46
Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan rancangan acak
lengkap untuk mengevaluasi efek diuretik EnHPT, EEAPT dan EEPT pada
penurunan tekanan darah tikus normotensi, penurunan tekanan darah kelompok
tikus hipertensi yang diinduksi NaCl 2,5% dan metilprednisolon serta kelompok
yang dinduksi L"Name secara in vivo, peningkatan kontraksi dan denyut jantung
isolat jantung tikus secara in vitro. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium
Farmakologi Fakultas Farmasi USU setelah mendapat persetujuan Komisi Etik
Penelitian Kesehatan yang beralamat di Fakultas MIPA USU.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang metabolik,
Spektroskopis serapan atom (SSA), oral sonde, lemari pengering,
neraca analitis, alat gelas ( , cawan petri, batang
pengaduk), syringe (Terumo), seperangkat alat pengukur tekanan darah
(AD Instrument) tikus, lampu
penghangat, , spektofotometer UV"Vis, seperangkat alat Langendorf
(AD Instrumen), seperangkat alat bedah.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun puguntano, etanol
(teknis), n"heksan (teknis), etilasetat (teknis), tablet furosemide, saline, aqua
bidestilata, baku natrium, baku kalium, CMC"Na (Merck), gel
47
Medica), reagensia kolesterol, reagensia trigliserida, reagensia HDL"Kolesterol,
TCA, asam asetat glasial 15%, asam sulfanilat, N"(1"naftil) etilendiamina
dihidroklorida (NED), NaCl (Merck), KCl (Merck), NaH2PO4(Merck),
NaHCO3(Merck), MgCl2(Merck), CaCl2(Merck), Glukosa (Merck), Digoksin,
Karbogen, Ketamin, DMSO, Heparin.
! " #$ %
Sebanyak 1 g besi (III) klorida dilarutkan dalam aquadest sampai 100 ml
(Depkes RI, 1978).
$ &'
Sebanyak 7 ml asam klorida pekat diencerkan dengan aquadest sampai 100 ml
(Depkes RI, 1978).
! ()*
Timbal (II) asetat sebanyak 15,17 g dilarutkan dalam aquadesta bebas CO2
hingga 100 ml (Depkes RI, 1978).
* $ + , $
Sebanyak 1,4 g raksa (II) klorida, dilarutkan dalam aquadest hingga 60 ml.
Pada wadah lain ditimbang sebanyak 5 g kalium iodide dilarutkan dalam 10 ml
aquadest. Kedua larutan dicampurkan dan ditambahkan aquadest hingga 100 ml
(Depkes RI, 1978).
- $ + #
Sebanyak 3 g α"naftol dilarutkan dalam asam nitrat 0,5 N secukupnya ,
48
. $ + $ #$/
Sebanyak 0,8 g bismut nitrat dilarutkan dalam asam nitrat pekat 20 ml
kemudian dicampurkan dengan larutan kalium iodida sebanyak 27,2 g dalam 50
ml aquadest. Campuran didiamkan sampai memisah sempurna. Larutan jernih
diambil dan diencerkan dengan aquadest hingga 100 ml (Depkes RI, 1978).
0 $ $ + 1 /
Sebanyak 18 ml asam sulfat pekat diencerkan dengan aquadest hingga 100 ml
(Depkes RI, 1978).
2 1
Sebanyak 100 mg sudan III dilarutkan dalam campuran 10 ml etanol (95%)
dan 10 ml gliserol (Depkes RI, 1978).
3 $ + # 4 $
Sebanyak 4 g kalium iodida dilarutkan dalam aquadest secukupnya kemudian ditambahkan 2 g iodida sedikit demi sedikit cukupkan dengan aquadest (Depkes
RI, 1978).
( $ ' )-% 56!
Sebanyak 2,5 gram NaCl dimasukkan ke dalam lumpang, kemudian gerus
homogen. Masukkan sebagian aquadest gerus hingga NaCl larut. Masukkan
larutan ke dalam labu tentukur 100 ml, tambahkan aquadest sampai garis tanda.
7 7$ # #
Timbang sebanyak 10 mg metilprednisolon yang telah disetarakan dengan
berat tablet. Masukkan ke dalam lumpang kemudian gerus hingga homogen.
Masukkan suspensi ke dalam labu tentukur 10 ml. Tambahkan kembali suspensi
49
7 #7$# # 1 !
Timbang setara 50 mg serbuk bisoprolol. Masukkan serbuk ke dalam
lumpang. Tambahkan perlahan"lahan sebagian suspensi CMC Na 0,5%, gerus
hingga homogen. Masukkan suspensi ke dalam labu tentukur 10 ml. Tambahkan
kembali suspensi CMC Na sampai garis tanda.
$ + ' (% 56
Sebanyak 20 g TCA dicukupkan dengan aquadest hingga 100 ml.
* $ -% 656
Sebanyak 15 ml asam asetat glasial dicukupkan dengan aquadest hingga 100
ml.
- $ + $
Pereaksi Griess terdiri dari pereaksi asam sulfanilat 1% dan pereaksi NED
0,1%.
. $ + 1 / % 56
Sebanyak 1 g asam sulfanilat dilarutkan ke dalam 100 ml asam asetat 15%.
0 $ + () % 56
Sebanyak 0,1 g NED dilarutkan ke dalam 100 ml asam asetat glasial 15%v/v.
2 $ / # # +$ 8&
Sebanyak 118 g NaCl; 4.7 g KCl; 1.28 g NaH2PO4; 25.0 g NaHCO3; 1.2 g
MgCl2; 2.52 g CaCl2; 5.55 g glucose dilarutkan dalam 1 L aqua bidestilata hingga
diperoleh larutan dengan pH 7,4 (Gilani, 2006).
& 9 7 $4#
Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Tikus galur Wistar berat
50
selama seminggu dengan siklus 12 jam gelap/terang pada suhu kamar. Tikus
diberi makanan pellet standar dan air ad libitum.
* 7 , 7 1 7 #
Tumbuhan Puguntano diperoleh dari Desa Tiga Binanga, Kabupaten Dairi,
Sumatera Utara. Pengambilan bahan tumbuhan dilakukan dengan teknik sampling
secara random purposif. Identifikasi tumbuhan dilakukan oleh Pusat Penelitian
Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta. Daun Puguntano
dicuci dan dikeringkan hingga menjadi simplisia. Simplisia dihaluskan hingga
menjadi serbuk. Tujuan penyerbukan adalah untuk memudahkan proses
pengekstraksian.
- :$ + 8& + ) # #
Pembuatan fraksi puguntano dilakukan dengan cara maserasi bertingkat
( ) menggunakan pelarut n"heksan, etil asetat dan etanol 96%
(Ditjen POM, 1979). Pengekstrasian dilakukan dengan cara sebagai berikut
sebanyak 800 gram serbuk simplisia direndam dalam pelarut n"heksan selama 5
hari sambil sekali"sekali diaduk, kemudian disaring. Ampasnya dikeringkan
dengan cara mengangin"anginkannya di udara terbuka hingga pelarut n"heksan
menguap, lalu dimaserasi kembali menggunakan pelarut etil asetat. Perlakuan
yang sama dilakukan mengunakan pelarut etanol. Masing"masing maserat
diuapkan pelarutnya dengan evaporator pada suhu ± 40oC, lalu di keringkan
menggunakan ! " sehingga diperoleh ekstrak kental.
. 1+$ : #+
Skrining fitokimia dilakukan terhadap simplisia, ekstrak n"heksan, etilasetat
51
golongan senyawa kimia yang terkandung dalam simplisia dan ekstrak daun
puguntano. Uji yang dilakukan meliputi skrining terhadap golongan tanin,
glikosida, alkaloid, flavonoid dan saponin (Harborne, 1987; Depkes RI, 1995,
Ghayur, 2007).
dalam 3 tabung reaksi. Pada masing"masing tabung reaksi ditambahkan 2 tetes
pereaksi Mayer, 2 tetes pereaksi Bouchardat, 2 tetes pereaksi Dragendorff.
Alkaloida dinyatakan positif jika terjadi endapan atau kekeruhkan pada paling
sedikit dua dari tiga percobaan d iatas (Depkes, 1978)
. $ + : 6# #
Sebanyak 10 g sampel ditambahkan 10 ml air panas, dididihkan selama 5
menit dan disaring dalam keadaan panas. Ke dalam 5 ml filtrate ditambahkan 0,1
g serbuk magnesium dan 1 ml asam klorida pekat dan 2 ml amil alcohol, dikocok
dan dibiarkan memisah. Flavonoida dinyatakan positif jika terjadi warna merah
atau kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol (Fransworth, 1996).
. $ + +#
Sampel puguntano ditimbang sebanyak 3 g, lalu disari dengan 30 ml
campuran etanol 95% dengan air (7:3) dan 10 ml asam klorida 2 N, direfluks
selama 2 jam, didinginkan dan disaring. Kepada 20 ml filrat ditambahkan 25 ml
52
disaring. Filtrat disari dengan 20 ml campuran isopropanol dan kloroform (2:3).
Pekerjaan ini dilakukan sebanyak 3 kali. Sari air diuapkan pada temperatur tidak
lebih dari 50٥C. Sisanya dilarutkan dalam 2 ml metanol. Larutan sisa digunakan
untuk percobaan berikut: sebanyak 0,1 ml larutan percobaan dimasukkan kedalam
tabung reaksi dan diuapkan di atas penangas air. Pada sisa ditambahkan 2 ml air
dan 5 tetes pereaksi Molish. Kemudian secara perlahan"lahan ditambahkan 2 ml
asam sulfat pekat melalui dinding tabung, terbentuknya cicin berwarna ungu pada
batas kedua cairan menunjukkan adanya glikosida (Depkes, 1978).
. * $ + +# $ + #
Sampel puguntano ditimbang sebanyak 0,2 g, kemudian ditambahkan 5 ml
asam sulfat 2 N, dipanaskan sebentar, setelah dingin ditambahkan 10 ml benzena,
dikocok dan didiamkan. Lapisan benzena dipisahkan dan disaring, lapisan
benzena dikocok dengan 2 ml NaOH 2 N, lalu didiamkan. Lapisan air berwarna
merah dan lapisan benzena tidak berwarna menunjukan adanya glikosida
antrakinon (Depkes, 1978).
. - $ + 1 7#
Sampel puguntano ditimbang sebanyak 0,5 g dan dimasukan ke dalam tabung
reaksi, lalu ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan dan kemudian dikocok
kuat"kuat selama 10 detik. Jika terbentuk busa setinggi 1"10 cm yang stabil tidak
kurang dari 10 menit dan tidak hilang dengan penambahan 1 tetes asam klorida 2
N menunjukan adanya senyawa golongan saponin (Uji busa) (Depkes, 1978).
. . $ +
Sampel ditimbang sebanyak 1 g, dididihkan selama 3 menit dalam 100 ml
53
peraksi besi (III) klorida 1%. Jika terjadi warna biru kehitam atau hijau kehitaman
menunjukan adanyasenyawa golongan tanin (Depkes, 1978).
. 0 $ + $ $7 # 5 $#
Sampel puguntano ditimbang sebanyak 1 g, dimaserasi dengan 20 ml n"
heksana 2 jam, disaring, filtrat diuapkan dalam cawan penguap, dan pada sisanya
ditambahkan pereaksi Liebermann"Burchard. Apabila terbentuk warna ungu atau
merah yang berubah menjadi biru ungu atau biru hijau menunjukan adanya
tikus dibagi atas empatbelas kelompok, masing"masing kelompok terdiri dari 4
tikus. Seluruh tikus diberi saline sebanyak 20mL/kg bb sebelum perlakuan
sebagai . Kelompok pertama diberi Na CMC 0,5% secara oral
(kontrol negatif). Kelompok kedua diberi furosemide 10 mg/kg bb secara oral.
Kelompok 3, 4, 5, 6, 7 dan 8 diberikan secara peroral fraksi n"heksan, etilasetat
dan etanol puguntano dengan dosis bervariasi. Setelah pemberian obat dan
ekstrak, tikus diletakkan dalam kandang metabolik dan urinnya dikumpulkan
dalam vial kemudian diukur voleme urin tersebut selama 6 jam. Total urin yang
diekskresikan dikumpulkan dan dihitung volume total urin. Konsentrasi elektrolit
natrium dan kalium ditentukan menggunakan alat spektroskopis serapan atom
(AAS) (Gilani, 2008). Selanjutnya ditentukan indeks diuretik, Nilai Lipschitz,
54
Indeks Diuretic = (UVt/UVc)
Nilai Lipschitz = (UVt/UVr)
Indeks Saliuretic = (CUEt/CUEc)
Rasio Na+ /K+ = (UNa+ /UK+ )
Keterangan : UVt = rata"rata volume urin kelompok perlakuan, UVc = rata"rata
volume urin kelompok kontrol, UVr = rata"rata volume urin kelompok kontrol
dan 20) ml dari larutan baku 10 µg/ml, masing"masing dimasukkan ke dalam labu
tentukur 50 ml dan dicukupkan hingga garis tanda dengan akuabides larutan ini
mengandung (0,5; 1,0; 2,0; 3,0; 4,0) µg/ml dan diukur absorbansinya pada
panjang gelombang 766,5 nm dengan nyala udara"asetilen.
0 " $6 " $ $
Larutan baku natrium (konsentrasi 1000 µg/ml) dipipet sebanyak 1 ml,
dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml dan dicukupkan hingga garis tanda
dengan akuabides (konsentrasi 10 µg/ml). Larutan induk baku II dibuat dengan
55
100 ml dan dicukupkan hingga garis tanda dengan akuabides (konsentrasi 2,5
µg/ml). Larutan untuk kurva kalibrasi natrium dibuat dengan memipet (4,0; 8,0;
12; 16; 20) ml dari larutan baku 2,5 µg/ml (LIB), masing"masing dimasukkan ke
dalam labu tentukur 50 ml dan dicukupkan hingga garis tanda dengan akuabides
(larutan ini mengandung (0,20; 0,40; 0,60; 0,80; 1,00)) µg/ml dan diukur
absorbansinya pada panjang gelombang 589,0 nm dengan nyala udara asetilen.
0 " $ $ " 17 + $#/# # $
1 $ 7 #
Sebanyak 1 ml urin dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml kemudian
dicukupkan dengan akuades sampai 50 ml. Isi labu tentukur dipindahkan ke dalam
labu erlemeyer dan ditambahkan 5 ml HNO3 pekat dan beberapa butir batu didih.
Campuran dididihkan secara perlahan"lahan kemudian diuapkan dengan
hingga volume urin total tinggal 20 ml, saring. Filtrat dimasukkan ke dalam labu
tentukur 100 ml dicukupkan dengan akuades sampai garis tanda. Faktor
pengenceran untuk penentuan kadar natrium pada urin adalah 25 kali, faktor
pengenceran untuk penentuan kadar kalium pada urin adalah 12,5 kali.
Selanjutnya diukur menggunakan alat SSA (SNI, 2004).
2 ;< #+ +
Uji dilakukan untuk mengetahui tingkat keamanan dari fraksi n"heksan, etil
asetat dan etanol puguntano. Uji toksisitas akut dilakukan menggunakan 35 ekor
mencit jantan. Mencit dibagi atas 7 kelompok perlakuan, tiap kelompok terdiri
dari 5 ekor mencit. Mencit dipuasakan selama 12 jam sebelum perlakuan,
kemudian diberi fraksi puguntano dosis 2000 " 5000 mg/kg bb secara oral.
Parameter yang diamati selama uji toksisitas antara lain jumlah makanan, berat
56
2 $ + & #7 # # $ 4
Pemeriksaan histopatologi organ mencit dilakukan berdasarkan pewarnaan
Haematoxyllin"Eosin dengan tahapan sebagai berikut:
a. Penyiapan organ hati untuk dipotong
Jaringan difiksasi dalam larutan Buffer Netral Formalin (BNF) 10% minimal
48 jam hingga mengeras. Sampel ditrimming setebal ± 0,5 cm. Potongan
kemudian dimasukkan dalam tissue cassette untuk dimasukkan dalam
#
b. Dehidrasi
Proses dehidrasi dimaksudkan untuk menarik air dari jaringan dan mencegah
terjadinya pengerutan sampel yang akan diuji. Dehidrasi dilakukan dengan
cara merendam sampel dalam larutan alkohol dengan konsentrasi bertingkat
(70%, 80%, 90%, 95%, dan alkohol absolut). Proses perendaman masing"
masing konsentrasi alkohol dilakukan selama 2 jam. Proses dehidrasi
dilakukan dengan menggunakan mesin otomatis.
c. Clearing
Proses clearing atau penjernihan dilakukan dengan 2 tahap dengan
menggunakan xylol I dan xylol II. Penggunaan xylol dimaksudkan untuk
melarutkan alkohol dan parafin.
d. Infiltrasi
Infiltrasi dan impregnasi adalah proses pengisian parafin kedalam pori"pori
jaringan. Pengisian pori"pori ini dimaksudkan untuk mengeraskan jaringan
agar mudah dipotong dengan pisau mikrotom. Parafin yang digunakan adalah
57
e. Embedding dan Blocking
Embedding atau blocking adalah proses penanaman jaringan dalam blok
parafin. Parafin yang digunakan parafin histoplast. Proses embedding
dilakukan dengan menggunakan alat tissue embedding console .
f. Sectioning
Sectioning adalah proses pemotongan jaringan dengan menggunakan
mikrotom dengan ketebalan 2"3 µm di dalam waterbath, agar parafin mencair
dari dalam organ yang telah dipotong, kemudian organ diambil menggunakan
object glass dan disimpan dalam inkubator dengan suhu 37oC selama 24 jam.
g. Pewarnaan Haematoxyllin"Eosin
Sebelum melakukan pewarnaan, preparat histopatologi dideparafinisasi
dengan larutan xylol (I dan II) selama 2 menit. Kemudian dilakukan proses
rehidrasi dengan cara mencelupkan sediaan ke dalam alkohol bertingkat
(alkohol absolut, alkohol 95%, alkohol 90%, alkohol 80%). Perendaman
dalam alkohol 95% dan 80% dilakukan selama 1 menit. Kemudian sediaan
dicuci dengan air yang mengalir (air kran) selama 1 menit. Sediaan diwarnai
dengan pewarna Mayer’s Haematoxyllin dengan tahapan sebagai berikut :
i. preparat direndam dalam larutan Mayer’s Haematoxyllin selama 8 menit
ii. dicuci dengan air mengalir (air kran) selama 30 detik
iii. dicelupkan ke dalam larutan Lithium Carbonat selama 15"30 detik
iv. dicuci dengan air mengalir (air kran) selama 2 menit
v. direndam dalam larutan Eosin selama 2"3 menit
vi. dicuci dengan air mengalir (air kran) selama 30"60 detik
58
viii. sebanyak 10 kali celupan, absolut I selama 2 menit, xylol I selama 1 menit
dan xylol II selama 2 menit
ix. Setelah pewarnaan, sediaan ditetesi perekat Canada balsem (Entellan®)
dan ditutup dengan cover glass.
x. Diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya.
3 + $ + > $
pada ekor tikus. Tunggu tikus stabil lalu tekan kembali
. TDS dan TDD dapat dilihat pada 1 dan DJ pada 3
Perangkat alat NIBP yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada
Lampiran 20.
3 < / + 7 $ + #$ #
Sebanyak 28 ekor tikus Wistar jantan dibagi menjadi 7 kelompok dosis.. Tiap
kelompok terdiri dari 4 ekor tikus jantan. Hewan dikelompokkan sebagai berikut:
59
Kelompok II, diberi sediaan suspensi EnHPT 400 mg/kg BB
Kelompok III, diberi sediaan suspensi EnHPT 800 mg/kg BB
Kelompok IV , diberi sediaan suspensi EEAPT 400 mg/kg BB
Kelompok V : diberi sediaan suspensi EEAPT 800 mg/kg BB
Kelompok VI : diberi sediaan suspensi EEPT 400 mg/kg BB
Kelompok VII : diberi sediaan suspensi EEPT 800 mg/kg BB
Sebelum diberi perlakuan, TD awal tiap kelompok terlebih dahulu diukur
menggunakan NIBP melalui vena ekor. Tiap kelompok diberi perlakuan secara
oral selama 14 hari. TD diukur kembali pada hari ke 7 dan 14. Dari hasil
perlakuan akan diperoleh data TDS, TDD, DJ, dan TAR. TDS, TDD, dan DJ
dapat langsung diperoleh dari hasil pengukuran alat sedangkan nilai TAR dihitung
dengan menggunakan rumus (Shapiro, 2010)
TAR =
3 2%&& %&
Setelah diperoleh TDS, TDD, DJ, dan TAR kemudian dihitung persentase
penurunan TD tikus normotensi menggunakan rumus (Siska, et al., 2012)
% penurunan TD hari X=
3 < / + 7 $ + 7 $ , + '
)-% 7$ # #
Sebanyak 36 ekor tikus jantan Wistar diukur TD awalnya dengan alat NIBP
melalui vena ekor, kemudian diinduksi dengan larutan NaCl 2,5% dan suspensi
metilprednisolon 1,5 mg/kg BB setiap hari selama 14 hari . Lalu diukur kembali
TDnya pada hari ke"14. Dihitung persentase kenaikan TD dengan menggunakan
60
% kenaikan TD hari X =
Tikus jantan Wistar hipertensi yang telah diinduksi selama 14 hari dibagi menjadi
9 kelompok dosis. Tiap kelompok terdiri dari 4 ekor tikus jantan. Hewan
dikelompokkan sebagai berikut:
Kelompok I, tidak diberikan apapun tetapi diinduksi
Kelompok II, diberi sediaan suspensi CMC Na 0,5% (b/v)
Kelompok III , diberi sediaan suspensi bisoprolol 0,0714 mg/kg BB
Kelompok IV, diberi sediaan suspensi EnHPT 400 mg/kg BB
Kelompok V, diberi sediaan suspensi EnHPT 800 mg/kg BB
Kelompok VI , diberi sediaan suspensi EEAPT 400 mg/kg BB
Kelompok VII , diberi sediaan suspensi EEAPT 800 mg/kg BB
Kelompok VIII, diberi sediaan suspensi EEPT 400 mg/kg BB
Kelompok IX , diberi sediaan suspensi EEPT 800 mg/kg BB
Ekstrak diberikan secara oral setiap hari mulai hari ke 15 sampai hari ke"21. TD
diukur kembali pada hari ke"17, 19 dan ke"21. Parameter yang diukur meliputi
TDS, TDD, DJ, dan TAR. Lalu dihitung persentase penurunan TD
3 < / + 7 $ + 7 $ , + 8
Sebanyak 20 ekor tikus jantan Wistar diukur TD awalnya dengan alat NIBP
melalui vena ekor, kemudian diinduksi dengan L"Name 75 mg/kg BB. TD diukur
kembali pada hari ke"14. Dihitung persentase kenaikan TD dengan menggunakan
rumus (Vogel, 2008; Siska, et al., 2011)
61
Tikus jantan Wistar hipertensi yang telah diinduksi selama 14 hari dibagi menjadi
5 kelompok. Tiap kelompok terdiri dari 4 ekor tikus jantan. Hewan
dikelompokkan sebagai berikut:
Kelompok I, diberi sediaan suspensi CMC Na 0,5% (b/v)
Kelompok II, diberi sediaan suspensi EnHPT 400 mg/kg BB
Kelompok III , diberi sediaan suspensi EnHPT 800 mg/kg BB
Kelompok IV , diberi sediaan suspensi EEAPT 400 mg/kg BB
Kelompok V, diberi sediaan suspensi EEAPT 800 mg/kg BB
Ekstrak diberikan secara oral mulai heri ke 15 sampai hari ke"21. TD diukur
kembali pada hari ke"17, 19 dan ke"21. Parameter yang diukur meliputi TDS,
TDD, DJ, dan TAR. Lalu dihitung persentase penurunan TD
( + $ $ $ #+ $
Pengukur parameter biokimia darah bertujuan untuk mengetahui efek fraksi
aktif terhadap kadar kolesterol total, trigliserida, HDL, LDL, ALT, AST, Ureum
dan kreatinin tikus hipertensi yang diinduksi NaCl 2,5% dan metilprednisolon
serta yang diinduksi L"Name setelah 7 hari pemberian fraksi.
( + $ " $ "# $# #
Kadar kolesterol ditetapkan dengan metode kolorimetri enzimatik (metode
CHOD"PAP) dengan kolesterol esterase, kolesterol oksidase, dan peroksidase
sebagai katalis indikator reaksi !.
Prinsip:
Kolesterol ester + H2O kolesterol esterase kolesterol + asam lemak
Kolesterol + O2 kolesterol oksidase kolesten" 3" on + H2O2
62
Jumlah sampel, standar, dan reagensia kolesterol yang dibutuhkan dalam pengukuran kadar kolesterol total
Blanko (Nl) Standar (Nl) Sampel (Nl)
Aquabidest 10 " "
Standar " 10 "
Sampel " " 10
Reagensia kolesterol 1000 1000 1000
Serum darah dipipet dengan pipet mikro sebanyak 10 Nl, dimasukkan ke
dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan larutan reagensia kolesterol
sebanyak 1000 Nl, lalu dihomogenkan menggunakan vortex, dan diinkubasi pada
suhu 37ºC selama 10 menit. Diukur serapan pada panjang gelombang 546 nm
selama 60 menit. Sebagai blanko digunakan larutan reagensia kolesterol 1000 Nl
dan aquabidest 10 Nl. Pengukuran serapan standar sama dengan pengukuran
serapan kolesterol total, tetapi serum darah diganti dengan standar kolesterol.
Kadar kolesterol total diperoleh dengan menggunakan rumus:
Dimana: C= Kadar Kolesterol total (mg/dl),
A = Serapan,
Cst = Kadar kolesterol standar (200 mg/dl)
( + $ " $ $ $
Kadar trigliserida ditetapkan dengan metode kolorimetri enzimatik (metode
GPO"PAP) menggunakan gliserol"3"fosfat oksidase (GPO) !.
Prinsip:
Trigliserida lipase gliserol + asam lemak
63
Gliserol + ATP gliserol kinase gliserol "3" fosfat + ADP
Gliserol "3" fosfat + O2 GPO dihidroksiaseton + fosfat + H2O2
2 H2O2 + 4" aminoantipirin + 4" klorofenol peroksidase kuinonimin + HCl + 4
H2O
Jumlah sampel, standar dan reagensia trigliserida yang dibutuhkan dalam pengukuran kadar trigliserida
Blanko (Nl) Standar (Nl) Sampel (Nl)
Standar " 10 "
Sampel " " 10
Reagensia trigliserida 1000 1000 1000
Serum darah dipipet dengan pipet mikro sebanyak 10 Nl, dimasukkan ke
dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan larutan reagensia trigliserida
sebanyak 1000 Nl. Larutan dihomogenkan menggunakan vortex, dan diinkubasi
pada suhu 37ºC selama 10 menit. Diukur serapan pada panjang gelombang 546
nm selama 60 menit. Pengukuran serapan standar dilakukan dengan cara yang
sama dengan pengukuran serapan sampel. Kadar trigliserida diperoleh dengan
menggunakan rumus:
Dimana: C = Kadar trigliserida (mg/dl)
A = Serapan
Cst = Kadar trigliserida standar (200 mg/dl)
( + $ " $ "# $# &
Kadar kolesterol HDL diukur setelah HDL diendapkan menggunakan reagen
pengendapan kolesterol HDL !.
64
500 Nl larutan reagensia pengendap kolesterol"HDL, dikocok, dan dibiarkan
selama 10 menit pada suhu 25ºC. Kemudian disentrifuge selama 20 menit dengan
kecepatan 4000 rpm. Kadar kolesterol HDL ditetapkan dengan metode
kolorimetri enzimatik dengan menggunakan reagensia kolesterol *!.
* Jumlah sampel, standar, dan reagensia kolesterol yang dibutuhkan
Reagensia kolesterol 1000 1000 1000
Diambil 10 Nl supernatan, dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian
ditambahkan larutan reagensia kolesterol sebanyak 1000 Nl, dan dihomogenkan
menggunakan vortex. Setelah itu diinkubasi pada suhu 37ºC selama 10 menit.
Serapan diukur pada panjang gelombang 546 nm selama 60 menit.
Kadar kolesterol"HDL diperoleh dengan menggunakan rumus:
Dimana: C = Kadar Kolesterol"HDL (mg/dl)
65
+ $ " $ $ $
Penyiapan plasma darah tikus dilakukan untuk mengukur kadar nitrit dan nitrat
tikus hipertensi yang diinduksi NaCl 2,5% dan metilprednisolon serta diberi
fraksi n"heksan dan tikus hipertensi yang diinduksi L"Name serta diberi fraksi etil
asetat. Diambil 1,5 ml cuplikan darah dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge.
Ditambahkan 1,5 ml TCA 20% kemudian divortex dan disentrifugasi dengan
kecepatan 4000 rpm selama 10 menit. Diambil supernatan, dimasukkan ke dalam
vial, dan disimpan dalam lemari pembeku.
$ + + $
Serbuk natrium nitrit dikeringkan pada suhu 110°C selama satu jam,
kemudian didinginkan dalam desikator. Ditimbang 100 mg natrium nitrit yang
telah dikeringkan dan didinginkan, kemudian dipindahkan dalam labu tentukur
100 ml secara kuantitatif dan dilarutkan dengan aquadest, lalu dicukupkan
volumenya sampai garis tanda (C = 1000,0 Ng/ml) (larutan induk baku I = LIB
I). Dipipet 1 ml LIB I di atas dan dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml lalu
diencerkan dengan aquadest sampai garis tanda (C = 10,0 Ng/ml) (LIB II).
< # + $ +
Dipipet 4 ml LIB II dan dimasukkan dalam labu tentukur 50 ml, ditambahkan
2,5 ml pereaksi asam sulfanilat 1% b/v dan dikocok. Setelah 5 menit,
ditambahkan 2,5 ml pereaksi NED 0,1% b/v dan dicukupkan dengan aquadest
sampai garis tanda kemudian dihomogenkan. Diukur serapan pada panjang
gelombang 400"800 nm dengan blanko aquadest (C = 0,8 Ng/ml).
LDL (mg/dl) = kolesterol total – trigliserida – kolesterol HDL
66 > + " $< $ +
Dipipet 4 ml LIB II dan dimasukkan dalam labu tentukur 50 ml, ditambahkan
2,5 ml pereaksi asam sulfanilat 1% b/v dan dikocok. Setelah 5 menit,
ditambahkan 2,5 ml pereaksi NED 0,1% b/v dan dicukupkan denganaquadest
sampai garis tanda kemudian dihomogenkan. Diukur serapan pada panjang
gelombang maksimum 540 nm dalam selang waktu 1 menit selama 60 menit.
* " $6 " $ $ +
LIB II (C = 10,0 Ng/ml), dipipet masing"masing sebanyak 0,25; 0,5; 0,75; 1;
2; 3; 4; 5 dan 6 ml (0,05 Ng/ml; 0,1 Ng/ml; 0,15 Ng/ml; 0,2 Ng/ml; 0,4 Ng/ml; 0,6
Ng/ml; 0,8 Ng/ml; 1,0 Ng/ml; 1,2 Ng/ml). Masing"masing larutan dimasukkan ke
dalam labu tentukur 50 ml. Ditambahkan 2,5 ml pereaksi asam sulfanilat 1% b/v
pada setiap labu tentukur kemudian dikocok. Setelah 5 menit, ditambahkan 2,5 ml
pereaksi NED 0,1% b/v, dikocok dan diencerkan sampai garis tanda dengan
aquadest dan dihomogenkan. Diukur serapan setelah menit ke"12 pada panjang
gelombang maksimum 540 nm.
- + $ " $ $
Sebanyak 1 ml plasma dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml.
Ditambahkan 2,5 ml pereaksi asam sulfanilat 1% b/v. Setelah 5 menit,
ditambahkan 2,5 ml pereaksi NED 0,1% b/v, dikocok dan diencerkan sampai garis
tanda dengan aquadest dan dihomogenkan. Diukur serapan setelah menit ke"12
pada panjang gelombang maksimum 540 nm.
. + $ " $ $
Sebanyak 1 ml plasma dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml.
67
asam sulfanilat 1% b/v kemudian dikocok. Setelah 5 menit, ditambahkan 2,5 ml
pereaksi NED 0,1% b/v, dikocok dan diencerkan sampai garis tanda dengan
aquadest. Diukur serapan setelah menit ke"12 pada panjang gelombang
maksimum 540 nm.
;< / + :$ + # $ 7 "# $ + , #
? +
Uji ini dilakukan untuk mengetahui efek EnHPT, EEAPT dan EEPT terhadap
kontraksi dan denyut isolat otot jantung tikus. Tikus dianestesi terlebih dahulu
dengan ketamin dosis 10 mg/Kg bb dan heparin dosis 5000 UI/ kg bbsecara
intraperitoneal. Tikus dibedah dan dengan cepat dada dibuka untuk melepaskan
jantung dari aorta. Jantung tikus yang telah diisolasi dan diletakkan dalam
petridish yang berisi larutan fisiologi krebs"Henseleit dingin (NaCl, 118; KCl, 4.7;
NaH2PO4, 1.28; NaHCO3, 25.0; MgCl2, 1.2; CaCl2, 2.52; glucose, 5.55; pH 7,4)
dan dialiri carbogen (campuran 95% O2 + 5% CO2). Jantung dibersihkan dari
bagian lemak dan perikardium. Setelah bersih, jantung diletakan dalam alat
Langendorff yang berisi larutan Krebs"Henseleit dan tetap dialiri dengan
carbogen. Bagian ventrikel jantung disambungkan dengan transduser yang akan
merekam pergerakan dari otot jantung. Setelah dicapai kondisi stabil (15 menit),
isolat jantung diberikan fraksi n"heksan, etil asetat dan etanol daun Puguntanoh
dan dilihat efek kontraksi dan denyut yang terjadi pada jantung melalui rekaman
yang disampaikan oleh transduser (Kamadyapa, 2009; Niazmand and Saberi,
2010). Perlakuan diulang sebanyak 3 (tiga kali). Perubahan kontraktilitas jantung
ditentukan menggunakan rumus = (B"A) dimana A merupakan kontraktilitas otot
jantung sebelum diberi ekstrak sedangkan B merupakan kontraktilitas otot jantung
68
1 +
Data hasil penelitian dianalisis menggunakan program SPSS 17. Data TD
sebelum dan sesudah perlakuan dianalisis menggunakan paired t"test sedangkan
data perbedaan rerata antar kelompok dianalisis menggunakan uji ANAVA Jika
terdapat perbedaan, dilanjutkan dengan uji ) % dengan tingkat
69
Tumbuhan yang telah diidentifikasi di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
( ) Pusat Penelitian Biologi (
), Bogor adalah . Lour, famili Scrophulariaceae
( ! ".
# $ ! ! !
Karakterisasi simplisia daun dan fraksi merupakan bagian dari standarisasi
mutu simplisia dan fraksi terhadap persyaratan sebagai bahan obat dan menjadi
penetapan nilai untuk berbagai parameter mutu produk. Parameter standarisasi
meliputi uji makroskopik, mikroskopik, kadar air, kadar sari larut dalam air, kadar
sari larut dalam etanol, kadar abu total dan kadar abu tidak larut asam (Ditjen
POM, 2000).
Pemeriksaan makroskopik bertujuan untuk mengetahui ciri'ciri fisik simplisia
suatu tumbuhan seperti bentuk, ukuran, bau dan rasa yang berguna untuk
pemastian kebenaran suatu simplisia. Hasil pemeriksaan makroskopik simplisia
daun puguntano diperoleh daun berwarna hijau muda sampai hijau tua, berbentuk
bulat telur, tepi daun beringgit, ukuran daun ±2x4 cm, dengan tekstur permukaan
daun yang kasar, berkerut'kerut dan berbulu halus ( ! #).
Pemeriksaan mikroskopik bertujuan untuk mengetahui struktur anatomi suatu
simplisia tumbuhan. Hasil pemeriksaan karakteristik serbuk simplisia secara
mikroskopik terlihat adanya fragmen pengenal berupa trichoma, berkas pembuluh,
70
Hasil pemeriksaan kadar air, kadar sari larut air, kadar sari larut etanol, kadar
abu total dan kadar abu yang tidak larut asam pada serbuk simplisia dan ekstrak
n'heksan (EnHPT), etil asetat (EEAPT) dan etanol daun puguntano (EEPT)
terlihat pada dan !
Hasil pemeriksaan karakterisasi simplisia dan fraksi daun puguntano
( . Lour.)
mendapatkan simplisia yang tidak mudah rusak sehingga dapat disimpan dalam
jangka waktu yang lama. Penurunan mutu atau kerusakan simplisia dapat dicegah
dengan mengurangi kadar air untuk menghentikan reaksi enzimatik. Reaksi
enzimatik tidak berlangsung lagi jika kadar air dalam simplisia kurang dari 10%.
Selain itu, penetapan kadar air dilakukan untuk memberikan batasan maksimal
kandungan air yang masih dapat ditolerir di dalam simplisia dan ekstrak. Hal ini
bertujuan untuk standardisasi (pengawasan mutu) dan berkaitan dengan penentuan
dosis pemakaian. Hasil penetapan kadar air simplisia, EnHPT, EEAPT dan EEPT
berturut'turut adalah 5,99%; 4,77%; 4,92 dan 7,89%. Berdasarkan ketentuan
standarisasi kadar air simplisia dan ekstrak kental secara umum memenuhi
71
ekstrak (Voigt, 1994). Kadar air yang tinggi pada simplisia dan ekstrak
menyebabkan ketidakstabilan sediaan obat karena air merupakan media
pertumbuhan bagi bakteri, jamur dan serangga. Hal ini mengakibatkan bahan aktif
yang terkandung didalamnya dapat terurai (Trease dan Evans, 1983; WHO, 1992).
Penetapan kadar sari dilakukan menggunakan dua pelarut, yaitu air dan etanol.
Penetapan kadar sari larut air adalah untuk mengetahui kadar senyawa kimia
bersifat polar yang terkandung di dalam simplisia, sedangkan kadar sari larut
dalam etanol dilakukan untuk mengetahui kadar senyawa larut dalam etanol, baik
senyawa polar maupun non polar. Kadar sari larut air diperoleh sebesar 26,36%;
0,68%; 13,94%; 65,05% dan senyawa larut etanol sebesar 16,19%; 2,58%;
60,59%; 83,41% ( ).
Penetapan kadar abu dimaksudkan untuk mengetahui kandungan mineral
internal (abu fisiologis) yang berasal dari jaringan tanaman itu sendiri, dan
eksternal (abu non'fisiologis) yang merupakan residu dari luar seperti pasir dan
tanah yang terdapat di dalam sampel (Ditjen POM 2000; WHO, 1992). Kadar abu
tidak larut asam untuk menunjukkan jumlah silikat, khususnya pasir yang ada
pada simplisia dengan cara melarutkan abu total dalam asam klorida (WHO,
1992). Hasil penetapan kadar abu total dan kadar abu tidak larut asam dari serbuk
simplisia, EnHPT, EEAPT dan EEPT berturut'turut adalah 4,49%; 0,53%; 0,57%;
1,85% dan 0,55%; 0,09%; 0,12%; 0,30%. Kadar logam berat yang tinggi dapat
membahayakan kesehatan, oleh sebab itu perlu dilakukan penetapan kadar abu
total dan kadar abu tidak larut asam untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak
tidak mengandung logam berat tertentu melebihi nilai yang ditetapkan karena
72
% ! & ' ( '!
Skrining fitokimia terhadap serbuk simplisia, EnHPT, EEAPT dan EEPT
dilakukan untuk mendapatkan informasi golongan senyawa metabolit sekunder
yang terdapat di dalamnya. Pemeriksaan dilakukan terhadap simplisia, EnHPT,
EEAPT dan EEPT adalah pemeriksaan golongan senyawa alkaloid, flavonoid,
steroid/triterpenoid, tanin, saponin, dan glikosida.
Hasil skrining menunjukan bahwa serbuk simplisia daun puguntano
mengandung senyawa golongan flavonoid, glikosida, saponin, tanin, dan
steroid/triterpenoid. EnHPT mengandung senyawa golongan steroid/triterpenoid.
EEAPT mengandung senyawa golongan flavonoid, glikosida, saponin dan tanin,
sedangkan EEPT mengandung senyawa golongan glikosida dan saponin (
#).
# Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia, EnHPT, EEAPT dan EEPT
No Skrining
Simplisia Fraksi
'heksan Etil asetat Etanol
1 Alkaloid ' ' ' '
Keterangan : (+) = mengandung golongan senyawa, (') = tidak mengandung golongan senyawa
! '! ) * * ( & (
Pengujian efek diuretik EnHPT, EEAPT dan EEPT dilakukan terhadap
73
aktivitas diuretika berdasarkan indeks diuretik serta nilai Lipschtiz ketiga fraksi
menggunakan hewan coba yaitu tikus jantan dan pembanding furosemid.
Pengukuran volume urin bertujuan untuk mengetahui adanya gangguan faal
ginjal dan kelainan dalam keseimbangan cairan tubuh. Volume urin berkaitan erat
dengan penggunaan diuretika karena dapat menyebabkan terjadinya diuresis.
Diuretika adalah senyawa atau obat yang dapat meningkatkan volume urin.
Diuresis mempunyai dua pengertian, pertama menunjukkan adanya penambahan
volume urin yang diproduksi dan yang kedua menunjukkan pengeluaran zat'zat
terlarut dalam urin (Junior, 2012). Hasil pengukuran volume urin tikus setelah
pemberian EnHPT dosis 100, 200, 400 dan 800 mg/kg bb/hari menunjukkan
peningkatan. Efek diuretik EnHPT meningkat dengan adanya peningkatan dosis
( ). Hal ini menunjukkan bahwa EnHPT memiliki efek diuretik
jika dibandingkan furosemid (+ ! "
+ ! Efek EnHPT terhadap volume urin setiap jam selama 6 jam
EnHPT dosis 800 mg/kg bb paling baik dalam pengeluaran urin. Hal tersebut
disebabkan EnHPT dosis 800 mg/kg bb mempunyai aktivitas diuretika hampir
sama dengan furosemid 10 mg/kg bb (P > 0,05). Furosemid merupakan diuretik
74
onset 1 ' 2 jam setelah pemberian per oral serta durasi 2 ' 6 jam (Khan, 2009).
EnHPT dosis 100, 200 dan 400 mg/kg bb menunjukan efek diuretika yang lebih
rendah dibanding furosemid tetapi tidak berbeda dengan kontrol.
Pengukuran volume urin pada jam ke'6 dinyatakan sebagai urin total. Rerata
volume urin total kelompok kontrol negatif adalah 2,13 ± 0,49 ml, furosemid 7,23
± 2,08, EnHPT 100 mg/kg bb 1,60 ± 1,53, EnHPT 200 mg/kg bb 1,88 ± 1,53,
EnHPT 400 mg/kg bb 2,55 ± 2,14 , EnHPT 800 mg/kg bb 6,75 ± 4,14.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, EnHPT dosis 100 , 200, 400 dan 800 mg/kg bb
menunjukkan efek diuretika terhadap volume urin. Dari keempat dosis, EnHPT
800 mg/kg bb mempunyai efek diuretika yang sama dengan furosemid (p > 0,05).
Efek diuretik EnHPT dosis 100 mg/kg bb lebih kecil bila dibandingkan dengan
dosis 200 mg/kg bb dan dosis 400 mg/kg bb namun volume urin total ketiga
kelompok tidak berbeda secara signifikan (p > 0,05) (+ ! #). Hal ini
menunjukkan bahwa peningkatan dosis pemberian EnHPT dapat meningkatkan
pengeluaran volume urin total tikus putih jantan.
+ ! # Efek EnHPT terhadap volume total urin pada tikus putih jantan
Peningkatan volume urin yang terjadi sesuai dengan prinsip diuretika yaitu obat yang dapat meningkatkan kecepatan pembentukan urin. Diuretika bermanfaat
75
dalam pengobatan berbagai penyakit yang berhubungan dengan retensi abnormal
garam dan air dalam kompartemen ekstraseluler akibat gagal jantung, sirosis hati,
gangguan ginjal atau akibat efek samping obat (Junior, 2012).
Efek diuresis suatu senyawa ditentukan berdasarkan volume urin dan
pengeluaran elektrolit. Elektrolit merupakan salah satu unsur yang memegang
peranan penting dalam pemeliharaan fungsi tubuh baik tingkat sel, jaringan,
organ, maupun fungsi tubuh secara keseluruhan. Natrium merupakan kation
utama dalam darah dan cairan ekstraseluler. Elektrolit natrium akan membantu
pengeluaran urin yang disebut efek diuresis (Ravishankar and Priya, 2012).
Kalium merupakan salah satu mineral makro yang berperan dalam pengaturan
keseimbangan cairan tubuh. Masukan natrium yang tinggi dapat meningkatkan
ekskresi kalium. Hubungan ini diperkirakan disebabkan sebagian oleh reabsorbsi
kalium secara pasif mengikuti natrium dan air pada tubulus proksimal dan
sepanjang lengkung Henle.
Kadar Natrium dan kaliun dalam urin diukur menggunakan alat SSA
(Spektrofotometer serapan atom). Berdasarkan hasil pengukuran kurva kalibrasi
natrium diperoleh persamaaan garis regresi yaitu Y = 0,1106 x – 0,0025 dengan
nilai r = 0,9993 ( ! ,). Pengukuran kurva kalibrasi kalium diperoleh
persamaaan garis regresi yaitu Y = 0,0009 x + 0,0009 dengan nilai r = 0,9998. Hal
ini menunjukkan adanya korelasi linier yang menyatakan adanya hubungan antara
X (konsentrasi) dan Y (absorbansi) ( ! -). Hasil pengukuran elektrolit
dalam urin tikus putih jantan setelah pemberian EnHPT menunjukkan
peningkatan kadar natrium dengan adanya peningkatan dosis namun kadar kalium
76
% Efek EnHPT terhadap kadar natrium dan kalium dalam urin tikus
No Perlakuan (n=4) Elektrolit (mEq/L) ±
+ ! % Efek EnHPT terhadap Kadar elektrolit pada urin tikus putih jantan
EnHPT 100, 200, 400 dan 800 mg/kg bb menunjukkan efek diuretika
terhadap kadar natrium dalam urin. Dari keempat dosis tersebut, EnHPT 800
mg/kg bb menunjukkan efek pengeluaran natrium yang paling baik. Hal ini sesuai
dengan volume urin total yang dikeluarkan oleh tikus selama 6 jam. Pemberian
EnHPT dosis 100, 200, 400 mg/kg bb mempunyai efek diuretika terhadap
77
furosemid (p > 0,05) ( ! .). Penelitian ini menunjukkan bahwa semakin
tinggi dosis ekstrak yang diberikan maka semakin tinggi pengeluaran volume urin
dan ekskresi natrium. Peningkatan pengeluaran natrium dalam urin
mengindikasikan adanya efek diuretik yang dihasilkan dari fraksi puguntano
EnHPT 200 mg/kg bb menyebabkan pengeluaran kalium yang paling tinggi
dibandingkan EnHPT 100, 400 dan 800 mg/kg bb namun lebih rendah
dibandingkan furosemid. Kadar kalium keempat ekstrak tidak berbeda dengan
kontrol (P > 0,05) tetapi berbeda secara signifikan dengan furosemid (P < 0,05).
Hal ini sesuai dengan sifat furosemid, yaitu diuretika kuat dengan pengeluaran
kalium yang tinggi sehingga dapat menyebabkan hipokalemia. Puguntano dosis
800 mg/kg bb menunjukan sifat diuretik yang baik karena dapat meningkatkan
volume urin dengan sedikit menyebabkan pengeluaran kalium.
Senyawa yang diduga berpengaruh pada aktivitas diuretika EnHPT adalah triterpenoid dan steroid. Salah satu senyawa triterpenoid yang terkandung dalam
puguntano adalah kukurbitasin. Kukurbitasin merupakan senyawa turunan
triterpenoid tetrasiklik yang memiliki rasa pahit dan beracun (Saboo, et.al., 2013).
Triterpenoid tetrasiklik memiliki struktur yang mirip dengan aldosteron dan
spironolokton (antagonis aldosteron). Mekanisme kerja senyawa ini menyebabkan
diuresis diduga akibat penghambatan reabsorpsi air dan anion di tubular (Pantoja
et.al, 1991). Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan
bahwa triterpenoid tetrasiklik dari berikatan dengan reseptor
aldosteron di sitoplasma ginjal secara in vitro sehingga menghambat kerja
aldosteron dan tidak mempengaruhi konsentrasi aldosteron dalam plasma tikus
78
triterpenoid tetrasiklik dalam EnHPT (kukurbitasin) memiliki efek antagonis
aldosteron.
Rerata volume urin tikus meningkat setiap jam setelah pemberian EEAPT .
Peningkatan volume urin EEAPT dosis 100,200, 400 dan 800 mg/kg bb tidak
berbeda dengan kontrol negatif (p>0,05) namun lebih rendah dibandingkan
furosemid (p< 0,05) (+ ! ".
+ ! Efek EEAPT terhadap volume urin setiap jam selama 6 jam
Rerata volume urin total kontrol negatif adalah 2,13 ± 0,49 ml, furosemid
7,23 ± 2,08, EEAPT 100 mg/kg bb 1,93 ± 0,26, EEAPT 200 mg/kg bb 2,68 ±
1,33, EEAPT 400 mg/kg bb 2,55 ± 0,50 , EEAPT 800 mg/kg bb 1,98 ± 0,43
(+ ! /). Rerata volume urin total EEAPT lebih rendah dibandingkan
kontol negatif dan furosemid.
79
Kadar natrium pada setiap kelompok uji menurun dengan adanya
peningkatan dosis EEAPT. Kadar natrium EEAPT 800 mg/kg bb berbeda
signifikan dengan kelompok kontrol negatif dan furosemid (P< 0,05). Kadar
kalium dosis 100, 200, 400 dan 800 mg/kg bb lebih rendah dibandingkan kontrol
negatif dan furosemid (P<0,05). Hal ini menujukkan bahwa EEAPT memiliki efek
diuretik yang lebih rendah dibandingkan furosemid ( 0 + ! 1"
Efek EEAPT terhadap kadar natrium dan kalium dalam urin tikus
80
Berdasarkan hasil skrining fitokimia, EEAPT mengandung flavonoid,
glikosida, saponin dan tannin. Senyawa polar meningkatkan sirkulasi ginjal dan
laju filtrasi glomerular sehingga meningkatkan pembentukan urin primer (Feng
et.al., 2013). Flavonoid juga dapat meningkatkan pengeluaran volume urin dan
elektrolit pada tikus dengan cara menghambat reabsorpsi Na+, K+ dan Cl' di
tubulus. Aktivitas antioksidan puguntano diduga berperan melindungi ginjal dari
kerusakan sehingga membantu mobilisasi kelebihan cairan (Thuan, et.al.2007).
Antioksidan telah terbukti secara ilmiah memiliki efek renoprotektif pada
sejumlah hewan percobaan dan diberikan kepada pasien hipertensi dengan
gangguan ginjal sebagai terapi adjuvan (Asif, et.al 2014). Selain itu, kandungan
flavonoid diduga memberikan efek diuretik dengan cara berikatan dengan
reseptor adenosin A1 (Yuliana, 2009).
Volume urin tikus meningkat setelah pemberian EEPT dan furosemid. EEPT
100, 200, 400 dan 800 mg/kg bb memiliki efek diuretik yang lebih rendah
dibandingkan dengan furosemid (P<0,05) namun tidak berbeda dengan kontrol
negatif (P>0,05) (+ ! ,".
81
Rerata volume urin kelompok kontrol negatif 2,13 ± 0,49 ml, Furosemid 7,23 ±
2,08, EEPT 100 mg/kg bb 1,28 ± 0,39 , EEPT 200 mg/kg bb 2,60 ± 1,53, EEPT
400 mg/kg bb 2,95 ± 2,32 , EEPT 800 mg/kg bb 3,1 ± 2,13. Berdasarkan hasil
yang diperoleh, EEPT dosis 100, 200, 400 dan 800 mg/kg bb menunjukkan efek
diuretik terhadap volume urin namun lebih rendah daripada furosemid (+ !
-).
+ ! - Efek EEPT terhadap volume total urin pada tikus putih jantan
Pengukuran kadar natrium dan kalium pada setiap kelompok uji setelah
pemberian EEPT dapat dilihat pada / + ! 2.
/ Efek EEPT terhadap kadar natrium dan kalium dalam urin tikus
No Perlakuan (n=4) Elektrolit (mEq/L) ±
82
+ ! 2Efek EEPT terhadap Kadar natrium dan kalium pada urin tikus putih
jantan
Berdasarkan skrining fitokimia, EEPT mengandung glikosida dan saponin.
Golongan glikosida yang terdapat dalam puguntano adalah kukurbitasin glikosida.
Senyawa'senyawa ini bekerja tunggal ataupun saling sinergis meningkatkan
volume urin dengan cara menstimulasi aliran darah sehingga terjadi vasodilatasi
atau dengan menghambat reabsorpsi air dan anion di tubular (Tthambi, 2013).
Penelitian ini juga memberikan hasil bahwa kadar natrium pada urin tikus lebih
besar dari kadar kalium sesuai dari fungsi diuretik yang merupakan senyawa yang
dapat meningkatkan pengeluaran ekskresi air dan garam'garam.
Aktivitas diuretik EnHPT, EEAPT dan EEPT dapat ditentukan menggunakan
indeks diuretika dan nilai Lipschtiz. Indeks diuretika suatu senyawa merupakan
hasil perbandingan volume urin kelompok uji terhadap volume urin kelompok
kontrol. Nilai Lipschtiz menunjukkan perbandingan volume urin kelompok uji
terhadap kontrol positif (furosemid). Hal ini bertujuan untuk mengetahui kekuatan
83
1Indeks diuretika dan Nilai Lipschtiz EnHPT, EEAPT dan EEPT
Perlakuan Vol Urin Total (mL) Indeks Diuretika Nilai Lipschtiz
Kontrol 2,13 ' '
EnHPT 800 mg memiliki indeks diuretika yang sama dengan furosemid. Hal
ini menunjukkan bahwa EnHPT memiliki aktivitas diuretika kuat. Aktivitas
diuretika suatu senyawa dinyatakan kuat jika memiliki indeks diuretika lebih
besar dari 1,5; sedang jika memiliki indeks diuretika 1 '1,5; lemah jika indeks
diuretika 0,72 – 1; dan tidak memiliki efek jika indeks diuretika kurang dari 0,72
(Asif, 2014). Berdasarkan hasil pengukuran indeks diuretika terlihat bahwa EEPT
100 mg tidak memiliki efek diuretika. Aktivitas diuretik EnHPT 100 mg, EnHPT
200 mg, EEAPT 100 mg dan EEAPT 800 mg lemah. Aktivitas diuretik sedang
ditunjukkan oleh EEAPT 200 mg, EEAPT 400 mg, EEPT 200 mg, EEPT 400 mg
dan EtPT 800 mg. Berdasarkan nilai lipschitz, EnHPT 800 mg/kg bb memiliki
84
diuretik kuat yang bekerja pada Ansa Henle bagian asenden dengan cara
menghambat simport natrium, kalium dan klorida (Dipiro, 2008).
/ ( '! ) * * (
& (
Pengujian efek toksik EnHPT, EEAPT dan EEPT dilakukan terhadap mencit
jantan berdasarkan pada tata cara uji toksisitas Badan Pengawasan Obat dan
Makanan (BPOM) (BPOM, 2001). Pada penelitian ini, dosis EnHPT, EEAPT dan
EEPT yaitu 2000 dan 5000 mg/kg BB. Pengamatan dilakukan selama 14 hari
terhadap gejala toksik yang terjadi secara kuantitatif, yaitu berdasarkan jumlah
kematian, konsumsi makanan, berat badan rata'rata, berat organ relatif,
makropatologi dan mikropatologi organ. Berdasarkan hasil uji toksisitas yang
dilakukan, tidak ada satu mencit pun yang mati setelah pemberian EnHPT,
EEAPT dan EEPT ( ,). Menurut Jenova (2009), jika dosis maksimal tidak
menimbulkan kematian hewan coba, maka LD50 dinyatakan LD50 ‘semu’ yaitu
5000 mg/kg BB.
Nilai LD50 bukan suatu tetapan biologi yang mutlak, melainkan hanya
merupakan salah satu petunjuk toksisitas akut. Bila toksisitas akutnya rendah
LD50 tidak perlu ditentukan secara tepat (Retnomurti, 2008). Dosis 5000 mg/kg
BB merupakan konversi dosis maksimal pada manusia ke mencit berdasarkan
ratio luas permukaan tubuh. Berdasarkan kesepakatan para ahli, bila pada dosis
maksimal tidak ada kematian pada hewan coba, maka jelas senyawa tersebut
termasuk dalam kriteria “praktis tidak toksik” (Jenova, 2009; Iwuanyanwu, et al.,
85
,Efek EnHPT, EEAPT dan EEPT terhadap Jumlah mencit yang mati
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan konsumsi
makanan pada mencit. Berdasarkan penelitian Smith dan Mangkoewidjojo (1988),
seekor mencit dewasa dapat mengkonsumsi makanan 3'5 g/hari sedangkan hasil
yang diperoleh yaitu untuk EnHPT 2,1 g/hari; EEPT 0,97 g/hari dan EEAPT 1,07
g/hari ( -) . Hasil konsumsi makanan dan minuman antar kelompok tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan. Penurunan konsumsi makanan pada
mencit diduga akibat kandungan dari ekstrak yaitu cucurbitasin yang
menyebabkan rasa pahit ketika mengkonsumsi tumbuhan ini.
- Efek EnHPT, EEAPT, EEPT terhadap rerata konsumsi makanan dan
Perlakuan Jumlah Mencit Jumlah Mencit yang Mati
86
Hasil rata'rata berat badan tiap kelompok setelah pemberian EnHPT, EEAPT
dan EEPT menunjukkan tidak terdapat perbedaan berat badan antara kelompok
kontrol dan perlakuan (p>0,05) ( 2).
2 Efek EnHPT, EEAPT, EEPT terhadap rerata berat badan tiap kelompok
Lama
tiap organ vital mencit kemudian dibandingkan dengan berat badan ( .).
Pada parameter rasio berat organ tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara
berat organ hati, ginjal, dan jantung dibanding kelompok kontrol dengan
perlakuan dengan nilai signifikansi 1,000 (p > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa
EnHPT, EEAPT dan EEPT tidak berpengaruh terhadap perbandingan berat organ
dengan berat badan.
. Efek EnHPT, EEAPT dan EEPT terhadap berat organ relatif
87
Perubahan warna organ menjadi salah satu parameter efek toksik pada organ
(Lu, 1994). Umumnya toksikan hanya mempengaruhi satu atau beberapa organ
saja. Hal ini terjadi akibat tinggi kadar bahan kimia dan metabolit di organ (Lu,
1994). Hati dan ginjal normal berwarna merah kecoklatan, permukaannya licin
dan konsistensinya kenyal. Kriteria abnormal hati dan ginjal terjadi jika
ditemukan perubahan warna, perubahan struktur permukaan dan perubahan
konsistensi (Anggraini, 2008).
Hasil pengamatan makroskopik, warna organ hati mencit tidak terjadi
perubahan, struktur permukaan hati terlihat licin dan konsistensi hati kenyal pada
semua kelompok. Hati terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagian
besar obat dan toksikan (Retnomurti, 2008). Zat makanan, sebagian besar obat'
obatan serta toksikan yang masuk melalui saluran cerna setelah diserap oleh epitel
usus akan dibawa oleh vena porta ke hati. Oleh sebab itu, hati menjadi organ yang
sangat potensial mengalami keracunan lebih dahulu sebelum organ lain (Santoso,
et al., 2006).
Hasil pengamatan mikroskopik menunjukkan bahwa kelompok kontrol
memiliki hepatosit tersusun secara radial dalam lobulus hati dan belum terlihat
adanya degenerasi hidrofik. Kelompok EnHPT, EEAPT dan EEPT 5000
mg/kgBB menunjukkan hepatosit mengalami degenerasi hidrofik dan nekrosis
(+ ! .). Degenerasi hidrofik terjadi akibat gangguan membran sel sehingga cairan masuk ke dalam sitoplasma dan menimbulkan vakuola'vakuola
kecil hingga besar karena adanya gangguan transport aktif sehingga sel tidak
mampu memompa ion Na+ keluar dan terjadi akumulasi. Nekrosis merupakan
88
stimulus yang bersifat patologis. Inti sel yang mati berbentuk lebih kecil, kromatin
dan serabut retikuler menjadi berlipat'lipat. Inti menjadi lebih padat (piknotik)
yang dapat hancur bersegmen'segmen (karioreksis) atau pecah (kariolisis)
(Underwood, 1994)
(a) Kontrol (b) EnHPT 5000 mg/kgBB
(c) EEAPT 5000 mg/kgBB d)EEPT 5000 mg/kgBB
+ ! . Efek EnHPT, EEAPT dan EEPT dosis 5000 mg/kgbb terhadap gambaran mikroskopik organ hati
Ginjal merupakan organ berbentuk seperti kacang berwarna merah kecoklatan
(Irianto, 2004). Hasil pengamatan makroskopis, tidak terjadi perubahan warna
pada organ ginjal mencit jika dibandingkan dengan kontrol, permukaan ginjal
tampak licin dan konsistensinya kenyal pada semua kelompok. Fungsi utama
ginjal adalah organ eliminasi, yaitu memusnahkan zat toksik tertentu. Beberapa
89
dalam kadar yang cukup tinggi untuk dikeluarkan bersama urin. Oleh karena
fungsi ginjal yang strategis, sehingga menjadikan ginjal sebagai sasaran utama
dari toksikan (Retnomurti, 2008).
Hasil mikroskopik ginjal menunjukkan bahwa EnHPT, EEAPT dan EEPT
5000 mg/KgBB menunjukkan adanya nekrosis akibat perubahan histopatologi
ginjal. Hal ini ditandai dengan berkurangnya penyerapan warna oleh ini dan
lepasnya sel tubulus ke dalam lumen (+ ! ) (Mayori, 2013).
(a) Kontrol (b) EnHPT 5000 mg/kgBB
(c) EEAPT 5000 mg/kgBB (d)EEPT 5000 mg/kgBB
+ ! Efek EnHPT, EEAPT dan EEPT dosis 5000 mg/kgbb terhadap
gambaran mikroskopik organ ginjal
Hasil pengamatan pada organ jantung mencit, tidak terjadi perubahan warna
90
tampak normal. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian EnHPT, EEAPT dan
EEPT tidak berpengaruh terhadap organ jantung. Jantung mudah dirusak oleh
berbagai jenis zat kimia karena merupakan salah satu organ sasaran. Zat kimia
bekerja secara langsung pada otot jantung atau secara tidak langsung melalui
susunan saraf atau pembuluh darah. Suatu toksikan dapat mempengaruhi salah
satu dari pembuluh darah dan akibat yang ditimbulkan tergantung dari seberapa
penting organ yang disuplai darah oleh pembuluh darah yang terkena
(Retnomurti, 2008).
(a) Kontrol (b) EnHPT 5000 mg/kgBB
(c) EEAPT 5000 mg/kgBB (d)EEPT 5000 mg/kgBB
+ ! # Efek EnHPT, EEAPT dan EEPT dosis 5000 mg/kgbb terhadap gambaran mikroskopik organ jantung
Hasil mikroskopik jantung menunjukkan terjadinya piknosis pada miosit,
91
metilprednisolon serta model tikus hipertensi yang diinduksi L'Name.
1 ! ! (! (
Hasil uji EnHPT, EEAPT dan EEPT terhadap penurunan tekanan darah pada
tikus normotensi diperoleh berdasarkan parameter TDS, TDD, DJ, dan TAR.
Tekanan darah merupakan tekanan yang dialami darah terhadap pembuluh arteri
darah ketika darah dipompakan oleh jantung ke seluruh tubuh. Tekanan darah
dibagi dua, yaitu TDS dan TDD. TDS adalah tekanan maksimum pada arteri
ketika darah dipompa dari ventrikel menuju ke arteri sedangkan TDD adalah
tekanan darah minimum pada arteri ketika ventrikel mengalami fase diastolik
(relaksasi) dimana tidak ada darah yang dipompa dari ventrikel ke arteri.
Efek EnHPT, EEAPT dan EEPT terhadap!erata TDS (mmHg) tikus
normotensi hari ke'0, 7, dan 14
92
Keterangan: Mean±SEM, n=4
* Berbeda secara signifikan terhadap TDS hari ke 0
+ ! % Efek EnHPT, EEAPT dan EEPT terhadap perubahan TDS (mmHg)
tikus normotensi (Mean±SEM, n=4)
TDS rerata awal tikus yang digunakan dalam penelitian ini adalah 132,46
±1,22 mmHg. Pemberian EnHPT, EEAPT dan EEPT dilakukan setiap hari
selama 14 hari. Pengukuran TDS dilakukan pada hari ke 7 dan 14 setelah
pemberian ekstrak ( 0 + ! %).
Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa EnHPT dan EEAPT
menurunkan TDS tikus normotensi setelah pemberian selama 7 dan 14 hari
(p<0,05) sedangkan EEPT tidak menurunkan TDS (P>0,05). Pemberian CMC'Na
pada tikus normotensi tidak menyebabkan penurunan TDS. Hal ini menunjukkan
bahwa CMC'Na (pelarut) tidak mempengaruhi TDS. TDS tikus normotensi yang
diberi EEPT 400 dan 800 mg/kgBB selama 7 hari tidak berbeda dengan TDS hari
ke 0. Pemberian EEPT 400 mg/kgBB selama 14 tidak menurunkan TDS
sedangkan EEPT 800 mampu menurunkan TDS (P<0,05). TDS tikus normotensi
93
TDS hari ke 0 (P<0,05) tetapi TDS hari ke 7 tidak berbeda dengan hari ke 14 . Hal
ini menunjukkan bahwa EEAPT dan EnHPT dapat menurunkan TDS setelah
pemberian ekstrak selama 7 hari.
Persentase penurunan TDS yang paling besar ditunjukkan oleh EEAPT 400
mg/kgBB dibandingkan dengan kontrol dan kelompok perlakuan lainnya
(p<0,05). Kelompok EEAPT 400 mg/kgBB menurunkan TDS sebesar 11,23%
pada hari ke 7 dan 11,39% pada hari ke 14 (+ ! ".
+ ! Grafik persentase perubahan TDS (%) tikus normotensi
Keterangan: (Mean±SEM, n=4); * berbeda secara signifikan terhadap kontrol
TDD awal tikus yang diperoleh yaitu 96,32 ± 1,49 mmHg. Data standar TDD
tikus wistar normal belum ditemukan namun menurut Siska, et al., (2011), TDD
normal adalah 119 mmHg dan menurut Iranloye, et al., (2011), TDD normal
berkisar antar 96 ± 4,08 mmHg. Hasil rerata pengukuran TDD tikus normotensi
setelah pemberian EnHPT, EEAPT dan EEPT selama 7 dan 14 hari dapat dilihat
94
# Efek EnHPT, EEAPT dan EEPT terhadap!erata TDD (mmHg) tikus
normotensi hari ke'0, 7, dan 14
No Kelompok (n=4) Dosis (mg/KgBB) TDS (mmHg) ±SEM pada hari ke
0 7 14
1 Kontrol ' 99,5±2,10 97,25±2,69 96,00±3,34
2 EEPT 400 99,25±5,27 87,50±2,06 100,25±3,19
3 EEPT 800 103,75±2,46 92,75±4,89 91,75±4,48*
4 EEAPT 400 87,25±1,31 93,50±1,19* 93,50±1,19*
5 EEAPT 800 91,50±4,09 87,50±2,18 87,00±1,87
6 EnHPT 400 93,00±3,72 85,50±2,72* 87,25±3,12*
7 EnHPT 800 100,00±1,08 93,75±1,44* 94,00±2,48
Keterangan : * Berbeda secara signifikan terhadap hari ke 0
+ ! / Efek EnHPT, EEAPT dan EEPT terhadap perubahan TDD (mmHg)
tikus normotensi (Mean±SEM, n=4)
Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa EEPT 400 mg/kg BB tidak
menurunkan TDD setelah 7 dan 14 hari pemberian. Pemberian EEPT 800 mg/kg
BB mampu menurunan TDD setelah 14 hari (P < 0,05). EEAPT 400 mg/kg BB
menyebabkan penurunan TDD secara signifikan setelah pemberian selama 7 dan
14 hari, EEAPT 800 mg/kg BB tidak mempengaruhi TDD selama 14 hari. EnHPT
400 dan 800 mg/kg bb menyebabkan penurunan TDD secara signifikan selama 7
95
Data persentase penurunan TDD menunjukkan tidak adanya perbedaan yang
signifikan (p > 0,05) antar kelompok perlakuan pada hari ke'7 dan ke'14
dibandingkan kontrol tetapi terjadi perbedaan antar kelompok pelakuan. Pada
penelitian ini terdapat perbedaan persen penurunan TDD antara EEAPT 400
mg/kg bb dengan EnHPT 400, EEPT 400 dan EEPT 800 mg/kg bb pada hari ke 7
sedangkan pada hari ke 14, terjadi perbedaan antara EEAPT 400 dengan EEPT
800 mg/kg bb. Persen penurunan TDD terbesar ditunjukkan oleh EEPT 400
(11,02%) pada hari ke 7 dan EEPT 800 (11,61%) pada hari ke 14. (+ !
1).
+ ! 1Grafik persentase perubahan TDD (%) tikus normotensi
Rerata DJ tikus sebelum perlakuan berbeda signifikan (p<0,05) antar
kelompok. Hal ini diduga terjadi karena kondisi pengukuran. Prinsip kerja NIBP
mengukur DJ berdasarkan sensitivitas sensor yang melekat pada vena ekor tikus.
Jika ekor sering bergerak, maka akan berpengaruh pada pengukuran DJ.
Pemberian EnHPT, EEAPT dan EEPT dosis 400 dan 800 mg/kgbb tidak
memberikan penurunan DJ yang signifikan pada tikus normotensi. Analisis
statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan DJ (p > 0,05) pada
96
% Efek EnHPT, EEAPT dan EEPT terhadap!erata DJ (BPM) tikus
normotensi hari ke'0, 7, dan 14
No Kelompok (n=4) Dosis (mg/KgBB) DJ (BPM) ±SEM pada hari ke
0 7 14
1 Kontrol ' 322,25±10,08 309,75±24,42 320,25±17,29
2 EEPT 400 209,50±20,98 174,50±6,61 289,00±21,78#
3 EEPT 800 328,00±5,76 285,25±25,16 292,75±23,94
4 EEAPT 400 259,75±41,05 147,75±17,53 176,00±9,01
5 EEAPT 800 188,25±5,12 172,50±8,85 178,25±3,94
6 EnHPT 400 192,00±4,38 204,75±11,28 200,75±7,88
7 EnHPT 800 209,25±7,71 210,00±8,07 210,25±6,76
+ ! , Efek EnHPT, EEAPT dan EEPT terhadap perubahan DJ (BPM) tikus normotensi
Berdasarkan Tabel 4.14 nampak bahwa EnHPT, EEAPT, dan EEPT tidak
menyebabkan penurunan DJ yang signifikan dibandingkan DJ sebelum perlakuan
(P>0,05), dengan demikian pemberian EnHPT, EEAPT, dan EEPT dosis 400 dan
800 mg/kg BB tidak mempengaruhi DJ. Persentase penurunan DJ menunjukkan
perbedaan yang signifikan (p > 0,05) antar kelompok perlakuan pada hari ke'7
dan ke'14. Kelompok EnHPT 400 mg/kgBB menunjukkan perbedaan yang
signifikan dibandingkan EEAPT 400 mg/kgBB pada hari ke 7, sedangkan EEPT
97
normotensi setalah pemberian 7 dan 14 hari ( + ! 2".
Efek EnHPT, EEAPT dan EEPT terhadap!erata TAR (mmHg) tikus
normotensi hari ke'0, 7, dan 14
98
+ ! 2Efek EnHPT, EEAPT dan EEPT terhadap perubahan TAR
(mmHg) tikus normotensi
Persen penurunan TAR menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan
antara kontrol dengan kelompok perlakuan maupun antar kelompok perlakuan
(+ ! #.)