BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
Gangguan berbahasa terjadi pada seseorang, baik dewasa maupun anak-anak, yang tadinya dapat bercakap dengan baik menjadi tidak baik dan dapat pula terjadi pada seorang anak sejak kelahiran anak tersebut. Gangguan berbahasa bisa menyerang siapa saja, suku apa saja, di mana saja, tanpa memandang usia dan status sosial. Gangguan berbahasa ini pada dasarnya disebabkan keretakan atau kelainan medan-medan bahasa di korteks yang mendasari bahasa (Simanjuntak 2009: 143).
Gangguan berbahasa dapat terjadi pada gangguan fonologi, morfologi, sintaksis, bahkan dapat terjadi pada bentuk leksikal. Gangguan fonologi berkaitan dengan gangguan bunyi ujaran vokal, konsonan, diftong, atau pada gangguan artikulasi. Gangguan morfologi adalah gangguan pada bentuk-bentuk afiksasi, reduplikasi, atau sistem pemajemukan. Gangguan sintaksis adalah gangguan pada kata, frasa, klausa, atau kalimat.
pengertian dari neurologi dan linguistik. Neurologi sebagai ilmu yang mengkaji saraf-saraf otak berkaitan dengan linguistik ilmu yangmempelajari tentang pemerolehan bahasa karena pusat bahasa berdomisili di otak manusia. Jadi neurolinguistik sebagai ilmu baru mengkaji struktur bahasa, kelahiran bahasa, pemerolehan bahasa, pengajaran bahasa, kerusakan bahasa dan mekanisme sereberum (struktur otak) yang mendasari bahasa, baik dalam bentuk ujaran maupun kalimat (Simanjuntak 2009: 189).
Kalimat ialah kesatuan ujaran yang mengungkapkan suatu konsep pikiran dan perasaan. Kalimat dapat diklasifikasikan berdasarkan atas beberapa kategori, yaitu kalimat dasar dan kalimat turunan. Menurut Sugono (1999:97) kalimat dasar ialah kalimat yang berisi informasi pokok dalam struktur inti, belum mengalami perubahan.
Berbahasa juga merupakan proses mengirim berita dan proses menerima berita. Kegiatan menghasilkan berita, pesan, dan amanat disebut proses produktif, sedangkan proses menerima berita, pesan atau amanat disebut proses reseptif. Kedua kegiatan ini, proses produktif dan reseptif merupakan satu proses yang berkesinambungan, mulai dari proses perancangan pesan sampai pada proses penerimaan dan pemahaman pesan itu. Kemampuan berbahasa produktif dan proses reseptif harus dikuasai dengan sama baiknya agar tujuan berbahasa dapat terwujud.
Proses produktif dimulai dengan tahap pemunculan ide, gagasan, perasaan, atau apa saja yang ada dalam pemikiran seorang pembicara. Tahap awal ini disebut tahap idealisasi, yang selanjutnya disambung dengan tahap perancangan, yakni tahap pemilihan bentuk-bentuk bahasa untuk mewadahi gagasan, ide, atau perasaan yang akan disampaikan. Perancangan ini meliputi komponen bahasa sintaksis, semantik, dan fonologi. Berikutnya adalah tahap pelaksanaan atau pengejawantahan. Pada tahap ini secara psikologi orang melahirkan kode verbal atau secara linguistik orang melahirkan arus ujaran.
Proses berbahasa atau berkomunikasi merupakan kegiatan yang sangat melekat pada kehidupan manusia. Berkomunikasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan menggunakan media bahasa. Bahasa adalah alat komunikasi antaranggota masyarakat berupa lambang bunyi, yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Ritonga 2009:1).
Bahasa mempunyai fungsi sebagai alat informasi dan komunikasi. Fungsi bahasa ini akan tercapai apabila pendengar atau pembaca dapat memahami informasi yang disampaikan penulis atau pembicara. Fungsi informatif dan komunikatif dilangsungkan dalam bentuk kalimat. Bagaimanapun pendeknya sebuah bentuk bahasa jika ia sudah mencapai dan memenuhi fungsi informatif dan komunikatif, ia adalah kalimat. Jadi, manusia berinformasi dan berkomunikasi dalam kalimat yang diproduksi manusia baik secara lisan atau tulisan.
Otak memiliki fungsi dan peran yang sangat penting dalam memproduksi bicara bahasa; serta dalam menerima dan memahami masukan bahasa melalui telinga, dan yang selanjutnya diolah dalam otak. Manusia yang normal fungsi otak dan alat bicaranya, tentu dapat berbahasa dengan baik. Namun, mereka yang memiliki kelainan fungsi otak dan alat bicaranya, tentu mempunyai kesulitan dalam berbahasa, baik produktif maupun reseptif. Jadi, kemampuan bahasanya terganggu (Chaer 2003:115).
dominan bagi bahasa. Hemisfer kiri juga berperan untuk fungsi memori yang bersifat verbal. Sebaliknya, hemisfer kanan penting untuk fungsi emosi, lagu isyarat (gesture), baik yang emosional maupun verbal.
Pusat ucapan berdomisili di hemisfer kiri otak. Daerah hemisfer kiri terbagi menjadi dua medan, yaitu Medan Broca dan Medan Wernicke. Medan Broca mempunyai spesialisasi untuk komponen ekspresi (motor) bahasa, terutama ucapan dan parameter artikulasi, juga mempunyai tanggug jawab utama untuk menukar bahasa kepada ujaran-ujaran artikulasi. Medan Wernicke mengandung kata-kata ucapan, yaitu rumus-rumus yang berfungsi untuk membagi aliran ucapan yang berkesinambungan kepada pola-pola yang terpisah. Medan Wernicke lebih berperan terhadap pemahaman makna.
Hubungan Medan Wernicke dengan Medan Broca di dalam proses berbahasa sangat erat. Proses berbahasa itu dapat disederhanakan sebagai berikut, mula-mula bunyi direseptif melalui telinga kanan untuk kemudian dikirim ke Medan Wernicke untuk dipahami, kemudian dari Medan Wernicke di kirim bunyi ujaran ke Medan Broca melalui saluran yang disebut arcute fasiculus, kemudian sebuah isyarat tanggapan ujaran itu dikirim ke dalam motor suplemen (alat-alat ucap) untuk menghasilkan ujaran secara fisik (Simanjuntak 2009: 144).
memiliki pendengaran yang utuh semenjak kelahirannya, (2) memiliki susunan saraf otak yang utuh, (3) memiliki struktur fisik serta pengendalian fisiologik yang memungkinkan terjadinya motorik yang cepat, terintegrasikan dan rumit, dan (4) mempunyai lingkungan yang selalu memberikan dorongan kepadanya untuk mengembangkan keterampilan verbal. Banyak anak yang mengalami gangguan berbahasa karena tidak memiliki beberapa persyaratan di atas, artinya anak tersebut tidak mampu memproduksi menurut konteks arah normal, sehingga komunikasi terganggu atau penyimpangan unsur ujaran terjadi seperti pada anak penyandang autisme.
Autisme adalah gangguan pada usia dini kanak-kanak yang ditandai dengan satu atau lebih karakteristik yang diikuti kurang respons terhadap orang lain dan gangguan dalam bentuk komunikasi atau keterampilan berbahasa. Autisme dapat terjadi pada semua anak, tidak ada perbedaan ras, tingkat pendidikan, dan status sosial. Bahasa penyandang autisme ini sangat terbatas, aneh, begitu juga suaranya agak mengganggu telinga, parau, seperti berbisik, dan sebagainya. Sering juga terjadi pengulangan kata-kata secara berlebihan atau berhenti tiba-tiba di tengah-tengah percakapan seperti kehilangan sesuatu pengertian yang susah ditemukan kembali.
jenis autistik yang parah, sulit diajak berkomunikasi, dan mengalami kerusakan bahasa yang spesifik. autistik jenis ASD (autistic spectrum disorder) merupakan jenis autis yang tidak parah dan masih dapat diajak berkomunikasi, tetapi isi ujarannya tidak normal. Kadang-kadang ujarannya mengandung frase-frase atau kata-kata yang sama secara berulang-ulang. Jenis autisme yang diteliti dalam penelitian ini ialah spektrum autisme.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah gangguan penggunaan kalimat dasar bahasa Indonesia pada penyandang spektrum autisme?
2. Bagaimanakah pola kalimat dasar bahasa Indonesia pada penyandang spektrum autisme?
1.3 Tujuan Penelitan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan gangguan penggunaan kalimat dasar bahasa Indonesia pada penyandang spektrum autisme?
2. Mendeskripsikan pola kalimat dasar bahasa Indonesia pada penyandang spektrum autisme
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis
2. Bagi peneliti selanjutnya, dapat menambah keingintahuan bagi para peneliti untuk dapat meneliti kasus-kasus yang berkaitan dengan gangguan berbahasa.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Bagi keluarga penyandang spektrum autisme, diharapkan dapat lebih mampu mengerti dan memahami bahasa yang disampaikan penyandang spektrum autisme.