BIOGRAFI AL-USTADZ
‘
UMAR BARADJA (1913-1990)
PENULIS KITAB
AL AKHL
Ā
Q LIL BAN
Ī
N
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1) Pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)
Oleh:
Achmad Syamsul Wathon
NIM: A0.22.12.028
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Biografi Al-Ustadz ‘Umar Baradja (1913-1990) Penulis Kitab Al Akhlāq Lil Banīn”. Permasalahan yang akan dibahas yaitu, (1) Siapa Ustadz ‘Umar Baradja dan aktifitasnya? (2) Bagaimana pemikiran Al-Ustadz ‘Umar Baradja dalam kitab Al Akhlāq Lil Banīn?
Penelitian ini dilakukandengan menggunakan metode sejarah (historis), yaitu suatu langkah atau cara merekontruksi masa lampau secara sistematis dan objektif dengan cara mengumpulkan data, mengkritik, menafsirkan dan mensintresiskan data dalam rangka menegakkan fakta serta kesimpulan yang kuat. Penelitian ini menggunakan pendekatan historis (sejarah). Sedangkan teori yang digunakan adalah teori kepemimpinan Rasulullah.
ABSTRACT
This thesis entitled "Biography of Al-Ustaz Umar Baradja (1913-1990) author of Al Akhlaq Lil Banin". Issues to be discussed, namely, (1) Who Al-Ustaz Umar Baradja and his activities? (2) How does Al-Ustaz Umar Baradja’s idea in the book Al Akhlaq Lil Banin?
This research was conducted using a historical methods, which is a step to reconstruct the earlier events systematically and objectively by collect data, criticize, interpret and synthesis data in order to establish the facts and conclusions. This study takes a historical approach (history). While the theory used is the Messenger (pbuh) of leadership theory.
E. Pendekatan dan Kerangka Teori ... 4
F. Penelitian Terdahulu ... 7
G. Metode Penelitian ... 8
H. Sistematika Bahasan ... 11
BAB II BIOGRAFI AL-USTADZ ‘UMAR BARADJA TAHUN 1913 -1990 PENULIS KITAB AL AKHLĀQ LIL BANĪN A. Geneologi Al-Ustadz ‘Umar Baradja ... 13
B. Intelektualitas Al-Ustadz ‘Umar Bradja ... 16
1. Riwayat Pendidikan Al-Ustadz ‘Umar Baradja ... 16
C. Keberagaman Al-Ustadz ‘Umar Baradja... 18
xiv
BAB III AKTIFITAS AL-USTADZ ‘UMAR BARADJA
A. Peran Al-Ustadz ‘Umar Baradja dalam Madrasah Al Khairiyah 22 B. Al-Ustadz ‘Umar Baradja dalam Mendirikan Yayasan
Perguruan Islam Al-Ustadz ‘Umar Baradja di Surabaya ... 26
1. Fungsi Yayasan Perguruan Islam ... 27
2. Tujuan Yayasan Perguruan Islam ... 28
C. Peran Al-Ustadz ‘Umar Baradja dalam Thariqah ‘Alawiyah... 28
1. Biografi Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir ... 30
2. Awal Perkembangan Thariqah ‘Alawiyah ... 32
3. Al-Ustadz Abdullah al-Hadad dan Thariqah ‘Alawiyah ... 35
4. Pendapat Habib Munzir Al Musawa ... 37
BAB IV PEMIKIRAN AL-USTADZ ‘UMAR BARADJA DALAM KITAB AL AKHLĀQ LIL BANĪN A. Latarbelakang dan kondisi fisik kitab Al Akhlāq Lil Banīn ... 44
1. Kondisi KitabAl Akhlāq Lil Banīn ... 46
B. Metodologi penulisan kitab Al Akhlāq Lil Banīn ... 46
C. Isi Kitab Al Akhlāq Lil Banīn ... 49
1. Religius ... 51
a. Akhlaq Kepada Allah ... 51
b. Akhlaq kepada Rasulullah ... 51
c. Amanah ... 52
b. Menghormati Orang lain ... 55
xv
1). Akhlaq Kepada Ibu ... 55
2).Akhlaq Kepada Ayah ... 57
d. Akhlaq Terhadap Saudara ... 57
e. Akhlaq Kepada Kerabat ... 58
f. Akhlaq Kepada Pembantu ... 59
g. Akhlaq Kepada Tetangga ... 60
h. Akhlaq Terhadap Guru ... 60
i. Akhlaq Kepada Teman ... 61
j. Akhlaq dalam Perjalanan ... 62
k. Akhlaq Siswa di Sekolah ... 63
7. Toleransi ... 64
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 67
B. Saran ... 69
DAFTAR PUSTAKA ... 70
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Ustadz ‘Umar bin Achmad Baradja adalah seorang ulama yang memiliki akhlak yang sangat mulia. Lahir di kampung Ampel Maghfur, pada 10 Jumadil Akhir 1331 H/ 17 Mei 1913 M. Sejak kecil dia diasuh dan dididik kakeknya dari pihak ibu, Al-Ustadz Hasan bin Muhammad Baradja, seorang ‘ulama ahli nahwu dan fikih. Nasab Baradja berasal dari (dan berpusat di)
Seiwun, Hadramaut, Yaman. Sebagai nama nenek moyangnya yang ke-18, Al-Ustadz Sa’ad, laqab (julukannya) Abi Raja’ (yang selalu berharap). Mata rantai keturunan tersebut bertemu pada kakek Nabi Muhammad Shallā Allāh
‘alayh wa sallam yang kelima, bernama Kilab bin Murrah.1
Hampir semua santri di pesantren pernah mempelajari buku-buku karya Al-Ustadz ‘Umar Baraja dari Surabaya. Sudah sekitar 11 judul buku yang diterbitkan, seperti Al Akhlāq Lil Banīn, kitab Al-Akhlāq Lil Banāt, kitab
Sullam Fiqih, kitab 17 Jauharāh, dan kitab Ad’iyah Ramadhān. Semuanya terbit dalam bahasa Arab, sejak 1950 telah digunakan sebagai buku kurikulum di hampir seluruh pondok pesantren di Indonesia. Secara tidak langsung Al-Ustadz ‘Umar Baradja ikut mengukir akhlaq para santri di Indonesia.
Buku-buku tersebut pernah di cetak Kairo, Mesir, pada 1969 atas biaya Syaikh Siraj Ka’ki, seorang dermawan Mekkah, yang dibagikan secara
1Muhammad Achmad Asseggaf, Sekelumit riwayat hidup Al-Ustadz Umar bin Achmad Baradja
2
cuma ke seluruh dunia Islam. Syukur alhamdulillah, atas ridha dan niatnya agar buku-buku ini menjadi amal jariyah dan bermanfaat luas. Pada tahun 1992 telah diterbitkan buku-buku tersebut ke dalam bahasa Indonesia, Jawa, Madura, dan Sunda.
Selain menulis buku pelajaran, Al-Ustadz ‘Umar juga menulis syair-syairnya dalam bahasa Arab dengan sastranya yang tinggi. Menurut Ustadz Mushtofa bin Ahmad bin ‘Umar Baradja cucu dari putra tertuanya, karya yang
berupa syair tersebut cukup banyak dan belum sempat dibukukan. Selain itu, masih banyak karya lain, yang bertema keagamaan, yang masih bertuliskan tangan tersimpan rapi di perpustakaan keluarga.2
Adapun saya memilih judul ini disebabkan Al-Ustadz ‘Umar Achmad Baradja adalah sosok yang mukhlisin (orang yang hatinya bersih dari keinginan memperoleh pujian) dan juga karangan-karangannya sudah dipakai di berbagai daerah di Indonesia khususnya dan merambah sampai keluar negeri. Adapun setiap tahunnya pencetakan kitab karangannya selalu bertambah banyak dikarenakan pemesan semakin bertambah dan juga kitab-kitabnya dijadikan kitab kurikulum di berbagai lembaga pondok maupun lainnya. Jadi secara tidak langsung, ‘Umar Baradja sudah mengukir akhlak anak-anak Indonesia. Adapun tujuan dan dituliskannya kitab Al Akhlāq Lil Banīn dan sebagainya, adalah untuk membantu mendasari akhlak anak-anak
sejak masa dini dengan hal-hal yang positif.
3
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dikemukakan beberapa
rumusan masalah yang menjadi obyek kajian dalam penelitian ini, secara garis besar, penelitian ini bermaksud menguraikan pembahasan mengenai Biografi Al-Ustadz ‘Umar Baradja (1913-1990) penulis kitab Al Akhlāq Lil Banīn. Diantaranya rumusan masalahnya dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Siapa Al-Ustadz ‘Umar Baradja dan aktifitasnya?
2. Bagaimana pemikiran Al-Ustadz ‘Umar Baradja dalam kitab Al Akhlāq Lil Banīn?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, adapun tujuan yang ingin penulis sampaikan, antara lain:
1. Untuk mengetahui seorang tokoh besar seperti Al-Ustadz ‘Umar Baradja dan aktifitasnya.
2. Untuk mengetahui pemikiran Al-Ustadz ‘Umar Baradja dalam kitab Al
Akhlāq Lil Banīn.
D. Kegunaan Penelitian
4
1. Hasil penelitian ini untuk melatih mahasiswa dalam penulisan tahap awal sebagai sarjana Sejarah dan Kebudayaan Islam, sehingga mahasiswa mampu mendapatkan materi lebih di luar mata pengayaaan kuliah. Hasil penelitian ini juga dapat menjadi rujukan atau refferensi atau bahan informasi bagi masyarakat tentang seorang tokoh besar Al-Ustadz ‘Umar Baradja penulis kitab Al Akhlāq Lil Banīn.
2. Hasil penelitian ini dapat menambah dan melengkapi khazanah dalam keilmuan islam, khususnya Sejarah Islam di Indonesia. Untuk memperkaya kajian sejarah Islam terutama tanggapan umat Islam Indonesia dalam menciptakan dan melakukan pendidikan akhlak kepada anak-anak usia dini dengan hal-hal positif pada masa kini. Hasil Penelitian ini juga dapat dikembangkan oleh peneliti yang akan datang.
E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik
Penulis menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial lainnya untuk mempermudah membantu ilmu sejarah memecahkan masalah. Menurut Sartono Kartodirdjo, penggambaran kita mengenai suatu peristiwa sangat bergantung pada pendekatan, yaitu dari segi mana kita memandangnya, dimensi mana yang diperhatikan, unsur-unsur mana yang diungkapkan, dan sebagainya.3 Dengan pendekatan tersebut maka akan memudahkan penulis untuk merelasikan antara ilmu sosial sebagai ilmu bantu dalam penelitian sejarah
3Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia,
5
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan historis, yang bertujuan untuk mendeskripsikan peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Dengan menggunakan pendekatan historis maka penulis dapat menjelaskan latar belakang sejarah kehidupan Al-Ustadz ‘Umar Baradja, peranannya dalam menciptakan maupun memberikan pendidikan akhlak yang tertera pada kitabnya Al Akhlāq Lil Banīn.
Adapun dalam penelitian ini penulis juga menggunakan teori. Teori merupakan pedoman guna mempermudah jalannya penelitian dan sebagai pegangan pokok bagi peneliti di samping sebagai pedoman, teori adalah salah satu sumber bagi peneliti dalam memecahkan masalah penelitian.4 Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori peranan. Peranan merupakan proses dinamis dari status. Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, dia menjalankan suatu peranan. Perbedaan antara kedudukan dengan peranan adalah untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan karena yang satu tergantung pada yang lain dan sebaliknya.5
Levinson dalam Soekanto mengatakan bahwa peranan mencakup tiga hal, antara lain:
1. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan bermasyarakat.
4Djarwanto, Pokok-pokok Metode Riset dan Bimbingan Teknis Penelitian Skripsi (Jakarta: Liberty,
1990), 11.
6
2. Peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
3. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.
Dalam hal ini Al-Ustadz ‘Umar Baradja memiliki pemikiran dan peranan
yang sangat penting karena beliau merupakan sosok seorang pengarang kitab Al Akhlāq Lil Banīn. Selain teori peranan, teori yang selanjutnya berkaitan
dengan penelitian ini adalah teori kepemimpinan. Dalam masyarakat modern secara umum teori kepemimpinan terdiri dari dua jenis, yaitu:
1. Teori genetik, yang menyatakan bahwa pemimpin itu dilahirkan dari keturunan, tetapi lahir jadi pemimpin oleh bakat-bakat alami yang hebat dan ditakdirkan menjadi pemimpin dalam situasi dan kondisi apapun. 2. Teori sosial, yang menyatakan setiap orang bisa menjadi pemimpin
melalui usaha penyiapan, pendidikan dan pembentukan serta didorong oleh kemajuan sendiri dan tidak lahir begitu saja atau takdir Tuhan yang semestinya.6
Dalam hal ini Al-Ustadz ‘Umar Baradja termasuk dalam teori sosial, yaitu seseorang bisa menjadi pemimpin melalui usaha penyiapan, pendidikan serta didorong oleh kemajuan sendiri. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kepemimpinan. kepemimpinan merupakan proses dinamis dari memimpin. Kepemimpinan telah dicontohkan pertama kali oleh Rasulullah, kepemimpinan beliau tidak bisa lepas dari fungsi kehadirannya sebagai
6Sunidia, Ninim dan Widiyanti, Kepemimpinan dalam Masyarakat Modern (Jakarta: PT. Rineka
7
pemimpin spiritual dan masyarakat. Prinsip dasar kepemimpinan Rasulullah adalah keteladanan. 7 Dalam kepemimpinannya, beliau mengutamakan
uswatun hasanah yakni memberikan contoh kepada para sahabatnya.
Rasulullah memiliki akhlak dan sifat-sifat yang mulia, oleh karena itu kita hendaknya mempelajari sifat-sifat beliau yakni Siddiq, Amanah, Tabligh, dan Fathonah. Sifat-sifat ini menggambarkan akhlak mulia Rasulullah yang harus dijadikan contoh dan sebagai umat beliau kita harus selalu berusaha meneladani kepemimpinannya.
F. Penelitian Terdahulu
Kajian dan penelitian tentang Al Akhlāq Lil Banīnsudah pernah dituliskan oleh beberapa mahasiswa, baik dalam bentuk buku maupun skripsi. Namun, pembahasan mengenai “Al-Ustadz ‘Umar Baradja (1913-1990) Penulis Kitab Al Akhlāq Lil Banīn” masih belum ada. Adapun beberapa penelitian terdahulu
tentang Al Akhlāq Lil Banīn, antara lain:
1. Skripsi oleh Nikmahtul Choiriyah, “Etika belajar peserta didik perspektif Al-Ustadz ‘Umar bin Achmad Baradja dalam kitab Al-Akhlāq Lil Banāt : Studi Perbandingan (2014)”. Dalam skripsi mahasiswi fakultas Tarbiyah jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Sunan Ampel Surabaya tersebut membahas tentang etika belajar akhlak untuk kaum putri perpektif Al-Ustadz ‘Umar Baradja.
2. Skripsi oleh Rofa’atul Fauziyah, “Aplikasi pembelajaran kitab Al Akhlāq Lil Banīn dalam pembentukan akhlak santri Pondok Pesantren
7Hadari Nawari, Kepemimpinan mengefektifkan Organisasi (Yogyakarta: Gajah Mada University
8
Babussalam kalibening Tanggalrejo Mojo Agung Jombang : Studi Perbandingan (2011)”. Dalam skripsi mahasiswi fakultas Tarbiyah jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Sunan Ampel Surabaya tersebut membahas tentang Pendidikan Islam dan Moral.
3. Skripsi oleh Mardwi Asdiyanto, “Studi korelasi pemahaman materi kitab Al Akhlāq Lil Banīn dengan akhlak santri Pondok Pesantren Modern Al Amanah Junwangi Krian Sidoarjo : Studi Perbandingan (2005)”. Dalam
skripsi mahasiswa fakultas Tarbiyah jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Sunan Ampel Surabaya tersebut membahas tentang Akhlak.
Pada penelitian ini, peneliti akan lebih menekankan biografi Al-Ustadz ‘Umar Baradja tahun 1913 hingga 1990 penulis Kitab Al Akhlāq Lil Banīn, serta respon publik khususnya masyarakat terhadap kitab
karangannya, sebab karangan-karangannya sudah dipakai diberbagai daerah di Indonesia khususnya dan merambah sampai keluar negeri. Kitab karangannya juga telah dijadikan kitab kurikulum di berbagai Lembaga Pondok maupun lainnya.
G. Metode Penelitian
Untuk memudahkan dalam penyusunan penelitian ini, maka penulis menggunakan lima metode penulisan sejarah yaitu pemilihan topik, heuristik
(pengumpulan sumber), verifikasi (kritik), interpretasi (penafsiran), dan
historiografi (penulisan sejarah). Tahapan-tahapan metode penelitian sejarah akan dijelaskan sebagai berikut:8
9
1. Langkah pertama dalam melakukan penelitian sejarah adalah pemilihan topik terlebih dahulu. Pemilihan topik sebaiknya dipilih berdasarkan kedekatan emosional dan kedekatan intelektual.9 Dalam hal ini, penulis tertarik untuk membahas mengenai Al-Ustadz ‘Umar Baradja penulis Kitab Al Akhlāq Lil Banīn dalam rentang waktu 1913 hingga 1990 Masehi. 2. Heuristik (pengumpulan data), adalah kegiatan untuk mencari data atau
menghimpun bahan-bahan sumber sejarah. Sumber sejarah adalah segala sesuatu yang berlangsung atau tidak langsung menceritakan tentang suatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lampau.10 Metode heuristik merupakan tahap pertama yang dilakukan oleh peneliti. Adapun metode yang ditempuh dalam menghimpun data-data sumber sejarah dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan sumber data tertulis baik berupa sumber primer maupun sumber sekunder.
a. Sumber Primer
Sumber primer adalah sumber yang ditulis oleh pihak yang terlibat langsung dalam peristiwa sejarah atau pihak yang menjadi saksi mata peristiwa sejarah. Sumber primer yang digunakan penulis untuk penelitian ini adalah:
1) Kitab Al Akhlāq Lil Banīn Bimbingan Akhlak Jilid 1 hingga 4,
Shullam Fiqih Jilid 1 hingga 2, Amaliyah Ramadhan.
2) Wawancara terhadap para informan seperti kiai, ustadz, santri, alumni, tokoh-tokoh terkait maupun sanak saudara.
10
b. Sumber Sekunder
Sumber sekunder digunakan sebagai pendukung dalam penelitian ini. Sumber-sumber tersebut didapatkan dari beberapa buku maupun literatur yang berkaitan dengan tema yang penulis bahas.
1) Wawancara dengan cucu Al-Ustadz ‘Umar Baradja yang semasa hidupnya tidak sezaman dengan beliau.
2) Artikel majalah al kisah tentang riwayat hidup beliau.
3. Verifikasi (kritik), sumber-sumber yang telah diperoleh dalam tahap heuristik perlu diadakan proses seleksi dengan cara melakukan kritik sumber. Kritik sumber merupakan usaha untuk mendapatkan sumber-sumber yang relevan dengan cerita sejarah yang ingin disusun. Selain itu, kritik sumber dimaksudkan sebagai penggunaan dan penerapan dari sejumlah prinsip-prinsip untuk menilai atau menguji kebenaran nilai-nilai sejarah dalam bentuk aslinya dan menerapkan pengertian sebenarnya. Kritik sumber terdiri dari dua jenis yaitu kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern adalah proses untuk melihat apakah sumber yang didapatkan tersebut asli atau tidak, sedangkan kritik intern adalah upaya yang dilakukan untuk melihat apakah isi sumber tersebut layak dipercaya kebenarannya atau tidak.
11
membandingkan fakta yang satu dengan fakta yang lain, sehingga dapat ditetapkan makna dari fakta yang diperoleh untuk menjawab permasalahan yang ada.
5. Historiografi (penulisan sejarah), adalah tahap akhir metode penulisan sejarah yang menyajikan cerita dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya berdasarkan data yang diperoleh. Penulisan dalam penelitian ini juga menggunakan metode penulisan sejarah secara kronologis (penyusunan sejumlah kejadian atau peristiwa). Hal ini terlihat dari pengambilan bahasan pada rentang waktu tahun 1913-1990. Pada tahun tersebut Al-Ustadz ‘Umar Baradja penulis Kitab Al Akhlāq Lil Banīn mengalami perkembangan yang cukup signifikan dan diapresiasi oleh kalangan Lembaga pendidikan dan masyarakat secara sangat baik.
H. Sistematika Pembahasan
Secara umum sistematika pembahasan disusun untuk mempermudah pemahaman terhadap penulisan ini, dimana akan dipaparkan tentang hubungan antara bab demi bab. Untuk lebih jelasnya dibawah ini akan dijelaskan beberapa bab yang akan dibahas:
12
penelitian, menjelaskan mengenai nilai dan manfaat penelitian. Pendekatan dan kerangka teoritik, menjelaskan pendekatan yang penulis gunakan dalam penulisan hasil penelitian. Penelitian terdahulu, penulis menelusuri penelitian-penelitian terdahulu dalam karya-karya ilmiah dalam bentuk buku maupun jurnal-jurnal hasil penelitian tentang tema yang sama atau mirip dengan judul penelitian ini. Metode penelitian, penulis menjelaskan tentang metode penelitian yang penulis gunakan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Sistematika pembahasan, disini penulis mengungkapkan alur bahasan.
Bab kedua, menjelaskan tentang siapa sosok tokoh besar Al-Ustadz ‘Umar Baradja dari lahir, silsilah keturunan, masa kecil sampai dewasa,
pendidikan, karir dan karyanya.
Bab ketiga, menjelaskan tentang aktifitas Al-Ustadz ‘Umar Baradja semasa hidupnya. Seperti halnya peran Al-Ustadz ‘Umar Baradja dalam
Madrasah Alkhairiyah, dalam mendirikan Yayasan, dan dalam Thariqah
‘Alawiyyah.
Bab keempat, menjelaskan tentang bagaimana pemikiran Al-Ustadz ‘Umar Baradja dalam kitab Al Akhlāq Lil Banīnyang mencakup latar belakang
dituliskan serta kondisi fisik kitab, metodologi pemikiran dan isi kitab Al
Akhlāq Lil Banīn.
BAB II
BIOGRAFI AL-USTADZ ‘UMAR BARADJA (1913-1990) PENULIS KITAB AL AKHLĀQ LIL BANĪN
A. Genealogi Al-Ustadz ‘Umar Baradja
Dengan genealogi seseorang bisa mengetahui sisilah kekerabatan, suatu jaringan hubungan antara seseorang dan orang lain yang masih memiliki hubungan darah atau hubungan yang tercipta karena warisan gen melalui aktifitas reproduksinya.11 Maka dari itu, untuk mengenal lebih jauh tentang Al-Ustadz ‘Umar Baradja harus diketahui terlebih dahulu genealoginya.
Al-Ustadz secara khusus dalam agama Islam adalah gelar yang digunakan untuk sebutan para ahli-ahli agama Islam di berbagai bidang. Dalam tarekat Sufi Al-Ustadz adalah gelar kehormatan bagi seseorang yang telah memperoleh izin pemimpin tarekat untuk mengajarkan, membimbing, dan mengangkat para murid dari tarekat tersebut. Di Indonesia, gelar Al-Ustadz biasanya digunakan oleh para mubaligh (guru) keturunan Arab atau para ulama besar dan ahli agama Islam, baik yang menyebarkan ajaran berdasarkan paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah maupun yang menyebarkan paham yang bersifat Tasawuf.12
Al-Ustadz ‘Umar bin Achmad Baradja adalah seorang ulama yang memiliki akhlak yang sangat mulia. Al-Ustadz ‘Umar bin Achmad Baradja lahir di kampung Ampel Maghfur, pada 10 Jumadil Akhir 1331 H/17 Mei 1913 M. Sejak kecil dia diasuh dan dididik kakeknya dari pihak ibu,
11Siti Shofiatul Ulfiyah, “Ahmad Soorkatty: Studi Biografi dan Perannya dalam Pengembangan
Al-Irsyad 1914-1943”, (Skripsi, IAIN Sunan Ampel Fakultas Adab, Surabaya, 2012), 11.
14
Ustadz Hasan bin Muhammad Baradja, seorang ulama ahli nahwu dan fikih. Nasab Baradja berasal dari (dan berpusat di) Seiwun, Hadramaut, Yaman.
Adapun genealogi Al-Ustadz ‘Umar Baradja sendiri adalah (‘Umar bin
Achmad bin Muhammad bin Abdullah bin Achmad bin Husein bin Abdullah bin Muhammad bin Abdur Rohman bin Abdul Waliy bin Abdullah bin Muhammad bin Achmad bin Muhammad bin Ishaq bin Muhammad bin Mas’ud bin Ali bin Sa’ad). Al-Ustadz Sa’ad adalah sebagai nama nenek
moyangnya yang ke-18, Al-Ustadz Sa’ad, laqab (julukannya) merupakan orang yang pertama dijuluki Baradja (pengharapan) atau Abi Raja’ (yang selalu berharap). Al-Ustadz Sa’ad juga merupakan muta’allim (orang yang berilmu). Mata rantai keturunan tersebut bertemu pada kakek Nabi Muhammad Shallā Allāh ‘alayh wa sallam yang kelima, bernama Kilab bin Murrah.13 Sehingga Al-Ustadz ‘Umar Baradja adalah seorang tokoh Ahwālun Nabi (keturunan keluarga dari ibunya Nabi Muhammad).14
Penampilan Al-Ustadz ‘Umar sangat bersahaja, tetapi dihiasi sifat-sifat
ketulusan niat yang disertai keikhlasan dalam segala amal perbuatan duniawi dan ukhrawi. Dia juga mejabarkan akhlak ahlu al-bait, keluarga Nabi Muhammad Shallā Allāh ‘alayh wa sallam dan para sahabat, yang mencontoh baginda Nabi Muhammad Shallā Allāh ‘alayh wa sallam. Al-Ustadz ‘Umar Baradja tidak suka membangga-banggakan diri, baik tentang ilmu, amal, maupun ibadah. Ini karena sifat qana’ah (keyakinan) dan tawadu’nya (sikap penjelasannya) sangat tinggi.
15
Dalam beribadah, Al-Ustadz ‘Umar Baradja selalu istiqamah baik salat fardu maupun salat sunnah qabliyah dan ba’diyah. Salat dhuha dan tahajud
hampir tidak pernah dia tinggalkan walaupun dalam bepergian. Kehidupannya Al-Ustadz ‘Umar Baradja mengusahakan untuk benar-benar sesuai dengan yang digariskan agama. Cintanya kepada keluarga Nabi Muhammad Shallā Allāh ‘alayh wa sallam dan dzurriyyah atau keturunannya, sangat kenal tak tergoyahkan dan juga kepada para sahabat anak didik Rasulullah Shallā Allāh
‘alayh wa sallam. Itulah pertanda keimanan yang teguh dan sempurna.15
Pada saat sebelum mendekati ajalnya, Al-Ustadz ‘Umar Baradja sempat berwasiat kepada putra-putra dan anak didiknya agar selalu berpegang teguh pada ajaran salaf al-shalih. Yaitu ajaran Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah, yang dianut mayoritas kaum muslim di Indonesia dan Thariqah ‘Alawiyyah, dan bermata rantai sampai kepada ahlu al-bait Nabi, para sahabat, yang semuanya bersumber dari Rasulullah Shallā Allāh ‘alayh wa sallam. Al-Ustadz ‘Umar memanfaatkan ilmu, waktu, umur, dan membelanjakan hartanya di jalan Allah sampai akhir hayatnya. Al-Ustadz ‘Umar Baradja memenuhi panggilan Rabbnya pada hari Sabtu malam Ahad tanggal 16 Rabiuts Tsani 1411 H/3 November 1990 M pukul 23.10 WIB di Rumah Sakit Islam Surabaya, dalam usia 77 Tahun.
Keesokan harinya Ahad ba’da Ashar, ia dimakamkan, setelah
dishalatkan di Masjid Agung Sunan Ampel, diimami putranya sendiri yang menjadi Khalifah (penggantinya), Al-Ustadz Ahmad bin ‘Umar Baradja.
15Majalah AlKisah No. 07/Tahun V/26 Maret – 8 April 2007, 88. Jika ditelusuri berdasarkan
16
Kemudian jasad mulia itu dikuburkan di makam Islam Pegirian Surabaya. Prosesi pemakamannya dihadiri ribuan orang.16
B. Intelektualitas Al-Ustadz ‘Umar Baradja
1. Riwayat Pendidikan Al-Ustadz ‘Umar Baradja
Pada masa mudanya, ‘Umar Baradja menuntut ilmu agama dan bahasa Arab dengan tekun, sehingga dia menguasai dan memahaminya. Berbagai ilmu agama dan bahasa Arab dia dapatkan dari ulama, ustadz, Al-Ustadz, baik melalui pertemuan langsung maupun melalui surat. Para alim ulama dan orang-orang shalih telah menyaksikan ketaqwaan dan kedudukannya sebagai ulama yang ‘amil. Ulama yang mengamalkan ilmunya.
Al-Ustadz ‘Umar Baradja adalah salah seorang alumnus yang berhasil, Al-Ustadz ‘Umar Baradja merupakan didikan Madrasah Al-Khairiyah di kampung Ampel, Surabaya yang didirikan dan dibina oleh Al-habib Al-Imam Muhammad bin Achmad Al-Muhdhar pada tahun 1895. Sekolah yang berasaskan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah dan bermadzhab Syafi’i.
Guru-guru Al-Ustadz ‘Umar Baradja, antara lain, Al-Ustadz Abdul Qodir bin Ahmad bil Faqih (Malang), Al-Ustadz Muhammad bin Husein Ba’bud (Lawang), Al-Habib Abdul Qodir bin Hadi Assegaf, Al-Habib
Muhammad bin Ahmad Assegaf (Surabaya), Al-Habib Alwi bin Abdullah Assegaf (Solo), Al-Habib Ahmad bin Alwi Al-Jufri (Pekalongan), Al-Habib
17
Ali bin Husein Bin Syahab, Habib Zein bin Abdullah Alkaf (Gresik), Al-Habib Ahmad bin Ghalib Al-Hamid (Surabaya), Al-Al-Habib Alwi bin Muhammad Al-Muhdhar (Bondowoso), Al-Habib Abdullah bin Hasan Maulachela, Al-Habib Hamid bin Muhammad As-Sery(Malang), Al-Ustadz Robaah Hassunah Al-Kholili (Palestina), Al-Ustadz Muhammad Mursyid (Mesir) – keduanya tugas mengajar di Indonesia.
Guru-gurunya yang berada di luar negeri diantaranya, Al-Habib Alwi bin Abbas Al-Maliki, Sayyid Muhammad bin Amin Al-Quthbi, As-Al-Ustadz Muhmmad Seif Nur, As-As-Al-Ustadz Hasan Muhammad AlMasysyath, Al-Habib Alwi bin Salim Alkaff, As-Al-Ustadz Muhammad Said Al-Hadrawi Al-Makky (Mekkah), Al-Habib Muhammad bin Hady Assegaf (Seiwun, Hadramaut, Yaman), Al-Habib Abdullah bin Ahmad AlHaddar, Al-Habib Hadi bin Ahmad Al-Haddar (‘inat, Hadramaut, Yaman) , habib Abdullah bin Thahir Haddad (Geidun, Hadaramaut, Yaman), Al-Habib Abdullah bin ‘Umar Asy-Syatiri (Tarim, Hadramaut, Yaman), AlHabib Hasan bin Ismail Bin Syeikh Abu Bakar (‘inat, Hadramaut, Yaman),
18
bin Thohir Al-Haddad (Johor, Malaysia), Syeikh Abdul ‘Aliim AsShiddiqi (India), Al-Ustadz Hasanain Muhammad Makhluf (Mesir), Al-Habib Abdul Qodir bin Achmad Assegaf (Jeddah, Arab Saudi).17
Al-Ustadz ‘Umar Baradja bertemu dengan guru-guru tersebut tidak hanya dalam proses belajar mengajar pada sebuah majelis, tetapi banyak dari mereka yang beliau hanya bertemu beberapa kali dan mengambil sedikit ilmu darinya sudah beliau anggap sebagai guru, inilah bukti dari sifat beliau yang tawadhu’. Bahkan tak sedikit dari dari mereka yang usia jauh lebih muda dari Al-Ustadz ‘Umar Baradja.18 Sebagaimana suatu maqalah dari sahabat Ali Radhiya Allāh ‘anhu, Artinya: “Saya adalah hamba dari orang
yang mengajariku satu huruf. Jika mau ia boleh menjualnya, boleh pula membebaskannya dan jika minat ia pun boleh memperbudaknya”.19
C. Keberagaman Al-Ustadz ‘Umar Baradja
Kepandaian Al-Ustadz ‘Umar Baradja dalam bidang karya tulis, disebabkan Al-Ustadz ‘Umar Baradja menguasai bahasa Arab dan sastranya, ilmu tafsir dan hadits, ilmu fiqh dan tasawuf, ilmu sirah dan tarikh. Ditambah lagi penguasaan bahasa Belanda dan bahasa Inggris.20
1. Kiprah dan Dakwah Al-Ustadz ‘Umar Baradja
Al-Ustadz ‘Umar Baradja mengawali kariernya mengajar di
Madrasah AlKhairiyah Surabaya tahun 1935-1945, yang berhasil menelurkan beberapa ulama dan al asatidz yang telah menyebar ke
17Asseggaf. Sekelumit riwayat hidup Al-Ustadz ‘Umar bin Achmad Baradja, 2-5. 18Musthofa bin Ahmad Baradja, Wawancara, Surabaya, 10 Maret 2016.
19‘Umar bin Ahmad Baradja, Al Akhlāq Lil Banīn, (Surabaya: Maktabah Muhammad bin Ahmad
Nabhan, 1954), 51.
19
berbagai pelosok tanah air. Di Jawa Timur antara lain, almarhum al-ustadz Achmad bin Hasan Assegaf, almarhum Al-Habib ‘Umar bin Idrus Al-Masyhur, almarhum al-ustadz Achmad bin Ali Babgei, Al-habib Idrus bin Hud Assegaf, Al-habib Hasan bin Hasyim Al-Habsyi, Al-habib Hasan bin Abdul Qodir Assegaf, AlUstadz Ahmad Zaki Ghufron, dan Al-Ustadz Dja’far bin Agil Assegaf.
Kemudian, Al-Ustadz ‘Umar Baradja pindah mengajar di
Madrasah Al-Khairiyah, Bondowoso. Berlanjut mengajar di Madrasah Al-Husainiyah, Gresik tahun 1945-1947. Lalu mengajar di Rabithah Al-Alawiyyah, Solo, tahun 1947- 1950. Mengajar di Al-Arabiyah Al-Islamiyah, Gresik tahun 1950-1951. Setelah itu, tahun 1951-1957, bersama Al-habib Zein bin Abdullah Al-kaff, memperluas serta membangun lahan baru, karena sempitnya gedung lama, sehingga terwujudlah gedung yayasan badan wakaf yang di beri nama Yayasan Perguruan Islam Malik Ibrahim di Gresik atau yang sekarang berubah nama menjadi YIMI atau Yayasan Islam Malik Ibrahim.
Selain mengajar di lembaga pendidikan, Al-Ustadz ‘Umar Baradja juga mengajar di rumah pribadinya, pagi hari dan sore hari, serta majelis ta’lim atau pengajian rutin malam hari. Karena sempitnya tempat dan
20
asuhan Ustadz Mushtofa bin Achmad bin ‘Umar Baradja, atau (cucu Al-Ustadz ‘Umar Baradja). Yang sebelumnya diasuh oleh Al-Ustadz Achmad bin ‘Umar Baradja. Dan telah melahirkan alumni-alumni yang sukses di bidang dakwah, di antaranya Habib Idrus bin Muhammad Alaydrus. Perlu diketahui juga sekarang sudah berubah nama menjadi Lembaga Perguruan Islam Al-Ustadz Achmad bin ‘Umar Baradja.21
Amal ibadah Al-Ustadz ‘Umar Baradja meluas ke bidang lain, sehingga memerlukan dana yang cukup besar, Al-Ustadz ‘Umar Baradja juga menggalang dana untuk kebutuhan para janda, fakir miskin, dan yatim piatu khususnya para santri-santrinya, agar mereka lebih berkonsentrasi dalam menimba ilmu. Menjodohkan wanita-wanita muslimah dengan pria muslim yang baik menurut pandangannya, sekaligus mengusahakan biaya perkawinannya dengan dukungan dana dari Al-Habib Idrus bin ‘Umar Alaydrus.22
Salah satu karya monumentanya adalah membangun Masjid
AlKhair (Danakarya I-48/50, Surabaya) pada tahun 1971, bersama KH. Adnan Chamim, setelah mendapat petunjuk dari Al-Habib Sholeh bin Muhsin AlHamid (Tanggul) dan Al-habib Zein bin Abdullah Al-Kaff (Gresik). Masjid ini sekarang digunakan untuk berbagai kepentingan dakwah masyarakat Surabaya.
Dalam buku Kunjungan Habib Alwi Solo kepada Habib Abubakar Gresik, yang bukunya berjudul “Catatan Habib Abdul Kadir bin Hussein
21
Assegaf”, disebutkan,” kami dari rombongan Habib Alwi bin Alwi AlHabsyi berkunjung ke rumah Al-Ustadz ‘Umar bin Ahmad Baradja yang berada di Surabaya. Kami dengar saking senangnya, Al-Ustadz ‘Umar Baradja sujud syukur di kamar khususnya. Ia meminta Sayyidi Alwi untuk membacakan doa dan Fatihah.”23
Dengan sifat wara’-nya yang sangat tinggi. Perkara yang meragukan dan syubhat dia tinggalkan, sebagaimana meninggalkan perkara-perkara yang haram. Al-Ustadz ‘Umar Baradja juga selalu berusaha berpenampilan sederhana. Sifat Ghirah Islamiyah (semangat membela Islam) dan iri dalam beragama sangat kuat dalam jiwanya. Konsistensinya dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, misalnya dalam menutup aurat, khususnya aurat wanita, Al-Ustadz ‘Umar Baradja sangat keras dan tak kenal kompromi dalam membina anak-anak didiknya. Pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan dia tolak keras dan juga bercampurnya antara murid laki-laki dan perempuan dalam satu kelas.24
23Alwi Solo, Habib. Catatan Habib Abdul Kadir bin Hussein Assegaf (Solo: Penerbit Putra Riyadi,
2003), 93.
BAB III
AKTIFITAS AL-USTADZ ‘UMAR BARADJA
A. Peran Al-Ustadz ‘Umar Baradja dalam Madrasah Al Khairiyah
Dengan seiringnya perkembangan zaman yang semakin pesat serta
hilangnya akhlak-akhlak dan moral-moral anak bangsa ini. Madrasah
Diniyyah diharapkan mampu membenahi dan mampu mengembalikan
keadaan bangsa yang memiliki generasi-generasi dan insan-insan yang
berperilaku baik dan di dalamnya terdapat akhlak al karimah dan budi pekerti
yang luhur.
Teringat nasehat yang terdapat dalam kitab Al Akhlāq Lil Banīn
karya Al-Ustadz ‘Umar Baradja, akhlak itu ibaratkan sebuah pohon.25 Ketika
sebuah pohon tidak dirawat dari sejak kecil maka akan sukar untuk
meluruskannya ketika sudah besar. Begitupun dengan pendidikan akhlak anak.
Ketika akhlak ditanamkan sejak kecil kepada anak, maka ketika anak sudah
dewasa akan memiliki kepribadian yang baik. Tetapi ketika akhlak tidak
ditanamkan sejak dini, maka akan sukar sekali untuk meluruskannya ketika
besar.
Maka pendidikan Madrasah Diniyah mempunyai andil besar dalam
memupuk dan membentuk anak usia dini yang shalihin-shalihat karena di
dalamnya seorang anak di didik oleh ustadz atau guru untuk dapat berperilaku
sopan dalam berbicara, santun dalam berprilaku terhadap sesama,
23
menghormati kedua orang tua dan yang amat terpenting anak santri diajari
ilmu-ilmu agama serta diajari tatacara beribadah dari mulai tatacara bersuci
berwudhu sampai tatacara sholat yang baik dan benar serta membaca alquran
yang sesuai kaidah tajwid.
Madrasah Al Khairiyah identik dengan berdakwah. Adapun dakwah
adalah bagian penting dalam agama Islam, sehingga sering dikatakan bahwa
Islam adalah agama dakwah. Melalui dakwah itulah ajaran Islam bisa tersebar
luas ke seluruh penjuru Indonesia bakan dunia. Melalui dakwah itu juga,
ajaran Islam diamalkan para pemeluknya sehingga tercermin dalam kehidupan
pribadi, keluarga dan masyarakat.26 Itulah sebabnya, di dalam kitab suci
Alquran sendiri banyak sekali ayat-ayat yang berbicara dan mengatur tentang
apa dan bagaimana berdakwah. Keberhasilan berdakwah akan sangat
bergantung pada bagaimana mubaligh tersebut berdakwah. Tidak hanya
sekedar penguasaan materi, tetapi kemampuan mubaligh dalam mengenal dan
memahami ilmu dakwah pun sangat berpengaruh terhadap keberhasilan
dakwah itu sendiri.
Gambaran di atas menegaskan bahwa tata cara atau metode lebih
penting dari materi yang dikuasai, dalam bahasa arab dikenal dengan
“al-ṭariqah ahammu min al-maddah”. Ungkapan ini sangat berguna dalam
kegiatan dakwah.
Aktifitas dakwah pada awalnya hanyalah merupakan tugas sederhana,
yakni kewajiban untuk menyampaikan apa yang diterima dari Rasulullah
24
Shallā Allāh ‘alayh wa sallam walaupun hanya satu ayat. Hal ini dapat
dipahami sebagaimana yang sudah ditegaskan oleh Rasulullah Shallā Allāh
‘alayh wa sallam: “Balighū ‘anni walau ayat”. Setiap seorang Muslim dan
Muslimah diwajibkan untuk berdakwah menyebarkan agama Islam kepada
orang lain, baik Muslim maupun non-muslim. Semua ini sudah ada di dalam
kitab suci Alquran, Allah Swt berfirman: “Dan hendaklah ada diantara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang
ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang
beruntung”.27
Selain ayat diatas ada juga dalil-dalil lain yang menjelaskan tentang
kewajiban berdakwah bagi setiap Muslim dan Muslimah diantaranya sebagai
berikut Allah Swt berfirman: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan
untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang
munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu
lebih baik bagi mereka, diantara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang fasik”.28 “Serulah (manusia) kepada jalan
tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka
dengan cara yang baik. Sesungguhnya tuhan-mu dialah yang lebih menetahui
tentang siapa yang tesesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang menadapat petunjuk”. 29 Selain ayat-ayat yang sudah
penulis sampaikan diatas masih banyak lagi ayat-ayat di dalam kitab suci
25
Alquran yang menegaskan tentang kewajiban berdakwah bagi setiap Muslim
atau Muslimah.
Seperti halnya penampilan Al-Ustadz ‘Umar Baradja yang sangat
bersahaja, tetapi dihiasi sifat-sifat ketulusan niat yang disertai keikhlasan
dalam segala amal perbuatan duniawi dan ukhrawi. Dia juga menjabarkan
akhlak ahlu al-bait, keluarga Nabi Muhammad Shallā Allāh ‘alayh wa sallam
dan para sahabat, yang mencontoh baginda Nabi Muhammad Shallā Allāh
‘alayh wa sallam. Dia tidak suka membangga-banggakan diri, baik tentang
ilmu, amal, maupun ibadah. Ini karena sifat qana’ah dan tawaduknya sangat
tinggi.
Dalam beribadah, dia selalu istikamah baik salat fardu maupun salat
sunnah qabliyah dan ba’diyah. Salat dhuha dan tahajud hampir tidak pernah
dia tinggalkan walaupun dalam bepergian. Kehidupannya dia usahakan untuk
benar-benar sesuai dengan yang digariskan agama. Cintanya kepada keluarga
Nabi Muhammad Shallā Allāh ‘alayh wa sallam dan dzurriyyah atau
keturunannya, sangat dikenal tak tergoyahkan dan juga kepada para sahabat
anak didik Rasulullah Shallā Allāh ‘alayh wa sallam. Itulah pertanda
keimanan yang teguh dan sempurna.30
Al-Ustadz ‘Umar Baradja merupakan salah seorang alumnus yang
berhasil sukses atas didikan Madrasah Al Khairiyah di kampung Ampel,
Surabaya, yang didirikan dan dibina oleh Al-habib Al-Imam Muhammad bin
Achmad Al-Muhdhar pada tahun 1895. Sekolah yang berasaskan Ahlu Al
26
sunnah Wa Al Jama’ah dan bermadzhab Syafi’i. Adapun peran Al-Ustadz
‘Umar Baradja sendiri dalam Madrasah Al Khairiyah yakni sebagai staf
pengajar yang sangat disegani oleh santri-santrinya.
B. Al-Ustadz ‘Umar Baradja dalam mendirikan Yayasan Perguruan Islam
Al-Ustadz ‘Umar Baradja di Surabaya
Pada masa mudanya Al-Ustadz ‘Umar Baradja menuntut ilmu agama
dan bahasa Arab dengan tekun, sehingga dia menguasai dan memahaminya.
Berbagai ilmu agama dan bahasa Arab dia dapatkan dari ulama, ustadz,
Al-Ustadz, baik melalui pertemuan langsung maupun melalui surat. Para alim
‘ulama dan orang-orang shalih telah menyaksikan ketaqwaan dan
kedudukannya sebagai ulama yang ‘amil. Ulama yang mengamalkan ilmunya.
Yayasan Perguruan Islam Al-Ustadz Achmad ‘Umar Baradja yang
tepatnya di Surabaya yang dulu diasuh oleh Al-Ustadz ‘Umar yang kemudian
dilanjutkan oleh anaknya Al Ustadz Achmad bin ‘Umar Baradja, yang
kemudian pada tahun 2013 hingga sekarang diganti oleh Al Ustadz Musthofa
bin Achmad bin ‘Umar Baradja menjadi “Lembaga Perguruan Islam
Al-Ustadz Achmad ‘Umar Baradja”, yang merupakan lembaga pendidikan agama
islam dan bahasa arab yang sudah cukup lama berdiri, dan mencetak banyak
santriwan dan santriwati yang unggul dibidang - bidangnya. Awal
didirikannya oleh Alm. Al-Ustadz Achmad ‘Umar Baradja, pada tanggal 6
Muharram 1407H / 10 September 1986M. Saat ini proses belajar-mengajar
27
002/014, Kecamatan Semampir, Kelurahan Ampel, Surabaya. Tahun ini,
terdaftar 110 santriwan atau santriwati yang belajar di LPI Al-Ustadz Achmad
‘Umar Baradja dengan Staf 12 Ustadz dan Ustadzah.
Berdasarkan kegunaan sejarah yang terdiri dari intrinsik (yaitu sejarah
sebagai ilmu, cara mengetahui masa lampau, pernyataan pendapat dan profesi)
dan ekstrinsik (yaitu sejarah sebagai pendidikan, latar belakang, rujukan dan
bukti), secara ekstrintik sejarah merupakan latar belakang.31 Sejarah digunakan
untuk mengetahui latar belakang yaitu sejarah berdiri Yayasan Perguruan Islam
atau Lembaga Perguruan Islam Al Ustadz Ahmad bin ‘Umar Baradja.
Berdasarkan peresmian Yayasan Perguruan Islam Al-Ustadz Achmad
bin ‘Umar Baradja, pada tanggal 6 Muharram 1407H / 10 September 1986M,
maka menurut pendapat David Thomson adalah yayasan atau lembaga ini
berdiri pada zaman kontemporer.32 David Thomas mengatakan bahwa scope
(lingkup) sejarah kontemporer adalah abad ke-20-an. Sedangkan menurut
Kuntowijoyo, sejarah berdirinya Yayasan Perguruan Islam atau Lembaga
Perguruan Islam Al Ustadz Ahmad bin ‘Umar Baradja dapat digolongkan
dalam wilayah kajian sejarah kontemporer.33
1. Fungsi Yayasan Perguruan Islam
Fungsi Yayasan Perguruan Islam dibagi menjadi 3 bagian yaitu,
sebagai lembaga pendidikan, sebagai lembaga sosial dan sebagai lembaga
penyiaran agama Islam.34
31Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, 34.
32Nugroho Notosusanto, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer, 7. 33Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, 79.
28
2. Tujuan Yayasan Perguruan Islam
Tujuan terbentuknya Yayasan Perguruan Islam dibagi menjadi 5
bagian yaitu, tujuan pertama, membimbing anak didik usia dini untuk
menjadi manusia yang berkepribadian Islam dengan ilmu agamanya ia
sanggup menjadi mubalig Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu
dan amalnya. Tujuan kedua, mendidik kader-kader bangsa agar menjadi
seorang muslim berhaluan ahlu sunnah waljama’ah yang bertaqwa kepada
Allah Subhanahu Wata’ala. Tujuan ketiga, mengembangkan ilmu Fiqih
hukum Islam terutama bahasa Al-Qur’an yakni Bahasa Arab. Tujuan
keempat, mencetak murid atau santriwan-santriwati yang berilmu, beriman
dan beramal, sehingga kelak menjadi anggota masyarakat yang berguna
bagi Agama, Nusa, dan Bangsa. Tujuan kelima, mempersiapkan para santri
untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh ustadz
atau ustadzah yang bersangkutan serta bisa mengamalkannya dalam
masyarakat.35
C. Peran Al-Ustadz ‘Umar Baradja dalam Thariqah ‘Alawiyyah
Thariqah ‘Alawiyyah merupakan salah satu thariqah mu’tabarah dari
41 thariqah yang ada di dunia. Thariqah ini berasal dari Hadhramaut, Yaman
Selatan dan tersebar hingga ke berbagai negara, seperti Afrika, India, dan Asia
Tenggara (termasuk Indonesia). Thariqah ini didirikan oleh Imam Ahmad bin
Isa Muhajir nama lengkapnya Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad
29
Muhajir, seorang tokoh sufi terkemuka asal Hadhramat pada abad ke-17 M.
Namun dalam perkembangannya kemudian, Thariqah ‘Alawiyyah dikenal
juga dengan Thariqah Haddadiyah, yang dinisbatkan kepada Sayyid Abdullah
al-Haddad, selaku generasi penerusnya. Sementara nama ”‘Alawiyyah” berasal
dari Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir.
Thariqah ‘Alawiyyah berbeda dengan thariqah sufi lain pada
umumnya. Perbedaan itu, misalnya, terletak dari praktiknya yang tidak
menekankan segi-segi riyadlah (olah ruhani) dan kezuhudan, melainkan lebih
menekankan pada amal, akhlak, dan beberapa wirid serta dzikir ringan.
Sehingga wirid dan dzikir ini dapat dengan mudah dipraktikkan oleh siapa saja
meski tanpa dibimbing oleh seorang mursyid. Ada dua wirid yang
diajarkannya, yakni Wirid Al-Lathif dan Ratib Al-Haddad. Juga dapat
dikatakan, bahwa thariqah ini merupakan jalan tengah antara Thariqah
Syadziliyah yang menekankan riyadlah qulub atau olah hati dan batiniah dan
Thariqah Al-Ghazaliyah yang menekankan riyadlah al-‘abdan atau olah fisik.
Thariqah ‘Alawiyyah, secara umum, adalah thariqah yang dikaitkan
dengan kaum Alawiyyin atau lebih dikenal sebagai saadah atau kaum sayyid
keturunan Nabi Muhammad Shallā Allāh ‘alayh wa sallam yang merupakan
lapisan paling atas dalam strata masyarakat Hadhrami. Karena itu, pada
masa-masa awal thariqah ini didirikan, pengikut Thariqah ‘Alawiyyah kebanyakan
dari kaum sayyid (kaum Hadhrami), atau kaum Ba Alawi, dan setelah itu
diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat muslim lain dari non-Hadhrami.36
30
Thariqah ‘Alawiyyah juga boleh dikatakan memiliki kekhasan
tersendiri dalam pengamalan wirid dan dzikir bagi para pengikutnya. Yakni
tidak adanya keharusan bagi para murid untuk terlebih dahulu diba’iat atau
ditalqin atau mendapatkan khirqah jika ingin mengamalkan thariqah ini.
Dengan kata lain ajaran Thariqah ‘Alawiyyah boleh diikuti oleh siapa saja
tanpa harus berguru sekalipun kepada mursyidnya. Demikian pula, dalam
pengamalan ajaran dzikir dan wiridnya, Thariqah ‘Alawiyyah termasuk cukup
ringan, karena thariqah ini hanya menekankan segi-segi amaliah dan akhlak
(tasawuf ‘amali, akhlaqi). Sementara dalam thariqah lain, biasanya cenderung
melibatkankan riyadlah-riyadlah secara fisik dan kezuhudan ketat.
Oleh karena itu dalam perkembangan lebih lanjut, terutama semasa
Al-Ustadz Abdullah al-Haddad Thariqah ‘Alawiyyah yang diperbaharui.
Thariqah ini memiliki jumlah pengikut yang cukup banyak seperti di
Indonesia. Bahkan dari waktu ke waktu jumlah pengikutnya terus bertambah
seiring dengan perkembangan zaman. Thariqah ‘Alawiyyah memiliki dua
cabang besar dengan jumlah pengikut yang juga sama banyak, yakni Thariqah
‘Aidarusiyyah dan Thariqah ‘Aththahisiyyah.
1. Biografi Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir
Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir (selanjutnya Imam Ahmad)
adalah keturunan Nabi Muhammad SAW melalui garis Husein bin
Sayyidina Ali bin Abi Thalib atau Fathimah Azzahra binti Rasulullah
SAW. Ia lahir di Basrah, Irak, pada tahun 260 H. Ayahnya, Isa bin
31
tinggi dalam beribadah dan berpengetahuan luas. Mula-mula keluarga Isa
bin Muhammad tinggal di Madinah, namun karena berbagai pergolakan
politik, ia kemudian hijrah ke Basrah dan Hadhramaut. Sejak kecil hingga
dewasanya Imam Ahmad sendiri lebih banyak ditempa oleh ayahnya
dalam soal spiritual. Sehingga kelak ia terkenal sebagai tokoh sufi.
Bahkan oleh kebanyakan para ulama pada masanya, Imam Ahmad
dinyatakan sebagai tokoh yang tinggi hal-nya atau keadaan ruhaniah
seorang sufi selama melakukan proses perjalanan menuju Allah. Selain
itu, Imam Ahmad juga dikenal sebagai seorang saudagar kaya di Irak.
Tapi semua harta kekayaan yang dimilikinya tak pernah membuat Imam
Ahmad berhenti untuk beribadah, berdakwah, dan berbuat amal shaleh.
Sebaliknya, semakin ia kaya semakin intens pula aktivitas keruhanian dan
sosialnya.
Selama di Basrah, Imam Ahmad sering sekali dihadapkan pada
kehidupan yang tak menentu. Misalnya oleh berbagai pertikaian politik
dan munculnya badai kedhaliman dan khurafat. Sadar bahwa kehidupan
dan gerak dakwahnya tak kondusif di Basrah, pada tahun 317 H Imam
Ahmad lalu memutuskan diri untuk berhijrah ke kota Hijaz. Dalam
perjalanan hijrahnya ini, Imam Ahmad ditemani oleh istrinya, Syarifah
Zainab binti Abdullah bin al-Hasan bin Ali al-Uraidhi, dan putra
terkecilnya, Abdullah. Dan setelah itu ia kemudian hijrah ke Hadhramaut
32
Tapi dalam sebuah riwayat lain disebutkan, sewaktu Imam Ahmad
tinggal di Madinah Al-Munawarrah, ia pernah menghadapi pergolakan
politik yang tak kalah hebat dengan yang terjadi di kota Basrah. Pada saat
itu, tepatnya tahun 317 H, Mekkah mendapat serangan sengit dari kaum
Qaramithah yang mengakibatkan diambilnya Hajar Aswad dari sisi
Ka’bah. Sehingga pada tahun 318 H, tatkala Imam Ahmad menunaikan
ibadah haji, ia sama sekali tidak mencium Hajar Aswad kecuali hanya
mengusap tempatnya saja dengan tangan. Barulah setelah itu, ia pergi
menuju Hadhramaut.
2. Awal Perkembangan Thariqah ‘Alawiyyah
Tonggak perkembangan Thariqah ‘Alawiyyah dimulai pada masa
Muhammad bin Ali, atau yang akrab dikenal dengan panggilan Al-Faqih
al-Muqaddam (seorang ahli agama yang terpandang) pada abad ke-6 dan
ke-7 H. Pada masanya, kota Hadhramaut kemudian lebih dikenal dan
mengalami puncak kemasyhurannya (ketenarannya). Muhammad bin Ali
adalah seorang ulama besar yang memiliki kelebihan pengetahuan bidang
agama secara mumpuni, di antaranya soal fiqih dan tasawuf. Di samping
itu, konon ia pun memiliki pengalaman spiritual tinggi hingga ke Maqam
al-Quthbiyyah (puncak maqam kaum sufi) maupun khirqah shufiyyah
(legalitas kesufian).
Mengenai keadaan spiritual Muhammad bin Ali ini, al-Khatib
pernah menggambarkan sebagai berikut: “Pada suatu hari, Al-Faqih
33
Pada hikayat ke-24, para Al-Ustadz meriwayatkan bahwa Al-Ustadz
Syuyukh, Al-Faqih al-Muqaddam, pada akhirnya hidupnya tidak makan
dan tidak minum. Semua yang ada di hadapannya sirna dan yang ada
hanya Allah. Dalam keadaan fana’ seperti ini datang Khidir dan lainnya
mengatakan kepadanya: “Segala sesuatu yang mempunyai nafs (ruh) akan
merasakan mati .” Dia mengatakan, “Aku tidak mempunyai nafs.”
Dikatakan lagi, “Semua yang berada di atasnya (dunia) akan musnah.”
Dia menjawab, “Aku tidak berada di atasnya.” Dia mengatakan lagi,
“Segala sesuatu akan hancur kecuali wajah-Nya (Dia).” Dia menjawab,
“Aku bagian dari cahaya wajah-Nya.” Setelah keadaan fana’-nya
berlangsung lama, lalu para putranya memintanya untuk makan walaupun
sesuap. Menjelang akhir hayatnya, Al- mereka memaksakan untuk
memasukkan makanan ke dalam perutnya. Dan setelah makanan tersebut
masuk mereka mendengar suara atau hatif. “Kalian telah bosan
kepadanya, sedang kami menerimanya. Seandainya kalian biarkan dia
tidak makan, maka dia akan tetap bersama kalian.”
Setelah wafatnya Muhammad bin Ali, perjalanan Thariqah
‘Alawiyyah lalu dikembangkan oleh para Al-Ustadz. Di antaranya ada
empat Al-Ustadz yang cukup terkenal, yaitu Al-Ustadz Abd al-Rahman
Saqqaf (739), Al-Ustadz ‘umar Muhdhar bin Abd Rahman
al-Saqqaf (833 H), Al-Ustadz Abdullah al-‘Aidarus bin Abu Bakar bin Abd
al-Rahman al-Saqqaf (880 H), dan Al-Ustadz Abu Bakar al-Sakran (821
34
Selama masa para Al-Ustadz ini, dalam sejarah Ba Alawi, di
kemudian hari ternyata telah banyak mewarnai terhadap perkembangan
thariqah itu sendiri. Dan secara umum, hal ini bisa dilihat dari ciri-ciri
melalui para tokoh maupun berbagai ajarannya dari masa para imam
hingga masa Al-Ustadz di Hadhramaut.
Pertama, adanya suatu tradisi pemikiran yang berlangsung dengan
tetap mempertahankan beberapa ajaran para salaf mereka dari kalangan
tokoh Alawi, seperti Quthbaniyyah, dan sebutan Imam Ali sebagai
Al-Washiy, atau keterikatan daur sejarah Alawi dan Ba Alawi. Termasuk
masalah wasiat dari Rasulullah untuk Imam Ali sebagai pengganti Nabi
Muhammad Shallā Allāh ‘alayh wa sallam.
Kedua, adanya sikap elastis terhadap pemikiran yang berkembang
yang mempermudah kelompok ini untuk membaur dengan
masyarakatnya, serta mendapatkan status sosial yang terhormat hingga
mudah mempengaruhi warna pemikiran masyarakat.
Ketiga, berkembangnya tradisi para sufi kalangan khawwash
(elite), seperti al-jam’u, al-farq, al-fana’ bahkan al-wahdah, sebagaimana
yang dialami oleh Muhammad bin Ali (Faqih al-Muqaddam) dan
Al-Ustadz Abd al-Rahman al-Saqqaf.
Keempat, dalam Thariqah ‘Alawiyyah, berkembang suatu usaha
pembaharuan dalam mengembalikan tradisi thariqah sebagai Thariqah
35
mampu menghilangkan formalitas yang kaku dalam tradisi tokoh para
sufi.
Kelima, bila pada para tokoh sufi, seperti Hasan al-Bashri dengan
zuhd-nya, Rabi’ah al-Adawiyah dengan mahabbah dan al-isyq
al-Ilahi-nya, Abu Yazid al-Busthami dengan fana’-al-Ilahi-nya, al-Hallaj dengan wahdah
al-wujud-nya, maka para tokoh Thariqah Alawiyyah, selain memiliki
kelebihan-kelebihan itu, juga dikenal dengan al-khumul dan al-faqru-nya.
Al-khumul berarti membebaskan seseorang dari sikap riya’ dan ‘ujub,
yang juga merupakan bagian dari zuhud. Adapun Al-Faqru adalah suatu
sikap yang secara vertikal penempatan diri seseorang sebagai hamba di
hadapan Khaliq (Allah) sebagai zat yang Ghani (Maha Kaya) dan
makhluk sebagai hamba-hamba yang fuqara, yang selalu membutuhkan
nikmat-Nya. Secara horizontal, sikap tersebut dipahami dalam pengertian
komunal bahwa rahmat Tuhan akan diberikan bila seseorang mempunyai
kepedulian terhadap kaum fakir miskin. Penghayatan ajaran tauhid seperti
ini menjadukan kehidupan mereka tidak bisa dilepaskan dari kaum kelas
bawah maupun kaum tertindas mustadl’afin. Al-Ustadz Abd al-Rahman
al-Saqqaf misalnya, selama itu dikenal dengan kaum fuqara-nya,
sedangkan istri Muhammad bin Ali terkenal dengan dengan ummul
fuqara-nya.
3. Al-Ustadz Abdullah al-Haddad dan Thariqah ‘Alawiyyah
Nama lengkapnya Al-Ustadz Abdullah bin Alwi al-Haddad atau
36
nama al-Haddad ini tidak bisa dipisahkan, karena dialah yang banyak
memberikan pemikiran baru tentang pengembangan ajaran thariqah ini di
masa-masa mendatang. Ia lahir di Tarim, Hadhramaut pada 5 Safar 1044
H. Ayahnya, Sayyid Alwi bin Muhammad al-Haddad, dikenal sebagai
seorang yang saleh. Al-Haddad sendiri lahir dan besar di kota Tarim dan
lebih banyak diasuh oleh ibunya, Syarifah Salma, seorang ahli ma’rifah
dan wilayah (kewalian).
Peranan al-Haddad dalam mempopulerkan Thariqah ‘Alawiyyah
ke seluruh penjuru dunia memang tidak kecil, sehingga kelak thariqah ini
dikenal juga dengan nama Thariqah Haddadiyyah. Peran al-Haddad itu
misalnya, ia di antaranya telah memberikan dasar-dasar pengertian
Thariqah ‘Alawiyyah. Ia mengatakan, bahwa Thariqah ‘Alawiyyah adalah
Thariqah Ashhab al-Yamin, atau thariqahnya orang-orang yang
menghabiskan waktunya untuk ingat dan selalu taat pada Allah dan
menjaganya dengan hal-hal baik yang bersifat ukhrawi. Dalam hal suluk,
al-Haddad membaginya ke dalam dua bagian.
Pertama, kelompok khashshah (khusus), yaitu bagi mereka yang
sudah sampai pada tingkat muhajadah, mengosongkan diri baik lahir
maupun batin dari selain Allah di samping membersihkan diri dari segala
perangai tak terpuji hingga sekecil-kecilnya dan menghiasi diri dengan
perbuatan-perbuatan terpuji. Kedua, kelompok ‘ammah (umum), yakni
mereka yang baru memulai perjalanannya dengan mengamalkan
37
disimpulkan bahwa Thariqah ‘Alawiyyah adalah thariqah ‘ammah, atau
sebagai jembatan awal menuju thariqah khashshah.
Karena itu, semua ajaran salaf Ba Alawi menekankan adanya
hubungan seorang Al-Ustadz (musryid), perhatian seksama dengan
ajarannya, dan membina batin dengan ibadah. Amal shaleh dalam ajaran
thariqah ini juga sangat ditekankan, dan untuk itu diperlukan suatu
thariqah yang ajarannya mudah dipahami oleh masyarakat awam.
Al-Haddad juga mengajarkan bahwa hidup itu adalah safar
(sebuah perjalanan menuju Tuhan). Safar adalah Siyahah Ruhaniyyah
(perjalanan rekreatif yang bersifat ruhani), perjalanan yang dilakukan
untuk melawan hawa nafsu dan sebagai media pendidikan moral. Oleh
karena itu, di dalam safar ini, para musafir setidaknya membutuhkan
empat hal. Pertama, ilmu yang akan membantu untuk membuat strategi,
kedua, sikap wara’ yang dapat mencegahnya dari perbuatan haram.
Ketiga, semangat yang menopangnya. Keempat, moralitas yang baik yang
menjaganya.
4. Pendapat Habib Munzir Al Musawa
Saudara saudaraku yg kumuliakan, Perlu diketahui bahwa
Thariqah (thariqah) adalah metode untuk mencapai kedekatan pada Allah
swt, dan Thariqah sangat banyak, ada yg benar dan ada yg sesat. Saya
selaku pengikut Thariqah ‘Alawiyyah yang Thariqah ini menjadi induk
dari semua Thariqah, ingin memperjelas bahwa Thariqah ‘Alawiyyah
38
antara Syariah dan Haqiqah, sedangkan sebagian Thariqah lainnya
kebanyakan lebih condong kepada Haqiqah semata, dan banyak yg
menyepelekan syariah, dan sebagian lainnya mendahulukan haqiqah
daripada syariah.
Pada hakekatnya Pimpinan Thariqah ‘Alawiyyah adalah
Rasulullah Shallā Allāh ‘alayh wa sallam, karena beliaulah yang
memperkenalkan Syariah dan haqiqah tanpa memisahkannya, dilanjutkan
oleh Sayyidina Ali bin Thalib, juga khulafa al rasyidin lainnya, mereka
menjalankan syariah dan haqiqah, demikian pula Imam Hasan bin Ali bin
Abi Thalib dan Imam Husein, demikian pula Imam Ali Zainal Abidin bin
Husein ra, demikian pula Al Imam Muhammad Al Baqir, dan
keturunannya, demikian pula para Imam Imam Ahlussunnah waljamaah,
jasad mereka berjalan dg syariah, mengamalkan sunnah, dan hati sanubari
mereka dan ruh mereka berada di puncak puncak tertinggi Haqiqah
Makrifah.
Inilah puncak kesempurnaan seorang hamba Allah swt
sebagaimana firman Nya swt : “Katakanlah (wahai Muhammad), Jika
mereka mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya kalian akan dicintai
Allah.”37
Demikian juga firman Nya swt dalam hadits Qudsiy :
“Barangsiapa memusuhi wali Ku maka Ku umumkan perang padanya,
tiadalah hamba hamba Ku mendekat pada Ku dengan hal hal yg telah
39
kuwajibkan, dan hamba hamba Ku tak henti hentinya pula mendekat pada
Ku dengan hal hal yg sunnah hingga Aku mencintainya, Jika Aku
mencintainya maka aku menjadi telinganya yg ia gunakan untuk
mendengar, aku menjadi pandangannya yg ia gunakan untuk melihat, aku
menjadi tangannya yg ia gunakan untuk melawan, aku menjadi kakinya
yg ia gunakan untuk melangkah, Jika ia meminta pada Ku niscaya kuberi
apa yg ia minta, dan jika ia mohon perlindungan pada Ku niscaya kuberi
padanya perlindungan” (Shahih Bukhari Bab Arriqaaq/Tawadhu).
Sabda Rasulullah Shallā Allāh ‘alayh wa sallam: “Barangsiapa yg menghindari sunnahku maka ia bukan dari golonganku” (Shahih Bukhari).
Namun kemudian terjadi kesamaran hingga sebagian alawiyyin
(keturunan Rasul saw) lebih condong kepada Syariah dari pada Haqiqah,
dan sebagian lainnya lebih condong kepada Haqiqah daripada Syariah.
Maka Al Imam Faqihil Muqaddam Muhammad bin Ali Ba’alawi
kembali memperbaharui Thariqah ‘Alawiyyah sebagaimana dimasa Rasul
Shallā Allāh ‘alayh wa sallam, maka muncullah para Imam Imam Besar
yang merupakan samudera syariah sekaligus samudera Haqiqah,
sebagaimana Hujjatul Islam. Hujjatul islam adalah gelar bagi pakar hadits
yg telah hafal lebih dari 300.000 hadits berikut hukum sanad dan hukum
matannya. Al Imam Abdullah bin Alwi Alhaddad, Hujjatul Islam Al
Imam ‘umar bin Abdurrahman Alattas, Hujjatul Islam Al Imam ‘umar Al
40
Hujjatul Islam Al Imam Ahmad bin Zein Alhabsyi, dan ratusan Hujjatul
Islam lainnya pada Thariqah ‘Alawiyyah.
Mereka adalah samudera syariah, dan mereka pula samudera
haqiqah, sebagaimana dijelaskan oleh Hujjatul Islam Al Imam Abdullah
bin Alwi Alhaddad bahwa akhir derajat ketinggian Imam Abdulqadir Al
Jailani adalah awal derajat Al Imam Faqihil Muqaddam Muhammad bin
Ali Ba’alawi, yg dikenal kemudian sebagai Imam Thariqah ‘Alawiyyah,
karena beliau yg pertama kali memelopori kembali Thariqah yg
memadukan Syariah dan Haqiqah.
Sebagaimana Al Imam Abdullah bin Alwi Alhaddad berkata: semua sunnah Nabi Shallā Allāh ‘alayh wa sallam telah kuamalkan, kecuali satu, yaitu memanjangkan rambut hingga ke bawah telinga”.
Maka ketika beliau sakit cukup lama sebelum wafatnya, rambut
beliau tidak sempat dicukur, hingga beliau wafat dalam keadaan
rambutnya hingga bawah telinganya, beliau wafat dengan sempurna
mengamalkan seluruh sunnah Rasulullah Shallā Allāh ‘alayh wa sallam.
Disebut Thariqah ‘Alawiyyah karena para Imam Imamnya
merupakan ahlul bait Rasul Shallā Allāh ‘alayh wa sallam yang
merupakan samudera dalam syariah dan samudera dalam haqiqah, maka
muncul pula gelar Qutbul Irsyad wa Ghautsil Ibad walbilad untuk Al
Imam Abdullah bin Alwi Alhaddad, Qutbul Al Anfas untuk Al Imam
‘umar bin Abdurrahman alattas, dan banyak lagi, mereka telah mencapai
derajat Alghauts, yaitu puncak derajat para wali di zamannya, namun
41
Demikianlah Thariqah ‘Alawiyyah hingga kini, kita mengenal
Qutbudda’wah, almusnid Alhabib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi
Kwitang, beliau telah menyandang gelar Alhafidh (hafal lebih dari
100.000 hadits berikut sanad dan matan). Demikian pula Alqutb Alhafidh
Alhabib Salim bin Ahmad bin Jindan, demikian pula Alqutb Al Hafidh
Alhabib Abdulqadir Balfaqih Malang, dan banyak lagi.
Hingga kini kita masih mengenal Al Musnid Al Allamah Alhabib
‘Umar bin Hafidh, yg ketika mendapat kabar tentang beberapa murid
beliau yg banyak melanggar, seraya menjerit dan menangis sekeras
kerasnya dihadapan anak muridnya, tangisnya bagaikan bayi yg tersedu
sedu seraya berkata : “lebih baik kepalaku ditindih gunung daripada
sampainya kabar amal buruk kalian kepada Allah dan Rasul Nya,
bagaimana jika aku dimintai pertanggungan jawab??”
Demikian pula Almusnid Al Allamah Alhabib Muhammad bin
Alwi Almalikiy, yg tak henti hentinya selalu mengajarkan sunnah pada
murid muridnya, Demikian pula Almusnid Al Allamah Alhabib Zein bin
Ibrahim bin Smeit Madinah ketika diberi tasbih yg terbuat dari mutiara,
maka beliau bertanya : ini untuk perhiasan atau untuk tasbih?, khalayak
menjawab : Tasbih untuk berdzikir wahai habib, maka beliau berkata :
aku menggunakan tasbih untuk berdzikir pada Allah, bukan untuk
mengingat dunia..!”, seraya melemparkan tasbih mutiara itu.
Demikian , Almunsid Al Allamah Alhabib Salim bin Abdullah
42
jalannya terus merunduk, karena saat masa komunis di yaman beliau tetap
berdakwah hingga direbahkan dijalan dan dilindas mobil para komunis,
beliau selamat namun tulang belakangnya patah. Demikian pula
Almusnid Al Allamah Alhabib Ali Masyhur bin Hafidh Mufti Tarim, yg
ketika melihat murid muridnya banyak berbuat salah beliau menangis dan
berkata : “sungguh jika murid mempunyai kekurangan maka itu adalah
sebab gurunya, sebab aku yg penuh kekurangan..”
Juga Al Allamah Almusnid Syeikh Yaasin Fadani Alm, Al
Musnid Al Allamah Kyai Nawawi Albanteni Alm, dan banyak lagi.
Mereka semua menjalankan Thariqah Alawiyyah, termasuk Al Allamah
KH Abdullah Syafii, KH Syafii Hadzami dan sebagian besar para Ulama
di Indonesia, sanad keguruan mereka berpadu pada para Tokoh Ulama
dari Thariqah ‘Alawiyyah.
Hampir diseluruh Indonesia mengikuti Thariqah alawiyyah, ciri
cirinya adalah Ratib Attas, Ratib Haddad, wirdullatif, dll yang bukan
merupakan karangan mereka, namun kumpulan hadits hadits Rasul saw
yang dijadikan amalan pagi atau sore, sesuai dengan hadits-hadits Rasul
saw pada masing masing poinnya dan dipadu oleh mereka. Pada saat
sebelum mendekati ajalnya, Al-Ustadz ‘Umar sempat berwasiat kepada
putra-putra dan anak didiknya agar selalu berpegang teguh pada ajaran
salaf al-shalih. Yaitu ajaran Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah, yang dianut
mayoritas kaum muslim di Indonesia dan Thariqah ‘Alawiyyah yang