• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Efek Fraksi N-Heksan, Etil Asetat dan Etanol Daun Puguntano (Picria felterrae Lour.) Terhadap Sistem Kardiovaskuler Tikus Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Efek Fraksi N-Heksan, Etil Asetat dan Etanol Daun Puguntano (Picria felterrae Lour.) Terhadap Sistem Kardiovaskuler Tikus Chapter III V"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

46

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan rancangan acak

lengkap untuk mengevaluasi efek diuretik EnHPT, EEAPT dan EEPT pada

penurunan tekanan darah tikus normotensi, penurunan tekanan darah kelompok

tikus hipertensi yang diinduksi NaCl 2,5% dan metilprednisolon serta kelompok

yang dinduksi L"Name secara in vivo, peningkatan kontraksi dan denyut jantung

isolat jantung tikus secara in vitro. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium

Farmakologi Fakultas Farmasi USU setelah mendapat persetujuan Komisi Etik

Penelitian Kesehatan yang beralamat di Fakultas MIPA USU.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang metabolik,

Spektroskopis serapan atom (SSA), oral sonde, lemari pengering,

neraca analitis, alat gelas ( , cawan petri, batang

pengaduk), syringe (Terumo), seperangkat alat pengukur tekanan darah

(AD Instrument) tikus, lampu

penghangat, , spektofotometer UV"Vis, seperangkat alat Langendorf

(AD Instrumen), seperangkat alat bedah.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun puguntano, etanol

(teknis), n"heksan (teknis), etilasetat (teknis), tablet furosemide, saline, aqua

bidestilata, baku natrium, baku kalium, CMC"Na (Merck), gel

(2)

47

Medica), reagensia kolesterol, reagensia trigliserida, reagensia HDL"Kolesterol,

TCA, asam asetat glasial 15%, asam sulfanilat, N"(1"naftil) etilendiamina

dihidroklorida (NED), NaCl (Merck), KCl (Merck), NaH2PO4(Merck),

NaHCO3(Merck), MgCl2(Merck), CaCl2(Merck), Glukosa (Merck), Digoksin,

Karbogen, Ketamin, DMSO, Heparin.

! " #$ %

Sebanyak 1 g besi (III) klorida dilarutkan dalam aquadest sampai 100 ml

(Depkes RI, 1978).

$ &'

Sebanyak 7 ml asam klorida pekat diencerkan dengan aquadest sampai 100 ml

(Depkes RI, 1978).

! ()*

Timbal (II) asetat sebanyak 15,17 g dilarutkan dalam aquadesta bebas CO2

hingga 100 ml (Depkes RI, 1978).

* $ + , $

Sebanyak 1,4 g raksa (II) klorida, dilarutkan dalam aquadest hingga 60 ml.

Pada wadah lain ditimbang sebanyak 5 g kalium iodide dilarutkan dalam 10 ml

aquadest. Kedua larutan dicampurkan dan ditambahkan aquadest hingga 100 ml

(Depkes RI, 1978).

- $ + #

Sebanyak 3 g α"naftol dilarutkan dalam asam nitrat 0,5 N secukupnya ,

(3)

48

. $ + $ #$/

Sebanyak 0,8 g bismut nitrat dilarutkan dalam asam nitrat pekat 20 ml

kemudian dicampurkan dengan larutan kalium iodida sebanyak 27,2 g dalam 50

ml aquadest. Campuran didiamkan sampai memisah sempurna. Larutan jernih

diambil dan diencerkan dengan aquadest hingga 100 ml (Depkes RI, 1978).

0 $ $ + 1 /

Sebanyak 18 ml asam sulfat pekat diencerkan dengan aquadest hingga 100 ml

(Depkes RI, 1978).

2 1

Sebanyak 100 mg sudan III dilarutkan dalam campuran 10 ml etanol (95%)

dan 10 ml gliserol (Depkes RI, 1978).

3 $ + # 4 $

Sebanyak 4 g kalium iodida dilarutkan dalam aquadest secukupnya kemudian ditambahkan 2 g iodida sedikit demi sedikit cukupkan dengan aquadest (Depkes

RI, 1978).

( $ ' )-% 56!

Sebanyak 2,5 gram NaCl dimasukkan ke dalam lumpang, kemudian gerus

homogen. Masukkan sebagian aquadest gerus hingga NaCl larut. Masukkan

larutan ke dalam labu tentukur 100 ml, tambahkan aquadest sampai garis tanda.

7 7$ # #

Timbang sebanyak 10 mg metilprednisolon yang telah disetarakan dengan

berat tablet. Masukkan ke dalam lumpang kemudian gerus hingga homogen.

Masukkan suspensi ke dalam labu tentukur 10 ml. Tambahkan kembali suspensi

(4)

49

7 #7$# # 1 !

Timbang setara 50 mg serbuk bisoprolol. Masukkan serbuk ke dalam

lumpang. Tambahkan perlahan"lahan sebagian suspensi CMC Na 0,5%, gerus

hingga homogen. Masukkan suspensi ke dalam labu tentukur 10 ml. Tambahkan

kembali suspensi CMC Na sampai garis tanda.

$ + ' (% 56

Sebanyak 20 g TCA dicukupkan dengan aquadest hingga 100 ml.

* $ -% 656

Sebanyak 15 ml asam asetat glasial dicukupkan dengan aquadest hingga 100

ml.

- $ + $

Pereaksi Griess terdiri dari pereaksi asam sulfanilat 1% dan pereaksi NED

0,1%.

. $ + 1 / % 56

Sebanyak 1 g asam sulfanilat dilarutkan ke dalam 100 ml asam asetat 15%.

0 $ + () % 56

Sebanyak 0,1 g NED dilarutkan ke dalam 100 ml asam asetat glasial 15%v/v.

2 $ / # # +$ 8&

Sebanyak 118 g NaCl; 4.7 g KCl; 1.28 g NaH2PO4; 25.0 g NaHCO3; 1.2 g

MgCl2; 2.52 g CaCl2; 5.55 g glucose dilarutkan dalam 1 L aqua bidestilata hingga

diperoleh larutan dengan pH 7,4 (Gilani, 2006).

& 9 7 $4#

Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Tikus galur Wistar berat

(5)

50

selama seminggu dengan siklus 12 jam gelap/terang pada suhu kamar. Tikus

diberi makanan pellet standar dan air ad libitum.

* 7 , 7 1 7 #

Tumbuhan Puguntano diperoleh dari Desa Tiga Binanga, Kabupaten Dairi,

Sumatera Utara. Pengambilan bahan tumbuhan dilakukan dengan teknik sampling

secara random purposif. Identifikasi tumbuhan dilakukan oleh Pusat Penelitian

Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta. Daun Puguntano

dicuci dan dikeringkan hingga menjadi simplisia. Simplisia dihaluskan hingga

menjadi serbuk. Tujuan penyerbukan adalah untuk memudahkan proses

pengekstraksian.

- :$ + 8& + ) # #

Pembuatan fraksi puguntano dilakukan dengan cara maserasi bertingkat

( ) menggunakan pelarut n"heksan, etil asetat dan etanol 96%

(Ditjen POM, 1979). Pengekstrasian dilakukan dengan cara sebagai berikut

sebanyak 800 gram serbuk simplisia direndam dalam pelarut n"heksan selama 5

hari sambil sekali"sekali diaduk, kemudian disaring. Ampasnya dikeringkan

dengan cara mengangin"anginkannya di udara terbuka hingga pelarut n"heksan

menguap, lalu dimaserasi kembali menggunakan pelarut etil asetat. Perlakuan

yang sama dilakukan mengunakan pelarut etanol. Masing"masing maserat

diuapkan pelarutnya dengan evaporator pada suhu ± 40oC, lalu di keringkan

menggunakan ! " sehingga diperoleh ekstrak kental.

. 1+$ : #+

Skrining fitokimia dilakukan terhadap simplisia, ekstrak n"heksan, etilasetat

(6)

51

golongan senyawa kimia yang terkandung dalam simplisia dan ekstrak daun

puguntano. Uji yang dilakukan meliputi skrining terhadap golongan tanin,

glikosida, alkaloid, flavonoid dan saponin (Harborne, 1987; Depkes RI, 1995,

Ghayur, 2007).

dalam 3 tabung reaksi. Pada masing"masing tabung reaksi ditambahkan 2 tetes

pereaksi Mayer, 2 tetes pereaksi Bouchardat, 2 tetes pereaksi Dragendorff.

Alkaloida dinyatakan positif jika terjadi endapan atau kekeruhkan pada paling

sedikit dua dari tiga percobaan d iatas (Depkes, 1978)

. $ + : 6# #

Sebanyak 10 g sampel ditambahkan 10 ml air panas, dididihkan selama 5

menit dan disaring dalam keadaan panas. Ke dalam 5 ml filtrate ditambahkan 0,1

g serbuk magnesium dan 1 ml asam klorida pekat dan 2 ml amil alcohol, dikocok

dan dibiarkan memisah. Flavonoida dinyatakan positif jika terjadi warna merah

atau kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol (Fransworth, 1996).

. $ + +#

Sampel puguntano ditimbang sebanyak 3 g, lalu disari dengan 30 ml

campuran etanol 95% dengan air (7:3) dan 10 ml asam klorida 2 N, direfluks

selama 2 jam, didinginkan dan disaring. Kepada 20 ml filrat ditambahkan 25 ml

(7)

52

disaring. Filtrat disari dengan 20 ml campuran isopropanol dan kloroform (2:3).

Pekerjaan ini dilakukan sebanyak 3 kali. Sari air diuapkan pada temperatur tidak

lebih dari 50٥C. Sisanya dilarutkan dalam 2 ml metanol. Larutan sisa digunakan

untuk percobaan berikut: sebanyak 0,1 ml larutan percobaan dimasukkan kedalam

tabung reaksi dan diuapkan di atas penangas air. Pada sisa ditambahkan 2 ml air

dan 5 tetes pereaksi Molish. Kemudian secara perlahan"lahan ditambahkan 2 ml

asam sulfat pekat melalui dinding tabung, terbentuknya cicin berwarna ungu pada

batas kedua cairan menunjukkan adanya glikosida (Depkes, 1978).

. * $ + +# $ + #

Sampel puguntano ditimbang sebanyak 0,2 g, kemudian ditambahkan 5 ml

asam sulfat 2 N, dipanaskan sebentar, setelah dingin ditambahkan 10 ml benzena,

dikocok dan didiamkan. Lapisan benzena dipisahkan dan disaring, lapisan

benzena dikocok dengan 2 ml NaOH 2 N, lalu didiamkan. Lapisan air berwarna

merah dan lapisan benzena tidak berwarna menunjukan adanya glikosida

antrakinon (Depkes, 1978).

. - $ + 1 7#

Sampel puguntano ditimbang sebanyak 0,5 g dan dimasukan ke dalam tabung

reaksi, lalu ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan dan kemudian dikocok

kuat"kuat selama 10 detik. Jika terbentuk busa setinggi 1"10 cm yang stabil tidak

kurang dari 10 menit dan tidak hilang dengan penambahan 1 tetes asam klorida 2

N menunjukan adanya senyawa golongan saponin (Uji busa) (Depkes, 1978).

. . $ +

Sampel ditimbang sebanyak 1 g, dididihkan selama 3 menit dalam 100 ml

(8)

53

peraksi besi (III) klorida 1%. Jika terjadi warna biru kehitam atau hijau kehitaman

menunjukan adanyasenyawa golongan tanin (Depkes, 1978).

. 0 $ + $ $7 # 5 $#

Sampel puguntano ditimbang sebanyak 1 g, dimaserasi dengan 20 ml n"

heksana 2 jam, disaring, filtrat diuapkan dalam cawan penguap, dan pada sisanya

ditambahkan pereaksi Liebermann"Burchard. Apabila terbentuk warna ungu atau

merah yang berubah menjadi biru ungu atau biru hijau menunjukan adanya

tikus dibagi atas empatbelas kelompok, masing"masing kelompok terdiri dari 4

tikus. Seluruh tikus diberi saline sebanyak 20mL/kg bb sebelum perlakuan

sebagai . Kelompok pertama diberi Na CMC 0,5% secara oral

(kontrol negatif). Kelompok kedua diberi furosemide 10 mg/kg bb secara oral.

Kelompok 3, 4, 5, 6, 7 dan 8 diberikan secara peroral fraksi n"heksan, etilasetat

dan etanol puguntano dengan dosis bervariasi. Setelah pemberian obat dan

ekstrak, tikus diletakkan dalam kandang metabolik dan urinnya dikumpulkan

dalam vial kemudian diukur voleme urin tersebut selama 6 jam. Total urin yang

diekskresikan dikumpulkan dan dihitung volume total urin. Konsentrasi elektrolit

natrium dan kalium ditentukan menggunakan alat spektroskopis serapan atom

(AAS) (Gilani, 2008). Selanjutnya ditentukan indeks diuretik, Nilai Lipschitz,

(9)

54

Indeks Diuretic = (UVt/UVc)

Nilai Lipschitz = (UVt/UVr)

Indeks Saliuretic = (CUEt/CUEc)

Rasio Na+ /K+ = (UNa+ /UK+ )

Keterangan : UVt = rata"rata volume urin kelompok perlakuan, UVc = rata"rata

volume urin kelompok kontrol, UVr = rata"rata volume urin kelompok kontrol

dan 20) ml dari larutan baku 10 µg/ml, masing"masing dimasukkan ke dalam labu

tentukur 50 ml dan dicukupkan hingga garis tanda dengan akuabides larutan ini

mengandung (0,5; 1,0; 2,0; 3,0; 4,0) µg/ml dan diukur absorbansinya pada

panjang gelombang 766,5 nm dengan nyala udara"asetilen.

0 " $6 " $ $

Larutan baku natrium (konsentrasi 1000 µg/ml) dipipet sebanyak 1 ml,

dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml dan dicukupkan hingga garis tanda

dengan akuabides (konsentrasi 10 µg/ml). Larutan induk baku II dibuat dengan

(10)

55

100 ml dan dicukupkan hingga garis tanda dengan akuabides (konsentrasi 2,5

µg/ml). Larutan untuk kurva kalibrasi natrium dibuat dengan memipet (4,0; 8,0;

12; 16; 20) ml dari larutan baku 2,5 µg/ml (LIB), masing"masing dimasukkan ke

dalam labu tentukur 50 ml dan dicukupkan hingga garis tanda dengan akuabides

(larutan ini mengandung (0,20; 0,40; 0,60; 0,80; 1,00)) µg/ml dan diukur

absorbansinya pada panjang gelombang 589,0 nm dengan nyala udara asetilen.

0 " $ $ " 17 + $#/# # $

1 $ 7 #

Sebanyak 1 ml urin dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml kemudian

dicukupkan dengan akuades sampai 50 ml. Isi labu tentukur dipindahkan ke dalam

labu erlemeyer dan ditambahkan 5 ml HNO3 pekat dan beberapa butir batu didih.

Campuran dididihkan secara perlahan"lahan kemudian diuapkan dengan

hingga volume urin total tinggal 20 ml, saring. Filtrat dimasukkan ke dalam labu

tentukur 100 ml dicukupkan dengan akuades sampai garis tanda. Faktor

pengenceran untuk penentuan kadar natrium pada urin adalah 25 kali, faktor

pengenceran untuk penentuan kadar kalium pada urin adalah 12,5 kali.

Selanjutnya diukur menggunakan alat SSA (SNI, 2004).

2 ;< #+ +

Uji dilakukan untuk mengetahui tingkat keamanan dari fraksi n"heksan, etil

asetat dan etanol puguntano. Uji toksisitas akut dilakukan menggunakan 35 ekor

mencit jantan. Mencit dibagi atas 7 kelompok perlakuan, tiap kelompok terdiri

dari 5 ekor mencit. Mencit dipuasakan selama 12 jam sebelum perlakuan,

kemudian diberi fraksi puguntano dosis 2000 " 5000 mg/kg bb secara oral.

Parameter yang diamati selama uji toksisitas antara lain jumlah makanan, berat

(11)

56

2 $ + & #7 # # $ 4

Pemeriksaan histopatologi organ mencit dilakukan berdasarkan pewarnaan

Haematoxyllin"Eosin dengan tahapan sebagai berikut:

a. Penyiapan organ hati untuk dipotong

Jaringan difiksasi dalam larutan Buffer Netral Formalin (BNF) 10% minimal

48 jam hingga mengeras. Sampel ditrimming setebal ± 0,5 cm. Potongan

kemudian dimasukkan dalam tissue cassette untuk dimasukkan dalam

#

b. Dehidrasi

Proses dehidrasi dimaksudkan untuk menarik air dari jaringan dan mencegah

terjadinya pengerutan sampel yang akan diuji. Dehidrasi dilakukan dengan

cara merendam sampel dalam larutan alkohol dengan konsentrasi bertingkat

(70%, 80%, 90%, 95%, dan alkohol absolut). Proses perendaman masing"

masing konsentrasi alkohol dilakukan selama 2 jam. Proses dehidrasi

dilakukan dengan menggunakan mesin otomatis.

c. Clearing

Proses clearing atau penjernihan dilakukan dengan 2 tahap dengan

menggunakan xylol I dan xylol II. Penggunaan xylol dimaksudkan untuk

melarutkan alkohol dan parafin.

d. Infiltrasi

Infiltrasi dan impregnasi adalah proses pengisian parafin kedalam pori"pori

jaringan. Pengisian pori"pori ini dimaksudkan untuk mengeraskan jaringan

agar mudah dipotong dengan pisau mikrotom. Parafin yang digunakan adalah

(12)

57

e. Embedding dan Blocking

Embedding atau blocking adalah proses penanaman jaringan dalam blok

parafin. Parafin yang digunakan parafin histoplast. Proses embedding

dilakukan dengan menggunakan alat tissue embedding console .

f. Sectioning

Sectioning adalah proses pemotongan jaringan dengan menggunakan

mikrotom dengan ketebalan 2"3 µm di dalam waterbath, agar parafin mencair

dari dalam organ yang telah dipotong, kemudian organ diambil menggunakan

object glass dan disimpan dalam inkubator dengan suhu 37oC selama 24 jam.

g. Pewarnaan Haematoxyllin"Eosin

Sebelum melakukan pewarnaan, preparat histopatologi dideparafinisasi

dengan larutan xylol (I dan II) selama 2 menit. Kemudian dilakukan proses

rehidrasi dengan cara mencelupkan sediaan ke dalam alkohol bertingkat

(alkohol absolut, alkohol 95%, alkohol 90%, alkohol 80%). Perendaman

dalam alkohol 95% dan 80% dilakukan selama 1 menit. Kemudian sediaan

dicuci dengan air yang mengalir (air kran) selama 1 menit. Sediaan diwarnai

dengan pewarna Mayer’s Haematoxyllin dengan tahapan sebagai berikut :

i. preparat direndam dalam larutan Mayer’s Haematoxyllin selama 8 menit

ii. dicuci dengan air mengalir (air kran) selama 30 detik

iii. dicelupkan ke dalam larutan Lithium Carbonat selama 15"30 detik

iv. dicuci dengan air mengalir (air kran) selama 2 menit

v. direndam dalam larutan Eosin selama 2"3 menit

vi. dicuci dengan air mengalir (air kran) selama 30"60 detik

(13)

58

viii. sebanyak 10 kali celupan, absolut I selama 2 menit, xylol I selama 1 menit

dan xylol II selama 2 menit

ix. Setelah pewarnaan, sediaan ditetesi perekat Canada balsem (Entellan®)

dan ditutup dengan cover glass.

x. Diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya.

3 + $ + > $

pada ekor tikus. Tunggu tikus stabil lalu tekan kembali

. TDS dan TDD dapat dilihat pada 1 dan DJ pada 3

Perangkat alat NIBP yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada

Lampiran 20.

3 < / + 7 $ + #$ #

Sebanyak 28 ekor tikus Wistar jantan dibagi menjadi 7 kelompok dosis.. Tiap

kelompok terdiri dari 4 ekor tikus jantan. Hewan dikelompokkan sebagai berikut:

(14)

59

Kelompok II, diberi sediaan suspensi EnHPT 400 mg/kg BB

Kelompok III, diberi sediaan suspensi EnHPT 800 mg/kg BB

Kelompok IV , diberi sediaan suspensi EEAPT 400 mg/kg BB

Kelompok V : diberi sediaan suspensi EEAPT 800 mg/kg BB

Kelompok VI : diberi sediaan suspensi EEPT 400 mg/kg BB

Kelompok VII : diberi sediaan suspensi EEPT 800 mg/kg BB

Sebelum diberi perlakuan, TD awal tiap kelompok terlebih dahulu diukur

menggunakan NIBP melalui vena ekor. Tiap kelompok diberi perlakuan secara

oral selama 14 hari. TD diukur kembali pada hari ke 7 dan 14. Dari hasil

perlakuan akan diperoleh data TDS, TDD, DJ, dan TAR. TDS, TDD, dan DJ

dapat langsung diperoleh dari hasil pengukuran alat sedangkan nilai TAR dihitung

dengan menggunakan rumus (Shapiro, 2010)

TAR =

3 2%&& %&

Setelah diperoleh TDS, TDD, DJ, dan TAR kemudian dihitung persentase

penurunan TD tikus normotensi menggunakan rumus (Siska, et al., 2012)

% penurunan TD hari X=

3 < / + 7 $ + 7 $ , + '

)-% 7$ # #

Sebanyak 36 ekor tikus jantan Wistar diukur TD awalnya dengan alat NIBP

melalui vena ekor, kemudian diinduksi dengan larutan NaCl 2,5% dan suspensi

metilprednisolon 1,5 mg/kg BB setiap hari selama 14 hari . Lalu diukur kembali

TDnya pada hari ke"14. Dihitung persentase kenaikan TD dengan menggunakan

(15)

60

% kenaikan TD hari X =

Tikus jantan Wistar hipertensi yang telah diinduksi selama 14 hari dibagi menjadi

9 kelompok dosis. Tiap kelompok terdiri dari 4 ekor tikus jantan. Hewan

dikelompokkan sebagai berikut:

Kelompok I, tidak diberikan apapun tetapi diinduksi

Kelompok II, diberi sediaan suspensi CMC Na 0,5% (b/v)

Kelompok III , diberi sediaan suspensi bisoprolol 0,0714 mg/kg BB

Kelompok IV, diberi sediaan suspensi EnHPT 400 mg/kg BB

Kelompok V, diberi sediaan suspensi EnHPT 800 mg/kg BB

Kelompok VI , diberi sediaan suspensi EEAPT 400 mg/kg BB

Kelompok VII , diberi sediaan suspensi EEAPT 800 mg/kg BB

Kelompok VIII, diberi sediaan suspensi EEPT 400 mg/kg BB

Kelompok IX , diberi sediaan suspensi EEPT 800 mg/kg BB

Ekstrak diberikan secara oral setiap hari mulai hari ke 15 sampai hari ke"21. TD

diukur kembali pada hari ke"17, 19 dan ke"21. Parameter yang diukur meliputi

TDS, TDD, DJ, dan TAR. Lalu dihitung persentase penurunan TD

3 < / + 7 $ + 7 $ , + 8

Sebanyak 20 ekor tikus jantan Wistar diukur TD awalnya dengan alat NIBP

melalui vena ekor, kemudian diinduksi dengan L"Name 75 mg/kg BB. TD diukur

kembali pada hari ke"14. Dihitung persentase kenaikan TD dengan menggunakan

rumus (Vogel, 2008; Siska, et al., 2011)

(16)

61

Tikus jantan Wistar hipertensi yang telah diinduksi selama 14 hari dibagi menjadi

5 kelompok. Tiap kelompok terdiri dari 4 ekor tikus jantan. Hewan

dikelompokkan sebagai berikut:

Kelompok I, diberi sediaan suspensi CMC Na 0,5% (b/v)

Kelompok II, diberi sediaan suspensi EnHPT 400 mg/kg BB

Kelompok III , diberi sediaan suspensi EnHPT 800 mg/kg BB

Kelompok IV , diberi sediaan suspensi EEAPT 400 mg/kg BB

Kelompok V, diberi sediaan suspensi EEAPT 800 mg/kg BB

Ekstrak diberikan secara oral mulai heri ke 15 sampai hari ke"21. TD diukur

kembali pada hari ke"17, 19 dan ke"21. Parameter yang diukur meliputi TDS,

TDD, DJ, dan TAR. Lalu dihitung persentase penurunan TD

( + $ $ $ #+ $

Pengukur parameter biokimia darah bertujuan untuk mengetahui efek fraksi

aktif terhadap kadar kolesterol total, trigliserida, HDL, LDL, ALT, AST, Ureum

dan kreatinin tikus hipertensi yang diinduksi NaCl 2,5% dan metilprednisolon

serta yang diinduksi L"Name setelah 7 hari pemberian fraksi.

( + $ " $ "# $# #

Kadar kolesterol ditetapkan dengan metode kolorimetri enzimatik (metode

CHOD"PAP) dengan kolesterol esterase, kolesterol oksidase, dan peroksidase

sebagai katalis indikator reaksi !.

Prinsip:

Kolesterol ester + H2O kolesterol esterase kolesterol + asam lemak

Kolesterol + O2 kolesterol oksidase kolesten" 3" on + H2O2

(17)

62

Jumlah sampel, standar, dan reagensia kolesterol yang dibutuhkan dalam pengukuran kadar kolesterol total

Blanko (Nl) Standar (Nl) Sampel (Nl)

Aquabidest 10 " "

Standar " 10 "

Sampel " " 10

Reagensia kolesterol 1000 1000 1000

Serum darah dipipet dengan pipet mikro sebanyak 10 Nl, dimasukkan ke

dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan larutan reagensia kolesterol

sebanyak 1000 Nl, lalu dihomogenkan menggunakan vortex, dan diinkubasi pada

suhu 37ºC selama 10 menit. Diukur serapan pada panjang gelombang 546 nm

selama 60 menit. Sebagai blanko digunakan larutan reagensia kolesterol 1000 Nl

dan aquabidest 10 Nl. Pengukuran serapan standar sama dengan pengukuran

serapan kolesterol total, tetapi serum darah diganti dengan standar kolesterol.

Kadar kolesterol total diperoleh dengan menggunakan rumus:

Dimana: C= Kadar Kolesterol total (mg/dl),

A = Serapan,

Cst = Kadar kolesterol standar (200 mg/dl)

( + $ " $ $ $

Kadar trigliserida ditetapkan dengan metode kolorimetri enzimatik (metode

GPO"PAP) menggunakan gliserol"3"fosfat oksidase (GPO) !.

Prinsip:

Trigliserida lipase gliserol + asam lemak

(18)

63

Gliserol + ATP gliserol kinase gliserol "3" fosfat + ADP

Gliserol "3" fosfat + O2 GPO dihidroksiaseton + fosfat + H2O2

2 H2O2 + 4" aminoantipirin + 4" klorofenol peroksidase kuinonimin + HCl + 4

H2O

Jumlah sampel, standar dan reagensia trigliserida yang dibutuhkan dalam pengukuran kadar trigliserida

Blanko (Nl) Standar (Nl) Sampel (Nl)

Standar " 10 "

Sampel " " 10

Reagensia trigliserida 1000 1000 1000

Serum darah dipipet dengan pipet mikro sebanyak 10 Nl, dimasukkan ke

dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan larutan reagensia trigliserida

sebanyak 1000 Nl. Larutan dihomogenkan menggunakan vortex, dan diinkubasi

pada suhu 37ºC selama 10 menit. Diukur serapan pada panjang gelombang 546

nm selama 60 menit. Pengukuran serapan standar dilakukan dengan cara yang

sama dengan pengukuran serapan sampel. Kadar trigliserida diperoleh dengan

menggunakan rumus:

Dimana: C = Kadar trigliserida (mg/dl)

A = Serapan

Cst = Kadar trigliserida standar (200 mg/dl)

( + $ " $ "# $# &

Kadar kolesterol HDL diukur setelah HDL diendapkan menggunakan reagen

pengendapan kolesterol HDL !.

(19)

64

500 Nl larutan reagensia pengendap kolesterol"HDL, dikocok, dan dibiarkan

selama 10 menit pada suhu 25ºC. Kemudian disentrifuge selama 20 menit dengan

kecepatan 4000 rpm. Kadar kolesterol HDL ditetapkan dengan metode

kolorimetri enzimatik dengan menggunakan reagensia kolesterol *!.

* Jumlah sampel, standar, dan reagensia kolesterol yang dibutuhkan

Reagensia kolesterol 1000 1000 1000

Diambil 10 Nl supernatan, dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian

ditambahkan larutan reagensia kolesterol sebanyak 1000 Nl, dan dihomogenkan

menggunakan vortex. Setelah itu diinkubasi pada suhu 37ºC selama 10 menit.

Serapan diukur pada panjang gelombang 546 nm selama 60 menit.

Kadar kolesterol"HDL diperoleh dengan menggunakan rumus:

Dimana: C = Kadar Kolesterol"HDL (mg/dl)

(20)

65

+ $ " $ $ $

Penyiapan plasma darah tikus dilakukan untuk mengukur kadar nitrit dan nitrat

tikus hipertensi yang diinduksi NaCl 2,5% dan metilprednisolon serta diberi

fraksi n"heksan dan tikus hipertensi yang diinduksi L"Name serta diberi fraksi etil

asetat. Diambil 1,5 ml cuplikan darah dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge.

Ditambahkan 1,5 ml TCA 20% kemudian divortex dan disentrifugasi dengan

kecepatan 4000 rpm selama 10 menit. Diambil supernatan, dimasukkan ke dalam

vial, dan disimpan dalam lemari pembeku.

$ + + $

Serbuk natrium nitrit dikeringkan pada suhu 110°C selama satu jam,

kemudian didinginkan dalam desikator. Ditimbang 100 mg natrium nitrit yang

telah dikeringkan dan didinginkan, kemudian dipindahkan dalam labu tentukur

100 ml secara kuantitatif dan dilarutkan dengan aquadest, lalu dicukupkan

volumenya sampai garis tanda (C = 1000,0 Ng/ml) (larutan induk baku I = LIB

I). Dipipet 1 ml LIB I di atas dan dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml lalu

diencerkan dengan aquadest sampai garis tanda (C = 10,0 Ng/ml) (LIB II).

< # + $ +

Dipipet 4 ml LIB II dan dimasukkan dalam labu tentukur 50 ml, ditambahkan

2,5 ml pereaksi asam sulfanilat 1% b/v dan dikocok. Setelah 5 menit,

ditambahkan 2,5 ml pereaksi NED 0,1% b/v dan dicukupkan dengan aquadest

sampai garis tanda kemudian dihomogenkan. Diukur serapan pada panjang

gelombang 400"800 nm dengan blanko aquadest (C = 0,8 Ng/ml).

LDL (mg/dl) = kolesterol total – trigliserida – kolesterol HDL

(21)

66 > + " $< $ +

Dipipet 4 ml LIB II dan dimasukkan dalam labu tentukur 50 ml, ditambahkan

2,5 ml pereaksi asam sulfanilat 1% b/v dan dikocok. Setelah 5 menit,

ditambahkan 2,5 ml pereaksi NED 0,1% b/v dan dicukupkan denganaquadest

sampai garis tanda kemudian dihomogenkan. Diukur serapan pada panjang

gelombang maksimum 540 nm dalam selang waktu 1 menit selama 60 menit.

* " $6 " $ $ +

LIB II (C = 10,0 Ng/ml), dipipet masing"masing sebanyak 0,25; 0,5; 0,75; 1;

2; 3; 4; 5 dan 6 ml (0,05 Ng/ml; 0,1 Ng/ml; 0,15 Ng/ml; 0,2 Ng/ml; 0,4 Ng/ml; 0,6

Ng/ml; 0,8 Ng/ml; 1,0 Ng/ml; 1,2 Ng/ml). Masing"masing larutan dimasukkan ke

dalam labu tentukur 50 ml. Ditambahkan 2,5 ml pereaksi asam sulfanilat 1% b/v

pada setiap labu tentukur kemudian dikocok. Setelah 5 menit, ditambahkan 2,5 ml

pereaksi NED 0,1% b/v, dikocok dan diencerkan sampai garis tanda dengan

aquadest dan dihomogenkan. Diukur serapan setelah menit ke"12 pada panjang

gelombang maksimum 540 nm.

- + $ " $ $

Sebanyak 1 ml plasma dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml.

Ditambahkan 2,5 ml pereaksi asam sulfanilat 1% b/v. Setelah 5 menit,

ditambahkan 2,5 ml pereaksi NED 0,1% b/v, dikocok dan diencerkan sampai garis

tanda dengan aquadest dan dihomogenkan. Diukur serapan setelah menit ke"12

pada panjang gelombang maksimum 540 nm.

. + $ " $ $

Sebanyak 1 ml plasma dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml.

(22)

67

asam sulfanilat 1% b/v kemudian dikocok. Setelah 5 menit, ditambahkan 2,5 ml

pereaksi NED 0,1% b/v, dikocok dan diencerkan sampai garis tanda dengan

aquadest. Diukur serapan setelah menit ke"12 pada panjang gelombang

maksimum 540 nm.

;< / + :$ + # $ 7 "# $ + , #

? +

Uji ini dilakukan untuk mengetahui efek EnHPT, EEAPT dan EEPT terhadap

kontraksi dan denyut isolat otot jantung tikus. Tikus dianestesi terlebih dahulu

dengan ketamin dosis 10 mg/Kg bb dan heparin dosis 5000 UI/ kg bbsecara

intraperitoneal. Tikus dibedah dan dengan cepat dada dibuka untuk melepaskan

jantung dari aorta. Jantung tikus yang telah diisolasi dan diletakkan dalam

petridish yang berisi larutan fisiologi krebs"Henseleit dingin (NaCl, 118; KCl, 4.7;

NaH2PO4, 1.28; NaHCO3, 25.0; MgCl2, 1.2; CaCl2, 2.52; glucose, 5.55; pH 7,4)

dan dialiri carbogen (campuran 95% O2 + 5% CO2). Jantung dibersihkan dari

bagian lemak dan perikardium. Setelah bersih, jantung diletakan dalam alat

Langendorff yang berisi larutan Krebs"Henseleit dan tetap dialiri dengan

carbogen. Bagian ventrikel jantung disambungkan dengan transduser yang akan

merekam pergerakan dari otot jantung. Setelah dicapai kondisi stabil (15 menit),

isolat jantung diberikan fraksi n"heksan, etil asetat dan etanol daun Puguntanoh

dan dilihat efek kontraksi dan denyut yang terjadi pada jantung melalui rekaman

yang disampaikan oleh transduser (Kamadyapa, 2009; Niazmand and Saberi,

2010). Perlakuan diulang sebanyak 3 (tiga kali). Perubahan kontraktilitas jantung

ditentukan menggunakan rumus = (B"A) dimana A merupakan kontraktilitas otot

jantung sebelum diberi ekstrak sedangkan B merupakan kontraktilitas otot jantung

(23)

68

1 +

Data hasil penelitian dianalisis menggunakan program SPSS 17. Data TD

sebelum dan sesudah perlakuan dianalisis menggunakan paired t"test sedangkan

data perbedaan rerata antar kelompok dianalisis menggunakan uji ANAVA Jika

terdapat perbedaan, dilanjutkan dengan uji ) % dengan tingkat

(24)

69

Tumbuhan yang telah diidentifikasi di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

( ) Pusat Penelitian Biologi (

), Bogor adalah . Lour, famili Scrophulariaceae

( ! ".

# $ ! ! !

Karakterisasi simplisia daun dan fraksi merupakan bagian dari standarisasi

mutu simplisia dan fraksi terhadap persyaratan sebagai bahan obat dan menjadi

penetapan nilai untuk berbagai parameter mutu produk. Parameter standarisasi

meliputi uji makroskopik, mikroskopik, kadar air, kadar sari larut dalam air, kadar

sari larut dalam etanol, kadar abu total dan kadar abu tidak larut asam (Ditjen

POM, 2000).

Pemeriksaan makroskopik bertujuan untuk mengetahui ciri'ciri fisik simplisia

suatu tumbuhan seperti bentuk, ukuran, bau dan rasa yang berguna untuk

pemastian kebenaran suatu simplisia. Hasil pemeriksaan makroskopik simplisia

daun puguntano diperoleh daun berwarna hijau muda sampai hijau tua, berbentuk

bulat telur, tepi daun beringgit, ukuran daun ±2x4 cm, dengan tekstur permukaan

daun yang kasar, berkerut'kerut dan berbulu halus ( ! #).

Pemeriksaan mikroskopik bertujuan untuk mengetahui struktur anatomi suatu

simplisia tumbuhan. Hasil pemeriksaan karakteristik serbuk simplisia secara

mikroskopik terlihat adanya fragmen pengenal berupa trichoma, berkas pembuluh,

(25)

70

Hasil pemeriksaan kadar air, kadar sari larut air, kadar sari larut etanol, kadar

abu total dan kadar abu yang tidak larut asam pada serbuk simplisia dan ekstrak

n'heksan (EnHPT), etil asetat (EEAPT) dan etanol daun puguntano (EEPT)

terlihat pada dan !

Hasil pemeriksaan karakterisasi simplisia dan fraksi daun puguntano

( . Lour.)

mendapatkan simplisia yang tidak mudah rusak sehingga dapat disimpan dalam

jangka waktu yang lama. Penurunan mutu atau kerusakan simplisia dapat dicegah

dengan mengurangi kadar air untuk menghentikan reaksi enzimatik. Reaksi

enzimatik tidak berlangsung lagi jika kadar air dalam simplisia kurang dari 10%.

Selain itu, penetapan kadar air dilakukan untuk memberikan batasan maksimal

kandungan air yang masih dapat ditolerir di dalam simplisia dan ekstrak. Hal ini

bertujuan untuk standardisasi (pengawasan mutu) dan berkaitan dengan penentuan

dosis pemakaian. Hasil penetapan kadar air simplisia, EnHPT, EEAPT dan EEPT

berturut'turut adalah 5,99%; 4,77%; 4,92 dan 7,89%. Berdasarkan ketentuan

standarisasi kadar air simplisia dan ekstrak kental secara umum memenuhi

(26)

71

ekstrak (Voigt, 1994). Kadar air yang tinggi pada simplisia dan ekstrak

menyebabkan ketidakstabilan sediaan obat karena air merupakan media

pertumbuhan bagi bakteri, jamur dan serangga. Hal ini mengakibatkan bahan aktif

yang terkandung didalamnya dapat terurai (Trease dan Evans, 1983; WHO, 1992).

Penetapan kadar sari dilakukan menggunakan dua pelarut, yaitu air dan etanol.

Penetapan kadar sari larut air adalah untuk mengetahui kadar senyawa kimia

bersifat polar yang terkandung di dalam simplisia, sedangkan kadar sari larut

dalam etanol dilakukan untuk mengetahui kadar senyawa larut dalam etanol, baik

senyawa polar maupun non polar. Kadar sari larut air diperoleh sebesar 26,36%;

0,68%; 13,94%; 65,05% dan senyawa larut etanol sebesar 16,19%; 2,58%;

60,59%; 83,41% ( ).

Penetapan kadar abu dimaksudkan untuk mengetahui kandungan mineral

internal (abu fisiologis) yang berasal dari jaringan tanaman itu sendiri, dan

eksternal (abu non'fisiologis) yang merupakan residu dari luar seperti pasir dan

tanah yang terdapat di dalam sampel (Ditjen POM 2000; WHO, 1992). Kadar abu

tidak larut asam untuk menunjukkan jumlah silikat, khususnya pasir yang ada

pada simplisia dengan cara melarutkan abu total dalam asam klorida (WHO,

1992). Hasil penetapan kadar abu total dan kadar abu tidak larut asam dari serbuk

simplisia, EnHPT, EEAPT dan EEPT berturut'turut adalah 4,49%; 0,53%; 0,57%;

1,85% dan 0,55%; 0,09%; 0,12%; 0,30%. Kadar logam berat yang tinggi dapat

membahayakan kesehatan, oleh sebab itu perlu dilakukan penetapan kadar abu

total dan kadar abu tidak larut asam untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak

tidak mengandung logam berat tertentu melebihi nilai yang ditetapkan karena

(27)

72

% ! & ' ( '!

Skrining fitokimia terhadap serbuk simplisia, EnHPT, EEAPT dan EEPT

dilakukan untuk mendapatkan informasi golongan senyawa metabolit sekunder

yang terdapat di dalamnya. Pemeriksaan dilakukan terhadap simplisia, EnHPT,

EEAPT dan EEPT adalah pemeriksaan golongan senyawa alkaloid, flavonoid,

steroid/triterpenoid, tanin, saponin, dan glikosida.

Hasil skrining menunjukan bahwa serbuk simplisia daun puguntano

mengandung senyawa golongan flavonoid, glikosida, saponin, tanin, dan

steroid/triterpenoid. EnHPT mengandung senyawa golongan steroid/triterpenoid.

EEAPT mengandung senyawa golongan flavonoid, glikosida, saponin dan tanin,

sedangkan EEPT mengandung senyawa golongan glikosida dan saponin (

#).

# Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia, EnHPT, EEAPT dan EEPT

No Skrining

Simplisia Fraksi

'heksan Etil asetat Etanol

1 Alkaloid ' ' ' '

Keterangan : (+) = mengandung golongan senyawa, (') = tidak mengandung golongan senyawa

! '! ) * * ( & (

Pengujian efek diuretik EnHPT, EEAPT dan EEPT dilakukan terhadap

(28)

73

aktivitas diuretika berdasarkan indeks diuretik serta nilai Lipschtiz ketiga fraksi

menggunakan hewan coba yaitu tikus jantan dan pembanding furosemid.

Pengukuran volume urin bertujuan untuk mengetahui adanya gangguan faal

ginjal dan kelainan dalam keseimbangan cairan tubuh. Volume urin berkaitan erat

dengan penggunaan diuretika karena dapat menyebabkan terjadinya diuresis.

Diuretika adalah senyawa atau obat yang dapat meningkatkan volume urin.

Diuresis mempunyai dua pengertian, pertama menunjukkan adanya penambahan

volume urin yang diproduksi dan yang kedua menunjukkan pengeluaran zat'zat

terlarut dalam urin (Junior, 2012). Hasil pengukuran volume urin tikus setelah

pemberian EnHPT dosis 100, 200, 400 dan 800 mg/kg bb/hari menunjukkan

peningkatan. Efek diuretik EnHPT meningkat dengan adanya peningkatan dosis

( ). Hal ini menunjukkan bahwa EnHPT memiliki efek diuretik

jika dibandingkan furosemid (+ ! "

+ ! Efek EnHPT terhadap volume urin setiap jam selama 6 jam

EnHPT dosis 800 mg/kg bb paling baik dalam pengeluaran urin. Hal tersebut

disebabkan EnHPT dosis 800 mg/kg bb mempunyai aktivitas diuretika hampir

sama dengan furosemid 10 mg/kg bb (P > 0,05). Furosemid merupakan diuretik

(29)

74

onset 1 ' 2 jam setelah pemberian per oral serta durasi 2 ' 6 jam (Khan, 2009).

EnHPT dosis 100, 200 dan 400 mg/kg bb menunjukan efek diuretika yang lebih

rendah dibanding furosemid tetapi tidak berbeda dengan kontrol.

Pengukuran volume urin pada jam ke'6 dinyatakan sebagai urin total. Rerata

volume urin total kelompok kontrol negatif adalah 2,13 ± 0,49 ml, furosemid 7,23

± 2,08, EnHPT 100 mg/kg bb 1,60 ± 1,53, EnHPT 200 mg/kg bb 1,88 ± 1,53,

EnHPT 400 mg/kg bb 2,55 ± 2,14 , EnHPT 800 mg/kg bb 6,75 ± 4,14.

Berdasarkan hasil yang diperoleh, EnHPT dosis 100 , 200, 400 dan 800 mg/kg bb

menunjukkan efek diuretika terhadap volume urin. Dari keempat dosis, EnHPT

800 mg/kg bb mempunyai efek diuretika yang sama dengan furosemid (p > 0,05).

Efek diuretik EnHPT dosis 100 mg/kg bb lebih kecil bila dibandingkan dengan

dosis 200 mg/kg bb dan dosis 400 mg/kg bb namun volume urin total ketiga

kelompok tidak berbeda secara signifikan (p > 0,05) (+ ! #). Hal ini

menunjukkan bahwa peningkatan dosis pemberian EnHPT dapat meningkatkan

pengeluaran volume urin total tikus putih jantan.

+ ! # Efek EnHPT terhadap volume total urin pada tikus putih jantan

Peningkatan volume urin yang terjadi sesuai dengan prinsip diuretika yaitu obat yang dapat meningkatkan kecepatan pembentukan urin. Diuretika bermanfaat

(30)

75

dalam pengobatan berbagai penyakit yang berhubungan dengan retensi abnormal

garam dan air dalam kompartemen ekstraseluler akibat gagal jantung, sirosis hati,

gangguan ginjal atau akibat efek samping obat (Junior, 2012).

Efek diuresis suatu senyawa ditentukan berdasarkan volume urin dan

pengeluaran elektrolit. Elektrolit merupakan salah satu unsur yang memegang

peranan penting dalam pemeliharaan fungsi tubuh baik tingkat sel, jaringan,

organ, maupun fungsi tubuh secara keseluruhan. Natrium merupakan kation

utama dalam darah dan cairan ekstraseluler. Elektrolit natrium akan membantu

pengeluaran urin yang disebut efek diuresis (Ravishankar and Priya, 2012).

Kalium merupakan salah satu mineral makro yang berperan dalam pengaturan

keseimbangan cairan tubuh. Masukan natrium yang tinggi dapat meningkatkan

ekskresi kalium. Hubungan ini diperkirakan disebabkan sebagian oleh reabsorbsi

kalium secara pasif mengikuti natrium dan air pada tubulus proksimal dan

sepanjang lengkung Henle.

Kadar Natrium dan kaliun dalam urin diukur menggunakan alat SSA

(Spektrofotometer serapan atom). Berdasarkan hasil pengukuran kurva kalibrasi

natrium diperoleh persamaaan garis regresi yaitu Y = 0,1106 x – 0,0025 dengan

nilai r = 0,9993 ( ! ,). Pengukuran kurva kalibrasi kalium diperoleh

persamaaan garis regresi yaitu Y = 0,0009 x + 0,0009 dengan nilai r = 0,9998. Hal

ini menunjukkan adanya korelasi linier yang menyatakan adanya hubungan antara

X (konsentrasi) dan Y (absorbansi) ( ! -). Hasil pengukuran elektrolit

dalam urin tikus putih jantan setelah pemberian EnHPT menunjukkan

peningkatan kadar natrium dengan adanya peningkatan dosis namun kadar kalium

(31)

76

% Efek EnHPT terhadap kadar natrium dan kalium dalam urin tikus

No Perlakuan (n=4) Elektrolit (mEq/L) ±

+ ! % Efek EnHPT terhadap Kadar elektrolit pada urin tikus putih jantan

EnHPT 100, 200, 400 dan 800 mg/kg bb menunjukkan efek diuretika

terhadap kadar natrium dalam urin. Dari keempat dosis tersebut, EnHPT 800

mg/kg bb menunjukkan efek pengeluaran natrium yang paling baik. Hal ini sesuai

dengan volume urin total yang dikeluarkan oleh tikus selama 6 jam. Pemberian

EnHPT dosis 100, 200, 400 mg/kg bb mempunyai efek diuretika terhadap

(32)

77

furosemid (p > 0,05) ( ! .). Penelitian ini menunjukkan bahwa semakin

tinggi dosis ekstrak yang diberikan maka semakin tinggi pengeluaran volume urin

dan ekskresi natrium. Peningkatan pengeluaran natrium dalam urin

mengindikasikan adanya efek diuretik yang dihasilkan dari fraksi puguntano

EnHPT 200 mg/kg bb menyebabkan pengeluaran kalium yang paling tinggi

dibandingkan EnHPT 100, 400 dan 800 mg/kg bb namun lebih rendah

dibandingkan furosemid. Kadar kalium keempat ekstrak tidak berbeda dengan

kontrol (P > 0,05) tetapi berbeda secara signifikan dengan furosemid (P < 0,05).

Hal ini sesuai dengan sifat furosemid, yaitu diuretika kuat dengan pengeluaran

kalium yang tinggi sehingga dapat menyebabkan hipokalemia. Puguntano dosis

800 mg/kg bb menunjukan sifat diuretik yang baik karena dapat meningkatkan

volume urin dengan sedikit menyebabkan pengeluaran kalium.

Senyawa yang diduga berpengaruh pada aktivitas diuretika EnHPT adalah triterpenoid dan steroid. Salah satu senyawa triterpenoid yang terkandung dalam

puguntano adalah kukurbitasin. Kukurbitasin merupakan senyawa turunan

triterpenoid tetrasiklik yang memiliki rasa pahit dan beracun (Saboo, et.al., 2013).

Triterpenoid tetrasiklik memiliki struktur yang mirip dengan aldosteron dan

spironolokton (antagonis aldosteron). Mekanisme kerja senyawa ini menyebabkan

diuresis diduga akibat penghambatan reabsorpsi air dan anion di tubular (Pantoja

et.al, 1991). Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan

bahwa triterpenoid tetrasiklik dari berikatan dengan reseptor

aldosteron di sitoplasma ginjal secara in vitro sehingga menghambat kerja

aldosteron dan tidak mempengaruhi konsentrasi aldosteron dalam plasma tikus

(33)

78

triterpenoid tetrasiklik dalam EnHPT (kukurbitasin) memiliki efek antagonis

aldosteron.

Rerata volume urin tikus meningkat setiap jam setelah pemberian EEAPT .

Peningkatan volume urin EEAPT dosis 100,200, 400 dan 800 mg/kg bb tidak

berbeda dengan kontrol negatif (p>0,05) namun lebih rendah dibandingkan

furosemid (p< 0,05) (+ ! ".

+ ! Efek EEAPT terhadap volume urin setiap jam selama 6 jam

Rerata volume urin total kontrol negatif adalah 2,13 ± 0,49 ml, furosemid

7,23 ± 2,08, EEAPT 100 mg/kg bb 1,93 ± 0,26, EEAPT 200 mg/kg bb 2,68 ±

1,33, EEAPT 400 mg/kg bb 2,55 ± 0,50 , EEAPT 800 mg/kg bb 1,98 ± 0,43

(+ ! /). Rerata volume urin total EEAPT lebih rendah dibandingkan

kontol negatif dan furosemid.

(34)

79

Kadar natrium pada setiap kelompok uji menurun dengan adanya

peningkatan dosis EEAPT. Kadar natrium EEAPT 800 mg/kg bb berbeda

signifikan dengan kelompok kontrol negatif dan furosemid (P< 0,05). Kadar

kalium dosis 100, 200, 400 dan 800 mg/kg bb lebih rendah dibandingkan kontrol

negatif dan furosemid (P<0,05). Hal ini menujukkan bahwa EEAPT memiliki efek

diuretik yang lebih rendah dibandingkan furosemid ( 0 + ! 1"

Efek EEAPT terhadap kadar natrium dan kalium dalam urin tikus

(35)

80

Berdasarkan hasil skrining fitokimia, EEAPT mengandung flavonoid,

glikosida, saponin dan tannin. Senyawa polar meningkatkan sirkulasi ginjal dan

laju filtrasi glomerular sehingga meningkatkan pembentukan urin primer (Feng

et.al., 2013). Flavonoid juga dapat meningkatkan pengeluaran volume urin dan

elektrolit pada tikus dengan cara menghambat reabsorpsi Na+, K+ dan Cl' di

tubulus. Aktivitas antioksidan puguntano diduga berperan melindungi ginjal dari

kerusakan sehingga membantu mobilisasi kelebihan cairan (Thuan, et.al.2007).

Antioksidan telah terbukti secara ilmiah memiliki efek renoprotektif pada

sejumlah hewan percobaan dan diberikan kepada pasien hipertensi dengan

gangguan ginjal sebagai terapi adjuvan (Asif, et.al 2014). Selain itu, kandungan

flavonoid diduga memberikan efek diuretik dengan cara berikatan dengan

reseptor adenosin A1 (Yuliana, 2009).

Volume urin tikus meningkat setelah pemberian EEPT dan furosemid. EEPT

100, 200, 400 dan 800 mg/kg bb memiliki efek diuretik yang lebih rendah

dibandingkan dengan furosemid (P<0,05) namun tidak berbeda dengan kontrol

negatif (P>0,05) (+ ! ,".

(36)

81

Rerata volume urin kelompok kontrol negatif 2,13 ± 0,49 ml, Furosemid 7,23 ±

2,08, EEPT 100 mg/kg bb 1,28 ± 0,39 , EEPT 200 mg/kg bb 2,60 ± 1,53, EEPT

400 mg/kg bb 2,95 ± 2,32 , EEPT 800 mg/kg bb 3,1 ± 2,13. Berdasarkan hasil

yang diperoleh, EEPT dosis 100, 200, 400 dan 800 mg/kg bb menunjukkan efek

diuretik terhadap volume urin namun lebih rendah daripada furosemid (+ !

-).

+ ! - Efek EEPT terhadap volume total urin pada tikus putih jantan

Pengukuran kadar natrium dan kalium pada setiap kelompok uji setelah

pemberian EEPT dapat dilihat pada / + ! 2.

/ Efek EEPT terhadap kadar natrium dan kalium dalam urin tikus

No Perlakuan (n=4) Elektrolit (mEq/L) ±

(37)

82

+ ! 2Efek EEPT terhadap Kadar natrium dan kalium pada urin tikus putih

jantan

Berdasarkan skrining fitokimia, EEPT mengandung glikosida dan saponin.

Golongan glikosida yang terdapat dalam puguntano adalah kukurbitasin glikosida.

Senyawa'senyawa ini bekerja tunggal ataupun saling sinergis meningkatkan

volume urin dengan cara menstimulasi aliran darah sehingga terjadi vasodilatasi

atau dengan menghambat reabsorpsi air dan anion di tubular (Tthambi, 2013).

Penelitian ini juga memberikan hasil bahwa kadar natrium pada urin tikus lebih

besar dari kadar kalium sesuai dari fungsi diuretik yang merupakan senyawa yang

dapat meningkatkan pengeluaran ekskresi air dan garam'garam.

Aktivitas diuretik EnHPT, EEAPT dan EEPT dapat ditentukan menggunakan

indeks diuretika dan nilai Lipschtiz. Indeks diuretika suatu senyawa merupakan

hasil perbandingan volume urin kelompok uji terhadap volume urin kelompok

kontrol. Nilai Lipschtiz menunjukkan perbandingan volume urin kelompok uji

terhadap kontrol positif (furosemid). Hal ini bertujuan untuk mengetahui kekuatan

(38)

83

1Indeks diuretika dan Nilai Lipschtiz EnHPT, EEAPT dan EEPT

Perlakuan Vol Urin Total (mL) Indeks Diuretika Nilai Lipschtiz

Kontrol 2,13 ' '

EnHPT 800 mg memiliki indeks diuretika yang sama dengan furosemid. Hal

ini menunjukkan bahwa EnHPT memiliki aktivitas diuretika kuat. Aktivitas

diuretika suatu senyawa dinyatakan kuat jika memiliki indeks diuretika lebih

besar dari 1,5; sedang jika memiliki indeks diuretika 1 '1,5; lemah jika indeks

diuretika 0,72 – 1; dan tidak memiliki efek jika indeks diuretika kurang dari 0,72

(Asif, 2014). Berdasarkan hasil pengukuran indeks diuretika terlihat bahwa EEPT

100 mg tidak memiliki efek diuretika. Aktivitas diuretik EnHPT 100 mg, EnHPT

200 mg, EEAPT 100 mg dan EEAPT 800 mg lemah. Aktivitas diuretik sedang

ditunjukkan oleh EEAPT 200 mg, EEAPT 400 mg, EEPT 200 mg, EEPT 400 mg

dan EtPT 800 mg. Berdasarkan nilai lipschitz, EnHPT 800 mg/kg bb memiliki

(39)

84

diuretik kuat yang bekerja pada Ansa Henle bagian asenden dengan cara

menghambat simport natrium, kalium dan klorida (Dipiro, 2008).

/ ( '! ) * * (

& (

Pengujian efek toksik EnHPT, EEAPT dan EEPT dilakukan terhadap mencit

jantan berdasarkan pada tata cara uji toksisitas Badan Pengawasan Obat dan

Makanan (BPOM) (BPOM, 2001). Pada penelitian ini, dosis EnHPT, EEAPT dan

EEPT yaitu 2000 dan 5000 mg/kg BB. Pengamatan dilakukan selama 14 hari

terhadap gejala toksik yang terjadi secara kuantitatif, yaitu berdasarkan jumlah

kematian, konsumsi makanan, berat badan rata'rata, berat organ relatif,

makropatologi dan mikropatologi organ. Berdasarkan hasil uji toksisitas yang

dilakukan, tidak ada satu mencit pun yang mati setelah pemberian EnHPT,

EEAPT dan EEPT ( ,). Menurut Jenova (2009), jika dosis maksimal tidak

menimbulkan kematian hewan coba, maka LD50 dinyatakan LD50 ‘semu’ yaitu

5000 mg/kg BB.

Nilai LD50 bukan suatu tetapan biologi yang mutlak, melainkan hanya

merupakan salah satu petunjuk toksisitas akut. Bila toksisitas akutnya rendah

LD50 tidak perlu ditentukan secara tepat (Retnomurti, 2008). Dosis 5000 mg/kg

BB merupakan konversi dosis maksimal pada manusia ke mencit berdasarkan

ratio luas permukaan tubuh. Berdasarkan kesepakatan para ahli, bila pada dosis

maksimal tidak ada kematian pada hewan coba, maka jelas senyawa tersebut

termasuk dalam kriteria “praktis tidak toksik” (Jenova, 2009; Iwuanyanwu, et al.,

(40)

85

,Efek EnHPT, EEAPT dan EEPT terhadap Jumlah mencit yang mati

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan konsumsi

makanan pada mencit. Berdasarkan penelitian Smith dan Mangkoewidjojo (1988),

seekor mencit dewasa dapat mengkonsumsi makanan 3'5 g/hari sedangkan hasil

yang diperoleh yaitu untuk EnHPT 2,1 g/hari; EEPT 0,97 g/hari dan EEAPT 1,07

g/hari ( -) . Hasil konsumsi makanan dan minuman antar kelompok tidak

menunjukkan perbedaan yang signifikan. Penurunan konsumsi makanan pada

mencit diduga akibat kandungan dari ekstrak yaitu cucurbitasin yang

menyebabkan rasa pahit ketika mengkonsumsi tumbuhan ini.

- Efek EnHPT, EEAPT, EEPT terhadap rerata konsumsi makanan dan

Perlakuan Jumlah Mencit Jumlah Mencit yang Mati

(41)

86

Hasil rata'rata berat badan tiap kelompok setelah pemberian EnHPT, EEAPT

dan EEPT menunjukkan tidak terdapat perbedaan berat badan antara kelompok

kontrol dan perlakuan (p>0,05) ( 2).

2 Efek EnHPT, EEAPT, EEPT terhadap rerata berat badan tiap kelompok

Lama

tiap organ vital mencit kemudian dibandingkan dengan berat badan ( .).

Pada parameter rasio berat organ tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara

berat organ hati, ginjal, dan jantung dibanding kelompok kontrol dengan

perlakuan dengan nilai signifikansi 1,000 (p > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa

EnHPT, EEAPT dan EEPT tidak berpengaruh terhadap perbandingan berat organ

dengan berat badan.

. Efek EnHPT, EEAPT dan EEPT terhadap berat organ relatif

(42)

87

Perubahan warna organ menjadi salah satu parameter efek toksik pada organ

(Lu, 1994). Umumnya toksikan hanya mempengaruhi satu atau beberapa organ

saja. Hal ini terjadi akibat tinggi kadar bahan kimia dan metabolit di organ (Lu,

1994). Hati dan ginjal normal berwarna merah kecoklatan, permukaannya licin

dan konsistensinya kenyal. Kriteria abnormal hati dan ginjal terjadi jika

ditemukan perubahan warna, perubahan struktur permukaan dan perubahan

konsistensi (Anggraini, 2008).

Hasil pengamatan makroskopik, warna organ hati mencit tidak terjadi

perubahan, struktur permukaan hati terlihat licin dan konsistensi hati kenyal pada

semua kelompok. Hati terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagian

besar obat dan toksikan (Retnomurti, 2008). Zat makanan, sebagian besar obat'

obatan serta toksikan yang masuk melalui saluran cerna setelah diserap oleh epitel

usus akan dibawa oleh vena porta ke hati. Oleh sebab itu, hati menjadi organ yang

sangat potensial mengalami keracunan lebih dahulu sebelum organ lain (Santoso,

et al., 2006).

Hasil pengamatan mikroskopik menunjukkan bahwa kelompok kontrol

memiliki hepatosit tersusun secara radial dalam lobulus hati dan belum terlihat

adanya degenerasi hidrofik. Kelompok EnHPT, EEAPT dan EEPT 5000

mg/kgBB menunjukkan hepatosit mengalami degenerasi hidrofik dan nekrosis

(+ ! .). Degenerasi hidrofik terjadi akibat gangguan membran sel sehingga cairan masuk ke dalam sitoplasma dan menimbulkan vakuola'vakuola

kecil hingga besar karena adanya gangguan transport aktif sehingga sel tidak

mampu memompa ion Na+ keluar dan terjadi akumulasi. Nekrosis merupakan

(43)

88

stimulus yang bersifat patologis. Inti sel yang mati berbentuk lebih kecil, kromatin

dan serabut retikuler menjadi berlipat'lipat. Inti menjadi lebih padat (piknotik)

yang dapat hancur bersegmen'segmen (karioreksis) atau pecah (kariolisis)

(Underwood, 1994)

(a) Kontrol (b) EnHPT 5000 mg/kgBB

(c) EEAPT 5000 mg/kgBB d)EEPT 5000 mg/kgBB

+ ! . Efek EnHPT, EEAPT dan EEPT dosis 5000 mg/kgbb terhadap gambaran mikroskopik organ hati

Ginjal merupakan organ berbentuk seperti kacang berwarna merah kecoklatan

(Irianto, 2004). Hasil pengamatan makroskopis, tidak terjadi perubahan warna

pada organ ginjal mencit jika dibandingkan dengan kontrol, permukaan ginjal

tampak licin dan konsistensinya kenyal pada semua kelompok. Fungsi utama

ginjal adalah organ eliminasi, yaitu memusnahkan zat toksik tertentu. Beberapa

(44)

89

dalam kadar yang cukup tinggi untuk dikeluarkan bersama urin. Oleh karena

fungsi ginjal yang strategis, sehingga menjadikan ginjal sebagai sasaran utama

dari toksikan (Retnomurti, 2008).

Hasil mikroskopik ginjal menunjukkan bahwa EnHPT, EEAPT dan EEPT

5000 mg/KgBB menunjukkan adanya nekrosis akibat perubahan histopatologi

ginjal. Hal ini ditandai dengan berkurangnya penyerapan warna oleh ini dan

lepasnya sel tubulus ke dalam lumen (+ ! ) (Mayori, 2013).

(a) Kontrol (b) EnHPT 5000 mg/kgBB

(c) EEAPT 5000 mg/kgBB (d)EEPT 5000 mg/kgBB

+ ! Efek EnHPT, EEAPT dan EEPT dosis 5000 mg/kgbb terhadap

gambaran mikroskopik organ ginjal

Hasil pengamatan pada organ jantung mencit, tidak terjadi perubahan warna

(45)

90

tampak normal. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian EnHPT, EEAPT dan

EEPT tidak berpengaruh terhadap organ jantung. Jantung mudah dirusak oleh

berbagai jenis zat kimia karena merupakan salah satu organ sasaran. Zat kimia

bekerja secara langsung pada otot jantung atau secara tidak langsung melalui

susunan saraf atau pembuluh darah. Suatu toksikan dapat mempengaruhi salah

satu dari pembuluh darah dan akibat yang ditimbulkan tergantung dari seberapa

penting organ yang disuplai darah oleh pembuluh darah yang terkena

(Retnomurti, 2008).

(a) Kontrol (b) EnHPT 5000 mg/kgBB

(c) EEAPT 5000 mg/kgBB (d)EEPT 5000 mg/kgBB

+ ! # Efek EnHPT, EEAPT dan EEPT dosis 5000 mg/kgbb terhadap gambaran mikroskopik organ jantung

Hasil mikroskopik jantung menunjukkan terjadinya piknosis pada miosit,

(46)

91

metilprednisolon serta model tikus hipertensi yang diinduksi L'Name.

1 ! ! (! (

Hasil uji EnHPT, EEAPT dan EEPT terhadap penurunan tekanan darah pada

tikus normotensi diperoleh berdasarkan parameter TDS, TDD, DJ, dan TAR.

Tekanan darah merupakan tekanan yang dialami darah terhadap pembuluh arteri

darah ketika darah dipompakan oleh jantung ke seluruh tubuh. Tekanan darah

dibagi dua, yaitu TDS dan TDD. TDS adalah tekanan maksimum pada arteri

ketika darah dipompa dari ventrikel menuju ke arteri sedangkan TDD adalah

tekanan darah minimum pada arteri ketika ventrikel mengalami fase diastolik

(relaksasi) dimana tidak ada darah yang dipompa dari ventrikel ke arteri.

Efek EnHPT, EEAPT dan EEPT terhadap!erata TDS (mmHg) tikus

normotensi hari ke'0, 7, dan 14

(47)

92

Keterangan: Mean±SEM, n=4

* Berbeda secara signifikan terhadap TDS hari ke 0

+ ! % Efek EnHPT, EEAPT dan EEPT terhadap perubahan TDS (mmHg)

tikus normotensi (Mean±SEM, n=4)

TDS rerata awal tikus yang digunakan dalam penelitian ini adalah 132,46

±1,22 mmHg. Pemberian EnHPT, EEAPT dan EEPT dilakukan setiap hari

selama 14 hari. Pengukuran TDS dilakukan pada hari ke 7 dan 14 setelah

pemberian ekstrak ( 0 + ! %).

Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa EnHPT dan EEAPT

menurunkan TDS tikus normotensi setelah pemberian selama 7 dan 14 hari

(p<0,05) sedangkan EEPT tidak menurunkan TDS (P>0,05). Pemberian CMC'Na

pada tikus normotensi tidak menyebabkan penurunan TDS. Hal ini menunjukkan

bahwa CMC'Na (pelarut) tidak mempengaruhi TDS. TDS tikus normotensi yang

diberi EEPT 400 dan 800 mg/kgBB selama 7 hari tidak berbeda dengan TDS hari

ke 0. Pemberian EEPT 400 mg/kgBB selama 14 tidak menurunkan TDS

sedangkan EEPT 800 mampu menurunkan TDS (P<0,05). TDS tikus normotensi

(48)

93

TDS hari ke 0 (P<0,05) tetapi TDS hari ke 7 tidak berbeda dengan hari ke 14 . Hal

ini menunjukkan bahwa EEAPT dan EnHPT dapat menurunkan TDS setelah

pemberian ekstrak selama 7 hari.

Persentase penurunan TDS yang paling besar ditunjukkan oleh EEAPT 400

mg/kgBB dibandingkan dengan kontrol dan kelompok perlakuan lainnya

(p<0,05). Kelompok EEAPT 400 mg/kgBB menurunkan TDS sebesar 11,23%

pada hari ke 7 dan 11,39% pada hari ke 14 (+ ! ".

+ ! Grafik persentase perubahan TDS (%) tikus normotensi

Keterangan: (Mean±SEM, n=4); * berbeda secara signifikan terhadap kontrol

TDD awal tikus yang diperoleh yaitu 96,32 ± 1,49 mmHg. Data standar TDD

tikus wistar normal belum ditemukan namun menurut Siska, et al., (2011), TDD

normal adalah 119 mmHg dan menurut Iranloye, et al., (2011), TDD normal

berkisar antar 96 ± 4,08 mmHg. Hasil rerata pengukuran TDD tikus normotensi

setelah pemberian EnHPT, EEAPT dan EEPT selama 7 dan 14 hari dapat dilihat

(49)

94

# Efek EnHPT, EEAPT dan EEPT terhadap!erata TDD (mmHg) tikus

normotensi hari ke'0, 7, dan 14

No Kelompok (n=4) Dosis (mg/KgBB) TDS (mmHg) ±SEM pada hari ke

0 7 14

1 Kontrol ' 99,5±2,10 97,25±2,69 96,00±3,34

2 EEPT 400 99,25±5,27 87,50±2,06 100,25±3,19

3 EEPT 800 103,75±2,46 92,75±4,89 91,75±4,48*

4 EEAPT 400 87,25±1,31 93,50±1,19* 93,50±1,19*

5 EEAPT 800 91,50±4,09 87,50±2,18 87,00±1,87

6 EnHPT 400 93,00±3,72 85,50±2,72* 87,25±3,12*

7 EnHPT 800 100,00±1,08 93,75±1,44* 94,00±2,48

Keterangan : * Berbeda secara signifikan terhadap hari ke 0

+ ! / Efek EnHPT, EEAPT dan EEPT terhadap perubahan TDD (mmHg)

tikus normotensi (Mean±SEM, n=4)

Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa EEPT 400 mg/kg BB tidak

menurunkan TDD setelah 7 dan 14 hari pemberian. Pemberian EEPT 800 mg/kg

BB mampu menurunan TDD setelah 14 hari (P < 0,05). EEAPT 400 mg/kg BB

menyebabkan penurunan TDD secara signifikan setelah pemberian selama 7 dan

14 hari, EEAPT 800 mg/kg BB tidak mempengaruhi TDD selama 14 hari. EnHPT

400 dan 800 mg/kg bb menyebabkan penurunan TDD secara signifikan selama 7

(50)

95

Data persentase penurunan TDD menunjukkan tidak adanya perbedaan yang

signifikan (p > 0,05) antar kelompok perlakuan pada hari ke'7 dan ke'14

dibandingkan kontrol tetapi terjadi perbedaan antar kelompok pelakuan. Pada

penelitian ini terdapat perbedaan persen penurunan TDD antara EEAPT 400

mg/kg bb dengan EnHPT 400, EEPT 400 dan EEPT 800 mg/kg bb pada hari ke 7

sedangkan pada hari ke 14, terjadi perbedaan antara EEAPT 400 dengan EEPT

800 mg/kg bb. Persen penurunan TDD terbesar ditunjukkan oleh EEPT 400

(11,02%) pada hari ke 7 dan EEPT 800 (11,61%) pada hari ke 14. (+ !

1).

+ ! 1Grafik persentase perubahan TDD (%) tikus normotensi

Rerata DJ tikus sebelum perlakuan berbeda signifikan (p<0,05) antar

kelompok. Hal ini diduga terjadi karena kondisi pengukuran. Prinsip kerja NIBP

mengukur DJ berdasarkan sensitivitas sensor yang melekat pada vena ekor tikus.

Jika ekor sering bergerak, maka akan berpengaruh pada pengukuran DJ.

Pemberian EnHPT, EEAPT dan EEPT dosis 400 dan 800 mg/kgbb tidak

memberikan penurunan DJ yang signifikan pada tikus normotensi. Analisis

statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan DJ (p > 0,05) pada

(51)

96

% Efek EnHPT, EEAPT dan EEPT terhadap!erata DJ (BPM) tikus

normotensi hari ke'0, 7, dan 14

No Kelompok (n=4) Dosis (mg/KgBB) DJ (BPM) ±SEM pada hari ke

0 7 14

1 Kontrol ' 322,25±10,08 309,75±24,42 320,25±17,29

2 EEPT 400 209,50±20,98 174,50±6,61 289,00±21,78#

3 EEPT 800 328,00±5,76 285,25±25,16 292,75±23,94

4 EEAPT 400 259,75±41,05 147,75±17,53 176,00±9,01

5 EEAPT 800 188,25±5,12 172,50±8,85 178,25±3,94

6 EnHPT 400 192,00±4,38 204,75±11,28 200,75±7,88

7 EnHPT 800 209,25±7,71 210,00±8,07 210,25±6,76

+ ! , Efek EnHPT, EEAPT dan EEPT terhadap perubahan DJ (BPM) tikus normotensi

Berdasarkan Tabel 4.14 nampak bahwa EnHPT, EEAPT, dan EEPT tidak

menyebabkan penurunan DJ yang signifikan dibandingkan DJ sebelum perlakuan

(P>0,05), dengan demikian pemberian EnHPT, EEAPT, dan EEPT dosis 400 dan

800 mg/kg BB tidak mempengaruhi DJ. Persentase penurunan DJ menunjukkan

perbedaan yang signifikan (p > 0,05) antar kelompok perlakuan pada hari ke'7

dan ke'14. Kelompok EnHPT 400 mg/kgBB menunjukkan perbedaan yang

signifikan dibandingkan EEAPT 400 mg/kgBB pada hari ke 7, sedangkan EEPT

(52)

97

normotensi setalah pemberian 7 dan 14 hari ( + ! 2".

Efek EnHPT, EEAPT dan EEPT terhadap!erata TAR (mmHg) tikus

normotensi hari ke'0, 7, dan 14

(53)

98

+ ! 2Efek EnHPT, EEAPT dan EEPT terhadap perubahan TAR

(mmHg) tikus normotensi

Persen penurunan TAR menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan

antara kontrol dengan kelompok perlakuan maupun antar kelompok perlakuan

(+ ! #.)

Referensi

Dokumen terkait

Keunikan masyarakat Nias Selatan bukan semata-mata lingkungan alamnya, tetapi lebih dari itu adalah warisan budaya yang dimilikinya dalam bentuk rumah tradisional yang

Hal ini disebabkan karena responden juga terpapar oleh pengaruh dari teman-teman sebaya dan faktor status ekonomi, sehingga meskipun responden memiliki pengetahuan

Penimbangan limbah padat pabrik kertas rokok dan pupuk kandang ayam. Aplikasi limbah padat padat pabrik kertas rokok dan pupuk

Kemudian umur responden dalam penelitian ini adalah umur yang telah memenuhi syarat untuk bisa memiliki SIM C. Umur minimal seseorang untuk bisa mendapatkan SIM C

Berdasarkan studi pendahuluan di RSUD Dr. Dari 4 bayi yang mendapat ASI eksklusif 2 bayi terjadi diare, dan 6 bayi yang menggunakan botol susu 5 bayi terjadi diare. Dari

Jika dilihat dari rerata konsumsi pakan ayam broiler yang disajikan pada Tabel 4, menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan baik pakan komersial (P0), pakan

Penelitian ini dilakukan sebanyak dua siklus. Masing-masing siklus terdiri dari tiga kali pertemuan. Masing-masing pertemuan berlangsung selama 2x35 menit. Setiap memasuki