TINJAUAN PUSTAKA
Tanah Ultisol
Ultisol merupakan tanah mineral yang memiliki horizon argilik dengan lapisan liat yang tebal. Ultisol umumnya berkembang dari bahan induk tua berupa batuan liat. Proses pembentukan Ultisol diawali oleh pencucian yang ekstensif dan terjadi pembentukan mineral sekunder (kaolinit dan gibsit) (Barchia, 2009).
Sifat fisik Ultisol dapat dirincikan sebagai berikut, memiliki solum dengan kedalaman sedang, dan warna tanah merah sampai kuning dengan chroma meningkat seiring bertambahnya kedalaman. Memiliki tekstur halus pada horizon Bt (kandungan liat) dan struktur pada horizon Bt berbentuk blocky. Serta memiliki konsistensi yang teguh, permeabilitas lambat sampai baik, dan erodibilitas yang tinggi (Munir, 1996).
Tanah Ultisol tergolong tanah yang memiliki pH rendah berkisar antara 4-5,5 yang cukup masam. pH tanah dapat mempengaruhi ketersediaan hara dan bisa menjadi faktor yang berhubungan dengan kualitas tanah. pH tanah sangat penting dalam menentukan aktivitas dan dominasi mikroorganisme tanah yang berhubungan dengan siklus hara, penyakit tanaman, dekomposisi dan sintesa senyawa kimia organik dan transpor gas ke atmosfir seperti metan (Sudaryono, 2009).
Ultisol merupakan salah satu jenis tanah yang cukup luas sabarannya
yaitu mencapai 45.794.000 ha atau 25% dari total luas daratan Indonesia. Sebaran
terluas masing-masing di pulau Kalimantan (21,938.000 ha), Sumatera (9.469.000
ha), dan Nusa Tenggara (53.000 ha). Tanah ini terdapat pada berbagai relief mulai
dari datar hingga bergunung (Subagyo, dkk, 2004).
Ditinjau dari luasnya, tanah Ultisol mempunyai potensi yang tinggi untuk pengembangan pertanian lahan kering. Namun demikian, pemanfaatan tanah ini menghadapi kendala karakteristik tanah yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman terutama tanaman pangan bila tidak dikelola dengan baik. Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan tersebut yaitu dengan menambahkan unsur hara dari penggunaan pupuk (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).
Pengolahan Kelapa Sawit
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditi perkebunan terbesar yang
ada di Indonesia. Perkembangan luas lahan dan produksi kelapa sawit setiap tahun
meningkat. Menurut Ditjenbun (2014) perkembangan kelapa sawit terus
meningkat setiap tahunnya terlihat dari rata-rata laju pertumbuhan luas areal
kelapa sawit selama 2004-2014 sebesar 7,67%, luas areal yang mencapai 10,9 juta
ha dengan produksi 29,3 juta ton CPO.
Pabrik Kelapa Sawit (PKS) merupakan pabrik yang mengolah bahan
mentah sawit menjadi produk lain, yaitu Crude Palm Oil (21%) dan Inti Sawit
(4%) serta limbah (75%) hasil pengolahaan produk tersebut berupa limbah padat
dan cair. Limbah padat berupa tandan kosong dan limbah cair berupa lumpur dan
sludge. Seiring dengan kemajuan teknologi dan kepedulian terhadap lingkungan
pengolahan limbah sangat penting untuk mencegah kerusakan lingkungan dan
untuk melestarikan lingkungan (Jenny dan Suwadji, 1999).
mendapatkan kadar ALB (Asam Lemak Bebas) sesuai dengan yang diinginkan
dan menekan Rencana Kerja Anggaran dan Pendapatan (RKAP). Proses
pengolahan kelapa sawit terdiri dari perebusan, perontokan buah, digesting,
pengempaan, pemurnian minyak kelapa sawit (CPO), dan pengolahan biji sawit
(Manalu, 2008).
Setelah terjadi pengolahan tandan buah segar menjadi minyak kelapa sawit
(Crude Palm Oil), akan menghasilkan limbah yang merupakan sisa dari
pengolahan tandan buah segar menjadi minyak. Limbah yang dihasilkan dari
proses pemurnian minyak merupakan limbah cair yang di kumpulkan ke dalam
tangki pengumpul limbah cari. Setelah itu limbah yang terdapat dalam tangki
pengumpul limbah cair akan diteruskan dan diolah dalam Instalasi Pengolahan Air
Limbah (IPAL) (Ditjen PPHP, 2006).
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
Terdapat 3 (tiga) jenis proses yang dapat dilakukan dalam mengolah air
limbah yaitu: proses secara fisik, biologi dan kimia. Proses fisik dilakukan dengan
cara memberikan perlakuan fisik pada air limbah seperti menyaring,
mengendapkan, atau mengatur suhu proses dengan menggunakan alat screening,
grit chamber, settling tank/settling pond, dll. Proses biologi deilakukan dengan
cara memberikan perlakuan atau proses biologi terhadap air limbah seperti
penguraian atau penggabungan substansi biologi dengan lumpur aktif (activated
sludge), attached growth filtration, aerobic process dan an-aerobic process.
Proses kimia dilakukan dengan cara membubuhkan bahan kimia atau larutan
tertentu, ketiga jenis proses dan alat pengolahan tersebut dapat diaplikasikan
secara sendiri-sendiri atau dikombinasikan (Musanif dan Sulaeman, 2009).
Dalam pengolahan limbah cair kelapa sawit secara biologis dikenal
dengan dua proses, yaitu proses anaerobik dan aerobik. Proses aerobik
membutuhkan oksigen dengan cara menyuplai udara kedalam proses, sedangkan
proses anaerobik tidak memerlukan oksigen. Dalam pengolahan limbah cair PKS
umumnya dilakukan proses anaerobik terlebih dahulu yang kemudian hasil dari
proses tersebut di teruskan kedalam proses aerobik (Ruhardjo, 2005).
Setiap pabrik kelapa sawit memiliki sistem pengolahaan limbah kelapa
sawit yang dilakukan dalam IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah). Limbah
hasil pengolahan kelapa sawit akan diolah dalam IPAL untuk menurunkan kadar
polutan dalam limbah tersebut sebelum dibuang ke aliran sungai atau dibuang
kembali ke lahan kelapa sawit (land application). Pengolahan limbah dalam IPAL
secara umum dapat dilihat pada bagan berikut ini :
Desain kolam Anaerobik-Fakultatif-Aerobik (PPKS, 2005).
WPH
-Kapasitas olah PKS 30 ton TBS/jam -Operasi maksimum 20 jam/hari -Laju LCPKS = 0,8 m3/ton TBS
-Volume LCPKS = 480 m3/hari
Pemanfaatan Limbah Sludge Kelapa Sawit
Lumpur padat (sludge) adalah limbah yang berasal dari pabrik pengolahan kelapa sawit yang merupakan hasil dari ekstraksi minyak. Limbah sludge ini dapat menimbulkan masalah apabila langsung dibuang ke lingkungan. Akan tetapi dapat digunakan sebagai kompos dengan cara mengeringkan lumpur padat (sludge) di tempat terbuka dan aman dari serangga dan hewan pengerat (Zahrim,dkk ,2007).
Limbah kelapa sawit yang berasal dari in let kolam anaerob sekunder I memiliki kandungan C-Organik 5,52%, C/N 30.81, N-total 0.18%, P-total 0.07%, K 0.06%, COD 10082 mg L-1, BOD 7333 mg L-1, TSS 7928 mg L-1dan nilai pH 6,1 (Nursanti, dkk, 2013).
Sludge atau lumpur padat berasal dari dua sumber yaitu dari proses
pemurnian minyak (clarification) yang biasanya menggunakan decanter dan dari instalasi pengolahan limbah cair. Sludge dari decanter merupakan kotoran minyak yang bercampur dengan kotoran yang lainnya. Sedangkan sludge dari instalasi pengolahan limbah cair berasal dari endapan suspensi limbah cair dan mikroorganisma yang hidup di dalamnya (Wahyono, dkk, 2008).
Sludge secara tidak langsung dapat memperbaiki kesuburan tanah karena
bersama dengan mineral tanah (lempung) bahan humus sludge berpengaruh pada sejumlah aktivitas kimia tanah. Bahan humus setelah mengalami pelapukan terdiri atas asam humat dan asam fulfat (fulfic acid). Bahan humus yang telah mengalami pelapukan dan degradasi secara kimia, fisik, dan biologi akan terurai menjadi asam fulfat yang lebih berperan dalam kesuburan tanah . Dalam keadaan anaerob perombakan bahan organik berasal dari humus akan melalui beberapat alIap sesuaid engan proses mikrobiologi yang akan menghasilkan asam asetat, dilanjutkan dengan asam butirat, dan akhirnya asam propionat. Selain itu akan dibentuk senyawa gas metan, H2, dan CO2 yang merupakan racun bagi tanaman. Dalam keadaan aerob humus yang umumnya terdiri atas susunan polisakarida akan diuraikan secara enzimmatis menjadi gula sederhana seperti monosakarida, disakarida, dan trisakarida (sukrosa, glukosa, laktosa,fruktosa, dan lain-lain) (Jenny dan Suwadji, 1999).
Berdasarkan analisa penggunaan limbah sludge memiliki pengaruh positif dan negatif. Akan tetapi penggunaan limbah sludge dapat meningkatkan karakteristik tanah seperti unsur hara dan juga penggunaannya dapat dijadikan solusi untuk mengatasi limbah hasil produksi kelapa sawit (Embrandiri,dkk,2011).
Dari hasil penelitian Siregar (2007) mengatakan bahwa dosis 17 ton/ha
limbah sludge kelapa sawit nyata dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi