saya kelak. Yang bisa saya didik agar bisa mendoakan saya nanti. Karena tiga amalan yang tidak akan terputus setelah meninggal adalah shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak sholeh. Saya mau mendidik anak saya agar jadi anak yang sholeh. Caranya, ya karena saya terlalu sibuk dengan pekerjaan akhirnya saya les kan mengaji. Tapi meskipun sesibuk apapun saya bekerja, setiap siang hari saya akan tetap menelpon istri dan anak-anak saya untuk melakukan sholat. Karena sholat itu tiangnya agama, pondasinya itu harus kokoh. Jadi saya mengajarkan anak saya itu lebih ke agamanya harus kuat. Apalagi sekarang ini pergaulan anak remaja gak karu-karuan sejak adanya teknologi yang tambah canggih. Tapi anak saya tetap saya bekali dengan pondasi agama yang kuat. Selain itu, bentuk kepuasan saya bisa lewat menghargai masakan istri, meskipun kadang kurang garam kurang gula, tapi tetep saya makan. Itu adalah bentuk penghargaan terhadap istri. Terus kalau ada masalah saya dudukkan semua anggota keluarga saya, kita selesaikan bersama. Jadi kita itu menjalani rumah tangga iku enak.. semua-semua fairplay (Edi Gombloh, Ketapang-Desa Suko, 27/12/2015).

Responden dua juga menunjukkan bentuk keterlibatan ayah untuk ikut

andil dalam pengasuhan anak usia remaja putra :

Meskipun saya sibuk kerja bahkan sampai larut malam, tapi saya tetap ikut andil dalam hal pendidikan anak saya. Contohnya saja, kemaren saya ngarahkan anak saya yang pertama, le.. yo opo lek sampeyan masuk SMK otomotif ae, tapi ternyata dia punya pilihannya sendiri ke TKJ. Yasudah ndak papa, yang orang tua ikut andil mengarahkan. Kayak hari ini tadi, saya ajari anak saya buat liat ikut saya kerja. Biar tahu gimana bapaknya kerja keras nyari uang. Saya juga gak biasakan anak saya buat minta uang mbak. Kayak anak saya yang kedua, kemaren pas ulang tahun ndak saya belikan makanan sing enak-enak, tapi dia punya keinginan pengen beli printer tapi uangnya kurang. Nah bentuk dukungan saya, saya tambahin uang tabungannya biar dia bisa beli printer. Selain itu barangnya berguna dan ia butuhkan saya akan dukung.

(22)

11

Kalau ketika saya sudah pulang ternyata anak-anak saya sudah tidur semua, jalan terakhir yang saya ambil untuk melibatkan diri saya yaitu lewat berdoa mbak. Saya masuki kamarnya, saya doakan dia. Ya Allah jadikan anakku anak yang sholeh dan bertakwa kepada-Mu (Edi Gombloh, Ketapang-Desa Suko, 27/12/2015).

Dari cuplikan wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa seorang ayah

sebagian besar tentu ikut dalam pengasuhan anaknya. Terutama dalam hal

pendidikan dan kedisiplinan. Selain itu, anak dianggap sebagai sumber rezeki.

Seorang suami merasa puas dengan pernikahan ketika mereka telah

dikaruniai anak yang kemudian mereka didik agar menjadi anak yang sholeh

yang bisa mendoakan kedua orang tuanya. Dari kedua responden dapat

disimpulkan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan remaja putra

maupun putri tidak menunjukkan perbedaan jauh, hanya saja remaja

perempuan lebih banyak membutuhkan perhatian karena cenderung rawan

dengan pergaulan saat ini. Kedua responden juga menunjukkan bahwa

kepuasan pernikahan memiliki hubungan yang positif terhadap keterlibatan

ayah dalam pengasuhan anak usia remaja.

Beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini

diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Hidayati, Kaloeti, dan Karyono

(2011) menunjukkan bahwa 86% tanggung jawab pengasuhan anak dilakukan

dengan cara berbagi bersama istri. Dari 100 orang ada 6 orang yang

menyatakan bahwa tugas mendidik dan mengasuh adalah tugas istri, 1 orang

menyerahkan pengasuhan pada kerabat lain. Artinya, pengasuhan anak

(23)

12

hubungan kerjasama dalam pengasuhan anak berjalan dengan baik, maka

akan sangat berpengaruh bagi perkembangan anak.

Penelitian lain yang juga relevan terhadap penelitian ini ialah studi yang

dilakukan Blair dalam Trahan dan Cheung (2012) yang menunjukkan kualitas

partisipasi ayah cenderung akan lebih dipengaruhi oleh sedikit kepuasan

pernikahan. Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Sanderson dan

Thompson (2002) kepuasan belum cukup untuk menjelaskan porsi yang

signifikan dari varian dalam tingkat keterlibatan ayah, dikarenakan desain

penelitian yang tidak dapat menyajikan gambaran yang akurat akibat kendala

waktu, peneliti mengukur hanya pada satu titik waktu sehingga dimungkinkan

ada data yang diabaikan.

Dalam sebuah pernikahan hubungan suami istri tidak selamanya

digambarkan selalu harmonis. Bila hal ini terjadi, maka kebahagiaan dalam

hubungan rumah tangga menjadi sulit terjadi. Oleh karena itu penting kiranya

setiap pasangan mendapatkan kepuasan dalam pernikahan untuk membangun

keluarga yang bahagia, terlebih untuk sosok ayah. Seorang suami yang

mempunyai kepuasan dalam pernikahannya, tidak akan segan untuk

melakukan tanggung jawab dan memenuhi kebutuhan dalam rumah

tangganya salah satunya kepentingan dalam pengasuhan anak.

Berdasarkan uraian, maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian

(24)

13

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalahnya adalah:

Apakah terdapat hubungan antara kepuasan pernikahan dengan

keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia remaja ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan atas rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian yang

ingin didapat adalah untuk mengetahui hubungan antara kepuasan pernikahan

dengan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia remaja.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan informasi mengenai kepuasan pernikahan dan

keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia remaja dalam

pengembangan ilmu psikologi, khususnya psikologi perkembangan

atau studi psikologi pada umumnya.

2. Secara praktis, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberikan pemahaman bagi orang tua khususnya bagi ayah

tentang keterlibatan ayah dalam pengasuhan, sehingga dapat

menumbuhkan kepekaan bagi ayah untuk melibatkan diri dalam

pengasuhan anak utamanya usia remaja.

E. Keaslian Penelitian

Pentingnya memahami hubungan kepuasan pernikahan dengan

(25)

14

yang tertarik melakukan penelitian, terutama di luar negeri. Beberapa jurnal

penelitian yang terpublikasi menunjukkan bahwa hubungan keduanya

menarik untuk diteliti.

Penelitian terpublikasi di luar negeri diantaranya, Belsky dalam Lee dan

Doherty (2007), menemukan hubungan positif dalam studi longitudinal pada

173 pasangan yang memiliki anak bayi dengan kisaran umur 3 dan 9 bulan.

Hasil menunjukkan bahwa ayah dengan kepuasan pernikahan selama masa

prenatal tertinggi lebih terlibat dalam perilaku pengasuhan baik secara

kuantitas waktu maupun kualitas interaksinya.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Boney, Kelley, & Levant dalam Lee

dan Doherty (2007) tentang “A Model of Fathers’ Behavioral Involvement in

Child Care in Dual-Earner Families”. Hasilnya menunjukkan bahwa ayah

dengan kepuasan perkawinan tinggi berhubungan dengan partisipasi lebih

dalam kegiatan umum pengasuhan anak.

Penelitian lain yang dilakukan oleh King dalam Lee dan Doherty

(2007) tentang “The Influence of Religion on Fathers’ Relationships with

Their Children”. Hasil menunjukkan bahwa seorang laki-laki yang memiliki

kualitas perkawinan yang baik akan lebih terlibat dengan anak-anaknya

seperti kualitas hubungan, hubungan masa depan, hubungan usaha, dan

sebagainya.

Disisi lain, terdapat dua penelitian yang menunjukkan bahwa kepuasan

pernikahan berhubungan negatif dengan keterlibatan ayah dalam pengasuhan,

(26)

15

Satisfaction, Parenting Satisfaction, and parenting Behavior in Early

Infancy”. Hasil menunjukkan bahwa pada 25 keluarga yang memiliki anak

bayi, diperoleh hubungan negatif antara kepuasan ayah dalam pernikahan dan

perilakunya, seperti menggendong dan pemberian pengaruh positif.

Penelitian lainnya yaitu oleh Nangle dalam Lee dan Doherty (2007)

tentang “Work and Family Variables as Related to Paternal Engagement,

Responsibility, and Accessibility in Dual-Earner Couples with Young

Children”. Hasilnya menunjukkan bahwa 75 pasangan yang memiliki anak

usia prasekolah, ditemukan bahwa kepuasan pernikahan ayah berhubungan

negatif dengan tanggung jawab keseharian untuk kebutuhan anak dan

aktivitasnya. Artinya lebih puas seorang ayah dalam pernikahannya maka

lebih sedikit terlibat dengan anak-anak.

Di Indonesia, penelitian tentang hubungan kepuasan pernikahan dan

keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak belum ditemukan. Penelitian yang

pernah diteliti berkaitan dengan hubungan persepsi tentang keterlibatan ayah

dalam pengasuhan anak dengan perilaku moral anak di sekolah yang

dilakukan oleh Safitri (2009). Hasil menunjukkan bahwa ada hubungan yang

signifikan antara persepsi tentang keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak

dengan perilaku moral anak di sekolah dengan nilai korelasi 0,599.

Purwindarini, Hendriyani, dan Deliana (2014) juga melakukan

penelitian yang berjudul pengaruh keterlibatan ayah dalam pengasuhan

terhadap prestasi belajar anak usia sekolah. Hasilnya menyebutkan bahwa

(27)

16

terhadap prestasi belajar anak usia sekolah dengan nilai signifikansi 0,020.

Keterlibatan ayah dalam pengasuhan ditinjau dari tiap aspek keterlibatan

yang tertinggi hingga rendah yaitu spiritual, sosial, intelektual, afektif, dan

fisik.

Penelitian lain juga pernah dilakukan oleh Syarifah, Widodo, dan

Kristiana (2012) tentang Hubungan persepsi terhadap keterlibatan ayah dalam

pengasuhan dengan kematangan emosi pada remaja di SMA Negeri X. Hasil

penelitian tersebut menyebutkan bahwa semakin positif persepsi terhadap

keterlibatan ayah dalam pengasuhan maka semakin tinggi tingkat kematangan

emosi remaja. Dalam hal ini ayah dirasakan dan dinilai memberikan

perhatian, meluangkan waktu, bersikap hangat serta melakukan pemantauan.

Hubungan yang dekat tersebut membuat remaja mempersepsikan positif

sehingga cenderung menjadikan ayahnya sebagai model dalam bersikap dan

berperilaku.

Penelitian yang berkaitan dengan kepuasan pernikahan pernah

dilakukan oleh Ardhianita dan Andayani (2005), yang hasilnya menunjukkan

bahwa kepuasan pernikahan kelompok yang menikah tanpa berpacaran

dengan nilai mean 28,6563 lebih tinggi daripada kelompok yang menikah

dengan berpacaran sebelumnya yang memiliki nilai mean 26,4063. Hal ini

dapat saja disebabkan kelompok subjek yang tidak berpacaran sebelum

menikah memiliki tingkat religiusitas yang tinggi dibandingkan kelompok

(28)

17

Muslimah (2014) dalam penelitiannya juga menunjukkan adanya

hubungan positif yang signifikan antara komunikasi interpersonal dengan

kepuasan pernikahan dengan nilai signifikansi sebesar 0,00 dan koefisien

korelasi sebesar 0,9720. Artinya semakin tinggi tingkat komunikasi

interpersonal maka akan diikuti semakin tingginya kepuasan pernikahan.

Melihat beberapa hasil penelitian yang terpublikasi baik diluar negeri

maupun di Indonesia, persamaan yang muncul adalah topik keterlibatan ayah

dalam pengasuhan, meskipun demikian penelitian ini berbeda dengan

penelitian sebelumnya. Perbedaan tersebut antara lain pertama, kategori

subjek yang dipilih dalam penelitian ini adalah ayah yang mempunyai anak di

usia remaja. Kedua, subjek dan lokasi penelitian yang digunakan dalam

penelitian ini juga berbeda.

Penelitian ini dirasa penting mengingat topik yang dipilih sangat

relevan dengan fenomena yang terjadi saat ini. Perkembangan zaman yang

semakin modern, memberi pengaruh pada perilaku remaja yang seringkali

menjadi kekhawatiran bagi orang tua. Keterlibatan ayah dalam pengasuhan

anak usia remaja sangatlah dibutuhkan untuk mengantisipasi

perilaku-perilaku yang tidak diharapkan dari remaja itu sendiri. Selain itu peneliti juga

ingin mengetahui sejauh mana seorang ayah yang merasa puas dengan

(29)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan

1. Definisi Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2013) keterlibatan

berasal dari kata “libat” yang berarti melibat; membebat; menyangkut;

atau membawa-bawa ke dalam urusan.

Dalam pandangan tradisional, pengertian ayah lebih menekankan

pada konteks biologis. Palkovitz (2002) ayah didefinisikan sebagai orang

yang menikah dengan ibu, yang secara biologis mendapatkan anak dari

hasil perkawinannya, dan tinggal dengan ibu dan anak-anaknya. Lamb

(2004) juga mendefinisikan ayah dipandang sebagai kekuatan leluhur

yang memegang kekuasaan sangat besar di dalam keluarga. Pengertian

ini kemudian berkembang bahwa ayah sebagai guru moral. Ayah juga

sebagai sosok yang bertanggung jawab untuk memastikan agar

anak-anaknya dibesarkan dengan nilai-nilai yang tepat.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2013) pengasuhan berasal

dari kata “asuh” yang diartikan sebagai menjaga, merawat, memelihara,

mendidik anak kecil, membimbing (membantu, melatih, dsb). Hoghughi

(2004) menyebutkan bahwa pengasuhan mencakup beragam aktifitas

yang bertujuan agar anak dapat berkembang secara optimal dan dapat

(30)

19

menekankan pada siapa (pelaku) namun lebih menekankan pada aktifitas

dari perkembangan dan pendidikan anak. Oleh karenanya pengasuhan

meliputi pengasuhan fisik, pengasuhan emosi dan pengasuhan sosial.

Dari definisi-definisi diatas maka dapat ditarik menjadi teori keterlibatan

ayah dalam pengasuhan.

Keterlibatan ayah dalam pengasuhan umumnya dikenal dengan

istilah paternal involvement atau father involvement. Lamb (2010)

menjelaskan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan merupakan

keikutsertaan positif ayah dalam kegiatan yang berupa interaksi langsung

dengan anak-anaknya, memberikan kehangatan, melakukan pemantauan

dan kontrol terhadap aktivitas anak, serta bertanggungjawab terhadap

keperluan dan kebutuhan anak. Keterlibatan ayah dapat memberikan

pengaruh positif langsung bagi perkembangan anak. Beberapa hal yang

dapat menjadi perhatian dalam pengasuhan ayah yaitu dalam

perkembangan kognitif, emosional, sosial, dan moral anak, gaya interaksi

dan juga kelekatan anak.

Keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak juga didefinisikan oleh

Purwindarini, Hendriyani, dan Deliana (2014) adalah suatu partisipasi

aktif melibatkan fisik, afektif, dan kognitif dalam proses interaksi antara

ayah dan anak yang memiliki fungsi endowment (mengakui anak sebagai

pribadi), protection (melindungi anak dari sumber-sumber bahaya

potensial dan berkontribusi pada pengambilan keputusan yang

(31)

20

kebutuhan material anak), formation (aktivitas bersosialisasi seperti

pendisiplinan, pengajaran, dan perhatian) yang merepresentasikan peran

ayah sebagai pelaksana dan pendorong bagi pembentukan dalam

perkembangan anak.

Palkovits (2002) menyimpulkan keterlibatan ayah dalam

pengasuhan anak memiliki beberapa definisi diantaranya :

a. Terlibat dengan seluruh aktivitas yang dilakukan oleh anak

b. Melakukan kontak dengan anak

c. Dukungan finansial

d. Banyaknya aktivitas bermain dilakukan bersama-sama

Palkovitz juga menambahkan bahwa keterlibatan ayah dalam

pengasuhan juga diartikan sebagai seberapa besar usaha yang dilakukan

oleh seorang ayah dalam berpikir, merencanakan, merasakan,

memperhatikan, memantau, mengevaluasi, mengkhawatirkan serta

berdoa bagi anaknya.

Menilik dari perspektif anak, keterlibatan ayah diasosiasikan

dengan ketersediaan kesempatan bagi anak untuk melakukan sesuatu,

kepedulian, dukungan dan rasa aman. Anak yang ayahnya terlibat dalam

pengasuhan dirinya akan memiliki kemampuan sosial dan kognitif yang

baik, serta kepercayaan diri yang tinggi.

Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa

keterlibatan ayah dalam pengasuhan adalah keikutsertaan aktif ayah

(32)

21

langsung dengan anak, memberi kehangatan, melakukan pemantauan dan

kontrol terhadap aktivitas anak, serta bertanggung jawab terhadap

keperluan anak.

2. Dimensi Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan

Lamb (2010) mengemukakan dimensi-dimensi keterlibatan ayah

dalam pengasuhan diantaranya :

a. Engagement, yaitu pengalaman ayah berinteraksi langsung dan

melakukan aktivitas bersama misalnya bermain-main, meluangkan

waktu bersama, dan seterusnya.

b. Accessibility, kehadiran atau kesediaan ayah untuk anak. Orang tua

ada di dekat anak tetapi tidak berinteraksi secara langsung dengan

anak.

c. Responsibility, sejauhmana ayah memahami dan memenuhi

kebutuhan anak, termasuk memberikan nafkah dan merencanakan

masa depan anak.

Palkovitz dalam Sanderson & Thompson (2002) mengemukakan

beberapa kategori keterlibatan ayah dalam pengasuhan yang meliputi :

1. Communication (mendengarkan, berbincang/berbicara,

menunjukkan rasa cinta).

2. Teaching (memberi contoh peran, melakukan aktivitas dan minat

yang menarik).

3. Monitoring (melakukan pengawasan terhadap teman-teman,

(33)

22

4. Cognitive processes (khawatir, merencanakan, berdoa)

5. Errands (mengurus)

6. Caregiving (memberi makan, memandikan)

7. Shared interest (membaca bersama)

8. Availability (keberadaan)

9. Planning (merencanakan berbagai aktivitas, ulang tahun)

10. Shared activities (melakukan kegiatan bersama, misal belanja,

bermain bersama)

11. Preparing (menyiapkan makanan, pakaian)

12. Affection (memberi kasih sayang, sentuhan emosi)

13. Protection (menjaga, memberi perlindungan)

14. Emotional support (membesarkan hati anak)

Model keterlibatan ayah dalam pengasuhan ini dikenal dengan

konsep “generative fathering”.

Sedangkan Fox dan Bruce (2001) mengemukakan konsep fathering

dengan dimensi-dimensi yang diukur menggunakan aspek-aspek sebagai

berikut :

a. Responsivity

Dimensi ini mengukur sejauh mana ayah menggunakan

(34)

23

b. Harshness

Dimensi ini mengukur sejauh mana ayah menggunakan sikap

galak, menghukum, dan pendekatan inkonsisten dalam pengasuhan

kepada anaknya.

c. Behavioral engagement

Dimensi ini mengukur sejauh mana ayah terlibat aktivitas dengan

anak.

d. Affective involvement

Dimensi ini mengukur sejauh mana ayah menginginkan dan

menyayangi anak.

McBride, Schope, dan Rane (2002) dalam penelitiannya

menggunakan 5 aspek keterlibatan ayah dalam pengasuhan yaitu :

1. Tanggungjawab untuk tugas-tugas manajemen anak

2. Kehangatan dan afeksi pada anak

3. Pekerjaan rumah yang diselesaikan bersama dengan anak

4. Aktivitas bersama yang terpusat pada anak

5. Pengawasan dari orang tua

Berdasarkan tinjauan pada beberapa dimensi yang dikemukakan

oleh para ahli diatas, maka dimensi keterlibatan yang dipakai dalam

penelitian ini secara umum mengacu pada dimensi yang dikemukakan

oleh Lamb yang meliputi keterlibatan secara langsung (engagement),

kehadiran atau kesediaan ayah untuk anak (accessibility), memahami dan

(35)

24

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan

Day dan Lamb (2004) menyatakan empat faktor yang

mempengaruhi keterlibatan ayah dalam keluarga, yaitu :

a. Motivasi

Segala hal yang membuat ayah ingin selalu terlibat dalam aktivitas

bersama anaknya. Faktor motivasi ayah ini dapat dilihat dari

komitmen dan identifikasi pada peran ayah. Faktor lain yang

mempengaruhi motivasi ayah untuk terlibat dengan anaknya adalah

career saliency. Pria yang secara emosional kurang lekat dengan

pekerjaannya dapat meluangkan waktu lebih banyak waktunya

untuk anak mereka. Job salience yang rendah memprediksi

partisipasi yang besar dalam perawatan/pengasuhan anak.

b. Keterampilan dan kepercayaan diri (efikasi ayah)

Keterampilan fisik aktual yang dibutuhkan untuk memberikan

perlindungan dan kepedulian pada anaknya. Penelitian telah

menunjukkan bahwa efikasi diri dalam mengasuh berhubungan

dengan keterlibatan ayah dalam pengasuhan. Dalam penelitian lain,

ayah melaporkan mempunyai tingkat efikasi yang lebih rendah

daripada ibu. Ayah yang mempersepsi diri mereka mempunyai

ketrampilan mengasuh yang lebih besar melaporkan keterlibatan

dan tanggungjawab yang lebih besar untuk tugas merawat anak.

(36)

25

c. Dukungan sosial dan stres

Keyakinan ibu terhadap pengasuhan oleh ayah, kepuasan

perkawinan, konflik pekerjaan-keluarga merupakan dukungan

sosial dan stres yang telah ditemukan mempengaruhi keterlibatan

ayah dalam pengasuhan. Interaksi emosional yang positif dengan

pasangan dapat mempengaruhi pikiran pria dan menguatkan

ketertarikan untuk terlibat dalam semua aspek kehidupan keluarga,

salah satunya keterlibatan dalam mengasuh anak.

d. Faktor institusional

Kebijakan di tempat kerja dalam memfasilitasi upaya keterlibatan

ayah. Semakin banyak jam kerja ayah, keterlibatan dengan anak

akan berkurang. Makin banyak jam kerja wanita, semakin besar

keterlibatan ayah dalam pengasuhan.

Belsky dalam Sanderson & Thompson (2002) mengemukakan

faktor-faktor yang mempengaruhi pengasuhan, yaitu :

1. Karakteristik personal, misal : harga diri, kemampuan sosial,

introvert/ekstrovert, sikap, pengetahuan, dan keterampilan

2. Karakteristik sosial-kontekstual, misal : hubungan pernikahan,

kepuasan akibat adanya dukungan sosial, interaksi kerja-keluarga

3. Karakteristik anak, misal : usia, urutan kelahiran, jenis kelamin,

(37)

26

Hampir serupa dengan pendapat Belsky dan Parke dalam

Sanderson dan Thompson (2002) mengelompokkan variabel yang

berhubungan dengan keterlibatan ayah ke dalam beberapa kategori :

a. Pengaruh personal, misal : ketrampilan ayah

b. Karakteristik anak, misal : jenis kelamin anak, usia

c. Pengaruh keluarga, misal : hubungan ayah-ibu, status kerja ibu

d. Pengaruh budaya, misal : peran gender ayah/ibu, pengharapan

budaya, perbedaan etnis

e. Pengaruh institusional, misal : politik/kebijakan di tempat kerja

Dalam Papalia, Old, dan Feldman (2008) disebutkan faktor-faktor

yang mempengaruhi keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak, yaitu :

1. Motivasi dan komitmen

2. Keyakinan akan peran ayah, kepercayaan dirinya akan

keterampilan pengasuhan yang dimilikinya

3. Kesuksesan sebagai tulang punggung ekonomi keluarga

4. Keharmonisan hubungannya dengan istri

5. Tingkatan sang istri dalam mendorong keterlibatannya

Dari beberapa faktor yang dikemukakan oleh para ahli, salah satu

faktor yang paling menarik untuk diteliti ialah faktor dukungan sosial

yang dikemukakan oleh Day dan Lamb. Dukungan sosial yang dimaksud

adalah interaksi positif antara suami dan istri yang dapat membuat

ketertarikan suami untuk terlibat dalam pengasuhan anak. Salah satunya

(38)

27

B. Kepuasan Pernikahan

1. Definisi Kepuasan Pernikahan

Menurut Fower dan Olson (1993) kepuasan pernikahan adalah

evaluasi terhadap area-area dalam perkawinan yang mencakup isu

kepribadian, kesetaraan peran, komunikasi, penyelesaian konflik,

pengelolaan keuangan, waktu luang, hubungan seksual, pengasuhan

anak, keluarga dan teman, serta orientasi keagamaan. Lestari (2012),

menambahkan kepuasan pernikahan merujuk pada perasaan positif yang

dimiliki yang dimiliki pasangan suami istri dalam perkawinan yang

maknanya lebih luas daripada kenikmatan, kesenangan, dan kesukaan.

Nawaz, Javeed, Haneef, dan Tasaur (2014) mendefinisikan

kepuasan pernikahan sebagai suatu perasaan akan kesenangan dalam

suatu pernikahan dalam hubungan suami dan istri. Pengertian diatas

didukung oleh Azeez dalam Muslimah (2014) bahwa perasaan senang

yang dimaksud muncul berdasarkan evaluasi subjektif terhadap kualitas

pernikahan secara keseluruhan yang berupa terpenuhinya kebutuhan,

harapan, dan keinginan suami istri dalam pernikahan.

Azeez dalam Muslimah (2014) juga berpendapat bahwa kepuasan

pernikahan merupakan suatu sikap yang relatif stabil dan mencerminkan

evaluasi keseluruhan individu dalam suatu hubungan pernikahannya.

Kepuasan pernikahan ini tergantung atas kebutuhan individu, harapan,

(39)

28

Sadarjoen dalam Wardhani (2012) menjelaskan bahwa kepuasan

pernikahan dapat tercapai sejauh mana kedua pasangan perkawinan

mampu memenuhi kebutuhan pasangan masing-masing dan sejauh mana

kebebasan dari hubungan yang mereka ciptakan memberi peluang bagi

mereka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan harapan-harapan

yang mereka bawa sebelum perkawinan terlaksana.

Menurut Rowe dalam Khan dan Aftab (2013) kepuasan pernikahan

ialah jumlah kepuasan yang dirasakan oleh pasangan tentang hubungan

mereka. Sedangkan menurut Rho dalam Khan dan Aftab (2013)

mendefinisikan kepuasan pernikahan sebagai evaluasi subjektif oleh

seorang individu dan tingkat kebahagiaan, kesenangan atau pemenuhan

dalam hubungan pernikahan itu sendiri dengan pasangan.

Lasswell dan Lasswell dalam Ardhani (2015) mengemukakan

bahwa hubungan suami istri dapat membawa kepuasan atau tidak

tergantung pada kemampuan suami istri memenuhi kebutuhan

pasangannya dan seberapa besar kebebasan yang diperoleh dalam

hubungan mereka dapat memenuhi kebutuhan masing-masing.

Dari beberapa pengertian diatas maka dapat ditarik kesimpulan

secara garis besar bahwa kepuasan pernikahan adalah perasaan senang

dalam sebuah hubungan pernikahan antara suami istri yang ditunjukkan

(40)

29

2. Aspek-Aspek Kepuasan Pernikahan

Aspek-aspek yang terdapat dalam kepuasan perkawinan menurut

Enrich Marital Satisfaction Scale (EMS) Fower dan Olso dalam Sudarto

(2014) adalah masalah kepribadian, peran yang setara, komunikasi,

penyelesaian konflik, manajemen keuangan, kegiatan rekreasi, hubungan

seksual, anak dan perkawinan, keluarga dan pertemanan, dan orientasi

agama.

Azeez dalam Muslimah (2014) berpendapat bahwa ada 6 kategori

perilaku yang dapat menunjukkan kepuasan pernikahan atau kegagalan,

yaitu:

a. Expression of Affection

Kasih sayang dalam suatu hubungan antara suami istri

diekspresikan melalui kata-kata dan tindakan. Pada tahap awal

pernikahan, biasanya masing-masing pasangan saling memberi

perhatian lebih dan bertindak dengan penuh pertimbangan. Hal ini

adalah daya tarik utama bagi suatu hubungan. Akan tetapi, ketika

kasih sayang dalam suatu hubungan yang baru terlihat sangat

mudah, cara yang nyata adalah dikembangkan dan didukung oleh

tingkatan kasih sayang yang sebenarnya dari waktu ke waktu.

b. Communication

Sepanjang waktu dalam hubungan pernikahan, komunikasi menjadi

sebuah persoalan mengenai kemampuan saling mendengarkan

(41)

30

komunikasi yang terjadi melibatkan kepercayaan, keinginan untuk

mempercayai, dan kemampuan untuk mengungkapkan diri tanpa

takut.

c. Consensus

Persetujuan bersama tentang perbedaan gaya hidup sangat

diperlukan bagi pasangan yang ingin mencapai kepuasan dalam

pernikahan. Masing-masing pasangan seharusnya membangun

pemahaman diantara mereka mengenai

permasalahan-permasalahan seperti uang, rekreasi, lingkungan rumah,

pengasuhan, dan hubungan dengan orang lain dalam hidup mereka.

Padailiki kesediaanem level tertentu penting bagi pasangan

memliki kesediaan untuk berkompromi agar hubungannya dapat

berfungsi dengan baik.

d. Sexuality and Intimacy

Seksualitas dan keintiman merupakan komponen utama dalam

pernikahan. Seksualitas dan keintiman dapat menenteramkan hati

pasangan bahwa mereka adalah yang dicintai, dihargai, dan

menarik. Sepanjang waktu pernikahan, dua hal ini menciptakan

ikatan pribadi yang mendalam atau menjadikan penolakan pribadi.

Sebagai tambahan,seksualitas dan keintiman menyediakan

(42)

31

e. Conflict Management

Yang paling bijaksana ketika terjadi perbedaan pendapat antar

pasangan adalah mempertimbangkan bagaimana konflik tersebut

ditangani dalam perkawinan. Hubungan yang sehat memberikan

kesempatan pasangannya untuk tumbuh dengan potensi mereka

seutuhnya dan perkawinan dapat menyediakan pondasi untuk

pemenuhan bersama.

f. Distribution of Roles

Kepuasan perkawinan juga berhubungan dengan kepuasan

pasangan dengan peran yang dimainkan dalam perkawinan

tersebut. Masalahnya adalah peran tersebut berubah dari waktu dan

kadang-kadang perubahan peran itu kurang diinginkan dalam

kaitannya dengan keadaan yang diluar kendali seperti keuangan,

jadwal kerja, anak-anak, dan kebutuhan anggota keluarga lainnya.

Fower dan Olson (1993) dalam penelitiannya mengemukakan

sepuluh aspek yang dapat mengukur kualitas atau kepuasan dalam

pernikahan diantaranya :

1. Isu-isu kepribadian

Aspek kepuasan ini diukur dari bagaimana persepsi individu

terhadap perilaku dan kepribadian pasangan. Olson dan Olson

dalam Lestari (2012) menjelaskan bahwa penerimaan terhadap

kepribadian pasangan dapat berdampak positif terhadap

(43)

32

penyesuaian diri dengan tingkah laku, kebiasaan-kebiasaan serta

kepribadian pasangan.

2. Komunikasi

Aspek ini melihat bagaimana individu merasa nyaman pada

pola-pola komunikasi dalam berbagai informasi baik emosional atau

kognitif bersama pasangan. Olson dan Olson dalam Lestari (2012)

menjelaskan pentingnya ketrampilan berkomunikasi agar tidak

menimbulkan salah persepsi antar pasangan suami istri. Area ini

berfokus pada rasa senang yang dialami pasangan suami istri dalam

berkomunikasi dimana mereka saling berbagi dan menerima

informasi tentang perasaan dan pikirannya.

3. Resolusi konflik

Aspek ini mengukur bagaimana cara individu dan pasangan

menyelesaikan konflik-konflik pernikahan. Olson dan Olson dalam

Lestari (2012) menjelaskan bahwa aspek ini berfokus pada

keterbukaan antar pasangan suami istri terhadap isu-isu yang

menimbulkan konflik serta strategi dalam menyelesaikan konflik

tersebut.

4. Kesetaraan peran

Aspek ini melihat bagaimana perasaan dan sikap pasangan suami

terhadap peran dalam pernikahan. Olson dan Olson dalam Lestari

(2012) menjelaskan bahwa dalam relasi suami istri pembagian

(44)

33

tugas rumah tangga, peran sesuai jenis kelamin, dan peran sebagai

orang tua. Jika masing-masing dapat bekerja sama dalam

menjalankan tugasnya, maka kepuasan dan kebahagiaan

perkawinan dapat diraih.

5. Manajemen keuangan

Aspek ini mengukur bagaimana individu dan pasangan megelola

keuangan keluarga. Olson dan Olson dalam Lestari (2012)

menjelaskan bahwa keseimbangan antara pendapatan dan belanja

keluarga harus menjadi tanggung jawab bersama. Hal ini juga

terlihat dari cara pasangan mengatur keuangan, bentuk-bentuk

pengeluaran, dan pembuatan keputusan tentang keuangan.

6. Aktivitas di waktu luang

Aspek ini dapat dilihat dari bagaimana individu dan pasangan

menghabiskan waktu luang. Olson dan Olson dalam Lestari (2012)

menjelaskan bahwa pasangan harus mampu menyeimbangkan

antara waktu berpisah dan waktu bersama. Area ini menilai pilihan

kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu luan ang

merefleksikan aktifitas yang dilakukan secara personal atau

bersama.

7. Hubungan seksual

Aspek kepuasan ini diukur dari bagaimana perasaan individu dan

pasangan terkait hubungan seksual. Olson dan Olson dalam Lestari

(45)

34

penting bagi kebahagiaan pasangan suami istri. Area ini lebih

berfokus pada refleksi sikap yang berhubungan dengan masalah

seksual, tingkah laku seksual, serta kesetiaan terhadap pasangan.

8. Anak dan pengasuhan

Aspek ini untuk melihat bagaimana cara individu dan pasangan

dalam mengasuh serta membesarkan anak. Aspek ini merujuk pada

bagaimana pasangan suami istri menjalani tanggung jawab sebagai

orang tua. Orangtua biasanya memiliki cita-cita pribadi terhadap

anaknya yang dapat menimbulkan kepuasan itu dapat terwujud.

9. Keluarga dan teman-teman

Aspek ini untuk mengukur bagaimana individu menjalin hubungan

dengan anggota keluarga, keluarga dari pasangan, dan

teman-teman. Olson dan Olson dalam Lestari (2012) menjelaskan bahwa

keluarga dan teman merupakan konteks penting dalam membangun

relasi yang berkualitas. Area ini merefleksikan harapan dan

perasaan senang menghabiskan waktu bersama keluarga dan

teman-teman.

10. Orientasi religius

Aspek ini mengukur bagaimana individu dan pasangan

mempercayai dan mempraktekkan adalam dalam pernikahannya.

Olson dan Olson dalam Lestari (2012) menjelaskan keyakinan

spiritual adalah pondasi penting dalam kebahagiaan perkawinan.

(46)

35

pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari jika seseorang

memiliki keyakinan beragama, dapat dilihat dari sikapnya yang

perduli terhadap hal-hal keagamaan dan mau beribadah.

Clayton dalam Ardhianita dan Andayani (2005) mengemukakan

aspek-aspek kepuasan pernikahan antara lain kemampuan sosial suami

istri (marriage sociability), persahabatan dalam pernikahan (marriage

companionship), urusan ekonomi (economic affair), kekuatan pernikahan

(marriage power), hubungan dengan keluarga besar (extra family

relationship), persamaan ideology (ideological congruence), keintiman

pernikahan (marriage intimacy), dan taktik-taktik interaksi (interaction

tactics).

Dari beberapa aspek-aspek yang dikemukakan diatas, maka aspek

yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah aspek kepuasan

pernikahan yang dikemukakan oleh Fower dan Olson yang meliputi

isu-isu kepribadian, komunikasi, resolusi konflik, kesetaraan peran,

manajemen keuangan, aktifitas di waktu luang, hubungan seksual, anak

dan pengasuhan, keluarga dan teman-teman, orientasi religius.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pernikahan

Olson dan Defrain (2003) memaparkan bahwa ada beberapa faktor

yang memengaruhi kebahagiaan perkawinan, faktor-faktor tersebut

meliputi ekspektasi yang tidak realistik terhadap perkawinan, menikahi

(47)

36

yang penuh tantangan dan adanya sedikit usaha dalam untuk

meningkatkan kemampuan berelasi dengan pasangan.

Nawaz, Javeed, Haneef, dan Tasaur (2014) menyatakan bahwa ada

tiga faktor dalam kepuasan pernikahan berdasarkan perspektif ekologis,

yaitu (a) latar belakang atau faktor kontekstual (yaitu variabel keluarga

asal, faktor sosiokultural, dan kondisi saat ini), (b) sifat dan perilaku

individu, dan (c) proses interaksi pasangan.

Faktor demografik yang turut mempengaruhi kepuasan pernikahan

terdiri dari usia, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, usia pernikahan,

lamanya perkenalan sebelum menikah, agama, kelahiran, status menikah,

ras, status pekerjaan, status pernikahan orangtua, populasi anak, dan

tempat tinggal sekarang.

Klemer dalam Ardhianita dan Andayani (2005) menunjukkan

bahwa kepuasan dalam pernikahan dipengaruhi oleh harapan pasangan

itu sendiri terhadap pernikahannya, yaitu harapan yang terlalu besar,

harapan terhadap nilai-nilai pernikahan, harapan yang tidak jelas, tidak

adanya harapan yang cukup, dan harapan yang berbeda.

C. Remaja

1. Definisi remaja

Gunarsa (2008) Istilah “adolesensia” atau diartikan dengan

“remaja”, dalam pengertian yang luas, meliputi semua perubahan. J.

(48)

37

perubahan-perubahan penting pada fungsi intelegensi, tercakup dalam

perkembangan aspek kognitif.

Salzman dan Pikunas dalam Yusuf (2012) Masa remaja ditandai

dengan (1) berkembangnya sikap dependent kepada orang tua kearah

independent, (2) minat seksualitas, (3) kecenderungan untuk merenung

atau memperhatikan diri sendiri, nilai-nilai etika, dan isu-isu moral.

Pengelompokan tahapan perkembangan menurut Gunarsa (2001)

sebagai berikut :

a. 12-14 tahun: remaja awal

b. 15-17 tahun : remaja tengah (remaja)

c. 18-20 tahun : remaja akhir (remaja lanjut)

Sedangkan Hurlock (1980) menyebutkan bahwa awal masa remaja

berlangsung kira-kira dari tiga belas tahun sampai enam belas atau tujuh

belas tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia enam belas atau

tujuh belas tahun sampai delapan belas tahun, yaitu usia matang secara

hukum.

2. Karakteristik Perkembangan Masa Remaja a. Karakteristik Umum

Karakteristik umum masa remaja yang dikemukakan oleh

Hurlock (1980), yaitu :

1. Masa yang penting, karena adanya akibat yang langsung

(49)

38

panjangnya menjadikan periode remaja lebih penting daripada

periode lainnya.

2. Masa transisi, karena terjadi masa peralihan dari tahap

kanak-kanak ke masa dewasa, anak harus berusaha meninggalkan

segala hal yang bersifat kekanak-kanakan dan mempelajari

pola tingkah laku dan sikap baru.

3. Masa perubahan, ketika perubahan fisik semakin terjadi

dengan pesat, perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung

pesat. Ada empat perubahan yang berlangsung pada semua

remaja, yaitu :

a. Emosi yang tinggi, hal ini bergantung pada perubahan

fisik dan psikologis yang terjadi sebab di awal masa

remaja perubahan emosi terjadi lebih cepat.

b. Perubahan tubuh, minat, dan peran yang diharapkan oleh

kelompok sosial menimbulkan masalah baru.

c. Perubahan nilai-nilai sebagai konsekuensi perubahan

minat dan dan pola tingkah laku. Setelah hampir dewasa,

remaja tidak lagi menganggap penting segala apa yang

dianggapnya penting pada masa kanak-kanak.

d. Bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan. Remaja

menghendaki dan menuntut kebebasan, tetapi sering takut

bertanggung jawab akan resikonya dan meragukan

(50)

39

4. Masa bermasalah, meskipun setiap periode memiliki masalah

sendiri, masalah masa remaja termsuk masalah yang sulit

diatasi baik anak laki-laki maupun perempuan. Alasannya,

sebagian masalah di masa kanak-kanak diselesaikan oleh orang

tua dan guru sehingga mayoritas remaja tidak berpengalaman

dalam mengatasinya, selain itu sebagian remaja sudah merasa

mandiri sehingga menolak bantuan dan ingin mengatasi

masalahnya sendirian.

5. Masa pencarian identitas, penyesuaian diri dengan standar

kelompok dianggap jauh lebih penting bagi remaja daripada

individualitas

6. Masa munculnya ketakutan, persepsi negatif terhadap remaja

seperti tidak dapat dipercaya, cenderung merusak,

mengindikasikan pentingnya bimbingan dan pengawasan

orang dewasa selain itu kehidupan remaja muda cenderung

tidak simpatik dan takut bertanggung jawab.

7. Masa yang tidak realistik, hal ini ditunjukan dari pandangan

remaja yang cenderung subjektif karena mereka memandang

diri sendiri dan orang lain berdasarkan keinginannya, dan

bukan berdasarkan kenyataan yang sebenarnya, apalagi dalam

hal cita-cita.

8. Masa menuju masa dewasa, di satu sisi remaja ingin segera

(51)

40

tetapi di sisi lain mereka masih belum lepas dari tipe

remajanya yang belum matang.

Adapun pendapat lain dari Zulkifli (2006) tentang karakteristik

umum pada masa remaja, yaitu :

a. Pertumbuhan fisik

Pertumbuhan fisik mengalami perubahan dengan cepat, lebih

cepat dibandingkan dengan masa anak-anak dan masa dewasa.

Perkembangan fisik mereka jelas terlihat pada tungkai dan

tangan, tulang kaki dan tangan, otot-otot tubuh berkembang

pesat, sehingga anak kelihatan bertubuh tinggi, tetapi

kepalanya masih mirip dengan anak-anak.

b. Perkembangan seksual

Seksual mengalami perkembangan yang kadang-kadang

menimbulkan masalah dan menjadi penyebab timbulnya

perkelahian, bunuh diri, dan sebagainya.

Dalam perkembangan seksualitas remaja terdapat dua ciri,

yaitu:

1. Ciri-ciri seks primer

Pada remaja pria ditandai dengan sangat cepatnya

pertumbuhan testis, yaitu pada tahun pertama dan kedua,

kemudian tumbuh secara lebih lambat, dan mencapai

ukuran matangnya pada usia 20 atau 21 tahun.

(52)

41

dari ukuran matangnya. Setelah testis mulai tumbuh,

penis mulai bertambah panjang, pembuluh mani dan

kelenjar prostat semakin membesar. Matangnya

organ-organ seks tersebut, memungkinkan remaja pria (sekitar

usia 14-15 tahun) mengalami “mimpi basah”.

Pada remaja wanita, kematangan organ-organ

seksnya ditandai dengan tumbuhnya rahim, vagina, dan

ovarium (indung telur) secara cepat. Ovarium

menghasilkan ova (telur) dan mengeluarkan

hormon-hormon yang diperlukan untuk menstruasi,

perkembangan seks sekunder, dan kehamilan. Pada masa

inilah (sekitar usia 11-15 tahun), untuk pertama kalinya

remaja wanita mengalami “menarche” (menstruasi

pertama). Peristiwa “menarche” ini diikuti oleh

menstruasi yang terjadi dalam interval yang tidak

beraturan. Untuk jangka waktu enam bulan sampai satu

tahun atau lebih, ovulasi mungkin tidak selalu terjadi.

Menstruasi awal sering disertai dengan sakit kepala, sakit

pinggang, dan kadang-kadang kejang, serta merasa lelah,

depresi dan mudah tersinggung.

2. Ciri-ciri seks sekunder

Ciri-ciri seks sekunder pada remaja pria yaitu, tumbuh

(53)

42

terjadi perubahan suara, tumbuh kumis, dan tumbuh

gondok laki (jakun).

Ciri-ciri seks sekunder pada remaja wanita yaitu,

tumbuh rambut pubik atau bulu kapok disekitar

kemaluan dan ketiak, bertambah besar buah dada, dan

bertambah besarnya pinggul.

c. Cara berpikir kausalitas

Cara berpikir kausalitas yaitu menyangkut hubungan sebab

akibat. Remaja sudah mulai berpikir kritis sehingga ia akan

melawan bila orang tua, guru, lingkungan, masih

menganggapnya sebagai anak kecil. Bila guru dan orang tua

tidak memahami cara berpikir remaja, akibatnya timbullah

kenakalan remaja berupa perkelahian antar pelajar.

d. Emosi yang meluap-meluap

Keadaan emosi remaja masih labil karena erat hubungannya

dengan keadaan hormon. Kalau sedang senang-senangnya

mereka mudah lupa diri karena tidak mampu menahan emosi

yang meluap-luap, bahkan remaja mudah terjerumus kedalam

tindakan bermoral. Emosi remaja lebih kuat dan lebih

menguasai diri mereka daripada pikiran yang realistis.

e. Mulai tertarik dengan lawan jenis

Dalam kehidupan sosial remaja, mereka mulai tertarik kepada

(54)

43

tua kurang mengerti, kemudian melarangnya, akan

menimbulkan masalah, dan remaja akan bersikap tertutup

terhadap orang tua.

f. Menarik perhatian lingkungan

Pada masa ini remaja mulai mencari perhatian dari lingkungan,

berusaha mendapatkan status dan peranan seperti kegiatan

remaja di kampung-kampung yang diberi peranan. Bila tidak

diberi peranan, ia akan melakukan perbuatan untuk menarik

perhatian masyarakat. Remaja akan berusaha mencari peranan

diluar rumah bila orang tua tidak memberi peranan kepadanya

karena menganggapnya sebagai anak kecil.

g. Terkait dengan kelompok

Remaja dalam kehidupan sosial sangat tertarik kepada

kelompok sebayanya sehingga tidak jarang orang tua di

nomorduakan setelah kepentingan kelompok.

b. Karakteristik Khusus

Karakteristik khusus remaja menurut Al-Mighwar (2006)

dibagi menjadi dua tahap, yaitu :

1. Remaja awal

Masa remaja awal dimulai ketika usia seorang anak telah

genap 12/13 tahun, dan berakhir pada usia 17/18 tahun. Anak

usia belasan tahun sering ditunjukan begi remaja awal.

Gambar

Gambar 3  :  Grafik Uji Normalitas  .............................................................
Gambar 1. Bagan konseptual teori
Gambar 2. Data jumlah ayah yang memiliki anak remaja
Tabel 1  Penilaian Pertanyaan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian tentang keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak masih jarang di Indonesia, sehingga penting untuk mengadakannya mengingat adanya perbedaan kultur yang

Sehingga, dibutuhkan strategi khusus bagi ayah yang bekerja jauh dari keluarga agar ayah tetap berperan dalam pola asuh anak usia remaja.. Paper ini diharapkan dapat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara keterlibatan ayah dalam pengasuhan dan kompetensi sosial pada remaja putri SMK PIUS X Magelang.Penelitian ini

Husfani Adhariani Putri. Gaya Pengasuhan, Interaksi Ayah-Remaja, Kelekatan, dan Kepuasan Ayah. Dibimbing oleh Diah Krisnatuti. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan

Kedua responden juga menunjukkan bahwa kepuasan pernikahan memiliki hubungan yang positif terhadap keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia remaja.. Beberapa

Hipotesis penelitian adalah ada hubungan negatif antara keterlibatan ayah dalam pengasuhan dengan tingkat stres pengasuhan pada ibu yang memiliki anak retardasi

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara keterlibatan ayah dalam pengasuhan dengan determinasi diri pada siswa MAN. Penelitian ini merupakan penelitian

KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan negatif antara persepsi terhadap keterlibatan ayah dalam pengasuhan dengan intensi