• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manajemen Cairan dan Status Nutrisi dengan Kualitas Hidup Pasien Hemodialisa di RSUD DR. Pirngadi Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Manajemen Cairan dan Status Nutrisi dengan Kualitas Hidup Pasien Hemodialisa di RSUD DR. Pirngadi Medan"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hemodialisa

2.1.1 Definisi

Hemodialisa adalah suatu proses terapi pengganti ginjal dengan menggunakan selaput membran semi permeabel (dialiser), yang berfungsi seperti nefron sehingga dapat mengeluarkan produk sisa metabolisme dan mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien gagal ginjal kronis (Black & Hawk, 2009; Ignatavicius, 2009).

Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialysis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir atau end renal disease (ESRD) yang memerlukan terapi jangka panjang atau permanen. Tujuan hemodialisa adalah untuk mengeluarkan zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan (Suharyanto dan Madjid, 2009).

(2)

2.1.2 Indikasi

Hemodialisa diindikasikan pada klien dalam keadaan akut yang memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal kronis yang membutuhkan terapi jangka panjang/permanen. Secara umum indikasi dilakukan hemodialisis pada gagal ginjal kronis adalah LFG kurang dari 15 ml/menit, hiperkalemia, asidodisis, kegagalan terapi konservatif, kadar ureum lebih dari 200 mg/dl dan kreatinin lebih dari 6 mEq/L, kelebihan cairan; dan anuria berkepanjangan lebih dari 5 hari (Smeltzer et al., 2010).

2.1.3 Prinsip dasar hemodialisa

Ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisa, yaitu difusi, osmosis dan ultrafiltrasi. Saat proses difusi sisa akhir metabolisme di dalam darah dikeluarkan dengan cara berpindah dari darah yang konsentrasinya tinggi ke dialisat yang mempunyai konsentrasi rendah (Smeltzer et al., 2010). Ureum, kreatinin, asam urat dan fosfat dapat berdifusi dengan mudah dari darah kecairan dialisat karena unsur-unsur ini tidak terdapat dalam dialisat. Natrium asetat atau bicarbonat yang lebih konsentrasinya dalam dialisat akan berdifusi ke dalam darah. Kecepatan difusi solut tergantung kepada koefisien difusi, luas permukaan membran dialiser dan perbedaan konsentrasi serta perbedaan tekanan hidrostatik diantara membran dialisis (Price & Wilson, 2006).

(3)

tinggi (tubuh klien) ke tekanan yang lebih rendah (dialisat). Gradien ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif yang dikenal dengan ultrafiltrasi pada mesin hemodialisa. Tekanan negatif sebagai kekuatan penghisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air, sehingga tercapai keseimbangan cairan.

2.1.4 Komplikasi klien hemodialisa

Terapi hemodialisa yang dilakukan dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan kelelahan fisik dan mental. Gangguan fisik yang sering dikeluhkan pasien yang menjalani terapi hemodialisa adalah kelelahan, tidak tahan cuaca dingin, pruritus, kelemahan ekstremitas bawah, dan kesulitan tidur Yong, Kwok, Wong, 2009). Sementara gangguan psikologis yang sering dialami pasien adalah depresi sekitar 20 – 30 % terjadi pada pasien dialisis. Depresi dan kecemasan hal yang paling umum dirasakan oleh pasien dialisis hal ini dikarenakan gejala uremia seperti kelelahan, gangguan tidur, menurunnya nafsu makan dan gangguan kognitif.

(4)

Secara garis besar komplikasi yang terjadi pada pasien hemodialisa dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu komplikasi yang berhubungan dengan prosedur dialisis dan komplikasi yang berhubungan dengan penyakit ginjal kronis (Lewis et. al., 2011).

Komplikasi intradialisis yang berhubungan dengan prosedur dialisis adalah :

a. Hipotensi

Hipotensi saat hemodialisa (interdialytic hypotension) merupakan masalah yang sering terjadi. Hipotensi intradialisis terjadi pada klien yang mengalami gangguan sistem kardiovaskuler, yang disebabkan oleh kelainan struktur jantung dan pembuluh darah. Hipotensi tidak hanya menyebabkan ketidaknyamanan, tetapi juga meningkatkan angka kematian. Pencegahan hipotensi intradialisis dengan cara melakukan pengkajian berat kering secara teratur,menghitung UFR secara tepat, mengatur suhu dialisat, menggunakan dialisat bikarbonat, monitoring tekanan darah selama proses hemodialisis (Kallenbach et al., 2005; Thomas, 2003; Daugirdas, Blake & Ing, 2007).

b. Headache (sakit kepala)

(5)

c. Mual dan muntah

Mual dan muntah saat hemodialisis dapat dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu gangguan keseimbangan dialisis akibat ultrafiltrasi yang berlebihan, lamanya waktu hemodialisis, perubahan homeostasis, dan besarnya ultrafiltrasi. (Thomas, 2003; Daugirdas, Blake & Ing, 2007; Holley et al, 2007).

d. Sindrom disequilibrium

Sindrom Disequilibrium merupakan sekelompok gejala yang diduga terjadi karena adanya disfungsi serebral. Kumpulan gejala disfungsi serebral terdiri dari sakit kepala berat, mual, muntah, kejang, penurunan kesadaran sampai dengan koma. Sindrom disequilibrium saat hemodialisis terjadi akibat kondisi yang meningkatkan edema serebral, adanya lesi pusat saraf (stroke/trauma), tingginya kadar ureum pra HD, dan asidosis metabolik berat. Proses penarikan ureum yang terlalu cepat pada saat hemodialisis mengakibatkan plasma darah menjadi hipotonik. Akibatnya akan menurunkan tekanan osmotik, mengakibatkan pergeseran air kedalam sel otak sehingga terjadi edema serebral (Thomas, 2003 : Lopezalmaras, 2008).

e. Demam dan menggigil

(6)

f. Kram otot

Intradialytic muscle cramping, biasa terjadi pada ekstremitas bawah. Beberapa faktor resiko terjadinya kram diantaranya perubahan osmolaritas, ultrafiltrasi yang terlalu tinggi dan ketidakseimbangan kalium dan kalsium intra atau ekstra sel (Thomas, 2003; Kallenbach et al, 2005).

g.

Emboli udara

Udara dapat memasuki sirkulasi melalui selang darah yang rusak, kesalahan menyambung sirkuit, adanya lubang pada kontainer cairan intravena, kantong darah atau cairan normal salin yang kosong, atau perubahan letak jarum arteri (Kallenbach et al 2005). Gejala yang berhubungan dengan terjadinya emboli udara adalah adanya sesak nafas, nafas pendek dan kemungkinan adanya nyeri dada (Daugirdas, Blake & Ing, 2007).

h.

Hemolisis

(7)

i.

Nyeri dada

Terjadi akibat penurunan hematokrit dan perubahan volume darah karena penarikan cairan dan perubahan volume darah menyebabkan terjadinya penurunan aliran darah ke miokard dan mengakibatkan berkurangnya oksigen miokard. Nyeri dada juga bisa menyertai komplikasi emboli udara dan hemolisis (Thomas, 2003 ; Kallenbach et al, 2005)

.

Komplikasi yang berhubungan dengan penyakit ginjal kronis adalah : a. Penyakit Jantung

Penyakit jantung merupakan penyebab utama kematian pada pasien yang menjalani hemodialisis. Penyakit jantung disebabkan karena gangguan fungsi dan struktur otot jantung, dan atau gangguan perfusi. Faktor risiko penyakit jantung yaitu : faktor hemodinamik, metabolik seperti kelebihan cairan, garam dan retensi air, anemia, hipertensi, hipoalbuminemia, ketidakseimbangan kalsium-fosfat, dislipidemia, kerusakan katabolisme asam amino, merokok dan diabetes mellitus (Parfrey & Lameire, 2000).

b. Anemia

(8)

c. Mual dan lelah

Ada beberapa faktor yang menyebabkan klien merasa mual dan kelelahan (letargi) setelah menjalani HD. Beberapa penyebab timbulnya mual dan rasa lelah setelah HD yaitu : Hipotensi, kelebihan asupan cairan diantara dua terapi hemodialisis, problem terkait berat kering, obat hipertensi, anemia, penggunaan asetat pada hemodialisis

.

d. Malnutrisi

Malnutrisi terjadi khususnya kekurangan kalori dan protein, hal ini berhubungan dengan mortalitas dan morbiditas pada klien HD kronik. Faktor penyebab terjadinya malnutrisi adalah karena meningkatnya kebutuhan protein dan energi, menurunnya pemasukan protein dan kalori, meningkatnya katabolisme dan menurunnya anabolisme. Juga disebabkan oleh metabolisme yang abnormal akibat hilangnya jaringan ginjal dan fungsi ginjal (Charuwanno, 2005).

e. Gangguan kulit

(9)

uremic frost yaitu semacam serbuk putih seperti lapisan garam pada permukaan kulit dimana hal ini merupakan tumpukan ureum yang keluar bersama keringat (Thomas, 2003; Black & Hawk, 2009).

2.1.5 Penatalaksanaan pasien yang menjalani hemodialisa

Hemodialisa merupakan hal yang sangat membantu pasien sebagai upaya memperpanjang usia penderita. Hemodialisa tidak dapat menyembuhkan penyakit ginjal yang diderita pasien tetapi hemodialisa dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan pasien yang gagal ginjal. Pasien hemodialisa harus mendapat asupan makanan yang cukup agar tetap dalam gizi yang baik. Gizi kurang merupakan prediktor yang penting untuk terjadinya kematian pada pasien hemodialisa. Asupan protein diharapkan 1-1,2gr/KgBB/hari dengan 50% terdiri atas asupan protein dengan nilai biologis tinggi. Asupan kalium diberikan 40 – 70 mEq/hari. Pembatasan kalium sangat diperlukan, karena itu makanan tinggi kalium seperti buah-buahan dan umbi-umbian tidak dianjurkan untuk dikonsumsi (Wijayakusuma, 2008).

(10)

2.2 Manajemen Cairan Pasien Hemodialisa

2.2.1 Definisi

Manajemen cairan adalah intervensi untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh yaitu menghitung masukan dan haluaran cairan. Manajemen cairan juga dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi akibat dari jumlah cairan yang berlebihan (ignatavicius, 2010). Bila manajemen cairan buruk dapat menyebabkan penambahan berat badan interdialitik sehingga mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskuler. Penambahan berat badan interdialitik digunakan untuk mengevaluasi bagaimana pasien mengelola asupan cairannya yang dihitung dalam kilogram atau persentase (Cristovao, 2015). Menurut Richard (2006), pasien yang mengalami gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa perlu memperhatikan asupan cairan karena harus dibatasi dan pembatasan cairan ini merupakan isu utama untuk pasien tersebut. Pembatasan tersebut penting agar pasien tetap merasa nyaman pada saat sebelum, selama dan sesudah terapi hemodialisa (Smeltzer et. al.,2010).

2.2.2 Penyebab peningkatan asupan cairan

(11)

1. Meningkatnya asupan garam (sodium)

Sodium adalah salah satu dari tiga elektrolit yang mengontrol bagian cairan masuk dan keluar dari sel. Sodium juga penting untuk pengaturan tekanan darah dan volume, transmisi saraf, kontraksi otot dan keasaman darah dan cairan tubuh. Namun, kadar sodium tinggi berkontribusi hipertensi, edema, gagal jantung, edema paru dan kerusakan lebih lanjut untuk fungsi ginjal. Asupan sodium juga memicu mekanisme haus dan jika mengkonsumsinya terlalu banyak cenderung akan meningkatkan asupan cairan.

Respon normal seseorang terhadap haus adalah minum. Sesuai dengan penelitian Mistiaen (2001), menemukan bahwa salah satu alasan pasien ketika terdapat kenaikan berat badan diantara dua waktu dialisis adalah karena adanya rasa haus yang berlebihan, meski pasien dalam keadaan kelebihan cairan, yang dapat mengakibatkan kenaikan cairan berlebihan secara kronis. Asupan cairan membutuhkan regulasi yang berhati-hati dalam gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa, karena rasa haus pasien merupakan panduan yang tidak dapat diyakini mengenai keadaan hidrasi pasien (Price & Wilson, 2006).

(12)

dengan menggunakan botol berukuran 300 cc, membatasi minum dengan menggunakan botol berukuran 600 cc, mengurangi intake cairan dengan sayur berkuah dan menurunkan suhu tubuh dengan mandi atau berkumur.

2. Kadar gula darah yang tidak terkontrol

Glukosa merupakan sumber energi penting dalam tubuh dan merupakan satu-satunya sumber energi bagi otak. Hal ini disimpan dalam tubuh dalam bentuk glikogen. Konsentrasi glukosa yang tetap dalam darah dipertahankan sekitar 5 mmol / l oleh berbagai hormon termasuk insulin. Jika tingkat glukosa darah meningkat di atas normal 10 mmol/l, akan terjadi hiperglikemia yang merupakan gejala dari diabetes.

Kadar glukosa yang tinggi dalam darah menyebabkan rasa haus, sehingga kebutuhan yang lebih besar untuk asupan cairan. Hal ini penting mengontrol glukosa pada pasien dialisis untuk memastikan bahwa asupan cairan yang berlebihan tidak terjadi karena kadar glukosa yang tinggi dalam darah. Pasien diabetes perlu mengontrol asupan glukosa karena dapat menyebabkan rasa haus yang berlebihan selanjutnya terjadi kelebihan cairan.

3. Asupan cairan yang bebas

(13)

menjelaskan bahwa asupan cairan yang dilakukan memang terbatas kurang lebih 500 – 600 ml dalam sehari.

Berat badan dibawah berat badan ideal akan muncul gejala dehidrasi dan atau depresi volume, misalnya hipotensi, kram, hipotensi pustural, dan pusing. Menurut Potter & Perry (2006) seseorang yang mengalami kelebihan cairan dapat menimbulkan berbagai permasalahan : menimbulkan peningkatan frekuensi napas, napas dangkal, dypnoe, crakckles, mual dan kembung, sakit kepala, pusing, kelemahan otot, bisa terjadi letargi, bingung dan edema perifer. Penelitian Farida (2010) melaporkan beberapa partisipan mengalami gangguan pola napas akibat kelebihan cairan dan adanya asites.

(14)

paling berkontribusi pada terjadinya penambahan berat badan antara dua waktu dialisis adalah masukan cairan.

Data menunjukkan bahwa pasien dengan gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa mengalami keputusasaan sehingga mereka berpotensi tidak mematuhi terapi, salah satunya pembatasan asupan cairan yang mengakibatkan kenaikan berat badan diantara dua waktu dialisis (Feroze, Martin, Reina & Zadeh, 2010).

Menurut penelitian John (2012) banyak pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa mengalami kesulitan memenuhi pembatasan cairan dan diet untuk itu pasien-pasien ini memerlukan perubahan yang utama yaitu gaya hidup untuk dapat beradaptasi. Penelitian tersebut juga melaporkan bahwa semakin tinggi self efficacy yang dilaporkan responden maka semakin tinggi kepatuhan terhadap pembatasan cairan dan diet yang diperlukan responden.

(15)

garam dimeja secara signifikan berkorelasi dengan rendahnya penambahan berat badan interdialisis. Sebaliknya langkah dengan minum cairan dingin dan pembatasan cairan dengan gejala berkorelasi dengan tingginya penambahan berat badan interdialisis.

2.2.3 Komplikasi kelebihan cairan

Jika pasien mengkonsumsi terlalu banyak cairan, mungkin akan mengalami komplikasi seperti peningkatan tekanan darah, edema terutama ekstremitas bawah, sesak napas, takikardia, gagal jantung kongestif, hipertrofi ventrikel kanan bahkan dapat mendadak hipotensi saat dialisis.

Tingginya kadar asupan cairan dapat disebabkan oleh sejumlah faktor termasuk diet tinggi garam tinggi dan kadar glukosa darah yang tidak terkontrol. peningkatan asupan cairan ini bisa menyebabkan pasien mengalami kelebihan cairan sehingga meningkatkan beban kerja jantung dan selanjutnya dapat mengakibatkan hipertrofi ventrikel kiri (Mcintyre Natasha, Green & Christophar). 2.2.4 Cara mengukur manajemen cairan pada pasien hemodialisa

(16)

perawatan dialisis. Sebagian besar pasien, berat badan antara dua dialisis (intradialytic berat badan) sebaiknya tidak lebih dari 1-2 kg.

Untuk menilai manajemen cairan pasien hemodialisa pada penelitian ini menggunakan kuesioner yang dimodifikasi dari Cristovao (2015) yang berisikan langkah-langkah atau strategi pasien hemodialisa untuk memanajemen pembatasan cairan yang dilakukannya. Hasil pengisian kuisioner akan didapatkan strategi atau langkah-langkah yang sering dilakukan pasien hemodialisa dalam memanajemen pembatasan cairannya. Hasil pengukuran kuisioner manajemen cairan menggunakan skala likert dengan rentang nilai dimulai dari 43-129, dimana 43 menunjukkan nilai manajemen cairan terendah dan nilai 129 menggambarkan manajemen cairan terbaik.

2.3 Status Nutrisi Pasien Hemodialisa

2.3.1 Definisi

Nutrisi dapat didefinisikan sebagai jumlah keseluruhan proses yang terlibat dengan asupan dan penggunaan bahan-bahan makanan. Status nutrisi (status gizi) adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Dibedakan antara status gizi buruk, kurang, baik dan lebih (Almatsier, 2009).

(17)

pasien dan bekerja sebagai racun atau toksin. Dengan penggunaan hemodialisa yang efektif, asupan makanan pasien dapat diperbaiki meskipun biasanya memerlukan beberapa penyesuaian atau pembatasan pada asupan protein, natrium, kalium dan cairan (Smeltzer et. al., 2010).

Rayner & Imai (2010) mengemukakan pasien hemodialisa rentan terhadap kekurangan gizi disebabkan oleh katabolisme protein, nafsu makan kurang dan

ketidakdisiplinan menjalankan diet selain infeksi dan komorbid. Menurut Zadeh, et al., (2001) pasien gagal ginjal kronis yang menjalani

hemodialisis reguler sering mengalami malnutrisi, inflamasi dan penurunan kualitas hidup sehingga memiliki morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi dibanding populasi normal. Diperkirakan 50%-70% pasien dialisis menunjukkan tanda dan gejala malnutrisi (Wingard,et al., 2009; Nerscomite, 2010).

(18)

Malnutrisi energi protein adalah komplikasi malnutrisi tersering pada pasien hemodialisis (Galland et al., 2001). Mereka mengalami penurunan berat badan, kehilangan simpanan energi termasuk jaringan lemak dan protein tubuh juga albumin serum, transferin dan protein viseral lainnya (Stenvinkel P.,2000).

Gambaran keadaan gizi klien gagal ginjal kronis di Unit Hemodialisa RSCM pada tahun 1999 dari 73 pasien dijumpai keadaan gizi kurang berkisar 34–49 %, sedangkan pada pasien peritonial dialisis pada tahun 1996, gizi kurang di RSCM dijumpai 31 % dari 16 pasien. Sedangkan dari hasil penelitian yang dilakukan Sulistyowati (2009) terhadap 26 pasien hemodialisa di RSUP Dr. Kariadi Semarang diperoleh hasil sebanyak 69,2 % pasien beresiko mengalami gizi kurang.

Salah satu faktor gizi kurang yaitu nafsu makan kurang, berimplikasi pada rendahnya konsumsi makanan dimana pasien justru membutuhkan asupan energi terutama protein yang cukup untuk menggantikan zat gizi yang hilang pada proses hemodialisa. Hasil penelitian Khairunnisa (2012), menunjukkan bahwa nafsu makan kurang dialami oleh 45% pasien hemodialisa di RSPAD Gatot Soebroto. Responden pada umunya memiliki perawatan tubuh sedang atau cenderung kurus. Penurunan berat badan banyak dialami responden yang mengaku nafsu makannya kurang.

(19)

diet gagal ginjal dengan hemodialisis itu sendiri (Instalasi Gizi RSCM & Asosiasi Dietisien Indonesia, 2008).

Penelitian Kim & Evangelista (2010), melaporkan dua pertiga (68,2%) responden melaporkan ketaatan terhadap pembatasan diet, namun lebih dari setengah (57,6 %) respondennya memiliki kesulitan mengikuti pembatasan diet yang telah dianjurkan. Alasan utama yang mereka kemukakan terhadap ketidakpatuhan mereka terhadap diet adalah ketidakmampuannya untuk melawan makanan favorit mereka (56,3%). Penelitian Arova (2013), partisipan menyebutkan alasan mereka atas ketidakpatuhan mereka terhadap diet karena harus menjaga Hb agar tetap stabil. Menurut penelitian John (2012), melaporkan bahwa bagi pasien gagal ginjal kronis yang merasa memiliki energi yang lebih baik maka tingkat kepatuhan terhadap pembatasan diet juga baik.

(20)

2.3.2 Mengelola nutrisi/diet (diet management)

Pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa sering terjadi mual, muntah, anoreksia dan gangguan lain yang menyebabkan asupan gizi tidak adekuat/tidak mencukupi.

a. Diet rendah kalium (potassium) dan natrium (sodium).

Natrium banyak terkandung dalam garam dapur (natrium klorida) sedangkan kalium banyak pada buah dan sayur. Bagi penderita gagal ginjal harus menghindari makanan yang mengandung natrium tinggi. Kadar normal natrium dalam darah yaitu 135-145 mEq/L sedangkan jumlah konsumsi natrium : 2,5 gr/hari. Kadar normal kalium dalam darah yaitu 3,5-5 mEq/L sedangkan jumlah konsumsi kalium: 1,6-2,8 gr/hari (NKF-K/DOQI, 2000). Kalium adalah mineral dalam makanan yang memiliki peran penting dalam aktivitas otot polos (terutama otot jantung) dan sel saraf. Ginjal normal akan membuang kelebihan kalium, namun pada pasien kemampuan tersebut menurun sehingga dapat terjadi akumulasi/penimbunan kalium dalam darah. Konsentrasi kalium yang tinggi lebih berbahaya daripada konsentrasi kalium yang rendah. Kadar kalium yang sangat tinggi akan membuat otot jantung melemah, mengganggu irama jantung dan dapat menyebabkan kematian.

b. Fosfor dan kalsium

(21)

gatal-gatal, tulang nyeri dan mata merah. Kadar normal phospor dalam darah yaitu 3,0-5,5 mEq/L sedangkan jumlah konsumsi phospor: 0,8-1,2 gr/hari. Kadar normal kalsium dalam darah yaitu 8,5-10,5 mEq/L sedangkan jumlah konsumsi kalsium: 1,5 gr/hari (NKF-K/DOQI, 2000).

c. Protein

Protein dibutuhkan untuk membangun jaringan tubuh sepertinya tulang, otot, kulit dan rambut. Protein juga membantu tubuh melawan infeksi, menjaga kadar albumin darah tetap stabil, mempertahankan keseimbangan nitrogen dan mengganti asam amino yang hilang saat dialisis. Kebutuhan Asupan protein yang dianjurkan adalah 1-1,2 g/KgBB/hari (NKF-K/DOQI, 2000).

d. Kalori

Kebutuhan kalori (energi) sekitar 30-35 kkal/KgBB/hari (NKF-K/DOQI, 2000). Asupan energi yang adekuat bertujuan agar protein tidak dipecah menjadi sumber energi.

2.3.3 Cara menilai status nutrisi pasien hemodialisa

Status nutrisi adalah fenomena multidimensional yang memerlukan beberapa metode dalam penilaian, termasuk indikator-indikator yang berhubungan dengan nutrisi, asupan nutrisi dan pemakaian energy, seperti Body Mass Index (BMI), serum albumin, prealbumin, hemoglobin, magnesium dan fosfor (Wiryana, 2007).

(22)

populasi atau individu yang memiliki risiko status nutrisi kurang maupun gizi lebih (Hartriyanti dan Triyanti, 2007).

Pengukuran status nutrisi di definisikan oleh American Society of Enteral and Parenteral Nutrition sebagai “evaluasi komprehensif untuk mendefinisikan status nutrisi, termasuk riwayat medis, riwayat diet, pemeriksaan fisik, pengukuran-pengukuran antropometri dan data-data laboratorium”.

Pengukuran berat badan dan tinggi badan dimaksudkan untuk mendapatkan data status nutrisi. Indeks massa tubuh (IMT) merupakan cara alternatif untuk menentukan kesesuaian rasio berat : tinggi seorang individu. IMT mungkin lebih obyektif dalam keadaan obesitas, tetapi tidak dapat membedakan antara berat berlebih yang diproduksi oleh jaringan adiposa, muskularitas, atau edema (Balitbangkes, 2010, Supariasa dkk, 2002).

Berat badan yang diukur pada pasien hemodialisa adalah berat badan kering atau berat badan sesudah hemodialisa. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari adanya kerancuan pengukuran akibat cairan yang terakumulasi saat predialisis. Tinggi badan umumnya diukur dalam posisi berdiri. Untuk mengetahui nilai IMT dapat dihitung dengan rumus :

IMT = Berat Badan (Kg) Tinggi Badan (M2)

(23)

Penilaian status nutrisi pada penelitian ini menggunakan metode mengingat kembali (Food Recall) 24 jam. Food Recall 24-h diselesaikan melalui wawancara. Pewawancara harus memeriksa deskripsi lebih spesifik dari semua makanan dan minuman yang dikonsumsi, termasuk metode-metode memasak dan nama merk apabila memungkinkan (Rospond, 2008). Prinsip dari metode recall 24 jam, dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Dengan recall 24 jam data yang diperoleh cenderung lebih bersifat kualitatif. Oleh karena itu, untuk mendapatkan data kuantitatif, maka jumlah konsumsi makanan individu ditanyakan secara teliti dengan menggunakan alat ukuran rumah tangga (URT) seperti sendok, gelas, piring dan lain-lain atau ukuran lainnya yang biasa dipergunakan sehari-hari. Dalam recall 24 jam, untuk memudahkan penentuan jumlah konsumsi makanannya, biasanya digunakan food model (Supariasa, 2002).

Wahlqvist (2011) menjelaskan bahwa recall 24 jam dilakukan dengan menanyakan kepada responden makanan yang dimakan kemarin dan jumlahnya dalam ukuran rumah tangga. Energi yang terkandung dalam makanan dan energi yang diasupnya dihitung.

Recall 24 jam ini jangan dilakukan hanya 1 kali karena akan menghasilkan data yang kurang representatif untuk menggambarkan kebiasaan individu. Oleh karena itu recall 24 jam sebaiknya dilakukan berulang-ulang dan harinya tidak berturut-turut (Supariasa dkk, 2002).

(24)

memberikan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang intake harian individu.

Gersovitz et al (1987) dalam Gibson (1990) menyatakan bahwa masalah yang dihadapi dalam metode recall 24 jam adalah flat slope syndrome yaitu cenderung untuk melebihkan asupan yang rendah dan mengurangi asupan tinggi.

Kegunaan metode Food Recall 24 jam ini adalah untuk mengetahui angka kecukupan gizi individu, untuk menganalisis bahan makanan yang dikonsumsi oleh individu dan untuk mengetahui pola konsumsi individu.

Kelebihan metode Food Recall 24 jam ini adalah mudah dilaksanakan dan tidak membebani responden, lebih teliti, tidak harus dilakukan 7 hari, biaya relatif murah, memberikan gambaran nyata yang benar-benar dikonsumsi pasien dan dapat mengetahui status nutrisi pasien.

Kelemahan Food Recall 24 jam ini tidak dapat menggambarkan asupan makanan sehari-hari, ukuran rumah tangga untuk setiap keluarga belum tentu sama, ketepatannya sangat tergantung pada daya ingat responden dan cenderung salah dalam memperkirakan porsi makan. Untuk meningkatkan mutu recall 24 jam dilakukan selama beberapa kali pada hari yang berbeda (tidak berturut-turut), tergantung dari variasi menu keluarga dari hari ke hari.

(25)

Hasil dari food recall 24 jam akan di analisis menggunakan program nutrisurvey. Nutrisurvey adalah program untuk menganalisis kandungan zat gizi bahan makanan, menentukan kebutuhan zat gizi berdasarkan umur, jenis kelamin dan aktifitas fisik, dan penentuan status gizi secara individual berdasarkan umur, berat badan, dan tinggi badan.

Keunggulan dari nutrisurvey adalah program ini dapat digunakan untuk menganalisis kandungan zat gizi bahan makanan dan/atau resep makanan, untuk menentukan kebutuhan zat gizi individu berdasarkan umur, jenis kelamin dan aktivitas fisik serta dapat menyusun kuesioner survei gizi.

(26)

dan ini berhubungan dengan meningkatnya mortalitas. Tetapi kreatinin serum sebagai indikator malnutrisi belumlah dipastikan.

2.4 Kualitas Hidup

2.4.1 Definisi

Menurut WHO (1997), kualitas hidup merupakan persepsi individu dalam hidup, ditinjau dari konteks budaya dan sistem nilai tempat mereka tinggal, dan hubungan dengan standar hidup, harapan, kesenangan, dan perhatian mereka yang terangkum secara kompleks mencakup kesehatan fisik, status psikologis, tingkat kebebasan, hubungan sosial, lingkungan dan spiritual.

Cella (1992, dalam Kinghorn & Gamlin, 2004) menyebutkan bahwa kualitas hidup seseorang tidak dapat didefinisikan dengan pasti, hanya orang tersebut yang dapat mendefinisikannya, karena kualitas hidup merupakan sesuatu yang bersifat subyektif.

Menurut Suhud (2009) kualitas hidup adalah kondisi dimana pasien kendati penyakit yang dideritanya dapat tetap merasa nyaman secara fisik, psikologis, sosial maupun spiritual serta secara optimal memanfaatkan hidupnya untuk kebahagiaan dirinya maupun orang lain.

(27)

meliputi aspek biologis/fisik, psikologis, sosiokultural dan spiritual (Panthee & Kritpracha, 2011).

2.4.2 Domain kualitas hidup pasien dialisis

Kualitas hidup menyangkut dimensi yang lebih luas termasuk kesehatan fisik, psikologis, tingkat kemandirian, hubungan sosial, keyakinan tentang penyakit yang diderita dan lingkungan (WHO, 1997). Stigelman (2006) juga menyatakan bahwa kualitas hidup berhubungan dengan penyakit dan terapi yang dijalani. Ferrans (1996) mengatakan bahwa model konsep kualitas hidup secara umum dibagi menjadi empat domain yaitu domain kesehatan dan fungsinya, domain sosial dan ekonomi, domain psikologis/ spiritual, dan domain keluarga. Secara umum domain kualitas hidup dibagi menjadi empat yaitu :

a. Domain kesehatan fisik

Domain pertama dalam kualitas hidup adalah domain kesehatan fisik (WHO, 1997), Domain ini mencakup beberapa elemen yaitu rasa nyeri, energi, istirahat, tidur, mobilisasi, aktifitas, pengobatan dan pekerjaan. Kesehatan fisik merupakan hal utama yang harus dinilai dalam mengevaluasi kualitas hidup individu (Hays et al., 1997).

b. Domain Kesejahteraan Psikologis

(28)

c. Domain Hubungan Sosial dan Lingkungan

Domain ini terkait dengan hubungan individu (relasi personal), dukungan sosial, aktifitas seksual, lingkungan rumah, sumber keuangan, fasilitas kesehatan, menggambarkan keamanan individu yang dapat memepengaruhi kebebasan dirinya meliputi kepuasaan dengan kehidupan, kebahagiaan secara umum dan perawatan kesehatan yang diterima.

d. Domain Spiritual

Domain ini meliputi kepuasan dengan diri sendiri, tercapainya tujuan pribadi, kedamaian dalam pikiran, penampilan pribadi dan kepercayaan kepada Tuhan.

2.4.3 Instrument untuk mengukur kualitas hidup

Instrumen yang digunakan untuk mengukur kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis pada penelitian ini adalah kuisioner Kidney Disease Quality of Life Short Form 1,3 (KDQOL-SF 1,3) yang merupakan pengembangan dari Short Form 36 (SF-36). Alat ukur ini merupakan alat ukur khusus yang digunakan untuk menilai kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronik dan pasien yang menjalani dialisis (Hays et al., 1997).

(29)

Sementara skala survei SF-36 yang bersifat generik mengukur fungsi fisik, peran fisik, persepsi rasa sakit, persepsi kesehatan umum, emosi, peran emosional, fungsi social, dan energi/kelelahan .

Menurut Mc Dowell, (2006) kuisioner yang spesifik untuk penyakit tertentu biasanya berisikan pertanyaan-pertanyaan khusus yang sering terdapat pada penyakit tersebut, misalnya pasien penyakit ginjal diukur dengan Kidney Disease Quality of Life Short From (KDQOL SF), keuntungan alat pengukuran ini adalah dapat mendeteksi lebih tepat keluhan/hal khusus yang sangat berperan pada penyakit tertentu, misalnya kram otot, kulit kering, sesak nafas merupakan hal yang penting pada pasien penyakit ginjal maka hal tersebut tergambarkan pada pertanyaan kuisioner.

Kelemahan kuisioner ini adalah tidak dapat digunakan pada penyakit lain dan kuisioner ini terdiri dari banyak pertanyaan sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama dalam mengisinya. Selain itu kuisioner ini tidak menilai domain spiritual.

Secara spesifik Hays et al. (1997) telah menentukan domain kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisa yaitu mencakup 19 domain yaitu :

1. Gejala/masalah yang menyertai

(30)

tangan dan kaki, mual, permasalahan pada tempat penusukan, dan permasalahan pada tempat memasukkan kateter (pada dialisis peritoneal).

2. Efek Penyakit Ginjal

Efek ini timbul sebagai konsekuensi akibat penyakit ginjal yang diderita dan sering menyusahkan pasien. Efek ini antara lain: pembatasan cairan, pembatasan diet, kemampuan bekerja disekitar rumah, kemampuan untuk melakukan perjalanan, ketergantungan terhadap petugas kesehatan, perasaan khawatir dan stres terhadap penyakit yang diderita, kehidupan seksual, dan penampilan.

3. Beban akibat Penyakit Ginjal

Beban sebagai akibat penyakit ginjal sering kali dirasakan pasien. Beban akibat penyakit ini antara lain sejauh mana Penyakit ginjal yang diderita dirasakan sangat mengganggu kehidupan, banyaknya waktu yang dihabiskan, rasa frustasi terhadap penyakit, dan perasaan menjadi beban dalam keluarga.

4. Status Pekerjaan

Indikator pada dimensi ini adalah apakah pasien masih aktif bekerja, dan apakah kondisi kesehatannya saat ini dapat menjaga pekerjaan pasien saat ini.

5. Fungsi Kognitif

(31)

6. Kualitas Interaksi Sosial

Aspek ini mengukur bagaimana kualitas interaksi yang dilakukan pasien dalam melakukan hubungan dengan orang lain. Pada pasien dengan penyakit ginjal tidak jarang pasien mengasingkan diri dari orang lain, mudah tersinggung, dan mengalami kesulitan dalam bergaul dengan orang lain.

7. Fungsi Seksual

Aspek ini termasuk intensitas, gairah dan menikmati hubungan seksual. 8. Tidur

Aspek ini mengukur bagaimana tidur pada pasien penyakit ginjal yang menjalani hemodialisis. Aspek ini termasuk kualitas tidur dan kecukupan waktu tidur.

9. Dukungan yang diperoleh

Aspek ini termasuk waktu yang tersedia bersama teman dan keluarga serta dukungan yang diterima oleh pasien dari keluarga dan teman.

10. Dorongan dari staf dialisis

Aspek ini termasuk dorongan yang diberikan oleh staf dialisis untuk mandiri dan beradaptasi terhadap penyakit yang diderita serta rutinitas terapi yang harus dijalani.

11. Kepuasan pasien

(32)

12. Fungsi fisik

Aspek ini mencakup kemampuan untuk beraktifitas seperti berjalan, menaiki tangga, membungkuk, mengangkat, gerak badan dan kemampuan aktifitas berat.

13. Keterbatasan akibat masalah fisik

Aspek ini mencakup seberapa besar masalah fisik yang dialami pasien mengganggu pekerjaan dan aktifitas sehari-hari, seperti memperpendek waktu untuk bekerja atau beraktifitas, keterbatasan dan kesulitan dalam beraktifitas.

14. Rasa nyeri yang dirasakan

Aspek ini mencakup intensitas rasa nyeri dan pengaruhnya terhadap aktivitas normal baik didalam maupun di luar rumah.

15. Persepsi kondisi kesehatan secara umum

Aspek ini mencakup pandangan pasien terhadap kondisi kesehatan sekarang, prediksi di masa yang akan datang, dan daya tahan terhadap penyakit.

16. Kesejahteraan emosional

Aspek ini mencakup kesehatan mental secara umum, depresi, perasaan frustasi, kecemasan, kebiasaan mengontrol emosi, perasaan tenang dan bahagia.

17. Keterbatasan akibat masalah emosional

Aspek ini mencakup bagaimana masalah emosional mengganggu pasien dalam beraktifitas sehari hari, seperti lebih tidak teliti dari sebelumnya.

18. Fungsi sosial

(33)

19. Energi/ Kelelahan

Aspek ini menggambarkan tingkat kelelahan, capek, lesu dan perasaan penuh semangat yang dialami pasien setiap waktu.

2.4.4 Dampak hemodialisa terhadap kualitas hidup

Klien hemodialisa mempunyai respon fisik dan psikologis terhadap tindakan hemodialisa. Respon tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya karakteristik individu, pengalaman sebelumnya dan mekanisme koping.

Kelemahan berhubungan dengan gangguan pada kondisi fisik, termasuk malnutrisi, anemia, uremia. Kelemahan fisik dapat menurunkan motivasi. Kelemahan secara signifikan berhubungan dengan timbulnya gejala gangguan masalah tidur, status kesehatan fisik yang menurun dan depresi yang dapat mempengaruhi kualitas hidupnya. Seperti telah diuraikan sebelumnya, tindakan hemodialisa sangat erat hubungannya dengan kualitas hidup pasien, dimana kualitas hidup meliputi 4 aspek yaitu aspek fisik, psikologis, sosial dan lingkungan.

(34)

stres utama adalah yang berhubungan dengan masalah ekonomi, ketidakmampuan untuk mendapatkan uang, dan kelemahan.

Dampak psikologis dan spiritual sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien. Hal ini didukung oleh studi yang dilakukan oleh Curtin, 2001; Mc Cann & Boore (2000), yang menyimpulkan bahwa klien hemodialisa mempunyai kualitas hidup yang lebih rendah dan menolak strategi koping dibandingkan dengan pasien yang dilakukan Continous Ambulatory Peritonial Dialysis (CAPD).

Penelitian kualitatif dilakukan oleh Harwoord, Wilson, Cusolito, Santrop & Spittal, 2009) menilai stres yang dialami sebelum menjalani hemodialisa. Hasil penelitian didapatkan tema-tema yaitu fluktuasi mengatasi kekhawatiran, motivasi untuk mengatasi masalah, dan saling ketergantungan antara pasien dengan anggota keluarga. Hasil penelitian didapatkan bahwa pasien mengalami reaksi emosional seperti tidak berdaya, sedih, marah, takut, merasa bersalah. Ketika pertama kali pasien dinyatakan gagal ginjal, pasien merasa bingung apa yang harus dilakukan, sering menangis dan merasa terisolasi. Selain itu juga dirasakan adanya stres bagi pasien juga berdampak pada anggota keluarga Harwood et al (2009).

(35)

ejakulasi pada laki-laki (Marques, at al, 2006; Diaz, Ferrer & Cascales, 2006). Selain obat antidepresan faktor lain yang dapat berkontribusi pada disfungsi seksual adalah body image, defisiensi Zinc dan gangguan hormonal (Diaz, Ferrer & Cascales, 2006).

2.4.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien hemodialisa

Avis (2005) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah sosio demografi yaitu jenis kelamin, usia, suku / etnik, pendidikan, pekerjaan dan status perkawinan. Bagian kedua adalah medik yaitu lama menjalani hemodialisis, stadium penyakit, dan penatalaksanaan medis yang dijalani. Bagian pertama adalah faktor sosio demografi meliputi :

1. Jenis kelamin.

(36)

laki-laki sebanyak 54,1 % (85 orang) sedangkan proporsi responden perempuan adalah 45,9 % (72 orang). Hasil penelitian yang sama dilakukan oleh Istanti (2009), dimana jumlah responden yang menjalani hemodialisa di Rumah Sakit Yogyakarta sebanyak 62.5% berjenis kelamin laki-laki. Ulya & Suryanto (2005), dalam penelitiannya ditemukan bahwa dari 40 pasien yang diteliti sebanyak 75% adalah laki-laki dan sisanya sebanyak 25% adalah perempuan.

2. Usia

Usia berpengaruh terhadap cara pandang seseorang dalam kehidupan, masa depan dan pengambilan keputusan. Penderita gagal ginjal kronis usia muda akan mempunyai kualitas hidup yang lebih baik oleh karena kondisi fisiknya yang lebih baik dibanding yang berusia tua. Penderita yang dalam usia produktif merasa terpacu untuk sembuh mengingat dia masih muda mempunyai harapan hidup yang tinggi, sebagai tulang punggung keluarga, sementara yang tua menyerahkan keputusan pada keluarga atau anak-anaknya Tidak sedikit dari mereka merasa sudah tua, capek, hanya menunggu waktu, akibatnya mereka kurang motivasi dalam menjalani terapi haemodialisis. Usia juga erat kaitannya dengan prognose penyakit dan harapan hidup mereka yang berusia diatas 55 tahun kecenderungan untuk terjadi berbagai komplikasi yang memperberat fungsi ginjal sangat besar bila dibandingkan dengan yang berusia dibawah 40 tahun.

(37)

Dalam penelitian Syamsiah (2011), diperoleh bahwa terdapat 22 (84,6 %) responden berusia > 65 tahun yang patuh. Sedangkan responden yang berumur ≤ 65 tahun hanya terdapat 70 (53,4 %) saja yang patuh. Sedangkan dalam penelitian Nurchayati (2011), responden yang berumur tua sebanyak 51 orang (53.7%) dibandingkan yang berumur muda yaitu 44 orang (46.3%). Fungsi renal akan berubah bersamaan dengan pertambahan usia. Sesudah usia 40 tahun akan terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus secara progresif hingga usia 70 tahun, kurang lebih50% dari normalnya (Smeltzer et al., 2010).

3. Pendidikan

(38)

4. Pekerjaan

Pekerjaan adalah merupakan sesuatu kegiatan atau aktifitas seseorang yang bekerja pada orang lain atau instansi, kantor, perusahaan untuk memperoleh penghasilan yaitu upah atau gaji baik berupa uang maupun barang demi memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari (Rohmat, 2010). Penghasilan yang rendah akan berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan maupun pencegahan. Seseorang kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada mungkin karena tidak mempunyai cukup uang untuk membeli obat atau membayar transportasi (Notoadmodjo, 2010). Individu yang harus menjalani terapi hemodialisis sering merasa khawatir akan kondisi sakitnya yang tidak dapat diramalkan dan gangguan dalam kehidupannya (Smeltzer & Bare, 2009) dan ini biasanya pasien dapat mengalami masalah finansial dan kesulitan dalam mempertahankan pekerjaan dan hasil penelitian yang dilakukan oleh Asri dkk (2006), mengatakan bahwa dua per tiga dari pasien yang mendapat terapi dialisis tidak pernah kembali pada aktifitas atau pekerjaan seperti sedia kala sehingga banyak pasien kehilangan pekerjaannya.

5. Status perkawinan

(39)

Hasil penelitian Riyanto (2011), distribusi responden berdasarkan status pernikahan terbesar adalah pada kelompok menikah (82,9%). Dilihat dari status perkawinan, sebagian besar pasien masih memiliki pasangan hidup dan ini dapat merupakan support system yang baik dalam meningkatkan kondisi kesehatan pasien. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Maasoumeh & Forough (2010), dilakukan terhadap 202 responden pasien hemodialisa yang juga didapatkan sebagian besar status pernikahan responden menikah 132 (65,3 %). Status pernikahan merupakan prediktor terbaik dari kualitas hidup secara keseluruhan. Hal ini secara umum menunjukkan bahwa individu yang menikah memiliki kualitas hidup yang lebih tinggi daripada individu yang tidak menikah, bercerai, ataupun janda/duda akibat pasangan meninggal. karena keluarga memiliki fungsi untuk memberikan dukungan (baik material, sosial, maupun emosional).

Selain faktor sosio demografi bagian kedua ada faktor medik meliputi : 1. Lama menjalani hemodialisa

(40)

pemahanan pentingnya pembatasan cairan dan dampak dari peningkatan berat badan diantara dua hemodialisa terhadap kesehatan dan kualitas hidupnya.

2. Stadium penyakit.

Pada penderita gagal ginjal grade 2 dan grade 3 yang tanpa disertai dengan berbagai komplikasi yang memperburuk fungsi ginjal sehingga jatuh dalam kondisi gagal ginjal terminal tentu saja memiliki angka keberhasilan atau kualitas hidup dan harapan hidup lebih baik dibandingkan yang sudah gagal ginjal terminal dengan komplikasi yang berat. Terapi haemodialisis akan sangat dirasakan manfaatnya bagi mereka yang dari awal sudah diketahui, ada indikasi dan langsung dirujuk untuk menjalani terapi haemodialisis. Hal ini tentu saja sangat memotivasi penderita terutama yang masih muda untuk berusaha patuh menjalankan terapi sehingga didapatkan hasil yang optimal. Semakin terlambat perlakuan yang diberikan semakin memperburuk fungsi ginjal, apalagi bila tidak ada motivasi dan dukungan keluarga, niscaya keberhasilan terapi haemodialisis melalui ketaatan pasien untuk menjalaninya secara teratur sulit diupayakan. 3. Penatalaksanaan medis

(41)

2.5 Landasan Teori

Individu akan berusaha berperilaku untuk dirinya sendiri dalam menemukan dan melaksanakan treatment pengobatan untuk memelihara kesehatan dan kesejahteraan (Taylor & Renpenning, 2011). Hal tersebut merupakan bagian yang natural dari manusia. Orem percaya bahwa manusia memiliki kemampuan dalam merawat dirinya sendiri (self-care) dan perawat harus fokus terhadap dampak kemampuan tersebut (Orem, 1995 dalam Simmons, 2009).

Filosofi dari ilmu keperawatan adalah memandirikan dan membantu individu memenuhi kebutuhan dirinya (self-care). Salah satu teori self-care dalam ilmu keperawatan yang terkenal adalah teori self-care Orem. Orem dalam hal ini melihat individu sebagai satu kesatuan utuh yang terdiri dari aspek fisik, psikologis, dan sosial dengan derajat kemampuan untuk merawat dirinya yang berbeda-beda sehingga tindakan perawat berupaya untuk memacu kemampuan tersebut. Individu juga memiliki kemampuan untuk terus berkembang dan belajar (Asmadi, 2008). Orem mendefinisikan keperawatan sebagai seni dimana perawat memberikan bantuan khusus kepada individu dengan ketidakmampuannya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari untuk perawatan mandiri serta berpartisipasi secara intelegensi dalam perawatan medis yang diberikan oleh dokter (Swanburg, 2000).

(42)

2009). Menurut Orem, asuhan keperawatan diberikan apabila pasien tidak mampu melakukannya, namun perawat tetap harus mengkaji mengapa pasien tidak dapat memenuhinya, apa yang dapat perawat lakukan untuk meningkatkan kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya secara mandiri dan menilai sejauhmana pasien mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri (Hartweg, 1995 dalam Potter & Perry, 2005).

Teori Orem mengidentifikasi dua set dari ilmu keperawatan yakni nursing practice science dan foundational sciences. Termasuk di dalam nursing practice sciences yakni 1) wholly compensatory dimana perawat membantu penuh ketidakmampuan total pasien dalam melakukan aktivitas self-care; 2) partially compensatory dimana perawat membantu ketidakmampuan sebagian pasien dalam melakukan aktifitas self-care; 3) supporting-educative dimana perawat membantu pasien untuk membuat keputusan dan memiliki kemampuan dan pengetahuan. Dan termasuk di dalam foundational sciences adalah care, self-care agency, dan human assistance (Basavanthappa, 2007; Tomey & Alligood, 2006).

Teori Orem ini dikenal dengan Self-Care Deficit Theory (Tomey & Alligood, 2010) yang terdiri atas tiga teori terkait, yaitu :

a. Theory of self-care dimana mendeskripsikan tentang mengapa dan bagaimana seseorang merawat diri mereka sendiri.

(43)

c. Theory of nursing system dimana mendeskripsikan dan menjelaskan hubungan yang diciptakan perawat untuk dimiliki dan dipelihara oleh pasien . Self-care didefenisikan sebagai aktifitas praktek seseorang untuk berinisiatif dan menunjukkan dengan kesadaran dirinya sendiri untuk memelihara kehidupan, fungsi kesehatan, melanjutkan perkembangan dirinya, dan kesejahteraan dengan menemukan kebutuhan untuk pengaturan fungsi dan perkembangan (Orem, 2001 dalam Alligood & Tomey, 2010). Self-care agency merupakan kompleks yang akan mempengaruhi seseorang untuk bertindak dalam mengatur fungsi dan perkembangan dirinya (Orem, 2001 dalam Alligood & Tomey, 2010). Nursing agency terdiri atas perkembangan kemampuan seseorang yang terdidik sebagai perawat yang berwenang untuk merepresentasikan diri mereka sebagai perawat dalam kerangka hubungan interpersonal yang sah untuk bertindak, mengetahui dan menolong seseorang untuk menemukan kebutuhan perawatan diri yang terapeutik (therapeutik self-care demand) dan mengatur perkembangan dan latihan dari self-care agency mereka (Alligood & Tomey, 2010).

Basic conditioning factors adalah faktor yang mempengaruhi nilai dari

(44)

Area hemodialisa merupakan salah satu area praktik keperawatan untuk mengaplikasikan teori self-care Orem ini dimana aplikasi ini akan sesuai karena penting sekali untuk pasien aktif terlibat dalam perawatan dirinya. Tujuan utama praktek keperawatan adalah untuk membantu pasien menyiapkan diri untuk berperan serta secara adekuat dalam perawatan dirinya dengan cara meningkatkan outcome pasien dan kualitas hidup. Sebagai perawat, kita dapat melakukan hal tersebut dengan membentuk hubungan saling percaya antara perawat dan pasien, menyediakan dukungan dan pendidikan kesehatan, memperbolehkan pasien mengontrol beberapa situasi dengan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, dan mendorong pasien untuk aktif berpartisipasi dalam treatment hemodialisa (Simmons, 2009).

2.6 Kerangka Konsep

Kerangka konsep dalam penelitian ini dapat dilihat pada skema 2.1 yang disajikan berikut ini :

Manajemen cairan

Status Nutrisi

Kualitas Hidup Pasien Hemodialisa

Variabel Confounding :

Lama menjalani hemodialisa.

Gambar

Tabel 2.1 Klasifikasi Status Nutrisi berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) menurut WHO tahun 2000

Referensi

Dokumen terkait

  Fungsi  Hukum  Dalam  Pengaturan  Pariwisata  Sebagai  Bentuk  Perdaganagn

Isikan besarnya nilai yang dikeluarkan untuk penggunaan sarana produksi selama tahun 2012 sesuai dengan jenis tanaman perkebunan semusim yang diusahakan yang terdapat pada sudut

Orang di sebelah kiri robot, error karena sebelum sensor selesai menyensing sensor sudah tidak mendeteksi adanya orang sehingga robot berputar seperti tidak.

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat- Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Tenure Audit Kualitas

Anane bab kang beda kang manggon ing wujud lan kalungguhan iki ndadekake makna kang kinandhut sajrone ukara kasebut uga beda, yaiku konstituen kang mawa perangan leksikal

Metode pergerakan mobile robot dalam menuju target menggunakan fuzzy logic dengan input dari kamera, sedangkan untuk pergerakan manipulator menggunakan trajectory

Salah satu peranan desainer interior adalah membantu mewujudkan cipta ruang sehat, ramah lingkungan, beradab, dan berbudaya dengan pendekatan eko-interior melalui pemilihan

Approved by the Department of English, Faculty of Cultural Studies University of Sumatera Utara (USU) Medan as thesis for The Sarjana Sastra Examination.. Head,